🎧 New: AI-Generated Podcasts Turn your study notes into engaging audio conversations. Learn more

9455b-buku-pembangunan-ketahanan-keluarga-2016 (1)-pages-2.pdf

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

Full Transcript

KETAHANAN FISIK 5 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengand...

KETAHANAN FISIK 5 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa ‘kemampuan fisik materil’ merupakan syarat utama tercapainya ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Ketahanan fisik dapat tercapai jika keluarga telah terpenuhi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan (indikator: pendapatan per kapita melebihi kebutuhan fisik minimum) dan terbebas dari masalah ekonomi (indikator: terbebas dari masalah ekonomi) (Sunarti dalam Puspitawati, 2012). Dari penjelasan di atas diketahui bahwa pembahasan mengenai ketahanan fisik sangat luas dan tidak terlepas dengan kondisi ekonomi keluarga. Oleh karena itu, pembahasan pada bab ini akan difokuskan pada ulasan tentang kecukupan pangan dan gizi, kesehatan keluarga, dan ketersediaan tempat/lokasi tetap untuk tidur. Sedangkan pembahasan terkait kondisi ekonomi keluarga akan dijelaskan dalam bab ketahanan ekonomi. 5.1 KECUKUPAN PANGAN DAN GIZI Dalam membentuk keluarga yang mempunyai ketahanan fisik yang bagus, maka sangat penting untuk memperhatikan kecukupan pangan dan status gizi yang baik bagi seluruh anggota keluarga. Kondisi fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, sedangkan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Kekurangan asupan pangan dan gizi dapat mengakibatkan seseorang menjadi lebih rentan terkena berbagai macam gangguan kesehatan dan penyakit. Sebaliknya, tercukupinya kebutuhan pangan dan status gizi yang baik dapat meningkatkan ketahanan fisik seseorang, sehingga dia dapat beraktifitas secara normal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |63 63 Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Kuantitas dan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi asupan gizi sehingga akan mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Untuk itu, pemerintah telah memberikan panduan konsumsi makanan sehari-hari dan berperilaku sehat berdasarkan prinsip konsumsi aneka ragam pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik, dan memantau berat badan secara teratur dalam rangka mempertahankan berat badan normal, yang tertuang dalam Pedoman Gizi Seimbang (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang). 5.1.1 Kecukupan Pangan Konsumsi makan sehari-hari harus mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah (porsi) yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Padahal tidak semua zat gizi yang diperlukan tubuh terdapat dalam satu jenis makanan, oleh karena itu, pemerintah sangat menganjurkan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang beraneka- ragam. Dalam Pedoman Gizi Seimbang disebutkan bahwa setiap hari tubuh membutuhkan asupan protein nabati sebanyak 2-3 porsi, protein hewani 2-3 porsi, makanan pokok 3-8 porsi, sayuran 3-5 porsi, buah 3-5 porsi dan minum air mineral minimal 8 gelas. Asupan gizi tersebut dapat terpenuhi dari makanan pokok dan lauk- pauk yang biasa dikonsumsi setiap hari. Informasi mengenai kecukupan pangan dan gizi tidak dikumpulkan secara rinci dalam survei-survei yang dilakukan BPS. Satu-satunya data yang dapat dimanfaatkan adalah data Susenas 2015 yang mengumpulkan informasi terkait pola konsumsi makanan seluruh anggota rumah tangga. Makanan yang dikonsumsi hanya dibedakan menjadi makanan pokok, lauk pauk nabati, dan lauk pauk hewani yang berprotein tinggi. Selain itu, informasi yang dikumpulkan hanya mencakup frekuensi konsumsi makanan selama seminggu terakhir. Oleh karena itu, rumah tangga yang cenderung memiliki ketahanan keluarga yang lebih tangguh apabila seluruh ART-nya dapat mengkonsumsi makanan pokok dengan lauk nabati atau hewani minimal dua kali sehari atau setara dengan 14 kali dalam seminggu. Informasi tersebut diharapkan sudah dapat digunakan untuk menggambarkan kecukupan pangan keluarga di Indonesia. Terdapat fakta bahwa hanya 28,84 persen rumah tangga yang seluruh anggota rumah tangganya mengkonsumsi makanan pokok dengan lauk pauk protein nabati atau protein hewani sebanyak 14 kali dalam seminggu (Gambar 5.1). Jika satu kali konsumsi makanan setara dengan satu porsi, maka masih banyak rumah tangga di Indonesia yang berpotensi mengalami masalah kekurangan gizi karena kebutuhan minimum asupan makanan pokok dan protein (nabati maupun hewani) per hari belum terpenuhi. Kondisi tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi. Bahkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya sekitar 9,52 persen rumah tangga yang seluruh 64 64| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 anggota rumah tangganya mengkonsumsi makanan pokok dengan lauk protein nabati atau protein hewani sebanyak 14 kali dalam seminggu (Gambar 5.3). Gambar 5.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Anggota Rumah Tangga (ART) yang Makan Makanan Pokok dengan Lauk Pauk Nabati/ Hewani Minimal 14 Kali Seminggu, 2015 67,68 74,67 71,16 32,32 28,84 25,33 Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Seluruh ART Tidak Seluruh ART Sumber : Susenas MSBP 2015 Gambar 5.2 Persentase Rumah Tangga Menurut Banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang Makan Minimal 14 Kali Seminggu Berdasarkan Jenis Makanan, 2015 Makanan Pokok 86,58 13,42 Lauk Pauk Nabati 18,78 81,22 Lauk Pauk Hewani 17,10 82,90 Seluruh ART Tidak Seluruh ART Sumber : Susenas MSBP 2015 Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |65 65 Jika dilihat secara terpisah menurut pola konsumsi makanan pokok, protein nabati dan protein hewani terlihat bahwa konsumsi makanan pokok jauh lebih besar daripada konsumsi protein nabati maupun hewani. Sekitar 86 persen rumah tangga di Indonesia telah memenuhi kebutuhan asupan makanan pokok minimal 14 kali dalam seminggu (Gambar 5.2). Namun hanya sekitar 17-18 persen rumah tangga yang semua anggota rumah tangganya mengkonsumsi protein nabati dan hewani minimal 14 kali dalam seminggu. Hal ini mengakibatkan kebutuhan asupan makanan demi tercapainya gizi seimbang berpotensi tidak terpenuhi. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus dalam jangka waktu yang lama, maka akan berdampak pada status gizi dan ketahanan fisik seseorang, yang pada akhirnya berpotensi mengganggu ketahanan keluarga. Pola konsumsi yang sama terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Hanya Papua (71,10%) dan Maluku Utara (79,17%) yang konsumsi terhadap makanan pokok anggota rumah tangganya masih di bawah 80 persen. Pada beberapa provinsi, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku Utara, konsumsi lauk pauk nabati mempunyai persentase yang rendah, namun konsumsi lauk pauk hewani di provinsi tersebut tergolong tinggi. Sebaliknya, konsumsi lauk pauk hewani di Lampung sangat rendah (3,59%) namun diimbangi dengan konsumsi lauk pauk nabati yang tergolong tinggi (15,12%). Hanya di Nusa Tenggara Timur yang mempunyai konsumsi terhadap lauk pauk nabati dan hewani yang relatif rendah yaitu sebesar 2,86 persen untuk lauk pauk nabati dan sebesar 7,72 persen untuk lauk pauk hewani. Persentase rumah tangga menurut banyaknya ART yang mengkonsumsi makanan pokok, lauk nabati, dan lauk hewani per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 5.2. 66 66| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 5.3 Persentase Rumah Tangga yang Seluruh Anggota Rumah Tangga (ART) Makan Makanan Pokok dengan Lauk Pauk Nabati/ Hewani Minimal 14 Kali Seminggu Menurut Provinsi, 2015 Aceh 34,36 Sumatera Utara 26,50 Sumatera Barat 25,71 Riau 23,40 Jambi 15,24 Sumatera Selatan 16,71 Bengkulu 13,75 Lampung 15,57 Kep. Bangka Belitung 36,91 Kepulauan Riau 37,97 DKI Jakarta 25,03 Jawa Barat 18,27 Jawa Tengah 31,65 DI Yogyakarta 32,41 Jawa Timur 37,07 Banten 25,86 Bali 30,48 Nusa Tenggara Barat 26,22 Nusa Tenggara Timur 9,52 Kalimantan Barat 13,61 Kalimantan Tengah 45,97 Kalimantan Selatan 69,78 Kalimantan Timur 34,54 Kalimantan Utara 41,15 Sulawesi Utara 45,74 Sulawesi Tengah 32,27 Sulawesi Selatan 55,28 Sulawesi Tenggara 52,05 Gorontalo 61,04 Sulawesi Barat 49,06 Maluku 53,02 Maluku Utara 37,54 Papua Barat 32,44 Papua 10,68 Indonesia : 28,84 Sumber : Susenas MSBP 2015 Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |67 67 5.1.2 Kecukupan Gizi Masalah kekurangan gizi atau kelebihan gizi sering luput dari penglihatan atau pengamatan secara kasat mata sehingga tidak cepat ditanggulangi. Kekurangan gizi dapat menyebabkan terganggunya sistem imun pada tubuh seseorang sehingga mereka lebih mudah terkena penyakit. Demikian pula dengan kelebihan gizi yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang beragam. Jika masalah gizi pada penduduk baik gizi buruk maupun gizi lebih dibiarkan maka dapat membawa dampak (i) rendahnya produktivitas kerja; (ii) kehilangan kesempatan sekolah; dan (iii) kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi (World Bank, 2006). Sejalan dengan itu, orang yang mengalami masalah kekurangan gizi atau kelebihan gizi akan membawa pada kondisi ketahanan fisik yang kurang baik sehingga berdampak pada ketahanan keluarga yang lebih rendah. Informasi mengenai masalah gizi penduduk dikumpulkan secara menyeluruh oleh Kementerian Kesehatan melalui kegiatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan secara berkala setiap 3 tahun sekali. Indikator status gizi yang dikumpulkan mencakup status gizi berdasarkan hasil pengukuran antropometri, yaitu berat badan (BB) terhadap umur (BB/U), tinggi badan (TB) terhadap umur (TB/U), berat badan terhadap tinggi badan BB/TB dan indeks massa tubuh (IMT). Dalam pembahasan selanjutnya, kecukupan gizi keluarga akan difokuskan pada masalah status gizi balita karena umur di bawah lima tahun merupakan umur penting dalam masa pertumbuhan dan perkembangan fisik dan otak anak sehingga balita memerlukan asupan gizi yang cukup untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal. Status gizi balita akan dilihat berdasarkan indikator berat badan terhadap umur (BB/U) yang memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Gambar 5.4 Persentase Balita Menurut Klasifikasi Wilayah dan Status Gizi Berdasarkan Kriteria BB/U, 2013 78,4 75,9 73,4 12,5 15,3 13,9 4,2 4,9 7,3 4,1 5,7 4,5 Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Buruk Kurang Baik Lebih Sumber: Publikasi Riskesdas 2013 68 68| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Permasalahan gizi balita di Indonesia masih jauh dari sasaran target yang diharapkan. Pada tahun 2013, sekitar 19,6 persen balita mempunyai permasalahan berat kurang (sebutan untuk status gizi buruk dan kurang). Padahal sasaran target tahun 2014 mencantumkan angka di bawah 15 persen (RPJMN 2010-2014). Tidak hanya itu, permasalahan gizi balita juga telah meluas kepada status gizi lebih yang mencapai angka 4,5 persen. Prevalensi kasus gizi buruk pada balita lebih tinggi di perdesaan (7,3%) daripada di perkotaan (4,2%), begitu pula untuk prevalensi gizi kurang. Sebaliknya, prevalensi gizi lebih pada balita lebih tinggi di perkotaan (4,9%) daripada perdesaan (4,1%). Jika diperhatikan menurut provinsi, hanya dua provinsi yang dapat memenuhi target RPJMN untuk persentase balita dengan berat kurang di bawah 15 persen, yaitu Bali dan DKI Jakarta. Sedangkan Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang mempunyai persentase balita dengan berat kurang paling besar (Lampiran 5.3). Dalam kaitannya dengan ketahanan keluarga maka keluarga yang terbebas dari balita yang mempunyai masalah status gizi buruk, status gizi kurang atau status gizi lebih diharapkan memiliki ketahanan keluarga yang lebih baik. Atau dengan kata lain ketika seluruh balita yang menjadi anggota rumah tangga mempunyai status gizi baik, maka keluarga tersebut akan mempunyai ketahanan keluarga yang lebih tinggi. Untuk itu, pada Gambar 5.5, disajikan persentase balita yang mempunyai status gizi baik menurut provinsi. Secara nasional, Kepulauan Riau meraih pencapaian tertinggi dengan persentase balita yang mempunyai status gizi baik sebesar 81,7 persen. Selain itu, masih terdapat tiga provinsi lain yang memililiki persentase di atas 80 persen, yaitu Bali (81,4%), Kepulauan Bangka Belitung (80,4%), dan DI Yogyakarta (80,3%). Sementara, mayoritas provinsi di wilayah timur Indonesia memiliki persentase di bawah 70 persen, seperti Nusa Tenggara Timur yang menjadi provinsi dengan persentase terendah, yaitu 64,4 persen. Selain itu masih terdapat 5 provinsi lain dengan persentase di bawah 70 persen, yaitu Kalimantan Barat (68,5%), Kalimantan Selatan (69,2%), Sulawesi Barat (66,9%), Maluku (67,2%), Papua Barat (66,2%). Hasil ini menunjukkan bahwa rumah tangga di wilayah timur Indonesia berpotensi mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah karena permasalahan status gizi balita. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |69 69 Gambar 5.5 Persentase Balita yang Mempunyai Status Gizi Baik Menurut Provinsi, 2013 Aceh 70,7 Sumatera Utara 72,8 Sumatera Barat 76,0 Riau 70,8 Jambi 75,6 Sumatera Selatan 74,5 Bengkulu 73,3 Lampung 73,7 Kep. Bangka Belitung 80,4 Kepulauan Riau 81,7 DKI Jakarta 78,5 Jawa Barat 79,9 Jawa Tengah 78,9 DI Yogyakarta 80,3 Jawa Timur 76,7 Banten 78,1 Bali 81,4 Nusa Tenggara Barat 71,5 Nusa Tenggara Timur 64,4 Kalimantan Barat 68,5 Kalimantan Tengah 72,3 Kalimantan Selatan 69,2 Kalimantan Timur 77,6 Sulawesi Utara 79,0 Sulawesi Tengah 73,5 Sulawesi Selatan 71,5 Sulawesi Tenggara 72,2 Gorontalo 70,9 Sulawesi Barat 66,9 Maluku 67,2 Maluku Utara 71,7 Papua Barat 66,2 Papua 71,9 Indonesia : 75,9 Sumber : Publikasi Riskesdas 2013 70 70| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 5.2 KESEHATAN KELUARGA Kesehatan fisik merupakan modal dasar seseorang untuk hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan, serta kebahagiaan lahir dan batin. Fisik yang sehat dapat diterjemahkan sebagai kondisi jasmani yang terbebas dari penyakit dan gangguan fungsi tubuh. Orang yang sehat berpotensi lebih besar untuk dapat membangun ketahanan keluarga yang lebih baik daripada orang yang tidak sehat. Angka kesakitan (morbidity rate) merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk menentukan derajat kesehatan seseorang. Angka ini diperoleh dengan menanyakan keberadaan keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Jika keluhan kesehatan tersebut sampai mengakibatkan aktivitas seseorang terganggu, seperti tidak dapat bekerja, tidak masuk sekolah atau tidak dapat melakukan kegiatan lain yang biasanya dilakukan, maka orang tersebut dikategorikan sebagai sakit. Secara nasional, pada tahun 2015, terdapat 30,34 persen penduduk yang mengalami keluhan kesehatan selama sebulan terakhir, namun hanya 16,14 persen penduduk Indonesia yang terganggu aktivitasnya karena adanya keluhan kesehatan tersebut. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan di perkotaan tidak berbeda dengan penduduk di perdesaan (sekitar 30%). Akan tetapi penduduk perdesaan (16,89%) mempunyai angka morbiditas lebih tinggi daripada penduduk perkotaan (15,41%). Selanjutnya perbandingan angka morbiditas menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 5.4. Gambar 5.6 Persentase Penduduk Menurut Klasifikasi Wilayah dan Status Kesehatan Selama Sebulan Terakhir, 2015 69,67 69,64 69,65 16,89 16,14 14,93 15,41 13,46 14,20 Perkotaan Perdesaan Perdesaan + Perkotaan Tidak Ada Keluhan Kesehatan Ada Keluhan Kesehatan Tapi Tidak Terganggu Ada Keluhan Kesehatan dan Terganggu (Sakit) Sumber : Susenas KOR 2015 Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |71 71 Selain kondisi fisik yang sakit, keberadaan penyakit kronis ataupun kesulitan fungsional yang diderita oleh seseorang juga dapat menjadi hambatan untuk melaksanakan peran dan fungsi dalam keluarga. Tidak berarti penderita penyakit kronis ataupun kesulitan fungsional pasti mempunyai ketahanan keluarga yang rendah. Namun, keberadaan anggota keluarga yang menderita penyakit kronis dan kesulitan fungsional dapat meningkatkan peluang keluarga tersebut untuk mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah. Oleh karena itu variabel pada dimensi ketahanan fisik selanjutnya adalah kesehatan keluarga yang diukur melalui keterbebasan dari penyakit dan disabilitas (kesulitan fungsional). Penyakit kronis merupakan penyakit yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak terjadi secara tiba‐tiba atau spontan, dan biasanya tidak dapat disembuhkan dengan sempurna. Sedangkan kesulitan fungsional merupakan gangguan fungsi tubuh yang menjadi penghambat seseorang untuk beraktivitas secara normal. Kedua hal ini, penyakit kronis dan kesulitan fungsional, dapat menyebabkan ketahanan keluarga menjadi rendah. Penderita penyakit kronis tertentu akan disibukkan dengan berbagai pengobatan untuk bisa bertahan hidup dan melakukan aktivitas dengan normal, apalagi jika tingkat keparahan penyakitnya sudah lanjut. Keluarga dengan anggota penderita penyakit kronis akan semakin rentan jika mereka tidak mampu untuk melakukan tindakan pengobatan, baik medis maupun non medis. Tidak banyak sumber data yang secara spesifik memberikan informasi mengenai keberadaan anggota rumah tangga penderita penyakit kronis sekaligus penyandang disabilitas (kesulitan fungsional). Satu-satunya informasi yang cukup relevan tersedia dalam data Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014. Penyakit kronis yang dimaksud disini adalah penyakit kronis yang sudah pernah dinyatakan oleh dokter atau tenaga medis. Sedangkan disabilitas yang dimaksud merupakan penilaian responden atas beberapa kesulitan fungsi anggota tubuh responden. Dalam pembahasan ini, responden dikelompokkan sebagai penyandang disabilitas jika menderita disabilitas sedang atau berat menurut penilaian responden sendiri. Perlu diingat, responden SPTK 2014 adalah kepala rumah tangga atau pasangannya. Sehingga, ada tidaknya anggota rumah tangga yang menderita penyakit kronis atau disabilitas ditentukan berdasarkan kondisi kesehatan kepala rumah tangga atau pasangannya. Rumah tangga yang mempunyai kepala rumah tangga atau pasangan sebagai penderita penyakit kronis dan disabilitas cenderung memiliki ketahanan keluarga yang lebih rendah. 72 72| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 5.7 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah, Keberadaan KRT/Pasangan Penderita Penyakit Kronis, dan Disabilitas, 2014 86,30 86,11 86,21 7,02 4,74 1,94 5,16 6,98 1,75 6,09 5,86 1,84 Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Tidak Kronis dan Disabilitas Kronis Tanpa Disabilitas Disabiltas Tanpa Kronis Kronis dan Disabilitas Sumber : SPTK 2014 Pada tahun 2014, sekitar 86,21 persen rumah tangga di Indonesia, KRT atau pasangannya tidak mempunyai masalah penyakit kronis dan penyandang disabilitas. Sedangkan sisanya sekitar 13,79 merupakan rumah tangga yang KRT atau pasangannya menderita penyakit kronis, penyandang disabilitas, maupun keduanya. Persentase rumah tangga yang KRT atau pasangannya menderita penyakit kronis di perkotaan lebih besar daripada perdesaan. Sebaliknya persentase rumah tangga yang KRT atau pasangannya menyandang disabilitas di perkotaan lebih kecil daripada di perdesaan. Jika dilihat menurut wilayah, Provinsi Papua dan Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang terbebas dari penyakit kronis dan disabilitas tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 96,17 persen dan 91,96 persen. Sementara itu Aceh dan Bengkulu adalah provinsi dengan persentase rumah tangga yang terbebas dari penyakit kronis dan disabilitas terendah, yaitu masing- masing sebesar 79,44 persen dan 81,96 persen. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |73 73 Gambar 5.8 Persentase Rumah Tangga yang KRT/Pasangan Bukan Penderita Penyakit Kronis dan Disabilitas, 2014 Aceh 79,44 Sumatera Utara 86,71 Sumatera Barat 82,22 Riau 89,06 Jambi 89,59 Sumatera Selatan 85,55 Bengkulu 81,96 Lampung 89,27 Kep. Bangka Belitung 87,97 Kepulauan Riau 91,96 DKI Jakarta 89,82 Jawa Barat 85,71 Jawa Tengah 86,07 DI Yogyakarta 86,00 Jawa Timur 85,67 Banten 85,42 Bali 88,69 Nusa Tenggara Barat 83,46 Nusa Tenggara Timur 85,39 Kalimantan Barat 86,43 Kalimantan Tengah 85,10 Kalimantan Selatan 86,90 Kalimantan Timur 85,52 Sulawesi Utara 83,67 Sulawesi Tengah 86,40 Sulawesi Selatan 85,28 Sulawesi Tenggara 89,24 Gorontalo 81,98 Sulawesi Barat 86,82 Maluku 88,34 Maluku Utara 87,64 Papua Barat 87,30 Papua 96,17 Indonesia : 86,21 Sumber : SPTK 2014 74 74| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 5.3 KETERSEDIAAN TEMPAT/LOKASI TETAP UNTUK TIDUR Ketersediaan tempat/lokasi tetap untuk tidur merupakan variabel terakhir pada dimensi ketahanan fisik. Variabel ini diukur dengan indikator ketersediaan lokasi tetap untuk tidur. Tidur merupakan cara istirahat yang paling umum dilakukan untuk mengembalikan stamina dan daya tahan tubuh. Tidur sangat penting bagi setiap orang, namun seringkali tuntutan kesibukan sehari-hari, gaya hidup, dan kondisi tempat tinggal membuat orang menjadi kurang tidur. Padahal kurang tidur dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, seperti menurunkan kualitas hidup, mengganggu metabolisme tubuh, menurunkan daya ingat, dan sebagainya. Tidur yang cukup merupakan sumber kesegaran, tenaga, dan vitalitas yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan produktivitas seseorang di esok hari. Selain itu, kecukupan waktu tidur akan meminimalisir risiko mengidap penyakit kronis tertentu. Orang yang kurang tidur akan meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner (European Heart Journal, 2011). Masing-masing orang memiliki kebutuhan jumlah waktu tidur yang berbeda-beda. Namun umumnya, jumlah waktu tidur yang cukup adalah 5-8 jam setiap hari (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Tidur yang cukup harus diimbangi dengan kualitas tidur yang baik, yang tentunya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan tempat atau kamar untuk tidur. Kepala rumah tangga dan pasangannya yang mempunyai kamar tidur yang terpisah dari anak-anak maupun anggota rumah tangga lain berpotensi memiliki kualitas tidur yang lebih baik daripada kepala rumah tangga atau pasangannya yang kamar tidurnya bergabung dengan anak-anak maupun anggota rumah tangga lain. Kualitas tidur yang lebih baik akan dapat meningkatkan ketahanan fisik mereka sehingga mereka dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dalam kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, KRT dan pasangan yang mempunyai keleluasaan beristirahat yang ditandai dengan kamar tidur yang terpisah dengan anak-anak diharapkan mempunyai ketahanan keluarga yang lebih baik. Informasi terkait keberadaan kamar tidur KRT dan pasangan yang terpisah dari anak-anak atau lainnya tidak tersedia dalam data Susenas 2015. Namun survei tersebut mengumpulkan informasi terkait ketersediaan lokasi tetap untuk tidur, keberadaan tempat tidur/kasur dan penggunaannya lebih dari tiga orang atau tidak. Lokasi tetap untuk tidur merujuk pada bagian tertentu dari ruangan yang selalu digunakan responden secara tetap untuk tidur kapanpun responden mau. Lokasi yang dimaksud disini tidak harus berupa kamar tidur tetapi bisa juga ruangan dengan fungsi lainnya. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya, keberadaan kamar tidur KRT dan pasangan yang terpisah dari anak-anak atau lainnya di proksi dengan keberadaan tempat tidur KRT yang digunakan maksimal oleh tiga orang. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |75 75 Gambar 5.9 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Lokasi Tetap untuk Tidur dan Tempat Tidur KRT dan Klasifikasi Wilayah, 2015 Perkotaan 78,36 16,02 2,84 2,78 Perdesaan 74,89 15,91 6,44 2,76 Perkotaan + Perdesaan 76,63 15,96 4,63 2,77 Ada Tempat Tidur, Digunakan Maksimal 3 Orang Ada Tempat Tidur, Digunakan Lebih dari 3 Orang Tidak Ada Tempat Tidur Tidak ada Lokasi Tetap Untuk Tidur Sumber : Susenas MSBP 2015 Rumah tangga yang berpotensi mempunyai ketahanan keluarga yang lebih baik tidak hanya mempunyai lokasi tetap untuk tidur, namun suami-istri juga harus mempunyai kamar tidur yang terpisah dari anak-anak ataupun anggota keluarga lainnya. Dalam hal ini, diproksi dengan kepala rumah tangga atau pasangan yang mempunyai tempat tidur dan digunakan tidak lebih dari 3 orang. Dimana secara nasional, terdapat sekitar 76,63 persen rumah tangga yang KRT dan pasangan mempunyai tempat tidur yang digunakan maksimal oleh 3 orang. Kemudian, sekitar 15,96 persen rumah tangga mempunyai tempat tidur namun digunakan lebih dari 3 orang, sehingga disinyalir tidak mempunyai keleluasaan untuk beristirahat karena harus berbagi tempat dengan lainnya. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, maka persentase rumah tangga yang KRT dan pasangan mempunyai tempat tidur digunakan maksimal 3 orang di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Pada Gambar 5.10, disajikan persentase rumah tangga yang KRT dan pasangannya mempunyai tempat tidur dan digunakan maksimal oleh 3 orang menurut provinsi. Hasilnya, terdapat enam provinsi yang mencapai persentase di atas 80 persen, yaitu Lampung (82,03), Jawa Tengah (82,66%), DI Yogyakarta (84,19%), Jawa Timur (81,84%), Bali (87,83%), dan Kalimantan Selatan (84,48%). Sementara, terdapat delapan provinsi yang memiliki persentase di bawah 70 persen, yaitu Nusa Tenggara Timur (60,34%), Kalimantan Barat (69,60%), Kalimantan Utara (64,67%), Sulawesi Tengah (68,48%), Gorontalo (50,83%), Sulawesi Barat (57,69%), Papua Barat (59,00%) dan Papua (31,11%). 76 76| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 5.10 Persentase Rumah Tangga yang KRT-nya Memiliki Tempat Tidur dan Digunakan Maksimal 3 Orang, 2015 Aceh 75,46 Sumatera Utara 71,18 Sumatera Barat 75,79 Riau 71,86 Jambi 74,47 Sumatera Selatan 73,98 Bengkulu 76,92 Lampung 82,03 Kep. Bangka Belitung 78,92 Kepulauan Riau 79,67 DKI Jakarta 72,47 Jawa Barat 77,18 Jawa Tengah 82,66 DI Yogyakarta 84,19 Jawa Timur 81,84 Banten 74,46 Bali 87,83 Nusa Tenggara Barat 70,57 Nusa Tenggara Timur 60,34 Kalimantan Barat 69,60 Kalimantan Tengah 78,68 Kalimantan Selatan 84,48 Kalimantan Timur 73,57 Kalimantan Utara 64,67 Sulawesi Utara 74,95 Sulawesi Tengah 68,48 Sulawesi Selatan 73,56 Sulawesi Tenggara 73,43 Gorontalo 50,83 Sulawesi Barat 57,69 Maluku 71,59 Maluku Utara 74,86 Papua Barat 59,00 Papua 31,11 Indonesia : 76,63 Sumber : Susenas MSBP 2015 Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |77 77 KETAHANAN EKONOMI 6 Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ketahanan keluarga juga mengandung makna kemampuan materil keluarga untuk hidup mandiri dan mengembangkan keluarga (Undang-undang Nomor 52 tahun 2009). Kemampuan materil keluarga ini dapat dipahami sebagai ketahanan ekonomi keluarga dalam mengatasi permasalahan ekonomi berdasarkan sumber daya yang mereka miliki. Untuk itu, pembahasan ketahanan ekonomi akan menyajikan beberapa variabel yang berpotensi mempengaruhi tingkat ketahanan ekonomi keluarga. Dimensi tersebut dibangun dari empat variabel, antara lain (1) tempat tinggal keluarga, (2) pendapatan keluarga, (3) pembiayaan pendidikan anak, dan (4) jaminan keuangan keluarga. 6.1 TEMPAT TINGGAL KELUARGA Tempat tinggal keluarga merupakan salah satu variabel pembangun ketahanan ekonomi yang diukur dengan status kepemilikan rumah. Indikator ini dapat digunakan sebagai ukuran ketahanan ekonomi suatu rumah tangga karena rumah tangga yang telah memiliki rumah sendiri berarti dia telah mampu memenuhi salah satu kebutuhan primernya sehingga berpotensi untuk membangun keluarga dengan ketahanan keluarga yang lebih baik. Kepemilikan tempat tinggal akan diukur dengan indikator status kepemilikan bangunan tempat tinggal yang dihasilkan dari data rumah tangga Susenas 2015. Rumah tangga yang telah menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik dibandingkan rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal bukan milik sendiri. Mayoritas rumah tangga di Indonesia telah menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri (82,63%), sedangkan sisanya menempati bangunan tempat tinggal dengan membayar kontrak atau sewa, menumpang (bebas sewa), rumah dinas, dan lainnya (17,37%). Persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal bukan milik sendiri lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan. Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya ketersediaan lahan untuk tempat tinggal di wilayah perkotaan. Berdasarkan klasifikasi wilayah, dalam data BPS 2015 menunjukkan bahwa secara nasional persentase penduduk di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan di wilayah perdesaan (53,3%). Hal inilah yang menjadi salah satu Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |79 79 sebab mengapa ketersediaan lahan untuk bangunan tempat tinggal di wilayah perkotaan lebih sedikit dibandingkan di perdesaan. Gambar 6.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Status Kepemilikan Bangunan Tempat Tinggal, 2015 91,44 82,63 73,87 26,13 17,37 8,56 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Milik Sendiri Bukan Milik Sendiri Sumber : Susenas KOR 2015 Jika dibandingkan antar provinsi, persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri cenderung lebih tinggi daripada bukan milik sendiri. Namun untuk DKI Jakarta, persentase rumah tangga yang menempati bangunan milik sendiri (51,09%) hampir berimbang dengan rumah tangga yang menempati bangunan bukan milik sendiri (48,91%). Seperti diketahui, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, dimana pada tahun 2015, kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 15.328 jiwa/Km2 (BPS, 2016). Hal ini menyebabkan tingginya permintaan akan bangunan tempat tinggal yang kemudian berimbas pada mahalnya harga rumah. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian penduduk DKI Jakarta tidak mampu untuk memiliki rumah sendiri. Selain DKI Jakarta, masih terdapat 18 provinsi lain yang mempunyai persentase rumah tangga dengan status kepemilikan bangunan tempat tinggal milik sendiri masih berada di bawah angka nasional, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua. 80 80| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 6.2 Persentase Rumah Tangga yang Status Kepemilikan Bangunan Tempat Tinggalnya Milik Sendiri Menurut Provinsi, 2015 Aceh 82,36 Sumatera Utara 71,09 Sumatera Barat 74,13 Riau 71,56 Jambi 83,94 Sumatera Selatan 83,02 Bengkulu 85,52 Lampung 90,35 Kep. Bangka Belitung 87,85 Kepulauan Riau 67,67 DKI Jakarta 51,09 Jawa Barat 80,63 Jawa Tengah 90,93 DI Yogyakarta 76,99 Jawa Timur 90,46 Banten 80,94 Bali 77,31 Nusa Tenggara Barat 87,85 Nusa Tenggara Timur 88,52 Kalimantan Barat 90,07 Kalimantan Tengah 77,99 Kalimantan Selatan 79,22 Kalimantan Timur 72,69 Kalimantan Utara 74,77 Sulawesi Utara 80,44 Sulawesi Tengah 87,14 Sulawesi Selatan 86,85 Sulawesi Tenggara 86,47 Gorontalo 81,66 Sulawesi Barat 91,47 Maluku 81,51 Maluku Utara 87,84 Papua Barat 74,57 Papua 81,69 Indonesia : 82,63 Sumber : Susenas KOR 2015 Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |81 81 6.2 PENDAPATAN KELUARGA Kecukupan penghasilan sebagai salah satu aspek ketahanan ekonomi keluarga akan diukur dengan indikator objektif dan indikator subjektif. Pertama, indikator objektif akan melihat kecukupan penghasilan dengan pendapatan perkapita rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Kedua, indikator subjektif akan melihat kecukupan rumah tangga berdasarkan persepsi kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rumah tangga yang mempunyai persepsi penghasilannya cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. 6.2.1 Pendapatan Perkapita Keluarga Studi yang dilakukan KPPPA bersama LPPM-IPB terkait ketahanan keluarga, menyebutkan batas minimal pendapatan perkapita per bulan adalah sebesar Rp 250.000,00. Artinya bahwa rumah tangga dengan pendapatan perkapita per bulan lebih dari Rp 250.000,00 lebih tahan secara ekonomi dibandingkan dengan rumah tangga dengan pendapatan perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00. Dalam sub-bab ini, pendapatan rumah tangga perkapita per bulan akan diproksi dengan pengeluaran rumah tangga perkapita per bulan yang dibagi dalam empat kelompok, yaitu Kelompok I merupakan rumah tangga dengan pengeluaran perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00; Kelompok II Rp 250.000,00 sampai Rp 499.999,00; Kelompok III Rp 500.000,00 sampai Rp 749.999,00; dan Kelompok IV lebih dari Rp 750.000,00. Informasi pengeluaran perkapita per bulan diperoleh dari hasil Susenas Modul Konsumsi Maret 2015 yang sudah mencakup pengeluaran makanan dan non makanan. Gambar 6.3 Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Rata-Rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan, 2015 3,54 29,78 42,04 Kelompok I (< 250.000) Kelompok II (250.000 - 499.999) 24,64 Kelompok III (500.000 - 749.999) Kelompok IV (≥750.000) Sumber : Susenas KOR 2015 Pembangunan 82| Pembangunan 82 Ketahanan Ketahanan Keluarga Keluarga 2016 2016 Gambar 6.3 memperlihatkan besarnya persentase rumah tangga berdasarkan empat kelompok pengeluaran perkapita per bulan. Sekitar 42,04 persen rumah tangga termasuk dalam Kelompok IV (pengeluaran perkapita lebih dari Rp 750.000,00) dan hanya sekitar 3,54 persen rumah tangga yang termasuk dalam kelompok I (pengeluaran perkapita kurang dari Rp 250.000,00), sementara mayoritas rumah tangga lainnya termasuk dalam kelompok II dan III. Sedangkan jika dilihat per provinsi terlihat bahwa mayoritas pengeluaran perkapita per bulan rumah tangga di Indonesia telah lebih dari Rp 250.000,00 di seluruh provinsi (Gambar 6.5). Bahkan di provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Utara persentase rumah tangga yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulannya kurang dari Rp 250.000,00 boleh dikatakan sudah tidak ada. Selain itu, data kemiskinan BPS juga telah menetapkan bahwa garis kemiskinan nasional di Indonesia pada tahun 2015 semester 2 untuk daerah perkotaan adalah sebesar Rp 356.378,00 dan daerah perdesaan adalah sebesar Rp 333.034,00. Garis kemiskinan merupakan batas minimum besarnya pengeluaran perkapita per bulan sebelum seseorang dikategorikan miskin. Untuk DKI Jakarta garis kemiskinan tahun 2015 ditetapkan sebesar Rp. 503.038,00, selain itu DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin paling kecil, yaitu 3,61 persen (BPS, 2015). Sehingga sangat wajar jika persentase rumah tangga yang pengeluaran perkapita per bulannya di bawah Rp 250.000,00 mencapai nol persen. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa nilai batas (cutting point) pengeluaran rumah tangga perkapita per bulan sebesar Rp 250.000,00 kurang tepat digunakan sebagai pembeda ketahanan ekonomi rumah tangga. Sebagai alternatif, disajikan pula garis kemiskinan sebagai nilai batas (cutting point) pengganti, dimana pengeluaran perkapita per bulan akan dibagi dalam 4 kelompok, yaitu 1) kelompok rumah tangga miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran perkapita per bulan kurang atau sama dengan garis kemiskinan; 2) kelompok rumah tangga hampir miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran antara garis kemiskinan sampai dengan 1,2 kali garis kemiskinan; 3) kelompok rumah tangga rentan miskin lainnya yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran antara 1,2 garis kemiskinan sampai dengan 1,6 garis kemiskinan; dan 4) kelompok rumah tangga tidak miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran lebih dari 1,6 garis kemiskinan. Keunggulan dari nilai batas (cutting point) dengan menggunakan garis kemiskinan adalah nilai batas (cutting point) ini akan terus dapat digunakan pada tahun-tahun selanjutnya karena besaran garis kemiskinan ini akan terus diperbaharui sesuai dengan besaran pengeluaran penduduk referensi yang sudah mempertimbangkan pula nilai barang konsumsi pada masing-masing provinsi. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |83 83 Gambar 6.4 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Rata- rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan, 2015 71,77 64,64 57,47 19,24 16,52 13,83 12,18 11,11 9,60 9,23 7,05 7,36 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Miskin Hampir Miskin Rentan Miskin Lainnya Tidak Miskin Sumber : Susenas KOR 2015 Dengan menggunakan garis kemiskinan sebagai cutting point ketahanan ekonomi maka rumah tangga yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulan lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan berpotensi untuk memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Gambar 6.4 menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga Indonesia merupakan rumah tangga tidak miskin atau telah memiliki pengeluaran perkapita per bulan lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan (64,64%). Kelompok rumah tangga tidak miskin tersebut tidak mencakup kelompok rumah tangga hampir miskin (9,23%) dan rentan miskin lainnya (16,52%). Berdasarkan klasifikasi wilayahnya, Gambar 6.4 juga menunjukkan bahwa persentase rumah tangga tidak miskin di perkotaan (71,77%) lebih besar dibandingkan di perdesaan (57,47%). Sebaliknya, persentase rumah tangga miskin, hampir miskin dan rentan miskin lainnya lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Ini menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi rumah tangga di perdesaan cenderung lebih rendah daripada di perkotaan. Perbandingan persentase rumah tangga tidak miskin pada masing-masing provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.5. 84 84| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 6.5 Persentase Rumah Tangga Menurut Rata-rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan dan Provinsi, 2015 Aceh 1,51 Sumatera Utara 1,27 Sumatera Barat 0,34 Riau 0,38 Jambi 1,14 Sumatera Selatan 3,69 Bengkulu 2,19 Lampung 2,82 Kep. Bangka Belitung 0,02 Kepulauan Riau 0,17 DKI Jakarta 0,00 Jawa Barat 3,10 Jawa Tengah 6,06 DI Yogyakarta 4,10 Jawa Timur 4,28 Banten 0,78 Bali 0,96 Nusa Tenggara Barat 5,88 Nusa Tenggara Timur 10,80 Kalimantan Barat 1,77 Kalimantan Tengah 0,58 Kalimantan Selatan 0,59 Kalimantan Timur 0,08 Kalimantan Utara 0,00 Sulawesi Utara 2,55 Sulawesi Tengah 2,63 Sulawesi Selatan 8,78 Sulawesi Tenggara 8,86 Gorontalo 12,84 Sulawesi Barat 8,09 Maluku 1,13 Maluku Utara 0,28 Papua Barat 3,91 Papua 9,29 Kelompok I (< 250.000) Kelompok II (250.000 - 499.999) Kelompok III (500.000 - 749.999) Kelompok IV (≥ 750.000) Sumber : Susenas KOR 2015 Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |85 85 6.2.2 Kecukupan Pendapatan Keluarga Berbeda dengan sebelumnya, sub-bab ini membahas mengenai kecukupan pendapatan rumah tangga berdasarkan persepsi subjektif kepala rumah tangga/pasangan terkait kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini penting mengingat kesejahteraan keluarga sebagai bagian dari ketahanan keluarga tidak hanya dapat diukur secara objektif saja namun juga secara subjektif. Penilaian pendapatan secara subjektif ini lebih menekankan pada kepuasan rumah tangga atas pendapatan yang telah didapat. Asumsinya akan ada hubungan yang searah antara penilaian subjektif ini dengan kondisi objektif ekonomi keluarga. Artinya adalah bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin puas rumah tangga tersebut akan kondisi ekonominya. Gambar 6.6 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari, 2014 64,89 62,01 59,15 34,34 29,73 25,09 10,02 6,51 8,26 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Lebih dari cukup Cukup Kurang Sumber : SPTK 2014 Secara nasional, terdapat 29,73 persen rumah tangga yang merasa pendapatannya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 6.6). Selain itu, terdapat kecenderungan yang berbeda berdasarkan klasifikasi wilayah, dimana persentase rumah tangga yang merasa kurang ternyata lebih tinggi di perdesaan (34,34%) daripada di perkotaan (25,09%). Kemudian, jika di teliti lebih jauh, penilaian terkait kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dipengaruhi oleh besaran pendapatan rumah tangga. Semakin rendah kelompok pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang merasa pendapatan rumah tangganya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 6.7). 86 86| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 6.7 Persentase Rumah Tangga Menurut Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari dan Kelompok Pendapatan, 2014 ≤ Rp 1.800.000 1,10 49,74 49,16 Rp 1.800.001 - Rp 3.000.000 4,53 73,18 22,30 Rp 3.000.001 - Rp 4.800.000 13,27 76,20 10,54 Rp 4.800.000 - Rp 7.200.000 27,58 68,00 4,42 > Rp. 7.200.000 45,12 50,63 4,24 Lebih dari cukup Cukup Kurang Sumber : SPTK 2014 Jika dibandingkan antar provinsi, persentase rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih tinggi daripada mereka yang merasa tidak cukup. Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga tertinggi dan Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi dengan persentase terendah untuk rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Gambar 6.8). Selain itu, masih terdapat 11 provinsi yang memiliki persentase rumah tangga di bawah angka nasional untuk rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup atau lebih dari cukup, yakni Aceh, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Maluku. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |87 87 Gambar 6.8 Persentase Rumah Tangga Menurut Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari dan Provinsi, 2015 Aceh 5,62 52,51 41,87 Sumatera Utara 7,09 65,25 27,67 Sumatera Barat 11,54 60,43 28,03 Riau 11,65 67,25 21,10 Jambi 9,43 71,04 19,53 Sumatera Selatan 10,62 60,38 29,00 Bengkulu 6,93 59,04 34,03 Lampung 5,84 63,86 30,30 Kep. Bangka Belitung 6,99 75,29 17,72 Kepulauan Riau 13,31 71,48 15,21 DKI Jakarta 8,72 68,58 22,70 Jawa Barat 6,10 60,31 33,59 Jawa Tengah 7,75 60,92 31,32 DI Yogyakarta 7,89 64,89 27,22 Jawa Timur 9,16 61,29 29,56 Banten 6,31 60,08 33,61 Bali 11,25 63,03 25,72 Nusa Tenggara Barat 8,91 47,73 43,36 Nusa Tenggara Timur 4,94 55,07 39,99 Kalimantan Barat 8,91 65,86 25,23 Kalimantan Tengah 11,84 67,77 20,38 Kalimantan Selatan 11,47 68,96 19,57 Kalimantan Timur 14,59 70,00 15,41 Sulawesi Utara 9,36 67,86 22,78 Sulawesi Tengah 7,79 65,41 26,81 Sulawesi Selatan 11,25 60,60 28,15 Sulawesi Tenggara 11,09 59,36 29,55 Gorontalo 5,64 62,26 32,11 Sulawesi Barat 5,17 61,18 33,65 Maluku 9,20 59,45 31,36 Maluku Utara 10,38 65,37 24,25 Papua Barat 12,90 65,27 21,83 Papua 9,70 65,51 24,79 Lebih dari Cukup Cukup Kurang Sumber : SPTK 2014 88 88| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 6.3 PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ANAK Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, pendidikan menjadi kebutuhan yang sangat penting saat ini. Status pendidikan dalam rumah tangga dapat menjadi salah satu cara untuk menggambarkan kondisi ketahanan ekonomi rumah tangga tersebut karena dapat dijadikan pendekatan untuk mengetahui kecukupan pendapatan rumah tangga secara objektif. Pendidikan anak sebagai variabel penyusun dimensi ketahanan ekonomi untuk mengukur ketahanan keluarga disusun dari dua indikator, yaitu (1) kemampuan pembiayaan pendidikan anak, dan (2) keberlangsungan pendidikan anak. 6.3.1 Kemampuan Pembiayaan Pendidikan Anak Pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP sederajat) tanpa memungut biaya (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Namun, kebijakan biaya sekolah gratis hanya berlaku bagi murid yang bersekolah di SD ataupun SMP negeri, itupun belum berlaku secara nasional. Pada sekolah tertentu masih terdapat pungutan biaya yang besarnya bervariasi yang ditentukan oleh komite sekolah. Selain itu, sekolah negeri belum mampu menampung seluruh siswa usia sekolah, sehingga hanya siswa dengan nilai yang bagus yang mampu bersaing untuk diterima di sekolah negeri. Hal ini mengakibatkan sebagian siswa harus melanjutkan di sekolah swasta yang membutuhkan biaya yang lebih besar daripada sekolah negeri. Gambar 6.9 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Keberadaan Anggota Rumah Tangga Usia 7-18 Tahun yang Bersekolah, 2015 90,66 86,52 88,54 5,48 3,86 7,31 6,16 6,42 5,04 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Seluruhnya Bersekolah Sebagian Bersekolah Tidak Ada yang Bersekolah Sumber : Susenas KOR 2015 Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 89 Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 89 Biaya sekolah yang mahal memang masih menjadi dilema bagi dunia pendidikan di Indonesia. Tidak heran rata-rata lama sekolah untuk penduduk berusia 25 tahun ke atas di Indonesia hanya sekitar 7,73 tahun atau kurang lebih setara dengan kelas VII SMP. Variasi rata-rata lama sekolah sangat tinggi antar provinsi, salah satunya mungkin disebabkan karena pada daerah-daerah tertentu, akses ke sekolah sangat jauh sehingga menambah pengeluaran transportasi untuk sekolah. Contohnya provinsi Papua yang memiliki rata-rata lama sekolah paling kecil yakni 5,76 tahun, sementara provinsi DKI Jakarta memiliki rata-rata lama sekolah paling tinggi yakni 10,54 tahun. Oleh karena itu, rumah tangga yang mampu membiayai seluruh anggota rumah tangga usia 7 sampai 18 tahun hingga dapat menyelesaikan wajib belajar 12 tahun dinilai mempunyai ketahanan ekonomi yang lebih baik. Data menunjukkan ART usia 7-18 tahun (usia sekolah) di Indonesia tersebar pada 54,52 persen rumah tangga (Lampiran 6.8). Selanjutnya, pada rumah tangga yang memiliki ART usia 7-18 tahun tersebut terdapat 88,54 persen rumah tangga yang seluruh ART usia 7-18 tahun masih bersekolah. Sisanya 6,42 persen rumah tangga hanya sebagian ART usia 7-18 tahun yang bersekolah dan 5,04 persen rumah tangga seluruh ART usia 7-18 tahun ternyata tidak/belum pernah bersekolah atau tidak bersekolah lagi (Gambar 6.9). Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka rumah tangga di perkotaan cenderung memiliki ART usia 7-18 tahun yang seluruhnya bersekolah (90,66%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (86,52%). Lebih jauh, jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan KRT maka semakin tinggi pendidikan KRT semakin cenderung pula untuk memiliki ART usia 7-18 tahun yang seluruhnya masih bersekolah (Gambar 6.10). Gambar 6.10 Persentase Rumah Tangga Menurut Pendidikan Tertinggi KRT dan Keberadaan Anggota Rumah Tangga Usia Sekolah (7-18 Tahun) yang Bersekolah, 2015 91,50 94,55 96,44 86,19 80,71 10,20 8,08 5,73 3,28 9,10 5,243,26 2,17 2,00 1,57 Tidak punya SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Perguruan Tinggi ijazah SD Seluruhnya Bersekolah Sebagian Bersekolah Tidak Ada yang Bersekolah Sumber : Susenas KOR 2015 90 90| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 6.11 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Anggota Rumah Tangga Usia 7-18 Tahun yang Bersekolah dan Provinsi, 2015 Aceh 92,06 Sumatera Utara 89,15 Sumatera Barat 91,61 Riau 89,60 Jambi 89,34 Sumatera Selatan 87,31 Bengkulu 91,72 Lampung 88,65 Kep. Bangka Belitung 87,12 Kepulauan Riau 94,34 DKI Jakarta 89,71 Jawa Barat 87,21 Jawa Tengah 88,48 DI Yogyakarta 95,46 Jawa Timur 89,76 Banten 87,66 Bali 93,03 Nusa Tenggara Barat 91,56 Nusa Tenggara Timur 87,36 Kalimantan Barat 85,92 Kalimantan Tengah 87,38 Kalimantan Selatan 87,97 Kalimantan Timur 93,26 Kalimantan Utara 87,89 Sulawesi Utara 89,76 Sulawesi Tengah 87,88 Sulawesi Selatan 86,55 Sulawesi Tenggara 88,12 Gorontalo 86,68 Sulawesi Barat 83,50 Maluku 89,92 Maluku Utara 90,02 Papua Barat 89,04 Papua 69,64 Seluruh ART Bersekolah Sebagian ART Bersekolah Semua ART Tidak Bersekolah Sumber : Susenas KOR 2015 Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |91 91 6.3.2 Keberlangsungan Pendidikan Anak Keberlangsungan pendidikan anak akan digambarkan melalui besarnya persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga yang putus sekolah. Putus sekolah adalah suatu kondisi dimana seseorang yang berusia sekolah (7-18 tahun) tidak dapat menamatkan jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya. Dalam hal ini, mereka yang telah menamatkan sekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu tetapi tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak termasuk sebagai putus sekolah. Selain tidak ada anak yang putus sekolah, rumah tangga yang mempunyai ketahanan ekonomi yang baik juga harus dapat menjamin anggota rumah tangganya untuk memperoleh pendidikan sehingga tidak ada anak yang tidak pernah sekolah. Keberadaan anak usia 7-18 tahun yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah merupakan salah satu indikasi adanya masalah ekonomi dalam rumah tangga tersebut. Dari 54,52 persen rumah tangga yang memiliki ART usia 7-18 tahun, sekitar 2,67 persen rumah tangga di antaranya terdapat ART yang putus sekolah atau tidak pernah bersekolah. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka persentase rumah tangga yang terdapat ART putus sekolah atau tidak pernah bersekolah di perdesaan (3,41%) lebih tinggi daripada di perkotaan (1,92%). Ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan cenderung mempunyai ketahanan ekonomi yang lebih rendah sehingga berpotensi untuk mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah pula (Gambar 6.12). Gambar 6.12 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Keberadaan ART Umur 7-18 Tahun yang Putus Sekolah atau Tidak Pernah Bersekolah, 2015 96,37 93,90 97,33 3,63 6,10 2,67 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Ada ART Putus Sekolah Tidak Ada ART Putus Sekolah Sumber : Susenas KOR 2015 92 92| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Penduduk yang putus sekolah dan tidak pernah sekolah mempunyai kecenderungan yang berbeda menurut umur dan jenis kelamin. Jika dilihat menurut kelompok umur, semakin tua usia penduduk maka semakin tinggi persentase mereka yang putus sekolah atau tidak pernah sekolah (Gambar 6.13). Lebih jauh, pada kelompok umur 7-12 tahun, perbedaan persentase antara anak laki-laki dan perempuan yang putus sekolah atau tidak pernah bersekolah masih dapat dikatakan seimbang. Namun pada kelompok umur selanjutnya, perbedaan persentase tersebut semakin nyata. Gambar 6.13 Persentase Penduduk Putus Sekolah atau Tidak Pernah Bersekolah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2015 10,96 9,32 7,54 4,37 3,81 3,23 0,97 0,84 0,91 7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun Laki-laki Perempuan Total Sumber : Susenas KOR 2015 6.4 JAMINAN KEUANGAN KELUARGA Selain kecukupan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, ketahanan ekonomi keluarga juga perlu mempertimbangkan kesiapan keluarga tersebut dalam menghadapi kejadian tak terduga di masa yang akan datang. Sehingga kepemilikan jaminan terhadap resiko-resiko yang mungkin akan dihadapi di masa depan menjadi salah satu variabel pembangun ketahanan ekonomi keluarga. Jaminan terhadap resiko tersebut diukur dengan variabel jaminan keuangan yang terdiri dari dua indikator, yaitu tabungan keluarga, dan asuransi keluarga. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |93 93 6.4.1 Tabungan Keluarga Rumah tangga yang memiliki tabungan berpotensi memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Informasi terkait tabungan yang dimiliki oleh rumah tangga terdapat dalam data Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2015. Informasi yang dikumpulkan mencakup akses finansial rumah tangga antara lain, kepemilikan tabungan dan jenis tabungan. Namun dalam pembahasan ini, tabungan yang dimiliki rumah tangga dikelompok dalam 3 jenis, yaitu produk bank (tabungan/asuransi/deposito/giro), produk non-bank (koperasi/kantor pos/sekolah), dan lainnya (tabungan di lemari/dompet/celengan/dan sebagainya). Gambar 6.14 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Jenis Tabungan yang Dimiliki, 2015 88,28 91,24 89,58 69,08 56,74 40,95 13,10 11,75 10,01 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perkotaan Produk Bank Produk NonBank Lainnya Sumber : Susenas MSBP 2015 Secara nasional, 62,97 persen rumah tangga di Indonesia telah memiliki tabungan, dimana setiap rumah tangga bisa memiliki lebih dari satu jenis tabungan (Gambar 6.15). Kemudian, jika dilihat dari jenis tabungan yang dimiliki maka rumah tangga yang mempunyai tabungan, lebih senang menyimpan tabungannya di rumah, seperti di lemari, dompet, celengan dan sebagainya (89,58%). Sedangkan rumah tangga yang memiliki tabungan dalam bentuk produk non-bank hanya sekitar 11,75 persen dan rumah tangga memiliki tabungan dalam bentuk produk bank sekitar 56,74 persen. Gambar 6.14 juga menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan lebih cenderung untuk menyimpan tabungannya di rumah, sementara rumah tangga di 94 94| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 perkotaan lebih cenderung untuk menyimpan tabungannya dalam bentuk produk bank dan non bank. Jika dilihat menurut provinsi, persentase rumah tangga berdasarkan kepemilikan tabungan dapat dilihat pada Gambar 6.15. Bali menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki tabungan tertinggi yakni 87,82 persen. Sebaliknya, Aceh, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Papua merupakan provinsi- provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki tabungan lebih kecil dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak memiliki tabungan dengan masing- masing persentase rumah tangga yang memiliki tabungan sebesar 47,32 persen, 42,84 persen, 49,83 persen, dan 42,91 persen. Sedangkan jika dilihat dari jenis tabungan yang dimiliki, seluruh provinsi di Indonesia memiliki pola yang sama dengan pola nasional yakni persentase terbesarnya ada di jenis tabungan lainnya. Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 |95 95 Gambar 6.15 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Mempunyai Tabungan/Simpanan dan Provinsi, 2015 Aceh 47,32 Sumatera Utara 58,77 Sumatera Barat 60,40 Riau 60,14 Jambi 56,52 Sumatera Selatan 57,19 Bengkulu 57,47 Lampung 42,84 Kep. Bangka Belitung 76,98 Kepulauan Riau 80,89 DKI Jakarta 81,84 Jawa Barat 56,89 Jawa Tengah 67,58 DI Yogyakarta 80,72 Jawa Timur 64,41 Banten 56,63 Bali 87,82 Nusa Tenggara Barat 49,83 Nusa Tenggara Timur 61,30 Kalimantan Barat 66,88 Kalimantan Tengah 76,15 Kalimantan Selatan 66,45 Kalimantan Timur 84,52 Kalimantan Utara 75,87 Sulawesi Utara 58,61 Sulawesi Tengah 64,38 Sulawesi Selatan 76,25 Sulawesi Tenggara 73,01 Gorontalo 55,45 Sulawesi Barat 60,06 Maluku 57,96 Maluku Utara 64,92 Papua Barat 71,21 Papua 42,91 Indonesia : 62,97 Sumber : Susenas MSBP 2015 96 96| Pembangunan Ketahanan Pembangunan Keluarga Ketahanan 2016 Keluarga 2016 Gambar 6.15 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Mempunyai Tabungan/Simpanan dan Provinsi, 2015 Aceh 47,32 Sumatera Utara 58,77 Sumatera Barat 60,40 Riau 60,14 Jambi 56,52 Sumatera Selatan 57,19 Bengkulu 57,47 Lampung 42,84 Kep. Bangka Belitung 76,98 Kepulauan Riau 80,89 DKI Jakarta 81,84 Jawa Barat 56,89 Jawa Tengah 67,58 DI Yogyakarta 80,72 Jawa Timur 64,41 Banten 56,63 Bali 87,82 Nusa Tenggara Barat 49,83 Nusa Tenggara Timur 61,30 Kalimantan Barat 66,88 Kalimantan Tengah 76,15 Kalimantan Selatan 66,45 Kalimantan Timur 84,52 Kalimantan Utara 75,87 Sulawesi Utara 58,61 Sulawesi Tengah 64,38 Sulawesi Selatan 76,25 Sulawesi Tenggara 73,01 Gorontalo 55,45 Sulawesi Barat 60,06 Maluku 57,96 Maluku Utara 64,92 Papua Barat 71,21 Papua 42,91 Indonesia : 62,97 Sumber : Susenas MSBP 2015 96 | Pembangunan Ketahanan KeluargaPembangunan 2016 Ketahanan Keluarga 2016 97 6.4.2 Jaminan Kesehatan Keluarga Indikator lainnya yang dapat menggambarkan ketahanan ekonomi adalah kepemilikan berbagai asuransi, seperti asuransi kesehatan, asuransi ketenagakerjaan dan sebagainya. Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebenarnya telah mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Usaha untuk menyediakan sistem jaminan sosial tersebut telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Sedangkan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah telah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, masih terdapatnya beberapa masalah seperti terfragmentasinya mutu pelayanan yang diberikan berdasarkan jenis jaminan kesehatan yang dimiliki membuat sebagian keluarga di Indonesia belum berkeinginan secara mandiri mendaftarkan diri sebagai anggota BPJS. Gambar 6.16 menunjukkan masih terdapat 42,88 persen rumah tangga di Indonesia yang seluruh ART-nya tidak memiliki jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan yang dimaksud mencakup berbagai asuransi kesehatan seperti BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, askes/asabri/jamsostek, jamkesmas/PBI, jamkesda, asuransi swasta, serta jaminan kesehatan dari perusahaan/kantor. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, persentase rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan cenderung lebih tinggi di perkotaan daripada perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran rumah tangga untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam rumah tangga lebih baik di perkotaan daripada di perdesaan. Gambar 6.16 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Anggota Rumah Tangga (ART), 2015 43,89 46,39 39,38 39,26 42,88 41,58 16,72 14,35 15,54 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Tidak Ada Sebagian Semua Sumber : Susenas KOR 2015 98 Pembangunan Ketahanan KeluargaPembangunan 2016 Ketahanan Keluarga 2016 | 97 Gambar 6.17 Persentase Rumah Tangga Menurut Status dalam Pekerjaan dan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Anggota Rumah Tangga (ART), 2015 30,33 36,66 37,23 39,21 38,86 15,08 48,76 13,81 13,51 14,40 15,30 16,59 49,53 49,26 54,58 34,65 45,49 46,73 Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh Berusaha dibantu buruh Buruh/karyawan/pegawai Pekerja bebas Pekerja keluarga/tidak tidak tetap/tidak dibayar tetap/dibayar dibayar Tidak Ada Sebagian Semua Sumber : Susenas KOR 2015 Jika dilihat menurut karakteristik kepala rumah tangga maka rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan cenderung adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga berstatus buruh/karyawan/pegawai. Sedangkan rumah tangga yang seluruh ART tidak mempunyai jaminan kesehatan cenderung adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap/dibayar (Gambar 6.17). Jika dilihat menurut provinsi diketahui bahwa Bali merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang seluruh anggota rumah tangganya memiliki jaminan kesehatan paling tinggi yakni sebesar 80,68 persen. Sebaliknya, Jambi menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang seluruh anggota rumah tangganya memiliki jaminan kesehatan paling rendah yakni sebesar 27,70 persen. Selain itu, terdapat tiga provinsi yang mempunyai persentase rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan di atas 70 persen, yaitu Aceh (75,29%), Sumatera Selatan (76,27%), dan Bali (80,68%). 98 | Pembangunan Ketahanan KeluargaPembangunan 2016 Ketahanan Keluarga 2016 99 Gambar 6.18 Persentase Rumah Tangga yang Semua ART-nya Memiliki Jaminan Kesehatan Menurut Provinsi, 2015 Aceh 75,29 Sumatera Utara 32,29 Sumatera Barat 37,78 Riau 39,53 Jambi 27,70 Sumatera Selatan 76,27 Bengkulu 36,11 Lampung 31,90 Kep. Bangka Belitung 43,64 Kepulauan Riau 57,60 DKI Jakarta 51,13 Jawa Barat 36,89 Jawa Tengah 40,93 DI Yogyakarta 63,51 Jawa Timur 31,56 Banten 35,06 Bali 80,68 Nusa Tenggara Barat 33,55 Nusa Tenggara Timur 40,78 Kalimantan Barat 23,91 Kalimantan Tengah 34,28 Kalimantan Selatan 48,33 Kalimantan Timur 65,81 Kalimantan Utara 47,78 Sulawesi Utara 39,52 Sulawesi Tengah 39,54 Sulawesi Selatan 65,99 Sulawesi Tenggara 42,21 Gorontalo 54,15 Sulawesi Barat 43,24 Maluku 33,50 Maluku Utara 48,44 Papua Barat 50,52 Papua 56,70 Indonesia : 41,58 Sumber : Susenas KOR 2015 100 Pembangunan Ketahanan KeluargaPembangunan 2016 Ketahanan Keluarga 2016 | 99 KETAHANAN SOSIAL PSIKOLOGIS 7 Dimensi keempat yang membentuk ketahanan keluarga adalah dimensi ketahanan sosial psikologis. Berbeda dengan dimensi pembentuk ketahanan keluarga lainnya, dimensi ketahanan sosial psikologis tidak dapat dilihat secara fisik. Dimensi ini terdiri atas dua variabel yaitu (1) variabel keharmonisan keluarga (mencakup sikap anti kekerasan rumah tangga terhadap perempuan dan perilaku anti kekerasan terhadap anak) dan (2) variabel kepatuhan terhadap hukum (dilihat dari pengalaman rumah tangga menjadi korban tindak pidana). Kedua variabel tersebut telah sesuai dengan konsep yang menyebutkan bahwa keharmonisan keluarga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup manusia, karena keluarga merupakan unit terkecil dalam sistem sosial di masyarakat yang memiliki peranan penting sebagai tempat anak bersosialisasi dan membangun relasi dengan lingkungannya seusia dini. Sedangkan variabel kepatuhan terhadap hukum dimaksudkan untuk melihat kepatuhan keluarga terhadap hukum dengan tidak pernah melakukan tindakan kriminalitas atau pelanggaran hukum. 7.1 KEHARMONISAN KELUARGA Keharmonisan keluarga menjadi salah satu variabel penting dalam menyusun ketahanan sosial psikologis dalam keluarga. Keharmonisan keluarga ini berkaitan dengan ketahanan psikologis keluarga, dimana keluarga dikatakan memiliki ketahanan psikologis yang baik apabila keluarga mampu menanggulangi masalah non- fisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan), dan kepedulian suami kepada istri (Sunarti dalam Puspitawati, 2012). Untuk itu, pengukuran keharmonisan dalam keluarga pada studi ini ditekankan pada sikap dari kepala rumah tangga terhadap kepedulian terhadap perempuan dan anak. Indikator yang mendukung pada studi ini adalah bagaimana sikap anti kekerasan terhadap perempuan dan prilaku anti kekerasan terhadap anak di dalam keluarga. Keluarga yang memiliki sikap anti kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap anak maka keluarga tersebut cenderung akan memiliki ketahanan keluarga yang relatif tinggi, begitu pula sebaliknya. Pembangunan PembangunanKetahanan KetahananKeluarga Keluarga2016 2016 |101 101 7.1.1 Sikap Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Umumnya, kekerasan terhadap perempuan telah dimulai dalam lingkup kehidupan keluarga yang disebabkan karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender dalam pandangan kehidupan bermasyarakat. Perbedaan peran dan hak antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga, seringkali menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari laki-laki, sehingga perempuan seringkali diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Sampai saat ini, belum tersedia data yang dapat menggambarkan angka kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam skala nasional. Beberapa lembaga seperti kepolisian ataupun komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan hanya memiliki data terkait jumlah kasus kekerasan berdasarkan pengaduan korban, sehingga data tersebut tidak dapat digunakan secara umum untuk menggambarkan angka kekerasan terhadap perempuan dalam skala nasional maupun provinsi. Namun, gambaran kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri dapat diproksi dengan sikap terkait tindakan pemukulan istri yang dilakukan oleh suami. Informasi tersebut dikumpulkan dalam Susenas-Modul Ketahanan Sosial 2014. Terdapat enam alasan tindakan pemukulan istri yang diajukan, yaitu 1) istri pergi tanpa pamit, 2) istri tidak mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik, 3) istri membantah suami, 4) istri tidak mengurus anak dengan baik, 5) istri diduga selingkuh, dan 6) istri menolak berhubungan intim. Semua pertanyaan tersebut diajukan kepada semua responden, baik laki-laki maupun perempuan. Gambar 7.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Sikap Terhadap Tindakan Suami Memukul Istri, 2014 Sumber: Susenas Modul Hansos 2014 102 102| Pembangunan PembangunanKetahanan KetahananKeluarga Keluarga2016 2016 Keluarga yang memperlakukan perempuan dengan cara-cara kekerasan akan menurunkan tingkat keharmonisan keluarga yang pada akhirnya berdampak pada ketahanan keluarga yang kurang baik. Oleh karena itu, sikap anti kekerasan terhadap perempuan harus ditanamkan pada setiap individu sejak dini, agar perempuan tidak lagi menjadi korban kekerasan karena praktek kultural di masyarakat. Data menunjukkan, sekitar 74,14 persen rumah tangga tidak membenarkan tindakan suami memukul istri untuk keenam alasan di atas (Gambar 7.1). Selain itu, terdapat kecenderungan yang berbeda terkait sikap anti kekerasan menurut klasifikasi wilayah dan tingkat pendidikan. Rumah tangga yang bertempat tinggal di perkotaan lebih cenderung memiliki sikap tidak membenarkan tindakan suami memukul terhadap istri (78,35%) dibandingkan di daerah perdesaan (69,96%). Kemudian berdasarkan tingkat pendidikan, data menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan maka lebih cenderung untuk tidak membenarkan tindakan suami memukul istri (Lampiran 7.3). Ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan cenderung masih memiliki pemahaman yang salah terkait tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan pendidikan mempunyai peranan penting dalam memberikan pemahaman yang benar bahwa tindakan kekerasan dengan alasan apapun tidak boleh dibiarkan, apalagi dalam kehidupan rumah tangga. Gambar 7.2 Persentase Rumah Tangga yang KRT/Pasangannya Bersikap Membenarkan Tindakan Suami Memukul Istri dengan Alasan Tertentu, 2014 Sumber: Susenas Modul Hansos 2014 Pembangunan PembangunanKetahanan KetahananKeluarga Keluarga2016 2016 |103 103 Masih ada sekitar seperempat rumah tangga di Indonesia yang mempunyai sikap membenarkan tindakan suami memukul istri sebagai ganjaran/hukuman atas perbuatan istri yang dianggap kurang baik. Sehingga sangat menarik untuk mengetahui alasan tindakan suami memukul istri yang membuat rumah tangga membenarkan tindakan tersebut. Terdapat enam alasan penyebab suami memukul istri yang ditanyakan, yaitu istri pergi tanpa memberitahu suami, istri tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan baik, istri membantah suami, istri tidak mengurus anak dengan baik, istri diduga/dicurigai selingkuh, dan istri menolak berhubungan seks dengan suami. Alasan sikap pembenaran tindakan suami memukul istri yang mempunyai persentase tertinggi adalah karena istri yang diduga selingkuh (22,68%). Sedangkan sikap pembenaran tindakan suami karena istri tidak dapat melaksanakan pekerjaan rumah tangga dengan baik mempunyai persentase terendah, yaitu sebesar 4,43 persen (Gambar 7.2). Persentase rumah tangga yang tidak membenarkan tindakan suami memukul istri sangat bervariasi antar provinsi. Daerah Istimewa Yogyakarta menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan persentase tertinggi untuk rumah tangga yang memiliki sikap tidak membenarkan tindakan suami memukul istri (88,45%). Selain itu, terdapat lima provinsi lain yang mempunyai persentase di atas delapan puluh persen, yaitu Bali (87,69%), DKI Jakarta (84,15%), Sumatera Barat (83,10%), Kalimantan Selatan (80,34%) dan Jawa Tengah (80,16%). Sementara, Papua menjadi provinsi dengan persentase terendah untuk rumah tangga yang memiliki sikap tidak membenarkan tindakan suami memukul istri (36,89%). Dan terdapat satu provinsi lagi yang mempunyai persentase di bawah lima puluh persen, yaitu Nusa Tenggara Barat (45,61%). Sugandi (2008) menyebutkan tingginya ketergantungan alkohol dan tradisi mas kawin perempuan menjadi salah satu penyebab timbulnya tindak kekerasan rumah tangga yang dialami oleh perempuan di Papua. 104 104| Pembangunan PembangunanKetahanan KetahananKeluarga Keluarga2016 2016 Gambar 7.3 Persentase Rumah Tangga yang Sikap KRT/Pasangannya Tidak Membenarkan Tindakan Suami Memukul Istri dengan Alasan Apapun Menurut Provinsi, 2014 Sumber: Susenas Modul Hansos 2014 Pembangunan PembangunanKetahanan KetahananKeluarga Keluarga2016 2016 |105 105 7.1.2 Perilaku Anti Kekerasan Terhadap Anak Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak tidak terlepas dari lingkungan yang merawat dan membesarkannya. Pola asuh dalam keluarga, sebagai lingkungan pertama yang dikenalnya, akan sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Dalam hal ini orangtua sangat berperan sebagai panutan anak- anaknya dan setiap orangtua tentu memiliki caranya sendiri dalam mendidik dan mengasuh anak. Secara garis besar, Menurut Fahrizal Effendi (2013) terdapat tiga pola asuh orangtua yang berlaku di masyarakat yaitu 1) Pola asuh permisif, yaitu pola asuh yang menerapkan kebebasan. Dalam pola asuh ini anak berhak menentukan apa y

Use Quizgecko on...
Browser
Browser