Perkembangan Kognitif pada Dewasa Awal dan Dewasa Madya PDF
Document Details
Uploaded by EncouragingHeliotrope5996
Universitas Syiah Kuala
2024
Tasya Salsabila,Thalita Ullayya Fitri,Rosnita,Nadira Chaharani
Tags
Summary
Makalah ini membahas perkembangan kognitif pada dewasa awal dan dewasa madya, meliputi berbagai aspek seperti pendekatan Piaget, teori Triarki Kecerdasan, dan pendidikan. Penulis membahas perbedaan perkembangan kognitif di kedua fase tersebut.
Full Transcript
PERKEMBANGAN KOGNITIF PADA DEWASA AWAL DAN DEWASA MADYA Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa dan Lansia Disusun Oleh Kelompok 2 : Tasya Salsabila (2307101130009) Thalita Ullayya Fitri (2307101130025)...
PERKEMBANGAN KOGNITIF PADA DEWASA AWAL DAN DEWASA MADYA Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa dan Lansia Disusun Oleh Kelompok 2 : Tasya Salsabila (2307101130009) Thalita Ullayya Fitri (2307101130025) Rosnita (2307101130032) Nadira Chaharani (2307101130034) PRODI PSIKOLOGI UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2024 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa membersamai kami dalam segala kegiatan, termasuk membantu kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Perkembangan Kognitif pada Dewasa Awal dan Dewasa Madya ” dengan baik dan tepat waktu. Shalawat berangkaikan salam senantiasa kita sanjung sajikan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita ke dunia yang kaya akan ilmu pengetahuan. Tak lupa pula, ungkapan terima kasih turut kami haturkan kepada Ibu Wida Yulia Viridanda, S. Psi., M. Psi. Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa dan Lansia atas bimbingan, arahan, serta pengajaran yang telah diberikan selama proses penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Besar harapan kami makalah ini dapat menjadi sarana informasi bagi pembaca untuk meningkatkan pemahaman mengenai konsep pendidikan. Kami selaku penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini, namun kami juga sepenuhnya menyadari bahwa makalah yang disusun ini tidaklah sempurna dan tentunya masih memiliki ruang untuk perbaikan. Maka dari itu, dengan kerendahan hati, kami memohon kritik dan saran yang konstruktif dari semua pembaca guna membantu untuk meningkatkan kualitas penulisan di masa yang akan datang. Banda Aceh, 10 September 2024 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................................2 DAFTAR ISI..............................................................................................................................3 BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................4 BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................5 2.1 PERKEMBANGAN KOGNITIF PADA DEWASA AWAL................................................... 5 2.1.1 Perspektif dalam Kognitif Dewasa Awal.................................................................... 5 a. Pendekatan Piaget................................................................................................... 5 b. Schaie's Life-Span Model of Cognitive Development............................................... 6 c. Teori Triarki Kecerdasan........................................................................................... 7 d. Kecerdasan Emosional.............................................................................................8 2.2 PENALARAN MORAL.......................................................................................................8 a. Tiga Etika........................................................................................................................9 2.3 PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN................................................................................... 10 a. Perguruan tinggi............................................................................................................11 b. Memasuki Dunia Kerja................................................................................................. 12 2.4 PERKEMBANGAN KOGNITIF DEWASA MADYA..........................................................13 2.5 KEUNIKAN KOGNITIF DEWASA....................................................................................15 a. Keahlian........................................................................................................................15 b. Pemikiran Integratif.......................................................................................................16 2.6 Kreativitas....................................................................................................................... 17 a. Kreativitas dan usia...................................................................................................... 18 2.7 PEKERJAAN DAN USIA................................................................................................. 19 a. Kerja dan pensiun.........................................................................................................19 b. Pekerjaan dan Pensiun................................................................................................ 19 c. Kerja dan perkembangan kognitif................................................................................. 20 d. Pendidikan Orang dewasa........................................................................................... 21 BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 23 BAB I PENDAHULUAN Perkembangan manusia melalui berbagai tahap kehidupan, dengan setiap fase membawa tantangan dan tugas perkembangan yang unik. Dewasa awal, yang berlangsung dari usia 18 hingga 40 tahun, adalah masa transisi dari ketergantungan remaja menuju kemandirian. Pada fase ini, individu dihadapkan pada tugas-tugas penting seperti membangun karier, menjalin hubungan yang lebih intim, dan memulai keluarga (Papalia & Martorell, 2023). Pencapaian di fase ini sangat memengaruhi kesejahteraan emosional dan sosial di masa mendatang, dengan kegagalan membentuk hubungan yang dekat dapat berujung pada isolasi dan kesepian (Papalia & Martorell, 2023). Setelah fase dewasa awal, individu memasuki tahap dewasa madya (40-65 tahun), yang sering kali ditandai dengan evaluasi pencapaian hidup dan penyesuaian terhadap perubahan fisik yang terkait dengan penuaan. Perhatian pada masa ini cenderung beralih ke pemeliharaan kesehatan, tanggung jawab keluarga, serta persiapan untuk masa pensiun (Papalia & Martorell, 2024). Dewasa madya juga sering disebut sebagai masa penilaian kembali, di mana individu merenungkan karier dan hubungan interpersonal mereka (Santrock, 2020). Dengan memahami tugas-tugas perkembangan yang berbeda dalam dua fase ini, dapat diungkap bagaimana individu menghadapi tantangan yang ada dan mempersiapkan diri untuk tahap kehidupan berikutnya. BAB II PEMBAHASAN 2.1 PERKEMBANGAN KOGNITIF PADA DEWASA AWAL 2.1.1 Perspektif dalam Kognitif Dewasa Awal a. Pendekatan Piaget Studi baru menunjukkan bahwa kemampuan berpikir orang dewasa melampaui tahap operasi formal, meskipun Piaget berpendapat bahwa ini adalah tahap puncak perkembangan kognitif. Kemampuan untuk menghadapi masalah yang kompleks, ambigu, dan penuh kontradiksi adalah ciri pemikiran pasca-formal (Postfomal toughth), tingkat berpikir yang lebih tinggi yang biasanya muncul di awal masa dewasa. Ini adalah metode pemecahan masalah yang lebih halus dan dapat disesuaikan yang mengakui keraguan dan kerumitan yang melekat dalam kehidupan. Pemikiran pasca-formal (Postformal thought) melibatkan pengalaman subjektif, intuisi, dan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai perspektif. Ini berbeda dengan tahap operasi formal, yang menekankan logika dan penalaran abstrak. Pergeseran kognitif ini memungkinkan orang dewasa membuat keputusan yang tepat dalam dunia yang terus berubah (Papalia & Martorell, 2024).. Salah satu ciri khas lain dari pemikiran pasca-formal adalah fleksibilitasnya. Terkadang, pemikiran logis formal adalah alat yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah. Namun, di situasi lain, terutama dalam kondisi yang ambigu, pengalaman dapat membantu kita memahami situasi dengan lebih efektif (Papalia & Martorell, 2024). Pandangan pasca-formal (Postformal thought) juga relativistik. Pemikiran muda seringkali bersifat hitam putih, artinya ada satu jawaban yang benar dan satu yang salah. Sebaliknya, pemikiran relativistik mengakui kemungkinan bahwa ada lebih dari satu perspektif yang sah tentang suatu masalah. Seringkali, pemikiran relativistik muncul sebagai tanggapan terhadap kejadian atau interaksi yang membuka perspektif baru dan menantang pemahaman dunia yang sederhana dan polarisasi (Papalia & Martorell, 2024). Fischer dan Pruyne (Papalia & Martorell, 2024) mengungkapkan perhatian aktif, konsisten, dan hati-hati terhadap informasi atau kepercayaan. Pemikir reflektif (reflective Thought) selalu mempertanyakan fakta, membuat kesimpulan, dan membuat hubungan. Selain itu, mereka memiliki kemampuan untuk membuat sistem intelektual yang kompleks untuk menggabungkan gagasan atau pertimbangan yang tampaknya bertentangan. Misalnya, mereka dapat membuat teori perkembangan manusia yang komprehensif, yang dapat menjelaskan berbagai jenis perilaku. Pemikiran reflektif berkembang secara bertahap dan konsisten. Pertama, orang dewasa muda sering melihat dunia dalam istilah dualisme, dengan pandangan hitam-putih dan sedikit nuansa, di mana otoritas dianggap memiliki jawaban yang benar dan ambiguitas tidak diterima. Selanjutnya, multiplikasi terjadi, di mana berbagai pandangan dianggap memiliki nilai, dan dunia dilihat penuh dengan area abu-abu. Setelah itu, relativisme kontekstual muncul, yang mengevaluasi berbagai solusi masalah dengan pemahaman bahwa orang dewasa muda menjadi terampil dalam menggunakan bukti untuk menilai solusi atau jawaban b. Schaie's Life-Span Model of Cognitive Development Schaie's Life-Span Model of Cognitive Development adalah sebuah teori yang dirancang oleh psikolog Paul B. Schaie untuk menggambarkan bagaimana kognisi manusia berkembang sepanjang hidup. Model ini menekankan bahwa perkembangan kognitif bukanlah proses yang linier, tetapi melibatkan berbagai perubahan dan penyesuaian sepanjang kehidupan seseorang. Adapun tahapan kognitifnya adalah sebagai berikut : 1. Acquisitive Stage (Masa Kanak-Kanak dan Remaja): Anak-anak dan remaja mengakumulasi informasi dan keterampilan terutama untuk kepentingan mereka sendiri atau sebagai persiapan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Misalnya, seorang anak mungkin membaca tentang dinosaurus hanya karena minatnya terhadap topik tersebut. 2. Achieving Stage (Akhir Remaja hingga Awal Tiga Puluhan): Orang dewasa muda tidak hanya mengumpulkan pengetahuan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga menggunakan apa yang mereka ketahui untuk mengejar tujuan seperti karier dan keluarga. Contohnya, seorang dewasa muda mungkin mengambil kelas di perguruan tinggi sebagai persiapan untuk karier di bidang tertentu. 3. Responsible Stage (Akhir Tiga Puluhan hingga Awal Enam Puluhan): Pada usia paruh baya, individu menggunakan keterampilan kognitif mereka untuk menyelesaikan masalah praktis yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang lain, seperti anggota keluarga atau karyawan. Misalnya, seorang dewasa mungkin mencari cara yang lebih efisien untuk menyelesaikan tugas di tempat kerja. 4. Executive Stage (Tiga Puluhan atau Empat Puluhan hingga Usia Paruh Baya): Pada tahap ini, individu bertanggung jawab atas sistem sosial atau gerakan sosial, seperti organisasi pemerintah atau bisnis, dan menangani hubungan kompleks pada berbagai tingkat. Contohnya, seseorang mungkin memediasi perselisihan antara dua rekan kerja untuk memastikan kelancaran operasional kantor. 5. Organizational Stage (Akhir Usia Paruh Baya, Awal Usia Lanjut): Saat memasuki pensiun, individu merestrukturisasi kehidupan dan energi intelektual mereka untuk kegiatan yang berarti yang menggantikan pekerjaan yang dibayar. Misalnya, seorang pensiunan mungkin memutuskan untuk menjadi relawan di kebun raya lokal. 6. Reintegrative Stage (Usia Lanjut): Orang dewasa yang lebih tua mungkin mengalami perubahan biologis dan kognitif, dan cenderung lebih selektif mengenai tugas yang mereka kerjakan. Mereka fokus pada aktivitas yang memiliki makna terbesar bagi mereka. Contohnya, seseorang yang merasakan dampak usia pada sendi mungkin memilih untuk berjalan kaki setiap hari daripada berlari untuk kesehatan. 7. Legacy-Creating Stage (Usia Tua Lanjut): Menjelang akhir hayat, setelah proses reintegrasi selesai (atau bersamaan dengannya), individu mungkin membuat instruksi untuk pengelolaan barang berharga, mengatur upacara pemakaman, menyediakan sejarah lisan, atau menulis kisah hidup sebagai warisan untuk orang-orang terkasih. Contohnya, seorang orang tua mungkin menyelesaikan surat wasiat dan mendistribusikannya kepada anak-anaknya. c. Teori Triarki Kecerdasan Pengetahuan komponensial, pengalaman, dan kontekstual adalah tiga komponen utama kecerdasan, menurut teori triarki Robert Sternberg. Pengetahuan komponensial, juga dikenal sebagai kecerdasan analitis, adalah tentang kemampuan kognitif untuk memproses data dan menyelesaikan masalah dalam konteks akademik, seperti tugas sekolah dan ujian. Namun, kemampuan analitis ini bukan satu-satunya hal yang diperlukan untuk sukses dalam hidup. Pengalaman juga diperlukan, seperti kreativitas dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi baru atau tidak terduga; keduanya sangat penting untuk menghasilkan ide dan solusi baru. Selain itu, pengetahuan kontekstual—juga dikenal sebagai "kecerdasan jalanan"—melibatkan kemampuan untuk menavigasi dan beradaptasi dalam berbagai situasi praktis sehari-hari. Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk berfungsi dengan baik dalam konteks sosial dan profesional yang berubah dan di luar lingkungan akademik (Papalia & Martorell, 2024). d. Kecerdasan Emosional Peter Salovey dan John Mayer (dalam Papalia & Martorell, 2024) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional (EI) adalah kemampuan untuk mengamati, menggunakan, memahami, dan mengelola emosi untuk mencapai tujuan. Keterampilan ini memungkinkan orang untuk memanfaatkan emosi mereka secara efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial, seperti yang ditunjukkan oleh kesadaran akan perilaku yang ditunjukkan oleh orang lain dan emosi mereka sendiri. Para psikolog menggunakan Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT), sebuah tes yang terdiri dari empat pertanyaan selama empat puluh menit dan menghasilkan nilai untuk masing-masing dari empat kemampuan kecerdasan emosional oleh Mayer et al(Papalia & Martorell, 2024). Pertanyaan seperti "Tom merasa cemas dan menjadi sedikit stres ketika memikirkan semua pekerjaan yang harus dilakukannya" adalah salah satu dari banyak pertanyaan yang diajukan dalam temuan ini. Dia merasa (a) kewalahan, (b) tertekan, (c) malu, (d) sadar diri, atau (e) gelisah ketika atasannya memberinya tugas tambahan. Test ini berguna di seluruh dunia, meskipun nilai rata-rata untuk keempat kategori ini berbeda di setiap negara yang dikemukakan oleh Karim & Weisz (Papalia & Martorell, 2024). 2.2 PENALARAN MORAL Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tahap. Pada tahap terakhir, moralitas pascakonvensional, dia percaya bahwa orang menjadi mampu membuat penalaran moral yang berprinsip penuh dan membuat keputusan moral berdasarkan prinsip-prinsip keadilan universal. Kohlberg berpendapat bahwa kebanyakan orang tidak mencapai tingkat ini sama sekali sampai mereka berusia dua puluhan. Dia yakin bahwa pengembangan gaya berpikir ini terutama disebabkan oleh pengalaman (Papalia & Martorell, 2024). Terdapat beberapa dukungan untuk pandangan bahwa pengalaman dapat membuat orang dewasa mengevaluasi kembali kriteria mereka tentang apa yang benar dan salah. Siswa yang rajin ke gereja lebih kecil kemungkinannya untuk menyontek saat mengerjakan tugas dibandingkan mereka yang jarang ke gereja menurut Bloodgood et al (dalam Papalia & Martorell, 2024). Di sisi lain, orang-orang yang terpapar perang (Haskuka et al., 2008) atau yang menderita gangguan stres pascatrauma akibat pengalaman perang (Taylor, 2007) menunjukkan kecenderungan yang lebih rendah untuk mencapai tingkat penalaran moral Kohlberg yang lebih tinggi. Singkatnya, pengalaman pribadi dapat mempengaruhi kemungkinan terlibat dalam jenis penalaran moral tertentu. (dalam Papalia & Martorell, 2024) Menurut Jenson (dalam Papalia & Martorell, 2024) pendekatan Kohlberg didasarkan pada keyakinan bahwa budaya tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai tingkat penalaran moral yang paling tinggi. Keyakinan yang mendasari superioritas pandangan dunia tertentu ini telah dikritik karena bias terhadap standar budaya Barat tentang individualitas dan keagamaan. Sebagai contoh, ada banyak budaya yang menetapkan aturan moral yang berpusat pada tradisi dan otoritas ilahi. Tidak ada alasan untuk menganggap kepercayaan ini sebagai moral yang lebih rendah atau menunjukkan penalaran yang kurang canggih menurut Shweder et al.(dalam Papalia & Martorell, 2024) a. Tiga Etika Budaya mempengaruhi cara orang berpikir tentang benar dan salah karena nilai-nilai dan tujuan yang penting dalam budaya, termasuk yang terkait dengan agama, tercermin dalam sistem etika yang ada di budaya tersebut. Misalnya, budaya di Amerika Serikat cenderung fokus pada hak dan kebebasan individu, sementara budaya seperti di Cina lebih mengutamakan harmoni dan kerja sama kelompok (Papalia & Martorell, 2024). Hal ini dapat membantu menjelaskan variasi budaya dalam penalaran moral. Orang Cina lebih suka konsiliasi dan harmoni daripada sistem Kohlberg, yang berpusat pada keadilan. Dalam masyarakat Tiongkok, orang yang menghadapi masalah moral diharapkan untuk berbicara tentangnya secara terbuka, mengikuti norma masyarakat, dan berusaha menemukan cara untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang paling menyenangkan bagi kedua belah pihak. Jika seseorang di Barat melanggar hukum dalam keadaan terpaksa, mereka dapat dihukum dengan keras. Orang Tionghoa tidak terbiasa dengan hukum yang umum; sebaliknya, mereka dididik untuk mematuhi keputusan yang bijaksana yang dibuat oleh hakim menurut Dien (dalam Papalia & Martorell, 2024). Shweder (dalam Papalia & Martorell, 2024) menyatakan Sebagian besar penelitian telah berkonsentrasi pada bagaimana berbagai perspektif dunia dalam berbagai budaya membentuk sistem etika yang dominan.. Menurut penelitian Richard Shweder, ada tiga sistem etika utama yang membentuk budaya: etika otonomi, komunitas, dan ketuhanan. Etika otonomi adalah ciri budaya individualistik yang menekankan konsep keadilan dan hak-hak individu. Salah satu karakteristik budaya kolektivis adalah etika komunitas, yang menekankan hubungan sosial, kewajiban sosial, keharmonisan kelompok, dan hormat terhadap struktur yang menjaga keharmonisan sosial. Terakhir, etika ketuhanan melihat manusia sebagai wadah sementara bagi jiwa ilahi atau makhluk suci. Konsep-konsep yang berkaitan dengan kemurnian dan kesucian didasarkan pada moral dalam perspektif ini. Ketiga etika ini dapat ditemukan di berbagai budaya, seperti di Inggris, Israel, Jepang, Selandia Baru, dan Brasil (Guerra & Giner-Sorolla, 2015). Namun, sentralitas mereka berbeda-beda di setiap negara, tergantung pada pandangan dunia mereka, dan usia mereka. Sebagai contoh, orang Amerika lebih cenderung mengadopsi nilai otonomi daripada nilai lain. Setiap etika memiliki lintasan perkembangan yang berbeda. Di semua budaya, kecuali yang paling kolektivis, etika otonomi sudah ada sejak usia kanak-kanak, dan kecenderungan untuk menerapkannya biasanya tidak berubah. Namun, penalaran otonomi bervariasi seiring bertambahnya usia. Selama masa kanak-kanak dan remaja, etika komunitas biasanya meningkat secara bertahap dan stabil. Ini mungkin karena interaksi utama seseorang yang meninggalkan keluarga untuk berinteraksi dengan teman-teman, membentuk keluarga mereka sendiri, dan berinteraksi dengan masyarakat umum. Karena etika ketuhanan biasanya terdiri dari prinsip-prinsip agama yang abstrak, ia memiliki cara yang berbeda untuk bertindak. Disini, tingkat yang rendah pada masa kanak-kanak dan peningkatan yang lebih tajam pada masa remaja dan dewasa, bersama dengan peningkatan kemampuan kognitif (Jensen, 2011). Ini terutama berlaku di negara-negara di mana etika ini umum di kalangan orang dewasa. (Papalia & Martorell, 2024) 2.3 PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN Banyak orang dewasa saat ini tidak memiliki jalur karir yang jelas, berbeda dengan generasi muda yang biasanya dapat bekerja langsung dan mandiri secara finansial. Beberapa orang memilih pendidikan dan pekerjaan, sedangkan yang lain mengejar keduanya. Banyak orang yang tidak mendaftar di pendidikan pasca sekolah menengah atau tidak menyelesaikannya masuk ke pasar kerja, tetapi banyak yang kembali lagi untuk melanjutkan pendidikan menurut Furstenberg & Hamilton (dalam Papalia & Martorell, 2024) a. Perguruan tinggi Perguruan tinggi menjadi sarana yang semakin penting untuk menuju kedewasaan, tetapi itu hanyalah satu cara dan masih bukan yang paling umum menurut Montgomery & Côté, (dalam Papalia & Martorell, 2024). Prosentase lulusan sekolah menengah atas di AS yang langsung melanjutkan ke perguruan tinggi selama 2 atau 4 tahun meningkat dari sekitar setengahnya (51%) menjadi lebih dari dua pertiga (66%) dari tahun 1975 hingga 2019 oleh Irwin (dalam Papalia & Martorell, 2024). Dari tahun 2000 hingga 2019, tingkat pendaftaran perguruan tinggi di Amerika Serikat meningkat sesuai dengan jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan ras/etnis. Selama pandemi COVID-19, pendaftaran sarjana turun 5,8 persen dari tingkat sebelumnya pada musim gugur 2021 berdasarkan National Student Clearinghouse Research Center, 2021(dalam Papalia & Martorell, 2024). Persentase perempuan berusia 18 hingga 24 tahun yang terdaftar di perguruan tinggi lebih tinggi daripada laki-laki (37 persen), membantu mengembalikan kesenjangan gender tradisional oleh McFarland et al.(dalam Papalia & Martorell, 2024) Berbagai faktor tampaknya sangat penting untuk menjelaskan perbedaan yang terus-menerus antara laki-laki dan perempuan. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa perbedaan kognitif antara laki-laki dan perempuan terletak di ujung atas rentang kemampuan matematika, visual, dan spasial, serta bahwa perempuan dengan kemampuan matematis dan verbal memiliki lebih banyak pilihan (Halpern dkk., 2007; Wang dkk., 2013). Penjelasan tambahan tentang minat dan preferensi perempuan termasuk keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga (Wang & Degol, 2017). Stereotip gender juga dianggap memiliki pengaruh yang signifikan (Miller et al., 2015). Terakhir, banyak laporan diskriminasi gender yang dilaporkan oleh perempuan di bidang di mana kesenjangan laki-laki dan perempuan paling besar (Pew Research Center, 2018). Keluarga berpenghasilan rendah dan menengah semakin sulit untuk mencapai pendidikan tinggi. Ini karena, dari tahun akademik 2004-2005 hingga tahun akademik 2014-2015, biaya sekolah, kamar, dan makan meningkat 33% di institusi publik dan 26% di institusi nirlaba swasta penelitian dari Snyder et al (dalam Papalia & Martorell, 2024). Oleh karena itu, banyak siswa dari keluarga yang lebih sederhana cenderung bekerja sambil kuliah, yang seringkali memperlambat kemajuan mereka menurut Dey & Hurtado (dalam Papalia & Martorell, 2024). Selain itu, Hamilton (dalam Papalia & Martorell, 2024) juga meyatakan bahwa siswa dari keluarga yang lebih kaya cenderung tidak meninggalkan kuliah sebelum lulus. Tingkat kelulusan siswa kelas enam saat ini adalah sekitar 60%. Namun, tingkat kelulusan ini berbeda menurut etnis. Mahasiswa Asia memiliki tingkat kelulusan tertinggi 73,3%, disusul oleh mahasiswa kulit putih 64,3%, ras campuran 57,1%, Hispanik 55,1 %, dan Afro-Amerika 39,8%. Persentase mahasiswa minoritas di perguruan tinggi telah meningkat di semua tingkatan. Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan populasi orang Asia-Amerika, Latin, dan Kepulauan Pasifik oleh McFarland et al (dalam Papalia & Martorell, 2024). Mengingat demografi Amerika saat ini, tren ini kemungkinan besar akan bertahan. Montgomery dan Côté (dalam Papalia & Martorell, 2024) menyatakan bahwa di perguruan tinggi, pertumbuhan kognitif dapat menjadi periode penemuan dan pertumbuhan pribadi. Studi di perguruan tinggi mana pun lebih penting daripada perguruan tinggi mana pun yang diikuti seseorang dalam hal manfaat jangka pendek dan jangka panjang.. Mereka menyadari bahwa budaya atau individu yang berbeda mungkin memiliki nilai yang berbeda dari mereka sendiri, sehingga mereka memiliki perspektif yang berbeda terhadap dunia. Bagaimana mereka menemukan informasi yang dapat diandalkan? Pada akhirnya, siswa memperoleh komitmen dalam relativisme. Pada titik ini, siswa membuat keputusan sendiri tentang kepercayaan ideal mereka. Mereka mengandalkan ketidakpastian yang menyertai kepercayaan, tetapi mereka juga percaya pada pendapat mereka sendiri dan membuat pilihan mereka menurut Perry (dalam Papalia & Martorell, 2024) b. Memasuki Dunia Kerja Sebagian besar orang dewasa pada usia pertengahan dua puluhan baru bekerja atau menempuh pendidikan lanjutan atau keduanya pernyataan dari McFarland (dalam Papalia & Martorell, 2024).Dunia kerja mengalami perubahan yang cepat. Pola kerja seperti itu menjadi semakin jarang dibandingkan dengan generasi sebelumnya, di mana karyawan biasanya dapat berharap untuk tetap bekerja di perusahaan hingga pensiun. Semakin banyak orang dewasa yang menjadi wiraswasta, bekerja di rumah, bekerja jarak jauh, atau sebagai kontraktor independen.( Papalia & Martorell, 2024). Tingkat pengangguran juga lebih tinggi bagi orang dewasa yang tidak memiliki pendidikan yang memadai. Pada tahun 2017, orang dewasa muda dengan gelar sarjana atau lebih tinggi memiliki tingkat pengangguran sebesar 86%, sedangkan orang dewasa yang tidak menyelesaikan sekolah menengah memiliki tingkat pengangguran sebesar 56% oleh Farland et al.(dalam Papalia & Martorell, 2024).. Kemungkinan untuk melanjutkan studi pascasarjana juga dapat dipengaruhi oleh bekerja selama kuliah. Meskipun beberapa siswa memiliki akses ke pinjaman dan hibah, banyak siswa masih perlu berusaha untuk mencapai tujuan akademik mereka. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk terlibat dalam kegiatan lain, seperti magang tanpa bayaran, kerja sukarela, dan kelompok penelitian. Mahasiswa dapat mengambil bagian dalam kegiatan ini atau tidak, tetapi mereka memungkinkan mereka untuk masuk ke program pascasarjana yang lebih kompetitif. Oleh karena itu, meskipun pekerjaan itu sendiri mungkin tidak mengganggu pendidikan sarjana, memenuhi persyaratan untuk program pascasarjana mungkin menjadi masalah.( Papalia & Martorell, 2024). Apakah orang berkembang karena pekerjaan mereka? Menurut beberapa penelitian, tampaknya orang tumbuh dalam pekerjaan yang menantang, jenis pekerjaan yang semakin populer saat ini. Kohn (dalam Papalia & Martorell, 2024) menyatakan bahwa hubungan antara kompleksitas substantif pekerjaan—yakni tingkat pemikiran dan penilaian independen yang diperlukan—dan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kognitif. Setelah hari kerja, pertumbuhan kognitif tidak harus berhenti. Hipotesis limpahan berpendapat bahwa keuntungan kognitif yang dihasilkan oleh pekerjaan dibawa ke luar waktu kerja. Teori bahwa kompleksitas substantif pekerjaan sangat mempengaruhi tingkat intelektual dari aktivitas di waktu luang. Penelitian mendukung teori ini (Kohn, 1980; Miller & Kohn, 1983). Ketika ada lebih banyak sumber daya di tempat kerja, seperti dukungan rekan kerja dan kebebasan untuk membuat keputusan sendiri, limpahan positif ini lebih mungkin terjadi oleh Grzywacz dan Marks (dalam Papalia & Martorell, 2024). 2.4 PERKEMBANGAN KOGNITIF DEWASA MADYA Masa dewasa pertengahan, yang biasanya mencakup usia 40 hingga 65 tahun, merupakan tahap kehidupan yang kompleks di mana terjadi perubahan dalam kemampuan kognitif. Pada usia ini, individu cenderung mengalami penurunan dalam beberapa aspek kemampuan kognitif, sementara aspek lainnya tetap stabil atau bahkan meningkat. Menurut Papalia dan Martorell (2023), kemampuan yang memerlukan kecepatan pemrosesan informasi cenderung menurun. Hal ini ditunjukkan melalui lambatnya waktu reaksi dan berkurangnya fleksibilitas dalam menyelesaikan masalah yang membutuhkan pemikiran cepat. Meskipun demikian, kecerdasan kristal, yang mencakup pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pengalaman hidup, umumnya meningkat atau stabil di masa ini, sehingga mendukung kemampuan individu dalam menghadapi situasi yang menuntut pengalaman sebelumnya. Penelitian lain mendukung temuan ini. Menurut studi oleh Salthouse (2019), kecerdasan cair, yang berkaitan dengan kemampuan pemrosesan informasi baru secara cepat, memang menunjukkan penurunan secara bertahap pada usia pertengahan, terutama dalam hal kecepatan dan fleksibilitas kognitif. Namun, Salthouse juga menekankan bahwa kecerdasan kristal cenderung meningkat hingga akhir masa dewasa pertengahan, karena individu semakin kaya akan pengalaman dan pengetahuan praktis yang terakumulasi sepanjang hidup mereka. Hal ini mendukung teori bahwa orang dewasa pertengahan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi tugas-tugas yang membutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang mendalam. Lebih lanjut, Krampe dan Baltes (2018) dalam kajiannya tentang perkembangan kognitif di masa dewasa pertengahan menemukan bahwa gaya hidup, termasuk aktivitas fisik, kebiasaan membaca, serta keterlibatan dalam pembelajaran seumur hidup, sangat mempengaruhi kemampuan kognitif pada usia ini. Individu yang terlibat dalam aktivitas yang merangsang otak cenderung mengalami penurunan kognitif yang lebih lambat dibandingkan mereka yang kurang aktif secara mental. Hal ini didukung oleh studi longitudinal yang menunjukkan bahwa pendidikan dan aktivitas kognitif berkelanjutan memainkan peran penting dalam memperlambat penuaan kognitif. Selain itu, kebijaksanaan menjadi salah satu aspek yang berkembang signifikan di usia pertengahan. Menurut Baltes dan Staudinger (2016), kebijaksanaan adalah hasil dari integrasi pengalaman hidup yang kaya dengan kemampuan kognitif yang tetap stabil, seperti kecerdasan kristal. Kebijaksanaan sering kali tercermin dalam kemampuan individu untuk menyelesaikan masalah sosial dan emosional yang kompleks, serta dalam pengambilan keputusan yang bijaksana dan seimbang. Kebijaksanaan ini seringkali tumbuh dari pengalaman hidup yang lebih luas dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, memungkinkan individu di usia pertengahan untuk memberikan nasihat yang berharga kepada orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Lachman et al. (2018) menunjukkan bahwa faktor psikologis dan lingkungan juga berperan dalam perkembangan kognitif di usia pertengahan. Mereka menemukan bahwa stres dan kecemasan yang tinggi dapat mempercepat penurunan kognitif, sementara dukungan sosial dan lingkungan yang sehat dapat membantu menjaga kemampuan kognitif yang optimal. 2.5 KEUNIKAN KOGNITIF DEWASA a. Keahlian Papalia and Martorell (2024) mengungkapkan orang dewasa yang telah bekerja di bidang tersebut selama bertahun-tahun mungkin memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah yang sering terjadi di tempat kerja mereka dan solusi yang efektif. Akibatnya, orang dewasa matang menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah karena mereka telah memperoleh pengetahuan yang mendalam dan terfokus dalam bidang tertentu melalui pembelajaran dan pengalaman yang berkelanjutan. Pengetahuan ini tidak hanya berupa informasi yang terkumpul, tetapi juga disusun dengan cara yang memudahkan proses pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah. Orang dewasa memilih program pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan minat dan tujuan mereka. Ini memungkinkan mereka untuk mengembangkan keahlian khusus dan kecerdasan kristalisasi, yang berarti menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang mereka pelajari untuk menyelesaikan masalah tertentu (Papalia & Martorell, 2024). Kemampuan kecerdasan fluida beberapa orang dewasa telah terenkapsulasi; dengan kata lain, mereka didedikasikan untuk menangani jenis pengetahuan tertentu, sehingga lebih mudah untuk diakses, ditambahkan, dan digunakan. Hoyer dan Rybash (dalam Papalia & Martorell, 2024) mengungkapkan bahwa Orang dewasa madya mungkin lebih lambat dalam memproses informasi baru, pengetahuan terenkapsulasi yang mereka peroleh dari pengalaman bertahun-tahun memungkinkan mereka menyelesaikan masalah dalam bidang keahlian mereka dengan cepat dan efektif serta menemukan pola yang tepat, mengimbangi kecepatan pemrosesan informasi baru yang lebih lambat. Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa otak para ahli aktif di area memori jangka panjang saat menyelesaikan tugas keahlian mereka, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki representasi mental yang kaya dan terorganisir, yang merupakan hasil dari pengalaman mendalam dalam bidang mereka. Ini menunjukkan bahwa para ahli mengasimilasi pengetahuan baru dengan lebih efektif karena mereka menggunakan pengetahuan yang mereka ketahui sebelumnya untuk mengatasi masalah dengan lebih baik (Papalia & Martorell, 2024). Guida et al (dalam Papalia & Martorell, 2024) menyatakan Hal ini memungkinkan mereka melakukan tugas pada tingkat yang lebih tinggi daripada pemula karena mereka dapat mengintegrasikan informasi dalam memori jangka panjang dengan memori kerja dalam "potongan". Dalam satu penelitian, ahli neurologi klinis yang sangat berpengalaman menemukan bahwa ketika mereka mendiagnosis kasus yang ambigu, otak mereka menunjukkan konektivitas fungsional yang lebih besar daripada ketika mereka mendiagnosis kasus yang mudah. Mungkin lebih banyak konektivitas menunjukkan kebutuhan kognitif yang meningkat untuk menyelesaikan ketidakpastian (Papalia & Martorell, 2024). b. Pemikiran Integratif Sinnott (dalam Papalia & Martorell, 2024) pemikiran pasca formal tampaknya cocok untuk tugas-tugas yang rumit, banyak peran, dan pilihan serta tantangan yang membingungkan pada usia paruh baya, seperti kebutuhan untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan keluarga. Namun, ini tidak terbatas pada periode dewasa tertentu. Tidak peduli apa yang mereka baca, lihat, atau dengar, orang dewasa lebih cenderung menafsirkan informasi sesuai dengan maknanya bagi mereka sendiri. Mereka dapat memberikan interpretasi yang lebih mendalam dan relevan berdasarkan keahlian dan perspektif mereka sendiri, alih-alih secara pasif menerima informasi (Papalia & Martorell, 2024). Dalam satu penelitian Adams (dalam Papalia & Martorell, 2024), remaja awal dan akhir, serta orang dewasa paruh baya dan lanjut usia diminta untuk meringkas sebuah kisah pengajaran Sufi. Dalam cerita tersebut, sebuah aliran tidak dapat menyeberangi gurun sampai sebuah suara menyuruhnya membiarkan angin membawanya. Awalnya, aliran tersebut ragu-ragu, tetapi akhirnya setuju dan tertiup. Orang dewasa mengingat lebih banyak detail cerita daripada remaja, tetapi ingatannya sebagian besar hanya pengulangan alur cerita. 2.6 Kreativitas Kecerdasan dan kreativitas bukanlah hal yang sama. Meskipun kecerdasan umum dasar, atau IQ, diperlukan (Guilford, 1956), kinerja kreatif tidak lagi berkaitan erat dengan kecerdasan umum setelah ambang batas ini tercapai (Simonton, 2000). Hal ini benar meskipun IQ awal yang diperlukan untuk kinerja kreatif meningkat untuk pencapaian kreatif yang lebih kompleks (Jauk et al., 2013).Kecerdasan tampaknya lebih dipengaruhi oleh proses genetik dibandingkan kreativitas. Kecerdasan memiliki heritabilitas yang tinggi dan heritabilitasnya meningkat seiring bertambahnya usia seiring bertambahnya usia individu dan mencari lebih banyak pengalaman yang sesuai dengan kecenderungannya (Plomin dan Deary, 2015). Proses yang sama bisa terjadi dalam kreativitas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kontribusi genetiknya kecil (Runco et al., 2011; Reuter et al., 2006). Lebih banyak belajar Penelitian baru menunjukkan bahwa pengaruh genetik lebih kuat dari perkiraan sebelumnya dan, seperti halnya kecerdasan, pengaruhnya mungkin meningkat seiring bertambahnya usia (Vinkhuyzen et al., 2009; Piffer dan Hur, 2014; Hur et al., 2014). Orang yang sangat kreatif adalah orang yang mandiri dan bersedia mengambil risiko. Mereka cenderung mandiri, tidak konformis, tidak konvensional, memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, afek positif yang tinggi serta terbuka terhadap ide dan pengalaman baru. Proses berpikir mereka seringkali tidak disadari, sehingga mengarah pada momen pencerahan yang tidak terduga (Simonton, 2000; Da Costa et al., 2015). Mereka berpikir fleksibel dan mengeksplorasi banyak kemungkinan memecahkan masalah (Baas et al., 2015).Namun, ini tidak cukup. Pencapaian kreatif yang luar biasa memerlukan pemahaman subjek yang menyeluruh dan terorganisir dengan baik serta hubungan emosional yang kuat dengan karya tersebut, yang menginspirasi pencipta untuk bertahan dalam menghadapi rintangan. Seseorang harus mendalami suatu bidang terlebih dahulu sebelum dapat melihat batas-batasnya, mempertimbangkan perkembangan radikal, dan mengembangkan perspektif baru dan unik (Keegan, 1996; Baer, 2015).Tidak mengherankan, para peneliti telah mencari korelasi antara pemecahan masalah secara kreatif di otak. Penelitian ini sangat menuntut: ide-ide kreatif pada dasarnya bersifat divergen dan ekspansif. Sebuah meta-analisis yang mencakup 34 studi pencitraan menunjukkan bahwa ketika orang terlibat dalam tugas-tugas kreatif, mereka memiliki aktivasi korteks prefrontal yang lebih besar, terlepas dari jenis aktivitas kreatif yang mereka lakukan. Namun, area yang berbeda menjadi lebih aktif tergantung pada kebutuhannya noda Misalnya, tugas-tugas yang memerlukan proses penghambatan, kelancaran, dan kontrol cenderung menimbulkan aktivitas di korteks prefrontal lateral, sedangkan tugas-tugas yang memerlukan aktivasi asosiasi semantik (berbasis makna) cenderung menimbulkan lebih banyak aktivitas di pusat atas dan bawah lingkaran. (Gonen-Yaacovi dkk., 2013). a. Kreativitas dan usia Apakah ada hubungan antara kinerja kreatif dan usia? Selama tes psikometri pemikiran divergen, perbedaan usia muncul secara sistematis. Dalam data cross-sectional dan longitudinal, skor mencapai puncaknya rata-rata pada akhir tahun tiga puluhan (Simonton, 1990). Kemudian, skor tersebut relatif stabil untuk beberapa waktu, kemudian menurun pada tahun 1970-an (Massimiliano, 2015). Kurva umur yang sama muncul ketika kreativitas diukur dengan perubahan produksi (nomor ipublikasi, lukisan atau komposisi). Seseorang yang berada pada dekade terakhir karir kreatifnya biasanya hanya memperoleh sekitar setengah dari pendapatan yang diperolehnya pada akhir usia 30-an atau awal 40-an, meskipun penghasilannya sedikit lebih tinggi dibandingkan pada usia 20-an (Simonton, 1990).Penyair, matematikawan, dan fisikawan teoretis cenderung paling produktif di usia akhir 20-an atau awal 30-an. Penelitian psikolog mencapai puncaknya pada usia 40 tahun, diikuti dengan penurunan moderat. Novelis, sejarawan, dan filsuf menjadi semakin produktif hingga akhir tahun 40an atau 50an, dan kemudian menurun. Pola-pola ini bertahan di berbagai budaya dan periode sejarah (Dixon & Hultsch, 1999; Simonton, 1990).Namun, ada beberapa bukti bahwa data ini, atau penafsirannya, mungkin salah. Misalnya, tidak jelas apakah produktivitas harus menjadi ukuran yang digunakan untuk mengukur kreativitas, terutama karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan orang lanjut usia tetap inovatif seiring berjalannya waktu. Misalnya, meta-analisis mengenai usia dan kreativitas di tempat kerja menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara keduanya dan hal ini sangat bergantung padabagaimana kreativitas didefinisikan (Rietzschel et al., 2016; Ng & Feldman, 2013). Selain itu, pola produksi kreatif mungkin telah berubah untuk kelompok baru. Misalnya, meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa produktivitas peneliti mencapai puncaknya pada usia 40-an, data terbaru menunjukkan bahwa peneliti yang produktif ketika mereka masih muda terus menerbitkan artikel ilmiah dalam jumlah besar hingga mengundurkan diri (Stroebe, 2015). 2.7 PEKERJAAN DAN USIA Di semua budaya, orang dewasa harus bekerja untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Di negara-negara berkembang, orang dewasa sering kali mempunyai peran yang sama dengan orang tua mereka dan peluang kerja yang ada lebih sedikit. Dalam masyarakat industri, terdapat banyak cara hidup, dan pekerjaan masyarakat mencerminkan hal ini. Selain itu, pensiun kemungkinan besar menjadi pilihan di masyarakat industri. a. Kerja dan pensiun Sebelum tahun 1985, rata-rata usia pensiun terus menurun. Sejak itu, trennya berbalik dan usia pensiun terus meningkat. Namun, sebelum benar-benar menghentikan kehidupan kerjanya, individu dapat mengurangi jam atau hari kerja mereka dan pensiun secara bertahap selama beberapa tahun. Praktek ini disebut penarikan bertahap. Atau, mereka dapat berpindah perusahaan atau pindah ke bidang pekerjaan baru, sebuah praktik yang disebut bridge Employment (Czaja, 2006). Saat ini, sebagian besar lansia Amerika tetap aktif di dunia kerja setelah pensiun (Cahill et al. , 2013). Tidak mengherankan jika mereka yang sudah pensiun atau memasuki masa pensiun sebagian umumnya lebih tertarik menjadi sukarelawan (Tang, 2016). b. Pekerjaan dan Pensiun Sebelum tahun 1985, rata-rata usia pensiun terus menurun. Sejak itu, trennya berbalik dan usia pensiun terus meningkat. Namun, sebelum benar-benar menghentikan kehidupan kerjanya, individu dapat mengurangi jam atau hari kerja mereka dan pensiun secara bertahap selama beberapa tahun. Praktek ini disebut penarikan bertahap. Atau, mereka dapat berpindah perusahaan atau pindah ke bidang pekerjaan baru, sebuah praktik yang disebut bridge Employment (Czaja, 2006). Saat ini, lansia Amerika tetap aktif di pasar tenaga kerja setelah pensiun (Cahill et al., 2013). Tidak mengherankan jika orang-orang yang sudah pensiun atau memasuki masa pensiun sebagian umumnya lebih tertarik menjadi sukarelawan (Tang, 2016). Kadang-kadang orang terus bekerja untuk menjaga kesehatan fisik dan emosional, serta peran pribadi dan sosialnya, atau hanya karena mereka menikmati rangsangan pekerjaan (Czaja, 2006; Sterns dan Huyck, 2001). Yang lain bekerja terutama karena alasan keuangan. Misalnya, data menunjukkan bahwa penerapan Undang-Undang Perawatan Terjangkau, yang menjadikan layanan kesehatan komprehensif lebih terjangkau bagi banyak orang, menyebabkan peningkatan jumlah pensiun dini dan peningkatan pekerjaan paruh waktu.waktu (yang umumnya tidak termasuk tunjangan kesehatan) di kalangan perempuan dan laki-laki berpenghasilan rendah (Heim & Lim, 2017).Seperti halnya di banyak bidang kehidupan, pandemi COVID-19 memengaruhi kebiasaan pensiun. Perekonomian AS secara keseluruhan menghadapi kehilangan pekerjaan secara besar-besaran pada awal tahun 2020, dan kaum lanjut usia (lansia) juga tidak terhindarkan (Baily dkk. , 2020). Penurunan lapangan kerja paling besar terjadi pada pekerja berpenghasilan rendah, perempuan, BIPOC, dan pekerja tanpa pendidikan perguruan tinggi (Davis, 2021). Secara keseluruhan, 15 persen pekerja berusia lanjut, atau sekitar 5,7 juta orang dewasa berusia 55 tahun ke atas kehilangan pekerjaan pada musim semi tahun 2020 (Gould, 2021). Selain itu, banyak pekerja berusia lanjut, yang menghadapi risiko tinggi kematian akibat COVID-19, peningkatan stres di tempat kerja, dan gangguan akibat pandemi, memilih untuk pensiun. Tren ini terutama terlihat pada kelompok berpenghasilan rendah dan tinggi (Davis, 2021). Pada bulan Desember 2021, jumlah angkatan kerja berkurang 3,8 juta dibandingkan sebelumnya pandemi, dengan hampir separuh pekerja berusia 55 tahun ke atas “hilang” (Davis & Radpour, 2021). c. Kerja dan perkembangan kognitif "Gunakan atau hilangkan" berlaku untuk pikiran dan tubuh. Pekerjaan dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Pilihan karir dapat mempengaruhi proses ini pada orang dewasa secara interaktif. Misalnya, orang dengan kemampuan kognitif tinggi cenderung mencari, memperoleh, dan menjadi ahli dalam pekerjaan yang pada dasarnya kompleks, pekerjaan yang memerlukan pemikiran dan penilaian independen. Di sisi lain, pekerjaan yang kompleks dikaitkan dengan retensi keterampilan kognitif Kemampuan kognitif ini memungkinkan orang dewasa yang lebih tua untuk terus bekerja seefektif orang dewasa yang lebih muda, bahkan dalam menghadapi penurunan proses kognitif yang berkaitan dengan usia secara umum (Fisher et al., 2017). Pekerjaan tidak boleh ditafsirkan secara tradisional, dan hal yang sama berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam tugas-tugas rumah tangga yang kompleks, seperti merencanakan anggaran atau melakukan perbaikan yang rumit, seperti memasang pipa baru (Caplan dan Schooler, 2006). Terlepas dari detailnya, orang yang sangat terlibat dalam tugas kompleks atau gaya hidup yang merangsang kognisi cenderung menunjukkan kinerja kognitif yang lebih baik dan lebih tinggi.itu sedikit menurun dibandingkan dengan rekan-rekannya seiring bertambahnya usia (La Rue, 2010). Keterbukaan terhadap pengalaman (OTE)—sebuah variabel kepribadian—juga mempengaruhi kinerja kognitif dari waktu ke waktu (Sharp et al., 2010). Orang yang memiliki OTE tinggi lebih mungkin untuk mempertahankan keterampilan, termasuk kefasihan, memori episodik, dan keterampilan verbal (Curtis et al., 2015). Demikian pula, orang yang terus-menerus mencari peluang yang lebih menantang cenderung tetap waspada secara mental (Avolio & Sosik, 1999). Menarik untuk dicatat bahwa hubungan ini bisa ini bekerja dua arah. Orang dewasa lanjut usia yang berpartisipasi dalam program pelatihan kognitif selama 30 minggu menunjukkan peningkatan keterbukaan terhadap pengalaman di akhir pelatihan (Jackson et al., 2012).Hal ini menunjukkan bahwa jika pekerjaan, di tempat kerja dan di rumah, dapat dibuat lebih bermakna dan menantang, maka akan lebih banyak orang dewasa yang dapat mempertahankan atau meningkatkan kemampuan kognitif mereka. Hal ini tampaknya terjadi sampai batas tertentu. Peningkatan kemampuan kognitif yang diamati pada kelompok usia yang lebih tua mungkin mencerminkan perubahan di tempat kerja yang menekankan kemampuan beradaptasi, inisiatif, dan pengambilan keputusan yang baik. Di sisi lain,Pekerjaan juga bisa menjadi pemicu stres yang signifikan, terutama ketika masalah keuangan mendominasi (lihat Penelitian Tindakan). d. Pendidikan Orang dewasa Perkembangan teknologi dan perubahan pasar tenaga kerja seringkali menciptakan kebutuhan akan peningkatan pelatihan atau pendidikan. Pada tahun 2016, 23,6 persen orang dewasa Amerika berusia 45 hingga 54 tahun dan 20,2 persen orang dewasa berusia 55 hingga 65 tahun menyelesaikan program pengalaman kerja atau kredensial (Pusat Statistik Pendidikan Nasional, 2018). Keterampilan teknologi semakin diperlukan untuk sukses di dunia modern dan merupakan komponen kunci dari pendidikan kerja orang dewasa. Dengan pengalaman, orang paruh baya dapat melakukan tugas-tugas komputer seperti halnya orang muda (Czaja, 2006), terutama jika mereka memiliki pengaruh positif dan rasa kontrol yang tinggi, serta kecepatan psikomotorik. Pendidikan keaksaraan merupakan persyaratan dasar untuk berpartisipasi tidak hanya di dunia kerja, namun juga di semua aspek masyarakat modern yang didorong oleh informasi. Pada akhir abad ke-20, seseorang dengan pendidikan dasar kelas empat dianggap melek huruf; Saat ini, ijazah SMA saja sudah cukup. Di seluruh dunia, 773 juta orang dewasa, sebagian besar di Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan, buta huruf. Dua pertiga orang dewasa buta huruf seluruh dunia adalah perempuan. Buta huruf terutama menimpa perempuan di negara-negara berkembang, dimana pendidikan pada umumnya dianggap tidak penting bagi mereka. BAB IV DAFTAR PUSTAKA Baltes, P. B., & Staudinger, U. M. (2016). Wisdom: A metaheuristic to orchestrate mind and virtue toward excellence. American Psychologist, 55(1), 122-136. Krampe, R. T., & Baltes, P. B. (2018). Maintenance and decline of motor and cognitive performance in old age: Aspects of behavioral plasticity and training. Psychology and Aging, 15(2), 410-427. Lachman, M. E., Teshale, S., & Agrigoroaei, S. (2018). Midlife as a pivotal period in the life course: Balancing growth and decline at the crossroads of youth and old age. International Journal of Behavioral Development, 42(1), 131-138. Papalia, D. E., & Martorell, G. (2023). Experience human development (14th ed.). McGraw-Hill. Papalia, D. E., & Martorell, G. (2024). Experience human development (15th ed.). McGraw-Hill. Salthouse, T. A. (2019). Consequences of age-related cognitive declines. Annual Review of Psychology, 50, 201-226. Santrock, J. W. (2020). Life-span development (17th ed.). McGraw-Hill.