Summary

This document is about morphology and syntax in Indonesian. It explains the concept of morphemes, words, phrases, sentences, and the structure of the Indonesian language. It also describes the relationship between sound structure (phonology) and grammatical structure (morphology and syntax).

Full Transcript

MORFOLOGI DAN SINTAKSIS A. Morfologi Menurut Verhaar (1985:52), morfologi (morphology) atau tatabentuk adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Frasa ”secara gramatikal” dalam definisi ini mutlak, karena setiap kata juga dapat dibagi...

MORFOLOGI DAN SINTAKSIS A. Morfologi Menurut Verhaar (1985:52), morfologi (morphology) atau tatabentuk adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Frasa ”secara gramatikal” dalam definisi ini mutlak, karena setiap kata juga dapat dibagi atas segmen yang terkecil yang disebut fonem, tetapi fonem-fonem itu tidak harus berupa morfem. Contohnya, kata hormat terdiri atas enam fonem, tetapi kata tersebut terdiri atas satu morfem saja. Namun demikian, satu morfem dapat juga hanya terdiri atas satu fonem. Misalnya, -s dalam kata books atau -e dalam kata Jawa omahe ’rumahnya’. Terkait dengan kajian morfologi, Cahyono (1995:141) menyatakan bahwa sebuah cara yang cenderung lebih baik untuk melihat bentuk-bentuk dalam bahasa yang berbeda (misalnya bahasa Indonesia dan Inggris) ialah dengan menggunakan konsepsi unsur-unsur dalam pesan, dan bukan ‘kata-kata’. Jenis penjabaran itu merupakan sebuah contoh pengkajian bentuk-bentuk dalam bahasa yang secara umum dikenal dengan morfologi. Dengan demikian, morfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa serta pengaruh perubahan bentuk bahasa pada fungsi dan arti kata. Sasaran pengkajian dalam morfologi ialah kata dan morfem. Pada mulanya istilah itu digunakan dalam disiplin ilmu biologi, tetapi sejak pertengahan abad-19 istilah itu juga digunakan untuk mengacu ke jenis penelitian yang menganalisis satuan-satuan dasar yang digunakan dalam suatu bahasa. Morfologi menganalisis bagian-bagian kata. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata berjibab terdiri atas morfem ber- dan morfem jilbab. Dalam bahasa Inggris misalnya, kata unpredictable terdiri atas morfem un-, predict, dan -able. Morfem itu disebut satuan gramatikal yang terkecil dalam sistematika bahasa. Memang ada satuan bahasa yang lebih kecil lagi, yaitu fonem (misalnya, kata berjilbab terdiri atas sembilan fonem), tetapi fonem bukan merupakan satuan gramatikal. Selengkapnya, urutan satuan bahasa dimulai dari yang paling kecil hingga yang paling luas adalah fonem, morfem, kata, frasa, kalimat, alinea/paragraf, dan 1 wacana/karangan. Urutan tersebut dapat lebih dijelaskan dengan diagram sebagai berikut. wacana/karangan alinea/paragraf kalimat frasa kata morfem fonem (diagram satuan bentuk bahasa) Uraian berikut akan menjelaskan satuan-satuan bentuk bahasa tersebut. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa fonem bukan merupakan satuan gramatikal maka ia bukan bagian dari kajian morfologi (fonem bagian dari kajian fonologi). Oleh karena itu, dalam tulisan ini fonem tidak dibahas. Selain fonem, satuan lain yang tidak dibahas adalah alinea dan wacana. Ketiga satuan bahasa tersebut memerlukan uraian dan contoh-contoh yang cukup memadai, maka perlu dibahas tersendiri. 1. Morfem Dari analisis bahasa, kita dapat menemukan bahwa ‘bentuk-bentuk kata’ dalam suatu bahasa dapat mengandung sejumlah unsur. Kita mengetahui bahwa bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia seperti suratan, tersurat, dan disurati pastilah mengandung lebih dari satu unsur, yaitu surat, dan sejumlah unsur yang lain seperti - an, ter-, di-, dan -i. Semua unsur itu disebut morfem. 2 Morfem dapat didefinisikan sebagai ‘satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil’ (Kridalaksana, 1984:128). Misalnya, kata suratan, tersurat, dan disurati membentuk deretan morfologis. Yang dimaksud deretan morfologis ialah suatu deretan atau daftar memuat kata-kata yang berhubungan dalam bentuk dan artinya (Ramlan, 1985:30). Deretan morfologis berguna untuk menentukan morfem-morfem. Menurut Ramlan (1985), morfem dapat ditentukan berdasarkan enam prinsip. Pertama, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis dan arti (leksikal) atau makna (gramatikal) yang sama merupakan satu morfem, misalnya, satuan dengar dalam didengar, mendengar, pendengaran. Dengan demikian, tulis merupakan morfem. Kedua, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis berbeda merupakan satu morfem apabila satuan-satuan itu mempunyai arti atau makna yang sama, dan perbedaan struktur fonologisnya dapat dijelaskan secara fonologis. Misalnya, mem-, men-, dan meng- dalam kata membangun, mendaki, menggali memiliki arti yang sama dan struktur fonologisnya dapat dijelaskan secara fonologis. Yaitu, satuan- satuan itu muncul karena mengikuti konsonan /b/, /d/, dan /g/. Ketiga, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis berbeda, sekalipun perbedaannya tidak dapat dijelaskan secara fonologis, masih dapat dianggap sebagai satu morfem apabila mempunyai arti atau makna yang sama dan mempunyai distribusi komplementer (dapat diterapkan secara silih berganti). Misalnya, bel- dalam kata belajar merupakan satu morfem dengan satuan ber- dalam berlayar atau be- dalam bekerja, sebab mempunyai makna yang sama dan dapat diterapkan secara silih berganti. Keempat, apabila dalam deretan struktur suatu satuan berparalel dengan suatu kekosongan, kekosongan itu merupakan morfem. Misalnya, dalam kalimat Hasan makan kurma, kata makan dipakai tanpa menggunakan me-. Morfem yang tidak ada dalam struktur itu disebut morfem zero. (Sebagai catatan, di samping morfem zero juga terdapat morfem kosong. Morfem kosong ialah morfem yang terdapat dalam 3 struktur, tetapi tidak ikut memberikan makna dalam makna kalimat, contohnya there bahasa Inggris dalam kalimat There is a cat under the tree). Kelima, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis yang sama mungkin merupakan satu morfem, mungkin pula merupakan morfem yang berbeda. Dikatakan morfem yang sama jika maknanya berhubungan walaupun letaknya dalam kalimat tidak sama, misalnya kata duduk dalam kalimat Salma sedang duduk dan Duduk orang itu sangat sopan. Dikatakan morfem berbeda apabila artinya berbeda, misalnya kata bisa berarti ‘racun’ dan bisa berarti ‘dapat’ atau kata mulut dalam kalimat Mulut gua itu ditumbuhi semak-semak dan Mulut orang itu lebar. Keenam, setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem. Contohnya, di samping kata berpegang yang memiliki satuan ber- dan pegang terdapat kata pegangan yang memiliki satuan pegang dan -an. Oleh karena itu, ber-, pegang, dan -an merupakan morfem yang berbeda. a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat Morfem dapat dibagi menjadi dua yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Menurut Finoza (2001:70), morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua kata dasar tergolong morfem bebas, misalnya, syahadat, salat, puasa, zakat, haji, saksi, doa, tahan, suci, dan sengaja. Adapun morfem terikat ialah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dari segi makna. Makna morfem terikat baru jelas setelah morfem itu dihubungkan dengan morfem lain. Semua imbuhan/afiks (awalan/prefiks, sisipan/infiks, akhiran/sufiks, dan kombinasi antara awalan dan akhiran/konfiks) tergolong morfem terikat, misalnya me-, di-, ber-, ter-, -in-, -em-, -el-, -an, -kan, -i, ke-an, ber-an, di-i, me-kan, di-kan, dan sebagainya. Selain itu, unsur-unsur kecil seperti partikel –ku, -nya, -lah, -kah, -tah dan bentuk-bentuk lain yang tidak dapat berdiri sendiri juga tergolong morfem terikat. Morfem bebas pada umumnya dipandang sebagai kelompok kata yang dapat berdiri sendiri. Apabila morfem bebas itu digunakan bersama dengan morfem terikat, bentuk kata dasar yang dilibatkan itu disebut bentuk asal (Ramlan, 1985:44) atau pangkal (stem) (Kridalaksana, 1984: 138). Bagian kata yang tinggal bila semua afiks 4 telah disingkirkan itu disebut akar (Samsuri, 1988:19). Apabila sebuah satuan menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar, satuan itu disebut bentuk dasar (Ramlan, 1985:45) atau dasar (base) (Kridalaksana, 1984:35). Misalnya, kata bergandengan memiliki bentuk dasar gandengan dan memiliki pangkal gandeng. Morfem dan fungsi gramatikal untuk kata gandengan dan bandingkanlah dapat dilihat sebagai berikut : bergandengan bandingkanlah ber- gandeng -an banding -kan -lah prefiks pangkal sufiks pangkal sufiks sufiks terikat bebas terikat bebas terikat terikat Pendeskripsian semacam itu merupakan penyempurnaan fakta-fakta morfologis dalam bahasa Indonesia. Ada sejumlah kata bahasa Indonesia mempunyai unsur yang tampaknya menyerupai pangkal, tetapi pada kenyataannya merupakan morfem bebas. Dalam kata-kata seperti selokan, pasukan, permen, perkara, perkakas, dan gulai (yang bermakna makanan), kita dapat teringat adanya morfem terikat -kan, per-, dan -i, tetapi dalam kata-kata tersebut unsur-unsur selo, pasu, men, kara, kakas, dan gula jelas bukanlah morfem bebas. Semua kata tersebut merupakan pangkal. Selanjutnya, morfem bebas mempunyai dua kategori. Kategori pertama disebut morfem leksikal, dipandang sebagai kata-kata yang mengandung ‘isi’ pesan yang disampaikan. Contoh morfem lesikal itu ialah : meja, Mekah, anak, rumah, harimau, sabar, syukur, panjang, merah, dengar, pandang, makan, kemarin, Arafah. Kelompok morfem bebas yang lain disebut dengan morfem gramatikal. Kelompok ini terdiri dari kata tugas seperti preposisi, konjungsi, interjeksi, artikel, dan partikel. Contoh morfem gramatikal ialah di, dan, serta, tetapi, ah, hai, si, sang, sebab, pada, lah, kah, pun, dan sebagainya. Afiks yang termasuk dalam kategori morfem terikat itu dapat dibagi menjadi dua tipe, yakni morfem derivasional dan infleksional. Morfem derivasional berfungsi mengalihkan kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata yang berbeda. Dengan demikian, penambahan morfem derivasional pe- mengubah verba kerja menjadi 5 nomina pekerja. Penambahan morfem derivasional dalam bahasa Inggris, misalnya, - ness mengubah adjektiva good menjadi nomina goodness. Di samping itu, apabila muncul satu morfem derivasional dalam morfem infleksional untuk membentuk suatu kata, morfem derivasional didahulukan (Parera, 1988:25). Misalnya dalam bahasa Inggris terdapat kata nation. Nomina itu dapat berubah menjadi adjektiva karena penambahan sufiks -al yang mengubahnya menjadi national. Adjektiva itu dapat diubah menjadi nomina lagi dengan menambahkan sufiks -ist. Kedua sufiks itu merupakan morfem derivasional. Pengubahan nationalist menjadi bentuk pluralis nationalists memerlukan penambahan morfem infleksional -s. Contoh lainnya, nomina nature menjadi adjektiva natural, kemudian menjadi nomina lagi naturalist, dan naturalists. Morfem terikat yang kedua mengandung apa yang disebut morfem infleksional. Morfem infleksional itu tidak digunakan untuk menghasilkan kata-kata baru, tetapi berfungsi sebagai pernyataan kategori gramatika dan hubungan sintaksis. Morfem infleksional tidak dapat diulang dalam satu kata infleksional, dan pada umumnya morfem itu menyatakan hubungan sintaksis dan kategori gramatika terjadi di bagian akhir dalam struktur kata infleksional. Dalam bahasa Inggris, contoh-contoh morfem infleksional dapat dilihat dalam penggunaan -ed untuk mengacu ke kata lampau, misalnya pray menjadi bentuk kata lampau prayed, dan penggunaan -s untuk membuat bentuk singularis menjadi bentuk pluralis, seperti kata book menjadi books. Dengan berbekal pengetahuan tentang tipe-tipe morfem di atas, kita dapat mengambil kalimat bahasa Indonesia dan mendaftar unsur-unsur yang ada ke dalam suatu uraian morfologis. Misalnya, kalimat Indonesia Sastrawan sastrawati Indonesia mengikuti seminar linguistik di Leiden mengandung unsur-unsur: sastra leksikal -wan derivasional sastra leksikal -wati infleksional Indonesia leksikal meng- derivasional 6 ikut leksikal -i derivasional seminar leksikal linguistik leksikal di gramatikal Leiden leksikal Bagan berikut dapat digunakan sebagai alat untuk mengingat jenis-jenis morfem yang diuraikan di atas: leksikal bebas gramatikal morfem derivasional terikat infleksional Penguraian bentuk-bentuk turunan bahasa Indonesia ke dalam morfem derivasional dan morfem infleksional tidak selalu dapat dilakukan. Dalam penjelasan tentang morfem derivasional di atas, misalnya, dinyatakan bahwa morfem derivasional berfungsi mengalihkan kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata yang berbeda. Hal itu hendaklah dipandang sebagai pengungkapan salah satu ciri morfem derivasional (Parera, 1988:25) secara umum, tetapi tidak dapat dijadikan generalisasi untuk bentuk-bentuk turunan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kata menulis, menulisi, dan menuliskan memiliki leksem (satuan terkecil dari leksikon) tulis. Bagaimana halnya dengan kata mencangkul, mencangkuli, dan mencangkulkan? Leksemnya ialah cangkul. Dalam perbandingan itu kedua pangkal itu tidak memiliki kelas yang sama. Leksem tulis merupakan verba, sedangkan cangkul adalah nomina Oleh karena itulah, kecermatan dalam penelaahan contoh bentuk-bentuk bahasa Indonesia menjadi penting. b. Morf dan Alomorf Perhatikanlah kata-kata seperti melakukan, membacakan, mendahulukan, dan menghabiskan. Apabila kata-kata tersebut diuraikan menjadi morfem-morfem, kita akan mendapatkan morfem bebas laku, baca, dahulu, habis dan morfem terikat me- kan, mem-kan, men-kan, dan meng-kan. Walaupun bentuk-bentuk konfiks itu 7 mempunyai bangun fonemis yang berbeda, bentu-bentuk itu mempunyai fungsi, sebaran sintaksis, dan makna yang sama. Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, sebuah morfem tidak selalu terbatas pada satu bangun fonemis saja. Sebuah morfem dapat pula diwakili oleh bangun fonemis yang lain. Kedua, dari kenyataan semacam itu perlu diciptakan suatu istilah untuk membedakan bangun fonemis yang berbeda dari morfem yang sama. Ketiga, dari varian-varian morfem itu perlu ditentukan salah satu bangun fonemis tertentu untuk morfem yang sama sebagai dasar perwakilan varian- varian bentuk. Salah satu cara untuk menyikapi perbedaan morfem-morfem semacam itu ialah dengan mengusulkan variasi aturan realisasi morfologis. Untuk melakukan hal itu, kita membuat suatu analogi dengan proses analisis fonologi. Apabila kita menganggap fon (yang berarti ‘bunyi’) sebagai realisasi fonetik nyata dari fonem, kita dapat menyatakan morf (yang berarti ‘bentuk’) sebagai bentuk nyata yang digunakan untuk merealisasikan morfem. Demikian pula, apabila kita menyatakan bahwa terdapat alofon dari satu fonem tertentu, kita juga dapat mengenali adanya alomorf dari satu morfem tertentu. Alomorf ialah perwakilan dari sebuah morfem tertentu berdasarkan lingkungan. Alo- atau allo- ialah awalan yang mempunyai makna ‘varian’. Dengan demikian, alofon ialah varian fonem dan alomorf ialah varian bentuk. Alomorf itu terjadi apabila sebuah morfem kadang-kadang diwakili oleh satu bangun fonemis tertentu sesuai dengan lingkungannya, dan kadang-kadang diwakili oleh bangun fonemis yang lain. Berdasarkan contoh di atas dapat ditunjukkan bahwa bentuk me-kan, mem- kan, men-kan, dan meng-kan mempunyai bengun fonemis yang berbeda dari morfem yang sama. Lingkungan yang dimaksud ialah lingkungan fonemis/fonetiknya. Bangun fonem me-kan, terjadi karena morf itu bergandengan dengan satu morfem yang berbunyi awal /l/ (laku). Sedangkan bangun fonemis mem-kan, men-kan, dan meng- kan muncul secara berturut-turut, karena diletakkan dengan morfem-morfem yang berbunyi awal /b/(baca), /d/(dahulu), dan /g/(habis). 8 Bentu-bentuk itu merupakan alomorf dan dapat silih berganti sesuai dengan lingkungannya. Walaupun bentuk-bentuk itu mempunyai bangun fonemis yang berbeda, fungsi, sebaran sintaksis, dan makna bentuk-bentuk itu sama. Proses perubahan bentuk yang disyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan dinamakan proses morfofonemik. Dalam contoh itu, perubahan me- menjadi mem-, men-, dan meng- adalah proses morfofonemik. Fonem akhir tiap-tiap alomorf dalam proses morfofonemik itu disebut morfofonem. c. Proses Morfologis Perhatikanlah kata bertangan, tangan-tangan, dan tangan besi. Ketiga kata itu memiliki bentuk tangan. Tangan dalam kata pertama mengalami pemberian imbuhan berupa prefiks ber-. Tangan dalam kata kedua mengalami pengulangan bentuk dasar sehingga menghasilkan kata ulang. Tangan dalam kata ketiga digabungkan dengan bentuk dasar besi sehingga membentuk kata tangan besi. Proses pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem lain yang merupakan bentuk dasar itu disebut proses morfologis. Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfologis. Proses yang pertama disebut afiksasi/pengafiksan/pembubuhan afiks; proses kedua disebut reduplikasi atau pengulangan; dan proses yang ketiga disebut pemajemukan atau penggabungan. Afiksasi ialah pembubuhan imbuhan pada suatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata. Afiksasi terjadi apabila sebuah morfem terikat dibubuhkan pada suatu morfem terikat. Berdasarkan kedudukan morfem terikat dengan morfem bebas itu, pembubuhan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu pembubuhan depan, pembubuhan tengah, pembubuhan akhir, dan pembubuhan terbelah (Parera, 1988:18). Dalam bahasa Indonesia, pembubuhan depan dilakukan dengan pemberian prefiks, misalnya per-, di-, ke-, me-, dan sebagainya. Pembubuhan tengah dilakukan dengan pemberian infiks, yaitu -er, -em, - el, dan -m-. pembubuhan akhir dapat dilakukan dengan sufiks -kan, -i, -an, dan 9 sebagainya. Pembubuhan terbelah dilakukan dengan pemberian konfiks, misalnya ke- an, per-an, ber-an, dan sebagainya Reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik disertai variasi fonem maupun tidak. Setiap kata ulang memiliki satuan yang diulang, yaitu dasar. Misalnya, dasar mobil-mobilan dan kehormatan- kehormatan ialah mobil dan kehormatan. Penentuan dasar kata ulang dapat ditentukan dengan dua cara. Pertama, pengulangan mengubah atau tidak mengubah kelas kata. Pengulangan yang mengubah kelas kata itu, misalnya kata ulang berjalan-jalan (verba), kuda-kudaan (nomina), kekuning-kuningan (adjektiva) mempunyai dasar berjalan (verba), kuda (nomina), kunig (adjektiva). Pengulangan yang tidak mengubah kelas kata itu, misalnya kata ulang sejujur-jujurnya dan sebaik- baiknya (adverbia) memiliki dasar jujur dan baik (adjektiva). Kedua, dasar pengulangan selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Contohnya, kata ulang berhimpit-himpitan dan mempermalu-malukan memiliki dasar berhimpitan dan mempermalukan, bukan berhimpit dan mempermalu. Berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya, pengulangan dapat digolongkan menjadi empat, yaitu (1) pengulangan keseluruhan atau disebut juga pengulangan simetris; (2) pengulangan sebagian; (3) pengulangan dengan pengafiksan; dan (4) pengulangan dengan perubahan morfem. Pengulangan keseluruhan ialah pengulangan seluruh bentuk dasar tanpa perubahan fonem dan tidak dengan pengafiksan. Contoh pengulangan keseluruhan ialah pohon-pohon, sekali-sekali, dan keberlangsungan-keberlangsungan. Pengulangan sebagian ialah pengulangan sebagaian bentuk dasarnya. Contoh pengulangan sebagian ialah pertama-tama, tetanda, dan membakar-bakar. Pengulangan dengan pengafiksan ialah pengulangan yang terjadi bersama-sama dengan proses pengimbuhan dan bersama-sama mendukung satu fungsi. Misalnya pengulangan dengan pengafiksan ialah gunung-gunungan, kolam-kolaman, dan sebenar-benarnya. Pengulangan dengan perubahan fonem ialah pengulangan yang disertai perubahan dalam vokal atau konsonannya. Contoh pengulangan yang melibatkan perubahan vokal antara lain mondar-mandir, gerak-gerik, morat-marit, corat-coret, serba-serbi, dan warna- 10 warni. Contoh pengulangan yang melibatkan perubahan konsonan antara lain lauk- pauk, carut-marut, ramah-tamah, dan hiruk-pikuk. Dalam bahasa Indonesia dapat diperoleh gabungan dua kata yang menimbulkan kata baru. Kata yang terjadi dari gabungan dua kata dan menimbulkan kata baru itu disebut kata majemuk. Kata mejemuk itu dihasilkan melalui proses yang disebut pemajemukan. Kata majemuk memiliki ciri-ciri berikut. Pertama, salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata, misalnya kamar mandi, rumah sakit, pasukan tempur, kuda balap, dan lain-lain. Kedua, unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan atau diubah strukturnya. Misalnya, kata kolam renang tidak dapat dipisahkan menjadi kolam itu renang. Contoh yang lain, kata anak buah dapat dipakai dalam kalimat Ia menjadi anak buah bupati, tetapi tidak dapat dipakai dalam kalimat Ia menjadi anak dan buah bupati. Ada kalanya kata majemuk memiliki unsur morfem unik, yaitu morfem yang hanya mampu bergabung dengan satu satuan tertentu. Contohnya, simpang siur, tunggang langgang, porak poranda, kacau balau dan sunyi senyap. Kata siur, langgang, poranda, balau, dan senyap, itu hanya dapat berpadu dengan simpang, tunggang, porak, kacau, dan sunyi (Ramlan, 1985:74). Dengan mengambil contoh bahasa lain, proses morfologis tidak hanya mencakup pengafiksan, reduplikasi, dan pemajemukan. Akan tetapi proses situ masih dapat ditambah lagi dengan perubahan intern, suplesi, dan modifikasi kosong (Samsuri, 1987 : 192-194). Contoh-contoh berikut didasarkan pada bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris terdapat proses morfologis yang menyebabkan perubahan bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri. Perubahan bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri disebut perubahan intern. Contoh perubahan intern itu dapat diamati pada perubahan dari bentuk singularis menjadi bentuk pluralis kata-kata tertentu dan perubahan kala kini menjadi kala lampau kata-kata tertentu. Sebagai contoh, perhatikan perubahan bentuk singularis menjadi pluralis dan bentuk kala kini menjadi kala lampau berikut ini. Singularis Pluralis foot /fut/ ‘kaki’ feet /fi:t/ 11 mouse /maus/ ‘tikus’ mice /mais/ Kala kini Kala lampau take /teik/ ‘mengambil’ took /tuk/ sing /siŋ/ ‘menyanyi’ sang /sæŋ/ Dalam contoh itu terdapat perubahan bentuk morfem dalam morfem itu sendiri. Proses morfologi itu dapat diterangkan sebagai berikut : {fut} + {jamak} /fi:t/ {maus} + {jamak} /mais/ {teik} + {kala lampau} /tuk/ {siŋ} + {kala lampau} /sæŋ/ Suplisi ialah proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk yang sama sekali baru. Dalam bahasa Inggris, bentuk kala kini go dan am dapat menjadi bentuk yang sama sekali baru dalam kala lampau. Kala kini Kala lampau go /gou/ ‘pergi’ went /went/ am /æm/ ‘(adalah)’ was /wəz/ Proses morfologis itu dapat diterangkan sebagai berikut. {gou} + {kala lampau} /went/ {æm} + {kala lampau} /wəz/ Modifikasi kosong ialah proses morfologis yang tidak menimbulkan perubahan pada bentuknya, tetapi konsepnya saja yang brubah. Dalam bahasa Inggris, bentuk pluralis kata sheep, deer memiliki bentuk yang sama dengan bentuk singularisnya. Demikian pula, bentuk kala lampau kata-kata put, cut sama dengan bentuk kala kini kata-kata itu. Perhatikan contoh berikut ini. Singularis Pluralis sheep /ʃi:p/ ‘domba’ sheep /ʃi:p/ deer /di:r/ ‘kijang’ deer /di:r/ 12 Kala kini Kala lampau put /put/ ‘menaruh’ put /put/ cut /kat/ ‘memotong’ cut /kat/ Dalam contoh itu tidak terdapat perubahan bentuk morfem. Proses morfologis itu dapat diterangkan sebagai berikut: {ʃi:p} + {jamak} /ʃi:p/ {di:r} + {jamak} /di:r/ {put} + {kala lampau} /put/ {kat} + {kala lampau} /kat/ 2. Kata Finoza (2001:71) menyatakan bahwa kata adalah bentuk terkecil dari kalimat yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti. Kata sebagai bentuk terkecil memakai tolok ukur kalimat karena gabungan kata dapat membentuk kalimat. Pakar lain menyatakan bahwa kata mempunyai pengertian satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas (Kridalaksana, 1984:89). Kata merupakan dua macam satuan, yaitu satuan fonologis dan satuan gramatikal. Sebagai satuan fonologis, kata terdiri dari satu suku kata atau lebih dan suku kata itu terdiri dari satu fonem atau lebih. Sebagai contoh, kata membaca terdiri dari tiga suku kata, yaitu mem, ba, dan ca. Suku kata mem terdiri atas tiga fonem, ba terdiri atasa dua fonem, dan ca terdiri atas dua fonem. Dengan demikian, kata membaca terdiri atas tujuh fonem. Sebagai satuan gramatikal, kata terdiri atas satu morfem atau lebih. Kata membaca terdiri atas morfem mem- dan baca. Dari segi bentuknya, kata dapat dibedakan atas dua macam, yaitu kata bermorfem tunggal dan kata yang bermorfem lebih dari satu. Kata yang bermorfem tunggal disebut pula kata dasar, yaitu kata yang tidak berafiks (tidak berimbuhan). Kata dasar pada umumnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi kata turunan, yaitu kata yang berafiks. Tabel berikut memperjelas perubahan kata dasar menjadi kata turunan. Kata Dasar Kata Turunan 13 syahadat bersyahadat, mensyahadati, disyahadati salat menyalati, menyalatkan, disalati, disalatkan puasa berpuasa, memuasai, memuasakan, dipuasai, dipuasakan zakat berzakat, menzakati, menzakatkan, dizakati, dizakatkan haji berhaji, menghajikan, dihajikan nikah menikah, menikahi, menikahkan, dinikahi, dinikahkan, pernikahan Perubahan kata dasar menjadi kata turunan, selain mengakibatkan perubahan bentuk, juga peribahan makna. Selanjutnya, perubahan makna menyebabkan perubahan jenis atau kelas kata. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1998), pengelompokan kelas kata bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. a. Kata Kerja (Verba), misalnya tulis, pergi, bicara, lihat, baca, makan, cubit, potong, sambung, salur, tendang, dan sebagainya b. Kata Sifat (Adjektiva), misalnya baik, indah, mahal pandai, senang, luas, malu, sabar, dan sebagianya. c. Kata Keterangan (Adverbia), misalnya sekarang, di sana, demi sahabat, segera, tanpa, dengan gunting, bagaikan karang, dan sebagainya. d. Rumpun Kata Benda, yang meliputi: 1) Kata Nama (Nomina), misalnya masjid, Ka’bah, sajadah, mimbar, pikiran, dan sebaginya. 2) Kata Ganti (Pronomina), misalnya saya, kami, kita, dia, mereka, apa, siapa, kapan, Bu, Pak, Prof, dan sebagainya. 3) Kata Bilangan (Numeralia), misalnya setengah, satu, sepuluh, seratus, seribu, dan sebagainya. e. Rumpun Kata Tugas, yang meliputi: 1) Kata Depan (Preposisi), misalnya di, pada, bagi, oleh, sejak, dan sebagainya. 14 2) Kata Sambung (Konjungsi), misalnya dan, kalau, atau, tetapi, melainkan, ketika, sehingga, agar, meskipun, dan sebagainya. 3) Kata Seru (Interjeksi), misalnya ayo, aduh, ih, sial, he, wah dan sebagainya. 4) Kata Sandang (Artikel), misalnya si, sang, dan para. 3. Frasa Frasa adalah kelompok kata yang tidak mengandung predikat. Pengetian kelompok kata bukanlah asal menyandingkan dua kata atau lebih yang tidak memiliki hubungan samasekali; atau kalaupun ada, hubungan itu sangat jauh sehingga tidak membentuk kesatuan makna. Kelompok kata hujan komputer karpet meja siuman bukanlah frasa karena tidak memiliki kesatuan makna. Ciri-ciri frasa itu ada tiga, yaitu (1) konstruksinya tidak memiliki predikat (nonpredikatif), (2) proses pemaknaannya berbeda dengan idiom, dan (3) susunan katanya berpola tetap (Finoza, 2001:84). Setiap frasa tidak boleh mengandung predikat. Predikat adalah kata yang menerangkan perbuatan/tindakan atau sifat dari pelaku/subjek. Contohnya, bahasa Indonesia (frasa), belajar bahasa Indonesia (bukan frasa melainkan klausa). Makna frasa tidak sama dengan idiom walaupu keduanya berupa gabungan kata. Rumus idiom adalah A + B = C, sedangkan rumus frasa adalah A + B = AB. Misalnya, gulung tikar adalah idiom karena berarti ’bangkrut’, sedangkan siap tempur adalah frasa karena artinya ’siap untuk bertempur”. Susunan kata dalam frasa berpola tetap, tegar (fixed), tidak tergoyahkan, dan tidak boleh dibalik. Jika posisinya berpindah, kelompok kata itu berpindah secara utuh. Misalnya, Hari ini akan ada jumpa pers. Jika posisinya berpindah menjadi Jumpa pers akan diadakan hari ini. Berikut disajikan contoh-contoh jenis frasa dengan tujuan utama agar dapat dimanfaatkan sebagai pengisi fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan dalam penyusunan kalimat. a. Frasa verbal, misalnya asyik berdzikir, sudah membaik, harus menulis, sedang berpikir. 15 b. Frasa adjektival, misalnya kedap suara, terang benderang, sangat serius, lebih dari memuaskan. c. Frasa adverbial, misalnya pada masa Orde Baru, di bawah meja, laksana intan berlian, karena sayang. d. Frasa nominal, misalnya anak cucu, wajib pajak, pedagang eceran, kesimpulan yang signifikan. e. Frasa preposisional, misalnya sampai dengan, oleh karena, ke dalam, dari depan. B. Sintaksis Menurut Verhaar (1985:70) sintaksis berasal dari Yunani sun yang berarti ’dengan’ dan tattein yang artinya ’menempatkan’. Istilah tersebut secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Bidang sintaksis (syntax) menyelidiki semua hubungan antarkata dan antarkelompok kata (antarfrasa) dalam satuan dasar sintaksis, yaitu kalimat. Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa morfologi mengkaji hubungan-hubungan gramatikal dalam kata itu sendiri, sedangkan sintaksis mengkaji hubungan gramatikal di luar batas kata, yaitu dalam satuan yang disebut kalimat. Mengacu pada penjelasan Verhaar tersebut, uraian tentang sintaksis dalam tulisan ini lebih difokuskan bahasan tentang kalimat, sebagai berikut. 1. Pengertian Kalimat Menurut Finoza (2001:115), hal yang menyebabkan kalimat menjadi bidang kajian bahasa yang penting tidak lain karena melalui kalimatlah seseorang dapat menyampaikan maksudnya dengan jelas. Satuan bahasa yang sudah dikenal sebelum sampai pada tataran kalimat adalah kata (misalnya tidak) dan frasa atau kelompok kata (misalnya tidak tahu). Kedua bentuk itu, kata dan frasa, tidak dapat mengungkapkan suatu maksud dengan jelas, kecuali jika keduanya sedang berperan sebagai kalimat. Untuk dapat berkalimat dengan baik, perlu kita pahami terlebih dahulu struktur dasar suatu kalimat. Kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal subjek (S) dan predikat (P) dan intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis adalah berupa tanda baca titik (.), 16 tanda tanya (?), atau tanda seru (!). Penetapan struktur minimal S dan P dalam hal ini menunjukkan bahwa kalimat bukanlah semata-mata gabungan atau rangkaian kata yang tidak mempunyai kesatuan bentuk. Lengkap dengan makna menunujukkan sebuah kalimat harus mengandung pokok pikiran yang lengkap sebagai pengungkap maksud penuturnya. 2. Unsur Kalimat Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang di dalam buku-buku tata bahasa Indonesia lama lazim disebut jabatan kata dalam kalimat, yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Kalimat bahasa Indonesia baku sekurang-kurangnya terdiri atas dua unsur, yakni subjek dan predikat. Fungsi unsur yang lain (objek, pelengkap, dan keterangan) dalam suatu kalimat dapat wajib hadir, tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir. a. Predikat Predikat (P) adalah bagian kalimat yang memberi tahu melakukan (tindakan) apa atau dalam kedaan bagaimana subjek (pelaku). Selain menyatakan tindakan atau perbuatan subjek (S), sesuatu yang dinyatakan oleh P dapat pula mengenai sifat, situasi, status, ciri atau jati diri S. Predikat dapat berupa kata atau frasa, sebagian besar berkelas verba atau adjektiva, tetapi dapat juga nomina atau frasa nominal. Perhatikan contoh berikut ini. Contoh: (1) Salma sedang tidur siang. (2) Putrinya cantik jelita. (3) Kota Jakarta dalam keadaan aman. (4) Kucingku belang tiga. (5) Aji mahasiswa baru. Kata-kata yang dicetak miring dalam kalimat (1) — (5) adalah P. Kelompok kata sedang tidur pada kalimat (1) memberitahukan melakukan apa Salma; cantik jelita pada kalimat (2) memberitahukan bagaimana putrinya; dalam kedaan aman pada kalimat (3) 17 memberitahukan situasi Kota Jakarta; belang tiga pada kalimat (4) memberitahukan ciri kucingku; dan mahasiswa baru pada kalimat (5) memberitahukan status Aji. Inilah contoh “kalimat” yang tidak memiliki P karena tidak ada bagian kalimat yang menginformasikan perbuatan, sifat, keadaan, ciri, atau status S. (6) Adik saya yang gendut lagi lucu itu. (7) Rumah kami yang terletak di Jln. Gatot Subroto. (8) Bogor yang terkenal sebagai kota hujan. Walaupun contoh (6), (7), (8) ditulis persis seperti lazimnya kalimat normal, yaitu diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, namun di dalamnya tidak ada satu kata pun yang berfungsi sebagai P. Tidak ada jawaban atas pertanyaan melakukan apa adik yang gendut, lagi lucu (pelaku) pada contoh (6); tidak ada jawaban atas pertanyaan kenapa atau ada apa dengan rumah di Jalan Gatot Subroto dan Bogor yang terkenal sebagai kota hujan itu pada (7) dan (8). Karena tidak ada informasi tentang tindakan, sifat, atau hal lain yang dituntut oleh P, maka contoh (6), (7), (8) tidak mengandung P. Karena belum mempunyai P, rangkaian kata-kata yang cukup panjang pada (6), (7), (8) itu belum merupakan kalimat, melainkan baru merupakan frasa. b. Subjek Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunujukkan pelaku, sosok (benda), sesuatu hal, atau masalah yang menjadi pangkal/pokok pembicaraan. Subjek biasanya diisi oleh jenis kata/frasa benda (nominal), klausa, atau frasa verbal. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut. (9) Meja direktur besar. (10) Ayahku sedang menulis. (11) Yang berbaju batik dosen saya. (12) Berjalan kaki menyehatkan badan. (13) Membangun jalan layang sangat mahal. Kata-kata yang dicetak miring pada kalimat (9) - (13) adalah S. Contoh S yang diisi oleh kata dan frasa benda terdapat pada kalimat (9) dan (10); contoh S yang 18 diisi oleh klausa terdapat pada kalimat (11); dan contoh S yang diisi oleh frasa verbal terdapat pada kalimat (12) dan (13). Dalam bahasa Indonesia, setiap kata, frasa, klausa pembentuk S selalu merujuk pada benda (konkret atau abstrak). Pada contoh di atas, kendatipun jenis kata yang mengisi S pada kalimat (11), (12) dan (13) bukan kata benda, namun hakikat fisiknya tetap merujuk pada benda. Bila kita menunjuk pelaku dalam kalimat (11) dan (12), yang berbaju batik dan berjalan kaki tentulah orang (benda). Demikian juga membangun jalan layang yang merupakan S pada kalimat (13) secara implisit juga merujuk pada ‘hasil membangun’ yang tidak lain adalah benda juga. Di samping itu, kalau di selami lebih dalam, sebenarnya ada nomina yang lesap pada awal kalimat (11) - (13), yaitu orang pada awal kalimat (11) dan kegiatan pada awal kalimat (12) dan (13). Selain ciri di atas, S dapat juga dikenali dengan cara bertanya memakai kata tanya siapa (yang)… atau apa (yang)… kepada P. Kalau ada jawaban yang logis atas pertanyaan yang diajukan, itulah S. Jika ternyata jawabannya tidak ada atau tidak logis berarti kalimat itu tidak mempunyai S. Inilah contoh “kalimat” yang tidak mempunyai S karena tidak ada/tidak jelas pelaku atau bendanya. (14) Bagi siswa sekolah dilarang masuk. (15) Di sini melayani resep obat generik. (16) Memandikan adik di pagi hari. Contoh (14) - (16) belum memenuhi syarat sebagai kalimat karena tidak mempunyai S. Kalau ditanya kepada P siapa yang dilarang masuk pada contoh (14); siapa yang melayani resep pada contoh (15); dan siapa yang memandikan adik pada contoh (16), tidak ada jawabnya. Kalau ada pun, jawaban itu terasa tidak logis. 19 c. Objek Objek (O) adalah bagian kalimat yang melengkapai P. Objek pada umumnya diisi oleh nomina, frasa nominal, atau klausa. Letak O selalu di belakang P yang berupa verba transitif, yaitu verba yang menuntut wajib hadirnya O seperti contoh di bawah ini. (17) a. Aisyah membakar … b. Adi menendang … c. Polisi itu menangkap … Verba transitif membakar, menendang, dan menangkap pada contoh (17) adalah P yang menuntut untuk dilengkapi. Unsur yang akan melengkapi P bagi ketiga kalimat itulah yang dinamakan objek. Jika P diisi oleh verba intransitif, O tidak diperlukan. Karena itulah sifat O dalam kalimat dikatakan tidak wajib hadir. Verba intransitif mandi, tidur, pulang yang menjadi P dalam contoh (18) tidak menunutut untuk dilengkapi. (18) a. Kakak mandi. b. Ibu tidur. c. Ayah pulang. Objek yang umumnya terdapat dalam kalimat aktif dapat berubah menjadi S jika kalimatnya dipasifkan. Perhatikan contoh kalimat berikut yang letak O-nya di belakang kalimat dan ubahan posisinya bila kalimatnya dipasifkan. (19) a. Kakak menidurkan adik [O]. b. Adik [S] ditidurkan oleh kakak. (20) a. Orang itu menolong paman saya [O]. b. Paman saya [S] ditolong oleh orang itu. (21) a. Rani menjewer telinga Rina [O]. 20 b. Telinga Rina [S] dijewer oleh Rani. (22) a. Ayah menjual mobil bekas [O]. b. Mobil bekas [S] dijual oleh ayah. d. Pelengkap Pelengkap (Pel) atau komplemen adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Letak Pel umumnya di belakang P yang berupa verba. Posisi seperti itu juga ditempati oleh O, dan jenis kata yang mengisi Pel dan O juga sama, yaitu dapat berupa nomina, frasa nominal atau klausa. Namun, antara Pel dan O terdapat perbedaan. Perhatikan contoh di bawah ini. (23) Mahasiswa // membacakan // Al-Quran. S P O (24) Sebagian sekolah // berlandaskan // Al-Quran. S P Pel Kedua kalimat aktif (23) dan (24) yang Pel dan O-nya sama-sama diisi oleh nomina Al-Quran, jika hendak dipasifkan, ternyata yang bisa hanya kalimat (23) yang menempatkan Al-Quran sebagai O. Ubahan kalimat (23) menjadi kalimat pasif adalah (23a). (23a) Al-Quran [S]// dibacakan oleh // mahasiswa [O]. Posisi Al-Quran sebagai Pel pada kalimat (24) tidak bisa dipindah ke depan menjadi S dalam kalimat pasif. Contoh (24a) adalah kalimat yang tidak gramatikal. (24a) Al-Quran // dilandasi oleh // sebagian sekolah. Hal lain yang membedakan Pel dan O adalah jenis pengisinya. Selain diisi oleh nomina dan frasa nominal, Pel dapat pula diisi oleh frasa adjektival dan frasa preposisional. Di samping itu, letak Pel tidak selalu persis di belakang P. Kalau dalam kalimatnya terdapat O, letak Pel adalah di belakang O sehingga urutan penulisan 21 bagian kalimat menjadi S-P-O-Pel. Berikuat adalah beberapa contoh pelengkap dalam kalimat. (25) Emha membacakan pengagumnya puisi kontemporer. (26) Nadia memasakkan Intan nasi goreng. (27) Wanita itu mengambilkan suaminya teh hangat. (28) Aminah mengirimi ayahnya majalah Hidayatullah. (29) Tegar membelikan adiknya boneka baru. Pelengkap pada kalimat (25) - (29), baik yang berada di belakang P (25,26) maupun yang berada di belakang O (27,28,29), semua tidak bisa berpindah posisi ke depan menjadi S jika kalimat dipasifkan. e. Keterangan Keterangan (Ket) adalah bagian kalimat yang menerangkan berbagai hal tentang bagian kalimat yang lainnya. Unsur Ket dapat berfungsi menerangkan S, P, O, dan Pel. Posisinya bersifat manasuka, dapat di awal, di tengah, atau di akhir kalimat. Pengisi Ket adalah frasa nominal, frasa preposisional, adverbia, atau klausa. Berdasarkan maknanya, terdapat bermacam-macam Ket dalam kalimat. Para ahli (Hasan Alwi dkk, 1998:366) membagi keterangan atas sembilan macam, yaitu seperti yang tertera pada bagan di bawah ini. Preposisi/ Jenis Keterangan Contoh Penghubung 1. Tempat di di kamar, di kota ke ke Medan, ke rumahnya dari dari Manado, dari sawah (di) dalam (di) dalam rumah, dalam lemari pada Pada saya, pada permukaan 2. Waktu - sekarang, kemarin pada pada pukul 5, pada hari ini dalam dalam minggu ini, dalam dua hari ini 22 se- setiba di rumah, sepulang dari kantor sebelum sebelum pukul 12, sebelum pergi sesudah sesudah pukul 10, sesudah makan selama selama dua minggu, selama bekerja sepanjang sepanjang tahun, sepanjang hari 3. Alat dengan dengan gunting, dengan mobil 4. Tujuan supaya supaya/agar kamu pintar untuk untuk kemerdekaan bagi bagi masa depanmu demi demi kekasihmu 5. Cara secara secara hati-hati dengan cara dengan cara damai dengan jalan dengan jalan berunding 6. Penyerta dengan dengan adiknya bersama bersama orang tuanya beserta beserta saudaranya 7. Similatif seperti seperti angin bagaimana bagaikan seorang dewi laksana laksana bintang dilangit 8. Penyababan karena karena perempuan itu sebab setelah kerobohannya 9. Kesalingan - satu sama lain Dalam contoh berikut ini, bagian yang dicetak miring adalah Ket. (30) Sekretaris itu mengambilkan atasannya air minum dari kulkas. (ket. tempat) (31) Harun sekarang sedang belajar. (ket. waktu) (32) Syukron memotong roti dengan pisau. (ket. alat) (33) Guru yang baik itu rela berkorban demi muridnya. (ket. tujuan) (34) Kepala Desa menyelidiki masalah itu dengan hati-hati. (ket. cara) (35) Sulaiman pergi dengan teman-teman sekantornya. (ket. penyerta) 23 (36) Mahasiswa hukum itu berdebat bagaikan pengacara. (ket. similatif) (37) Karena korupsi, bupati itu dipenjara. (ket. penyebaban) (38) Para penerjun payung itu berpegangan satu sama lain. (ket. kesalingan) 3. Pola Kalimat Dasar Kalimat dasar bukanlah nama jenis kalimat, melainkan acuan atau patron untuk membuat berbagai tipe kalimat. Kalimat dasar terdiri atas beberapa struktur kalimat yang dibentuk dengan lima unsur kalimat, yaitu S, P, O, Pel, Ket. Sejalan dengan batasan bahwa struktur kalimat minimal S-P, sedangkan O, Pel, Ket merupakan tambahan yang berfungsi melengkapi dan memperjelas arti kalimat, maka kalimat yang paling sederhana adalah yang bertipe S-P, dan yang paling kompleks adalah yang bertipe S-P-O-Pel-Ket. Berdasarkan fungsi dan peran gramatikalnya ada tujuh tipe kalimat yang dapat dijadikan model pola dasar kalimat bahasa Indonesia. Ketujuh kalimat yang dimaksud adalah seperti tergambar dalam bagan dibawah ini. Fungsi Subjek Predikat Objek Pelengkap Keterangan Tipe 1.S-P Mahasiswa sedang - - - itu belajar 2.S-P-O Kakaknya menjual perhiasan - - 3.S-P-Pel Al-Quran merupakan pedoman kita 4.S-P-Ket Mereka tinggal - - di Madinah 5.S-P-O-Pel Karim mengirimi Karina bunga - 6.S-P-O-Ket Bang Thayib menyimpan uang - di bank 7.S-P-O-Pel-Ket Nia mengirimi temannya sajadah kemarin Dalam bagan di atas tampak kolom S-P terisi penuh karena wajib, sedangkan O, Pel, Ket tidak penuh karena tidak wajib. Di situ juga terlihat perlu ada atau tidaknya O, Pel, Ket bergantung pada P. Dengan adanya pola dasar kalimat dasar ini, 24 semua kalimat bahasa Indonesia, apapun jenisnya dan bagaimanapun panjangnya harus dapat dipadatkan sehingga unsur-unsur intinya dapat dimasukkan ke dalam enam tipe di atas. Ketujuh tipe kalimat dasar dalam bagan di atas itu pada dasarnya adalah kalimat tunggal, yaitu kalimat yang hanya memiliki satu unsur S, P, O, Pel, dan Ket. Setiap kalimat tunggal dapat diperluas menjadi kalimat yang lebih panjang dengan menambahkan kata, frasa, dan klausa pada unsur-unsurnya sehingga membentuk kalimat majemuk atau kalimat luas. Kalimat luas itulah yang banyak dipakai dalam penulisan karangan. 4. Kalimat Efektif Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan penutur/penulisnya secara tepat sehingga dapat dipahami oleh pendengar/pembaca secara tepat pula. Efektif dalam hal ini adalah ukuran kalimat yang memiliki kemampuan menimbulkan gagasan atau pikiran pada pendengar/penulis. Dengan kata lain, kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mewakili pikiran penulis atau pembicara secara tepat sehingga pendengar/pembaca dapat memahami pikiran tersebut dengan mudah, jelas, dan lengkap seperti apa yang dimaksud oleh penulis atau pembicaranya. Untuk dapat mencapai keefektifan tersebut di atas, sebuah kalimat efektif harus memenuhi paling tidak enam sarat berikut, yaitu adanya (1) kesatuan gagasan, (2) kepaduan unsur, (3) keparalelan bentuk, (4) ketepatan makna, (5) kehematan kata, dan (6) kelogisan bahasa. a. Kesatuan Gagasan Yang dimaksud dengan kesatuan gagasan adalah terdapatnya satu ide pokok dalam sebuah kalimat. Dengan satu ide pokok itu kalimat boleh panjang atau pendek, menggabungkan lebih dari satu kesatuan, bahkan dapat mempertentangkan satu sama lainnya, asalkan ide atau gagasan kalimatnya tunggal. Penutur tidak boleh menggabungkan dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan sama sekali ke dalam sebuah kalimat. Contoh kalimat yang tidak jelas kesatuan gagasannya: 25 (1) Pembangunan gedung sekolah baru pihak yayasan dibantu oleh bank yang memberi kredit. (tedapat subjek ganda dalam kalimat tunggal). (2) Dalam pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik. (salah memakai kata depan dalam sehingga gagasan kalimat menjadi kacau). (3) Berdasarkan agenda sekretaris manajer personalia akan memberi pengarahan kepada pegawai baru. (tidak jelas siapa yang memberi pengarahan). Contoh kalimat yang jelas kesatuan gagasannya: (1a) Pihak yayasan dibantu oleh bank yang memberi kredit untuk membangun gedung sekolah baru. (2a) Pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik. (3a) Berdasarkan agenda, sekretaris manajer personalia akan memberi pengarahan kepada pegawai baru. (3b) Berdasarkan agenda sekretaris, manajer personalia akan memberi pengarahan kepada pegawai baru. b. Kepaduan Unsur (Koherensi) Yang dimaksud dengan koherensi adalah hubungan yang padu antara unsur-unsur pembentuk kalimat. Unsur kalimat adalah kata, frasa, intonasi/tanda baca, serta struktur (hubungan S-P-O dan unsur lainnya). Contoh kalimat yang unsurnya tidak koheren: (4) Kepada setiap pengendara mobil di Kota Jakarta harus memiliki surat izin mengemudi. (tidak mempunyai subjek/subjeknya tidak jelas) (5) Saya punya rumah baru saja diperbaiki. (struktur tidak benar/rancu) (6) Tentang kelangkaan pupuk mendapat keterangan para petani. (unsur S-P- O tidak berkaitan erat) (7) Yang saya sudah sarankan kepada mereka adalah merevisi anggaran daripada proyek itu. (salah dalam pemakaiaan kata dan frasa) Contoh kalimat yang unsurnya koheren: (4a) Setiap pengendara mobil di kota Jakarta harus memiliki surat izin mengemudi. 26 (5a) Rumah saya baru saja diperbaiki. (6a) Para petani mendapat keterangan tentang kelangkaan pupuk. (7a) Yang sudah saya sarankan kepada mereka adalah merevisi anggaran proyek itu. c. Keparalelan Bentuk Yang dimaksud dengan keparalelan atau kesejajaran bentuk adalah terdapat unsur- unsur yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang dipakai di dalam kalimat. Umpamanya dalam sebuah perincian, unsur pertama menggunakan verba, unsur kedua dan seterusnya juga verba. Jika bentuk pertama menggunakan nomina, bentuk berikutnya juga harus nomina. Contoh kesejajaran atau paralelisme yang salah: (8) Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, membuat katalog, dan buku-buku diberi label. (9) Kakakmu menjadi dosen atau sebagai pengusaha? (10) Demikianlah agar ibu maklum, dan atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. (11) Dalam surat itu diputuskan tiga hal pokok, yaitu peningkatan mutu produk, memperbanyak waktu penyiaran iklan, dan pemasaran yang lebih gencar. Contoh kesejajaran atau paralelisme yang benar: (8a) Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, pembuatan katalog, dan pelabelan buku. (9a) Kakakmu sebagai dosen atau sebagai pengusaha? (10a) Demikianlah agar Ibu maklum, dan atas perhatian Ibu, saya ucapkan terima kasih. (11a) Dalam surat itu diputuskan tiga hal pokok, yaitu meningkatkan mutu produk, meninggikan frekuensi iklan, dan lebih menggencarkan pemasaran. d. Ketegasan Makna Yang dimaksud dengan ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan khusus menonjolkan bagian kalimat sehingga berpengaruh terhadap makna kalimat secara 27 keseluruhan. Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk memberi perlakuan khusus pada kalimat, yaitu 1) meletakkan kata yang ditonjolkan itu di awal kalimat; 2) melakukan pengulangan kata (repetisi); 3) melakukan pertentangan kata terhadap ide yang ditonjolkan; 4) mempergunakan partikel penekan (penegas); Contoh penekanan dengan menempatkan kata yang ditonjolkan pada awal kalimat: (12) Pada bulan Desember kita ujian akhir semester. (bukan akhir November) (13) Kita akan ujian akhir semester pada bulan Desember. (bukan mereka) (14) Ujian akhir semester kita tempuh pada bulan Desember. (bukan ujian tengah semester) Contoh penekanan dengan pengulangan kata: (15) Saya senang melihat panorama alam yang indah; saya senang melihat lukisan yang indah; dan saya juga senang melihat hasil seni ukir yang indah. (16) Saudara-saudara, kita tidak suka dibohongi; kita tidak suka ditipu; kita tidak suka dibodohi. Contoh penekanan dengan mempertentangkan ide: (17) Penduduk desa itu tidak menghendaki bantuan yang bersifat sementara, tetapi bantuan yang bersifat permanen. Contoh penekanan dengan menggunakan partikel penegas: (18) Hendak pulang pun hari sudah gelap dan hujan pula. (19) Andalah yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah itu. e. Kehematan Kata Yang dimaksud dengan kehematan ialah menghindari pemakaian kata, frasa, atau unsur lain yang tidak perlu. Hemat tidak berarti harus menghilangkan kata-kata yang dapat memperjelas arti kalimat. Hemat di sini berarti tidak memakai kata-kata mubazir, tidak ada 28 pengulangan subjek, tidak menjamakkan kata yang memang sudah berbentuk jamak. Dengan hemat kata-kata, diharapkan kalimat akan menjadi padat berisi. Contoh kalimat yang tidak hemat kata: (20) Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri bahwa mahasiswa itu belajar seharian dari pagi sampai petang. (21) Dalam pertemuan yang mana hadir di sana Wakil Gubernur DKI dilakukan suatu perundingan yang membicarakan perparkiran. (22) Manajer itu dengan segera mengubah rencananya setelah dia bertemu dengan direkturnya. (23) Agar supaya Anda dapat memperoleh nilai ujian yang memuaskan, Anda harus belajar dengan sebaik-baiknya. Contoh kalimat yang hemat kata: (20a) Saya melihat sendiri mahasiswa itu belajar seharian. (21a) Dalam pertemuan yang dihadiri Wakil Gubernur DKI dilakukan perundingan tentang perparkiran. (22a) Manajer itu dengan segera mengubah rencana setelah bertemu direkturnya. (23a) Agar Anda memperoleh nilai ujian yang memuaskan, belajarlah baik- baik. f. Kelogisan Bahasa Yang dimaksud dengan kelogisan ialah ide kalimat itu dapat diterima oleh akal sehat. Logis dalam hal ini juga menuntut adanya pola pikiran sistematis (runtut/teratur dalam penghitungan angka dan penomoran). Sebuah kalimat yang sudah benar strukturnya, sudah benar pula pemakaian unsur-unsur yang lain (tanda baca, kata, frasa), dapat menjadi salah karena maknanya tidak masuk akal atau lemah dari segi logika. Contoh kalimat yang lemah dari segi logika berbahasa: (24) Karena lama tinggal di asrama putra, anaknya semua laki-laki. (apa hubungan tinggal di asrama putra dengan mempunyai anak lelaki?) (25) Uang yang bertumpuk itu terdiri atas pecahan ratusan, puluhan, sepuluh ribuan, lima puluh ribuan, dua puluh ribuan. 29 (tidak runtut dalam merinci sehingga lemah dari segi logika) (26) Kepada Ibu Bupati, waktu dan tempat kami persilakan. (waktu dan tempat tidak perlu dipersilakan) (27) Dengan mengucapkan syukur kepada Allah, selesailah makalah ini tepat pada waktunya. (berarti “modal” untuk menyelesaikan makalah cukuplah ucapan syukur kepada Tuhan) 30 31

Use Quizgecko on...
Browser
Browser