ETH 101 Islamic Ethics 101 Module 1 PDF
Document Details
Uploaded by ReadyComposite2836
Islamic Online University
Bakr bin Abdillaah Abu Zayd
Tags
Summary
This document is a module from a Bachelor of Arts in Islamic Studies course. It details Islamic ethics as per the teachings of Islamic Online University, providing translations and perspectives on the subject. It discusses the historical context and impact of key events, focusing on ethical considerations within Islam.
Full Transcript
© Islamic Online University ETH 101 Islamic Online University Bachelor of Arts in Islamic Studies ETH 101 Islamic Ethics 101...
© Islamic Online University ETH 101 Islamic Online University Bachelor of Arts in Islamic Studies ETH 101 Islamic Ethics 101 (Adab-adab Islami 101) Module 1 Diterjemahkan oleh: Tim Penerjemah IOU 1 © Islamic Online University ETH 101 Alhamdulillahi rabbil alamin washolatu wasalamu ala rasulil karim wa ala ali wa ashhabihi wamanistanna bi sunnati ila yaumiddin. Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad (shalallahu alaihi wassalam), dan kepada mereka yang mengikuti jalan kebenaran sampai hari akhir. Mata Kuliah ini merupakan Mata Kuliah Prasyarat di Islamic Online University dalam rangka menempatkan mahasiswa di jalur yang benar agar mengetahui dan dapat mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh IOU, dan juga (semua) ilmu pengetahuan secara umum dari semua lembaga pembelajaran. Ada etika yang harus diikuti agar dapat memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan. Naskah Mata Kuliah ini adalah 'Hilyatul Taalibul Ilm' atau 'Perhiasan Sang Pencari Ilmu' diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai 'Etiquettes of Seeking Knowledge' oleh Bakr bin Abdillaah Abu Zayd. Bakr Abu Zayd lahir pada tahun 1944 dari suku Zayd, di tengah-tengah Najd, kota Shaqra, dan meninggal di Riyadh pada tahun 2008. Beliau menyelesaikan Pendidikan Menengah dan belajar di Riyadh. Kemudian lulus dari College of Shari'ah di Ibn Saud University serta menyelesaikan gelar Master dan PhD-nya disana di Higher Institute of Law. Beliau tidak duduk di kelas (halaqah), tetapi belajar secara pribadi dari banyak Ulama terkemuka seperti Mohammed al Ameen Ashanqiti di Madinah. Beliau mempelajari banyak buku dari Ulama tersebut dan membacakan kembali buku-buku tersebut kepada gurunya. Karya- karya klasik dalam bahasa Arab dibacakan kembali oleh siswa kepada guru mereka; mereka 2 © Islamic Online University ETH 101 kemudian diberikan penjelasan, dan pertanyaan-pertanyaan diajukan oleh mereka. Kemudian sang Guru memberikan ijazah kepada siswanya, sebagai izin untuk mengajarkan kembali naskah tersebut kepada orang lain. Beliau juga belajar di bawah bimbingan Syaikh bin Baz. Menyelesaikan gelar BA sebagai mahasiswa eksternal, demikian pula dengan gelar Ph.D nya. Beliau kemudian dipercaya untuk menduduki jabatan Hakim dan diangkat sebagai anggota Mahkamah Agung dan Dewan Ulama Senior, serta terpilih sebagai Perwakilan Majelis Internasional Hukum Islam dan menunjuk 'Presiden' nya. Beliau juga telah menulis 66 buah judul buku. Karya-karyanya yang terkenal: Aqidah Abee Zayd-Ulama Maliki 'La Jadidah fii Ahkami as-Salah' -"Tidak Ada yang Baru dalam Tata Cara Shalat", menyoroti hal-hal ekstrim yang sering dilakukan orang ketika shalat, yang kemudian mengarah menjadi tata cara yang aneh dan tidak biasa. 'Atahdits Fii Maa Lahu Sihhu Fihi Fima Ahadits', atau "Hadits-hadits Palsu yang Sering Diriwayatkan." Pengantar Kata Pengantar ini mengacu pada periode akhir tahun tujuh puluhan atau awal tahun delapan puluhan di mana sebuah revolusi besar terjadi. Insiden pertama pada kurun waktu tersebut adalah Revolusi Iran, ketika Khomeini berkuasa setelah menggulingkan Shah. Sebuah 3 © Islamic Online University ETH 101 perubahan besar terjadi dalam Islam Syi'ah. Tidaklah diperbolehkan bagi pemegang kekuasaan atau pemerintahan untuk berada di dalam Syiah, hingga kemunculan Imam Mahdi. Mereka telah meninggalkan urusan pemerintahan kepada siapa pun yang mau mengambil tampuk pemerintahan. Kemudian, Khomeini mengembangkan filsafat baru yang disebut 'Wilaytaul Faqeeh' atau 'Perwalian Ulama', dan mengembangkan sebuah pemikiran rasional teokrasi, di mana negara diawasi oleh para ulama terkemuka dunia Islam, tetapi sesungguhnya mereka adalah Ulama terkemuka Iran. Hal ini menjadi pemicu berbagai gerakan (Islam) di berbagai belahan dunia lainnya: Revolusi Islam di Iran Khomeini menyebutnya sebagai Revolusi Islam dan bukan sebagai Revolusi Syi'ah, meskipun kenyataannya berbeda. Tujuannya adalah untuk membuka hati orang-orang agar menerima pemikirannya. Kaum Muslim pada waktu itu begitu terpengaruh oleh gagasan bahwa sebuah Negara Islam bisa terwujud. Sebuah revolusi dalam skala ini kurang dipertimbangkan. Shah Iran pada saat itu terlalu disibukkan oleh kekayaannya, mengendalikan negara dan hal-hal semacam ini menjadi terabaikan. Kelompok Komunis, demokratis dan elemen keagamaan Khomeini berhasil merebut kendali dan mencetuskan revolusi. 1980 Insiden Mekah-Penyerangan Ka'bah 4 © Islamic Online University ETH 101 Ka'bah diserang setelah (musim) haji pada tahun itu. Banyak yang berspekulasi bahwa ini adalah gerakan yang didalangi oleh Syi'ah, sementara yang lainnya berspekulasi bahwa ini didalangi CIA, karena adanya pembakaran beberapa kedutaan di berbagai negara, sehingga mereka mempercayai bahwa Barat berada di belakang semua ini. Sesungguhnya, sebuah gerakan yang terdiri dari mahasiswa dari Universitas Madinah dan beberapa murid Syekh Nashirudin Al Albani dan Syekh Bin Baaz, yang didalam diri mereka ada keinginan untuk menerapkan Islam, akan tetapi mereka memisahkan diri, dan Setan mampu menghembuskan sebuah gagasan ke dalam kelompok tersebut karena mereka adalah sebuah kelompok. Sebagai individu mereka tidak terjebak dalam perangkap Setan, namun sebagai kelompok mereka bisa melaksanakan sebuah koordinasi. Mereka membangun keinginan untuk menerapkan syari'ah. Mereka pergi ke kota dan mengambil alih dalam rangka (mewujudkan keingan untuk) menerapkan syari'ah. Dan mereka berbicara secara negatif melawan pemerintah Arab Saudi atas korupsi atau kerusakan yang telah mereka (pemerintah) buat. Juhaiman bin Muhammad bin Saif al Utabi, mantan anggota Garda Nasional, adalah orang yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Saudara perempuannya bermimpi bahwa dia akan menikah dengan 'Imam Mahdi' yang bernama Muhammad ibn Al Abdillaah Qahtani , seorang mahasiswa tahun ketiga di Ibn Saud University, yang juga seorang Imam dan Khatib. Orang ini sangat populer dan jalanan akan dipenuhi oleh Ummat yang ingin mendengarkannya berceramah pada Khutbah Jumat. Kemudian orang ini dibatasi oleh pemerintah, sebelum akhirnya dilarang sepenuhnya dari memberikan ceramah di depan umum. Dia akhirnya hanya bisa memberikan ceramah melalui rekaman. Akhirnya Ia memutuskan untuk pindah ke Madinah, dan orang-orang mengarahkannya untuk pindah ke sebuah desa di tengah padang pasir, di mana 5 © Islamic Online University ETH 101 Juhaiman (dan keluarganya) berkumpul. Saudara perempuan Juhaiman kemudian mengenalinya sebagai, 'Imam Mahdi' yang dinantikan. Pada awalnya orang tersebut menolak gagasan ini, karena ia adalah seorang mahasiswa syariah. Namun memang ada kesamaan-kesamaan lain seperti, ibunya bernama Aminah, dan ia dari suku Qahtan, serta beberapa ciri lainnya. Kedustaan yang digaungkan berulang-ulang kemudian mulai terdengar seperti sebuah kebenaran. Pemikiran yang menghidupkan hadits-hadits tentang Imam Mahdi, membuatnya menerima gagasan itu. Mereka pergi ke Ka'bah dan mengambil bai'at. Orang berbondong-bondong datang hingga dari negeri yang jauh seperti Afghanistan, untuk berbai'at. Dan hal ini akhirnya menjadi sebuah pemberontakan dan banyak orang yang kehilangan nyawa. Orang ini akhirnya berhasil ditangkap dan dieksekusi. Kudeta di Mesir Pada tahun 1981 di Mesir, Jama'ah Al Islamiyah dan beberapa cabang jihad dari Ikhwan, yang telah mengambil alih,-Fidel Castro telah menangkap gagasan kudeta (dari gerakan ini)- berniat untuk menyandera penguasa dan mengeksekusinya untuk merebut kekuasaan dan membuat perubahan dalam pemerintahan. Mereka membunuh Presiden Sadat dan nyawa sejumlah wisatawan melayang, sehingga membuat negara bertekuk lutut, karena Mesir sangat tergantung pada pariwisata. Mereka berharap bahwa setelah mereka melakukan itu, orang akan mendukung mereka, namun mereka keliru. Khalid as Nasaiboli ditangkap, dialah dalang di balik semua kejadian ini, dan kudeta pun berakhir. Pembantaian Orang Suriah di Ham oleh Hafidz Assad 6 © Islamic Online University ETH 101 Pada tahun 1982 , di Suriah , di sebuah kota bernama Hama , mereka mengambil alih kota dan mengusir Baatsis , partai yang berkuasa , yang mirip dengan komunisme , di bawah pimpinan Hafidz Assad , ayah dari Bashar Assad. Mereka mampu menghancurkan pemberontakan, akan tetapi ribuan nyawa menjadi korban. Pemboman Kedutaan AS Pada tahun 1983, kedutaan AS di Beirut dibom, diluluhlantakkan. Tujuh belas orang menghilang dan 63 orang tewas, diikuti dengan serangan terhadap Kedutaan Besar Prancis di Kuwait. Semua insiden ini terkait gerakan Islam dengan kekerasan. Inilah yang dimaksudkan oleh Bakr Abu Zayd, kebutuhan untuk mengendalikan dan mengawasi gerakan kebangkitan yang sedang berlangsung di dunia Muslim. Ada pihak-pihak yang pada akhirnya menunggangi dan mengarahkan gerakan ini ke jalur yang tidak Islami. Dan semua ini telah ada pendahulunya dari kaum Khawarij, dimana beberapa pengikutnya memisahkan diri dari pasukan Ali dan berbalik melawan beliau dan Muawiyah ( Radhi Allahu anhu ). Kelompok yang memisahkan diri akhirnya membantai umat Islam atas nama Islam yang murni serta mengkafirkan orang Muslim. Mengucilkan kaum Muslim sendiri adalah sebuah cara yang berbahaya, dimana pada akhirnya ekstrimisme akan masuk. Ta'allum adalah istilah klasik untuk 'belajar', namun taa'alum bermakna lain, artinya bahwa seseorang yang belajar sesungguhnya tidak benar-benar belajar (menyerap ilmunya). 7 © Islamic Online University ETH 101 Tawaakul adalah seolah-olah berserah kepada Allah tanpa adanya usaha/ikhtiar, sedangkan tawakkal adalah berserah diri-yang sesungguhnya-kepada Allah. Bakr Abu Zayd menulis tesis tentang taa'alum, yakni orang-orang yang menyesatkan gerakan karena kebodohan. Alasannya adalah kepedulian beliau terhadap semangat Ummat di era 80-an, sehingga tampknya semua orang ingin menjadi bagian dari gerakan ini, tanpa memiliki pengetahuan yang benar dan hanya berdasarkan dorongan emosional belaka. Mereka akhirnya bereaksi seperti terhadap sebuah film yang menyerang Nabi (Salla Allahu alaihi wa Sallam) yang sesungguhnya bukanlah sebuah karya. Buku-buku pertama Dr. Bilal Philips yang diterbitkan berkisar seputar masalah Syiah. Beliau memiliki akses kepada Mu'alaf Barat, yang tidak paham tentang Syiah, sehingga (tanpa disadari) mereka memeluk Syi'ah (bukan Islam-pent.). Tujuan utama dari dakwah Syiah, adalah menggiring Muslim kepada Syi'ah. Oleh karenanya, Dr. Bilal menulis buku-buku ini untuk membuka kedok Syi'ah dihadapan para Mualaf, di antara buku tersebut adalah 'The Devils Deception of the Shia'. Buku ini adalah buah karya Ibnu Jauzi yang diterjemahkan. 'The Mirage in Iran' (Fatamorgana di Iran), adalah sebuah terjemahan dari buku buah karya seseorang dengan nama pena Ahmad al Atsani. Peranan Syiah dalam perjuangan Umat Muslim menghadapi perang salib menjadi sorotan. Syiah telah bersekutu dengan orang Mongol dan membantu mereka untuk mengambil alih teritorial Muslim, dengan demikian Syi'ah telah memainkan peran penting dalam membantu penghancuran Umat Muslim dan bekerjasama dengan Non-Muslim. 8 © Islamic Online University ETH 101 ' Al Khoemini bayna al I'tida Watatarruf' - ' Khomeni : a Fanatic or Moderat ' ? adalah sebuah buku yang menunjukkan bahwa ia mempromosikan ide-ide dasar yang sama dari Syi'ah. Mereka berfokus pada intermediasi dimana para imam yang menjadi perantara antara Allah dan manusia, berdoa kepada Hasan, Husein, Ali dan Fatimah, dan menyembah mereka dengan mengatasnamakan beribadah kepada Allah. Masalah-masalah dalam Fiqih juga membedakan mereka dari arus utama Islam, meskipun perbedaan-perbedaan juga dapat terjadi diantara berbagai aliran pemikiran dalam arus utama Islam. Masalahnya, perbedaan utama mereka bukanlah karena, misalnya, mereka shalat dengan tangan di samping, atau nikah mut'ah, atau sodomi dan lainnya. Masalah utama terletak pada konsep ketuhanan dan menyeru kepada selain Allah. Dan permasalahan ini tidak terbatas hanya terjadi pada Syi'ah, namun kerap terjadi pada mereka yang menganggap diri mereka Muslim Sunni. Kaum Sufi percaya bahwa ada orang- orang suci boleh diseru untuk beribadah kepada Allah. Sufisme dan Syiah adalah sisi lain dari koin yang sama. Masalah utama dengan tasawuf adalah intermediasi -menyeru kepada selain Allah - Awliya , orang-orang kudus, quthb, awtad, dll., mengklaim bahwa kasih karunia Allah datang melalui mereka, dan kita harus datang melalui mereka. Tujuan Utama Buah Karya Ini: Syaikh Bakr Abu Zayd menulis dalam bukunya: Untuk memandu mereka yang sedang menimba ilmu, namun kemudian mengikuti orang yang salah dan mendekati pengetahuan dengan cara yang salah. Seorang yang berilmu bisa saja membuat kesalahan dan karena itulah orang-orang menolak semua hasil karyanya. Jika kita ingin 9 © Islamic Online University ETH 101 hanya mengikuti yang sempurna, maka kita harus mengikuti Nabi (Salla Allahu alaihi wa Sallam) yang sempurna dalam perspektif agama. Bahkan Abu Bakar dan khalifah saleh lainnya juga tak luput dari kesalahan. Kita memaklumi kesalahan para Ulama, Tabi'in dan para Imam besar. Imaam Maalik pernah ditanya, "Jika seseorang mengikuti Sahabat dan segala yang dilakukannya, apakah ia akan berada di jalur yang benar? Imam Malik menjawab, Tidak! Kecuali Sahabat tersebut benar-benar berada dijalan yang benar; tidak cukup bahwa ia adalah seorang Sahabat lalu orang mengikutinya dalam segala hal termasuk kesalahannya. Para Imam terkemuka membuat pernyataan ini, janganlah mengikuti siapa pun dengan membabi buta. Imam Syafi'i dan Imaam Maalik berkata, "Jika hadits itu terbukti otentik maka sesungguhnya itulah madzhab/pendapat saya." Syaikh Bakr Abu Zayd melanjutkan untuk membahas mengapa sedemikian penting untuk memperhitungkan peristiwa yang terjadi selama kurun waktu tersebut, yang mana banyak insiden (serupa) yang terjadi berulang-ulang. Periode tersebut adalah masa dimana dunia Muslim sedang mencari perubahan. Ada orang-orang dan mereka yang tertarik untuk mempelajari dan mengenal agama, namun juga ada orang-orang yang mempromosikan pemahaman yang menyimpang dari Islam dan menyimpang dari apa yang telah diajarkan sebagai jalan kebenaran dari generasi sebelumnya. Subhaanaka Allahumma wa bihamdika asyhahadu an laailaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik. 10 © Islamic Online University ETH 101 Islamic Online University Bachelor of Arts in Islamic Studies ETH 101 Islamic Ethics 101 (Adab-adab Islami 101) Module 2 Diterjemahkan oleh: Tim Penerjemah IOU 1 © Islamic Online University ETH 101 Alhamdulillahi rabbil alamin washolatu wasalamu ala rasulil karim wa ala ali wa ashhabihi wamanistanna bi sunnati ila yaumiddin. Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad (shalallahu alaihi wassalam), dan kepada mereka yang mengikuti jalan kebenaran sampai hari akhir. Mata kuliah ini merujuk pada naskah karya Syaikh Dr. Bakr Abu Zayd. Periode 1970-an dan awal 80-an merupakan masa yang penuh dengan pergolakan. Periode ini berawal secara politik di Iran. Hal ini disebut-sebut sebagai revolusi Islami, meskipun pada kenyataannya gerakan kebangkitan itu sesungguhnya adalah sesuatu yang berbeda. Syaikh (Dr. Bakr Abu Zayd) menulis buku ini untuk melindungi orang-orang yang termotivasi oleh peristiwa di Iran. Di antara mereka ada beberapa yang memang bersungguh-sungguh dalam upayanya mencari ilmu serta yang lainnya. Universitas Islam di Madinah memiliki jangkauan yang luas dan juga (telah berhasil-pent.) menggalakkan studi tentang Islam. Tetapi beberapa murid dari para ulama yang memiliki pengaruh yang cukup dominan dan kuat, seperti Syekh bin Baz dan Syaikh Nasiruddin Al Albaani dan lain-lain, telah termotivasi berdasar pada emosi sehingga terdorong ke arah jalan yang salah. Dr. Bakr Abu Zayd kemudian menulis yang topiknya adalah tentang bagaimana orang bisa tersesat. Dan beliau juga menulis sejumlah risalah. Beliau melihat kebutuhan untuk ditulisnya sebuah naskah berkenaan dengan periode tersebut. Konsep tentang Adab dan Akhlaq diabadikan dalam pernyataan Nabi صلى هللا عليه وسلم "Sesungguhnya aku telah dikirim untuk menyempurnakan karakter moral/akhlak (seorang muslim-pent.). Beliau menunjukkan seperti apakah adab yang baik dan apa yang harus dilakukan 2 © Islamic Online University ETH 101 berkaitan dengan pengetahuan. Ini adalah alasan (pokok) dari semua ajaran Islami yang diturunkan. Itulah esensi dari Islam. Adab yang benar adalah bahwa kita hanya menyembah Allah saja dan bahwa kita mengikuti semua ajaran Islam yang telah diturunkan. Esensinya dimulai dari hubungan seseorang dengan Allah. Meliputi bagaimana kita harus bersikap terhadap Allah, dan seperti apa adab yang semestinya. Dan bahwa ibadah kita harus ditujukan hanya kepada Allah saja. Kita harus mengarahkan semua ibadah kepada-Nya, mengetahui bahwa Dia benar-benar berbeda dari ciptaan-Nya. Inilah adab yang semestinya. Jika kita berpikir bahwa Dia seperti ciptaan-Nya, maka kita akan berpikir bahwa tidak mengapa bila kita menjadikan berhala sebagai Tuhan. Berkaitan dengan ibadah, bila kita tidak mengetahui siapa sesungguhnya Allah, maka hal ini akan berakhir dengan tata cara yang salah dalam menyembah-Nya. Sebagaimana halnya dengan kaum Kristiani. Mereka tulus dalam menyembah Allah, tetapi mereka tidak tahu siapa Allah sesungguhnya, meskipun mereka berpikir bahwa mereka tahu. Mereka berpikir Tuhan adalah seorang pria, sehingga mereka akhirnya menyembah seorang pria. Ini adalah adab yang buruk dan tidak bermoral. Walaupun demikian adanya, mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang baik. Syari'ah mengajarkan tentang adab tertentu dalam berurusan dengan sesama manusia. Kita tidak menipu, berlaku curang, menyuap atau melakukan hal-hal yang semacamnya. Ini adalah hal-hal yang dianggap sebagai etika buruk terhadap sesama manusia; yang berakibat menentang syariat. Syari'ah memiliki cakupan yang luas dan mencakup banyak hubungan, antara suami - istri, hubungan orang tua-anak, bahkan juga mecakup hubungan dengan dunia yang telah diciptakan dan telah ditundukkan (oleh Allah subhanahu wa ta'ala-pent.) kepada kita. Allah telah menyebutkan bahwa semua makhluk lemah (telah ditundukkan-pent.) terhadap kita. 3 © Islamic Online University ETH 101 Dan Nabi صلى هللا عليه وسلمtelah menunjukkan bagaimana Adab kita seharusnya terhadap makhluk/ciptaan Allah. Berburu untuk olahraga atau bersafari untuk menembak gajah dan badak menjadi sebuah gaya hidup orang-orang kaya. Ini tidak bermoral. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa Rasulullah صلى هللا عليه وسلمbersabda : "Jangan membuat sesuatu yang bernyawa sebagai target" (Sahih Muslim Bab 13 Buku 021 , No. 4813). Dalam perspektif Islami, hal semacam ini adalah haram. Hewan-hewan ini diciptakan bukan untuk olahraga (dengan cara diburu-pent) atau sebagai sasaran tembak. Kita menyembelih mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan. Kita boleh memanfaatkan daging mereka, kulit atau bulunya untuk melindungi diri kita sendiri. Ada adab- adab tertentu berkenaan dengan hal ini. Islam meletakkan perspektif tertentu dalam segala hal. Orang-orang ini menembaki hewan, lalu setelah membahayakan spesies, mereka akhirnya berhenti dan meminta orang lain untuk berhenti melakukan olahraga ini (menembak/berburu- pent.) juga. Inti dari ajaran Islam salah satunya adalah moralitas/akhlak, tata cara bagaimana kita menjalani hidup kita, dalam berhubungan dengan Allah, manusia, dan ciptaan-Nya. Para ulama mengidentifikasi apa yang harus dilakukan untuk menjaga prinsip-prinsip moral, dan hal-hal lain yang harus dipelihara untuk mengatur prinsip-prinsip tersebut. Syaikh Bakr Abu Zaid juga menyebutkan beberapa adab dari pengemban kitab suci al-Qur'an, yakni para penghafal Al- Qur'an. Adab Penghafal Al-Qur'an 4 © Islamic Online University ETH 101 Unsur-unsur utama didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Orang terkadang berlebihan dalam menetapkan ketentuan, sehingga akhirnya menjadi sesuatu yang berbau tradisi dan adat kebiasaan. Beberapa budaya mewajibkan untuk menutup kepala ketika membaca atau menghafal Al-Quran. Hal ini mungkin baik ditinjau dari segi pembentukan identitas Muslim, untuk membedakan diri dari non-Muslim. Generasi muda muslim pada umumnya tidak dapat dibedakan dengan Non-Muslim, bahkan walaupun ia telah berjanggut, karena Non-Muslim pun banyak yang berjanggut. Tapi penutup kepala (mis.: peci-pent.) akan membuatnya dikenali sebagai seorang Muslim. Dalam budaya Hanafi (madzhab-pent.) di kepulauan India, mereka biasanya mengenakan penutup kepala (peci-pent.) atau sehelai kain, dan mereka telah berlebihan dengan menyatakan bahwa tanpa mengenakannya maka doa atau tilawah Quraan tidaklah sah. Kita harus melestarikan identitas seorang Muslim, dan melakukannya secara lahiriah adalah mudah, namun untuk menetapkan identitas Muslim tersebut dalam hati tidaklah mudah. Demikian pula, ada adab-adab tertentu bagi seorang Muhaddits (ulama hadits). Ketika mereka duduk dalam halaqah, mereka membacakan kembali (materi/kitab-pent.) kepada Guru mereka, guna memantapkan apa yang telah dihafal. Cara ini berperan khusus dalam melestarikan literatur hadits. Metode ini dilakukan untuk memastikan bahwa informasi palsu tidak disampaikan secara tidak sengaja. Jika Anda menemukan sebuah kitab hadits, misalnya, Anda tidak diizinkan untuk meriwayatkannya. Anda hanya boleh menginformasikan bahwa Anda menemukannya (dalam kitab tersebut-pent.). Jadi, prinsip-prinsip dasar hak cipta telah ada jauh sebelum hal ini diperkenalkan di Barat. Adab Seorang Mufti 5 © Islamic Online University ETH 101 Ada etika bagi seorang Qadhi (hakim), atau Mufti atau orang-orang yang akan melakukan ifta (membuat peraturan/hukum Islam). Beberapa adab didasarkan pada hadits, misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Abdur Rahman bin Abi Bakra. Abu Bakra menulis kepada anaknya yang berada di Sijistan : "Jangan menilai masalah yang terjadi diantara dua orang ketika Anda marah, karena aku mendengar Rasulullah shalallaahu 'alaihi wassalam bersabda, "Seorang hakim tidak boleh menghakimi antara dua orang, saat ia berada dalam suasana hati yang dipenuhi amarah." [Sahih Bukhari Volume 9, Buku 89, No. 272]. Hal ini untuk memastikan bahwa keputusan yang dibuat mendekati kebenaran, jika tidak, maka keputusan yang diambil bisa jadi keluar dari konteksnya. Dan sangatlah penting untuk mengetahui konteks yang sesungguhnya. Adab Seorang Muhtasib The Muhtasib adalah semacam polisi moral, yang merupakan sekelompok orang tersistemasi yang dipekerjakan untuk memastikan bahwa moralitas masyarakat tetap terjaga. Toko-toko harus ditutup pada waktu shalat, dan orang-orang diharuskan pergi ke Masjid. Mereka akan mengecek dan mengingatkan orang-orang untuk pergi shalat. Terkadang orang-orang ini mungkin menjadi terlalu ekstrim, sehingga mereka mulai mengejar orang-orang dengan tongkat dan (tanpa sengaja-pent.) menggiring serta Non-Muslim untuk pergi ke masjid. Adab Seorang Pencari Ilmu Prinsip-prinsip ini ada, untuk memastikan bahwa mereka menyerap pengetahuan dan juga menerapkannya. Sebagiannya adalah pengajaran dan sebagian lagi adalah penerapannya. Di 6 © Islamic Online University ETH 101 masa lampau, para Ulama biasanya akan mendiktekan pelajaran untuk para pencari ilmu. Beberapa Guru di Masjid Nabawi mengajarkan sebuah kitab karya Zarnuji yang merupakan seorang Ulama dari abad ke-13. Kitab tersebut berjudul, "Mengajarkan kepada Murid Cara Belajar." Ini adalah buku populer yang biasanya dibacakan sebelum kelas dimulai, sebagai dasar pembelajaran. Mereka akan membacakan tentang bagaimana mereka akan mempelajari tujuan pengetahuan. Misalnya, tentang bagaimana menghadapi seorang Guru yang membuat kesalahan ketika ia meriwayatkan sesuatu. Apakah Anda harus berpaling dari menuntut ilmu darinya? Bagaimana seharusnya seorang murid menanggapi pelajaran darinya? Ini adalah hal-hal yang sangat penting untuk anak-anak, terutama bagi anak-anak Muslim. Harus ada petunjuk yang jelas tentang bagaimana seharusnya mereka membawa diri di sekolah. Sayangnya, tidak ada seperangkat pedoman yang jelas. Sebuah panduan yang jelas akan sangat membantu bagi orang tua dan juga guru. Ada adab-adab tertentu tentang bagaimana Anda harus memperlakukan kitab (buku pelajaran-pent.), teman-teman Anda, dan buah dari pengetahuan dalam tahapan kehidupan seorang siswa, yang berikutnya. Ini adalah pedoman yang perlu diikuti oleh seorang siswa yang sukses, dalam rangka untuk memastikan bahwa tujuan pembelajarannya benar-benar berhasil tercapai. Penulis menjelaskan bahwa tujuan akhirnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dan sangat banyak dalil/bukti yang mendukungnya. Dr. Bakr Abu Zayd melanjutkan dengan mengatakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pencari ilmu. Beliau menyebutkan hal-hal apa yang wajib. Dan jika hal-hal ini ditinggalkan, maka murid akan memperoleh sesuatu yang bertolak belakang, yakni karakteristik buruk, yang pada akhirnya akan membatalkan nilai-nilai ilmu. Di antara karakter yang wajib dimiliki (oleh seorang murid-pent.) adalah memiliki niat yang benar, jika tidak, maka segala usaha yang 7 © Islamic Online University ETH 101 dilakukannya (untuk memperoleh ilmu-pent.) akan menjadi sia-sia belaka. Ada banyak aspek lain yang harus dicapai agar pencarian ilmu kita berhasil. Dan ada sejumlah karakteristik buruk yang harus kita hindari. Beliau menyebutkan bahwa di satu sisi terletak karakteristik positif, dan di sisi lainnya adalah karakteristik negatif. Dan hal ini berkisar dari yang wajib hingga yang sunnah sehingga seseorang dapat melindungi diri dari hal yang buruk. Demikian pula sebaliknya, karakter buruk juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Ada hal-hal yang makruh (dibenci) dan hal-hal lain yang mungkin haram. Ada hal-hal yang berlaku untuk semua orang pada umumnya dan ada yang berlaku bagi, khususnya, para pencari ilmu. Ada adab-adab tertentu yang berlaku umum terlepas dari apakah Anda seorang murid, guru, atau dokter. Ada perilaku tertentu yang merupakan adab seorang Muslim. Ada (adab-pent.) yang benar dan ada yang salah, terlepas dari jenis kelamin, usia, ataupun tempat. Ada aturan khusus bagi para pencari ilmu, diatas adab yang berlaku secara umum ini. Dan ada pula yang muncul karena kebutuhan, sebagaimana diketahui oleh manusia pada umumnya; dan Non -Muslimpun juga mungkin mengetahui dan menyatakan hal yang sama. Pengalaman manusia mengajarkan kita hal yang sama. Hal semacam ini termasuk didalamnya, saling menghormati orang lain. Akal sehat kita akan mengatakan kepada kita hal ini. Kita harus menghormati guru kita atau kita tidak akan bisa belajar dari mereka. Anda akan menemukan indikator umum daripada Adab, didalam syariat itu sendiri. Penulis telah mengambil pengalaman dari para ulama di masa lalu, apa yang mereka lakukan untuk menyerap pengetahuan, dan menarik kesimpulan darinya, dan dari orang-orang yang datang sebelum mereka. Salah satu ulama yang mengetahui bahwa fitnah adalah haram, akan 8 © Islamic Online University ETH 101 memutuskan untuk mencegah diri dari jatuh ke dalamnya. Sehingga ia berikrar bahwa setiap kali ia menyadari dirinya telah terjatuh kedalam fitnah, maka ia akan (membayarnya dengan-pent.) berpuasa. Namun tampaknya cara ini kurang berhasil. Kemudian ia mendapat ide bahwa setiap kali ia menyadari dirinya telah melakukan fitnah, maka ia akan beramal sebesar satu dinar, sehngga akhirnya ia bisa mengatasinya. Jadi kita belajar dari pengalaman para ulama dan bagaimana mereka mengendalikan dan melindungi diri mereka, dan apa yang mereka lakukan untuk memastikan bahwa mereka menjalani kehidupan yang diridhai Allah dan bagaimana cara mereka agar tetap berada di jalan menuju surga berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. 9 © Islamic Online University ETH 101 Islamic Online University Bachelor of Arts in Islamic Studies ETH 101 Islamic Ethics 101 (Adab-adab Islami 101) Module 3 Diterjemahkan oleh: Tim Penerjemah IOU 1 © Islamic Online University ETH 101 Alhamdulillahi rabbil alamin washolatu wasalamu ala rasulil karim wa ala ali wa ashhabihi wamanistanna bi sunnati ila yaumiddin. Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad (shalallahu alaihi wassalam), dan kepada mereka yang mengikuti jalan kebenaran sampai hari akhir. Mukadimah dari buku (Hilyatul Thalabul Ílm, karya Bakr Abu Zayd -pent.): Ini adalah Sesi / Pembahasan ke 3 dari Adab Mencari Ilmu. Buku ini merupakan hasil karya Syaikh Dr. Bakr Abu Zayd , dan saya (Dr. Bilal Philips, -pent.) mengolahnya dengan menggunakan komentar dari Syaikh Al-Utsaimin yang beliau tulis sendiri. Komentar dari Shaykh Utsaimin ini dicetak dalam bahasa Arab. Belum diterbitkan dalam bahasa Inggris , tetapi kaset rekamannya dalam bahasa Inggris sudah tersedia. Versi bahasa Inggris dari buku, " The Etiquette of Seeking Knowledge" (Hilyatul Thalabul 'Ilm/ Adab Mencari Ilmu) sudah tersedia online dan juga diterbitkan oleh Hidayah Pers di Birmingham, Inggris. Alasan untuk Mempelajari Adab Mencari Ilmu : Dalam dua sesi / pembahasan pertama sebelumnya, kita sudah memperkenalkan tentang penulis dan masuk ke pembahasan kata pengantar dalam buku tersebut dan kita akan mencoba melihat konteks tentang perlunya mengetahui adab yang tepat bagi mereka yang sedang mencari ilmu. Dengan adanya ledakan jumlah pelajar, mengakibatkan sejumlah pemuda para pencari ilmu yang masuk ke dalam halaqah-halaqah juga terlibat dalam gerakan Islami di 70-an dan di awal 80- an. Beberapa di antaranya dipicu oleh revolusi Iran, penyanderaan Makkah ( beberapa dari insiden- insiden yang telah kita bicarakan sebelumnya ), pengeboman Kedutaan Besar Amerika di Beirut , dan sejumlah insiden yang terjadi dalam periode yang penuh gejolak. Sementara banyak siswa 2 © Islamic Online University ETH 101 berbondong-bondong ke Universitas Islami, terutama di Makkah dan Madinah, dan Riyaadh , dan lainnya di Sudan ; Anda dapat mengatakan bahwa rasa haus akan pengetahuan mulai terbentuk. Sekilas Penulis Buku: Syaikh Bakr Abu Zayd telah mencatat bahwa tanpa pemahaman tentang adab yang tepat dalam mencari ilmu, maka siswa akan cenderung tidak seimbang dan tidak akan dapat memproses informasi yang mereka peroleh, dan memanfaatkannya dengan cara yang terbaik. Jadi, beliau juga menekankan bahwa, biasanya di lingkungan belajar dan pada jaman dahulu, akan ada presentasi tentang adab mencari ilmu kepada siswa. Dan beliau menyebutkan sejumlah buku yang berbeda yang umum digunakan. Beliau menulis buku ini (Hilyatul Thalabul 'Ilm -Pent.) dengan mengumpulkan berbagai naskah, yang dipadukan dengan beberapa penambahan dari beliau sendiri. Ikhtisar Pembahasan: Dalam pembahasan yang ke-3 ini, kita akan masuk ke Bab 1, yang telah diterjemahkan dalam bentuk teks yang tersedia secara online dan diterbitkan di Inggris, "Ettiquette of Seekers Inner Self". Saya menerjemahkannya secara berbeda, sebagai Adab Pribadi Seorang Pencari Ilmu (Ëttiquette of Students Regarding Himself"). Karena ketika Anda melihat teks Arab, ketika berbicara tentang Adab Talib Fi Nafsihi, 'seeking of inner self',-bukanlah terjemahan bahasa Inggris yang tepat. Arti sebenarnya itu sendiri berbicara tentang, seperti apa adab yang harus dimiliki siswa dalam dirinya sendiri dan yang berhubungan dengan dirinya, adab terhadap buku yang akan dipelajarinya, terhadap guru dan teman-teman sekelasnya. Dan seorang siswa harus melihat secara menyeluruh dalam berbagai aspek dimana seorang siswa harus memiliki atau mengikuti adab tersebut, adab-adab tertentu, dalam rangka untuk memaksimalkan manfaat dari studinya. 3 © Islamic Online University ETH 101 Jadi, terjemahannya seharusnya tentang adab dirinya, tentang bagaimana ia harus melihat dirinya sendiri, dan pandangannya tentang ilmu yang diperolehnya. Terakhir, tentang bagaimana seharusnya ia memandang keilmuan itu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri? (1) Pengetahuan adalah Ibadah: Syaikh Bakr Abu Zayd memulainya dengan poin nomor 1, yaitu bahwa pengetahuan adalah ibadah. Sebenarnya istilah "pengetahuan adalah ibadah" diambil dari fatwa Ibnu Taimiyah. Dan, dalam beberapa volume, beliau membahas hal ini dengan panjang lebar, di volume 11 dan 20 dan dalam tiga jilid lain dari Fatawa-nya. Beliau berbicara tentang konsep pengetahuan sebagai salah satu bentuk ibadah. Syaikh Bakr Abu Zayd lebih lanjut menjelaskan bahwa prinsip dasar dari ke semua kaidah yang disebutkan dalam buku ini, serta dasar dari setiap tindakan, terletak pada dalam pemahaman Anda bahwa pengetahuan adalah ibadah. (1) Pengetahuan adalah Ibadah-Dalilnya: Beberapa ulama mengatakan, pengetahuan adalah shalat yang tersembunyi dan ibadahnya hati. Syaikh Al-Utsaimin berbicara tentang hal itu, mengatakan bahwa, tidak ada keraguan bahwa pengetahuan adalah ibadah. Bahkan merupakan yang terbaik dan bentuk ibadah yang mulia. Begitu mulianya sehingga Allah, Yang Maha Tinggi, menyetarakannya dengan Jihad di jalan Allah. Dalam Quraan, Surat At-Taubah, Surat 9 ayat 122 di mana Allah menyebutkan, ْوَمَا كَانَ الْمُ ْؤمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّ ًة ۚ فَ َلوْلَا َنفَ َر مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُ ْم طَائِفَةٌ لِّيَتَ َفقَّهُوا فِي الدِّي ِن وَلِيُن ِذرُوا َقوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَ ْيهِمْ لَ َعلَّ ُهم يَحْذَرُو َن 4 © Islamic Online University ETH 101 "Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (9: 122) Dan, Nabi Muhammad mengatakan: "Bagi siapa saja yang Allah menginginkan kebaikan baginya, (maka) Ia memberinya pemahaman mendalam tentang agama". Terdapat dalam Sahih Al Bukhari dan Sahih Muslim. Jika Allah telah memberkati Anda dengan pemahaman mendalam tentang agama-Nya, yang berarti dalam pengetahuan tentang Syariah termasuk teologi dan disiplin lainnya, maka anggaplah hal ini sebagai kabar gembira dari Allah bahwa Ia menginginkan kebaikan untuk Anda. Imam Ahmad berkata, "Tidak ada yang dapat menandingi pengetahuan, jika niat seseorang adalah benar (lurus)." Dia ditanya "Oh Abaa Abdillaah, bagaimana cara meluruskan niat?" Beliau menjawab "Dengan meniatkan untuk menghilangkan kebodohan dari diri sendiri, dan lain-lain". Untuk poin pertama, tentang konsep pengetahuan adalah ibadah, kita dapat menemukan teks-teks lain yang mendukung konsep ini di mana Nabi Muhammad bersabda, "Mencari ilmu adalah wajib atas setiap muslim". 5 © Islamic Online University ETH 101 Allah telah menjadikannya sebagai sesuatu yang fardhu. Tidak melakukannya, berarti itu adalah haram, berdosa. Jadi hal ini merupakan kewajiban. Oleh karena itu, apa yang telah diwajibkan pada kita akan menjadi salah satu atau bentuk lain dari ibadah. Bila kita memenuhi apa pun yang telah Allah perintahkan, maka hal ini merupakan ibadah. Melakukan apa pun yang diridhai Allah dan menghindari apa pun yang tidak diridhai Allah, inilah esensi dari ibadah. Nabi Muhammad saw juga pernah bersabda, "Barangsiapa mengambil jalan, dalam rangka mencari pengetahuan; Allah akan memudahkan jalan ke surga bagi mereka ". Jadi sekali lagi, jalan apakah yanga akan memudahkan jalan seseorang menuju surga? Itulah jalan ibadah. Namun ini haruslah merupakan bentuk ibadah kepada Allah, inilah cara kita untuk mencapai surga. Pernyataan ini menguatkan pendapat bahwa pengetahuan adalah ibadah, yang berarti bahwa mencari pengetahuan adalah ibadah. Karena, pengetahuan itu sendiri, dalam pernyataan Arab, dinyatakan sebagai "Al-Ilm, Al-Ibadah". Dengan menerjemahkan, itu mengatakan pengetahuan adalah ibadah. Maksudku jika kita mengambil sebuah buku yang berisi pengetahuan, maka apakah buku tersebut adalah ibadah? Buku tersebut adalah sarana ibadah, sehingga mencari pengetahuan lah yang merupakan ibadah. Itulah apa yang mereka maksudkan ketika mereka menggunakan frase "pengetahuan adalah ibadah," berarti ketika seseorang sedang mencari pengetahuan maka ia sedang beribadah. 6 © Islamic Online University ETH 101 Tentu saja, pengetahuan yang utama adalah pengetahuan tentang Allah. Ini merupakan titik awal dan titik utama. Jadi ketika seseorang mencari pengetahuan, maka berarti ia sedang beribadah kepada Allah. Ketika seseorang membaca AlQuran dan membaca tentang Allah, (sepertiga dari Quraan difokuskan pada Allah), maka ia beribadah kepada Allah melalui hal tersebut. Jadi Syekh Bakr Abu Zaid menyebutkan tentang syarat ibadah, karena mencari pengetahuan adalah ibadah, maka ada kondisi standar (syarat-syarat tertentu-pent.) yang melekat pada ibadah yang harus dipenuhi untuk keabsahannya. Sebagaimana yang telah kita ketahui syarat pertama yang biasanya diberikan; adalah adanya ketulusan dan niat untuk Allah, تعالى سبحانه و. Allah berfirman bahwa, ِوَمَاۚ أُمِرُوۚاۚ إِلَّا لِيَعْبُدُواۚ ٱللَّهَ مُ ْخلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُ َنفَاۚءَ وَيُقِيمُواۚ ٱل َّصلَوۚةَ وَيُؤْتُواۚ ٱلزَّكَوۚةَ ۚ َوذَ ۚ ِلكَ دِينُ ٱلْقَ ِّيمَة ﴾٥﴿ "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS Al Bayinah 98:5) Juga kita temukan dalam hadits terkenal yang diriwayatkan melalui satu rantai otoritas dari Penghulu orang-orang yang beriman, Umar bin al-Khattab, Bahwa Nabi Muhammad mengatakan: ِإِنََّمَاالَْأعْمَاُلبِالنِّيَّة 7 © Islamic Online University ETH 101 "Sesungguhnya amal perbuatan itu dinilai berdasarkan dari niatnya" Jadi jika mencari pengetahuan dilakukan tanpa niat yang tulus, maka ia akan berubah dari tindakan mulia sebagai salah satu bentuk ibadah, menjadi tindakan yang amat rendah dan melanggar. Dan tidak ada yang dapat menghancurkan berkah ilmu pengetahuan sebagaimana الرياء, yakni pamer kepada manusia hanya untuk beroleh pujian dan kekaguman semata, apakah itu الرياءRiyaa '(pamer) atau شركsyirik. Namun الرياءakan menjerumuskan orang kepada شرك, sikap pamer akan menjeremuskan orang kepada syirik. Atau, itu adalah dalam ketulusan seseorang, اإلخالص. Dan juga, tasmee ', yang memamerkan dengan maksud didengar. Contoh tersebut adalah orang yang ingin didengar mengatakan Aku tahu ini dan itu atau saya telah hafal ini dan itu. Ketika orang menawarkan tentang pengetahuan dia telah mengakuisisi dengan mengatakan, "Aku tahu" atau "Aku mendengar", "Aku telah hafal," dll Syaikh Al-Utsaimin mengomentari bagian ini "Jika bertanya: apa yang akan memberikan ketulusan dalam mencari pengetahuan? Ini akan melalui beberapa hal ". Dan, ia tercatat empat hal. Yang pertama adalah untuk berniat olehnya, kepatuhan terhadap perintah-perintah Allah. Karena, Allah Yang Mahatinggi memerintahkan, dengan mengatakan, "Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Allah". Q.S. Muhammad, ayat 19 [47:19] Jadi Allah, Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, mendorong/menggiatkan ilmu pengetahuan, yang menekankan kecintaan-Nya terhadap ilmu, dengan menjadi ridha terhadapnya, dan mewajibkannya. Dengan Allah menekankan tentang ilmu pengetahuan di sini, maka mengindikasikan bahwa Allah mendukung, mencintai, dan ridha terhadapnya. Jadi hal pertama kali yang harus dibangun dalam mencari ilmu adalah dengan meniatkannya sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah-perintah Allah; yang berarti bahwa dalam mencari ilmu, tujuan 8 © Islamic Online University ETH 101 utamanya adalah ketaatan kepada Allah. Dan ini haruslah menjadi tujuan yang jelas. Seperti kita mencari ilmu ini, kita berusaha untuk taat kepada Allah sebanyak yang kita bisa. Yakni dengan meningkatkan kemampuan kita untuk taat kepada-Nya. (2) Memelihara Syari'at Allah Yang kedua adalah dengan meniatkannya untuk memelihara syariát Allah. Karena Syari'at Allah terpelihara dengan cara mempelajarinya, dan memeliharanya dalm hati, dan dengan menuliskannya atau menulis kitab-kitab tentangnya. Jadi niat yang kedua atau unsur niat dalam mencari ilmu haruslah untuk memelihara syari'at Allah. Dan di sisi lain adalah untuk mentaati perintah Allah, sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Rasulullah saw, "Sebaik-baik seorang Muslim adalah yang mempelajari al-Qurám dan yang mengajarkannya kepada orang lain." Beliau saw tak berhenti dengan hanya menyebut mempelajari al-Qur'an. Mempelajari al-Qur'an itu baik, namun dengan memeliki keteguhan untuk menyampaikannya (mengajarkannya) akan meningkatkan nilainya. Demikian pula, di satu sisi ketika sedang mencari ilmu, maka niat utamanya haruslah untuk mentaati perintah Allah. Dengan mencari ilmu, maka ini akan membantu kita untuk emntaati perintah-perintah-Nya. Dan di sisi lainnya kita juga harus melihat bahwa dengan mempelajarinya maka kita sedang memelihara segala perintah dan larangan-Nya. Melalui cara inilah kita memeliharanya (syari' at Allah). (3) Melindungi Syari'at Allah Ketiga, adalah mencari ilmu dengan berniat untuk melindungi dan membela Syari'ah. Karena, jika tidak ada ulama, maka tidak ada yang mempertahankannya. Secara berturut-turut, Syaikh ibnu Taymiyah dan para ulama lainnya, berdiri tegak menghadapi para ahli bid'ah, dan menjernihkan 9 © Islamic Online University ETH 101 kesesatan dalam agama, dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat baik. Jadi niat yang ketiga adalah untuk mempertahankan Syari'ah dari setiap serangan. Carilah ilmu bila kita memang benar-benar ingin membela Islam, daripada membakar kantor kedutaan atau membunuh dubesnya, -sebagaimana apa yang dilakukan orang dewasa ini. Mereka membuat film di Amerika yang mempertontonkan bagaimana manusia saling membunuh, dan mereka tidak memperoleh apa-apa darinya. Inilah kejahilan. Jadi dengan berusaha mencari ilmu, seseorang akan dapat mempelajari bagaimana cara membela Shari'ah (agama) dengan benar. Ketika orang-orang tidak memiliki ilmu tentang apa yang dimaksud dengan Syari'ah, dan mereka yang membuat keributan di luar sana, turun ke jalan lalu membakar ini dan itu, jika kamu mencoba bertanya kepada mereka: Apakah sebenarnya Islam itu? Mereka belum tentu bisa menjelaskannya. Ilmu mereka dangkal dan biasanya mereka bertindak berdasarkan emosi belaka. Inilah yang terjadi apabila tidak benar-benar mengetahui atau memahami sesuatu dan tak mampu menanggapi dengan intelektualitas, mencoba menjernihkan dan mendidik, maka mereka melakukan tindakan fisik. Ini adalah tindakan yang jahil. Mereka yang tak mampu merespon tantangan secara intelektual, maka akan bereaksi dengan aksi pukul-memukul karena mereka tak mampu untuk mendiskusikannya. Mereka tidak benar-benar memahami (situasi) sehingga yang terjadi adalah respon emosional. Jadi niat yang ketiga dalam mencari ilmu adalah untuk membela/mempertahankan Syari'ah dengan ilmu. Dengan ilmu inilah maka seseorang akan mampu membela Syari'ah. (3) Melindungi Syari'ah Allah - Contohnya: Misalnya, jika ditanya, "Mengapa Islam berpendapat begini atau begitu tentang wanita?" Jika Anda mampu mencari ilmu Syar'i, maka Anda akan mampu menjelaskannya. Namun sebaliknya kebanyakan orang hanya mampu mengatakan "Itulah yang dilakukan Muslim." Dan inilah yang 10 © Islamic Online University ETH 101 biasanya dilakukan oleh sebagian besar dari kita. Dengan hanya berpegang pada budaya dan adat istiadat, maka inilah satu-satunya argumen yang kita miliki. (4) Mengikuti Syari'ah Nabi Muhammad saw. Poin keempat yang disebutkan oleh Syaikh al-Utsaimin adalah dengan meniatkan mencari ilmu itu untuk mengikuti syari'ah Nabi Muhammad saw. Hal ini hanya dapat dilakukan bila seseorang itu mempelajari Syari'ah dan mengikuti Syari'ah; artinya (dengan cara) mempraktekannya. Inilah keempat niat mencari ilmu yang disebutkan beliau. Yang juga merupakan 4 aspek dalam rangka mempunya niat yang ikhlas, artinya keempat niat/ aspek tersebut haruslah dalam kerangka niat yang ikhlas. Ikhtisar Keempat Niat Yang pertama adalah mengapa kita mencari ilmu. Kita mencari ilmu untuk mentaati Allah sebaik mungkin. Kedua, ini dilakukan untuk memelihara Syari'ah. Mereka yang sungguh-sungguh mencari ilmu sangatlah sedikit jumlahnya. Alah telah memilih dari ummat-Nya yang melalui mereka inilah Syari'ah, Hukum-hukum Islam akan disampaikan kepada generasi berikutnya. Allah selalu mengangkat manusia-manusia (semacam ini) dari seluruh dunia di setiap generasinya untuk mengemban tanggung jawab ini. Poin yang ke tiga sebagaimana yang telah kita sebutkan adalah untuk melindungi Syari'ah dari mereka yang berniat untuk menyerangnya. Satu-satunya cara agar dapat melakukannya adalah dengan memiliki keilmuan (yang memadai) dalam hal Syari'ah. Dan terakhir, niat yang keempat adalah mengaplikasikannya. Mencari ilmu dan berusaha mengetahui pengetahuan tentang Syari'ah dilakukan agar kita dapat mengikuti (Sunnah) Rasulullah saw yang telah menunjukkan/mengajarkan kepada kita bagaimana cara mengaplikasikan Syari'ah. 11 © Islamic Online University ETH 101 Syaikh Bakr Abu Zayd lebih lanjut mengatakan, dan Saya akan menambahkan sebelum menyampaikan apa yang beliau ingin sampaikan di sini, yakni bahwa Syaikh al-Utsaimin tidak terlalu dalam membahas tentang elemen ini sebagaimana beliau berbicara tentang musuh dari upaya mencari ilmu, mengutip perkataan Umar bin al-Khattab, dari Rasulullah saw, "Amal perbuatan dinilai berdasarkan niatnya." Niat yang Tepat Beliau menekankan dengan mengatakan bahwa salah satu syarat utama agar ibadah diterima oleh Allah SWT dan apa yang ada dibaliknya haruslah merupakan niat yang tepat. Kata 'niat' bisa berubah tergantung pada apa yang akan terjadi selanjutnya (maksudnya niat ini bisa saja berubah- ubah). Diluar dari apa yang disebut dengan niat yang tepat, yang pembahasan rincinya telah kita lihat sebelumnya, Syaikh al-Utsaimin mengatakan, berarti kita mencari ilmu dengan alasan yang salah. Jika kita tergelincir padanya (niat yang salah) maka perbuatan mulia ini akan berubah menjadi kebalikannya, yakni perbuatan tercela. Barang siapa yang memiliki niat yang salah maka ia terjerumus kedalam perbuatan tercela ini walaupun mungkin pada kenyataannya mereka telah memiliki pengetahuan tentangnya. Inilah konsekuensinya. Maka Rasulullah saw telah memberikan percontohan kepada kita tentang mereka yang telah menjual keilmuannya untuk sekedar mendapatkan pujian. Beliau saw pernah berkata bahwa diantara manusia yang pertama-tama dilemparkan ke dalam neraka adalah para ulama. Ulama yang telah diberkahi Allah dengan ilmu pengetahuan akan ditanya nantinya, 'apa yang telah engkau perbuat dengan semua ilmumu ini?' Mereka menjawab, "kami mengajarkan kembali ilmu ini berharap agar menapat ridha-Mu" atau "kami telah mengajarkan kembali ilmu (yang telah kami terima) ini sebagai timbal baliknya."Allah 12 © Islamic Online University ETH 101 pun berkata "Tidak," lalu Allah akan berkata"(Sesungguhnya) Engkau telah mengajarkan ilmu ini hanya supaya orang-orang berkata (kepadamu), engkau adalah Ulama yang hebat, sehingga engkau memperoleh puja-puji sehingga engkau akan memperoleh kedudukan dan kehormatan." "Inilah alasan sesungguhnya mengapa engkau mau mengajarkan ilmu, agar kamu dapat meraih semua itu di dunia, maka di dunia ini engkau akan mendapatkannya, dan engkau tidak akan mendapatkan apapun di sini, di kehidupan berikutnya (akhirat)." Dan kemudian ia akan dibenamkan wajahnya dan dilemparkan ke dalam api neraka (Na'u dzubillaah-pent.) Inilah konsekuensi ketika salah niat, keluar dari jalur. Mencari ilmu karenanya menjadi dosa. Dari yang tadinya ibadah, kini menjadi dosa. Hanya karena niatnya. Dilihat dari luarnya, orang biasa tidak akan mampu membedakan dan mungkin mereka tidak dapat melihat bahwa seseorang memiliki niat yang salah dan kurang baik. Dan ini bukan berarti orang lain tidak dapat memperoleh manfaat darinya. Allah telah menetapkan bahwa manfaat tetap dapat diambil dari mereka, meski mungkin mereka memiliki niat yang salah atau kurang baik. Orang-orang ini menjadi semacam perantara (bagi ilmu) dimana orang lain dapat mengambil kebaikan darinya meski dirinya sendiri tidak mendapatkannya, namun (ilmu) yang dimilikinya bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Niat yang Tepat - Beberapa Contoh Nyata Dan ada suatu hal yang saya sarankan kepada mereka, saudara-saudara yang mencari pengetahuan di Madinah atau sekolah lain, dan saya akan memberitahu mereka dengan tegas, "Anda harus jelas tentang bagaimana dan apa yang Anda lakukan di sini". Karena jika Anda berada di sana hanya untuk prestise, belajar di Madinah, -kebanyakan dari mereka melakukan hal ini karena ini adalah simbol status karena Anda telah lulus dari Madinah. Pada kenyataannya, jika Anda tidak 13 © Islamic Online University ETH 101 memiliki niat yang benar, dengan pergi ke sana, Anda akan kacau. Kenyataannya adalah bahwa banyak siswa hanya ada di sana untuk sertifikat. Banyak dari mereka yang seperti itu, dan ini adalah sesuatu yang saya saksikan sendiri, sebuah penyadaran yang cukup kasar, ketika saya harus duduk untuk melaksanakan ujian pertama saya di College of Dawatu Deen. (Materi) ujian pertama kami adalah al-Qur'an. Setiap tahun kami harus menghafalkan dua setengah juz al-Qur'an. Kami ditempatkan bersama dengan mahasiswa tahun ke empat, yang (hampir) lulus dan datang dari berbagai belahan bumi. Mereka digabung (dengan sengaja, bersama mahasiswa baru) untuk mencegah terjadinya kecurangan. Akan tetapi dalam ujian ini, mahasiswa tahun pertama dan keempat sama-sama ujian al-Qur'an. Sungguh mengagetkan bagi saya, di sebelah saya ada seorang mahasiswa tahun ke empat, dan juga di belakang dan di depan saya, ketika seorang mahasiswa (tahun ke empat) di sebelah saya meletakkan mushaf Qur'an kecil di bawah mejanya dan mencontek dari Qur'an tersebut. Pada saat itu kami sedang mengerjakan ujian hafalan (Qur'an), dan (dalam lembar ujian tertulis) ayat pertama dan terakhir lalu kami harus menulis bagian yang kosong. Maka mahasiswa tadi yang meletakkan Qur'an kecil di bawah mejanya mencontek ketika mengerjakan ini, meski pengajar kami ada di sana. Dia mencontek, padahal dia mahasiswa tahun ke empat. Dia sedang dalam kondisi mengerjakan ujian al-Qur'an dan dia mencontek. Apa yang bisa diharapkan darinya? Mahasiswa (tingkat empat) di depan saya memanggil mahasiswa (tingkat empat) yang ada di belakang saya dan bertanya: "Bagaimana bunyi lanjutan ayatnya?" Saya mencoba menegurnya "Ssst.. Jangan.." dan mereka berkata "bukan urusanmu, jadi diamlah". Dia tetap mencoba berbicara dengan mahasiswa di belakang saya. Mahasiswa-mahasiswa ini duduk di tahun ke empat dan ini sangat mengejutkan bagi saya. Sayapun memanggil pengajar kami, Ustadz itu berada di sana dan 14 © Islamic Online University ETH 101 saya tak dapat mentolerir hal ini sayapun melaporkan bahw mereka telah berbuat curang. Namun Ustadz tersebut hanya berkata "(sudahlah) tak usah dilaporkan." Dan ini terjadi di (Universitas) Madinah. Jadi coba pikir, apa jadinya dengan universitas lainnya? Mereka berada disana bukan utuk mencari ilmu, dan inilah sebabnya mengapa banyak sekali lulusannya ketika mereka kembali ke kampung halaman masing-masing, mereka tidak mengajarkan Agama ini. Mereka akan bekerja sebagai penterjemah di kedutaan (negara-negara) Arab atau di perusahaan di negara-negara Arab. Inilah pekerjaan yang mereka dapatkan (cari). Mereka tidak akan mengajarkan kembali ilmu yang mereka telah dapatkan. Hal-hal semacam ini terjadi karena niat yang kurang tepat. Mereka memiliki niat untuk mendapatkan gelar. Ada beberapa mahasiswa ditempat dimana saya mengejar studi saya di sana, mereka selalu gagal setiap tahun. Di sana Anda tidak diizinkan untuk gagal 2 kali berturut-turut. Jadi, apa yang akan mereka lakukan, adalah untuk bergabung dengan Mahad, untuk belajar bahasa Arab. Mereka paham bahasa Arab, tetapi mereka tetap mengambilnya sehingga mereka mendapatkan dua tahun di Mahad. Tapi dua tahun menjadi empat tahun karena mereka gagal setiap tahun. Mereka gagal di tahun tersebut, kemudian mereka mengulangnya. Dari sana, bukannya segera masuk ke perguruan tinggi, (meskipun) mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melanjutkan (studi) depan dan melakukannya; namun mereka akan pergi ke SMA Madinah. Jadi mereka akan melewati tiga tahun. Mereka bisa gagal dan jika mereka melanjutkan studi hingga lulus akan menjadi enam tahun. Dua (tahun) menjadi empat, sekarang bahkan bisa sampai 10 tahun. Kemudian barulah mereka pergi ke perguruan tinggi. Empat tahun akan menjadi delapan, sehingga mereka menghabiskan delapan belas tahun untuk mendapatkan gelar BA. 15 © Islamic Online University ETH 101 Mengapa seseorang akan melakukan itu? Nah, beberapa dari mereka yang berasal dari negara yang berbeda dan mereka akan diberikan 500 riyal per bulan. Ini adalah jumlah yang sangat kecil, sekitar $ 150- $ 180. Jumlah $ 180 ini diberikan kepada setiap siswa, namun di beberapa negara jumlah ini setara dengan gaji seorang profesor. Jadi, mereka akan mengirimkan uang tersebut ke rumah(kampung halamannya) terus menerus dan membangun sebuah istana untuk diri mereka sendiri, sehingga ketika mereka kembali dari Madinah, mereka akan menjadi sangat kaya. Niat yang salah dan semua ini tidak akan mendatangkan manfaat. Tapi semua ini terjadi. Itulah kenyataannya. Jadi, titik Iklhas, اإلخالصketulusan, adalah prinsip dasar untuk ibadah pada umumnya. Tanpa niat yang benar, Ibadah yang dirusak akan bernilai nol, dan pada kenyataannya menjadi negatif karena menjadi dosa. Niat yang Tepat - Kecintaan untuk Menonjolkan Diri. Maka, Syaikh Bakr Abu Zayd, memperingatkan dari segala yang dapat merusak niat seseorang dalam mencari ilmu. Seperti misalnya suka menonjolkan diri dan terlihat 'lebih' dari sesama pelajar lainnya dan membuat hal ini menjadi suatu tujuan dan pencapaian (kesenangan duniawi) tersembunyi; sebagaimana mencari kekayaan, kejayaan dan ketenaran melalui pujian atau menginginkan orang lain 'berpaling' ke arah kita. Hal-hal semacam ini dapat merusak niat seseorang, dan hal-hal semacam ini akan menghancurkan niat baik seseorang. Maka keberkahan ilmu itu akan hilang. Karenanya maka kita harus terus-menerus meluruskan niat kita dari segala hal lain kecuali (mengharapkan ridha) Allah, Yang Maha Tinggi. Kitda harus selalu waspada dari hal-hal yang akan mengarahkan kita pada keburukan. Syaikh Al-Utsaimin memberikan pendapatnya tentang hal ini, dan beliau berkata bahwa perlindungan yang tepat dari segala keburukan niat ini adalah niat yang benar. Barangsiapa mencari 16 © Islamic Online University ETH 101 ilmu selain dari mencari ridha Allaah, maka ia tidak akan mencium aroma Surga. Semoga Allaah melindungi kita dari hal ini. Lagipula pujian dan ketenaran dapat dengan mudah diraih dengan niat yang benar. Akan tetapi yang beliau tekankan di sini adalah dari kedua kelompok manusia (pent.- yang memiliki niat salah dan yang memiliki niat yang benar), maka mereka yang mencari ilmu dengan niat yang benar maka ia akan dihargai. Dan jika Anda mencari ilmu dengan niat yang benar maka Anda juga akan dihargai. Pada kenyataannya, bila anda mencari ilmu dengan niat yang benar, maka Allaah akan memberkahi anda dengan kesuksesan di mata manusia. Dan tentu saja hal ini akan menjadi sebuah fitnah yang harus kita waspadai, walaupun niat pada awalnya mungkin lurus pada awalnya, setelah segala pujian dan ketenaran menyelimuti mungkin saja niat kita bisa berubah. Jika anda tak memperolehnya (pent.- penghargaan atau ketenaran) maka anda bisa saja merasa kehilangan semangat untuk mengajar, atau semacamnya. Misalnya, ketika anda masuk ke sebuah kelas dan ternyata hanya menjumpai dua orang murid yang hadir, bisa jadi anda berkata, "Sudahlah saya hanya membuang-buang waktu di sini, sebaiknya saya pergi." Namun intinya bila segala sesuatu telah direncanakan dan ternyata hanya ada dua orang yang hadir, seharusnya anda tetap harus mengajar mereka, karena mereka telah hadir. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan ilmu yang Anda miliki. Bukan masalah jumlah, meski tentu saja bila ada lebih banyak yang hadir akan lebih baik, akan tetapi hendaknya hal ini janganlah dijadikan keharusan. Niat Yang Lurus - Takdir Allaah 17 © Islamic Online University ETH 101 Jika kita tidak berhasil mendapatkan respon seperti yang diharapkan, mungkin apa yang Anda lakukan (dakwah Anda-pent.) selayaknya mendapat audiens yang lebih banyak namun pada kenyataannya tidak demikian, lalu bagaimana? Bagaimana kita harus menyikapinya? Katakanlah itu adalah Takdir Allaah ( Qadar Allaah ). Mungkin manusianya yang lemah dikarenakan ketidak tahuan mereka atau mungkin faktor lainnya. Mungkin mereka belum bisa menghargai (dakwah Anda) atau mungkin mereka tidak mengerti, namun tugas Anda adalah menyampaikan pengetahuan. Barangsiapa yang (ditakdirkan) datang, maka mereka akan datang; barangsiapa yang (ditakdirkan) tidak, maka mereka tidak akan datang. Niat yang Lurus - Mereka yang Memiliki Niat yang Lurus Jadi, apa yang ingin ditekankan oleh Sheikh Al-Utsaimin di sini adalah meski pada kenyataannya seseorang dengan niat yang tidak ikhlas, seperti berniat mencari ilmu demi mendapatkan pujian dan kekaguman, namun ia tidak akan mendapatkan pujian dan kekaguman yang lebih dibandingkan dengan seseorang yang berniat melakukannya hanya karena Allaah. Jadi jika hal ini ada di benak/pikiran kita, dan menjadikannya sebagai alasan kita melakukannya dan berusaha memfokuskan diri untuk melakukannya dengan ikhlas karena Allaah semata, maka kita akan menapatkan (ganjaran) yang lebih karena melakukannya hanya karena Allaah, bahkan ketika kita masih berada di Dunia. Dan tentu saja di kehidupan yang berikutnya, dimana ganjaran yang sesungguhnya atas upaya kita untuk mencari ilmu tentang Islam akan terwujud, dan hasil yang sesungguhnya akan kita petik di sana, dan ini hanya bagi orang-orang yang memiliki niat yang lurus. Jadi kembali pada pernyataan dari Sheikh Bakr Abu Zayd bahwa ilmu pengetahuan adalah ibadah, dan karenanya maka mencari ilmu itu sendiri adalah sebuah ibadah. Itulah mengapa Rasulullaah shalallaahu 'alayhi wassalam telah mewajibkannya pada setiap Muslim. Aspek peribadatan kepada Allaah yang satu ini sangatlah penting, karena cara beribadah yang benar kepada 18 © Islamic Online University ETH 101 Allaah tidak akan mungkin tercapai bila tanpa ilmu. Kita tidak beribadah kepada Allaah dengan mengikuti tradisi dan kebiasaan karena leluhur kita melakukan hal ini atau itu, Islam tidak diturunkan kepada kakek buyut atau leluhur kita namu kepada Nabi Muhammad shalallaahu 'alayhi wassalam yang kemudian mengajarkannya kepada para Sahabat, lalu ke generasi-generasi setelahnya melalui para ulama. Inilah jalur yang benar (untuk mempelajari) tata cara ibadah. Tentang bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allaah dipelajari dengan cara ini. Bukan melalui tradisi dan kebiasaan di masyarakat. Karena bila kita melihat Muslim di seluruh dunia maka akan dijumpai masing-masing melakukan cara yang bisa jadi berbeda. Dan ini adalah akibat dari ketidaktahuan yang menyebar dalam skala besar yang tersebar dalam Ummat. Jadi bagi yang sedang mencari ilmu maka tetaplah mencoba untuk fokus, bahwa mencari ilmu itu adalah ibadah, ibadah kepada Allaah. Karenanya maka syarat pertama yang harus ada agar mencari ilmu ini benar-benar dilakukan sebagai bentuk ibadah kepada Allaah, adalah memiliki niat yang ikhlas. Jika niat ini tidak ada, maka ia tidak lagi menjadi bentuk ibadah kepada Allaah. Dan apa yang menjadi tujuan kita bukanlah mencari ridha Allaah, tapi mencari ridhanya manusia, agar manusia menyukai kita. Tentu saja hal ini dapat mempengaruhi cara mengajar kita, karena bila yang Anda cari adalah untuk menyenangkan manusia, maka bisa jadi ketika Anda mengetahui tentang sebuah kebenaran namun manusia tidak suka bila Anda menyampaikannya (maka Anda akan tetap diam-pent.). Mungkin akan Anda jumpai di berbagai Masyarakat Muslim di mana mereka yang sudah lulus dari studinya dan mengetahui apa yang sebenarnya harus dilakukan, akan tetapi ketika mereka kembali dari studinya dan mencoba mengatakan sesuatu (kebenaran), namun ternyata komunitas di mana mereka berasal tidak mau menerimanya, maka apa yang akan dilakukannya? Mereka akan diam. Mengapa? Karena mereka berpikir, "Jika Saya mengatakan sesuatu (yang tidak mereka sukai-pent.), 19 © Islamic Online University ETH 101 maka Saya akan kehilangan pekerjaam." "Mereka tidak akan menerima saya menjadi Imam." "Saya tidak akan memiliki sumber mata pencaharian." "Maka akan lebih baik jika saya tetap diam." Jadi orang tersebut akan tetap diam meskipun manusia melakukan Tawaf mengitari kuburan dalam Masjid, karena niat mereka telah rusak. Syaikh Bakr Abu Zayd kemudian menyebutkan beberapa pernyataan dan kondisi dimana para Ulama yang telah saya sebutkan di awal pada Bab pertama buku At'alum. Dan saya akan menambahkan pada daftar tersebut, larangan bagi Ulama dalam isu-isu populer atai isu-isu hukum yang kontroversial, dimana para murid dan ulama, memilih untuk memfokuskan diri pada isu-isu yang menarik atau menonjol bagi masyarakat umum karena ianya asing, berbeda atau aneh, dan mereka mencari popularitas dari isu-isu ini. Niat yang Tepat - Diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsawri, Rahimahullah. Diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsawri Rahimahullaah, beliau berkata "Saya diberkahi dengan pemahaman tentang Al-Qur'an dan ketika saya menerima sekantong uang,maka (berkah itu) diambil dari saya." Syaikh Al-Utsaimin mengklarifikasi apa yang dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsawri. Yang dimaksud oleh beliau adalah hadiah yang diberikan oleh pemerintah. Bahwa hadiah tersebut dalam bentuk uang yang diberikan kepada Ulama terkemuka, sesungguhnya hal ini dimaksudkan untuk 'membeli'meraka. Para ulama mengetahuinya dan berusaha untuk menghindari hadiah dari pemerintah. Mereka berkata bahwa pemerintah hanya akan memberikan hadiah untuk membeli agama demi memperoleh dunia. Bukan hanya itu saja, tetapi terkadang pemerintah ini memiliki kekayaan yang dicuri dari rakyatnya sehingga harta ini adalah harta yang diperoleh dengan cara yang tidak baik. Maka akan lebih baik jika menghindarinya jika dilihat dari sudut pandang ini juga. 20 © Islamic Online University ETH 101 Jadi sudah banyak yang mengetahui bila ulama menerima hadiah yang tidak sepatutnya diterima dari pemerintah karena pemerintah ingin menggunakan hal ini sebagai sarana untuk memanipulasi ulama. Dan jika hadiah tersebut merupakan hadiah yang dapat dimanfaatkan dan tidak ada implikasi manipulasi, dimana hadiah tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat, maka hadiah ini boleh diterima dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Akan tetapi bila hadiah ini berupa harta yang diberikan kepada individu untuk menaikkan statusnya sendiri, maka disinilah bahanyanya apa yang mereka sebut sebagai ulama, para sarjana terkemuka. Jadi Imam Sufyan Ats-Tsawri sebagaimana apa yang telah disebutkan tadi, dan tentu saja beliau tidak menerima hadiah tersebut dengan niatan semacam itu, namun beliau membuat catatan sendiri, bahwa ketika beliau menerima hadiah dari pemerintah di masanya, pemahaman beliau tentang Al-Qur'an akan lenyap dari dirinya. Maka beliau sejak saat itu meninggalkannya dan menghindari hadiah semacam ini dari pemerintah. Akhir (kelas) Sesi Tatap Muka: Inilah akhir sesi ini, yang merupakan sesi ke tiga dalam Adab Mencari Ilmu, dalam mata kuliah ini yang didasarkan pada buku yang berjudul sama dalam bahasa العلم طلب آدابyang ditulis oleh Syeikh Al-Utsaimin, dan kita akan lanjut ke persyaratan ibadah. Mencari/mendapatkan Ilmu telah dijelaskan dari sudut pandang ini. سبحانك اللهم وبحمدك اشحد ان ال اله اال انث استغفرك واثوب اليك 21 © Islamic Online University ETH 101 Kesucian adalah milik-Mu Ya Allah (subhanahu wa ta'ala), dengan memuji-Mu, Aku bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Engkau. Hamba mencari pengampunan dari Engkau dan hamba bertaubat kepada-Mu. 22 © Islamic Online University ETH 101 Islamic Online University Bachelor of Arts in Islamic Studies ETH 101 Islamic Ethics 101 (Adab-adab Islami 101) Module 4 Diterjemahkan oleh: Tim Penerjemah IOU 1 © Islamic Online University ETH 101 Alhamdulillahi rabbil alamin washolatu wasalamu ala rasulil karim wa ala ali wa ashhabihi wamanistanna bi sunnati ila yaumiddin. Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad (shalallahu alaihi wassalam), dan kepada mereka yang mengikuti jalan kebenaran sampai hari akhir. Ini adalah sesi ke 4 dari serangkaian sesi Adab Mencari Ilmu, yang didasarkan pada buku yang berjudul sama, dalam bahasa Arab berjudul "Hilyatu Talab il 'Ilm" karya Dr. Bakr Abu Zayd. Dan kita mempergunakan komentar dari Syaikh Al Ustaimin dalam teks ini. Dalam sesi sebelumnya, kita memulai dari Bab 1. Dan bab 1 ini pada dasarnya membahas tentang Adab murid yang mencari ilmu; bilamana istilah 'upaya mencari ilmu', memiliki maknanya tersendiri, bagaimana sesungguhnya pendekatan terhadap ilmu ini? Sebagaimana telah dikatakan bahwa banyak sekali pokok bahasannya. Adab mencari ilmu ini ditujukan kepada beragam topik; apakah itu tentang bagaimana murid memperlakukan buku-bukunya, bagaimana cara memperlakukan guru-gurunya atau bagaimana caranya ia memperlakukan rekan sesama murid. Ada beraneka ragam bidang yang berbeda-beda yang harus kita perhatikan. Dalam buku ini, bab pertama, fokusnya adalah pada dirinya sendiri (murid/pencari ilmu). Adab yang bagaimana yang harus dia perbuat terhadap/ di dalam dirinya sendiri, berkenaan dengan dirinya yang sedang mencari ilmu. 2 © Islamic Online University ETH 101 Poin pertama yang telah dibahas pada sesi-sesi sebelumnya adalah pernyataan umum bahwa "Pengetahuan/Ilmu adalah ibadah" dan bahwa perbuatan mencari ilmu itu adalah ibadah. 'Al Ilmu Ibaadah." Hal ini didasarkan pada beragam pernyataan dari Rasulullaahi shalallaahu alayhi wassalamyang mana beliau berkata tentang balasan mencari ilmu itu adalah Surga, dan bahwa Allaah akan memudahkan jalan menuju Surga. Dan bahwa Allaah telah mewajibkan bagi ummatnya untuk mencari ilmu. Serta pernyataan-pernyataan lainnya (yang menekankan keutamaannya). Setelah jelas bahwa mencari ilmu itu adalah ibadah, maka selanjutnya kita lihat tentang syarat-syarat sah agar ibadah itu diterima. Ada beberapa syarat yang sudah banyak dikenal orang dari berbagai macam ibadah apakah itu Shalat, zakat, haji, puasa dll. Keutamaan niat itu sangatlah penting. Niat dapat mengubah suatu perbuatan yang tadinya bukan ibadah menjadi ibadah, dan membuat perbuatan yang tadinya ibadah menjadi bukan ibadah. Contohnya perbuatan seperti pergi ke toilet, ini bisa menjadi ibadah bila kita memiliki niat ingin mengikuti Sunnah Rasulullaahu disamping memang perbuatan ini merupakan dan dilakukan untuk melepaskan kebutuhan pribadi. Dengan melakukannya sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh beliau, mengimani bahwa ajarannya didasarkan kepada petunjuk Allah dan bahwa inilah yang terbaik bagi kita. Maka perbuatan yang di masyarakat manapun tidak pernah dianggap sebagai ibadah, dengan adanya niat maka bisa berubah menjadi ibadah. Demikian pula halnya dengan ibadah, jika kita beribadah hanya karena ingin diperhatikan atau dilihat orang lain, maka perbuatan ibadah tersebut malah berubah menjadi perbuatan dosa. Dan bukan lagi ibadah. Dan hal semacam ini tidak diterima oleh Allaah; bahkan bisa jadi dihiting sebagai dosa bagi yang melakukannya. 3 © Islamic Online University ETH 101 Syeikh Bakr Abu Zayd melanjutkan setelah memberi percontohan, Imam Sufyan Ibn Sa'id ats-Tsawri (salah seorang generasi pertama para ulama diantara tabi ut-tabi'iin). Imam Sufyan menyatakan pernyataan yang mengejutkan bahwa beliau telah diberi anugrah pemahaman tentang al-Qur'an akan tetapi ketika beliau menerima hadiah dari pemerintahnya (pemerintahan Ummayad) pemahamannya ini seolah pergi meninggalkannya. Beliau merasa pemahamannya menjadi berkurang. Lalu beliau mengungkap informasi sebagai panduan bagi mereka yang ingin mencari ilmu. Dan mereka yang menjadi ulama dalam perjalanan mereka dalam rangka mencari ilmu, mulai mengajar orang lain bahwa mereka harus berhati-hati dengan hadiah dari pemerintah. Terutama apabila hadiah ini memang ditujukan untuk memperoleh kendali atas ulama. Sehingga yang seperti ini disebut 'Scholars for Dollars' (Ulama gila harta). Syaikh kemudian berkata lagi, "Jadi berpegang teguhlah, semoga Allah memberkahi anda dengan rahmat-Nya yang merupakan sebuah pegangan yang dapat tulus dan diandalkan yang akan menyelamatkan diri Anda dari kesalahan yang fatal, disertai dengan upaya mengerahkan diri agar ikhlas, sangat takut pada sesuatu yang dapat membatalkan niat ikhlas ini dan bersungguh-sungguh memperlihatkan ketakberdayaan dan betapa bergantungnya kita kepada Allah , dan berusaha berpaling kepadany-Nya dengan keikhlasan. " Diriwayatkan oleh Imam Sufyan ats-Tsawri juga: "Aku tidak pernah merasa menghadapi sesuatu yang lebih sulit daripada keikhlasanku…". Perjuangan yang paling sukar dalam hal memperbaiki diri kata Imam Sufyan adalah berusaha untuk ikhlas. Inilah hal yang seharusnya 4 © Islamic Online University ETH 101 kita perbuat apapun yang kita lakukan demi Allaah. Karena akan ada sangat banyak tekanan, dan banyak hal yang akan membuat kita berpaling dari hal ini, "niat yang tepat/baik" yang merupakan inti dari ibadah agar ianya tetap menjadi sebuah ibadah.; agar ibadah dapat membuat kita bertambah dekat dengan Allaah, dan tidak menjadikan kita justru menjadi jauh dari Allaah atau tetap jauh dari Allaah. Dan ini adalah perjuangan sesungguhnya yang dihadapi oleh setiap manusia. Semua orang yang menyebut dirinya beriman kepada Allaah, yang menyebut bahwa dirinya berserah kepada Allaah, yang berjuang keras agar benar-benar ikhlas dalam pernyataan meraka ini, yang bersungguh-sungguh melakukannya hanya karena Allaah. Sebagaimana firman Allaah "Udkhulu fissilmi Kaa'ffah". Yakni, "kita harus masuk islam dengan sempurna". Ini merupakan perjuangan besar yang kita hadapi. Kebanyakan orang biasanya hanya akan setengah- setengah. Maka kita akan melakukan hal-hal lain disamping juga melakukan hal-hal yang Islami. Kita seolah berada di dua dunia pada saat yang bersamaan. Dan tentu saja ini berarti bila satu kaki kita berpijak di satu tempat dan satunya berpijak di tempat lain maka kita akan tergelincir. Kita tidak bisa menjadi kokoh karena kita sendiri tidak kokoh. Niat kita tidak kokoh, dan ini berarti akan mempengaruhi berbagai aspek ibadah kita. Dan ibadah kita akan rusak. Syaikh al-Utsaimin, berbicara tentang hal ini, menambahkan: "Berusaha untuk ikhlas itu sangat sulit, karenanya barangsiapa yang berkata Tiada Tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allaah, dengan ikhlas dari dalam hatinya maka ia akan masuk Surga, dan akan menjadi orang-orang yang paling berbahagia karena akan beroleh syafa'at dari Nabi Muhammad ". Ya, Hadits yang banyak diknal orang "Man Qaala laa Ilaaha illaa Allaahu dakhalal Jannah"yang merupakan hadits yang umum "Barangsiapa menngucapkan laa ilaaha iI Allaah akan masuk Surga,"akan tetapi hadits yang sama juga diriwayatkan dalam 5 © Islamic Online University ETH 101 situasi dan tambahan yang berbeda. Dan saah satu tambahannya adalah menjelaskan aspek-aspek syahadat. Diantaranya adalah yang disebutkan oleh Syeikh al-Utsaimin disini: "Man Qaala laa Illaaha Illaa Allaahu mukhlisan min qalbih." "Barangsiapa yang mengucapka laa Ilaaha illa Allaah dengan ikhlas dari dalam hatinya, dia akan masuk Surga." Karena jika keihklasan itu tidak ada, maka mengucapkan laa Ilaaha illa Allaah saja tidak akan berarti apa-apa. Apakah bagi seorang yang tidak beriman, jika dia hanya menghapal kalimat laa Illaaha illa Allaah, sebelum dia meninggal dan mengucapkannya lalu berarti dia akan masuk Surga? Saya rasa cukup jelas bagi siapapun bahwa hanya sekedar mengucapkan kalimat laa Illaaha illa Allaah tidak akan membuatnya masuk Surga. Bahkan mengucapkan kalimat Laa Illaaha illa Allaah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya haruslah dengan ilmu, "Fa'alam annahu Laa Ilaaha illa Allaah". Inilah yang difirmankan oleh Allaah. Perintah pertama yang ada dalam al-Qur'an, adalah mengetahui bahwa tidak ada Tuhan lain yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali Allaah; ilmu ini harus diketahui dulu, bahwa anpa ilmu tersebut keihklasan kita bisa salah. Jadi keikhlasan itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Keikhlasan itu harus disertai dengan ilmu yang benar. Hanya jika keikhlasan anda benar, maka keikhlasan ini akan bermanfaat bagi anda. Karena tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa orang-orang Kristen atau hindu atau lainnya dalam dakwah mereka tidak ikhlas. Mereka mungkin sangat ikhlas, sangat berdedikasi. Ada orang-orang yang akan memberikan seluruh hidupnya untuk mengkhutbahkan Injil, tapi keikhlasan mereka salah. Dan seperti kata mreka, 'Jalan menuju neraka dibangun dengan niat yang baik,' (niat baik yang salah, niat baik yang tidak didasarkan pada ilmu). Banyak orang yang berniat baik, akan tetapi didasarkan pada ketidaktahuan, jadi mereka hanya meniti jalan menuju neraka. 6 © Islamic Online University ETH 101 Syeikh Bakr Abu Zayd kemudian berkata. "Diriwayatkan bahwa Umar ibn Zarr berkata pada ayahnya," 'Wahai ayahku! Mengapakah jika engkau berkhutbah dihadapan khalayak, mereka lalu menangis dan bila orang lain yang berkhutbah pada mereka, maka mereka tidak menangis?' Ayahnya menjawab: 'Wahai anakku! Seorang wanita yang berduka karena kehilangan anaknya dan menangis tidak sama dengan seorang wanita yang disewa untuk menangis atas kematian seseorang.' Syaikh al-Utsaimin melanjutkan "Ini adalah pepatah yang bagus, wanita yang berduka karena kehilangan anaknya menangis dari dalam hatinya, sedangkan orang yang disewa untuk meratap, ratapan dan tangisan mereka tidak berpengaruh apa-apa karena mereka hanya berpura-pura." Mereka mungkin membuat suara (tangisan); suara (tangisan) yang mungkin saja serupa, akan tetapi yang satu datang dari hati. Sebagaimana yang dikatakan bahwa 'apa yang datang dari hati akan sampai ke hati'. Apa yang datang dari bibir sampai ke telinga, sampai ke telinga yang satu dan keluar lewat telinga yang lain. Pernyataan ini dan pernyataan lain yang erupa dibuat oleh orang-orang terdahulu (Salaf) agar dapat dipahami dalam konteks meningkatkan kemurnian niat, dan bukanlah sebagai pujian terhadap diri sendiri ataupun membanggakan diri, seperti yang mungkin terimplikasi dari kata-kata tesebut. Sebagaimana Allaah Yang Maha Besar dan Maha Agung berfirman: "Fa la tuzakku anfusakum huwa a'lamu biman it'taqa". "Janganlah menganggap dirimu suci. Allaah Maha Mengetahui siapa yang benar-benar takut kepada- Nya"[Q.S. an-Najm, 53:32]. Pernyataan Syeikh Umar ibn Zarr ini bila kita hanya melihat dari kulit luarnya saja, sang anak bertanya kepadanya mengapa terjadi hal tersebut ketika beliau yang berbicara, orang-orang menangis, namun ketika ulama lain sejawat dengannya berbicara kepada orang-orang ini mereka tidak menangis. Dan pengibratan yang diberikan oleh ayahnya adalah 7 © Islamic Online University ETH 101 ketika seorang wanita yang menangis karena kehilangan anaknya, maka tangisan ini akan menyentuh hati, namun ketika tangisan tersebut adalah tangisan seseorang yang disewa untuk berduka/meratap (karena hal ini adalah lumrah pada masa itu, dimana orang biasa menyewa peratap), ketika dia melakukannya maka tangisan tersebut tidak menyentuh hatim hanya suara tangisan saja. Lalu apa artinya ini? Artinya beliau berkata bahwa 'ketika saya memberikan khutbah atau berbicara, saya seperti sang wanita yang kehilangan anaknya, tulus dari dalam hati, dan yang lainnya bagai seorang peratap sewaan.' Ini adalah pernyataan yang berat; mungkin terdengar seolah beliau sedang membanggakan diri. Akan tetapi sesungguhnya beliau adalah seorang yang sangat rendah hati. Beliau melakukan itu untuk memberikan sebuah pemahaman. Niatnya bukanlah untuk memuji diri sendiri. Bukan berkata bahwa beliau benar-benar tulus sedangkan yang lain tidak, dan namun untuk menjelaskan pada anaknya apa yang hendak dimaksudnya. Dan apapun yang diberikan Allaah sebagai berkah-Nya melalui hal ini, dimana orang lainterpengaruh oleh hal ini (perkataan/khutbahnya) maka hal tersebut semata-mata terjadi atas berkah-Nya. Jadi ini merupakan sebuah nasihat bagi mereka yang sedang mencari ilmu bahwa kuncinya adalah keikhlasan. Jika seseorang ikhlas terhadap suatu ilmu yang dicarinya dan dia menyampaikannya kepada orang lain, maka hal tersebut akan sampai maksudnya kepada orang yang dituju karena datang dari hati. Akan tetapi bilamana itu hanya bagai sebuah buku pengetahuan yang anda baca, dengar dan dapatkan, maka anda hanyalah seperti sebuah alat perekam saja. Putarlah alat perekan maka ia akan bersuara, namun mungkin ilmu ini tidak akan berdampak kepada orang lain, dan orang lain juga mungkin akan megumpulkan (dan meneruskan) hal yang sama dari anda. Anda mungkin menjadi sarana untuk menyampaika ilmu, 8 © Islamic Online University ETH 101 namun anda tidak akan mampu menyentuh hati mereka, karena anda tidak memiliki keikhlasan yang nyata pada semua ilmu yang anda sampaikan. Dan inilah poin yang coba disampaikan oleh Umar ibn Zarr disini. Syeikh al-Utsaimin menyebutkan pernyataan serupa demikian pula dengan banyak ulama lainnya, dimana ketika anda melihat pernyataan mereka secara luarnya saja, maka yang nampak seolah mereka sedang memuji diri sendiri. Namun kita harus memahami bahwa mereka hanya mencoba menggambarkan dan menjelaskan kepada kita beragam poin yang harus dilakukan dengan keikhlasan, yang perlu diketahui tentang dirinya sendiri. Karena ketika anda mendengar pernyataan-pernyataan ini di satu sisi, anda akan dapat mendengar bahwa mereka sebenarnya sedang menyampaikan hal ini (keikhlasan-pent.). Di sisi lain bila anda mendengarkannya seolah hal tersebut adalah hal yang berbeda (memuji diri sendiri-pent.) sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya tentang hal serupa ketika seorang ulama berkata bahwa ketika ia berkomitmen dan berjanji pada Allaah (agar beliau dapat menghentikan dirinya dari ghibah) kapanpun ia merasa ber-ghibah (bergunjing) maka beliau akan berpuasa. Bilamana beliau menyadari dirinya telah berghibah, maka beliau akan menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa sehari. Seorang ulama berkata bahwa ketika ia berkomitmen dan berjanji pada Allaah (agar beliau dapat menghentikan dirinya dari ghibah) kapanpun ia merasa ber-ghibah (bergunjing) maka beliau akan berpuasa. Bilamana beliau menyadari dirinya telah berghibah, maka beliau akan menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa sehari. Akan tetapi kata beliau, hal ini pun tak 9 © Islamic Online University ETH 101 mampu menghentikannya (dari berghibah). Beliau tetap melakukan kesalahan yang sama dan terus berpuasa untuk menebusnya, hingga akhirnya tubuhnya lemah. Beliau hanya merasa lemah dan bertambah lemah, namun hal ini tak mampu menghentikannya melakukan ghibah. Maka beliau memutuskan untuk menempuh cara lain, yakni berderma sebanyak 1 dinar setiap kali beliau berghibah. Dan ternyata cara ini cukup ampuh untuk menghentikan kebiasaan buruknya. Hal ini memperlihatkan sesuatu yang manusiawi sekali. Ketika menyangkut harta, maka kita cenderung akan lebih berusaha untuk melindungi harta kita. Dan beliau membuktikannya bahwa ternyata cara ini berhasil, dimana ketika berpuasa saja tak sanggup mencegahnya. Beliau mampu menghentikannya saat belia berjanji kepada Allaah bahwa beliau akan berderma sebanyak 1 dinar setiap kali beliau bergunjing. Jadi yang dimaksud oleh beliau disini adalah memberikan nasihat kepada kita agar kita mengerti. Bukan berarti beliau menyombongkan diri bahwa beliau sudah berhasil bebas dari bergunjing atau sudah mencapai taraf ini-itu… BUKAN. Beliau hanya memberikan nasihat kepada kita atau saran tentang cara bagaimana kita bisa mengatasi kelemahan diri kita. Syakh Bakr lalu berkata: "Semoga Allaah menganugrahkan keberhasilan dalam mencapai hidayah." Kedua, (yang pertama beliau bicarakan tadi adalah tentang niat) kualitas komprehesif yang menjamin kebaikan di dunia dan di akhirat adalah rasa cinta kepada Allaah Yang Maha Tinggi dan cinta kepada Rasulullaah yang diamalkan, dengan cara mengikuti sunnah Nabi yang Sempurna Muhammad. Allaah Ta'ala berfirman, "Qul in kuntum tuhibbuuna Allaaha fat'tabi'uuni yuhbibkumu Allaah wa yaghfir lakum dzunuubakum wallaahu Ghafuur ur Rahiim". "Katakanlah bila engkau benar-benar mencintai Allaah, maka ikutilah aku dan Allaah akan mencintaimu dan mengampuni dosa- dosamu dan Allaah Maha Pengampun, Maha Penyayang." 10 © Islamic Online University ETH 101 Syeikh al Utsaimin kemudian menjelaskan dan menguraikan prinsip yang ke-dua ini, prinsip tentang cinta kepada Allaah dan Rasulullaah. Beliau berkata, "Tiada keraguan bahwa rasa cinta akan berusaha mencegah dan mempertahankan. Bagi seorang pencinta maka ia akan berusaha semaksimal mungkin guna meraih apa yang dicintainya. (Ketika seseorang mencintai sesuatu atau seseorang amaka ia aka berusaha semaksimal mungkin berada di dekat orang yg dicintainya. Mereka terdorong untuk melakukannya. Ia akan berusaha mencari tahu apa yang disukai oleh yang dicintainya dan apa yang akan membuatnya dekat dengan yang dicintainya. Ia juga akan berusaha semaksimal mungkin menghindari apa yang tak disukai oleh yang dikasihinya dan segala yang membuatnya jauh darinya." Hal ini sangatlah manusiawi, ketika kita mencintai seseorang atau sesuatu, maka kita akan mencari tahu apa yang disukainya. Dan apa- apa yang akan membuatnya merasa tidak suka maka ia akan berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Konsekuensinya adalah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Al Qayyim bukunya "Rawdhatul Muhibbiin""Taman Para Pencinta/ Taman orang-orang yang Jatuh Cinta," bahwa setiap tindakan didasarkanpada rasa cinta. Hal ini benarlah adanya dalam setiap perbuatan manusia (secara manusiawi), karena keinginan tidak akan terjadi/muncul dari seseorang yang berakal kecuali dia memiliki sebuah pengharapan akan manfaat atau harapan akan dapat menjauh dari bahaya (atau sesuatu yang buruk)." Merupakan prinsip dasar adalah bahwa segala hal yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu adalah, pada kenyataannya, berdasarkan rasa cinta, 'Al Muhabbah'. Karena merupakan sesuatu yang alamiah bahwasanya kita tidak akan terdorong melakukan suatu hal kecuali ada manfaat darinya atau hal tersebut dapat menjauhkan kita dari sesuatu yang buruk. Jadi kembali lagi ke manfaat, karena ketika anda menghindarkan diri dari sesuatu yang buruk/bahaya, maka artinya anda telah 11 © Islamic Online University ETH 101 memberikan manfaat terhadap diri anda sendiri dengan membebaskan diri dari keburukan. Sehingga ini artinya, kita akan melakukan banyak hal karena rasa cinta terhadap apa yang akan memberikan manfaat pada diri kita. Dan beliau menyebutkan 'seseorang yang berakal'. Demikianlah kaidahnya. Karena seseorang yang gila atau kehilangan akalnya, bisa saja ia melakukan hal-hal yang bisa berdampak buruk atau membahayakan dirinya. Dia tidak dapat merasakan hal itu (atau berpikir normal-pent). Atau seseorang yang mungkin karena kebodohannya bisa jadi melakukan hal yang sama. Dan sejatinya bagi seseorng yang berakal, maka ia akan melakukan sesuatu berdasarkan manfaat. Atau mungkin juga sesuatu yang manfaatnya lebih besar daripada keburukannya, karena bisa jadi beberapa hal juga mengandung unsur keburukan (bersamaan dengan adanya manfaat-pent.), kita akan tetap melakukannya. Namun ketika keburukannya lebih besar daripada manfaatnya, maka bisanya kita cenderung untuk menghindarinya. Ini adalah sesuatu yang masuk akal. Dan Syari'ah sejatinya berdasar pada prinsip yang sama. Ketika Allaah menggambarkan tentang alkohol, Dia berfirman bahwa memang ada manfaat di dalamnya, dan orang-orang menyukainya, mereka yang memperjual-belikannya mendapatkan uang dari perdagangannya. Western Medical Scientist mengklaim bajwa jika anda meminum setengah gelas anggur (wine) bersama dengan makanmu, maka hal ini bisa menekan resiko terkena penyakit jantung, manfaat lagi bukan? Akan tetapi Allaah menggarisbawahi dengan melanjutkan firmannya bahwa keburukan di dalamnya lebih besar daripada manfaatnya. Jadi seberapapun kecilnya manfaat ini dan itu di dalamnya, namun ketika dibandingkan dengan keburukannya yang lebih besar, maka 12 © Islamic Online University ETH 101 manfaat tadi jadi tidak berarti. Keburukan yang terkandung di dalamnya sangat besar, sehingga bahkan pemerintah Amerika yang sejatinya bukanlah Muslim, pernah melarang alkohol di tahun 1920-an. Selama 1 tahun mereka melarang peredaran alkohol. Masa ini dikenal dengan 'Masa Larangan'. Selama 11 tahun mereka melarang produksi, transportasi dan penjualan alkohol. Dan ini masuk akal. Akal manusia mengarahkan kita untuk berbuat sesuai dengan hal-hal yang dapat mendatangkan manfaat. Sehingga kitapun menyukai hal-hal yang bermanfaat. Sedangkan sesuatu yang buruk maka kita tidak menyukainya. Maka rasa cinta pada kenyataannya adalah 'sang kapten' atau 'pengemudi' diri kita kepada Allaah. Rasa cinta inilah yang mengarahkan dan mengendalikan manusia. Lihatlah bagaimana mereka yang tidak menyukai apa yang telah Allaah turunkan. Allaah mengatakan tentang mereka, "Dzaalika bi annahum karihu ma anzala Allaahu fa ahbata a'amaalahum." "Karena mereka membenci apa yang telah Allaah turunkan kepada mereka, maka Dia kemudian menjadikan perbuatan mereka sia-sia." Hasilnya adalah tiadanya keimanan karena mereka telah membenci apa yang Allaah turunkan (kepada mereka). Lalu Syeikh berkata, "Cinta adalah sesuatu yang memadukan antara kebaikan dalam hidup dan hari akhir." Jadi inilah prinsip dasarnya, kualitas yang komprehensif yang disebutkan oleh Syeikh Bakr Abu Zayd: "Kualitas komprehensif yang menjamin kebaikan di dunia dan kehidupan setelahnya adalah rasa cinta kepada Allaah Ta'ala dan rasa cinta kepada Rasulullaah. 13 © Islamic Online University ETH 101 Tentang rasa cinta kepada Rasulullaah, Syeikh Al Utsaimin melanjutkan, "Rasa cinta ini akan mendorong Anda untuk senantiasa mengikutinya baik dari dalam amupun dari luar (secara terlihat maupun tidak terlihat, dalam hati maupun dalam perbuatan-pent.) karena seorang yang mencintau akan mengikuti apa yang dicintainya bahkan dalam-hal-hal yang siifatnya duniawi. Kita melihat mereka yang mencintai Rasulullaah akan meniru caranya berpakaian, bertutur, bahkan tulisan tangannya. Saya ingat salah seorang teman sekelas saya, yang dia berusaha meniru Syeikh Abdur Rahman as Sa'adi dalam gaya menulisnya (tulisan tangan), meski sebenarnya tulisan tangannya tidak indah, akan tetapi karena didorong oleh rasa cinta maka dia menirunya. Semakin dalam rasa cinta seseorang kepada orang yang dicintainya maka dia akan semakin berusaha untuk meniru sifat-sifatnya. Dan inilah sebabnya mengapa dibedakan antara Sunnah At Tarbi'iyyah dan Sunnah At Tasyri'iyyah Rasulullaah. Sunnah At Tarbi'iyyah adalah Sunnah alamiah dimana beliau melakukan hal-hal sebagai seorang manusia yang mana mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan Syari'ah. Ini hanyalah preferensi beliau secara personal terhadap suatu hal. Namun dimana ada hal-hal yang berhubungan dengan Syari'ah yang mana kita dianjurkan untuk mengikutinya, maka ini disebut dengan Sunnah At Tasyri'iyyah, dan ini berdasarkan wahyu Allaah. Allaah berfirman "Wamaa yantiqu a'anil hawa in huwa illaa wahyun yu'haa." "Dia (rasulullaah -pent.) tidak berkata berdasarkan keinginannya semata, dia hanya berkata sesuai dengan apa yang telah diturunkan kepadanya." Yang dimaksud di sini adalah Sunnah At Tasyri'iyyah. Bukan berarti setiap perkataan beliau , karena ada hal-hal tertentu yang dikatakan oleh beliau dan itu berasal dari dirinya sendiri, pemahamannya dan pilihannya pribadi. Dan 14 © Islamic Online University ETH 101 dalam beberapa hal maka hal tersebut bisa mengandung kesalahan atau kurang tepat, namun kemudian Allaah akan mengkoreksinya. Kita bisa lihat beberapa contohnya dalam Sunnah maupun yang tercantum dalam al Qur'an, misalnya "Abasa watawalla" ketika Rasulullaah hendak berbicara dengan beberapa pemimpin Quraisy. Mereka ingin bertemu dengan beliau. Dan Rasulullaah berharap mereka akan mengucapkan kalimat syahadat dan memeluk Islam. Pada saat itu datanglah seorang buta yang baru saja masuk Islam dan ingin menemui beliau untuk minta diajari sesuatu oleh beliau. Namun beliau sudah akan pergi untuk menemui para pemimpin Quraisy, dan beliau tidak ingin mereka menunggu karena tertunda oleh seorang buta. Maka beliaupun lalu bermuka masam (Abasa watawalla) dan berpaling darinya. Lalu Allaah menegurnya dan berkata TIDAK, engkau harus menemuinya, karena dia adalah seorang yang beriman dan ingin mencari ilmu. Beliau saat itu memprioritaskan orang kafir. Dalam banyak kejadian, ketika beliau hendak berdakwah kepada kaum Quraisy, maka para pemimpin Quraisy selalu mengajukan berbagai syarat dan ketentuan, seperti misalnya, kami akan mengikutimu asalkan ketika engkau wafat nanti maka kepemimpinan harus diserahkan kepada kami. Atau kami tidak mau bermajelis dan duduk bersama dengan bekas budak. Tempatkami haruslah terpisah. Ini karena mereka merasa kedudukan mereka lebih tinggi, sehingga mereka merasa tidak bisa menerima jika harus bersama dengan bekas budak. Dan berbagai persyaratan yang diajukan oleh mereka ini, tentu saja ditolak oleh Rasulullaah. Sehingga segala harapan dan asa beliau berkenaan dengan para pemimpin Quraisy 15 © Islamic Online University ETH 101 ini kandas. Akan lebih baik sesungguhnya bagi beliau untuk menghabiskan waktu bersama dengan Ibn Umm Maktum, seorang Muslim yang buta. Maka Allaah pun menegurnya dalam pilihan yang datang dari dorongan diri Rasulullaah secara pribadi. Pilihan beliau saat itu bukanlah berasal dari wahyu. Kapanpun hal semacam ini terjadi maka Allaah akan mengkoreksinya, sehingga hal-hal semacam ini tidak d