Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 2021 PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
2021
Dr. dr. Irsan Hasan, SpPD, KGEH, FINASIM
Tags
Summary
Dokumen ini membahas konsensus terapi sistemik untuk karsinoma sel hati di Indonesia tahun 2021. Konsensus ini membahas berbagai terapi sistemik, dari terapi target hingga imunoterapi, serta faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan terapi yang tepat untuk pasien dengan penyakit ini. Tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan kesintasan pasien.
Full Transcript
08 ca dr M 1- tu. C ed xx ry a uc xx aw tur in -x in ya e xx dy w x @ in gm dy ai cit l.c a om m ae lly...
08 ca dr M 1- tu. C ed xx ry a uc xx aw tur in -x in ya e xx dy w x @ in gm dy ai cit l.c a om m ae lly a a lly ae om m l.c a ai cit gm dy x @ in -x in ya e xx dy w xx aw tur in xx ry a uc KONSENSUS TERAPI SISTEMIK 1- tu. C ed 08 ca dr M KARSINOMA SEL HATI DI INDONESIA PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA PPHI 2021 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia a lly xiv + 76 halaman ae 15 x 23 cm om m ISBN 978-602-53358-3-9 l.c a ai cit gm dy x @ in -x in ya e xx dy w xx aw tur in xx ry a uc 1- tu. C ed 08 ca dr M Hak Cipta Dilindungi Undang-undang: Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit Diterbitkan oleh: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia 2021 Tim Penyusun Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia Ketua : Dr. dr. Irsan Hasan, SpPD, KGEH, FINASIM a Sekretaris : dr. Imelda Maria Loho, SpPD lly ae Anggota : dr. Poernomo Boedi Setiawan, SpPD, KGEH, FINASIM dr. Ali Djumhana, SpPD, KGEH, FINASIM om m Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD, KGEH, FINASIM l.c a dr. Lianda Siregar, SpPD, KGEH, FINASIM ai cit Prof. Dr. dr. Rino A. Gani, SpPD, KGEH, FINASIM gm dy Dr. dr. Andri Sanityoso, SpPD, KGEH, FINASIM x @ in Dr. dr. C. Rinaldi A. Lesmana, SpPD, KGEH, FACP, FACG, FINASIM -x in ya e xx dy w xx aw tur in xx ry a uc 1- tu. C ed 08 ca dr M Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia iii 08 ca dr M 1- tu. C ed xx ry a uc xx aw tur in -x in ya e xx dy w x @ in gm dy ai cit l.c a om m ae lly a SAMBUTAN KETUA PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA a lly Kanker hati merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia ae dan insidensinya terus mengalami kenaikan. Karsinoma sel hati (KSH) adalah bentuk kanker hati yang paling sering dan meliputi hampir 85% om m dari total kanker primer hati. Dengan angka insidensi KSH yang hampir menyamai angka mortalitas, KSH merupakan kanker yang sangat fatal l.c a ai cit dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Sebagian besar penderita KSH baru terdeteksi pada stadium lanjut ketika terapi yang bersifat gm dy kuratif seperti reseksi atau transplantasi tidak memungkinkan untuk dilakukan. Deteksi dini KSH pada kelompok berisiko sampai saat ini x @ in masih menjadi tantangan tersendiri dan belum dapat dilakukan secara -x in ya e xx dy w xx aw tur in merata di hampir seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, berbagai xx ry a uc penelitian untuk mendapatkan terapi sistemik yang efektif untuk KSH stadium lanjut terus dilakukan agar penderita KSH stadium lanjut dapat 1- tu. C ed memperoleh harapan hidup yang lebih baik. 08 ca dr M Terapi sistemik KSH saat ini terdiri atas terapi target (penghambat multikinase) dan imunoterapi (penghambat immune checkpoint). Sorafenib, suatu penghambat multikinase, merupakan terapi sistemik yang pertama kali disetujui penggunaannya untuk KSH stadium lanjut pada tahun 2008 berdasarkan uji klinis fase III. Selama hampir satu dekade, berbagai uji klinis terapi sistemik lain gagal memberikan hasil yang lebih superior dibandingkan sorafenib sebagai terapi lini pertama. Pada tahun 2017 untuk pertama kalinya terapi sistemik lain, yaitu lenvatinib menunjukkan hasil non-inferior dibandingkan sorafenib pada lini pertama. Pada tahun 2020 kombinasi atezolizumab + bevacizumab menunjukkan hasil superior dibandingkan sorafenib. Pada lini kedua, regorafenib, ramucirumab, dan cabozantinib menunjukkan hasil superior dibandingkan plasebo. Imunoterapi tunggal juga memberikan hasil yang menjanjikan pada uji klinis fase II, meskipun belum memberikan hasil superior pada uji klinis fase III. Saat ini berbagai uji klinis fase III yang menilai kombinasi dua macam imunoterapi atau kombinasi imunoterapi dengan terapi target maupun terapi lokoregional tengah berjalan. Di masa mendatang tampaknya terapi sistemik akan memegang peran penting dalam tatalaksana KSH. Sebagian besar KSH terjadi pada hati yang sirotik sehingga pemberian terapi sistemik untuk KSH memerlukan pengetahuan yang menyeluruh Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia v mengenai penentuan stadium, derajat fungsi hati, status performans, serta kemungkinan toksisitas yang ditimbulkan oleh terapi sistemik tersebut, khususnya yang berkaitan dengan sirosis atau penyakit hati kronik yang mendasari. Hipertensi portal akibat sirosis dapat menimbulkan berbagai a komplikasi seperti perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal, lly asites, dan peritonitis bakterial spontan yang dapat menghambat ae pemberian terapi sistemik. Adanya komorbid, seperti hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit autoimun, tuberkulosis aktif, dan lain-lain juga om m perlu diperhatikan sebelum memberikan terapi sistemik. Di samping itu, kemampuan untuk melakukan evaluasi dan menatalaksana toksisitas l.c a ai cit juga diperlukan agar terapi sistemik memberikan luaran yang baik. Pada akhirnya perlu diingat bahwa tujuan utama pemberian terapi gm dy sistemik pada KSH stadium lanjut adalah memperpanjang kesintasan atau harapan hidup. Oleh karena itu, kualitas hidup dan toksisitas harus x @ in diperhatikan selama pemberian terapi sistemik. -x in ya e xx dy w xx aw tur in xx ry a uc Dengan mempertimbangkan berbagai hal di atas, kami, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) berinisiatif menyusun konsensus terapi 1- tu. C ed sistemik ini dengan harapan dapat membantu tenaga kesehatan di Indonesia, khususnya para dokter yang merawat pasien KSH, dalam 08 ca dr M memberikan terapi sistemik yang semakin bervariasi jenisnya. Konsensus ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para stakeholder yang terlibat dalam penatalaksanaan pasien KSH di Indonesia. Tujuan utama penyusunan konsensus ini adalah meningkatkan pelayanan kesehatan bagi pasien KSH dan meningkatkan kesintasan pasien KSH di Indonesia. Pada kesempatan ini, saya, atas nama Pengurus Besar PPHI, mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota tim penyusun, seluruh ketua cabang PPHI, dan anggota Pengurus Besar PPHI yang terlibat dalam penyusunan konsensus ini. Saya juga mengucapkan terima kasih dan selamat kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan konsensus ini hingga selesai. Kami mohon maaf apabila masih ada kekurangan dalam penyusunan konsensus ini. Kami percaya bahwa konsensus ini masih akan terus mengalami perbaikan di kemudian hari sesuai dengan kemajuan penelitian di bidang KSH. Dr. dr. Irsan Hasan, SpPD, KGEH, FINASIM Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia vi Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia DAFTAR ISTILAH 3D CRT three-dimensional conformal radiation therapy a AASLD American Association for the Study of Liver Diseases lly AFP alfa feto-protein ae APASL Asia Pacific Association for the Study of the Liver om m BCLC Barcelona Clinic Liver Cancer l.c a CEUS contrast-enhanced ultrasonography ai cit CR complete response CT computed tomography CTCAE gm dy common terminology criteria for adverse events x @ in -x in ya e CTLA-4 cytotoxic T lymphocyte antigen-4 xx dy w xx aw tur in EASL European Association for the Study of the Liver xx ry a uc EBRT external beam radiotherapy 1- tu. C ed ECOG the Eastern Cooperative Oncology Group EORTC European Organisation for Research and Treatment of 08 ca dr M Cancer FGFR fibroblast growth factor receptor GRADE Grading of Recommendations Assessment, Development, and Evaluation HIV human immunodeficiency virus ICI immune checkpoint inhibitor IK interval kepercayaan IL interleukin IMT indeks massa tubuh IMRT intensity-modulated radiation therapy INR international normalized ratio IR incomplete response irAE immune-related adverse event JSH Japan Society of Hepatology KGB kelenjar getah bening KSH karsinoma sel hati mRECIST modified Response Evaluation Criteria in Solid Tumors MRI magnetic resonance imaging MRP multidrug-resistance-associated proteins Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia vii NASH non-alcoholic steatohepatitis NLR neutrophil-to-lymphocyte ratio OATP organic anion transporting polypeptides OR odds ratio a lly OS overall survival ae PD progressive disease PD-1 programmed cell death-1 om m PDGFR platelet-derived growth factor receptor l.c a PEI percutaneous ethanol injection ai cit PFS progression-free survival gm dy PIVKA-II proteins induced by vitamin K absence-II PNPK Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran x @ in -x in ya e xx dy w PR partial response xx aw tur in PS performance status xx ry a uc RFA radiofrequency ablation 1- tu. C ed RDI relative dose intensity 08 ca dr M RR risiko relatif RT radioterapi SBRT stereotactic body radiation therapy SD stable disease SIRT selective internal radiation therapy STAT3 signal transducer and activator of transcription 3 TACE transarterial chemo-embolization TARE transarterial radio-embolization TNF tumor necrosis factor TNM tumor node metastasis TTP time-to-progression USG ultrasonografi VEGFR vascular endothelial growth factor receptor VHB virus hepatitis B VHC virus hepatitis C viii Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia DAFTAR ISI Halaman Judul....................................................................................................... i a lly Halaman Pengesahan......................................................................................... ii ae Tim Penyusun Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia.............................................................. iii om m Sambutan Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia............ v l.c a ai cit Daftar Istilah........................................................................................................ vii Daftar Tabel......................................................................................................... xi gm dy Daftar Gambar.................................................................................................... xiii x @ in -x in ya e Bab 1 Pendahuluan........................................................................................ 1 xx dy w xx aw tur in 1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1 xx ry a uc 1.2 Permasalahan............................................................................ 2 1- tu. C ed 1.3 Tujuan........................................................................................... 3 08 ca dr M 1.3.1 Tujuan Umum............................................................... 3 1.3.2 Tujuan Khusus............................................................. 3 1.4 Sasaran......................................................................................... 3 Bab 2 Metodologi............................................................................................ 4 2.1 Langkah penyusunan konsensus dan penelusuran kepustakaan............................................ 4 2.2 Peringkat Bukti.......................................................................... 4 2.3 Derajat Rekomendasi.............................................................. 5 Bab 3 Epidemiologi........................................................................................ 7 Bab 4 Stadium dan Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Hati........................................................................... 9 4.1 Penilaian Stadium Karsinoma Sel Hati............................ 9 4.2 Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Hati................... 12 Bab 5 Terapi Sistemik.................................................................................. 18 5.1 Sejarah Terapi Sistemik......................................................... 18 5.2 Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Sistemik............... 20 5.2.1 Indikasi Terapi Sistemik........................................... 21 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia ix 5.3 Terapi Lini Pertama................................................................. 23 5.3.1 Sorafenib.......................................................................... 23 5.3.2 Lenvatinib....................................................................... 26 5.3.3 Atezolizumab dan Bevacizumab........................... 31 a lly 5.4 Terapi Lini Kedua..................................................................... 34 ae 5.4.1 Regorafenib.................................................................... 34 5.4.2 Ramucirumab................................................................ 36 om m 5.4.3 Cabozantinib.................................................................. 37 l.c a 5.5 Imunoterapi................................................................................ 39 ai cit 5.5.1 Nivolumab....................................................................... 39 gm dy 5.5.2 Pembrolizumab............................................................ 40 5.5.3 Kombinasi antibodi anti-PD-1 x @ in -x in ya e dan antibodi anti-CTLA-4......................................... 41 xx dy w xx aw tur in 5.6 Tatalaksana hepatitis B selama terapi sistemik xx ry a uc untuk KSH.................................................................................... 46 1- tu. C ed 5.7 Evaluasi yang perlu dilakukan sebelum pemberian terapi target molekular................ 48 08 ca dr M 5.8 Diagnosis dan Penatalaksanaan Efek Samping Terapi Target................................................. 49 5.9 Diagnosis dan Penatalaksanaan Efek Samping Penghambat Immune Checkpoint pada Karsinoma Sel Hati........................................................ 55 5.10 Penilaian Respons Terapi...................................................... 63 Daftar Pustaka.................................................................................................... 66 x Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia DAFTAR TABEL Tabel 1. Derajat kualitas bukti dan rekomendasi a yang diadapatasi dari sistem GRADE..................................... 6 lly Tabel 2. Skala Performance Status Berdasarkan Klasifikasi ae The Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG)............. 10 om m Tabel 3. Sistem Klasifikasi Child-Pugh.................................................... 11 l.c a Tabel 4. Definisi End Points pada uji klinis ai cit berbagai terapi sistemik.............................................................. 20 gm dy Tabel 5. Kriteria TACE unsuitable.............................................................. x @ in 22 Tabel 6. Kontraindikasi absolut dan relatif TACE.............................. 22 -x in ya e xx dy w xx aw tur in Tabel 7. Kriteria TACE gagal/ TACE refrakter..................................... 23 xx ry a uc Tabel 8. Kriteria inklusi dalam studi SHARP........................................ 24 1- tu. C ed Tabel 9. Kriteria eksklusi dalam studi SHARP..................................... 24 08 ca dr M Tabel 10. Kriteria inklusi dalam studi REFLECT................................... 27 Tabel 11. Kriteria eksklusi dalam studi REFLECT................................ 28 Tabel 12. Kriteria inklusi dalam studi IMbrave150............................. 32 Tabel 13. Beberapa kriteria eksklusi dalam studi IMbrave150...... 32 Tabel 14. Pertimbangan dalam memilih jenis terapi lini pertama....................................................................................... 33 Tabel 15. Kriteria inklusi dalam studi RESORCE................................... 35 Tabel 16. Beberapa kriteria eksklusi dalam studi RESORCE........... 36 Tabel 17. Kriteria inklusi dalam studi REACH-2.................................... 37 Tabel 18. Beberapa kriteria eksklusi dalam studi REACH-2............ 37 Tabel 19. Kriteria inklusi dalam studi CELESTIAL............................... 38 Tabel 20. Beberapa kriteria eksklusi dalam studi CELESTIAL........ 38 Tabel 21. Pertimbangan dalam memilih jenis terapi lini kedua..... 44 Tabel 22. Data efikasi uji klinis fase II/III untuk terapi lini pertama, lini kedua, dan beberapa imunoterapi yang mendapat percepatan persetujuan.............................. 45 Tabel 23. Ringkasan studi fase III kombinasi imunoterapi dengan terapi lain........................................................................... 46 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia xi Tabel 24. Evaluasi yang perlu dilakukan sebelum pemberian terapi target....................................................................................... 49 Tabel 25. Manajemen umum efek samping hand-foot skin reaction akibat sorafenib............................... 50 a lly Tabel 26. Manajemen efek samping yang sering muncul pada terapi lenvatinib................................................................... 51 ae Tabel 27. Evaluasi yang perlu dilakukan sebelum om m pemberian imunoterapi............................................................... 57 l.c a Tabel 28. Manajemen umum toksisitas terkait imun ai cit dengan manifestasi klinis di luar organ hati pada pasien KSH.............................................................................. 58 gm dy Tabel 29. Potensi ko-eksistensi gangguan yang harus x @ in -x in ya e dipertimbangkan dalam proses diagnostik xx dy w xx aw tur in immune-related adverse events (iRAEs) pada pasien xx ry a uc dengan KSH........................................................................................ 59 1- tu. C ed Tabel 30. Penilaian Respons Terapi dengan Kriteria mRECIST...... 65 08 ca dr M xii Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Sistem stadium BCLC..................................................................... 10 a lly Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Hati......................... 13 ae Gambar 3. Bagan pemberian terapi sistemik pada KSH stadium lanjut.............................................................. 44 om m Gambar 4. Komorbiditas yang paling sering ditemukan l.c a pada penyakit hati kronik........................................................... 61 ai cit Gambar 5. Manajemen hepatitis terinduksi penghambat gm dy immune checkpoint pada pasien KSH..................................... x @ in 62 -x in ya e xx dy w xx aw tur in xx ry a uc 1- tu. C ed 08 ca dr M Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia xiii 08 ca dr M 1- tu. C ed xx ry a uc xx aw tur in -x in ya e xx dy w x @ in gm dy ai cit l.c a om m ae lly a BAB 1 PENDAHULUAN a lly 1.1 Latar Belakang ae Karsinoma sel hati (KSH) merupakan salah satu masalah kesehatan penting di dunia. Insidensi KSH mengalami kenaikan om m dalam dua puluh tahun terakhir ini karena beberapa faktor risiko l.c a seperti hepatitis B kronik atau hepatitis C kronik dan non-alcoholic ai cit steatohepatitis belum tertangani dengan sempurna.1 KSH adalah penyebab ketiga tertinggi kematian akibat kanker dengan rasio gm dy insidensi/mortalitas mencapai hampir 1:1, yang menggambarkan bahwa sebagian besar pasien yang menderita KSH meninggal karena x @ in -x in ya e penyakit ini.2 Buruknya prognosis KSH juga diperparah dengan xx dy w xx aw tur in banyaknya pasien yang datang pada stadium lanjut ketika terapi xx ry a uc kuratif, seperti reseksi, transplantasi hati, dan ablasi lokal, sudah tidak lagi dapat diberikan. Oleh karena itu, terapi sistemik memiliki 1- tu. C ed peran penting dalam tatalaksana KSH. 08 ca dr M Selama kurang lebih satu dekade, terapi sistemik satu-satunya yang disetujui dan terbukti memberikan manfaat perbaikan kesintasan adalah sorafenib. Sorafenib adalah penghambat multikinase (terapi target molekular) yang pada studi fase III SHARP menunjukkan perbaikan kesintasan (10,7 bulan vs 7,9 bulan) sehingga pada tahun 2007 sorafenib disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat dan Eropa. Sejak saat itu banyak uji klinis yang dilakukan untuk mendapatkan terapi sistemik yang dapat memberi manfaat untuk pasien KSH, namun gagal menunjukkan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2017 untuk pertama kalinya regorafenib disetujui untuk digunakan sebagai terapi lini kedua. Sejak saat itu banyak studi fase III yang memberikan hasil positif, seperti lenvatinib sebagai lini pertama3 dan cabozantinib4 serta ramucirumab sebagai lini kedua.5 Selain penggunaan terapi target, penggunaan imunoterapi pada KSH mulai dilakukan pada tahun 2017 sejak the United States Food and Drug Administration (FDA) memberikan persetujuan penggunaan nivolumab dan pembrolizumab, yang merupakan antibodi monoklonal anti-programmed cell death protein (PD-1), sebagai lini kedua setelah sorafenib. Perkembangan yang luar biasa cepat dalam periode yang relatif singkat telah membawa perubahan signifikan dalam tatalaksana Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 1 KSH stadium lanjut. Prioritas penelitian untuk KSH stadium lanjut saat ini difokuskan pada strategi kombinasi imunoterapi atau kombinasi terapi target dengan imunoterapi sebagai lini pertama untuk memperbaiki luaran (outcome) klinis. Studi-studi untuk terapi a lini ketiga juga sudah mulai dilakukan, sesuatu yang satu dekade lalu lly belum terpikirkan. ae Meskipun studi menunjukkan bahwa terapi target molekular dan om m imunoterapi semakin menunjukkan hasil yang menggembirakan, kedua terapi tersebut tidak selalu dapat ditoleransi oleh pasien KSH l.c a ai cit dan dapat menimbulkan efek samping yang bervariasi dari ringan sampai berat. Sebagian besar pasien KSH memiliki dasar penyakit gm dy hati kronik atau sirosis hati yang dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Manfaat perbaikan kesintasan dari kedua macam terapi x @ in sistemik tersebut dapat berkurang pada pasien yang memiliki -x in ya e xx dy w xx aw tur in gangguan fungsi hati. Sebaliknya, terapi target dan imunoterapi xx ry a uc juga berisiko menyebabkan penurunan fungsi hati pada pasien KSH. Gejala efek samping penghambat multikinase seperti diare, astenia, 1- tu. C ed penurunan berat badan, hand-foot skin reaction, dapat menurunkan kepatuhan pasien, dosis yang dapat toleransi, serta kualitas hidup. 08 ca dr M Penghambatan molekul immune checkpoint juga dapat menimbulkan efek samping terkait sistem imun, seperti gangguan self tolerance yang dapat melibatkan hampir seluruh organ. Efek samping terkait imun umumnya ringan, namun terkadang dapat mengancam nyawa Gejala efek samping imunoterapi juga dapat tumpang tindih dengan gejala penyakit hati kronik. Dengan mempertimbangkan cepatnya perkembangan terapi sistemik untuk pasien KSH, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia berinisiatif menyusun konsensus terapi sistemik untuk KSH. Konsensus ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi dokter, penyedia layanan kesehatan, pemegang kebijakan, maupun dalam memberikan terapi sistemik bagi pasien KSH stadium lanjut sejak persiapan, seleksi pasien, hingga tatalaksana efek samping yang mungkin ditimbulkan. 1.2 Permasalahan 1. Karsinoma sel hati (KSH) merupakan masalah kesehatan penting di dunia dengan insidensi yang meningkat. 2. Sebagian besar penderita KSH datang pada stadium lanjut yang tidak memungkinkan untuk diberikan terapi kuratif. 2 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 3. Modalitas terapi sistemik untuk KSH berkembang cepat. 4. Penggunaan terapi sistemik cenderung meningkat. 1.3 Tujuan a 1.3.1 Tujuan Umum lly Meningkatkan pelayanan kesehatan dalam bidang KSH ae sehingga dapat meningkatkan angka kesintasan hidup dan om m kesintasan bebas penyakit, serta kualitas hidup penderita KSH di Indonesia. l.c a ai cit 1.3.2 Tujuan Khusus Membantu dokter, penyedia layanan kesehatan, pembuat gm dy kebijakan dalam memberikan terapi sistemik berdasarkan x @ in bukti-bukti terbaru. -x in ya e xx dy w xx aw tur in 1.4 Sasaran xx ry a uc 1. Seluruh tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan 1- tu. C ed karsinoma sel hati 08 ca dr M 2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta kelompok profesi terkait Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 3 BAB 2 METODOLOGI a lly 2.1 Langkah penyusunan konsensus dan penelusuran kepustakaan ae Pada rapat virtual tanggal 30 Agustus 2020 yang dihadiri oleh beberapa anggota pengurus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia om m (PPHI), disepakati bahwa diperlukan suatu konsensus terapi sistemik l.c a KSH. Naskah awal konsensus disusun berdasarkan literatur terbaru ai cit dan dengan memegang prinsip kedokteran berbasis bukti (evidence- based medicine).6 Pada pertemuan pertama yang diselenggarakan gm dy pada tanggal 23 Januari 2021, tim penyusun membahas poin-poin penting dalam naskah dan bukti-bukti terbaru yang mendukung. x @ in -x in ya e Naskah direvisi berdasarkan hasil diskusi dan pembahasan dalam xx dy w xx aw tur in rapat. Selanjutnya dilakukan rapat pemungutan suara untuk setiap xx ry a uc poin ringkasan rekomendasi yang melibatkan seluruh ketua cabang PPHI dan anggota pengurus besar PPHI pada tanggal 27 Februari 1- tu. C ed 2021. Rekomendasi diterima bila >80% pemberi suara setuju. Naskah 08 ca dr M rekomendasi diperbaiki berdasarkan keputusan rapat pemungutan suara. 2.2 Peringkat Bukti Peringkat bukti ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh National Cancer Institute: PDQ® Levels of Evidence for Adult and Paediatric Cancer Treatment Studies,7 sebagai berikut. Kekuatan bukti berdasarkan desain penelitian: Peringkat 1: Studi klinis acak terkontrol atau meta-analisis dari studi acak (i) Tersamar ganda (ii) Tidak tersamar Peringkat 2: Studi klinis terkontrol, non-randomisasi Peringkat 3: Seri kasus (i) Berbasis populasi, konsekutif (ii) Konsekutif (tidak berbasis populasi) (iii)Tidak konsekutif Studi klinis acak tersamar ganda merupakan baku emas desain penelitian dan meta-analisis dari studi klinis acak memiliki peringkat bukti yang sama dengan studi klinis acak. Yang dimaksud dengan studi klinis terkontrol, non-randomisasi adalah alokasi terapi 4 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia dilakukan berdasarkan tanggal lahir, nomor rekam medik (studi quasi randomized) atau analisis subset dari studi acak. Semua studi prospektif atau retrospektif termasuk dalam peringkat bukti 3. Adapun, kekuatan bukti berdasarkan luaran akhir (endpoints) adalah a A : mortalitas keseluruhan atau ketahanan hidup keseluruhan lly sejak waktu tertentu ae B : mortalitas akibat penyebab tertentu atau mortalitas akibat penyebab tertentu sejak waktu tertentu om m C : kualitas hidup yang dinilai secara hati-hati l.c a D : indirect surrogates (luaran tidak langsung) ai cit (i) Event-free survival gm dy (ii) Disease-free survival (iii)Progression-free survival x @ in -x in ya e (iv) Tumor response rate xx dy w xx aw tur in xx ry a uc Luaran tidak langsung dapat bersifat subyektif terhadap interpretasi peneliti. Luaran tidak langsung dapat diinterpretasikan menjadi hal 1- tu. C ed yang menguntungkan untuk pasien, seperti kesintasan atau kualitas 08 ca dr M hidup. 2.3 Derajat Rekomendasi Derajat rekomendasi yang digunakan dalam konsensus ini menggunakan sistem Grading of Recommendations Assessment, Development, and Evaluation (GRADE). Derajat rekomendasi dibagi menjadi lemah atau kuat berdasarkan kualitas bukti-bukti yang mendukung dan keseimbangan antara akibat yang diinginkan maupun tidak dinginkan dari suatu langkah manajemen KSH. Derajat rekomendasi berdasarkan sistem GRADE dapat dilihat pada Tabel 1.8 Terdapat empat determinan untuk rekomendasi kuat, yaitu keseimbangan antara efek yang diinginkan dan tidak diinginkan, kualitas bukti, nilai dan preferensi, dan biaya (alokasi sumber dana). Semakin besar perbedaan antara efek yang diinginkan dan tidak diinginkan, semakin besar kemungkinan rekomendasi kuat diberikan. Semakin tinggi kualitas bukti, semakin mungkin rekomendasi kuat diberikan. Semakin bervariasi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, semakin lemah rekomendasi yang diberikan. Semakin tinggi biaya intervensi, semakin lemah rekomendasi yang diberikan.8 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 5 Tabel 1. Derajat kualitas bukti dan rekomendasi yang diadapatasi dari sistem GRADE Derajat kualitas bukti Keterangan Simbol Baik Penelitian lebih lanjut hampir tidak mungkin A a mengubah keyakinan terhadap perkiraan efek lly yang diberikan ae Menengah Penelitian lebih lanjut masih mungkin B memberikan perubahan penting pada keyakinan om m terhadap perkiraan efek dan dapat mengubah perkiraan tersebut. l.c a Rendah Penelitian lebih lanjut sangat mungkin C ai cit memberikan perubahan penting pada keyakinan terhadap perkiraan efek dan dapat mengubah perkiraan tersebut. Sangat rendah gm dy Perkiraan terhadap efek tidak dapat ditentukan. D x @ in -x in ya e Derajat rekomendasi Keterangan Simbol xx dy w xx aw tur in Rekomendasi kuat Efek yang diinginkan dari suatu intervensi jelas 1 melebihi efek yang tidak diinginkan xx ry a uc Rekomendasi lemah Ketika efek yang diinginkan tidak meyakinkan 2 1- tu. C ed karena kualitas bukti yang rendah atau efek yang diinginkan dan tidak diinginkan seimbang 08 ca dr M Poin rekomendasi hanyalah sebagian kecil dari konsensus ini sehingga sangat penting bagi pembaca untuk membaca keseluruhan narasi yang ada di dalam konsensus ini untuk dapat memahami pemberian terapi sistemik pada KSH. 6 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia BAB 3 EPIDEMIOLOGI a lly Kanker hati merupakan kanker ke-enam tersering dan menempati ae urutan ke-empat sebagai penyebab kematian tertinggi akibat kanker di seluruh dunia, setelah kanker paru, kolorektal, dan lambung.9 Kanker om m hati juga memiliki tingkat fatalitas yang tinggi karena sebagian besar kasus baru terdiagnosis pada stadium lanjut dan rasio insidensi/ l.c a ai cit mortalitas mendekati 1,0. Pada tahun 2015 terdapat 854.000 kasus baru kanker hati dengan perkiraan 810.000 kematian akibat kanker hati per gm dy tahun.10 Karsinoma sel hati (KSH) merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan, yaitu sebanyak 75–85% dari seluruh kanker x @ in hati primer11 dan saat ini merupakan masalah kesehatan yang penting di -x in ya e xx dy w xx aw tur in dunia. xx ry a uc Insidensi KSH di seluruh dunia sangat bervariasi karena prevalensi 1- tu. C ed faktor risiko KSH bervariasi. Sebanyak 72% kasus diperkirakan terjadi di Asia (lebih dari 50% terjadi di Cina), 10% di Eropa, 7,8% di Afrika, 08 ca dr M 5,1% di Amerika Utara, 4,6% di Amerika Latin, dan 0,5% di Oseania.12 Pada tahun 2018 age-standardised incidence rates (ASIRs) KSH tertinggi terjadi di Asia Timur (17,7) diikuti oleh Asia Tenggara (13,3) dan Afrika (8,4). Pada tahun yang sama angka mortalitas (age-standardised mortality rates/ASMRs) KSH tertinggi terjadi di Asia Timur (16,0) dan Afrika Utara (13,9), diikuti oleh Asia Tenggara (13,2). Angka mortalitas dunia (ASMR) mendekati ASIR sehingga dapat disimpulkan bahwa KSH merupakan penyakit yang mematikan.12 Belum ada data pasti mengenai insidensi KSH di Indonesia, namun diperkirakan insidensi KSH di Indonesia tinggi karena Indonesia merupakan negara dengan prevalensi hepatitis B kronik yang tinggi. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan bahwa sebanyak 67% kasus KSH yang berobat di RSCM pada tahun 2013-2014, disebabkan oleh hepatitis B kronik.13 Data terakhir yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi hepatitis B di Indonesia sebesar 7,5% sehingga diperkirakan 17,5 juta jiwa penduduk Indonesia menderita hepatitis B. Dari jumlah tersebut, diperkirakan 20–30% (3,5–5,2 juta jiwa) akan mengalami perkembangan penyakit menjadi sirosis dan atau kanker hati. Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 7 Prognosis KSH sangat dipengaruhi oleh stadium saat diagnosis KSH ditegakkan. Kesintasan lima tahun dapat mencapai 70% pada pasien yang terdiagnosis pada stadium awal, sebaliknya median kesintasan hanya sekitar tiga sampai tujuh bulan pada KSH stadium lanjut.13, 14 a Di Amerika Serikat kesintasan lima tahun pasien KSH stadium lanjut lly dengan invasi vaskular tidak berbeda antara periode 2001–2007 dan ae 2008–2013.15 Perbaikan kesintasan juga tidak didapatkan pada pasien KSH yang berobat di RSCM pada periode 1998-1999 dan periode 2013– om m 2014.13 Terapi kuratif seperti transplantasi hati, reseksi hati, atau ablasi lokal hanya dapat diterapkan pada pasien stadium sangat awal atau l.c a ai cit stadium awal. Karena rendahnya implementasi program surveilans KSH di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, sebagian besar pasien gm dy baru dapat terdiagnosis pada stadium lanjut dan sudah tidak dapat lagi diberikan terapi kuratif. Di Amerika Serikat pasien KSH yang mendapat x @ in terapi apapun hanya berjumlah kurang dari 30%.16, 17 -x in ya e xx dy w xx aw tur in xx ry a uc Terapi sistemik menjadi terapi pilihan bagi pasien KSH stadium lanjut yang tidak dapat dilakukan reseksi, transplantasi, maupun 1- tu. C ed terapi lokoregional. Terapi sistemik juga menjadi terapi utama untuk pasien KSH dengan invasi vaskular, metastasis ekstrahepatik, dan 08 ca dr M gejala terkait kanker (status performans ECOG 1–2). Terapi sistemik untuk KSH mengalami perubahan drastis sejak terapi target molekular sorafenib diperkenalkan pada tahun 2007.18, 19 Meskipun sorafenib dapat memperbaiki kesintasan pasien KSH stadium lanjut dengan invasi vaskular dan/atau penyebaran ekstrahepatik, efek pengecilan tumor yang dihasilkan masih rendah dan toksisitas yang ditimbulkan cukup tinggi. Akibatnya, berbagai penelitian dilakukan untuk mengembangkan terapi target molekular baru, penghambat immune checkpoint, atau kombinasi keduanya untuk memberikan lebih banyak pilihan terapi bagi pasien KSH stadium lanjut. Berbagai agen untuk terapi lini kedua juga dikembangkan untuk menatalaksana pasien-pasien yang mengalami progresifitas dalam terapi sorafenib atau tidak toleran terhadap sorafenib. Tujuan konsensus ini adalah untuk memberikan pedoman bagi para dokter dalam memberikan terapi sistemik untuk pasien KSH stadium lanjut. 8 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia BAB 4 STADIUM DAN ALGORITMA TATALAKSANA KARSINOMA SEL HATI a lly ae 4.1 Penilaian Stadium Karsinoma Sel Hati om m Penilaian stadium KSH tidak sama seperti penilaian kanker lain yang umumnya menggunakan sistem TNM (tumor, node, metastasis). l.c a Hal ini disebabkan karena selain ekstensi tumor, penyakit hati ai cit yang mendasari juga turut berperan dalam menentukan prognosis pasien. Sebagai contoh, KSH berukuran 5 cm yang ditemukan pada gm dy pasien sirosis hati dekompensata akan memiliki prognosis yang x @ in berbeda dibandingkan dengan KSH berukuran 5 cm yang ditemukan -x in ya e xx dy w pada pasien non-sirotik atau pasien sirosis kompensata. Dengan xx aw tur in demikian, sistem pembagian stadium KSH yang ideal adalah sistem xx ry a uc yang mengikutsertakan penilaian ekstensi tumor sekaligus derajat 1- tu. C ed fungsi hati. Saat ini sistem yang mengakomodasi ekstensi tumor dan derajat fungsi hati adalah sistem Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) 08 ca dr M (Gambar 1). Komponen yang dinilai dalam sistem ini adalah ektensi tumor, gejala konstitusional atau performance status berdasarkan klasifikasi the Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG)20 (Tabel 2), dan derajat fungsi hati berdasarkan kriteria Child-Pugh21 (Tabel 3).22 Sistem ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 199922 lalu mengalami evolusi berupa penambahan stadium dan penambahan strategi terapi untuk setiap stadium. Pada tahun 2003, dilakukan penambahan stadium 0 (stadium sangat awal) dan penambahan kemoembolisasi untuk stadium BCLC B (stadium menengah).23 Lalu pada tahun 2008, sorafenib ditambahkan sebagai terapi lini pertama pada stadium BCLC C (stadium lanjut).24 Adapun, konsensus ini mengadopsi sistem BCLC dalam hal pembagian stadium, namun tidak mengadopsi sistem ini dalam hal strategi terapi karena KSH bersifat heterogen. Pasien pada stadium yang sama, khususnya stadium BCLC B, dapat memiliki prognosis dan respons terapi yang berbeda, tergantung pada jumlah nodul, ukuran nodul, serta derajat fungsi hati.25 Oleh karena itu, konsensus ini mengadopsi algoritma tatalaksana yang dianut oleh Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL) dengan sedikit modifikasi (Gambar 2). Algoritma terapi ini diharapkan mempermudah Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 9 dokter untuk menentukan kapan harus merujuk pasien KSH ke pusat kesehatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan terapi lebih lanjut. Adapun pembagian stadium tetap dilakukan berdasarkan sistem BCLC dengan tujuan untuk menentukan prognosis dan a menyeragamkan sistem stadium yang digunakan untuk penelitian di lly bidang KSH. ae KSH om m l.c a ai cit Stadium awal Stadium intermediet Stadium lanjut Stadium terminal (D) Stadium sangat awal (A) (B) (C) Transplantasi hati (0) Tunggal atau Multinodular, Invasi portal/ tidak dapat dilakukan gm dy Tunggal < 2 cm 2–3 nodul 3,5 3-3,5 6 dibandingkan dengan ae nilai kontrol om m INR 2,3 Asites Tidak ada Mudah Sulit l.c a dikendalikan dikendalikan ai cit Ensefalopati Tidak ada Minimal Berat hepatik gm dy Keterangan: Skor 5-6: Child-Pugh A, 7-9: Child-Pugh B, dan 10 – 15: Child-Pugh C, INR: international normalized ratio. x @ in -x in ya e xx dy w xx aw tur in Kriteria Milan adalah tumor tunggal berukuran ≤5 cm atau xx ry a uc tumor multiple dengan jumlah nodul tidak lebih dari tiga buah dengan masing-masing nodul berukuran ≤3 cm.26 Kriteria Milan ini 1- tu. C ed pertama kali dikembangkan untuk menentukan kandidat pasien sirosis hati dengan KSH yang dapat memberikan luaran yang baik 08 ca dr M pasca transplantasi hati. Seiring perkembangan waktu, kriteria Milan dianggap terlalu ketat dan mengeksklusi kelompok pasien yang seharusnya dapat memperoleh manfaat dari transplantasi hati, meskipun manfaat tersebut tidak sebesar manfaat yang diperoleh pasien yang memenuhi kriteria Milan. Oleh karena itu, dikembangkan kriteria up-to-seven berdasarkan hipotesis bahwa di luar kriteria eligibilitas transplantasi hati yang konvensional, terdapat spektrum kelompok yang masih dapat memperoleh manfaat dari transplantasi hati berupa kesintasan lima tahun sebesar 70%.27 Pasien yang memenuhi kriteria up-to-seven adalah pasien dengan skor 7 sebagai penjumlahan dari ukuran terbesar (dalam cm) dan jumlah nodul, serta tidak ditemukan invasi mikrovaskular. Sebagai contoh, satu nodul dengan ukuran 6 cm (1+6=7), 2 nodul dengan ukuran terbesar 5 cm (2+5=7), 3 nodul dengan ukuran terbesar 4 cm, dan lima nodul dengan ukuran terbesar 2 cm. Kriteria up-to-seven tersebut saat ini banyak dipakai untuk melakukan seleksi pasien yang layak untuk dilakukan TACE.28 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 11 Rekomendasi 1. Sistem stadium Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) direkomendasikan untuk digunakan dalam praktik sehari-hari untuk memprediksi prognosis pasien KSH. (rekomendasi A1) a lly 4.2 Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Hati ae Modalitas terapi KSH meliputi terapi yang bersifat kuratif dan terapi yang bersifat paliatif. Terapi yang berpotensi kuratif adalah om m reseksi, transplantasi hati, dan ablasi. Terapi yang bersifat paliatif l.c a adalah transarterial chemoembolization (TACE), stereotactic body ai cit radiation therapy (SBRT), external beam radiation therapy (EBRT), selective internal radiation therapy (SIRT), dan terapi sistemik. gm dy Dalam menentukan terapi KSH, terdapat beberapa tahap yang dapat dilihat pada Gambar 2. Pilihan modalitas terapi KSH ditentukan x @ in -x in ya e berdasarkan derajat fungsi hati, status performans, dan beban tumor xx dy w xx aw tur in yang meliputi penyebaran ekstrahepatik, invasi vaskular, jumlah xx ry a uc nodul, dan ukuran nodul. Syarat ECOG 0–1 harus terpenuhi untuk terapi surgikal dan lokoregional dan syarat ECOG 0–2 harus terpenuhi 1- tu. C ed untuk terapi sistemik. Tatalaksana KSH sebaiknya dibicarakan dalam 08 ca dr M tim multidisiplin agar dapat memperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi pasien dan pilihan terapi dapat disesuaikan berdasarkan kondisi pasien. Tim multidisiplin umumnya tersusun atas hepatolog, bedah hepatobilier dan atau transplantasi, onkolog, ahli radiologi intervensi, ahli radioterapi, ahli patologi, dan perawat.29, 30 Rekomendasi 2. Pilihan modalitas terapi KSH ditentukan berdasarkan derajat fungsi hati, status performans, dan beban tumor yang meliputi penyebaran ekstrahepatik, invasi vaskular, jumlah nodul, dan ukuran nodul. (rekomendasi A1) 3. Tatalaksana KSH sebaiknya dibicarakan secara multidisiplin dengan melibatkan paling sedikit seorang spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterohepatologi (SpPD, K-GEH) atau spesialis penyakit dalam (SpPD) yang memahami evaluasi dan tatalaksana gangguan fungsi hati. (rekomendasi C1) 12 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia Karsinoma Sel Hati Fungsi hati Child-Pugh A/B-7 Child-Pugh B ≥8 / C a lly Penyebaran ekstrahepatik Tidak Ya ae Invasi vaskular Tidak Ya om m Tidak dapat Kandidat l.c a dilakukan Jumlah nodul 1–3 ≥4 transplantasi transplantasi ai cit Ukuran nodul ≤ 3 cm > 3 cm gm dy *2 x @ in Reseksi*1 TACE Best -x in ya e Terapi sistemik / Terapi Transplan- Reseksi*1 TACE Supportive Terapi SIRT TACE / SIRT / xx dy w Ablasi lokal Ablasi lokal*3 sistemik / tasi hati / xx aw tur in Terapi sistemik reseksi *1/ EBRT/ Care SBRT*4 SBRT*4 EBRT Paliatif TACE*6 SBRT*4 kombinasi terapi Terapi sistemik*5 xx ry a uc Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Hati. 1- tu. C ed Penentuan jenis terapi sebaiknya dilakukan oleh tim multidisiplin. 08 ca dr M Syarat ECOG 0–1 harus terpenuhi untuk terapi surgikal dan lokoregional dan ECOG 0–2 untuk terapi sistemik. Keterangan gambar: Tahap pertama adalah menentukan derajat fungsi hati yang dinilai dengan sistem klasifikasi Child-Pugh (Tabel 8). Pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat (Child-Pugh C atau B dengan skor 8 atau lebih) dan memiliki tumor dengan karakteristik melampaui kriteria transplantasi (lihat sub-bab transplantasi hati), dianjurkan untuk diberikan terapi suportif saja karena mortalitas jangka pendek kelompok ini tinggi. Transplantasi hati dapat dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat (klasifikasi Child-Pugh C *1 Bila pasien direncanakan untuk hepatektomi, sebaiknya dilakukan penilaian derajat kerusakan hati, antara lain dengan mengukur indocyanine green 15-min retention rate. *2 Untuk KSH soliter, reseksi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama dan ablasi lokal sebagai terapi lini kedua. *3 Ablasi (RFA atau MWA) masih dapat dikerjakan pada nodul yang berukuran ≤5 cm *4 Bila tidak dapat dilakukan reseksi atau ablasi lokal atau TACE *5 Bila beban tumor >50% massa hati. *6 TACE dilakukan secara superselektif pada pasien yang sedang menunggu transplantasi atau sebagai bridging therapy untuk transplantasi hati. EBRT, External Beam Radiation Therapy; MWA, microwave ablation; RFA, radiofrequency ablation; SBRT, stereotactic body radiation therapy; SIRT, selective internal radiation therapy; TACE, transcatheter arterial chemoembolization. Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 13 atau B dengan skor 8 atau lebih) dan memiliki tumor berukuran kecil yang masuk dalam kriteria transplantasi hati. Perlu diingat bahwa program transplantasi hati berbiaya amat besar dan hanya dapat dilakukan pada beberapa rumah sakit yang memiliki tim a multidisiplin dan terlatih. Oleh karena itu, pasien yang memenuhi lly kriteria transplantasi hati harus dibicarakan terlebih dahulu dalam ae tim multidisiplin. Apabila diputuskan untuk transplantasi hati, namun pasien masih harus menunggu cukup lama, maka bridging om m therapy dengan RFA atau TACE dapat dipertimbangkan setelah dibicarakan terlebih dahulu dalam tim multidisiplin. SBRT juga l.c a ai cit dapat menjadi alternatif bridging therapy bila RFA atau TACE tidak memungkinkan.31 gm dy Apabila pasien memiliki fungsi hati yang cukup baik (klasifikasi x @ in Child-Pugh A atau B dengan skor 7), maka langkah selanjutnya -x in ya e xx dy w xx aw tur in adalah menentukan adanya penyebaran ekstrahepatik. Mayoritas xx ry a uc metastasis ekstrahepatik ditemukan pada KSH multipel yang terdapat pada lebih dari satu lobus hati atau KSH berukuran besar yang 1- tu. C ed sudah menginvasi cabang utama vena porta atau vena hepatika.32 Tiga lokasi metastasis yang paling sering ditemukan adalah paru, 08 ca dr M kelenjar getah bening (KGB) intra-abdominal, dan tulang,32 yang ditentukan dengan pemeriksaan rontgen toraks atau CT-scan toraks, CT-scan atau MRI abdomen tiga fase, dan bone scan. Pemeriksaan untuk mencari metastasis harus dilakukan pada pasien KSH yang direncanakan untuk menjalani transplantasi hati atau reseksi. Adapun untuk pasien KSH yang tidak direncanakan transplantasi hati atau reseksi, pemeriksaan untuk mencari metastasis dilakukan apabila terdapat gejala yang mencurigakan. Apabila didapatkan penyebaran ekstrahepatik, maka terapi pilihan yang dianjurkan adalah terapi sistemik. Radioterapi paliatif dapat diberikan sebagai kombinasi bila terdapat indikasi seperti bulky disease yang menimbulkan efek nyeri dan metastasis tulang. Pilihan terapi sistemik lini pertama saat ini adalah sorafenib, lenvatinib, atau kombinasi atezolizumab dan bevacizumab. Apabila dengan terapi sistemik lini pertama, terjadi progresifitas penyakit, maka pilihan berikutnya adalah regorafenib, cabozantinib, atau ramucirumab.33 Sebagai catatan, ramucirumab hanya diindikasikan pada kelompok dengan kadar AFP > 400 ng/mL. Langkah selanjutnya adalah menentukan invasi vaskular yang merupakan trombus pada vena porta, vena hepatika, atau vena kava inferior yang ditemukan pada pemeriksaan imaging. Invasi vaskular merupakan prediktor yang kuat untuk prognosis yang buruk. Apabila 14 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia didapatkan invasi vaskular, maka dapat diberikan terapi sistemik dengan pilihan lini pertama dan lini kedua sama seperti di atas. Pasien juga dapat dilakukan SBRT apabila volume hati normal masih mencukupi (>700 cc) dengan fungsi hati yang masih bagus (Child a Pugh B-7 atau lebih kecil). Pemberian radiasi eksterna/external lly beam radiotherapy (EBRT) dengan teknik konvensional, seperti ae three-dimensional conformal radiotherapy (3D CRT) atau intensity- modulated radiation therapy (IMRT) juga dapat dipertimbangkan om m untuk trombus vena porta, dengan tetap memperhatikan volume hati dan derajat fungsi hati (Child-Pugh). Pilihan terapi lain adalah l.c a ai cit transarterial radioembolization (TARE) atau disebut juga selective intra-arterial radiation therapy (SIRT). Apabila invasi vaskular tidak gm dy mengenai cabang vena porta utama dan tumor masih resektabel, reseksi dapat dipertimbangkan, namun dianjurkan agar kasus x @ in tersebut dibicarakan dahulu dalam tim multidisiplin. -x in ya e xx dy w xx aw tur in xx ry a uc Apabila tidak didapatkan invasi vaskular dan fungsi hati masih baik (Child-Pugh A atau B-7), langkah berikutnya adalah menilai 1- tu. C ed jumlah nodul. Apabila nodul berjumlah empat buah atau lebih, maka terapi lini pertama yang diberikan adalah transarterial chemo- 08 ca dr M embolization (TACE) atau kombinasi TACE – SBRT, sedangkan terapi alternatifnya adalah SBRT saja atau SIRT atau terapi sistemik dengan pilihan sama seperti di atas. Berdasarkan hasil dari empat metaanalisis dari studi retrospektif,34-37 dikatakan bahwa kombinasi TACE dan SBRT memberikan hasil kesintasan hidup yang secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan monoterapi TACE atau SBRT saja. Dalam hal kombinasi antara TACE dan SBRT, belum terdapat panduan yang tegas terkait mana yang harus dilakukan terlebih dahulu, maupun jarak waktu diantara TACE atau SBRT dalam kasus HCC unresectable. Dalam sebuah panduan konsensus multidisplin di Cina untuk KSH dengan trombus tumor pada vena porta38 disebutkan bahwa efek fungsi hati didapatkan lebih baik pada pasien yang menerima radiasi terlebih dahulu dibandingkan dengan TACE, dengan hasil luaran yang sama, sehingga disarankan untuk dilakukan SBRT terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kang dkk39 dan Li dkk.40 Pada penelitian Li dkk., didapatkan hasil kelompok RT-TACE mengalami penurunan fungsi hati yang signifikan lebih rendah, 9,5% vs 33,3% dibandingkan kelompok TACE-RT, p2 cm, RFA lebih dipilih dibandingkan injeksi xx ry a uc etanol. Pada pasien yang tidak memungkinkan untuk dilakukan reseksi, RFA, maupun injeksi etanol karena beberapa sebab, seperti 1- tu. C ed lokasi tumor, terapi alternatif adalah SBRT yang memberikan luaran kontrol lokal efektif dengan toksisitas yang serupa.41 Penjelasan lebih 08 ca dr M lanjut mengeni teknik dapat dilihat pada sub bab radioterapi. Pada kelompok nodul berjumlah ≤3 buah dan berukuran >3 cm, apabila pasien memiliki nodul berukuran besar, tunggal, fungsi hati Child-Pugh A, pilihan terapi lini pertama adalah reseksi. Bila reseksi tidak dapat dilakukan pada pasien dengan ukuran tumor >3 cm, kombinasi TACE dengan ablasi dapat dilakukan untuk memperoleh kontrol lokal tumor dan kesintasan yang lebih baik dibandingkan dengan RFA saja42-44 (lihat sub-bab ablasi lokal). SBRT juga dapat menjadi terapi alternatif pada tumor berukuran >3cm, khususnya tumor yang terletak subfrenik (khususnya segmen 8) dan tumor yang mengalami progresifitas setelah TACE.41 Untuk pasien dengan nodul >3 buah, fungsi hati yang baik, dan tanpa penyebaran ekstrahepatik, TACE dengan atau tanpa kombinasi dengan SBRT menjadi pilihan pertama. Berdasarkan meta-analisis studi retrospektif, kombinasi TACE dan SBRT memberikan manfaat lebih baik dalam hal kesintasan dan kontrol lokal dibandingkan dengan monoterapi TACE atau SBRT saja.34-37 Diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan kriteria kelompok pasien yang akan mendapat manfaat lebih dengan pemberian kombinasi terapi. Keberhasilan TACE pada tumor berukuran >10 cm lebih rendah dibandingkan 16 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia pada tumor berukuran −2.60 to ≤ −1.39, derajat 3: > −1.39.68 Tabel 6. Kontraindikasi absolut dan relatif TACE Kontraindikasi Absolut Faktor yang berhubungan dengan sirosis hati: Sirosis dekompensata (Child-Pugh B, skor >8), termasuk ikterus, ensefalopati hepatik klinis, dan asites refrakter, dan atau sindroma hepatorenal Gangguan aliran vena porta, contoh: trombus vena porta, aliran darah hepatofugal Faktor yang berhubungan dengan KSH: Tumor ekstensif yang meliputi hampir kedua lobus hati Penurunan aliran darah portal yang berat (contoh: oklusi vena porta akibat trombus tumor atau non-tumor atau aliran darah hepatofugal) Faktor yang berhubungan dengan teknis: Gangguan fungsi ginjal (kreatinin ≥ 2 mg/dL atau klirens kreatinin 10 cm) lly Faktor-faktor lain: Komorbiditas berat yang mengganggu fungsi organ ae Papilla inkompeten dengan aerobilia (yang disebabkan karena sten bilier atau operasi) Dilatasi bilier om m l.c a Tabel 7. Kriteria TACE gagal/ TACE refrakter ai cit Definisi TACE gagal/refrakter 1. Lesi intrahepatik gm dy Complete response (CR) atau partial response (PR) tidak tercapai pada dua kali TACE atau lebih secara berturut-turut pada lesi tumor yang x @ in di-TACE (lesi viable >50%) -x in ya e Muncul lesi intrahepatik baru lebih dari dua kali secara berturut-turut xx dy w xx aw tur in 2. Muncul invasi vaskular xx ry a uc 3. Muncul penyebaran ekstrahepatik 4. Peningkatan penanda tumor terus menerus setelah TACE meskipun terjadi 1- tu. C ed sedikit penurunan transien 08 ca dr M 5.3 Terapi Lini Pertama 5.3.1 Sorafenib Sorafenib adalah penghambat multikinase oral yang bekerja menghambat vascular endothelial growth factor receptors (VEGFR) 1, VEGFR2, VEGFR3, platelet-derived growth factor receptor-β (PDGFRβ), dan Raf family kinases (khususnya C-Raf). Sorafenib adalah obat yang pertama kali disetujui pengunaannya sebagai terapi lini pertama untuk pasien KSH stadium lanjut (BCLC C) dan merupakan terapi sistemik pertama yang terbukti dapat memperpanjang kesintasan pasien KSH stadium lanjut. Studi randomized, placebo-controlled fase III Sorafenib HCC Assessment Randomized Protocol (SHARP) menunjukkan bahwa sorafenib dapat memperbaiki kesintasan jangka panjang (overall survival/OS) dan time-to-progression (TTP) pada pasien KSH stadium lanjut, khususnya yang memiliki fungsi hati cukup baik, yaitu Child-Pugh A, dengan efek samping yang masih dapat ditoleransi.69 Median OS pada kelompok sorafenib adalah 10,7 bulan dan pada kelompok kontrol adalah 7,9 bulan, dengan median TTP pada kelompok sorafenib sebesar 5,5 bulan dan pada kelompok kontrol sebesar 2,8 bulan.69 Perlu diperhatikan bahwa sebagian besar subjek pada Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 23 kelompok sorafenib dalam studi ini adalah penderita KSH dengan Child-Pugh A (95%) dan hanya 5% yang memiliki fungsi hati Child-Pugh B. Kriteria inklusi studi SHARP dapat dilihat pada Tabel 8. Oleh karena itu, derajat fungsi hati harus a menjadi pertimbangan dalam pemberian terapi sorafenib lly pada KSH stadium lanjut. Bila terjadi efek samping, interupsi ae terapi dan penurunan dosis dapat dilakukan selama studi SHARP, yaitu dari 400 mg 2 kali sehari, menjadi 400 mg per om m hari, lalu menjadi 400 mg setiap dua hari. l.c a ai cit Tabel 8. Kriteria inklusi dalam studi SHARP KSH stadium lanjut yang tidak dapat dilakukan reseksi atau mendapat gm dy terapi lokoregional, atau mengalami progresifitas pasca reseksi atau terapi lokoregional x @ in Child-Pugh A -x in ya e xx dy w Harapan hidup 12 minggu atau lebih xx aw tur in Status performans ECOG 0, 1, atau 2 xx ry a uc Fungsi hematologik adekuat (trombosit ≥ 60.000/μL, Hb ≥ 8,5 g/dL, INR ≤ 2,3 atau masa prothrombin ≤ 6 detik di atas kontrol) 1- tu. C ed Fungsi hati adekuat (albumin ≥ 2,8 g/dL, bilirubin total ≤3 mg/dL, ALT dan AST ≤ 5 kali batas atas normal) 08 ca dr M Fungsi ginjal baik (kreatinin serum ≤ 1,5 kali batas atas normal) Tabel 9. Kriteria eksklusi dalam studi SHARP Riwayat kanker sebelumnya atau kanker lain selain KSH Gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis atau dialisis peritoneal Riwayat penyakit jantung Infeksi serius aktif Riwayat infeksi HIV Riwayat tumor otak termasuk metastasis Pasien dengan riwayat perdarahan gastrointestinal signifikan dalam 30 hari sebelum masuk dalam studi Studi fase III sorafenib di Asia Pasifik yang dilakukan di Cina, Korea Selatan, dan Taiwan, juga menunjukkan bahwa pemberian sorafenib dapat memberikan perbaikan OS pada pasien KSH stadium lanjut (6,5 bulan vs 4,2 bulan; HR 0,68, 95% IK 0,50–0,93) bila dibandingkan dengan plasebo.19 Bila dibandingkan dengan studi SHARP, median OS absolut pada studi Asia Pasifik lebih pendek karena perekrutan pasien dengan beban tumor yang lebih tinggi. Meskipun demikian, manfaat kesintasan relatif pada kedua studi sama.19 Meta- analisis dari tujuh studi acak terkontrol yang dipublikasi pada tahun 2014 juga menunjukkan bahwa sorafenib dapat 24 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia memperbaiki OS dan TTP pada penderita KSH stadium lanjut.70 Reaksi efek samping yang paling sering muncul pada pemberian sorafenib adalah hand-foot skin reaction, diare, dan penurunan berat badan. a lly Untuk mengevaluasi efek sorafenib tanpa dipengaruhi ae oleh risiko kematian akibat penyakit hati, mayoritas subyek pada studi SHARP dan studi Asia Pasifik adalah pasien sirosis om m Child-Pugh A dengan status performans yang baik. Pada kenyataannya, sejumlah kecil pasien dengan KSH stadium l.c a ai cit lanjut datang dengan kondisi sirosis Child-Pugh B. Studi GIDEON adalah studi global, prospektif, non-intervensional, gm dy yang dirancang untuk mengevaluasi keamanan sorafenib pada praktik sehari-hari.71 Dalam studi GIDEON, sebanyak x @ in 666 (21%) pasien diketahui menderita sirosis hati Child- -x in ya e xx dy w xx aw tur in Pugh B. Median kesintasan didapatkan lebih panjang pada xx ry a uc kelompok Child-Pugh A dibandingkan dengan Child-Pugh B (13,6 bulan vs 5,2 bulan). Meskipun insidensi efek samping 1- tu. C ed (drug-related adverse events) yang menyebabkan penghentian sorafenib didapatkan sama pada kelompok Child-Pugh A 08 ca dr M maupun Child-Pugh B (17% dan 21%), belum dapat ditarik kesimpulan mengenai manfaat sorafenib pada kelompok Child-Pugh B karena tidak ada kelompok pembanding. Respons terhadap sorafenib pada praktik sehari-hari bersifat heterogen. Analisis eksploratorik dari penggabungan data studi SHARP dan studi Asia Pasifik mendapatkan bahwa tidak adanya metastasis ekstrahepatik, etiologi virus hepatitis C, dan rasio neutrophil-to-lymphocyte (NLR) yang rendah merupakan prediktor untuk hasil terapi sorafenib yang lebih baik.72 Pada beberapa studi juga didapatkan bahwa munculnya efek samping, khususnya hand-foot skin reaction, segera setelah dimulainya sorafenib berhubungan dengan kesintasan yang lebih baik.73, 74 Setelah sorafenib disetujui pemberiannya pada KSH yang tidak dapat direseksi, beberapa studi mengevaluasi pemberian sorafenib sebagai terapi ajuvan untuk KSH stadium awal dan intermediet, namun tidak berhasil menunjukkan adanya manfaat. Studi STORM yang merupakan studi acak terkontrol (RCT) fase III gagal menunjukkan adanya perbedaan dalam recurrence-free-survival antara pasien yang mendapat Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 25 sorafenib ajuvan atau plasebo, setelah reseksi kuratif atau ablasi lokal.75 Studi fase II (SPACE trial) juga mendapatkan bahwa pemberian sorafenib bersamaan dengan TACE tidak memperbaiki time-to-progression dibandingkan dengan a TACE saja pada KSH stadium intermediet.76 Hasil serupa juga lly didapatkan pada studi lain, yaitu TACE-2.77 ae Studi TACTICs adalah studi pertama yang berhasil om m menunjukkan efikasi kombinasi TACE plus sorafenib.78 Sorafenib diberikan selama 2–3 minggu sebelum TACE inisial, l.c a ai cit berbeda dengan SPACE trial yang memberikan sorafenib selama 3–7 hari sebelum TACE. Dalam studi TACTICs, gm dy didapatkan progression-free survival (PFS) pada kelompok TACE dan sorafenib lebih lama secara signifikan (25,2 bulan) x @ in dibandingkan dengan kelompok TACE saja (13,5 bulan). -x in ya e xx dy w xx aw tur in Selain itu, didapatkan time to extrahepatic spread (EHS), time xx ry a uc to vascular invasion, dan TTP yang lebih lama pada kelompok TACE dan sorafenib dibandingkan dengan sorafenib saja. 1- tu. C ed Adapun pada studi TACTICs, kelompok yang diikutsertakan adalah pasien dengan KSH unresectable tanpa adanya invasi 08 ca dr M vaskular atau penyebaran ekstrahepatik dan dapat diterapi dengan TACE. Diameter tumor maksimal 10 cm dan jumlah nodul maksimal 10. Dalam studi ini, pasien dengan lesi tumor difus, metastasis ekstrahepatik, invasi vaskular, ensefalopati hepatik, asites atau efusi pleura yang tidak terkontrol, dieksklusi dari penelitian. Dalam studi SORAMIC,79 kombinasi sorafenib dan selective internal radiation therapy (SIRT) dengan yttrium-90 (90Y) microspheres juga tidak memberikan perbaikan OS yang signifikan dibandingkan dengan sorafenib saja (HR 1,07, 95% IK 0,82–1,25). Penambahan TACE pada terapi sorafenib juga tidak terbukti memperbaiki OS pasien KSH stadium lanjut pada studi STAH.80 5.3.2 Lenvatinib Lenvatinib adalah suatu penghambat multikinase oral yang menghambat aktivitas VEGFR1-3, fibroblast growth factor receptor (FGFR1-3), PDGFRα, RET, dan KIT.81 Pada studi fase dua, lenvatinib memberikan TTP selama 7,4 bulan dengan median kesintasan selama 18,7 bulan.82 Pada studi REFLECT fase III yang membandingkan lenvatinib versus 26 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia sorafenib sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan KSH yang tidak dapat direseksi, didapatkan bahwa lenvatinib tidak lebih inferior dibandingkan dengan sorafenib dalam hal OS, namun lebih baik dibandingkan sorafenib dalam PFS, TTP, a dan objective response rate.83 Studi REFLECT dilakukan pada lly 954 pasien KSH unresectable di 154 rumah sakit di 20 negara ae yang berasal dari Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika Utara, yang dibagi secara acak ke dalam kelompok lenvatinib (n=478) atau om m sorafenib (n=476). Overall survival pada kelompok lenvatinib mencapai 13,6 bulan, sedangkan pada sorafenib 12,3 bulan l.c a ai cit (HR 0,92, 95% IK 0,79–1,06). Adapun PFS lenvatinib versus sorafenib adalah 7,4 vs 3,7 bulan (HR 0,66, 95% IK 0,57–0,77), gm dy TTP (8,9 vs 3,7 bulan; HR 0,63, 95% IK 0,53–0,73), objective response rate berdasarkan mRECIST (24,1% vs 9,2%; OR 3,1, x @ in 95% IK 2,2–4,6). Interpretasi secondary outcomes tersebut -x in ya e xx dy w xx aw tur in harus dilakukan dengan hati-hati karena TTP merupakan xx ry a uc surrogate yang buruk untuk OS dan primary endpoint studi ini menujukkan hasil kesintasan yang sama di antara kedua 1- tu. C ed kelompok. Pada analisis eksploratorik post-hoc dari studi REFLECT didapatkan kesintasan yang lebih panjang pada 08 ca dr M pasien dengan respons obyektif, yang menunjukkan bahwa respons obyektif dapat menjadi surrogate endpoint untuk OS yang lebih baik pada dengan KSH stadium lanjut.84 Kriteria inklusi pasien KSH dalam studi REFLECT dapat dilihat pada Tabel 10 dan kriteria eksklusi pada Tabel 11. Tabel 10. Kriteria inklusi dalam studi REFLECT KSH yang tidak dapat direseksi Child-Pugh A Stadium BCLC B atau C Status performans ECOG 0 atau 1 Tekanan darah terkontrol (≤150/90 mmHg) dengan maksimal tiga obat anti hipertensi. Fungsi hati adekuat (albumin ≥ 2,8 g/dL, bilirubin total ≤3 mg/dL, ALT, AST, alkali fosfatase ≤ 5 kali batas atas normal) Fungsi sumsum tulang adekuat (trombosit ≥ 75.000/μL, Hb ≥ 8,5 g/dL, absolute neutrophil count ≥ 1.500/μL, INR ≤ 2,3) Fungsi ginjal adekuat (klirens kreatinin >40 mL/menit) Fungsi pankreas adekuat (amilase dan lipase ≤ 1,5 kali batas atas normal) Wanita dan pria usia produktif wajib menggunakan metode kontrasepsi medis selama studi dan selama 30 hari setelah dosis terakhir diberikan Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 27 Tabel 11. Kriteria eksklusi dalam studi REFLECT Hasil pencitraan KSH memiliki salah satu dari ciri-ciri berikut: o KSH yang melibatkan ≥ 50% total massa hati o Invasi pada duktus bilier o Invasi vena porta pada cabang utama vena porta (Vp4) a o Sudah pernah mendapat terapi sistemik untuk KSH sebelumnya. lly Gangguan kardiovaskular yang signifikan, seperti riwayat gagal jantung kongestif > New York Heart Association (NYHA) Class II, unstable angina, infark ae miokard, atau stroke dalam enam bulan sebelum dosis pertama obat lenvatinib Pemanjangan interval QT > 480 milisecond om m Perdarahan gastrointestinal atau hemoptisis aktif dalam 28 hari sebelum randomisasi l.c a Varises gaster atau esofageal yang memerlukan terapi dalam 28 hari sebelum ai cit randomisasi Karsinomatosis meningeal gm dy Dosis standar terapi lenvatinib ditentukan berdasarkan berat badan (BB), yaitu pasien dengan BB BAN–3x BAN 1- tu. C ed Derajat 2: >3–5x BAN Derajat 3: >5–20x BAN 08 ca dr M Derajat 4: >20x BAN Peningkatan kadar bilirubin Derajat 1: >BAN–1,5x BAN Derajat 2: >1,5–3x BAN Derajat 3: >3–10x BAN Derajat 4: >20x BAN Hipoalbuminemia Derajat 1: 3x BAN protrombin Bila memburuk, lakukan x @ in USG atau CT scan untuk -x in ya e menyingkirkan asites, Lanjutkan ICI Tunda ICI Pertimbangkan xx dy w obstruksi bilier, atau tumor penghentian ICI xx aw tur in progresif dan Monitor tiap 1 minggu pertimbangkan biopsi hati Monitor lebih sering bila xx ry a uc sebelum memulai bilirubin total > 1,5x BAN pemberian steroid Untuk yang terinfeksi HBV Lanjutkan atau 1- tu. C ed dan HCV dilakukan monitor Perbaikan mulai kembali ICI viral load Konsultasi ke KGEH Tidak ada perbaikan atau 08 ca dr M perburukan atau bilirubin total >1,5x BAN Mulai kortikosteroid Prednison oral 0,2–0,5 mg/kg/hari atau ekuivalen cukup untuk peningkatan AST/ALT yang tidak membaik dalam 1 minggu. Bila progresif, berikan 0,5–1 mg/kg/hari Turunkan dosis steroid dalam 4 minggu dan lanjutkan ICI bila Perbaikan Ya AST/ALT berada pada derajat 1 atau kembali ke kondisi awal Tidak Tingkat 3 AST/ALT 5–20x BAN AST/ALT 8–20x BAN Seperti tingkat 2 Hentikan CTLA-4 inhibitor ditambah: Hentikan PD-(L)1 inhibitor bila terjadi salah satu dari: Pertimbangkan biopsi irubin total >2x BAN hati sebelum memulai BAN selama >2 minggu pemberian steroid BAN Tunda PD-(L)1 inhibitor pada kondisi selain di atas 62 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia Monitor setiap 2-3 hari Terutama bila bilirubin total >1,5x BAN a lly Mulai kortikosteroid secepatnya ae Prednison 0,5–1 mg/kg/hari. Oral atau IV tergantung keadaan umum, ada/tidaknya decompensasi hati dan kepatuhan pasien Bila tidak ada perbaikan dalam 4–7 hari, pertimbangkan 1–3 om m dosis pulse metilprednisolon 2,5 mg/kg/hari Bila tidak ada perbaikan dalam 4–7 hari, pertimbangkan mikofenolat mofetil (1 gram 2 kali sehari) l.c a Bila perbaikan, turunkan dosis dalam 4 minggu ai cit gm dy AST/ALT >20x BAN AST/ALT >20x BAN x @ in Tingkat 4 -x in ya e xx dy w Seperti tingkat 3 xx aw tur in ditambah: Hentikan ICI Perawatan di xx ry a uc rumah sakit. Pertimbangkan ICU sesuai 1- tu. C ed keadaan umum Monitor setiap hari, dan koagulasi Termasuk koagulasi dan status mental 08 ca dr M Gambar 5. Manajemen hepatitis terinduksi penghambat immune checkpoint pada pasien KSH. Keterangan: ALT, alanine aminotransferase; AST, aspartate aminotransferase; CMV, cytomegalovirus; GGT, gamma glutamiltransferase; ICI, immune checkpoint inhibitor; BAN, Batas Atas Normal; KGEH, konsultan gastroenterohepatologi 5.10 Penilaian Respons Terapi Penilaian respons terapi pada KSH harus didasarkan pada kriteria modified Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (mRECIST) yang dapat dilihat pada Tabel 30.136 Pemeriksaan yang dianjurkan untuk menilai respons terhadap terapi target molekular (penghambat tirosin kinase) dan imunoterapi (penghambat immune checkpoint) adalah CT atau MRI abdomen tiga fase. Penggunaan kadar serum biomarker (contoh: AFP) sebagai penanda respons terapi harus diinterpretasi dengan hati-hati. Dalam protokol studi fase III sorafenib (studi SHARP),18 regorafenib (RESORCE),100 atezolizumab- bevacizumab (IMbrave150),96 penilaian ukuran tumor dilakukan setiap enam minggu, sedangkan pada studi fase III lenvatinib (studi REFLECT)3 dan cabozantinib (CELESTIAL),4 penilaian ukuran tumor dilakukan setiap delapan minggu. Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 63 Respons terhadap imunoterapi membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan respons terhadap terapi lain dan respons dapat didahului oleh tumor flare atau “pseudo-progression” yang didefinisikan sebagai peningkatan ukuran lesi yang sudah ada atau a muncul lesi baru, yang diikuti dengan respons tumor. Membedakan lly antara progresi semu dan progresi yang sebenarnya merupakan ae tantangan tersendiri.137, 138 Penghentian yang terlalu cepat dari obat efektif akan merugikan, sebaliknya terapi berkepanjangan dari om m obat yang tidak efektif juga dapat menghalangi dimulainya terapi lain yang efektif. Untuk mencegah kesalahan interpretasi, terdapat l.c a ai cit kriteria khusus untuk respons imunoterapi, yaitu iRECIST,139 yang di dalamnya terdapat konsep “konfirmasi progresi tumor” dengan gm dy cara melakukan CT scan atau MRI kedua paling sedikit empat minggu setelah dinyatakan progressive disease. Sebagai kesimpulan, x @ in pemeriksaan yang dianjurkan untuk menilai respons terhadap terapi -x in ya e xx dy w xx aw tur in target molekular adalah CT atau MRI abdomen tiga fase setiap 6–8 xx ry a uc minggu, sedangkan untuk menilai respons terhadap penghambat immune checkpoint, pemeriksaan CT atau MRI abdomen tiga fase 1- tu. C ed dilakukan setiap 8–12 minggu.138 Penghentian terapi sistemik bila terjadi perburukan fungsi hati, status performans, muncul gejala 08 ca dr M toksisitas (efek samping) yang berat, atau terjadi progresifitas tumor. Bila terjadi progresifitas tumor, terapi dapat diganti ke lini kedua bila fungsi hati baik (Child-Pugh A) dan status performans ECOG 0–2. Rekomendasi 10. Pemeriksaan yang dianjurkan untuk menilai respons terhadap terapi target molekular adalah CT atau MRI abdomen tiga fase setiap 6–8 minggu, sedangkan untuk menilai respons terhadap penghambat immune checkpoint, dilakukan pemeriksaan CT atau MRI abdomen tiga fase setiap 8–12 minggu. (rekomendasi B2) 11. Penilaian respons terapi pada CT atau MRI abdomen tiga fase dilakukan berdasarkan kriteria modified Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (mRECIST). (rekomendasi B2) 12. Penggunaan kadar serum biomarker (contoh: AFP) sebagai penanda respons terapi harus diinterpretasi dengan hati-hati. (rekomendasi B2) 13. Pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan secara berkala untuk memantau kemungkinan terjadinya penurunan fungsi hati yang disebabkan oleh terapi sistemik. (rekomendasi B2) 64 Konsensus Terapi Sistemik Karsinoma Sel Hati di Indonesia 14. Penghentian terapi sistemik dilakukan bila terjadi perburukan fungsi hati, status performans, muncul gejala toksisitas (efek samping) yang tidak dapat ditoleransi, atau terjadi progresifitas tumor. Bila terjadi progresifitas tumor, terapi dapat diganti a ke lini kedua bila fungsi hati baik (Child-Pugh A) dan status lly performans ECOG 0–2. (rekomendasi B2) ae Tabel 30. Penilaian Respons Terapi dengan Kriteria mRECIST om m Lesi Target mRECIST l.c a Kategori Respons ai cit CR Hilangnya penyangatan arterial intratumoral pada semua lesi target gm dy PR Paling sedikit terdapat penurunan 30% pada diameter total lesi target viable (lesi yang menyangat pada fase arterial) x @ in dibandingkan dengan diameter total lesi target sebelumnya -x in ya e (baseline) xx dy w xx aw tur in SD Kasus yang tidak termasuk dalam kriteria PR atau PD xx ry a uc PD Peningkatan minimal 20% dari diameter total lesi target viable, dibandingkan dengan penjumlahan terkecil dari total diameter 1- tu. C ed lesi target viable yang tercatat sejak terapi dimulai 08 ca dr M Lesi Non-Target mRECIST Kategori Respons CR Hilangnya seluruh penyangatan arterial pada semua lesi non- target IR/SD Menetapnya penyangatan arterial intratumoral pada satu atau lebih lesi non-target PD Munculnya satu atau lebih lesi baru dan atau progresifitas dari lesi non-target yang telah ada sebelumnya. Rekomendasi mRECIST Efusi pleura dan asites Konfirmasi sitopatologik diperlukan untuk menetapkan apakah efusi dan asites yang memburuk pada saat terapi merupakan suatu PD KGB porta hepatis KGB yang terdeteksi pada daerah porta hepatis dapat dianggap maligna apabila aksis pendek KGB minimal 2 cm Trombosis vena porta Trombosis vena porta maligna harus dianggap sebagai lesi yang tidak dapat diukur sehingga dimasukkan ke dalam lesi non-target Lesi baru Suatu lesi baru dapat dianggap sebagai KSH apabila diameter terpanjang minimal 1 cm dan memiliki gambaran penyangatan yang khas untuk KSH. Sebuah lesi dengan pola radiologis atipikal dapat didiagnosis sebagai KSH apabila didapatkan pertambahan diameter sebanyak 1 cm dibandingkan dengan hasil pencitraan sebelumnya. Keterangan: mRECIST: