Dinamika Ekonomi pada masa Demokrasi Parlementer PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
Tags
Summary
Dokumen ini membahas dinamika ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer. Termasuk di dalamnya situasi ekonomi awal, permasalahan ekonomi jangka pendek dan panjang, serta kebijakan yang dijalankan pemerintah. Konten ini berfokus pada kebijakan ekonomi di Indonesia.
Full Transcript
Dinamika Ekonomi pada masa Demokrasi Parlementer Situasi ekonomi pada masa awal Demokrasi Parlementer Kondisi ekonomi Indonesia belum stabil Situasi keamanan dalam negeri turut memperkeruh kondisi ekonomi Utang luar negeri Indonesia mencapai 1.5 miliar dan utang dalam negeri 2.8 m...
Dinamika Ekonomi pada masa Demokrasi Parlementer Situasi ekonomi pada masa awal Demokrasi Parlementer Kondisi ekonomi Indonesia belum stabil Situasi keamanan dalam negeri turut memperkeruh kondisi ekonomi Utang luar negeri Indonesia mencapai 1.5 miliar dan utang dalam negeri 2.8 miliar Kegiatan ekspor hanya bergantung pada beberapa jenis perkebunan Barang-barang ekspor lainnya masih berada di bawah standar internasional Permasalahan ekonomi Indonesia Permasalahan jangka pendek Yaitu pemerintah harus mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup Permasalahan jangka panjang Yaitu pertambahan penduduk yang tidak terkendali dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya adalah: Pemikiran Ekonomi Nasional Sistem Ekonomi Liberal Pemikiran Ekonomi Nasional Salah satu hambatan terbesar Indonesia adalah sistem ekonomi kolonial yang masih mengakar kuat yg ditandai dengan banyaknya perusahaan asing yang masih beroperasi, ditambah dengan perekonomian yang didominasi para pedagang Tionghoa Menghadapi kondisi tersebut, Soemitro Djojohadikusumo mencoba mempraktikkan sistem ekonomi nasional dengan cara merangkul kaum pribumi kelas menengah utk menumbuhkan kelas pengusaha pribumi. Gagasan Soemitro tsb disampaikan kepada Kabinet Natsir dlm Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) atau yg kemudian dikenal dengan Sumitro Plan. RUP tsb kemudian diwujudkan dlm Gerakan Benteng Selain gerakan Benteng, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan kebijakan lainnya antara lain Gunting Sjafruddin, Nasionalisasi perusahaan asing dan Sistem Ekonomi Ali-Baba Suasana pertokoan di kawasan Glodok, Jakarta pada masa Demokrasi Liberal Gerakan Benteng Kebijakan Benteng dimulai pada April 1950 Kebijakan ini berisi pemberian bantuan (bimbingan konkret dan bantuan kredit) kepada kalangan pengusaha pribumi agar mereka ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional Pemerintah juga berusaha membangun kewirausahaan pribumi agar mampu membentengi perekonomian negara yg baru merdeka Gerakan Benteng Berbagai permasalahan yang timbul Pemberian lisensi impor banyak yg disalahgunakan Mereka yg menerima lisensi bukan orang yg layak atau memiliki potensi kewirausahaan tinggi melainkan orang yg dekat dengan birokrat, selain itu dari kalangan orang pribumi sengaja menjual lisesnsinya ke pengusaha Tionghoa Mendaftarkan perusahaan yang sebenernya milik pengusaha Tionghoa dengan menggunakan nama orang Indonesia (pribumi) Gunting Sjafruddin Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Menteri Keuangan pada masa awal demokrasi parlementer/liberal Ia mengeluarkan kebijakan Gunting Sjafruddin Kebijakan ini dilakukan dengan memotong nilai uang (sanering) yg bernilai Rp. 2.5 keatas hingga nilai setengahnya Kebijakan ini bertujuan menanggulangi deficit anggaran sebesar Rp. 5.1 Milliar Sbg tindak lanjut kebijakan ini pemerintah menerbitkan UU Darurat no. 21 tahun 1950 tentang Pengeluaran Uang Kertas Baru Kebijakan ini baru berlaku mulai 15 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 15 Maret 1950 Nasionalisasi Perusahaan Asing Nasionalisasi adalah tindakan pencabutan hak milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik Indonesia Sebagai respon Belanda karena mereka tidak kunjung menyerahkan Irian Barat Nasionalisasi dilakukan dalam dua tahap dalam kurun waktu 1957-1958 Tahap pertama, pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan Tahap kedua, pemerintah mulai mengambil langkah pasti dengan mengeluarkan UU untuk meresmikan kepemilikan aset asing yg telah dinasionalisasi Nasionalisasi Perusahaan Asing Berikut ini beberapa contoh perusahaan milik belanda yg diambil alih statusnya menjadi milik pemerintah Indonesia: Koninklijk Paketvaart Maastchappij (KPM) yg menjadi PT. PELNI Koninklijk Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) yg menjadi Garuda Indonesia De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia Kantor pusat KPM di Koningsplein, Batavia (1915- 1925), sekarang menjadi kantor Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Pembukaan jalur udara pertama KNILM dari bandar udara Cililitan (kini Halim Perdanakusuma) di Batavia, menuju Bandung dan Semarang, tahun 1928 Sistem Ekonomi Ali-Baba Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokroadisurjo (Menteri Keuangan dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I) Tujuannya adalah menciptakan kerjasama antara pengusaha pribumi (Ali) dan pengusaha nonpribumi (Baba) Kebijakan ini mewajibkan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia memberikan pelatihan dan tanggung jawab kepada tenaga kerja Indonesia agar dapat menduduki jabatan staf, mendirikan perusahaan negara, serta menyediakan kredit dan lisensi kepada perusahaan swasta nasional Sistem Ekonomi Liberal Pemerintah Indonesia mulai menerapkan sisem ekonomi liberal berupa pelaksanaan Industrialisasi Sasaran yang ditekankan dari program ini antara lain pembangunan pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung, percetakan. Program ini diikuti dengan peningkatan produksi dalam negeri, perbaikan pangan, perbaikan sarana dan prasarana serta penanaman modal asing Pemerintah Indonesia mencoba melepaskan ikatan ekonomi dg Belanda melalui kebijakan Perundingan Financial Ekonomi (Finek), Biro Perancang Nasional, dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) Perundingan Financial Ekonomi (Finek) Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirimkan delegasinya ke Belanda untuk membicarakan masalah Financial ekonomi (Finek) yg dilakukan pada 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yg diajukan pemerintah Indonesia terhadap pemerintah Belanda antara lain: a. Pembatalan persetujuan Finek hasil KMB b. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral c. Hubungan Finek didasarkan atas UU nasional, tdk boleh diikuti oleh perjanjian lain Usul Indonesia tsb ditolak oleh Belanda, akibatnya Indonesiasecara sepihak menerapkan rancangan Fineknya dan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada 13 Februari 1956 Biro Perancang Nasional Biro ini didirikan pada masa cabinet Ali Sastroamidjojo II Tugasnya adalah merancang pembangunan jangka pendek Biro Perancang Nasional diketuai oleh Djuanda Oleh karena periode setiap cabinet terlalu singkat maka Biro ini tidak mampu bekerja dengan optimal Selain itu, karena ketidakstabilan politik merupakan faktor penyebab kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarka oleh Biro Perancang Nasional. Kebijakan ini diproyeksikan akan dilaksanakan mulai 1956 hingga 1961 RPLT disetujui oleh DPR pada 11 November 1958. pada 1957 sasaran prioritas RPLTdiubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan mencapai Rp. 12 Milliar Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) Program kabinet Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang adalah: 1. Perjuangan pengembalian Irian Barat 2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD 3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai 4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara 5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.