🎧 New: AI-Generated Podcasts Turn your study notes into engaging audio conversations. Learn more

[UPDATE] HUKUM ASURANSI - update SKKNI.pdf

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

Full Transcript

Class Training ODP, SDP, MDP & MSATP HUKUM ASURANSI Present by: Legal & Compliance Div. 1 © 2022 Part 1. HUKUM SECARA UMUM 2 H...

Class Training ODP, SDP, MDP & MSATP HUKUM ASURANSI Present by: Legal & Compliance Div. 1 © 2022 Part 1. HUKUM SECARA UMUM 2 Hukum? “Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama; keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.” Hukum mengatur hubungan hukum Hubungan hukum itu terdiri dari ikatan-ikatan antara individu dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. Ikatan-ikatan itu tercermin pada hak dan kewajiban. Jadi, hubungan hukum tercermin pada hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak HAK, sedangkan di pihak lain KEWAJIBAN. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Hak itu memberi kenikmatan dan keleluasan kepada individu dalam melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban. 3 Subyek Hukum Adapun subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia. Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, sebagai subyek hukum atau sebagai ORANG. Orang bukanlah satu-satunya subyek hukum. Di samping itu terdapat BADAN HUKUM. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Badan hukum itu bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang. Hukum menciptakan badan hukum oleh karena pengakuan organisasi atau kelompok manusia sebagai subyek hukum itu sangat diperlukan karena ternyata bermanfaat bagi lalu lintas hukum. Perseroan Terbatas (UU 40/2007) Badan hukum yang diakui di Indonesia: Yayasan (UU 16/2001 jo. UU 28/2004) Koperasi (UU 17/2012) 4 Subyek Hukum Orang Agar dapat melakukan perbuatan hukum, seseorang haruslah cakap hukum. Cakap hukum berarti mampu dan sanggup melakukan perbuatan hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per) ditetapkan tiga golongan yang tidak cakap : a. orang-orang yang belum dewasa; b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; c. wanita bersuami (telah dihapus dengan SE MA No. 3 Tahun 1963). Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.” 5 Subyek Hukum Badan Hukum (Perseroan Terbatas) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksanaanya. Organ Perseroan ada 3, antara lain : Rapat Umum Pemegang Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Saham (RUPS) Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai Dewan Komisaris dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk Direksi kepentingan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 6 Penyelesaian Sengketa Definisi: suatu penyelesaian perkara yang dilakukan antara salah satu pihak dengan pihak yang lainnya. Penyelesaian sengketa terdiri dari dua cara yaitu melalui litigasi (pengadilan) dan non litigasi (luar pengadilan). Pengadilan Umum Non-Ajudikasi Peradilan Umum Konsultasi Peradilan Agama Negosiasi Peradilan Tata Usaha Negara Penyelesaian Mediasi Penyelesaian Peradilan Militer Sengketa Konsiliasi Sengketa Non-Litigasi Litigasi Pengadilan Khusus Ajudikasi Arbitrase Komisi Yudisial 7 Non-Ajudikasi Pada prinsipnya Non Ajudikasi adalah penyelesaian sengketa untuk mencari kemenangan bersama, yakni dalam bentuk win-win solution. Perlu digarisbawahi bahwa Non Ajudikasi tidak mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam suatu sengketa. Macam-Macam Bentuk Penyelesaian Sengketa Non Ajudikasi diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Konsultasi 2. Negosiasi 3. Mediasi 4. Konsiliasi 8 9 Non-Ajudikasi 1. KONSULTASI Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Peran dari Konsultan disini adalah untuk memberikan pendapat hukum sebagaimana diminta oleh kliennya, namun keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak. 2. NEGOSIASI Negosiasi adalah sarana penyelesaian sengketa bagi para pihak dengan cara mendiskusikan penyelesaian sengketa secara damai tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga. Dalam praktik proses Negosiasi, para pihak akan mendiskusikan langkah-langkah yang akan diambil kedepannya agar dapat menguntungkan para pihak, biasanya akan ada satu pihak yang akan memberikan keringanan/ kelonggaran atas hak-hak tertentu yang berdasarkan pada asas timbal balik. Contoh : A memiliki Hutang sebesar 10 milyar yang belum dibayarkan kepada B, dalam proses negosiasi A meminta kepada B agar proses pembayaran dilakukan dengan cara cicilan. 9 Non-Ajudikasi 3. MEDIASI Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga sebagai Mediator, yang mana mediator harus bersikap netral dan tidak berpihak kepada para pihak yang bersengketa. Proses dan cara penyelesaian mediasi diatur dalam Perma No. 1 tahun 2016. Dalam proses Mediasi, Mediator bertindak sebagai fasilitator, yang berarti tugas mediator hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalah. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. 4. KONSILIASI Penyelesaian melalui konsiliasi dapat dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan (komisi konsiliasi) sebagai penengah (Konsiliator), yakni dengan cara mempertemukan atau memberi fasilitas kepada para pihak yang berselisih. Dalam Konsiliasi, Konsiliator ikut secara aktif dalam memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan. 10 Non-Ajudikasi Perbedaan Mediasi dan Konsiliasi Secara sekilas Konsiliasi mirip dengan Mediasi, namun perbedaannya adalah pada mekanisme konsiliasi, konsiliator bisa memberi masukan maupun pendapat dalam pemecahan permasalahan pada para pihak (aktif); sedangkan dalam proses mediasi, mediator tidak diperbolehkan memberi pendapat apapun (pasif). 11 Ajudikasi Ajudikasi adalah suatu penyelesaian sengketa melalui lembaga Pengadilan atau Arbitase Kebalikan dari Non Ajudikasi, pada prinsipnya penyelesaian melalui Ajudikasi ini bersifat Judicial, yakni adanya suatu Keputusan. Keputusan disini untuk menentukan mana pihak yang benar dan mana pihak yang salah. Perlu diketahui, Arbitrase menjadi satu-satunya lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat Judicial. Hasil Putusan Arbitrase mengikat para pihak dan memiliki kekuatan hukum. ARBITRASE Definisi Arbitrase Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa” Beberapa praktisi hukum sering menganggap Arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa adjudikasi yang berlandaskan nafas-nafas musyawarah. 12 Prinsip - Prinsip Arbitrase 1. Itikad Baik Para Pihak dalam menyelesaikan sengketa di Arbitrase harus didasarkan dengan niat yang baik, yakni tidak memiliki kehendak untuk melakukan tipu muslihat, kebohongan, dan sebagainya. Selain itu, itikad baik juga harus diterapkan dalam pelaksanaan Putusan Arbitrase, yakni para pihak harus menjalankan Putusan tersebut secara fair. 2. Pacta Sunt Servanda Harus adanya kesepakatan diantara Para Pihak agar sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Arbitrase. 3. Competence-Competence Lembaga Arbitrase harus dapat menentukan dirinya apakah memiliki kewenangan sesuai kompetensinya dalam menyelesaikan sengketa 13 Badan Arbitrase Nasional Indonesia Proses dan tahap Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Arbitration Center) adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk- bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa 3 pakar hukum sebagai lembaga independen (bukan didirikan oleh SRO sebagaimana LAPS SJK) dengan dukungan dari KADIN. Pendaftaran Permohonan Pembayaran Penunjukkan Permohonan Mengadakan Biaya Arbiter Arbitrase Arbitrase Pendaftaran Alur Proses Arbitrase: Pelaksanaan Penunjukkan Putusan Pelaksanaan Sidang Majelis Arbitrase Putusan Arbitrase 14 14 Lingkupan Peradilan (UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman) Pengadilan Khusus merupakan pengadilan yang dibentuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Badan Peradilan Mahkamah Agung. Hakim yang mengadili dalam Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Pengadilan Khusus disebut Hakim Ad Hoc. Mahkamah Agung dan badan peradilan yang Komisi Yudisial berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. mempunyai tugas melakukan pengawasan Badan peradilan yang berada di bawah terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dan Pedoman Perilaku Hakim. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Yudisial dapat dalam lingkungan : menganalisis putusan pengadilan yang telah a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar c. Peradilan Militer; dan rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. d. Peradilan Tata Usaha Negara. 15 Legal Opinion Legal Opinion adalah Pendapat Hukum atas satu atau lebih pertanyaan hukum yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat. Tiga Catatan penting dalam membuat Legal Opinion : 1. Legal Opinion itu bukan tentang apa yang menurut kita benar, tetapi pendapat tentang apa yang ditentukan oleh hukum yang berlaku. 2. Legal Opinion bukan tentang siapa yang benar, tetapi tentang apa yang benar. 3. Legal Opinion bukan saja tentang suatu konklusi, tetapi tentang cara / proses kita sampai pada konklusi tersebut. 16 Proses dan Metode Pembentukan pendapat hukum adalah suatu proses: ada langkah-langkah tertentu yang harus diikuti, dan bahwa setiap langkah merupakan akibat dari langkah sebelumnya, dengan kata lain setiap langkah membutuhkan masukan dan keluaran yang saling terkait secara kausal. Metode paling umum yang digunakan dalam menyusun Legal Opinion dikenal dengan akronim FIRAC yang merupakan singkatan dari: 1. Facts 2. Issue 3. Rule 4. Analysis (atau Application) 5. Conclusion. 17 1. Fakta Dalam Hukum Romawi berlaku prinsip : "Da mihi factum dabo tibi ius" (berikan saya fakta dan saya berikan hukumnya). Tanpa ada fakta, tidak mungkin memberikan pendapat hukum. Fakta yang relevan adalah langkah pertama dan terpenting, oleh karena fakta yang relevan, akurat dan lengkap menentukan proses pendapat hukum berikutnya. Prinsip berikutnya adalah "If the facts shift, the opinion shifts" yang berarti bahwa suatu pendapat hukum hanya berlaku sepanjang fakta yang mendasari tidak berubah. Apabila fakta berubah, pendapat hukum berubah. 18 18 2. Issue Issue berarti Pertanyaan Hukum. Pertanyaan hukum harus relevan dan merupakan akibat kausal dari fakta yang relevan. Tanpa Pertanyaan Hukum tidak mungkin ada Pendapat Hukum. Pendapat Hukum dalam pengertian sempit terdapat pada Konklusi, dimana Konklusi harus menjawab Pertanyaan Hukum. Pertanyaan Hukum merupakan "closed question" yang berarti pertanyaan yang harus dapat dijawab dengan "Benar, oleh karena....." atau "Salah, oleh karena...". Apabila ada beberapa pertanyaan hukum, ada kalanya bahwa pertanyaan hukum yang satu hanya dapat dijawab berdasarkan/tergantung pada jawaban atas pertanyaan hukum yang lain, sehingga urutan pertanyaan hukum harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga urutannya merupakan satu urutan yang logis. 19 19 3. Rule Rule berarti Norma atau Prinsip Hukum, bukan peraturan dan unsur-unsur secara rinci. Ada kalanya Norma tercantum secara eksplisit dalam peraturan yang relevan, ada kalanya perlu diekstraksi dari peraturan yang relevan. Sering juga norma telah ditetapkan oleh Yurisprudensi (keputusan Hakim terdahulu). Norma harus dapat dijelaskan dalam bentuk kalimat: ABABILA ["X"] MAKA ["Y"], dimana "X" = peristiwa hukum dan "Y" = akibat hukum apabila peristiwa hukum tersebut terjadi. PENTING UNTUK DICATAT : Kesalahan yang paling umum adalah menjabarkan keseluruhan peraturan relevan tanpa menyatakan normanya. Kesalahan umum lainnya adalah bahwa pada tahap ini dilakukan analisis hukum, tanpa sebelumnya menyatakan norma yang relevan. 20 4. Analisis Hukum Analisis hukum merupakan bagian inti dan paling kompleks dalam proses pendapat hukum. Kita perlu mengingat bahwa hukum pada umumnya mencari apa yang benar (the truth) dan bahwa kebenaran hukum relatif dan diperoleh melalui logika hukum. Rumus Analisis Hukum : Apabila "X", maka "Y". X = unsur-unsur dalam peraturan relevan. Y = akibat hukum berdasarkan peraturan yang relevan. Sering peraturan relevan memuat pengecualian (= P) dimana akibat hukum tidak diberlakukan walaupun unsur-unsur terpenuhi oleh fakta, asal unsur-unsur atas Pengecualian terpenuhi, sehingga dalam keadaan demikian rumus peraturan relevan adalah sebagai berikut: Apabila "X" , maka "Y", kecuali apabila "P" 21 5. Konklusi Konklusi adalah hasil akhir dari analisis hukum. Konklusi harus menjawab pertanyaan hukum secara negatif atau positif. Sebaiknya mengulang pertanyaan hukum yang bersangkutan dan menjawabnya. Konklusi harus mencerminkan analisis hukum yang bersangkutan. Kesalahan umum adalah bahwa konklusi tidak menjawab pertanyaan hukum (kesalahan fatal) atau menjawab dengan hampir mengulang seluruh analisis hukum. Oleh karena itu lebih baik untuk mengulang pertanyaan hukum guna memastikan bahwa pertanyaan tersebut terjawab dalam konklusi. Konklusi sebaiknya disyaratkan pada asumsi dan kualifikasi 22 22 Hukum Perikatan (dimuat di Buku III KUH Perdata) Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada pihak yang satu untuk menuntut sesuatu hak dari pihak lain, sedangkan pihak yang lain diwajibkan untuk memenuhi tuntutan tersebut sehingga isi dari Hukum Perikatan ini bersifat tuntut-menuntut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau "KREDITUR", sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau "DEBITUR". Prestasi Prestasi merupakan suatu hak atau manfaat bagi Prestasi dapat berupa a. Memberikan sesuatu; satu pihak dan kewajiban yang harus (Pasal 1234 KUH Per): b. Berbuat sesuatu; atau dilakukan oleh pihak lainnya di dalam suatu kontrak/perjanjian. c. Tidak berbuat sesuatu. 23 Wanprestasi Pelanggaran terhadap prestasi disebut wanprestasi (ingkar janji). Terjadinya wanprestasi berarti bahwa dalam suatu kontrak/perjanjian, ada pihak yang melanggar prestasi atau kesepakatan dalam perjanjian. Melakukan apa yang Melakukan apa yang Melakukan apa yang Tidak melakukan apa diperjanjikan tetapi diperjanjikan tetapi dilarang dalam yang diperjanjikan; tidak sesuai dengan terlambat; perjanjian. kesepakatan; Berikut bentuk-bentuk wanprestasi 24 Sumber-Sumber Perikatan Pasal 1233 KUH Per menerangkan bahwa suatu perikatan dapat lahir dari Undang-Undang dan Perjanjian. 1. UNDANG-UNDANG Perikatan yang lahir dari Undang-Undang dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : a. Perikatan yang lahir dari Undang-Undang saja, misalnya perikatan yang timbul oleh suatu hubungan kekeluargaan. Sebagai contoh, seorang suami harus memberi nafkah anak isteri. b. Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan melawan hukum. - Perbuatan yang diperbolehkan, misalnya seseorang dengan sukarela dan tanpa diminta mengurus kepentingan orang lain (zaakwarneming, Pasal 1354 KUH Per). - Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, Pasal 1365 KUH Per), setiap perbuatan melawan hukum, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya menimbulkan kerugian pada pihak lain, wajib membayar ganti rugi terhadap kerugian tersebut. 25 ONRECHTMATIGEDAAD / PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Pasal 1365 KUH Perdata) "Setiap perbuatan melawan hukum, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya, menimbulkan kerugian pada pihak lain, wajib membayar ganti rugi terhadap kerugian tersebut." Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum : 1. Adanya perbuatan yang MELAWAN HUKUM; 2. Perbuatan itu disebabkan oleh KESALAHAN seseorang; 3. Perbuatan itu menimbulkan KERUGIAN pada pihak lain; 4. Orang yang berbuat wajib membayar GANTI RUGI kepada orang yang dirugikan. Perbuatan Melawan Hukum timbul karena adanya pelanggaran atas hukum yang berlaku tanpa harus ada Perjanjian antara para pihak terlebih dahulu. 26 2. PERJANJIAN Perikatan-perikatan yang lahir dari Perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya Perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPer, terdapat 4 syarat sah perjanjian, yakni: Para pihak yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju Sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut. Orang yang membuat perjanjian itu harus cakap menurut hukum untuk Cakap Hukum membuat suatu perjanjian. Obyek atau barang yang menjadi pokok dari perjanjian itu, paling sedikit Suatu Hal Tertentu dapat ditentukan atau diidentifikasi jenisnya. Isi dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang Causa/Sebab Halal berlaku, bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan yang berlaku di kalangan masyarakat. 27 Sepakat Suatu Hal Tertentu Syarat Syarat Subjektif Objektif Cakap Hukum Causa/Sebab Halal Apabila Syarat Subyektif tidak Apabila Syarat Objektif tidak terpenuhinya maka menyebabkan terpenuhinya maka menyebabkan Perjanjian: Perjanjian: DAPAT DIBATALKAN (voidable). BATAL DEMI HUKUM (null and void). 28 Part 2. HUKUM ASURANSI 29 Pengertian Asuransi Menurut Pasal 246 KUHD "Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian, dimana PENANGGUNG mengikatkan diri terhadap TERTANGGUNG dengan memperoleh PREMI, untuk memberikan kepadanya GANTI RUGI karena KEHILANGAN, KERUSAKAN, ATAU TIDAK MENDAPAT KEUNTUNGAN YANG DIHARAPKAN, yang mungkin akan dapat diderita karena SUATU PERISTIWA YANG TIDAK PASTI." Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 "Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu PERUSAHAAN ASURANSI dan PEMEGANG POLIS, yang menjadi dasar bagi penerimaan PREMI oleh perusahaan asuransi sebagai IMBALAN untuk : a. memberikan PENGGANTIAN kepada tertanggung atau pemegang polis karena KERUGIAN, KERUSAKAN, BIAYA YANG TIMBUL, KEHILANGAN KEUNTUNGAN, atau TANGGUNG JAWAB HUKUM KEPADA PIHAK KETIGA yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan MANFAAT YANG BESARNYA TELAH DITETAPKAN DAN/ATAU DIDASARKAN PADA HASIL PENGELOLAAN DANA." 30 Perjanjian Asuransi Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai Perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Per berlaku juga bagi Perjanjian Asuransi. Karena Perjanjian Asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping ketentuan syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat sahnya Perjanjian Asuransi berdasarkan Pasal 1320 KUH Per : 1. Kesepakatan (Konsensus) Penanggung (Insurer) dan Tertanggung (Insured) sepakat mengadakan Perjanjian Asuransi dengan syarat- syarat dan ketentuan-ketentuan tertentu yang disepakati bersama. Adapun kesepakatan itu meliputi : a. Objek Asuransi; b. Besarnya premi dan cara pembayarannya; c. Besarnya harga pertanggungan; d. Coverage (risiko-risiko yang dijamin); e. Tata cara klaim; f. dll. 31 Kesepakatan antara Penanggung dan Tertanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Pihak-pihak dalam Perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Kemauan yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan. Jadi, Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (UTMOST GOOD FAITH). Pasal-pasal yang berkaitan dengan syarat kesepakatan dalam Perjanjian Asuransi : Pasal 1338 KUH Per : "Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan ITIKAD BAIK." 32 Pasal 1321 KUH Per "Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan." Pasal 381 KUH Pidana (KUHP) "Barangsiapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung Asuransi mengenai keadaan-keadaan yang Pasal 251 KUHD berhubungan dengan pertanggungan, sehingga "Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak menyetujui perjanjian, yang tentu tidak akan benar, atau semua penyembunyian keadaan yang disetujuinya atau setidak-tidaknya dengan syarat- diketahui oleh Tertanggung, meskipun syarat yang demikian, jika diketahui keadaan- dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya keadaan sebenarnya, DIANCAM DENGAN PIDANA sedemikian rupa, sehingga perjanjian itu tidak PENJARA PALING LAMA SATU TAHUN EMPAT akan diadakan, atau tidak diadakan dengan BULAN." syarat-syarat yang sama, bila Penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal." 33 2. Kapasitas Hukum (Cakap dan Berwenang Menurut Hukum) Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai, atau menyandang hak dan kewajiban. Pihak Tertanggung dan Pihak Penanggung sebagai subyek hukum harus cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum. Kewenangan untuk dapat menyandang hak dan kewajiban itu disebut KEWENANGAN HUKUM. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya itu. Sekalipun setiap orang pada umumnya mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak dan kewajiban (Pasal 1330 KUH Per). Apabila seseorang termasuk dalam golongan orang yang dianggap tidak cakap hukum, maka orang tersebut tidak dapat melakukan perbuatan hukum. 34 Kewenangan berbuat ada yang bersifat subyektif dan ada yang bersifat obyektif. KEWENANGAN SUBYEKTIF artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah pengampuan/perwalian, atau merupakan pemegang kuasa yang sah. KEWENANGAN OBYEKTIF artinya Tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda obyek Asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. Penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila Asuransi yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga, maka Tertanggung yang mengadakan Asuransi itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pada saat diadakan perjanjian asuransi, Tertanggung harus mempunyai kepentingan keuangan) terhadap objek pertanggungan (INSURABLE INTEREST). Pasal 250 KUHD : "Bila seseorang yang mempertanggungkan untuk dirinya sendiri, atau seseorang yang atas bebannya dipertanggungkan oleh pihak ketiga, pada waktu pertanggungan TIDAK MEMPUNYAI KEPENTINGAN dengan benda yang dipertanggungkan, maka Penanggung tidak wajib mengganti kerugian." 35 3. Suatu Hal Tertentu (Obyek Tertentu) Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang jelas atau tertentu. Obyek tertentu dalam Perjanjian Asuransi adalah obyek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan maupun dapat berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Asuransi Kerugian. Objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Asuransi Jiwa. Pasal 268 KUHD : "Pertanggungan dapat menjadikan sebagai pokok yakni SEMUA KEPENTINGAN YANG DAPAT DINILAI DENGAN UANG, dapat terancam bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang." 4. Kausa yang Halal Kausa yang halal maksudnya adalah isi Perjanjian Asuransi tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Sebagai contoh, Perjanjian Asuransi atas barang selundupan atau barang-barang terlarang seperti heroin adalah bertentangan dengan hukum sehingga menyebabkan perjanjian itu batal demi hukum (null and void). 36 Asas Kebebasan Memilih Penanggung Penutupan asuransi atas obyek asuransi harus didasarkan pada asas kebebasan memilih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. Artinya, calon nasabah bebas untuk memilih kepada siapa dia akan mengasuransikan Obyek Asuransinya. Obyek Asuransi hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mendapatkan izin dari OJK, kecuali dalam hal : a. Tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia yang memiliki kemampuan menahan atau mengelola risiko asuransi dari Obyek Asuransi yang bersangkutan; a. Tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia yang bersedia melakukan penutupan asuransi atau asuransi syariah atas Obyek Asuransi yang bersangkutan. 37 Polis Sebagai Bukti Perjanjian Asuransi Polis berfungsi sebagai salah satu alat pembuktian akan adanya Perjanjian Asuransi. Polis merupakan alat bukti akan adanya Perjanjian Asuransi, tetapi bukan merupakan unsur dari perjanjian Asuransi. Dengan ketiadaan polis, Perjanjian Asuransi tidak menjadi batal karena Perjanjian Asuransi bersifat konsensual (kesepakatan) dan sudah terjadi pada saat perjanjian ditutup sebelum polis ditandatangani. Polis ditandatangani Penanggung karena polis merupakan alat bukti untuk kepentingan Tertanggung. Untuk membuktikan telah terjadi kesepakatan antara Penanggung dan Tertanggung, undang-undang mengharuskan pembuktian dengan alat bukti tertulis berupa akta yang disebut polis. Akan tetapi, apabila polis belum dibuat, pembuktian dilakukan dengan catatan, nota, surat perhitungan, telegram dan sebagainya. Surat-surat ini disebut permulaan bukti tertulis (the beginning of writing evidence). Polis memuat nama Tertanggung, objek pertanggungan, jangka waktu pertanggungan, harga pertanggungan, coverage (risiko-risiko yang dijamin), jumlah premi yang harus dibayarkan Tertanggung, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh Penanggung dan Tertanggung. Pasal 255 KUHD : Pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang diberi nama polis. Pasal 258 KUHD : Untuk membuktikan adanya perjanjian itu, harus ada bukti tertulis, akan tetapi semua alat bukti lain akan diizinkan juga, bila ada permulaan bukti tertulis. 38 Sumber Hukum Asuransi Indonesia Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukum. Sumber Hukum Asuransi di Indonesia, yaitu : Polis sebagai Perjanjian Asuransi; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per); Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD); UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian; UU No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan ; Peraturan-Peraturan Pemerintah (PP) sepanjang mengenai perasuransian; Peraturan-Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepanjang mengenai usaha perasuransian; Yurisprudensi, yaitu putusan pengadilan atau ajaran yang dimuat dalam putusan hakim. Jika belum juga dapat ditemukan hukumnya, maka dapat dicari dengan melihat pendapat-pendapat para ahli Asuransi (Doktrin). 39 Usaha Perasuransian (UU NO. 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN) Perusahaan Asuransi (As. Umum & As. Jiwa) Perusahaan Asuransi Syariah Konsultan Aktuaria Perusahaan Reasuransi Perusahaan Perusahaan Reasuransi Akuntan Publik Perasuransian Syariah Profesi Penyedia Jasa Perusahaan Pialang Penilai Aset Asuransi Perusahaan Pialang Reasuransi Profesi lainnya Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi Agen Asuransi 40 Bentuk-Bentuk Perusahaan Perasuransian Perusahaan Asuransi Perusahaan Asuransi Syariah (As. Umum & As. Jiwa) Pasal 1 Angka 5 Pasal 1 Angka 8 Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggungjawab hukum pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pasti. pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. Pasal 1 Angka 6 Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan Pasal 1 Angka 9 jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak Lain yang berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap melindungi dengan memberikan pembayaran yang hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil dana. pengelolaan dala. 41 Perusahaan Reasuransi Perusahaan Reasuransi Syariah Pasal 1 Angka 7 Pasal 1 Angka 10 Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya. Perusahaan Pialang Reasuransi Perusahaan Pialang Asuransi Pasal 1 Angka 12 Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau Pasal 1 Angka 11 keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta. perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan Agen Asuransi reasuransi atau reasuransi syariah. Pasal 1 Angka 28 Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan Pasal 1 Angka 13 memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau dan/ atau jasa konsultasi atas objek asuransi. produk asuransi syariah. 42 Ruang Lingkup Usaha Perasuransian* *Pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 dan Pasal 2 POJK No. 69/2016 1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan; b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. 2) Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. 3) Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. 43 Status Kepemilikan* *Pasal 3 POJK No. 67/2016 tentang Perizinan Perasuransian WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh WNI merupakan perusahaan perasuransian yang usahanya sejenis; atau WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia dalam huruf a BERSAMA- STATUS KEPEMILIKAN SAMA dengan WNA atau Badan Hukum Asing yang : merupakan perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis. WNA dapat menjadi pemilik perusahaan perasuransian HANYA melalui transaksi di bursa efek. 44 Badan Hukum Perusahaan Perasuransian Badan Hukum Usaha Bersama yang telah ada pada saat Perusahaan Perseroan Terbatas; Koperasi; Undang-Undang ini Perasuransian: diundangkan. Perusahaan Asuransi dalam bentuk Usaha Bersama : (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya. (2) Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan. (3) Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 45 Pihak-Pihak Yang Berperan Dalam Usaha Perasuransian Direksi, Dewan Komisaris, Pemgang Saham; Dewan Pengawas Syariah dalam hal perusahaan menjalankan usaha syariah; Pemegang Saham Pengendali pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris (Pasal 13-16 UU No. 40 Tahun 2014). Pengelola Statuter pihak yang ditunjuk oleh OJK untuk mengambil alih kepengurusan perusahaan perasuransian (Pasal 62-65 UU No. 40 Tahun 2014). Tim Likuidasi pihak yang dibentuk dalam hal perusahaan perasuransian dicabut izin usahanya yang berfungsi melakukan pengurusan penyelesaian hak dan kewajiban perusahaan perasuransian ybs (Pasal 44-45 UU No. 40 Tahun 2014). 46 Persyaratan Izin Usaha Menurut UU 40/2014 1. anggaran dasar; 2. susunan organisasi; 3. modal disetor; 4. dana jaminan; 5. kepemilikan; 6. kelayakan dan kepatutan pemegang saham dan pengendali; 7. kemampuan dan kepatutan direksi dan dewan komisaris, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan auditor internal; 8. tenaga ahli; 9. kelayakan rencana kerja; 10. kelayakan sistem manajemen risiko; 11. produk yang akan dipasarkan; 12. perikatan dengan pihak terafiliasi; 13. infrastruktur penyiapan dan penyampaian laporan kepada OJK; 14. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung pihak asing; 15. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat. 47 Persyaratan Tenaga Ahli (KMK No. 23 Tahun 1993) 1. Perusahaan Asuransi Kerugian a. Memiliki kualifikasi sebagai Ahli Manajemen Asuransi Kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI. b. Memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 tahun. c. Tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya. d. Terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. 2. Cabang Perusahaan Asuransi Kerugian a. Memiliki kualifikasi sebagai Ajun Ahli Manajemen Asuransi Kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI. b. Memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 2 tahun. c. Tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya. 48 Persyaratan Tenaga Ahli (KMK No. 23 Tahun 1993) 3. Pialang Asuransi Ahli pialang asuransi bersertifikat dari Asosiasi Broker Asuransi Indonesia (ABAI) atau Ajun Ahli Manajemen Asuransi Kerugian bersertifikat dari AAMAI atau dari asosiasi sejenis di luar negeri yang telah mendapat pengakuan dari ABAI atau AAMAI. 4. Pialang Reasuransi Ahli asuransi bersertifikat dari AAMAI atau dari asosiasi sejenis di luar negeri yang telah mendapat pengakuan dari AAMAI. 49 Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Tata Kelola Perusahaan Yang Baik adalah struktur dan proses yang digunakan dan diterapkan organ Perusahaan Perasuransian untuk meningkatkan pencapaian sasaran hasil usaha dan mengoptimalkan nilai perusahaan bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, secara akuntabel dan berlandaskan peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika. Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan untuk : a. mengoptimalkan nilai Perusahaan Perasuransian bagi Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; b. meningkatkan pengelolaan Perusahaan Perasuransian secara profesional, efektif, dan efisien; c. meningkatkan kepatuhan Organ Perusahaan Perasuransian dan Dewan Pengawas Syariah serta jajaran di bawahnya agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung jawab sosial Perusahaan Perasuransian terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan; d. mewujudkan Perusahaan Perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan e. meningkatkan kontribusi Perusahaan Perasuransian dalam perekonomian nasional. 50 Prinsip Tata Kelola/GCG POJK 73/2016 tentang Tata Kelola Asuransi Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik / Good Corporate Governance (GCG): T-A-R-I-F T Transparency keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai perusahaan, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; A Accountability kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja perusahaan dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien; R Responsibility kesesuaian pengelolaan Perusahaan Perasuransian dengan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; 51 Prinsip Tata Kelola/GCG POJK 73/2016 tentang Tata Kelola Asuransi Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik / Good Corporate Governance (GCG): T-A-R-I-F I Independency keadaan Perusahaan Perasuransian yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; F Fairness kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, peraturan perundang-undangan, dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat. 52 Perlindungan Konsumen POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: a. transparansi; b. perlakuan yang adil; c. keandalan; d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Perusahaan Perasuransian berhak untuk memastikan adanya itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. 53 Otoritas Jasa Keuangan Sejak lahirnya UU No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terhitung sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Usaha Perasuransian menjadi kewenangan OJK. Dengan demikian, segala kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan Usaha Perasuransian tunduk pada ketentuan- ketentuan yang ditetapkan oleh OJK. OJK dibentuk dengan TUJUAN agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Beberapa peraturan OJK yang mengatur terkait kelangsungan usaha perasuransian: POJK No. 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Asuransi; POJK No. 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi; POJK No. 73/POJK.05/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Yang Baik Bagi Usaha Perasuransian; dan POJK terkait lainnya 54 LAPS SJK POJK 61/POJK.07/2020 Tujuan LAPS SJK Agar layanan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan: Fungsi dan Wewenang a. diselenggarakan secara Fungsi: menyelenggarakan layanan penyelesaian Sengketa yang terintegrasi pada sektor jasa keuangan. independen, adil, efektif dan efisien, serta mudah diakses; Wewenang: dan a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian Sengketa Konsumen; b. dipercaya oleh Konsumen dan b. memberikan konsultasi penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan; Pelaku Usaha Jasa Keuangan. c. melakukan penelitian dan pengembangan layanan penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan; d. membuat peraturan dalam rangka penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan; e. melakukan kerja sama dengan lembaga/instansi perlindungan konsumen baik nasional maupun internasional; dan f. melakukan pengembangan kompetensi mediator dan arbiter yang terdaftar pada LAPS Sektor Jasa Keuangan. 55 LAPS SJK POJK 61/POJK.07/2020 Prosedur dan Alur Proses MEDIASI Pendaftaran Kesepakatan untuk Pembayaran Biaya- Penunjukan Permohonan Mediasi di LAPS SJK Biaya Mediasi Mediator Mediasi Perundingan Kesepakatan Mediasi (Maximal 30 Pelaksanaan Perdamaian* Hari) *Nb : Dalam hal tidak tercapai `kesepakatan perdamaian, pihak pemohon dapat melanjutkan sengketa ke Pengadilan atau Arbitrase 56 LAPS SJK POJK 61/POJK.07/2020 Prosedur dan Alur Proses ARBITRASE Kesepakatan Para Penunjukan Arbiter/ Pendaftaran Pihak ke Arbitrase Pembayaran Biaya- Permohonan Pembentukan LAPS SJK (Perjanjian Biaya Arbitrase Arbitrase Majelis Arbitrase) Keterangan Saksi Sidang Jawab Menjawab Pembuktian dan Ahli Kesimpulan dan Penutupan Putusan Arbitrase Pelaksanaan Pemeriksaan 57 Ketentuan Pidana (Sanksi) 1. Sanksi Administratif (Pasal 71 UU No. 40 Tahun 2014) a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk lini usaha tertentu; d. pencabutan izin usaha; e. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi; f. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi profesi penyedia jasa; g. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi; h. denda administratif; dan/atau i. larangan menjadi pemegang saham, pemegang saham pengendali, direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi pada perusahaan perasuransian. 58 Ketentuan Pidana (Sanksi) 2. Sanksi Pidana (Pasal 73-82 UU No. 40 Tahun 2014) Jenis Tindak Pidana Sanksi a. Menjalankan kegiatan Usaha Asuransi atau Reasuransi (termasuk Penjara max 15 tahun dan syariah) tanpa izin Denda max Rp. 200 M b. Menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau Usaha Pialang Penjara max 10 tahun dan Reasuransi tanpa izin Denda max Rp. 3 M c. Menjalankan kegiatan Usaha Penilai Kerugian Asuransi tanpa izin Penjara max 3 tahun dan Denda max Rp. 1 M d. Sengaja memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen yang Penjara max 5 tahun dan tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada OJK Denda max Rp. 10 M e. Sengaja memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen yang Penjara max 5 tahun dan tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada pihak lain yang Denda max Rp. 20 M berkepentingan 59 Tindak Pidana Korporasi Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap korporasi, pemegang saham pengendali, dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana : a. dilakukan atau diperintahkan oleh Pemegang Saham Pengendali dan/atau Pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda maximum Rp. 600 M. 60 Klaim Asuransi The Burden of Proof Dalam pengajuan klaim, maka Tertanggung/Pemegang Polis wajib membuktikan bahwa: ü Kerugian terjadi disebabkan oleh suatu risiko yang dijamin polis; dan ü Besarnya kerugian yang dialami (nilai klaim). Contra Proferentem Rule dalam Asuransi a/: suatu cara/ketentuan dalam menafsirkan atau mengartikan kata-kata / kalimat / bunyi polis bahwa jika ada kata-kata / kalimat / bunyi polis yang kurang jelas atau mempunyai 2 (dua) pengertian atau lebih, sehingga menimbulkan ketidakjelasan (ambiguity), maka bunyi polis tersebut harus diartikan untuk kepentingan dan keuntungan Tertanggung/Pemegang Polis. Dapat disimpulkan bahwa à Tertanggung tidak boleh dirugikan. 61 62

Use Quizgecko on...
Browser
Browser