Penjelasan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU RI No. 12 Tahun 2011)

Summary

Dokumen ini membahas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan ini mencakup ketentua umum, asas, jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan di bidang hukum Indonesia.

Full Transcript

**UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011** **TENTANG** **PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **BAB I KETENTUAN UMUM** **Pasal 1** Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan ya...

**UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011** **TENTANG** **PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **BAB I KETENTUAN UMUM** **Pasal 1** Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. 2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. 8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. 9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. 13. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang- undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. 14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. **Pasal 1 Diubah UU No.15 Tahun 2019** Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1\. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang- undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan. 2\. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 3\. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4\. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 5\. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 6\. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 7\. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. 8\. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. 9\. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 10\. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 11\. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 12\. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. 13\. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang- undangan. 14\. Pemantauan dan Peninjauan adalah kegiatan untuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan Undang-Undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15\. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16\. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17\. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." **Pasal 2** Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. **Pasal 3** 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. 2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 3. Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya. **Pasal 4** Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. **BAB II** **ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **Pasal 5** Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. **Pasal 6** 1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 2. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. **BAB III** **JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **Pasal 7** \(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. \(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). **Pasal 8** 1. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 2. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. **Pasal 9** 1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. **Pasal 9 Diubah UU No.13 Tahun 2022** 1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. 3. Penanganan pengujian terhadap Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang dengan melibatkan komisi yang membidangi hukum dan perundang- undangan. 4. Dalam hal alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sudah tidak ada pada saat Undang-Undang diuji di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan menjadi kuasa DPR. 5. Penanganan pengujian terhadap Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penanganan pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang- Undang di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di lingkungan Pemerintah dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan melibatkan menteri atau kepala lembaga terkait. 6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan DPR serta penanganan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden. **Pasal 10** 1. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. 2. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. **Pasal 11** Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang. **Pasal 12** Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. **Pasal 13** Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. **Pasal 14** Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. **Pasal 15** 1. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 3. Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. **BAB IV** **PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **Bagian Kesatu Perencanaan Undang-Undang** **Pasal 16** Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. **Pasal 17** Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang- Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. **Pasal 18** Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang- Undang didasarkan atas: a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. perintah Undang-Undang lainnya; d. sistem perencanaan pembangunan nasional; e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. rencana pembangunan jangka menengah; g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. **Pasal 19** 1. Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan. 3. Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. **Pasal 20** 1. Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. 2. Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. 3. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. 4. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. 5. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. **Pasal 20 Diubah UU No.15 Tahun 2019** \(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah. \(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. \(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. \(4) Sebelum menyusun dan menetapkan Prolegnas jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPR, DPD, dan Pemerintah melakukan evaluasi terhadap Prolegnas jangka menengah masa keanggotaan DPR sebelumnya. \(5) Prolegnas jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. \(6) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara **Pasal 21** \(1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. \(3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. \(4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. \(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR. \(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden. **Pasal 21 Diubah** \(1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. \(3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. \(4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR. \(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden **Pasal 22** \(1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat \(1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. \(2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR. **Pasal 23** \(1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. \(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. **Ubahan ayat (2)**: Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a\. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b\. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. **Bagian Kedua Perencanaan Peraturan Pemerintah** **Pasal 24** Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah. **Pasal 25** \(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang- Undang sebagaimana mestinya. \(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. **Pasal 26** \(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. \(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ubahan Pasal 26 Ayat (1) ======================== 1. Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 27** Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan bidang tugasnya. **Pasal 28** \(1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah. \(2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung. **Pasal 29** Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. **Bagian Ketiga Perencanaan Peraturan Presiden** **Pasal 30** Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden. **Pasal 31** Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden. **Bagian Keempat Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi** **Pasal 32** Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi. **Pasal 33** \(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. \(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a\. latar belakang dan tujuan penyusunan; b\. sasaran yang ingin diwujudkan; c\. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d\. jangkauan dan arah pengaturan. \(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. **Pasal 34** \(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. \(2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. \(3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. **Pasal 35** Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: a\. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b\. rencana pembangunan daerah; c\. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d\. aspirasi masyarakat daerah. **Pasal 36** \(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. \(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. \(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. \(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur. **Pasal 37** \(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. \(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi. **Pasal 38** \(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a\. akibat putusan Mahkamah Agung; dan b\. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. \(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a\. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; b\. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c\. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum. **Bagian Kelima** **Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota** **Pasal 39** Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota. **Pasal 40** Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. **Pasal 41** Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya. **Bagian Keenam** **Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya** **Pasal 42** \(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing. \(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 42A (UU No.13 Tahun 2022) =============================== Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan **BAB V** **PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **Bagian Kesatu Penyusunan Undang-Undang** **Pasal 43** \(1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. \(2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD. \(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. \(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai: a\. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b\. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c\. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. \(5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. **Pasal 44** \(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. \(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. **Pasal 45** \(1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. \(2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: a\. otonomi daerah; b\. hubungan pusat dan daerah; c\. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d\. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e\. perimbangan keuangan pusat dan daerah. **Pasal 46** \(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. \(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR. **Pasal 47** \(1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. \(2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non- kementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar non-kementerian. \(3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. \(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. **Pasal 47 Diubah** \(1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. \(2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar nonkementerian. \(3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. \(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden **Pasal 48** \(1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. \(2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. \(3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang. \(4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmo nisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna. **Pasal 49** \(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. \(2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. \(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. **Pasal 49 Diubah** \(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 49 (UU No. 13 Tahun 2022)** 2. Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang disertai dengan daftar inventarisasi masalah bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. **Pasal 50** \(1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. \(2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. \(3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. \(4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan. **Pasal 51** Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. **Bagian Kedua** **Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang** **Pasal 52** \(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. \(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang. \(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. \(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang- Undang. \(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. \(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. \(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. \(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). **Pasal 53** Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden. **Bagian Ketiga Penyusunan Peraturan Pemerintah** **Pasal 54** \(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. \(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non- kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. **Pasal 54 DIUBAH** \(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden **Bagian Keempat Penyusunan Peraturan Presiden** **Pasal 55** \(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar non-kementerian. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. \(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non- kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden. **Pasal 55 DIUBAH** \(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Presiden diatur dengan Peraturan Presiden. **Bagian Kelima Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi** **Pasal 56** \(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur. \(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. \(3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a\. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b\. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c\. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. **Pasal 57** \(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. \(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. **Pasal 58** \(1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. **Pasal 58 DIUBAH** \(1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan **Pasal 58(UU No. 13 Tahun 2022)** \(1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh instansi vertikal kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 59** Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden. **Pasal 60** \(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi. **Pasal 61** \(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur. \(2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi. **Pasal 62** Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. **Bagian Keenam** **Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota** **Pasal 63** Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. **BAB VI** **TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **Pasal 64** 1. Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan. (1a) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan metode omnibus. (1b) Metode omnibus sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) merupakan metode penyusunan Peraturan Perundang-undangan dengan: a\. memuat materi muatan baru; b\. mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau c\. mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu. \(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. \(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. **BAB VII** **PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG** **Bagian Kesatu** **Pembahasan Rancangan Undang-Undang** **Pasal 65** \(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. \(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan: a\. otonomi daerah; b\. hubungan pusat dan daerah; c\. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d\. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e\. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD. \(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat \(2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. \(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat **Pasal 66** Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. **Pasal 67** Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas: a\. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan b\. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. **Pasal 68** \(1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a\. pengantar musyawarah; b\. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c\. penyampaian pendapat mini. \(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a\. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari DPR; b\. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c\. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari Presiden; atau d\. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden. \(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a\. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau b\. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2). \(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a\. fraksi; b\. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan c\. Presiden. \(5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. \(6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain. **Pasal 69** \(1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a\. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b\. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c\. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi. \(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. \(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. **Pasal 70** \(1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. \(2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. \(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR. **Pasal 71** \(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. \(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. \(3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a\. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b\. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c\. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. **Pasal 71A DITAMBAHKAN** Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, Rancangan Undang-Undang tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan. **Bagian Kedua** **Pengesahan Rancangan Undang-Undang** **Pasal 72** \(1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. (1a) Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang- Undang tersebut. (1b) Hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan wakil dari Pemerintah yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut. \(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. **Pasal 73** \(1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. \(2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. \(3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. \(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. **Pasal 73 (UU No.13 Tahun 2022)** \(1) Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 masih ditemukan kesalahan teknis penulisan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut. \(2) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 atau Rancangan Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. \(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang- Undang dan wajib diundangkan. \(4) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. \(5) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. **Pasal 74** \(1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang- Undang tersebut. \(2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang- Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). **BAB VIII** **PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA** **Bagian Kesatu** **Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi** **Pasal 75** \(1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. \(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. \(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. \(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. **Pasal 76** \(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. \(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. \(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. **Bagian Kedua** **Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota** **Pasal 77** Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. **Bagian Ketiga** **Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi** **Pasal 78** \(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi. \(2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. **Pasal 79** \(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. \(2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. \(3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. \(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. **Bagian Keempat** **Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota** **Pasal 80** Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. **BAB IX PENGUNDANGAN** **Pasal 81** Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a\. Lembaran Negara Republik Indonesia; b\. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; c\. Berita Negara Republik Indonesia; d\. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; e\. Lembaran Daerah; f\. Tambahan Lembaran Daerah; atau g\. Berita Daerah. **Pasal 82** Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: a\. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b\. Peraturan Pemerintah; c\. Peraturan Presiden; dan d\. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. **Pasal 83** Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. **Pasal 84** \(1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. \(2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. **Pasal 85** Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. **Pasal 85 DIUBAH** Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 86** \(1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. \(2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah. \(3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. **Pasal 87** Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. **BAB X PENYEBARLUASAN** **Bagian Kesatu** **Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, dan Undang-Undang** **Pasal 88** \(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang- Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. \(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. **Pasal 89** \(1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. \(3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. **Pasal 90** \(1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. \(2) Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. **Pasal 91** \(1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. \(2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi. **Pasal 91 AYAT 1 DIUBAH** **(1)** Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan **Bagian Kedua** **Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota** **Pasal 92** \(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah. \(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan. **Pasal 93** \(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. \(2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. \(3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. **Pasal 94** Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. **Bagian Ketiga Naskah yang Disebarluaskan** **Pasal 95** Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah. **BAB XA** **PEMANTAUAN DAN PENINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG (SISIPAN UU.15 2019)** **Pasal 95A** \(1) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang dilakukan setelah Undang-Undang berlaku. \(2) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah. \(3) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan yang khusus menangani bidang legislasi. \(4) Hasil dari Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menjadi usul dalam penyusunan Prolegnas. **Pasal 95B** \(1) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap sebagai berikut: a\. tahap perencanaan; b\. tahap pelaksanaan; dan c\. tahap tindak lanjut. \(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang diatur masing-masing dengan Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden **BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT** **Pasal 96** \(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a\. rapat dengar pendapat umum; b\. kunjungan kerja; c\. sosialisasi; dan/atau d\. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. \(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. \(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. **BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN** **Pasal 97** Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. **Pasal 97A** Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus hanya dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut Peraturan Perundang- undangan tersebut. **Pasal 97B** \(1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan secara elektronik. \(2) Pembubuhan tanda tangan dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan sampai dengan pengundangan dapat menggunakan tanda tangan elektronik. \(3) Tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus tersertifikasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. \(4) Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat \(1) berkekuatan hukum sama dengan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dalam bentuk cetak. \(5) Peraturan Perundang-undangan yang ditandatangani dengan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkekuatan hukum sama dengan Peraturan Perundang-undangan yang ditandatangani secara nonelektronik. \(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden. **Pasal 97C** Selain jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang telah diatur dalam Pasal 46 ayat (2), Pasal 47 ayat (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 54 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 58, kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan melakukan analisis dan evaluasi Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 97D** Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 berlaku mutatis mutandis terhadap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan kepala daerah Provinsi dan rancangan peraturan kepala daerah Kabupaten/Kota. **Pasal 98** \(1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan. (1a) Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat mengikutsertakan analis hukum sesuai dengan kebutuhan. \(2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. **Pasal 99** Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli. **Pasal 99 (UU No. 13 Thn 2022)** Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan analis legislatif dan tenaga ahli **BAB XIIA KETENTUAN PERALIHAN** **Pasal 99A** Pada saat pembentukan kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan belum terbentuk, tugas dan fungsi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tetap dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum." **Pasal II** Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. **BAB XIII KETENTUAN PENUTUP** **Pasal 100** Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang ini. **Pasal 101** Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. **Pasal 102** Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. **Pasal 103** Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. **Pasal 104** Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. **PENJELASAN:** **Pasal 3** **Ayat (1)** Yang dimaksud dengan "hukum dasar" adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945**.** **Pasal 5** Huruf a, Yang dimaksud dengan "asas kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Huruf b, Yang dimaksud dengan "asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat" adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Huruf c, Yang dimaksud dengan "asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Huruf d, Yang dimaksud dengan "asas dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Huruf e, Yang dimaksud dengan "asas kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf f, Yang dimaksud dengan "asas kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Huruf g, Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 6** **Ayat (1)** Huruf a, Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Huruf b, Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Huruf c, Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf d, Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Huruf e, Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Huruf f, Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf g, Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Huruf h, Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Huruf I, Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Huruf j, Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain: a\. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b\. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Pasal 7 ======= Ayat (1) Huruf b, Yang dimaksud dengan "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat" adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Huruf f, Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Huruf g, Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 19 ======== **Pasal 49** **Ayat 2 Penugasan menteri disertai penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah disusun dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut.** Pasal 72 ======== Diubah: Tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan, pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia **Pasal 88** Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang-Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak. **Pasal 95A** **Ayat (2)** Pelaksanaan Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 98 ======== **PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA** **REPUBLIK INDONESIA** **NOMOR 20 TAHUN 2015** **TENTANG** **TATA CARA DAN PROSEDUR PENGHARMONISASIAN,** **PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI RANCANGAN** **PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **BAB I** **KETENTUAN UMUM** **Pasal 1** Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1\. Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut dengan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan adalah proses penyelarasan substansi Rancangan Peraturan Perundang-Undangan dan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sehingga menjadi Peraturan Perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kerangka sistem hukum nasional. 2\. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 3\. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang- Undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 4\. Panitia Antarkementerian dan/atau Antarnonkementerian adalah panitia yang ditetapkan oleh Pemrakarsa yang bertugas untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden. 5\. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 6\. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 2** Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan terhadap: a\. Rancangan Undang-Undang; b\. Rancangan Peraturan Pemerintah; dan c\. Rancangan Peraturan Presiden. **Pasal 3** Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan tujuan untuk: a\. menyelaraskan dengan: 1. Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lain; dan 2. teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan b\. menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur. **BAB II** **PENGHARMONISASIAN KONSEPSI RANCANGAN** **PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **Bagian Kesatu** **Umum** **Pasal 4** \(1) Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan terhadap Rancangan Peraturan Perundang- undangan hasil rapat Panitia Antarkementerian dan/atau Antarnonkementerian yang telah mendapatkan paraf persetujuan anggota Panitia Antarkementerian dan/atau Antarnonkementerian. \(2) Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. **Pasal 5** Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a\. permohonan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan; b\. pemeriksaan administratif; c\. analisis konsepsi; d\. rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan; e\. paraf persetujuan; dan f\. penyampaian hasil Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. **Bagian Kedua** **Syarat dan Tata Cara Permohonan** **Pasal 6** \(1) Permohonan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal yang disertai dengan kelengkapan dokumen persyaratan. \(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh menteri atau sekretaris jenderal atas nama menteri. \(3) Dalam hal Rancangan Peraturan Perundang-undangan disiapkan oleh pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, permohonan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan diajukan oleh menteri yang mengoordinasikan lembaga pemerintah nonkementerian tersebut. **Pasal 7** \(1) Permohonan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat paling sedikit memuat: a. tujuan dan dasar penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan; b. gambaran umum arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan; c. keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan lain; d. isu krusial yang perlu dibahas; dan e. hal lain yang berkembang pada tahap penyusunan Panitia Antarkementerian dan/atau Antarnonkementerian. \(2) Format permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. **Pasal 8** \(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat harus melampirkan dokumen: a. Naskah Akademik untuk Rancangan Undang-Undang; b. penjelasan mengenai urgensi dan pokok pikiran; c. keputusan mengenai pembentukan Panitia Antarkementerian dan/atau Antarnonkementerian; d. Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah atau Rancangan Peraturan Presiden yang telah mendapatkan paraf persetujuan seluruh anggota Panitia Antarkementerian dan/atau Antarnonkementerian; dan e. izin prakarsa dalam hal: 1. Rancangan Undang-Undang tidak masuk dalam daftar Prolegnas; 2. Rancangan Peraturan Pemerintah tidak masuk dalam daftar Program Penyusunan Peraturan Pemerintah; atau 3. Rancangan Peraturan Presiden tidak masuk dalam daftar Program Penyusunan Peraturan Presiden. \(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf d harus disertai dengan dokumen dalam bentuk elektronik. \(3) Format Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, atau Rancangan Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. **Bagian Ketiga** **Pemeriksaan Administratif** **Pasal 9** \(1) Pemeriksaan administratif terhadap permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima di Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. \(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak diajukan oleh pejabat yang berwenang, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan atas nama Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada kementerian pemohon untuk melengkapi dokumen. \(3) Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh kementerian pemohon. \(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kementerian pemohon tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan atas nama Direktur Jenderal mengembalikan permohonan secara tertulis kepada kementerian pemohon. \(5) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan dinyatakan lengkap, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan atas nama Direktur Jenderal melakukan analisis konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. \(6) Pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan. **Bagian Keempat** **Analisis Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan** **Pasal 10** \(1) Analisis konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) dilakukan untuk melihat kejelasan konsepsi. \(2) Analisis konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap substansi dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. \(3) Analisis konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan terhadap substansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan: a. keterkaitan dan keselarasan substansi dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lain; b. asas hukum; c. putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. putusan Mahkamah Agung mengenai pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang; e. yurispridensi; f. alasan pembentukan; g. dasar kewenangan pembentukan dan dasar pembentukan; h. arah dan jangkauan pengaturan; i. keterkaitan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dan Rencana Kerja Pemerintah; j. hubungan terhadap kelembagaan yang sudah ada; k. konsekuensi terhadap keuangan negara; dan/atau l. unsur lainnya. \(4) Analisis konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \(5) Analisis konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 11** Analisis konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan secara: a\. komprehensif terhadap substansi dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan; dan b\. khusus terhadap ketentuan pasal demi pasal baik secara internal maupun eksternal. **Pasal 12** \(1) Hasil analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk tanggapan tertulis. \(2) Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. **Bagian Kelima** **Rapat Pengharmonisasian Konsepsi** **Rancangan Peraturan Perundang-undangan** **Pasal 13** \(1) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dalam rangka memperoleh kesepakatan dan kebulatan konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. \(2) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan wakil dari: a\. kementerian yang mengajukan permohonan; b\. kementerian terkait; c\. lembaga pemerintah nonkementerian terkait; dan/atau d\. lembaga lain terkait. \(3) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat mengikutsertakan peneliti dan/atau tenaga ahli termasuk dari lingkungan perguruan tinggi. \(4) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, meliputi: a\. rapat persiapan; b\. rapat pleno; dan c\. rapat tim kecil. **Pasal 13 Diubah (Permenkumham No. 40 Tahun 2016)** \(1) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dalam rangka memperoleh kesepakatan dan kebulatan konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. \(2) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Direktur Jenderal. \(3) Dalam hal Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat memimpin rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Direktur Jenderal dapat menugaskan: a\. Pimpinan Tinggi Pratama di lingkunan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan; atau b\. Pimpinan Tinggi Pratama lainnya di lingkungan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. \(4) Dalam hal tertentu, Direktur Jenderal dapat menugaskan pejabat fungsional tertentu tingkat utama yang mempunyai keahlian di bidang penyusunan dan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan untuk memimpin, menghadiri, dan/atau tugas lain dalam Pengharmonisasian atau rapat pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, atau lembaga lainnya. \(5) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat fungsional tertentu tingkat utama sebagaimana dimaksud pada ayat \(4) ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri. \(6) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh pejabat fungsional tertentu tingkat utama berkoordinasi dengan pejabat pimpinan tinggi pratama di lingkungan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. \(7) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan wakil dari: a\. kementerian yang mengajukan permohonan; b\. kementerian terkait; c\. lembaga pemerintah nonkementerian terkait; dan/atau d\. lembaga lain terkait. \(8) Selain melibatkan wakil dari unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (7), rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat mengikutsertakan peneliti dan/atau tenaga ahli termasuk dari lingkungan perguruan tinggi. \(9) Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, meliputi: a\. rapat persiapan; b\. rapat pleno; dan c\. rapat tim kecil. **Pasal 14** \(1) Rapat persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf a dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang utuh terhadap konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. \(2) Rapat persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a\. rapat internal; b\. rapat bilateral antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan kementerian yang mengajukan permohonan; dan/atau c\. rapat trilateral antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kementerian yang mengajukan permohonan, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain terkait. **Pasal 15** \(1) Rapat pleno sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf b dimaksudkan untuk: a\. memperoleh masukan dari kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain terkait terhadap substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan; b\. membahas substansi rancangan peraturan perundang-undangan terkait masukan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c\. memutuskan substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang bersifat krusial; dan/atau d\. membubuhkan paraf persetujuan substansi pada setiap lembar naskah Rancangan Peraturan Perundang-undangan oleh wakil dari masing-masing kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain terkait. \(2) Rapat pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dihadiri oleh wakil dari kementerian yang mengajukan permohonan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang menguasai substansi dengan jabatan paling rendah pejabat pimpinan tinggi pratama yang berwenang mengambil keputusan. **Pasal 16** \(1) Rapat tim kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf c dilakukan untuk menyempurnakan rumusan judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan, dan/atau lampiran, sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. \(2) Rapat tim kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan juga kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain terkait. **Pasal 17** \(1) Wakil dari setiap kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain terkait melaporkan kepada pimpinan masing-masing hasil pembahasan pada rapat persiapan, rapat pleno, dan rapat tim kecil. \(2) Dalam hal terdapat permasalahan, wakil dari kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain terkait melaporkan kepada pimpinan masing-masing untuk mendapat arahan dan keputusan. **Pasal 18** \(1) Dalam hal pada rapat tim kecil terdapat permasalahan, permasalahan tersebut dilaporkan pada rapat pleno tingkat pimpinan tinggi pratama atau pimpinan tinggi madya untuk mendapatkan keputusan. \(2) Dalam hal permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan pada rapat pleno, Direktur Jenderal melaporkan kepada Menteri untuk diputuskan pada rapat tingkat menteri. \(3) Dalam hal permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diselesaikan pada rapat tingkat menteri, Menteri menyampaikan permasalahan kepada menteri koordinator sesuai dengan bidangnya untuk diputuskan pada rapat tingkat menteri koordinator. **Pasal 19** \(1) Dalam hal pada rapat koordinasi tingkat menteri coordinator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) tidak menghasilkan keputusan, Menteri menyampaikan permasalahan tersebut kepada Presiden untuk memperoleh arahan. \(2) Arahan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan dalam Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan disepakati dalam rapat pleno. **Bagian Keenam** **Penyampaian Hasil Rapat Pengharmonisasian** **Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan** **Pasal 20** Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan naskah Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang telah diharmonisasikan kepada menteri, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau pimpinan lembaga lain terkait untuk mendapatkan paraf persetujuan pada setiap lembar naskah Rancangan Peraturan Perundang-undangan. **Pasal 21** Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan hasil Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dengan melampirkan naskah Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang telah memperoleh paraf persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kepada menteri yang mengajukan permohonan untuk diteruskan kepada Presiden. **BAB III** **KETENTUAN LAIN-LAIN** **Pasal 22** \(1) Dalam hal penyusunan Rancangan Peraturan Presiden bersifat mendesak yang ditentukan oleh Presiden untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian secara serta merta dapat langsung melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Presiden dengan melibatkan Menteri, menteri, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain yang terkait. \(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Presiden. \(3) Terhadap hasil pembahasan Rancangan Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri tidak mengeluarkan surat penyampaian hasil Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. \(4) Hasil pembahasan Rancangan Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian kepada Presiden untuk ditetapkan. **PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA** **NOMOR 87 TAHUN 2014** **TENTANG** **PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN** **PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN** **Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi** **Pasal 51** \(1) Pemrakarsa menyampaikan permohonan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang telah mendapatkan paraf persetujuan anggota panitia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 kepada Menteri. \(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan dokumen: a\. Naskah Akademik; b\. penjelasan mengenai urgensi dan pokok-pokok pikiran; c\. keputusan mengenai pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian; d\. Rancangan Undang-Undang yang telah mendapatkan paraf persetujuan seluruh anggota panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian; dan e.izin prakarsa dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak masuk dalam daftar Prolegnas. \(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konse

Use Quizgecko on...
Browser
Browser