Modul MK Ketahanan Pangan PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
Tags
Related
- Lecture Notes On Entry of Hazardous Substances in Supply Chain (July 10, 2024) PDF
- Lec # 1 Entry of Hazardous Substances in Supply Chain July 10 2024 PDF
- Food Security and Disaster Risk PDF
- Plano de Segurança Alimentar - Dan Cake PDF
- Manual HACCP/HARPC/ Plano de Segurança Alimentar Capítulo 2 - Pré-Requisitos - 12. Defesa dos Alimentos PDF
- Global Food Security Presentation PDF
Summary
This document discusses the key aspects of food security in Indonesia, including accessibility aspects, as well as the economic and social factors that affect food security. The analysis and data provided focus on factors impacting access to food, including transportation, price levels, and regional disparities in Indonesia.
Full Transcript
Percent of Paved Roads over Total Roads Road Density Rail-lines Density Domestic Food Price Level Prevalence of Food...
Percent of Paved Roads over Total Roads Road Density Rail-lines Density Domestic Food Price Level Prevalence of Food Accessibility Index Inadequacy Depth of the Food Deficit Prevalence of Undernourishment Share of Food Expenditure of the Poor Gambar 5.1 Indikator Penilaian Pilar Accessibility Unsur ketiga adalah dimensi sosial yang muncul ketika makanan yang secara fisik tersedia dan konsumen mampu untuk membeli tetapi terhambat karena perbedaan kelompok sosial dengan indikator tingkat pendidikan atau modal sosial (barter, pinjam meminjam atau adanya program dukungan sosial yang lain). Akses Fisik Hal yang penting pada aspek fisik dalam ketahanan pangan adalah infrastruktur transportasi. Untuk mengangkut bahan pangan tepat waktu dengan biaya yang efektif, keseluruhan pasokan pangan membutuhkan infrastruktur udara, pelabuhan dan jalan yang baik. Indonesia sebagai negara yang berbentuk kepulauan lebih dari 13.400 pulau, tengah menghadapi tantangan besar yakni memastikan rantai pasokan pangan yang mudah dan murah untuk dapat memenuhi pasokan pangan ke seluruh pulau. Saat ini Indonesia sedang mengembangkan fasilitas transportasi udara, darat dan laut yang efisien dan terintegrasi untuk mengangkut berbagai jenis pangan dengan meminimalkan terjadinya kerusakan pangan. Pengembangan sarana transportasi dapat menurunkan harga pangan, sekaligus mendukung peningkatan pendapatan petani. Biaya-biaya perantara yang sering terjadi akibat kerusakan, transportasi dan ketidaksempurnaan rantai pasok dapat dikurangi. Meskipun telah melakukan upaya-upaya tersebut, konsumen Indonesia masih mengalami peningkatan harga pangan karena faktor inefisiensi, terutama wilayah Indonesia bagian timur. Gambar 5.2 Peningkatan Infrastruktur 4 tahun terakhir (Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Perhubungan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 2018) Pembangunan transportasi dimaksudkan agar mendukung mobilisasi masyarakat, distribusi barang dan jasa serta sektor-sektor ekonomi melalui penyediaan jasa transportasi dengan harga terjangkau. Hal ini sesuai dengan kebijakan Penguatan Konektivitias Nasional (Kementerian PPN/Bappenas, 2011). Tersedianya infrastruktur yang baik dan berkualitas dapat memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas, membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan baik disektor pertanian maupun non pertanian. Akses Ekonomi Akses ekonomi atau keterjangkauan ekonomi berarti jika masyarakat memiliki daya beli yang cukup untuk mendapatkan bahan pangan yang sesuai dengan kebutuhan (Ariani, dkk., 2015). Keterjangkauan pangan antara lain ditentukan oleh daya beli. Besarnya masyarakat yang mempunyai daya beli rendah, dapat diukur oleh besarnya angka kemiskinan. Jumlah dan proporsi penduduk miskin selama lima tahun terakhir berdasarkan data dari BPS mengalami penurunan. Penduduk miskin di Indonesia pada September 2018 sebanyak 25,67 juta jiwa atau sekitar 9.66 % (BPS, 2019). Selain kemampuan daya beli, harga pangan juga berpengaruh terhadap akses ekonomi. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Impor pangan dapat mengganggu kesinambungan produsen pangan lokal, karena harga produk pangan impor cenderung lebih murah akibat distorsi dengan berbagai bantuan pemerintah negara eksportir pangan. Kenyataan di lapangan terkait produksi, perdagangan dan konsumsi pangan dapat menuntut peran pemerintah agar produsen dan konsumen domestik dapat dilindungi. Peran tersebut diharapkan mampu menstabilkan harga pangan yang dapat dilakukan melalui kebijakan harga pangan agar mengurangi ketidak pastian petani dan menjamin harga pangan menjadi lebih stabil bagi konsumen. Penduduk miskin memiliki proporsi pengeluaran makanannya mencapai 62,6 % pada tingkat nasional. Secara nominal, pengeluaran rumah tangga ini 3 kali lebih sedikit untuk makanan dari pada rata-rata rumah tangga di Indonesia. Pengeluaran pangan rumah tangga pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 62 % rumah tangga di Indonesia mampu untuk membeli makanan bergizi termurah dari komoditas lokal yang tersedia, dan 38%-nya tidak mampu. Sementara makanan bergizi tersedia secara lokal, ditingkat nasional, rumah tangga yang paling rentan secara ekonomi, diwakili oleh NTT dan Maluku yang lebih dari setengah populasi penduduknya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akses Sosial Akses sosial didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga dalam memperoleh pangan yang secara global dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial, budaya/kebiasaan makan, konflik sosial keamanan dan lainnya. Tingkat pendidikan menjadi indikator akses sosial pangan. Akses sosial pangan rumah tangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal. Sebagai contoh, sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah, didominasi oleh lulusan SD atau tidak tamat SD. Oleh karena itu, akses pangan rumah tangganya relatif rendah. Kajian yang lain menyatakan bahwa pendidikan formal ibu atau istri juga berpengaruh terhadap akses pangan rumah tangga. Di Indonesia pola pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga adalah istri yang dominan. Peningkatan pendidikan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi akses pangang yang rendah (Hardinsyah, 2007) Permasalahan Akses Pangan 1. Ketimpangan PDRB antar Wilayah/Provinsi Indikator makro yang menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh wilayah atau pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu daerah merupakan definisi dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin tinggi nilai PDRB, kemampuan sumber daya ekonomi semakin besar serta peluang pemanfaatan untuk penduduk yang bertempat tinggal di suatu wilayah tersebut juga semakin besar. Salah satu tantangan utama pembangunan Indonesia saat ini adalah mengatasi persoalan ketimpangan yang tidak hanya terjadi dalam dimensi individu atau rumah tangga tetapi juga wilayah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) lebih dari tiga dekade terakhir rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesa relatif tinggi, namun pada saat yang bersamaan tingkat kesenjangan pendapatan juga tinggi. Data kemiskinan selama 1970-2017 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kemiskinan di kawasan perkotaan adalah 13,9 %, sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 19,0 % (Sukwika, 2018). 2. Kesenjangan Ekonomi Antar Provinsi Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah Indeks Williamson dan coefficient variation (CV). Pada Indeks Williamson, jika angka indeks mendekati angka satu, maka tingkat ketimpangan semakin tinggi, sebaliknya jika angka indeks mendekati angka nol, maka tingkat ketimpangan semakin kecil. Berdasarkan analisis selama kurun waktu 2010-2015, Indeks Williamson dan nilai CV dari PDRB per kapita di Indonesia menunjukkan dua pergerakan yang sedikit berbeda (Gambar 1). Nilai CV Konsisten yakni menunjukkan penurunan selama periode tersebut, sedangakan Indeks Williamson menunjukkan dua fase berbeda, yakni pada 2010-2012 meningkat dan cenderung menurun pada 2013-2015. Hasil ini menunjukkan bahwa ketimpangan antar provinsi di Indonesia cenderung membaik meskipun nilai Indeks Williamson berkisar pada angka 0,7 masih tergolong tinggi. Artinya pemerintah disarankan untuk mengakselerasi program-program pemerataan pembangunan di seluruh wilayah. Sehingga proses pembangunan berkembang tidak hanya pada wilayah yang sudah maju saja, tetapi juga pada wilayah-wilayah lainnya yang dianggap masih tertinggal (Sukwika, 2018) 3. Geografi wilayah Wilayah Indonesia terdiri dari bagian berupa pulau-pulau baik pulau besar maupun pulau kecil. Masih banyak daerah yang terisolasi dari pusat-pusat kegiatan ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir dan daerah pedalaman. Pada wilayah ini, hubungan antara pulau atau antar daerah pedalaman harus dilalui dengan transport laut, sehingga untuk pangan yang harus didatangkan dari luar pulau akan menghadapi kendala apabila keadaan cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan pelayaran. Akan tetapi, sarana transportasi laut juga masih terbatas. Akibatnya, terjadi gangguan pasokan pangan di wilayah tersebut pada waktu-waktu tertentu dengan harga yang relatif mahal. 4. Besaran dan Ketimpangan Pendapatan Rumah tangga Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi akses pangan tingkat rumah tangga adalah pendapatan. Jumlah pendapatan rumah tangga belum semuanya mencukupi kebutuhan sehari- hari, sehingga masih ditemukan penduduk yang miskin dan atau rawan pangan. Ketimpangan pendapatan masih terlihat di beberapa daerah, yang berdampak pada yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Proporsi rumah tangga yang termasuk berpendapatan rendah juga relatif tetap. Tiga kelompok rumah tangga yang diperkirakan berada pada 40 persen penduduk berpendapatan terbawah adalah: (1) angkatan kerja yang bekerja tidak penuh terdiri dari penduduk yang bekerja paruh waktu, termasuk di dalamnya adalah rumah tangga nelayan, rumah tangga petani berlahan sempit, rumah tangga sektor informal perkotaan dan rumah tangga buruh perkotaan; (2) usaha mikro kecil termasuk rumah tangga sebagai pekerja keluarga; dan (3) penduduk miskin yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2014). 5. Kenaikan Harga Pangan dan Non Pangan Daya beli rumah tangga merupakan hasil dari variabel pendapatan rumah tangga dan harga pangan di pasaran. Kenaikan harga tanpa diikuti kenaikan pendapatan akan menurunkan daya beli rumah tangga. Kenaikan harga pangan dipicu terutama oleh kenaikan bahan bakar dan terbatasnya pasokan pangan pada periode tertentu. Kenaikan bahan bakar akan meningkatkan harga input produksi dan biaya transportasi, yang semuanya tersebut berdampak pada kenaikan harga pangan dan non pangan (Yovanda, 2015). Dalam jangka pendek, manfaat dari harga pangan tinggi adalah surplus yang besar yang didapatkan oleh para petani, sehingga petani ini bukan termasuk orang yang termiskin dari yang miskin. Selain itu, orang miskin biasanya membeli lebih banyak membeli makanan dari pada yang mereka jual. Dengan demikian harga pangan yang tinggi dapat memperburuk kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi buruk. Namun, harga yang tinggi merupakan peluang untuk memacu investasi jangka panjang di bidang pertanian, yang akan berkontribusi pada ketahanan pangan berkelanjutan dalam jangka panjang. Dampak dari harga yang tinggi (atau rendah) memiliki dua jenis efek yang berbeda. Harga pasar internasional dapat mempengaruhi variabel ekonomi makro di tingkat nasional seperti neraca pembayaran, defisit anggaran dan nilai tukar. Sementara harga domestik dapat mempengaruhi kemiskinan, asupan energi, dan nutrisi masyarakat (FAO, 2011). 6. Perilaku Konsumsi Pangan Masyarakat Terbatasnya pengetahuan rumah tangga tentang pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman adalah sebab perilaku konsumsi pangan yang menyimpang. Namun, program tersebut belum berdampak signifikan pada perubahan perilaku konsumsi pangan rumah tangga sesuai dengan kaidah atau aturan pangan dan gizi. Terdapat perilaku yang cenderung berakibat pada pemborosan makanan. Misalnya mengambil makanan dalam jumlah banyak, namun tidak semuanya dikonsumsi sampai habis. Hal ini terkait dengan persoalan mind-set, budaya makan dan kurang sadarnya masyarakat akan arti pentingnya kehilangan nilai ekonomi pangan. Globalisasi dan liberalisasi juga berdampak pada pola konsumsi pangan, yakni terjadi perubahan gaya makan dari makanan rumahan ke arah makanan jadi dan dari pangan lokal (nusantara) ke pangan asing (impor), yang diindikasikan dengan berkembang pesatnya waralaba asing di Indonesia. Penyimpangan tersebut berdampak pada orang dewasa seperti terjadinya peningkatan penyakit degeneratif misalnya stroke, diabetes melitus, dan lainnya sedangkan pada anak balita terjadi stunting, gizi kurang dan gizi buruk (Ariani dan Haryono, 2014). Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat Peningkatan akses pangan rumah tangga yang rawan pangan baik kronis maupun transien telah banyak dilakukan pemerintah. Program-program tersebut bersifat antisipatif dan kuartif, yang dilaksanakan oleh banyak kementerian/lembaga. Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan telah memiliki program aksi secara reguler untuk meningkatkan akses pangan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti program P2KP, Mandiri Pangan, Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM), Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat, Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Dalam UU Pangan No.18 tahun 2012, pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam membangun ketahanan pangan termasuk akses/keterjangkauan pangan. Seperti yang tertulis dalam beberapa pasal dan ayat sebagai berikut: pemerintah dan pemerintah daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab, seperti dalam ketersediaan pangan (pasal 12, ayat 1), mengembangkan potensi produksi pangan (pasal 16, ayat 1), melakukan tindakan untuk mengatasi krisis pangan (pasal 44, ayat 1), serta mewujudkan keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan (Pasal 46, ayat 1). Beberapa usulan upaya peningkatan akses pangan adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan dan Pembangunan Infrastruktur di Wilayah KTI (Kawasan Timur Indonesia) Kesenjangan tersebut dapat diminimalisir melalui pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian terutama di wilayah KTI seperti sarana transportasi berupa jalan dan kendaraan. Tersedianya sarana transportasi tersebut akan meningkatkan kelancaran arus barang jasa juga dapat menekan harga pangan, meningkatan ketersediaan pangan sekaligus meningkatkan mobilitas masyarakat untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah perlu dilakukan, salah satunya melalui penyediaan infrastruktur yang terpadu dan merata. 2. Pembangunan Pulau Mandiri Pangan Indonesia terdiri dari pulau besar dan pulau kecil. Setiap pulau mempunyai kapasitas dan fasilitas yang berbeda terkait dengan karakteristik sumber daya manusia dan karakteristik pola produksi serta konsumsi pangan. Kawasan Timur Indonesia terdiri dari banyak pulau- pulau kecil, dimana akses jalan yang harus ditempuh adalah melalui sarana transportasi laut, seperti di Provinsi Maluku terdapat 12 gugus pulau yang setiap gugus mempunyai ciri yang khas. Kemandirian pangan secara nasional tidak akan terwujud tanpa adanya kemandirian di pulau-pulau kecil. Tujuan pembangunan pulau mandiri pangan adalah agar setiap pulau mampu mencukupi kebutuhannya sendiri terutama untuk pangan pokoknya sesuai dengan potensi dan budayanya. Apabila kebutuhan pangan pokok di pulau-pulau kecil termasuk pulau terpencil dan terluar harus didatangkan dari wilayah lain, sulit untuk tercapainya kemandirian pangan. Oleh karena itu, jenis pangan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat harus sesuai dengan kondisi agroekositem pulau tersebut. Sebagai contoh, pulau mandiri pangan di Maluku didasarkan pada konsep gugus pulau dengan pendekatan laut pulau, dengan mengadopsi prinsip kedaulatan pangan pada prioritas keluarga miskin dan kekurangan pangan, mengembangkan kearifan lokal dalam proses produksi dengan melibatkan kaum perempuan, serta mempertahankan pola konsumsi sesuai budaya setempat. 3. Peningkatan Pendapatan Masyarakat Peningkatan akses pangan dapat terwujud dengan upaya peningkatan daya beli rumah tangga. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan pendapatan dan menjaga stabilitas harga pangan. Peningkatan pendapatan terutama pada rumah tangga berpendapatan rendah yaitu: 1) angkatan kerja yang bekerja tidak penuh, yang bekerja paruh waktu (nelayan, petani berlahan sempit, rumah tangga sektor informal perkotaan, dan rumah tangga buruh perkotaan); (2) usaha mikro kecil termasuk rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja keluarga, dan (3) penduduk miskin yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan. Program peningkatan pendapatan tersebut akan berbeda sesuai dengan keterampilan, aset yang dimiliki dan karakteristik usaha. Upaya yang utama dilakukan adalah menciptakan lapangan pekerjaan dan usaha seluas- luasnya pada wilayah tertentu serta disesuaikan dengan bidang keahlian dan tingkat pendidikannya. Lapangan kerja yang dibuka adalah dengan tingkat pendidikan setara SD dan SLTP, sehingga mampu untuk menyerap seluas-luasnya angkatan kerja yang berpendidikan tersebut. Usaha mikro perlu dukungan penguatan teknologi, pemasaran, permodalan dan akses pasar. 4. Stabilisasi Harga Pangan dan Non Pangan Peningkatan akses pangan rumah tangga akan tercapai apabila harga pangan terkendali sehingga masyarakat mampu membeli makanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Stabilisasi harga pangan dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang berpendapatan rendah mampu menjangkau pangan yang ada di pasaran dengan mudah. Stabilisasi pangan pokok yang dilakukan oleh pemerintah saat ini cukup efektif, akan tetapi koordinasi dan kekompakan antar kementerian harus lebih ditingkatka, agar stabilisasi harga pangan pokok tetap terjaga terutama di wilayah rawan pangan. 5. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat akan Pola Pangan Bergizi dan Sehat Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 201 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif dan produksif (Pasal 60, ayat 1). Salah satu upaya tersebut adalah dengan mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan dan meningkatkan pengetahuan serta kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (ayat 2). Selain itu, Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber daya Lokal, yang salah satu rencananya adalah kampanye, sosialisasi, advokasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan yang bergizi seimbang dan aman berbasis sumber daya lokal. 6. Bantuan Pangan Bantuan Pangan yang diprogramkan pemerintah saat ini yaitu Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) sebagai upaya untuk menyalurkan bantuan pangan yang selama ini melalui program Raskin, agar lebih tepat sasaran, tepat jumlah dan waktu. Melalui program BPNT diharapkan dapat memberikan keleluasaan penerima manfaat program dalam memilih jenis, kualitas, harga dan tempat membeli bahan pangan. Adapun sasaran dari program BPNT ini adalah keluarga penerima manfaat (KPM) BPNT dengan kondisi sosial ekonomi 25% terendah di daerah pelaksanaan. Besaran BPNT adalah Rp. 110.000/KPM/Bulan. Bantuan tersebut tidak dapat diambil tunai, dan hanya dapat ditukarkan dengan beras dan/atau telur sesuai kebutuhan. Bantuan dapat disisakan dan terakumulasi dalam rekening Bantuan Pangan (Tim Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, 2017). Aksi peningkatan akses pangan terutama pada wilayah atau rumah tangga rawan pangan transien telah banyak dilakukan oleh Kementerian Sosial karena akibat adanya bencana. Program-program tersebut berdampak pada peningkatan akses pangan di wilayah tersebut dan rumah tangga yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah penduduk miskin dan penduduk rawan pangan. Akan tetapi, program peningkatan akses pangan untuk wilayah dan rumah tangga tetap harus dilakukan secara kontinyu bahkan perlu dilakukan upaya-upaya khusus agar berdampak pada perbaikan akses pangan secara signifikan. Sehingga akan berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah senantiasa selalu mendorong peran swasta melalui dana Corporate Sosial responsibility (CSR) dan masyarakat dalam pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan baik dalam kondisi normal maupun setelah terjadi bencana. Stabilitas Pangan Berdasarkan UU No. 18 tahun 2012, pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan pangan pokok pemerintah, dan distribusi pangan pokok untuk mewujudkan kecukupan pangan pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat. World Food Summit mengatakan bahwa stabilitas harus ada pada setiap saat, baik dalam hal ketersediaan, akses, dan pemanfaatan untuk terwujudnya ketahanan pangan. Dalam hal ketersediaan, kestabilan dalam tersedianya jumlah maupun mutunya yang dipengaruhi oleh luas lahan dan produktivitasnya; dalam hal keterjangkauan (akses) yaitu tentang stabilitas harga dan distribusi yang dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur; dan dalam hal pemanfaatan yaitu tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam bagaimana memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam konsumsi, produksi dan penganekaragaman pangan dengan cara yang baik dan benar. Stabilitas Ketersediaan Pangan Stabilitas ketersediaan pangan dapat dilihat dari tersedianya jumlah bahan pangan yang cukup untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat, serta cukup untuk memenuhi asupan gizi yang dibutuhkan. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut maka faktor yang paling berpengaruh yaitu faktor produksi bahan pangan. Produksi bahan pangan dipengaruhi oleh luas lahan dan produktivitasnya. Dengan semakin luas lahan yang tersedia, maka semakin besar pula lahan yang dapat dimanfaatkan untuk ditanami tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, tingkat produktivitas produksi bahan pangan juga berpengaruh terhadap ketersediaan bahan pangan, dimana dengan semakin tinggi produktivitas suatu lahan atau komoditi pangan, maka semakin mempunyai dampak yang baik terhadap ketersediaan pangan. Dengan meningkatnya luas lahan, diharapkan dapat diiringi dengan meningkatnya jumlah produksi bahan pangan sehingga produktivitas lahan semakin meningkat pula. Pertumbuhan penduduk yang semakin hari semakin meningkat akan menjadi ancaman terhadap luas lahan dan ketersediaan pangan di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya baik dari segi sumber daya manusia, teknologi (budidaya dan produksi benih unggul), dan faktor pendukung yang lain untuk dapat meningkatkan produktivitas suatu lahan. Hal tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk menjamin jumlah ketersediaan bahan pangan, tetapi juga dibutuhkan untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu baik serta aman untuk dikonsumsi. Faktor sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah sangat penting dalam menjamin stabilitas ketersediaan pangan di Indonesia. Stabilitas Akses Pangan Dari aspek keterjangkauan (akses), selain kegiatan distribusi pangan yang biasanya menjadi perhatian khusus yaitu harga pangan yang fluktuatif. Fluktuasi harga pangan masih sering terjadi, khususnya pada saat-saat tertentu seperti menjelang hari-hari besar keagamaan. Volatilitas yang tinggi terhadap harga pangan, tidak hanya disebabkan oleh kebijakan impor tetapi juga dipengaruhi oleh faktor ketersediaan bahan pangan yang sangat rendah terhadap perubahan musim. Oleh karena itu, stabilitas ketersediaan pangan terutama dari segi jumlah akan mempengaruhi stabilitas harga bahan pangan tersebut. Bahan pangan yang sering menyumbang komponen inflasi bergejolak antara lain: beras, cabai, daging ayam, telur ayam, minyak goreng dan bawang merah. Volatilitasnya yang tinggi bahkan sering tak terkendali pada saat tertentu, memaksa pemerintah melakukan berbagai upaya untuk dapat menstabilkannya melalui berbagai kebijakan seperti operasi pasar. Selain fluktuasi harga pangan, distribusi pasokan pangan juga harus diperhatikan mengingat jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar yang tersebar di berbagai pulau dan daerah di seluruh wilayah Indonesia. Ketersediaan pangan yang ada harus dapat dijangkau semua masyarakat dimana pun dan kapan pun termasuk daerah-daerah terpencil, sehingga infrastruktur harus baik untuk mendukung stabilitas akses pangan tersebut. Infrastruktur yang dimaksud meliputi infrastruktur langsung dan tidak langsung. Infrastruktur langsung seperti sistem irigasi, sedangkan indfrastruktur tidak langsung seperti jalan, jembatan, dan lain-lain. Stabilitas Pemanfaatan Pangan Untuk menjamin stabilitas dalam pemanfaatan pangan, maka hal yang perlu diperhatikan yaitu pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam memahami pentingnya konsumsi pangan yang baik, berimbang, dan beragam. Menurut UU No. 18 Tahun 2012, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas konsumsi masyarakat melalui: a. penetapan target pencapaian angka konsumsi pangan per kapita per tahun sesuai dengan ankga kecukupan gizi; b. penyediaan pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan c. pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, bermutu dan aman. Selain itu, disebutkan pula bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif. Penganekaragaman tersebut yaitu dengan mengarahkan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan membudayakan pola konsumsi pangan yang beragama, bergizi seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Dengan begitu, diharapkan masyarakat setelah memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang penganekaragaman pangan tersebut dapat memilih, mengolah, dan mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman. Tidak hanya pengetahuan tentang konsumi dan penganekaragaman pangan, pengetahuan tentang teknologi pengolahan bahan pangan juga sangat penting untuk dipahami oleh masyarakat, sebab pada proses pengolahan bahan pangan tersebut akan mempengaruhi mutu dan keamanan produk pangan yang dihasilkan. Untuk menghasilkan produk pangan yang bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi, maka harus memperhatikan higienitas, dan praktik atau proses pengolahan yang baik dan benar. Dengan demikian, maka akan terjamin kestabilan dalam pemanfaatan pangan. A. Rangkuman Akses pangan adalah penghubung ketersediaan pangan dan pemanfaatan pangan. Akses pangan terdiri dari 3 faktor penting yaitu: akses fisik, akses ekonomi dan akses sosial. Berdasarkan pengertiannya, akses fisik adalah bagaimana bahan yang sudah tersedia, dapat didistribusikan dengan baik pada seluruh wilayah Indonesia. Artinya infrastruktur pada semua daerah harus terjamin kelayakannya. Akses ekonomi adalah bagaimana bahan pangan yang telah tersedia di wilayah tersebut dapat dibeli oleh seluruh masyarakat. Artinya yang berpengaruh pada faktor ini adalah harga pangan dan kemampuan daya beli masyarakat terkait perbedaan pendapatan. Akses sosial dilihat dari tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri yang memiliki peran dominan dalam pemilihan makanan sehari-hari dalam rumah tangga. Stabilitas harus ada pada setiap saat, baik dalam hal ketersediaan, akses, dan pemanfaatan untuk terwujudnya ketahanan pangan. Stabilitas harus terwujud pada semua pilar ketahanan pangan baik ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. B. Soal Latihan 1. Bagaimana akses pangan dapat berpengaruh terhadap terwujudnya ketahanan pangan? 2. Apa yang menyebabkan harga pangan di Indonesia masih bersifat fluktuatif? 3. Apa peran stabilitas dalam mewujudkan ketahanan pangan? 4. Bagaimana cara mewujudkan stabilitas pada masing-masing pilar ketahanan pangan? 1. Tes Formatif 1. Akses pangan secara singkat dapat diartikan.. a. penghubung ketersediaan pangan dan pemanfaatan pangan b. penghubung ketersediaan pangan dan stabilitas pangan c. penghubung keterjangkauan pangan dan pemanfaatan pangan d. penghubung stabilitas pangan dan pemanfaatan pangan 2. Dibawah ini termasuk faktor dari akses pangan, kecuali a. Akses sosial b. Akses individu c. Akses ekonomi d. Akses fisik 3. Yang dimaksud dengan akses sosial adalah a. Dimana kecukupan gizi atau nutrisi keluarga ditentukan oleh pendidikan/pengetahuan istri tentang pangan baik pengolahan maupun jenisnya b. Dimana kecukupan gizi keluarga dilihat dari pendidikan keluarga tersebut c. Dimana kecukupan gizi kelaurga didominasi oleh kemauan anak d. Dimana kecukupan gizi suatu keluarga dilihat dari peran seorang ayah dalam mengatur keuangan keluarga 4. Syarat keluarga penerima manfaat (KPM) BPNT adalah a. Kondisi sosial ekonomi 35% terendah didaerah pelaksanaan