Laporan Epidemiologi Kelompok 1 (Kelas E) PDF
Document Details
Uploaded by DarlingReef
Universitas Negeri Gorontalo
2024
Tiara Tine, Masayu Latief, Yasir Juma, Pratiwi Lihawa, Fauziah Sultan, Alieva Danasya Mokodongan
Tags
Related
- Handbook For Clinical Management Of Dengue PDF (World Health Organization, 2012)
- Lineamientos Técnicos y Manual de Vacunación Contra el Dengue (Septiembre 2024) PDF
- Fiebre Amarilla y Dengue Prescripción Médica (PDF)
- Dengue Fever PDF
- Enfermedades Transmitidas por Vectores PDF
- Concept of Dengue Fever (Humma Danj) in Unani System of Medicine: A View PDF
Summary
This document is a report on the epidemiology of dengue fever in Bandung, Indonesia, in 2024. It includes details on the concepts of communicable diseases, demographics, symptoms, risk factors, and potential preventative measures. The report aims to provide an in-depth overview of the issue.
Full Transcript
KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE di KOTA BANDUNG Dosen Pengampu : Nikmatisni Arsad, S.KM., M.Kes Disusun Oleh : Kelompok 1 – Kelas E Tiara Tine (811423128) Masayu Latief (811423100) Yasir Juma (8114...
KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE di KOTA BANDUNG Dosen Pengampu : Nikmatisni Arsad, S.KM., M.Kes Disusun Oleh : Kelompok 1 – Kelas E Tiara Tine (811423128) Masayu Latief (811423100) Yasir Juma (811423157) Sri Fatmatia Badu (811423068) Pratiwi Lihawa (811423063) Siti Mutiah Fatinah Dehi (811423133) Fauziah Sultan (811423047) Alieva Danasya Mokodongan (811423138) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2024 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatnya kami masi di berikan kesehatan sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan tepat pada waktunya, dengan laporan yang berjudul “KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE di KOTA BANDUNG” ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar Ilmu Gizi. Kami menyadari bahwa laporan ini tidaklah sempurna oleh karena itu, kami perlu kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan ini di masa yang akan datang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dan laporan ini dapat disajikan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa dan pembacanya. Gorontalo, 26 Oktober 2024 Penulis i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................i DAFTAR ISI................................................................................................... ii BAB I............................................................................................................. 1 PENDAHULUAN........................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 2 1.3 Tujuan.............................................................................................. 3 BAB II............................................................................................................ 4 PEMBAHASAN............................................................................................. 4 2.1 Konsep Dasar Epidemiologi............................................................ 4 2.2 Deskripsi, Populasi, Gejala, Pola Penyebaran............................... 9 2.3 Faktor Resiko................................................................................ 16 2.4 Rencana Intervensi....................................................................... 31 BAB III......................................................................................................... 34 PENUTUP................................................................................................... 34 3.1 Kesimpulan.................................................................................... 34 3.2 Saran............................................................................................. 34 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 36 ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit viral yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini menjadi perhatian serius di banyak daerah, termasuk Kota Bandung. Dengan populasi yang padat dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk, Bandung mengalami peningkatan kasus DBD dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pemerintah setempat. Kota Bandung, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat, memiliki iklim tropis yang mendukung pertumbuhan nyamuk. Curah hujan yang tinggi, terutama selama musim hujan, menciptakan genangan air yang menjadi tempat berkembang biaknya Aedes aegypti. Selain itu, perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan juga berkontribusi pada penyebaran penyakit ini. Oleh karena itu, perlu adanya upaya lebih untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan pencegahan di kalangan warga. Angka kejadian DBD di Kota Bandung menunjukkan fluktuasi yang signifikan setiap tahunnya. Data dari Dinas Kesehatan menyebutkan bahwa pada tahun tertentu, peningkatan kasus mencapai puncaknya, menyebabkan rumah sakit dan puskesmas kewalahan dalam menangani pasien. Hal ini mendorong pemerintah untuk memperkuat program pencegahan dan penanganan DBD, termasuk melakukan fogging dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. 1 Pendidikan kesehatan menjadi salah satu strategi penting dalam mengatasi DBD. Masyarakat perlu diberikan informasi yang jelas mengenai cara pencegahan, tanda dan gejala DBD, serta langkah- langkah yang harus diambil jika terpapar. Program-program sosialisasi yang melibatkan sekolah, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil diharapkan dapat menciptakan kesadaran kolektif untuk melawan penyebaran penyakit ini. Selain faktor lingkungan dan perilaku masyarakat, perubahan iklim juga berperan dalam dinamika penyebaran DBD. Peningkatan suhu dan perubahan pola curah hujan dapat mempengaruhi siklus hidup nyamuk dan memperpanjang musim transmisi penyakit. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai dampak perubahan iklim terhadap epidemiologi DBD di Kota Bandung sangatlah penting untuk merumuskan strategi mitigasi yang efektif. Dengan memahami latar belakang dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran DBD, diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama dalam mengurangi risiko dan dampak penyakit ini. Upaya pencegahan yang terpadu dan berkelanjutan akan sangat penting untuk menekan angka kejadian DBD di Kota Bandung, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep dasar epidemiologi penyakit DBD? 2. Apa saja dampak, gejala, dan pola penyebaran dari penyakit dbd di kota Bandung? 2 3. Apa saja faktor resiko yg menyebabkan kasus DBD di kota Bandung? 4. Apa rencana intervensi yang dapat diterapkan untuk mengendalikan atau mencegah penyebaran penyakit DBD? 1.3 Tujuan 1. Mengetahui bagaimana konsep epidemiologi penyakit DBD 2. Mengetahui apa saja dampak, gejala, dan pola penyebaran dari penyakit dbd di kota Bandung 3. Mengetahui apa saja faktor resiko yg menyebabkan kasus DBD di kota Bandung 4. Mengetahui apa rencana intervensi yang dapat diterapkan untuk mengendalikan atau mencegah penyebaran penyakit DBD 3 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Dasar Epidemiologi 1. Segitiga Epidemiologi Segitiga Epidemiologi : Pejamu, Agent, Lingkungan Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit diakibatkan karena adanya virus dengue yang dibawa oleh perantara vektor nyamuk Aedes aegepty. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran DBD di daerah yaitu: A. faktor manusia (host), Host atau penjamu adalah keadaan manusia sedemikian rupa atau makhluk hidup lainnya yang menjadi faktor risiko atau tempat terjadinya proses alamiah perkembangan penyakit. Faktor host ini antara lain adalah umur, jenis kelamin, ras, etnik, status gizi, behavior, fisiologi tubuh, imunologis, 4 pekerjaan, dll (Teti.S.A.P.,2024). Host atau pejamu dari infeksi virus dengue yaitu manusia virus dengue (agent). B. faktor lingkungan (environment). Faktor lingkungan merupakan faktor ekstrinsik yang menunjang terjadinya suatu penyakit. Faktor lingkungan mempengaruhi penularan, penyebaran dan perkembangan suatu agent penyebab penyakit. Tinggal atau berada di daerah tropis dan subtropis meningkatkan risiko terkena virus dengue. Faktor Lingkungan: suhu, kelembaban, ketinggian, kepadatan, tempat tinggal, air, susu, makanan, polusi udara, kebisingan, dan vibrasi. (Muhyidin., 2022). C. Agent Agent merupakan semua unsur atau elemen hidup maupun tidak hidup yang kehadirannya atau ketidakhadirannya bila diikuti dengan kontak yang efektif dengan pejamu (host) yang rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimulus untuk menyebabkan terjadinya proses penyakit. Agent dapat berupa unsur biologis (virus, bakteri, fungi, riketzoa, protozoa, dan metazoan), unsur nutrisi (protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan lainnya), unsur kimiawi (misalnya zat-zat beracun seperti karbon monoksida, asbes, kobalt atau allergen), dan unsur fisik (radiasi dan trauma mekanik seperti pukulan, tabrakan). (Teti.S.A.P.,2024). 5 2. Angka Insidensi Insidensi dalam epidemiologi adalah jumlah kasus baru (baru terdiagnosis) dari satu penyakit. Secara umum, insiden dilaporkan sebagai kasus baru dalam satu periode waktu tertentu, misalnya per bulan atau per tahun. Insiden sering disalah artikan dengan prevalensi. Prevalensi atau tingkat penyebaran adalah jumlah kasus hidup dalam satu periode waktu tertentu. 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝐼𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒𝑛𝑠 = × 100.000 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜 117 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝐼𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒𝑛𝑠 = × 100.000 3.753.120 = 3,11 Jumlah kasus baru yang ada di kota Bandung pada periode Januari - Maret sekitar 117 kasus baru dengan jumlah total populasi berisiko sekitar 3.753.120. jadi angka insiden penyakit DBD dikota bandung yaitu sekitar 3,11. 6 3. Angka prevalensi Prevalensi merupakan jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada waktu tertentu. Prevalensi adalah ukuran yang umumnya ditentukan dengan menggunakan metode pemilihan sampel secara acak dari seluruh populasi. Tujuannya adalah agar sampel yang dipilih dapat mewakili populasi secara keseluruhan. 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = × 100% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 2.215 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = × 100% 3.753.120 = 0,59 Jumlah penderita kasus DBD di kota Bandung yaitu 2.215 penderita, periode Jauari - Maret, dengan jumlah keseluruhan penduduk 3.753.120. Jadi angka prevalensi penyakit DBD di kota Bandung yaitu 0,59. 7 4. Rasio Risiko Rasio risiko atau risiko relatif (RR) adalah statistik yang membandingkan probabilitas suatu hasil pada kelompok yang terpapar dengan probabilitas hasil pada kelompok yang tidak terpapar. Rasio risiko digunakan untuk menunjukkan apakah suatu intervensi atau variabel memiliki pengaruh pada hasil. 𝐼𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒𝑛 𝐾𝑢𝑚𝑢𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑗𝑎𝑛 𝑅𝑖𝑠𝑘 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝐼𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒𝑛 𝑘𝑢𝑚𝑢𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑗𝑎𝑛 42.073 𝑅𝑖𝑠𝑘 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 3.711.047 = 0,011 Jumlah resiko pada kelompok yang terpapar yaitu 42.073 dan kelompok yang tidak terpapar yaitu 3.711.047. Jadi angka rasio risiko penyakit Demam Berdarah Dengue dikota bandung yaitu 0,011. 8 2.2 Deskripsi, Populasi, Gejala, Pola Penyebaran 1. Deskripsi Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue yang masuk ke peredaran manusia melalu gigitan nyamus Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti adalah vector penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang paling banyak ditemukan (Henny et al., 2024). Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever adalah penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk yang saat ini menjadi perhatian utama masyarakat internasional. DBD ditemukan di daerah tropik dan subtropik, terutama wilayah urban dan periurban. DBD pertama kali diketahui di Asia Tenggara tahun 1950an tetapi mulai tahun 1975 hingga sekarang merupakan penyebab kematian utama pada anak-anak di negara-negara Asia. Prevalensi penyakit ini secara global meningkat drastis dekade saat ini. DBD sekarang endemik di 100 lebih negara-negara di Afrika, Amerika, Mediteranian Timur, Asia Tenggara dan Pasific Barat. Asia Tenggara dan Pasifik Barat adalah negara-negara yang paling banyak menderita. Sebelum tahun 70an hanya 9 negara yang mengalami epidemi DBD, jumlah ini meningkat empat kali lipat sampai dengan tahun 1995. Sejak tahun 1997 dengue dinyatakan sebagai penyakit asal viral terpenting yang berbahaya dan berakibat fatal bagi manusia. Penyebarannya secara global sebanding dengan malaria, dan diperkirakan kini setiap tahun terdapat sebanyak 2500 juta orang atau dua per tiga dari penduduk dunia beresiko terkena DBD. Setiap tahun terdapat 10 juta kasus infeksi dengue di seluruh dunia dengan angka kematian sekitar 5% terutama pada anak-anak. 9 Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis, dan menjangkit luas di banyak negara di Asia Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat menyebabkan demam berdarah, baik ringan maupun fatal yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang terkait dengan antigenik. Virus dengue berukuran 35-45nm, virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit menular yang timbulnya mendadak secara cepat dalam waktu relatif singkat yang sangat berbahaya dan mematikan serta sampai saat ini belum diketemukan vaksin pencegahnya. Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari. Demam berdarah ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang terinfeksi virus dengue. Penyakit ini tidak dapat ditularkan langsung dari orang ke orang. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat- tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Demam berdarah dengue ditandai dengan gelaja-gejala klinis berupa: Demam; Ruam; Pendarahan; Nyeri seluruh tubuh (Jaya M., et al., 2023). 10 2. Populasi Demam Berdarah Dengue dapat dengan mudah menular, dan jika tidak ditangani dengan serius, dapat menyebar dan menjadi wabah. Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 yang menjelaskan bahwa penyakit DBD termasuk dalam salah satu jenis penyakit yang dapat menimbulkan wabah. Sehingga penyakit DBD dapat menjadi penyakit yang memiliki potensi menjadi bencana non alam apabila tidak dipantau tingkat kasusnya. Demam Berdarah Dengue adalah salah satu penyakit menular yang sering menjadi penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia Hal tersebut dapat dibuktikan dari data Kementerian Kesehatan tahun 2011, dimana kejadian luar biasa ini telah tercatat beberapa kali terjadi di Indonesia, antara lain pada tahun 1973, 1977, 1978, 1983, 1988, 1996, 1998, 2007, dan 2009. Puncak kasus KLB terjadi pada tahun 2009, dengan jumlah kasus mencapai 154.855 dan menyebabkan kematian sebanyak 1.384 orang. Penambahan jumlah kasus tersebut merupakan dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan KLB DBD tahun 1998 yang mencatat 72.133 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di Kota Bandung, Indonesia. Kota Bandung, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, terus menghadapi tantangan dalam menanggulangi penyebaran DBD yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. DBD disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, yang biasanya berkembang biak di sekitar pemukiman manusia. Data yang dikutip dari web opendata.jabarprov, kasus Demam Berdarah (DBD) di Kota Bandung telah mengalami fluktuasi dari tahun 2016 hingga 2022. Jumlah kasus DBD di kota 11 Bandung pada periode Januari hingga Maret 2024 telah mencapai angka 2.215. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa DBD merupakan jenis penyakit yang mengancam setiap tahunnya, oleh karena itu pemerintah perlu menentukan strategi untuk menanggulangi kasus penyakit DBB yang masih terjadi hingga saat ini. Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai upaya dalam menanggulangi penyebaran DBD, termasuk program pemberantasan sarang nyamuk, penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan DBD, dan pengawasan kasus DBD. Namun, meskipun telah dilakukan upaya tersebut, masih terdapat tingkat kejadian DBD yang tinggi di Kota Bandung, hal ini menunjukkan bahwa masih ada tantangan dalam penanganan penyakit ini (Faiza et al., 2024). 3. Gejala Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus nonspesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita, pada balita dan anak-anak kecil biasanya berupa demam, disertai ruam-ruam makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan, atau demam tinggi (> 39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung 2-7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual- muntah, dan ruam-ruam. Bintik-bintik pendarahan di kulit sering terjadi, kadangkadang disertai bintik-bintik pendarahan dipharynx dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan (costae dexter), dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-41 derajat C, dan terjadi kejang demam pada balita. DHF adalah 12 komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, oleh : A. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba B. Manifestasi pendarahan C. Nepatomegali atau pembesaran hati D. Kadang-kadang terjadi shock manifestasi pendarahan pada DHF, dimulai dari test torniquet positif dan bintik-bintik pendarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terjadi di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi pendarahan hidung, gusi, dan pendarahan dari saluran cerna, dan pendarahan dalam urine. Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokan menjadi 4 tingkat : a. Derajat I : Demam diikuti gejala spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah test Terniquet yang positif atau mudah memar. b. Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan pendarahan spontan, pendarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain. c. Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab, dan penderita gelisah. d. Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba, dan tekanan darah tidak dapat di periksa, fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. Setelah demam 2-7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi darah, penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Pada kasus yang tidak terlalu berat gejala-gejala ini hampir tidak terlihat, menandakan 13 kebocoran plasma yang ringan. Gejala klinis DBD pada awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus (typhoid), oleh karenanya seringkali dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga keliru dalam penegakkan diagnosa. Virus ini dipindahkan oleh nyamuk yang terinfeksi saat mengisap darah orang tersebut. Setelah masuk ke dalam tubuh, lewat kapiler darah virus melakukan perjalanan ke berbagai organ tubuh dan berkembang biak. Masa inkubasi virus ini berkisar antara 8-10 hari sejak seseorang terserang virus dengue, sampai timbul gejala-gejala demam berdarah seperti: a) Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 - 40 derajat Celsius). b) Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya bintik-bintik perdarahan c) Adanya bentuk perdarahan di kelopak mata bagian dalam (konjungtiva), mimisan (epitaksis), buang air besar dengan kotoran (feses) berupa lendir bercampur darah (melena), dan lain-lainnya, d) Adanya pembesaran hati (hepatomegali), e) Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok, f) Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan trombosit dibawah 100.000 /mm3 (trombositopeni), terjadi peningkatan nilai hematokrit diatas 20% dari nilai normal (hemokonsentrasi), g) Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah, penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala, h) Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi, i) Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada persendian, j) Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah. 14 4. Pola penyebaran Timbulnya lonjakan angka kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) yang cenderung tinggi di awal tahun 2024 diikuti dengan angka kematian di Kota Bandung. Penyebaran penyakit DBD di area perkotaan lebih pesat dibandingkan di area pedesaan karena faktor tingginya kepadatan penduduk. Selain itu Penyebaran DBD dipengaruhi oleh factor cuaca dan iklim, akan meningkat jika terjadi musim hujan. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung mencatat bahwa selain covid-19, penyakit DBD masih tinggi dan perlu diwaspadai penyebarannya. Data Dinkes Kabupaten Bandung mencatat bahwa terjadi kenaikan kasus DBD di wilayah Kabupaten Bandung dalam rentang Agustus 2018 sampai Januari 2019, pada Agustus 2018 terjadi 28 kasus, September 135 kasus, Oktober 159 kasus, November 170 kasus, Desember 148 kasus dan sampai dengan 29 Januari terjadi 236 kasus Variabel cuaca berpengaruh terhadap incident rate demam berdarah di Kabupaten Bandung adalah suhu udara (temperatur), kelembapan, curah hujan dan lamanya penyinaran matahari, sementara itu kecepatan angin tidak terlalu berpengaruh signifikan. Analisis Laporan Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Kota Bandung menyatakan bahwa jumlah kasus DBD berdasarkan jenis kelamin dan golongan umur banyak menjangkiti laki-laki berusia 5 - 14 tahun. Berdasarkan sebaran tempat dalam Kota dan Kabupaten Bandung per Kecamatan dengan jumlah kasus tertinggi yaitu pada Kecamatan Ujung Berung dan Kecamatan Cileunyi (Febby N., 2024). 15 2.3 Faktor Resiko Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah wabah yang menjalar antar manusia dan berlandaskan pada lingkungan yang disebabkan karena mikroorganisme, hal tersebut masih menjadi momok pada negara yang memiliki iklim tropis. Demam Berdarah Dengue (DBD) timbul karena nyamuk Aedes Aegypti yang mengedarkan virus dengue (Muhammad Riduwan, 2022). Nyamuk Aedes Aegpyti akan timbul akibat terjadinya perubahan lingkungan atau iklim cuaca dengan kepadatan penduduk yang semakin lama semakin bertambah banyak serta gaya hidup seseorang dalam mengelola kebersihan lingkungan (Sidharta et al., 2023). Nyamuk ini muncul pada tempat yang memilki ruangan bervolume besar, tempat yang umumnya dapat ditemukannya larva nyamuk yaitu terdapat pada penampungan air, selokan, sungai, pot bunga, sampah plastik, dan sebagainya. Sumber air yang tertampung berasal dari faktor cuaca seperti genangan air hujan atau luapan air sungai ataupun selokan. Pada periode tahun 2021 jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia tercatat sebanyak 73.518 kasus dengan 705 kasus kematian. Terjadi peningkatan yang signifikan kasus mordibitas pada tahun 2022 tercatat 143.184 kasus dengan penurunan angka mortalitas 124 kasus kematian. Kemudian pada tahun 2023 tercatat sebanyak 57.884 dengan 422 kematian. Dan di Tahun 2024 per minggu ke-12 tercatat sebanyak 46.168 kasus dengan 350 kasus kematian (Febby Nurdiansyah, 2024). A. Lingkungan Kota Bandung merupakan kota yang mempunyai iklim tropis dengan banyaknya hujan yang tercurah serta hawa lembab yang tinggi. Keadaan tersebut menjadi penyebab kota Bandung sebagai diantara kota dengan besaran kasus DBD 16 tertinggi di Jawa Barat (Sutriyawan & Suherdin, 2022). Sejalan dengan penelitian yang terdahulu yang telah disampaikan, dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan faktor lingkungan diangkap sebagai faktor yang menjadi sumber utama. 1. Lingkungan Fisik a) Kebiasaan Menggantung Pakaian Pakaian yang tergantung merupakan tempat yang disukai oleh nyamuk untuk hinggap. Dengan demikian, untuk mencegah agar tidak dijadikan tempat peristirahatan nyamuk, maka sebaiknya pakaian yang sudah dipakai diletakkan ditempat baju kotor dan pakaian yang belum dipakai dilipat rapi di dalam lemari karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar untuk beristirahat setelah menghisap darah manusia (Mardianita, 2024). b) Jarak Antara Rumah Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa sebagian besar responden yakni 92 responden (69,7%) memiliki jarak rumah yang lebih dari 40 meter, daripada jarak rumah yang kurang dari 40 meter. Hal ini sejalan dengan penelitian di Kota Bandung, habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti sebagian besar berdekatan dengan tempat aktifitas manusia dikarenakan nyamuk Aedes aegypti merupakan tipe nyamuk yang menyukai tempat perindukan yang bersih seperti bak mandi, penampungan air kulkas, tempat air minum hewan dan sebagainya. Penelitian lain menyatakan 17 perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat meningkatkan insidensi dema berdarah dengue (Saptaningtyas et al., 2022). Kejadian demam berdarah di Kota Bandung masih menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan. Upaya pemberantasan sarang nyamuk adalah salah satu cara yang cukup efektif dalam menekan penularan penyakit. Pemberantasan dapat dilakukan dari nyamuk dalam bentuk larva atau jentik. Program atau upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pencegahan dan pengendalian adalah dengan program pemberantasan sarang nyamuk dengan menutup, menguras, mendaur ulang (PSN3Mplus) yang di sosialisasikan dan dilaksanakan oleh Puskesmas (Saptaningtyas et al., 2022). c) Kepadataan penduduk Kepadatan penduduk merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi tingginya kejadian DBD di suatu wilayah. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti berkaitan erat dengan tata lekat pemukiman penduduk, dengan asumsi semakin padat pemukiman, maka kendala seperti pembuangan limbah, saluran air hujan yang tidak memadai, maupun pencahayaan yang kurang dapat mengakibatkan kelembaban udara yang tinggi sehingga mempermudah perkembangbiakan nyamuk tersebut. Namun penelitian yang dilakukan di beberapa wilayah lain, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan penduduk dengan 18 kejadian DBD di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor risiko, bersama faktor risiko lain yang secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya kasus penularan DBD. Curah hujan dan kelembaban udara juga merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus DBD di Kota Bandung. Curah hujan, suhu, dan kelembaban lingkungan merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi metabolisme nyamuk vektor dan virulensi virus dengue (Jesa Nuhgroho, 2023). Sebaran penduduk di Kota Bandung berbeda tiap kecamatan. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Bojongloa Kaler sebesar 42.073 jiwa/km2 dan terendah terdapat di kecamatan Gedebage sebesar 4.396 jiwa/km2. Kepadatan penduduk akan memudahkan penularan virus dengue karena sifat menggigit ganda dari virus. Kepadatan penduduk berkorelasi dengan jarak terbang nyamuk dan penularan penyakit DBD. Hal ini dikarenakan semakin padat penduduk maka penularan DBD lebih mudah terjadi karena jarak terbang nyamuk Aedes aegypti diperkirakan sekitar 30-50 m. Kepadatan penduduk yang tinggi dianggap berkontribusi terhadap penularan DBD dengan meningkatkan kontak antara nyamuk yang terinfeksi dengan inang manusia. Penelitian yang dilakukan Kusairi, A dan Yulia, R menunjukkan bahwa kasus DBD tertinggi terjadi di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. 19 Jarak rumah yang semakin dekat juga mempengaruhi penyebaran nyamuk. Kepadatan penduduk juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya angka kasus DBD di kecamatan Antapani, Bojongloa Kaler, dan Sukajadi. Hal ini menyebabkan kecamatan tersebut masuk kedalam daerah rawan DBD. Sedangkan, kecamatan Kiara condong tingginya kasus DBD dipengaruhi oleh intensitas hujan yang tinggi serta kepadatan penduduk, serta kecamatan Cibeunying Kidul tingginya kasus DBD dipengaruhi oleh semua faktor tersebut (curah hujan, kelembaban udara, dan kepadatan penduduk). Kepadatan penduduk merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi tingginya kejadian DBD di suatu wilayah. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti berkaitan erat dengan tata lekat pemukiman penduduk, dengan asumsi semakin padat pemukiman, maka kendala seperti pembuangan limbah, saluran air hujan yang tidak memadai, maupun pencahayaan yang kurang dapat mengakibatkan kelembaban udara yang tinggi sehingga mempermudah perkembangbiakan nyamuk tersebut. Namun penelitian yang dilakukan di beberapa wilayah lain, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor risiko, bersama faktor risiko lain yang secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya kasus penularan DBD. 20 Curah hujan dan kelembaban udara juga merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus DBD di Kota Bandung. Curah hujan, suhu, dan kelembaban lingkungan merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi metabolisme nyamuk vektor dan virulensi virus Dengue (Jesa Nuhgroho, 2023). Kepadatan Penduduk Faktor lainnya yaitu kepadatan penduduk serta mobilisasi penduduk yang menjadi resiko penyebab DBD. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah kasus mordibitas DBD di RSUD Kota Bandung yang dilihat berdasarkan sebaran tempat dalam Kota Bandung per Kecamatan yaitu Kecamatan Ujung Berung yang menunjukan jumlah 44 kasus, sedangkan di Kabupaten Bandung yaitu pada Kecamatan Cileunyi dengan jumlah 32 kasus per 16 April 2024 atau dalam triwulan ke-1 pada tahun 2024. Hasil penelitian sebelumnya didapat Kecamatan Antapani menjadi diantara dari Kecamatan dengan jumlah kasus tertinggi. Didukung dengan data penduduk pada Website Resmi Kota Bandung mengatakan bahwa jumlah jiwa sebanyak 2.693.500 dengan luas wilayah 16.729,50 Ha. (I67,67Km 2) dengan kepadatan penduduk per hektar sebanyak 155 jiwa (Febby Nurdiansyah, 2024). 21 d) Perubahan Iklim Pemanasan global berdampak pada perubahan iklim menyebabkan meningkatnya kasus mosquito borne disease. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi insidens dengue diantaranya iklim yang terdiri dari kelembapan, curah hujan, temperatur, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan jumlah hari hujan. Terjadinya perubahan parameter iklim berkontribusi terhadap peningkatan jumlah vektor, meningkatkan rentang hidup vektor, dan memperluas penyebaran vektor DBD (Oka Septiriani, 2022). Kota Bandung tidak terlalu jauh dengan Ibu Kota Negara yaitu Jakarta. Selain itu Kota Bandung memiliki Iklim yang tropis dengan suhu yang rendah dan curah hujanserta kelembaban yang tinggi. Hal ini yang menjadikan Kota Bandung salah satu Kota dengan Jumlah kasus tertinggi di Jawa Barat. Temuan penelitian ini, kasus DBD ada di Kecamatan Antapani. Jika dilihat dari demografis, Kecamatan Antapani terletak di Tengah-Tengah Kota Bandung, yang artinya kepadatan dan mobilitas penduduk sangat tinggi (Agung Sutriyawan, 2023). e) Kekebalan Tubuh Kekebalan Tubuh imunitas atau kekebalan tubuh seseorang rentang usia 5-14 tahun, masih tergolong rendah pada usia anak anak menuju ke usia remaja. Pada masa tersebut, kekebalan tubuh mereka masih dapat dikatakan kurang optimal 22 (Sutriyawan & Suherdin., 2022). Berdasarkan pada pustaka tersebut dengan hasil penelitian yang diperoleh, menyatakan bahwa benar umur dianggap sebagai faktor sebab akibat terjadinya penularan DBD. Oleh sebabitu DBD sering kali terjadi pada usia anak-anak menuju remaja (Febby Nurdiansyah, 2024). f) Lingkungan Biologi Penyebab DBD multifaktor, salah satunya adalah faktor lingkungan biologi. Studi sebelumnya menyatakan penyebab lingkungan biologi yang berkontribusi terhadap penularan DBD adalah breeding place. Jika disekitar rumah terdapat breeding placemaka risiko terinfeksi DBD akan meningkat. Adanya breeding place disekitar rumah memicu nyamuk untuk berkembangbiak. Resting place, sampah padat dan juga tanaman pengusir nyamuk juga memiliki peran yang sama. Selain itu keberadaan jentik nyamuk disekitar rumah akan memicu tingginya penularan DBD (Fidiariani Sjaaf, 2023). Penelitian ini membuktikan bahwa mereka yang tinggal di rumah yang terdapat resting place berpeluang lebih besar menderita DBD. Adanya resting place yang berpotensi menjadi tempat vektor DBD menjadi salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian DBD, yang berpotensi menjadi tempat nyamuk beristirahat yaitu diantaranya pakaian kotor yang dibiarkan menggantung di luar lemari seperti dibelakang pintu, didekat gorden, dan 23 lain sebagainya, serta adanya semak semak disekitar rumah. Sangat penting untuk tidak membiasakan menggantungkan pakaian kotor yang sudah dipakai di dalam rumah karena dengan hal tersebut, nyamuk akan sangat nyaman untuk beristirahat didalam rumah. sehingga dengan cara tersebut dapat dengan mudah memutus rantai penularan kasus DBD. Keberadaan tanaman pengusir nyamuk juga berpengaruh terhadap kejadian DBD. Hasil observasi ditemukan sebagian besar masyarakat tidak memiliki tanaman pengusir nyamuk disekitar rumahnya. Akan tetapi proporsi pada kelompok yang tidak penderita DBD lebih banyak ditemukan tamanan pengusir nyamuk. Beberapa jenis tanaman yang ditemukan adalah serai, selasih, lavender, granium dan rosemary. Penelitian ini konsisten dengan penelitian lain yang menyatakan adalah nya tanaman pengusir nyamuk di sekitar rumah dapat mengusir nyamuk aedes aegypti, sehingga dapat digunakan sebagai upaya pencegahan gigitan nyamuk (Sutriyawan et al., 2022). Temuan ini membuktikan keberadaan tanaman pengusir nyamuk menjadi salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian DBD. Tanaman yang dapat mengusir nyamuk diantaranya yaitu serai, selasih, lavender, granium dan juga rosemary. Beberapa tanaman tersebut dapat mencegah nyamuk untuk berkembang biak karena aroma dari tanaman tersebut merupakan aroma yang tidak disukai oleh 24 nyamuk. Jika menanam salah satu dari tanaman tersebut pun itu sudah cukup baik, karena setidaknya ada tanman pengusir nyamuk yang ditanam meskipun tidak semua jenis tapi salah satunya juga sudah bisa untuk mencegah nyamuk berkembang biak disekitar rumah terutama didalam rumah. Dengan adanya tanaman tersebut ditanam dihalaman rumah, itu akan menjadi salah satu cara untuk memutus rantai penularan DBD (Fidiariani Sjaaf, 2023). g) Lingkungan Sosial a. Faktor Pendidikan Pendidikan secara signifikan berhubungan dengan pengetahuan tentang DBD. Tingkat pendidikan yang paling mungkin memiliki pengetahuan tinggi adalah pendidikan tinggi. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian di sebelumnya yang dilakukan di Kota Bandung, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dapat berperan serta dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat, sehingga masyarakat akan melakukan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (AGUNG SUTRIYAWAN, 2023). b. Faktor Ekonomi Urban poverty atau kemiskinan perkotaan adalah fenomena yang ditandai dengan tingginya angka kemiskinan di daerah perkotaan. Urban poverty mencakup masyarakat yang tidak hanya 25 rendah secara ekonomi, baik pendapatan maupun konsumsi, tetapi juga termasuk ke dalam kelompok rentan karena tinggal di perkotaan yang tidak memiliki akses terhadap perumahan yang layak sehingga mereka tinggal di pemukiman informal atau pemukiman kumuh yang padat. Masyarakat ini juga kekurangan infrastruktur fisik, layanan dasar, jaminan sosial, dan fasilitas kesehatan. Kemampuan ekonomi dan keuangan secara signifikan mempengaruhi kondisi sanitasi masyarakat. Kemiskinan menciptakan hambatan terhadap kesehatan lingkungan, yang mengarah pada siklus kemiskinan. Hal ini dapat menghalangi akses terhadap pengetahuan higiene dan sanitasi serta air minum dan sanitasi yang layak, yang mengakibatkan masalah kesehatan pada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah (Jasmine Raissa Rachmadina, 2024). B. Perilaku Beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi antara perilaku tertentu dan peningkatan risiko demam berdarah. Penelitian-penelitian ini mendukung gagasan bahwa kedua variabel tersebut berhubungan secara signifikan. Kami mendapatkan temuan uji chi-kuadrat dengan nilai p 0,005. Terdapat lima (27,8%) dan tiga belas (72,2%) responden kasus dengan perilaku masing-masing dalam kategori baik dan kategori buruk. Sementara pada kelompok kontrol, 26 terdapat 10 responden (27,8%) yang berperilaku buruk, sedangkan 26 responden (72,2%) berperilaku sangat baik. Observasi dan wawancara yang dilakukan di kediaman responden kasus dan kontrol menunjukkan bahwa sejumlah besar orang tetap tidur tanpa menggunakan lotion anti nyamuk. Selain itu, masih banyak masyarakat yang mengabaikan tempat tumbuhnya jentik nyamuk dan masih banyak pakaian yang tergantung di balik pintu. Penelitian ini sejalan dengan Ade Aulia, (2022), banyak kelompok kasus mempunyai prilaku yang kurang baik ternyata kurang berpartisipasi dalam hal membersihkan lingkungan rumahnya. Dimana prilaku yang belum menyadari bahwa selama kejadian ini belum terjadi pada pihak keluarganya maka kepedulian masyarakat tidak ada. Perilaku yang baik untuk menjaga lingkungan yang sehat dan bersih dari sarang nyamuk dapat terwujud apabila motivasi dari seluruh anggota keluarga juga baik. Seorang kepala keluarga hendaknya termotivasi untuk menjaga lingkungan rumah demi kesehatan seluruh anggota keluarga. Kepala keluarga mampu menjadi role model yang baik bagi keluarga untuk menjaga kebersihan lingkungan. Kebanyakan kepala keluarga yang telah termotivasi untuk menjaga kebersihan lingkungan terpengaruh oleh tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Kulsum, et al. 2023). Dalam penelitian lainnya menyatakan bahwa hubungan antara perilaku dengan keberadaan jentik dinyatakan jika semakin baik perilaku dalam pencegahan maka akan semakin mengurangi risiko terjadinya peningkatan kasus DBD. Selain itu ada faktor lain sebagai penunjang penyebab DBD adalah sanitasi lingkungan yang buruk, perilaku masyarakat tidak 27 sehat, perilaku di dalam rumah pada siang hari, dan mobilitasi penduduk. C. Sosiodemografi 1. Umur Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antar umur terhadap hasil pemeriksaan demam berdarah dengue. Virus Dengue dapat menyebabkan infeksi yang bersifat asimtomatik maupun simtomatik dengan gejala ringan hingga berat. Setelah masa inkubasi, penyakit ini timbul secara mendadak dan diikuti oleh tiga fase, antara lain fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan. Ketiga fase tersebut memiliki indikator berbeda untuk membantu menegakkan diagnosis serta memantau perkembangan penyakit dengue. Sulitnya meramalkan perjalanan penyakit infeksi dengue, sering dijumpai pasien DBD dengan keluhan semula yang tidak tampak berat secara klinis dan laboratoris, namun mendadak syok atau dengue shock syndrome (DSS) dan menyebabkan kematian. Demam Berdarah Dengue yang menyerang anakanak cenderung lebih meningkatkan morbiditas dan mortalitas sehingga diperlukan perhatian lebih. Pemeriksaan laboratorium rutin yang akan dipantau antara lain adalah: hemoglobin, eritrosit, hematokrit, leukosit, dan trombosit (Fika Hariyanti, 2022). Analisis Laporan Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Kota Bandung menyatakan bahwa jumlah kasus DBD berdasarkan jenis kelamin dan golongan umur 28 banyak menjangkiti laki-laki berusia 5-14 tahun. Berdasarkan sebaran tempat dalam Kota dan Kabupaten Bandung per Kecamatan dengan jumlah kasus tertinggi yaitu pada Kecamatan Ujung Berung dan Kecamatan Cileunyi. Berdasarkan indentifikasi melalui metode 5M, Aspek Machine mengalami kendala yaitu ketidak efisienan penggunaan 3 laman yang berbeda dalam pelaporan data Surveilans DBD (Febby Nurdiansyah, 2024). 2. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian dari 40 responden jenis kelamin paling banyak didapatkan pada laki-laki yaitu sebanyak 25 responden (62,5%) dan perempuan sebanyak 15 responden (37,5%). Penelitian ini sejalan dengan pcnelitian yang dilakukan oleh Maulin & Irma (2023) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu laki-laki sebanyak 38 responden (55,88%) dan perempuan sebanyak 30 respoden (44, 12%). Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem kekebalan laki-laki lebih lemah dibandingkan sisten kekebalan perempuan, karena sistem pertahanan tubuh perempuan membuat imunoglobin dan antibodi lebih banyak daripada sistem pertahanan tubuh laki-laki dalam melawan infeksi. Sistem kekebalan setiap orang berbeda selama masa reproduksi. Hal ini disebabkan oleh hormon estrogen yang muncul pada perempuan. Hormon ini dapat mempengaruhi produksi IgA dan IgG menjadi lebih banyak yang membuat perempuan lebih tahan pada infcksi virus. Beberapa penelitian lain juga menyatakan bahwa faktor jenis kelamin dapat mempengaruhi infeksi virus dengue, 29 sehingga risiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan hampir sama, karena risiko gigitan nyamuk Aedes aegypti yang merupakan agen penular virus dengue sama (Tania Damayanti1). D. Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat Kejadian demam berdarah di Kota Bandung tidak hanya mengalami peningkatan, tetapi juga menyebabkan kematian. Salah satu penyebab tingginya kasus adalah masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang demam berdarah. Secara global, penularan demam berdarah telah dikaitkan dengan berbagai faktor sosial, termasuk tingkat pendidikan, karakteristik rumah tangga, kepadatan penduduk, pasokan air (yaitu, sanitasi yang buruk dan praktik penyimpanan air), ketersediaan listrik, tutupan vegetasi, perilaku manusia, dan kelimpahan nyamuk Aedes. Untuk mencapai pengendalian penyakit yang efektif, masyarakat harus diberdayakan dengan pengetahuan yang benar tentang strategi pencegahan demam berdarah karena perilaku manusia memainkan peran kunci dalam memfasilitasi vektor demam berdarah (menyediakan lingkungan yang baik untuk berkembang biak dan makan darah) dan penularan penyakit. Masyarakat dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi dan pemahaman yang lebih baik tentang demam berdarah menghasilkan pengendalian penyakit yang lebih berhasil. Misalnya, dinegara bagian Selangor, Malaysia, perilaku manusia berdampak signifikan terhadap penyebaran dan penularan demam berdarah (AGUNG SUTRIYAWAN, 2023). 30 Studi sebelumnya menemukan bahwa individu dengan sedikit pengetahuan tentang demam berdarah menunjukkan praktik pencegahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan individu yang memiliki pengetahuan lebih tentang demam berdarah. Ada banyak penelitian yang menyelidiki Tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit mereka mengikuti beberapa kriteria inklusi seperti usia (18 tahun), penduduk setempat, dan mampu memahami pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara. 2.4 Rencana Intervensi Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai upaya dalam mengendalikan penyebaran DBD, namun masih diperlukan langkah- langkah strategis yang berkelanjutan agar pengendalian dapat dilakukan dengan efektif. A. Metodologi Pencegahan 1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Langkah utama dalam pencegahan DBD adalah dengan memutus siklus hidup nyamuk vektor melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Kegiatan PSN meliputi: menguras dan membersihkan tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali, menutup rapat-rapat penampungan air agar nyamuk tidak bertelur, mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan, memantau jentik-jentik nyamuk di lingkungan sekitar. 31 2. Fogging Fokal Fogging atau pengasapan hanya dilakukan pada daerah yang ditemukan adanya kasus positif DBD dengan tujuan membunuh nyamuk dewasa. Fogging harus dilakukan secara selektif dan tidak sembarangan agar efektif dan tidak menimbulkan resistensi nyamuk terhadap insektisida. 3. Edukasi Masyarakat Masyarakat harus diberi edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, melakukan PSN secara rutin, dan mengenali gejala awal DBD untuk segera mendapatkan penanganan medis. Sosialisasi dilakukan melalui: penyuluhan kesehatan di puskesmas dan sekolah, pembagian brosur atau pamflet, pemanfaatan media sosial dan media cetak. 4. Pengawasan dan Monitoring Pengawasan dilakukan oleh dinas kesehatan setempat dengan melakukan pemeriksaan berkala terhadap daerah-daerah berisiko tinggi dan pelaporan kasus DBD secara cepat. Monitoring juga dilakukan melalui kegiatan gotong royong yang melibatkan masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. 5. Pengendalian Spasial Kasus DBD Di Bandung, penelitian menunjukkan adanya pola distribusi kasus yang fluktuatif, dengan kecamatan tertentu seperti Coblong, Kiaracondong, dan Buahbatu mencatat jumlah kasus yang lebih tinggi. Pendekatan analisis spasial digunakan untuk memantau area berisiko tinggi, sehingga pengendalian vektor dapat difokuskan di wilayah-wilayah tersebut. 6. Pemanfaatan Teknologi Inovasi dalam teknologi juga dimanfaatkan, seperti penggunaan aplikasi mobile untuk pelaporan kasus DBD dan pemantauan 32 perkembangan nyamuk, yang membantu dalam pengendalian populasi vektor lebih efektif. Rencana pencegahan di atas diharapkan dapat menekan angka penyebaran penyakit DBD di Kota Bandung. Dengan mengaktifkan peran serta masyarakat dalam PSN, melakukan edukasi, serta monitoring lingkungan, diharapkan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan DBD semakin meningkat. Upaya fogging yang selektif di daerah berisiko juga diharapkan dapat mengurangi populasi nyamuk dewasa yang menjadi penyebab penularan. Pemberdayaan kader kesehatan dan relawan di lingkungan RT/RW juga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pencegahan. Penggunaan aplikasi digital untuk pelaporan kasus dan pelacakan tempat berisiko juga dapat menjadi solusi modern yang efektif dalam upaya pengendalian DBD di era digital ini. 33 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Demam berdarah dengue (DBD) di Kota Bandung menunjukkan bahwa penyakit ini tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang serius. Meskipun pemerintah telah melaksanakan berbagai program pencegahan dan pemberantasan, seperti fogging dan edukasi masyarakat, fluktuasi jumlah kasus DBD masih terjadi, terutama selama musim hujan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan mengenali gejala awal DBD sangat diperlukan untuk mencegah dampak yang lebih parah. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan strategi penanganan yang lebih efektif. Peningkatan akses ke layanan kesehatan dan edukasi yang lebih intensif dapat membantu mengurangi risiko penularan DBD. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan angka kejadian DBD di Kota Bandung dapat ditekan, sehingga kesehatan masyarakat dapat terjaga dengan lebih baik. 3.2 Saran Untuk mengurangi angka kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Bandung, perlu diimplementasikan program edukasi yang lebih intensif dan berkelanjutan. Masyarakat harus diberikan informasi yang jelas mengenai cara pencegahan, termasuk pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, menghindari genangan air, dan mengenali 34 tanda-tanda awal penyakit. Kegiatan sosialisasi bisa dilakukan melalui sekolah, komunitas, dan media sosial untuk menjangkau lebih banyak orang. Selain itu, melibatkan tokoh masyarakat dan pemuka agama dapat meningkatkan penerimaan informasi dan partisipasi masyarakat dalam program pencegahan. Selanjutnya, pemerintah daerah perlu meningkatkan kolaborasi dengan berbagai sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, dan lingkungan, untuk menciptakan pendekatan yang holistik dalam penanganan DBD. Program fogging yang dilakukan secara berkala perlu dipadukan dengan pengawasan dan penanganan sarang nyamuk secara proaktif. Selain itu, penelitian dan pemantauan epidemiologi yang lebih mendalam tentang pola penyebaran DBD harus dilakukan untuk mengidentifikasi area dengan risiko tinggi. Dengan demikian, langkah-langkah pencegahan yang lebih terarah dan efektif dapat diterapkan, sehingga dapat menekan angka kasus DBD di Kota Bandung secara signifikan. 35 DAFTAR PUSTAKA AGUNG SUTRIYAWAN, R. D. (2023). PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE DI TINJAU DARI STATUS SOSIODEMOGRAFI, Vol. 11 No. 2. Agung Sutriyawan, S. S. (2023). Studi Mixed Method: Gambaran Epidemiologi dan Analisis Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Bandung. Berdarah Dengue (DBD) dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Bunyu Kabupaten Bulungan. SAINTEKES: Jurnal Sains, Teknologi dan Kesehatan, 2(3), 456–469. Faiza Rahma Nur, N. K. (2024). Strategi Pemerintah Dalam Menanggulangi Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung. Jurnal Of Administration, Governance, and Political Issues, 59-64. Febby Nurdiansyah, Y. Y. (2024). ANALISIS LAPORAN SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) RAWAT INAP 2024 RSUD KOTA BANDUNG, Volume 8, Nomor 2,. Fidiariani Sjaaf, A. D. (2023). Biological Environmental Conditions on the Incidence of Dengue Hemorrhagic Fever, Vol. 5 No. 1. Fika Hariyanti, M. R. (2022). Analisis Faktor Yang Berhubugan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupate Demak. Heny Cahyaningsih, et al. (2024). GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA ANAK DI RS KOTA BANDUNG. MALAHAYATI NURSING JOURNAL, VOLUME 6, NOMOR 8, 3256-3266. Jasmine Raissa Rachmadina, M. S. (2024). Indeks Sanitasi dan Faktor- Faktor Penentunya Pada AreaUrban PovertyKota Bandung(Studi Kasus:Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung), Vol. 9 No 4. 36 Jaya Maulana, et al. (2023). Memandirikan Masyarakat Melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1) Serta Edukasi Gejala DBD di Kelurahan Bandengan. Jurnal Pengabdian Nasional (JPN) Indonesia. Vol.4, No.1, 140-145. Jesa Nuhgroho, T. E. (2023). Jurnal Indonesia : Manajemen Informatika dan Komunikasi. PEMETAAN DAERAH RAWAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN APLIKASI QGIS, Vol 4 No 2. Mardianita, A. W. (2024). GAMBARAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DBD, Vol. 16 No. 1. Oka Septiriani, M. K. (2022). Jurnal Kesmas Indonesia. PENGARUH IKLIM TERHADAP KASUS DENGUE DI KOTA BANDUNG: 2011-2020, Volume 14. No 1. Saptaningtyas, R. et al. (2022b) ‘Penerapan Aplikasi Pemburu Jentik dalam Upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk’, Majalah Ilmiah UPI YPTK, 29(2), pp. 109–114. Sutriyawan, A., & Suherdin, S. (2022). Studi Mixed Method: Gambaran Epidemiologi dan Analisis Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Bandung. The Indonesian Journal of Infectious Diseases, 8(2), 15–29. Kulsum, U., Sutrisno, S., Purwanto, E., & Norma, N. (2023). Faktor Resiko Demam Tania Damayanti1, N. R. (t.thn.). 2024. GAMBARAN KADAR TROMBOSIT, HEMATOKRIT, IGM DAN IGG PADA PASIEN PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE(DBD) DI PUSKESMAS NGEMPLAK 1, Volume 5, Nomor 3,. 37