Materi 11 Persepsi (Bagian 1) PDF

Summary

This document provides an overview of perception. It explores the relationship between perception and sensation, discussing research findings on cross-cultural variations in perception, the role of sensory functions, and the influence of cultural factors. The summary highlights key concepts and studies related to the subject.

Full Transcript

**Materi 11** **PERSEPSI (Bagian 1)** **1. Arti Persepsi** Persepsi tidak dapat dipisahkan dari sensasi. Sensasi dan persepsi terkait dengan bagaimana individu menerima stimulus dari lingkungan dan memprosesnya. Sensasi adalah stimulasi pada organ-organ indra (mata, telinga, hidung, lidah, dan ku...

**Materi 11** **PERSEPSI (Bagian 1)** **1. Arti Persepsi** Persepsi tidak dapat dipisahkan dari sensasi. Sensasi dan persepsi terkait dengan bagaimana individu menerima stimulus dari lingkungan dan memprosesnya. Sensasi adalah stimulasi pada organ-organ indra (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit). Sedangkan persepsi dipahami sebagai bagaimana informasi dari organ diproses (diseleksi, ditata, dan ditafsirkan) hingga menjadi suatu yang bermakna (Matsumoto). **2. Hasil-hasil riset tentang persepsi** W.H.R. Rivers (1884-1922) dianggap sebagai salah satu bapak pendiri psikologi lintas budaya. Karya utamanya didasarkan pada data yang dikumpulkan bersama penduduk pulau Torres Strait (di antara New Guinea dan Australia). Dia mengikuti Cambridge Anthropo-logical Expedition yang dipimpin oleh A. C. Haddon. Rivers dan beberapa siswa di Murray Island mengumpulkan data primer di Murray Island selama 4 bulan. Mereka mengukur ketajaman penglihatan *(visual acuity),* kemampuan membedakan warna, buta warna, *after images*, kontras, ilusi visual, ketajaman pendengaran, ritme, bau dan rasa,ketajaman sentuhan, diskriminasi berat, lamanya reaksi terhadap stimuli visual dan auditori, perkiraan interval waktu, memori, daya muskular, ketepatan motor, dan sejumlah topik lain. Data dikelompokkan dalam tiga topik, yaitu ketajaman penglihatan, persepsi, dan persepsi visual/spasial. Hasilnya menunjukkan bahwa *visual acuity* dari penduduk Torres Strait sangat baik. Sementara berdasarkan studi kepustakaan, dia menemukan bahwa *visual acuity* dari masyarakat yang masih primitif dan tertinggal memang lebih bagus dari rata-rata orang Eropa, tapi keunggulan itu tidak besar sekali. Maka dia berpendapat bahwa perhatian utama pada obyek-obyek indra merupakan hambatan besar ke arah perkembangan mental. Jika terlalu banyak energi dikeluarkan untuk fondasi sensori, maka superstruktur intelektual akan terhambat. Berry et al. Menilai pandangan Rivers ini sangat dipengaruhi oleh etnosentrisme di zamannya. Riset Thouless (1933) dan Beveridge (1935) tentang kekonstanan *(constancies)* atau regresi fenomena menunjukkan adanya regresi fenomena Misalnya, sebuah cakram bundar tampak seperti elips di retina mata. Regresi fenomena terjadi tidak saja menyangkut bentuk tapi juga pada ukuran, kecerahan, dst. Misalnya, kertas abu-abu kena sorotan cahaya berintensitas tinggi tampak seperti kertas putih karena memantulkan lebih banyak cahaya. Dalam risetnya Thouless menemukan bahwa sejumlah kecil sampel di India memperlihatkan kecenderungan kepada regresi fenomena dibanding sampel dari Skotlandia. Menurut Thouless, perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan persepsi orang India dan Skotlandia. Ini juga yang menyebabkan mengapa para artis India cenderung melihat obyek tidak sesuai prinsip-prinsip perspektif dibanding artis asal Eropa. Beveridge menemukan kecenderungan lebih besar ke regresi fenomena di kalangan mahasiswa Afrika Barat dibanding mahasiswa Inggris dalam hal bentuk dan ukuran. Dalam studi lanjutan dia menemukan bahwa orang Afrika kurang dipengaruhi oleh *visual cues* dibanding orang Eropa. Hasil riset Oliver dengan menggunakan Seashore test untuk mengukur kemampuan musikal menunjukkan bahwa para mahasiswa Afrika Barat memperoleh skor lebih tinggi untuk diskriminasi kenyaringan suara, diskriminasi durasi ton, dan identifikasi ritme, dibanding mahasiswa Amerika. Tetapi mahasiswa Afrika Barat itu mendapat skor rendah untuk diskriminasi pitch, diskriminasi timbre, dan memori nada. Dia menemukan juga bahwa hanya dua tes untuk timbre dan tonal yang berkorelasi dengan inteligensi, dan ini mungkin disebabkan oleh sulitnya memahami industri musik. Menurut Oliver, masuknya elemen2 pribumi dalam item-item test, kesulitan bahasa, dan instruksi sebagai penyebab perbedaan skor tersebut. Jadi studi Oliver mendukung pandangan bahwa proses perseptual dan sensoris memengaruhi fungsi2 mental. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan lintas budaya dianggap sebagai hasil pengalaman kultural atau warisan rasial. **3. Fungsi-fungsi sensoris** Mengapa terdapat perbedaan lintas budaya dalam hal reaksi terhadap stimuli sensoris yang sederhana? Ada 4 penyebab, yaitu (a). Pengaruh langsung kondisi fisik, (b). Pengaruh tak langsung kondisi fisik, (c). Faktor genetis, dan (d). Perbedaan kultural dalam interaksi dengan lingkungan. a\. Pengaruh langsung kondisi fisik, Hasil riset Reuning dan Wortley (1973) dengan responden penduduk Bushmen di Kalahari dengan orang Denmark dan AS menunjukkan bahwa ketajaman pendengaran orang Bushmen lebih baik pada frekuensi tinggi (sampai 8000 Hs) dibanding responden asal Denmark dan AS. Perbedaan itu lebih jelas pada responden yang lebih tua. Berarti bahwa di gurun Kalahari kurang terjadi kemunduran dalam pendengaran ketika orang tambah tua. Kedua peneliti menambahkan bahwa perbedaan itu bisa juga disebabkan oleh faktor-faktor lain, seperti diet. Tapi mereka cenderung menganggap rendahnya tingkat kebisingan lingkungan di Kalahari sebagai faktor utama. b\. Pengaruh tak langsung kondisi fisik, Contoh pengaruh tak langsung adalah rendahnya nutrisi. Hasil riset menunjukkan bahwa para pekerja kulit hitam di industri pertambangan Afrika selatan memiliki adaptasi terhadap kegelapan lebih lama dibanding orang Afrika selatan kulit putih. Diet yang rendah dianggap sebagai penyebab rendahnya vitamin A, yang pada gilirannya menyebabkan kurang berfungsinya retina pada kondisi kurang sinar. Banyak pekerja tambang menderita sakit liver subklinis (cirrhosis) yang dikaitkan dengan tingginya kasus penyakit nutrisional di awal masa anak-anak. Hasil riset ini mendukung pandangan dewasa ini bahwa faktor utama yang menyebabkan perbedaan kultural dalam sensasi dan performans motor adalah kurang gizi dan penyakit. Riset Bleichrodt dkk di Indonesia dan Spanyol tentang penyakit goiter endemik menunjukkan bahwa penyakit memengaruhi kemampuan psikomotor dan kognitif. Goiter adalah pembesaran *thyroid gland* yang disebabkan oleh kekurangan iodium, dan itu dikaitkan dengan cretinisme, yakni sindrom yang ciri-cirinya adalah mental deficiency dan abnormalitas neurologis. Mereka menemukan anak-anak di daerah pedalaman yang kekurangan iodium mendapat skor rata-rata jauh lebih rendah dibanding anak-anak dari wilayah berdekatan yang airnya mengandung cukup iodium. c\. Faktor genetis Para ilmuwan berpendapat bahwa trait-trait genetik muncul dengan frekuensi berbeda di berbagai populasi. Bukti paling jelas adalah perbedaan dalam tingkat kebutaan warna merah biru. Penelitian Rivers (1901) menemukan bahwa frekuensi kebutaan warna merah-hijau jauh lebih rendah di sejumlah kelompok non-Eropa dibanding kelompok Eropa. Dalam kerangka teori evolusi, fenomena ini paling banyak terjadi pada masyarakat pemburu dan peramu. Riset lain menunjukkan bahwa sekitar 30% orang Eropa mengalami "buta rasa" *(taste blind)* karena mengkonsumsi bahan *phenylthiocarbamide atau thiocarbamide* lain yang rasanya pedas. Sebaliknya orang Afrika dan Amerika pribumi yang biasanya tidak terlalu banyak mengkonsumsi bahan ini tidak mengalami hal tersebut. Penduduk Asia timur biasa mengalami gejala *alcoholic flush*, yakni wajah memerah, kalau mengkonsumsi hanya beberapa teguk minuman alkohol. Gejala ini jarang ditemukan di kalangan orang keturunan Eropa. Praktik sosialisasi dan enkulturasi umumnya dilihat sebagai pemicu utama perbedaan dalam sensitivitas dan diskriminasi sensori. Dari perbedaan sensasi yang dilaporkan dalam kepustakaan, banyak berkaitan dengan preferensi yang terkondisi secara sosial atau ketidaksukaan akan stimuli. d\. Perbedaan kultural dalam interaksi dengan lingkungan. Riset oleh Kuwano, Namba, dan Schick (1986) tentang dampak kebisingan lingkungan menemukan adanya sedikit perbedaan antara orang Jepang, Inggris Raya, dan Jerman Barat dalam merasakan kerasnya *(loudness)* kebisingan. Menurut para peneliti itu, perbedaan ini disebabkan oleh faktor sosiokultural (berdasarkan tingkat toleransi) dan bukannya karena dampak sensori atau variabel perseptual lain. Beberapa perbedaan dalam preferensi atau nilai hedonistik stimuli sensori juga ditemukan dalam studi-studi tentang rasa *(taste).* Para responden Cina, misalnya, menilai *sucrose* berkonsentrasi rendah lebih enak daripada responden Amerika Eropa di AS. Orang Amerika asal Afrika juga lebih suka makanan yang manis. Peran pengalaman cukup jelas disini, karena preferensi untuk *sucrose* dapat dimanipulasi oleh diet. Eksperimen lain juga menunjukkan bahwa orang lebih menyukai rasa yang netral bila ketika akan menikmati cita rasa yang digemari. Pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah perbedaan2 dalam fungsi2 sensori berdiri sendiri atau punya kaitan dengan hal-hal lain. Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa perilaku kompleks merupakan hasil dari banyak kemampuan elementer dan skill. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa anak-anak belajar untuk memperhatikan stimuli tertentu dan akhirnya terbiasa dengan stimuli tertentu. Pertanyaannya, apakah semua ini pada gilirannya menyebabkan perkembangan kemampuan2 yang lebih kompleks? Sebelum kemerdekaan di Afrika, diketahui bahwa orang Afrika pada umumnya memiliki pendengaran yang lebih unggul dibanding orang Eropa yang biasanya unggul dalam stimuli penglihatan. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Biesheuvel dan Ombredane, dan merupakan contoh dari "hipotesis kompensasi" (*compensation hypothesis*). Rivers sudah mengatakan sebelumnya bahwa perhatian yang terlalu banyak terhadap stimuli sensori dapat menghambat perkembangan intelektual. Formulasi lebih baru dari hipotesis kompensasi lebih sempit, yaitu menyangkut keseimbangan antara berbagai modalitas. Pada tahun 1960-an pandangan McLuhan menekankan keunggulan modalitas visual pada masyarakat Barat, sedangkan Wober menyebut apa yang dinamakannya "sensotypes" yang berbeda pada berbagai kebudayaan dalam hal peran modalitas sensori. Yang pasti, belum ada penjelasan teoretis yang memuaskan tentang antesedens kultural yang menyebabkan keunggulan persepsi pendengaran orang Afrika. Bukti empiris tentang pentingnya tanda pendengaran atau kinestetis bagi orang Afrika juga masih sangat langka. Wober yang melakukan riset dengan responden Nigeria menemukan skor cukup tinggi bagi *proprioceptive cues*, tapi itu dipertanyakan karena alasan metodologis. Poortinga (1971) melakukan serangkaian eksperimen tentang transmisi informasi dengan stimuli auditori dan visual serentak terhadap para mahasiswa Afsel kulit hitam dan kulit putih, tapi tidak menemukan bukti yang mendukung teori tentang keunggulan orang kulit hitam dalam hal pendengaran. Studi-studi lintas budaya dengan stimuli sensori sedehana memang tertinggal sejak tahun 1950-an. Dalam bibliografi dengan 3.122 entry tentang Afrika sebelah selatan Sahara, mencakup periode 1960-1975, Andor (1983) menyebut hanya sembilan studi tentang basis sensori dari persepsi. Ini mencerminkan keyakinan kontemporer bahwa perbedaan sensoris tidak terlalu penting. Menurut Berry et al. perbedaan lintas budaya dalam hal dampak stimuli terhadap sensori tidak berlaku umum. Perbedaan harus dijelaskan berdasarkan variabel lain di luar sistem perseptual. **4. Persepsi pola dan gambar** Gambar di bawah ini diambil dari studi tentang pengenalan gambar pada masyarakat Mekan (Me'en), sebuah kelompok terasing di Etiopia, yang tidak terbiasa melihat gambar. Mereka memang akhirnya dapat mengatakan bahwa itu gambar macan tutul, tapi dengan susah payah dan makan waktu lama. Ketika orang Mekan melihat gambar, mereka tidak hanya menggunakan mata. Ada yang menyentuh-nyentuh kanvas, bahkan kadang-kadang menciumnya. Ini sesuai dengan berbagai laporan yang mengatakan bahwa persepsi tentang gambar representasional, bahkan foto hitam putih, tidak selalu mudah bagi kebudayaan-kebudayaan yang tidak mengenal tradisi gambar. Gambar yang idiosinkratik secara kultural dapat menyebabkan orang sulit memahami sebuah gambar. Winter misalnya, memperlihatkan poster-poster tentang keselamatan kerja dan bertanya kepada para buruh industri kulit hitam Afrika selatan gambar apa yang mereka lihat. Konsep seniman terkadang sulit dipahami, karena makna simbolis (misalnya, bintang merah tandanya seseorang dipukul) dalam gambarnya disalahartikan. Tapi misinterpretasi akan jauh lebih sedikit di kalangan penduduk urban dibanding responden pedesaan. Juga misinterpretasi cenderung berkurang sejalan dengan jumlah tahun sekolah dari para responden. Contoh lain tentang ketidakcocokan suatu pesan dan persepsi terjadi dalam gambar dimana seorang mengulurkan satu tangan untuk menerima sesuatu, yang sering dianggap sebagai sikap untuk memberi sesuatu. Contoh-contoh ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan peneliti persepsi. Sebagian peneliti berpendapat gambar pada dasarnya tidak bersifat arbitrer, karena kebiasaan kultural tentang bagaimana merepresentasikan suatu obyek. Kode merupakan konvensi yang dipelajari oleh anggota kebudayaan tertentu dan dipatuhi tanpa sadar. Tapi Gibson sebaliknya berpendapat bahwa gambar dapat mewakili obyek atau pemandangan karena memuat informasi bagi orang yang mempersepsi sesuai dengan informasi dari lingkungan aktual. **5. Pola dan Gambar sederhana** Gambar seperti macan tutul cukup kompleks dan melibatkan gaya artistik yang berakar pada budaya. Lebih mudah kalau melihat gambar-gambar yang sederhana. Ada data yang memperlihatkan perbedaan kultural dalam memahami ilusi visual dua dimensi dan geometrik. Item bilaterial (a) dan simetris rotasional (b). Para responden menjawab dengan membuat tanda menggunakan pinsil pada dua lubang kecil pada gambar bujur(oblong) dan gambar salingannya. Hasil riset menunjukkan bahwa gambar simetri bilateral mudah ditangkap. Reuning dan Wortley sangat terkejut ketika menemukan betapa mudahnya orang-orang Bushmen memahami pola-pola yang belum dikenal ini. Bahkan yang paling bodoh pun dapat menemukan jawaban untuk beberapa pertanyaan. Tes untuk simetri rotasional mendapat skor cukup tinggi, meskipun ada kesulitan dalam menjelaskan dan menunjukkan bentuk simetri ini dengan prosedur pengaturan yang sesuai. Analisis terhadap jawaban yang salah tentang item-item simetri oleh Bushmen dan beberapa kelompok lain di Afsel menyimpulkan bahwa kesalahan dapat diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu *pertama*, kurang tepat menempatkan bujur segiempat tepat di posisi yang benar; *kedua*, kesalahan yang menyebabkan pola-pola reguler, tapi tidak sesuai dengan prinsip simerti. Sering bukan simetri bilateral tapi simetri translational yang ditemukan. Karakter tidak acak dari jawaban-jawaban yang salah dapat menjadi topik investigasi. Ini dapat dijelaskan dengan riset tentang perubahan orientasi antara original dan copy yang diperlihatkan responden ketika diminta untuk menggambar lagi atau merekonstruk pola-pola. Responden yang sekolahnya rendah cenderung menghasilkan pola-pola orientasi yang berbeda dari yang asli. Daregowski menemukan bahwa kesalahan rotasi dalam reproduksi pola-pola seperti itu cenderung mengarah ke stabil. Suatu pola stabil bila salah satu tepian paralel denga tepi meja dimana responden duduk. Jahoda juga menemukan bahwa anak-anak di Ghana membuat kesalahan orientasi lebih banyak dibanding anak-anak di Skotlandia dalam reproduksi pola-pola dengan blok2 Kohs. Sebagian dari ini dapat dikaitkan dengan konsep "kesamaan" yang dibentuk secara budaya. Ketika ditanya apakah dua pola, yang komposisinya sama tapi orientasinya berbeda itu sama atau berbeda, anak-anak sekolah Ghana lebih sering menjawab "sama" dibanding anak-anak Skotlandia. Jahoda memperhatikan bahwa responden asal Ghana yang telah disuruh untuk memperhatikan orientasi dan melakukannya selama percobaan awal, akan kembali melalaikan aspek ini selama eksperimen. Menurut Jahoda, sikap untuk menjawab seperti ini nampaknya kuat terbentuk dalam diri sebagian responden, meskipun ada responden lain dapat menerima modifikasi situasional. Eksperimen lain tentang cara menghandle informasi di lintas budaya dilaporkan oleh Cole, Gay, dan Glick (1968). Kepada anak-anak Kpelle (Liberia) dan anak-anak AS diperlihatkan deretan titik-titik selama seperempat detik. Para responden harus menyebut jumlah titik, dari tiga sampai 10 titik. Cole et al menemukan bahwa anak-anak AS lebih unggul pada deretan titik beraturan, sedangkan hampir tidak ada anak Kpelle yang menemukan perbedaan antara kedua jenis stimuli itu. Nampaknya kedua kelompok berbeda dalam hal penggunaan informasi struktural untuk stimuli yang berpola. Pada umumnya para psikolog berpendapat bahwa pengalaman spesifik (atau kurangnya pengalaman spesifik) yang menyebabkannya. Pendapat ini tidak memungkinkan kita untuk memprediksi secara akurat apakah suatu tugas akan mudah atau sulit bagi kelompok tertentu. Reuning et al. terkejut ketika menemukan bahwa orang-orang Bushmen dapat memahami simetri begitu baik. Tapi temuan oleh Jahoda bahwa anak-anak Ghana cenderung melalaikan orientasi meskipun ada instruksi lengkap, juga mengejutkan. Itu berarti, dampak dari kondisi kultural terhadap persepsi sederhana hingga kini masih belum diketahui. **6. Persepsi dan realitas** Persepsi tentang dunia belum tentu mewakili secara persis realitas fisik dunia. Persepsi visual tidak sepenuhnya faktual. Mata kita mempunyai satu titik buta. Dinamakan titik buta karena tidak memiliki reseptor (penerima sensorik) karena saraf optik berada di balik lapisan sel-sel reseptor untuk menuju ke otak. Kalau satu mata ditutup, kita masih melihat dunia seakan-akan utuh. Tidak ada titik buta dalam kesadaran kita. Jadi, meskipun ada area di mata tidak menerima cahaya, bagian visual itu tidak dapat dilihat sebagai suatu yang hilang. Otaklah yang mengisinya sehingga seakan-akan seluruh wilayah visual terlihat. Dengan kata lain, persepsi kita tentang dunia yang "penuh" tidak selalu cocok dengan realitas fisik sensasi yang diterima lewat sistem penglihatan. Begitu pula pengalaman dengan temperatur dan sentuhan. Ada tiga mangkuk: mangkuk A berisi air panas, B berisi air es, C berisi air hangat. Bila tangan dimasukkan ke mangkuk A selama beberapa detik, kemudian tangan dipindahkan ke mangkuk C, maka air hangat itu akan terasa dingin. Beberapa menit sesudahnya, bila tangan dimasukkan ke mangkuk B, kemudian ke mangkuk C, maka air hangat akan terasa hangat. Temperatur air hangat tidak berubah. Yang berubah adalah persepsi kita tentang itu. a\. Persepsi dan pengalaman Bagaimana pengalaman dan keyakinan memengaruhi persepsi? Persepsi itu berubah. Itu dijelaskan misalnya dengan eksperimen dengan mangkuk-mangkuk tadi. Persepsi juga berubah kalau kita mengetahui lebih banyak tentang sesuatu. Pertama kali ketika melihat mesin mobil (dengan membuka cap mobil), nampaknya seperti kacau balau, bagi orang yang awam dengan mobil. Tapi bagi orang yang sudah belajar mesin, apa yang dilihat itu tidak kacau balau, tapi sudah terdiferensiasi jadi bagian-bagian spesifik: karburator, blok mesin, alternator, dll. Bagi yang tidak tahu mesin, mesin itu kelihatan seperti satu benda saja. Jadi, pengetahuan danpengalaman memengaruhi persepsi. Demikian pula, pemain catur dan bukan pemain catur melihat permainan catur secara berbeda. Pecatur yang melihat permainan catur, tidak sekedar melihat buah-buah catur yang tersebar acak di papan catur. Mereka melihat lebih dari itu, misalnya pertahanan Sisilia yang bertahan lawan serangan pion. Sedangkan yang bukan pecatur, hanya melihat buah-buah catur dan papan catur. Penelitian Chase dan Simon (1973) menemukan bahwa ketika orang belajar lebih banyak tentang sesuatu, mereka akan melihatnya secara berbeda dari saat pertama kali melihat. Jadi, bagaimana kita "melihat" sesuatu, akan berbeda seiring dengan pengalaman kita tentang hal itu. Perbedaan kultural juga akan menyebabkan perbedaan persepsi. Ini dapat dijelaskan dengan anekdot berikut ini yang diceritakan seorang guru di Australia. Di sebuah sekolah suku aborigin, guru ini sedang mencoba mengajarkan permainan "Siapa Menyentuhku?" (*Who Touched Me?).* Anak-anak berdiri melingkar, dan seorang anak ditutup matanya dengan ikatan. Kemudian ada anak yang berjalan diam-diam dan menyentuh anak yang ditutup matanya itu. Lalu tutup itu dibuka, dan anak yang tadinya ditutup matanya itu harus menebak siapa yang tadi menyentunya. Sang guru melihat bahwa anak-anak aborigin itu sebenarnya tidak mau bermain, tapi untuk menghormati gurunya, mereka ikut bermain. Sesudah permainan itu, guru menemukan bahwa siswa-siswa itu tidak kooperatif dan enggan melakukan apapun yang ia suruh. Mereka menolak belajar alfabet. Sang guru mengira anak-anak itu sedang berpura-pura bodoh atau nakal. Sesudahnya guru menyadari bahwa anak-anak aborigin itu bisa dengan mudah melihat tapak kaki siapa yang ada di tanah hanya dengan melihat sepintas. Jadi, guru itu sadar bahwa sebenarnya tadi dia meminta mereka untuk memainkan sesuatu yang mereka anggap sangat bodoh. Bagi anak-anak aborigin itu, permainan itu begitu mudah sampai mereka tidak mengerti kenapa itu bisa menjadi suatu permainan. Saat anak-anak aborigin tahu bahwa guru mereka tidak bisa membedakan jejak kaki orang, mereka mengira gurulah yang bodoh. Karena tidak ada gunanya memperhatikan guru yang bodoh, anak-anak itu hanya menghibur guru agar tidak mendapat masalah. Tapi mereka tidak mau secara serius menanggapi guru atau ide-idenya tentang apa yang harus dipelajari. b\. Persepsi pengecapan Ada empat saraf pengecapan, yakni yang peka rasa manis, rasa asam, rasa pahit, dan rasa asin. Bayi baru lahir hanya punya sedikit saraf pengecapan. Usia 3-10 tahun paling banyak saraf pengecapan. Sesudah 10 tahun, semakin tua, saraf pengecapan berkurang dengan kecepatan berbeda-beda. Yang lebih cepat hilang ialah saraf untuk rasa pahit dan asam. Perubahan selerah makan, sebagiannya disebabkan oleh perubahan proporsi jenis-jenis saraf pengecapan di mulut. Anak-anak suka makanan manis, dan pilih-pilih dengan makanan secara umum. Ini mungkin disebabkan makanan yang sama punya rasa berbeda bagi anak-anak dan orang dewasa. Batang coklat mungkin terasa terlalu manis bagi orang tua yang memang punya lebih banyak saraf manis ketimbang pahit dan asam. Bagi anak berusia 3 tahun (punya lebih banyak saraf pahit dibanding orang dewasa) coklat yang sama mungkin terasa masih pahit. Anak-anak rupanya mempelajari apa yang beracun melalui rasa. Hampir semua racun rasanya pahit atau asam. Maka, dengan tidak makan yang pahit atau asam, anak-anak belajar untuk tidak mengkonsumsi tumbuhan yang beracun. Saat anak tidak mampu membedakan rasa pahit dan asam, mereka sudah cukup tua untuk bisa mengingat tumbuhan mana yang rasanya enak mana tidak enak. Kalau di Amerika orangtua menyuruh anak untuk menghabiskan sayurnya sebelum makan hidangan penutup, itu akan ditertawakan oleh orang suku asli dari gurun Kalahari. Mereka mengira orangtua Amerika itu gila karena melarang anak-anaknya belajar tentang makanan dengan mencegah mereka makan makanan yang rasanya enak. **7. Pengaruh Budaya pada Persepsi Visual** Situasi dan pengalaman berbeda membuat banyak hal terlihat berbeda. Ini jadi dasar mengapa budaya bisa memengaruhi persepsi. Persepsi bervariasi secara lintas budaya dalam hal-hal yang amat mendasar. a\. Pengetahuan tradisional tentang ilusi visual Ilusi optik adalah persepsi yang mengandung diskrepansi atau perbedaan antara kenampakan sebuah benda dengan benda itu sesungguhnya. Sering ilusi optik terjadi karena asumsi yang keliru tentang karakteristik stimulus dari benda yang dipersepsi. Ilusi optik yang terkenal adalah Ilusi Mueller-Lyer, ilusi horizontal-vertikal, dan ilusi Ponzo. Pada ilusi Mueller-Lyer, dua garis yang masing-masing memiliki tanda panah di ujungnya. Pada satu garis, tanda panah mengarah keluar, menjauhi garisnya, sedangkan pada garis lain tanda panahnya mengarah ke dalam. Penelitian menunjukkann bahwa orang yang melihat kedua gambar itu biasanya menilai bahwa garis dengan panah mengarah ke dalam itu lebih panjang. Tapi ini hanya ilusi, karena kedua garis sebenarnya sama panjang. Pada ilusi horisontal/vertikal, dua garis yang sama panjang ditempatkan secara saling tegak lurus. Orang yang melihat biasanya menilai garis vertikal lebih panjang. Ini juga ilusi sebab kedua garis itu sebetulnya sama panjang. Pada ilusi Ponzo, dua garis horisontal ditempatkan sejajar, satu di atas yang lain. Setelah itu ditarik dua garis diagonal yang lebih rapat di ujung atas daripada di bawah. Orang yang melihat gambar ini biasanya mengatakan garis horisontal yang ada di atas lebih panjang dari garis horisontal di bawahnya. Ini juga ilusi sebab kedua garis itu sebenarnya sama panjang. b\. Tiga Teori tentang Ilusi Optik Mengapa terjadi ilusi optik? Ada tiga teori utama yang menjelaskan ilusi optik, yaitu Carpentered World Theory, Front-Horiontal Foreshortening Theory, dan Symbolizing-three-dimensions-in-two dimensions. - Carpentered World Theory Menurut *Carpentered World Theory* (Teori Lingkungan Buatan) orang terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk kotak. Kita mendiami dunia dimana terdapat banyak sekali obyek yang dibuat dalam bentuk-bentuk teratur dengan sudut atau pojok berbentuk persegi. Tinggal di lingkungan yang didominasi bentuk kotak, membuat orang secara tidak sadar cenderung menduga akan bertemu dengan benda-benda dengan sudut atau pojok berbentuk kotak. Jika sebuah rumah dipandang dari sudut dimana cahaya yang dipantulkannya tidak tegak lurus dengan mata, orang akan mempersepsinya sebagai rumah dengan sudut persegi. Karena sudah terbiasa lama seperti itu, orang tidak sadar lagi bahwa dia menafsirkan berbagai benda seakan berbentuk persegi, padahal stimulus aktualnya tidak tegak lurus dengan mata. Orang hanya melihatnya seolah-olah berbentuk "persegi". Dalam ilusi Muller-Lyer (lihat gambar-gambar), orang cenderung melihat kedua gambar sebagai sudut-sudut persegi yang memproyeksikan kedalaman ke arah kita atau menjauhi kita. Kita menginterpretasikan garis sebagai lebih panjang kalau garis itu terproyeksi menjauhi kita, dan garis lain lebih pendek bila diproyeksikan mendekati kita. - Front-Horizontal Foreshortening Theory Menurut teori Pemendekan Horisontal-Depan (*Front-Horizontal Foreshortening Theory*), kita menafsirkan garis vertikal di mata kita sebagai garis horisontal yang terentang sampai kejauhan. Maka kita menafsirkan garis vertikal pada ilusi vertikal/horisontal sebagai garis yang terentang menjauhi kita. Kita menduga sebuah garis akan punya ukuran lebih panjang bila berada lebih jauh dari kita. Karena itu, kita melihat garis vertikal lebih panjang dari garis horisontal yang tidak terlihat merentang jauh. Kedua teori ini punya kesamaan. *Pertama*, cara kita "melihat" dunia berubah seiring waktu melalui pengalaman. Karena itu, apa yang kita lihat adalah kombinasi antara bagaimana sebuah obyek memantulkan cahaya ke mata dan hasil belajar tentang cara melihat secara umum. Kita belajar untuk "melihat" benda-benda yang biasanya benar, tapi tidak selalu demikian. Artinya, meski hasil belajar itu membantu untuk melihat dengan baik di banyak kesempatan, hal itu yang justru membuat kita terjebak dalam ilusi optik. *Kedua*, kita hidup dalam sebuah dunia tiga dimensi yang terproyeksikan ke mata dalam dua dimensi. Karena bentuk mata kita hampir rata, berkas cahaya yang memasuki dua titik bersebelahan di mata bisa berasal dari dua benda yang jaraknya sangat berbeda. Kita menafsirkan jarak dan kedalaman dari petunjuk lain selain titik datangnya berkas sinar di mata. Ini terjadi meskipun berkas sinar dari satu benda memasuki mata tepat di samping berkas sinar dari benda lain. - Symbolizing-three-dimensions-in-two-dimensions Theory Menurut teori *Simbolizing-three-dimensions-in-two-dimensions,* pada budaya-budaya Barat orang lebih banyak memperhatikan hal-hal yang tertera di kertas dibanding budaya lain. Orang Barat menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar menfasirkan gambar dari pada budaya non-Barat. Karena itu orang di Papua Nugini dan India, misalnya, lebih sulit tertipu oleh ilusi Muller-Lyer karena gambar tersebut lebih "asing" bagi mereka. Tapi mereka akan lebih tertipu oleh ilusi horisontal/vertikal karena hal itu lebih mewakili cara hidup mereka. Untuk melihat apakah temuan Rivers juga berlaku pada lebih banyak budaya, Segall, Campbell, dan Herskovits (1966) membandingkan orang dari tiga kelompok masyarakat industri dengan 14 kelompok masyarakat non-industri pada ilusi Muller-Lyer dan horisontal/vertikal. Hasilnya menunjukkan, efek ilusi Muller-Lyer lebih kuat pada masyarakat industri dibanding masyarakat non-industri. Sebaliknya, efek ilusi horisontal/bertikal lebih kuat pada kelompok non-industri dibanding kelompok industri. Maka ini mendukung temuan Rivers. Segall dkk juga menemukan beberapa bukti yang tidak mendukung ketiga teori di atas. Mereka menemukan bahwa efek ilusi-ilusi tersebut menurun dan lama-lama hilang sejalan dengan bertambahnya usia. Hal ini menjadi masalah bagi ketiga teori di atas, karena mustinya efek dari ilusi justru akan meningkat seiring bertambahnya usia karena orang yang lebih tua lebih berpengalaman dengan lingkungan dibanding orang lebih muda. Wagner (1977) mengkaji persoalan ini dengan menggunakan beberapa versi ilusi Ponzo dan membandingkan jawaban orang-orang dari lingkungan pedesaan dan kota, yang sebagian melanjutkan pendidikan dan sebagiannya tidak. Salah satu versi ilusi Ponzo yang digunakan adalah yang ditampilkan dalam gambar e. Versi lain memuat konfigurasi garis yang sama namun ditampilkan dalam ilustrasi lengkap. Wagner menemukan bahwa pada gambar garis yang sederhana, efek ilusi ini menurun seiring bertambahnya usia pada semua kelompok. Pada versi dimana garis-garis ilusi termuat sebagai bagian dari sebuah ilustrasi, ia menemukan bahwa efek ilusinya akan meningkat seiring pertambahan usia hanya pada kelompok dari kota dan yang melanjutkan pendidikan. Ini membuktikan pengaruh lingkungan perkotaan dan pengalaman sekolah pada ilusi Muller-Lyer. Pollack dan Silvar (1967) memperlihatkan bahwa efek ilusi Muller-Lyer berhubungan dengan kemampuan untuk mendeteksi kontur, dan kemampuan ini akan berkurang sejalan dengan bertambahnya usia. Mereka juga menemukan bahwa semakin tua dan semakin banyak terkena sinar matahari, semakin sedikit cahaya yang bisa masuk ke mata. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan orang untuk melihat garis-garis dalam ilusi. Pollack dan Silvar juga memperlihatkan bahwa pigmentasi retina berkaitan dengan kemampuan mendeteksi kontur. Orang non-Eropa memiliki lebih banyak pigmentasi retina dan sebab itu tidak sebaik orang Eropa dalam mendeteksi kontur. Maka menurut Pollack dan Silvar, perbedaan-perbedaan kultural dapat dijelaskan oleh perbedaan rasial dalam pigmentasi retina. Untuk memastikan teori mana yang benar (teori rasial atau teori pembelajaran lingkungan), Stewart (1973) berpendapat ras dan lingkungan harus dibandingkan sendiri-sendiri seperti dilakukan oleh Segall dkk. Maka Stewart menguji efek ilusi Muller-Lyer pada anak-anak kulit hitam dan kulit putih yang tinggal di kota yang sama, yaitu Evanston (Illinois). Dia tidak menemukan perbedaan antara kedua kelompok ini. Stewart kemudian membandingkan beberapa kelompok anak-anak usia sekolah dasar di Zambia yang berasal dari lingkungan kota yang penuh dengan benda arsitektur serta yang berasal dari lingkungan pedesaan yang minim benda arsitektur. Dia menemukan bahwa efek ilusi ini tergantung pada sejauh mana seorang anak tinggal di lingkungan berarsitektur. Dia juga menemukan bahwa seiring bertambahnya usia, efek ilusi ini makin berkurang, yang menunjukkan bahwa baik basil belajar maupun sifat bawaan punya peran dalam perbedaan kultural. c\. Fenomena Suku Bantu Hudson (1960) mencoba mengembangkan tes proyektif mirip Thematic Apperception Test untuk digunakan pada suku Bantu di Afrika Selatan. Ia meminta seorang seniman untuk membuat gambar-gambar yang diduga akan membuat anggota suku Bantu memikirkan emosi-emosi mereka yang mendalam. Tapi justru ditemukan bahwa anggota suku Bantu sering melihat gambar-gambar tersebut dengan cara yang berbeda. Mereka seringkali tidak menggunakan ukuran relatif sebagai petunjuk kedalaman. Dalam ilustrasi, kita akan cenderung melihat bahwa si pemburu siap melemparkan tombaknya pada kijang yang berada di latar depan, sementara ada seekor gajah yang berdiri di atas bukit sebagai latar belakang. Banyak anggota suku Bantu justru melihat bahwa si pemburu dalam gambar sedang bersiap melemparkan tombak ke gajah yang masih bayi itu. Pada gambar lain, ada seorang orator yang tampak sedang melambaikan tangan dengan sebuah pabrik di latar belakangnya. Dalam persepsi orang suku Bantu, si orator tersebut dianggap sedang menghangatkan tangannya di atas cerobong-cerobong asap kecil sebuah pabrik. Hudson (1960) menemukan bahwa perbedaan persepsi kedalaman ini terkait dengan pendidikan dan pengalaman dengan budaya Eropa. Dengan kata lain, orang-orang suku Bantu yang terdidik di sekolah-sekolah Eropa, atau punya pengalaman lebih banyak dengan budaya Eropa, akan melihat benda-benda seperti halnya seorang Eropa. Orang-orang suku Bantu yang tak berpendidikan dan asing dengan budaya Barat akan melihat gambar-gambar itu secara berbeda. **8. Penelitian tentang persepsi non-visual** Meski sebagian besar riset sejauh ini meneliti tentang persepsi visual (tepatnya, ilusi optik), tidak berarti tidak ada penelitian-penelitian tentang persepsi selain visual. Meskipun masih sporadik, sudah ada pula riset tentang persepsi rasa sakit, ritual, nilai-nilai, kekonstanan, bentuk, disparitas binokuler, warna, dan kategorisasi. Riset tentang rasa sakit dilakukan oleh Laguerre (1981) dan Weisenberg (1982), dan menunjukkan kecenderungan adanya perbedaan kultural dalam persepsi rasa sakit. Ada banyak data anekdotal dan pengalaman yang mendukung hasil temuan ini, terutama dalam kaitan dengan keyakinan kultural tentang rasa sakit dan mutilasi tubuh. Terkait nilai, sudah ada riset tentang perbedaan budaya dalam persepsi nilai stoisisme (kemampuan menahan rasa sakit) dan *perseverance* (ketekunan dalam mengejar tujuan). **9. Kesimpulan** Sebagian besar penelitian yang dikemukakan di atas terfokus pada bagaimana kebudayaan turut membentuk atau mengkonstruksi cara kita mempersepsi lingkungan secara visual. Penelitian tentang ilusi optik menunjukkan bahwa persepsi merupakan proses konstruksi (proses menyusun keping-keping informasi agar menjadi bermakna). Karena merupakan konstruksi, kita mempelajari persepsi seiring perkembangan individu sejak lahir, masa anak-anak, remaja, dan masa dewasa. Karena dipelajari, persepsi bisa dibentuk, diubah, dan dipengaruhi oleh kebudayaan dimana orang dibesarkan. Karena itu cara orang mempersepsi dunia di sekitar, terutama bagi orang dewasa, dipengaruhi oleh bagaimana budaya membantu mempelajari cara mengkonstruksi makna dan pemahaman dari informasi sensorik yang diterima lewat indera. Jadi, meski persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti usia, kematangan, lingkungan, dan situasi, tapi latar belakang kebudayaan tetap merupakan penentu yang memengaruhi persepsi kita terhadap dunia. Meski kebanyakan orang Amerika percaya pada pepatah "yang bisa dilihat pasti bisa dipercaya", tapi pembahasan di atas menunjukkan bahwa kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada apa yang kita lihat, karena penglihatan sebenarnya berbeda dari dunia faktual. Apa yang kita lihat juga mungkin sekali berbeda dari apa yang dilihat dan diyakini oran glain dari kebudayaan berbeda. Pengaruh budaya pada persepsi ini mempertanyakan pandangan bahwa suatu budaya (budaya Amerika, misalnya) lebih mampu menangkap kebenaran absolut dibanding kebudayaan lain. Sumber: Berry et.al. 2003. *Cross-Cultural Psychology. Research and Application*, second edition. Cambridge University Press. Matsumoto, David. 1994. *People. Psychology from a Cultural Perspective*. Brooks/Cole Publishing Company: USA Segall. Marshall, H. 1979. *Cross-Cultural Psychology. Human Behavior in Global Perspective*. Brooks/Cole Publishing Company.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser