🎧 New: AI-Generated Podcasts Turn your study notes into engaging audio conversations. Learn more

BUKU JURNALISTIK OK.pdf

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

Full Transcript

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) DAFTAR GAMBAR hlm Gambar 2.1 Proses Komunikasi 1 ………………………………. 12 Gambar 2.2 Proses Komunikasi 2 ………………………………. 12 Gambar 2.3 Proses Komunikasi Sosial..……………………. 13 Gambar 3.1 Teori Jarum Hipodermik ……………….……. 44...

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) DAFTAR GAMBAR hlm Gambar 2.1 Proses Komunikasi 1 ………………………………. 12 Gambar 2.2 Proses Komunikasi 2 ………………………………. 12 Gambar 2.3 Proses Komunikasi Sosial..……………………. 13 Gambar 3.1 Teori Jarum Hipodermik ……………….……. 44 Gambar 3.2 Teori Use and Gratification …………..……………. 45 Gambar 3.3 Teori Agenda Setting ……………………… 47 Gambar 3.4 Teori Kultivasi ……………………………………….. 49 Gambar 3.5 Teori Belajar Sosial ……………………………… 50 Gambar 7.1 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Informasi ….. 129 Gambar 8.1 Model Penulisan Berita …….……………………… 139 Gambar 8.2 Nilai Aktualitas Berita …………………………. 141 Gambar 8.3 Unsur Aktualitas dari Prakke ………………… 141 Gambar 8.4 Aktualitas Prakke ………………………… 142 Gambar 8.5 Aktualitas dari Dovifat …………………………. 142 Gambar 8.6 Objektivitas ……………………..……………. 143 Gambar 8.7 Reporter Netral dari Cohen..…………………… 144 Gambar 8.8 Reporter Pemeranserta dari Cohen ………. 144 1 DAFTAR TABEL hlm Tabel 3.1 Perbandingan Karakteristik Media Massa …………….. 25 Tabel 6.1 Perjalanan Kode Etik Jurnalistik ……………………… 97 Tabel 12.1 Persepsi Kategori Penodaan Agama ………………….. 218 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku Jurnalistik bukan buku baru pada khazanah keilmuan Komunikasi, sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan buku yang bernapas Jurnalistik terbit, baik ditulis oleh ilmuwan dalam negeri maupun luar negeri. Namun, Jurnalistik sebagai salah satu Ilmu Terapan dalam Bidang Ilmu Komunikasi tidak stagnan, selalu dinamis sejalan dengan pesatnya perkembangan jaman. Apalagi, Jurnalistik tidak dapat melepaskan, bahkan selalu beriringan dengan perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi, sehingga ketika teknologi informasi mengalami perkembangan yang luar biasa, maka Jurnalistik pun mengalami kondisi yang sama. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika buku-buku Jurnalistik terus diterbitkan dan buku-buku tersebut pun tetap mendapatkan minat yang besar dari masyarakat karena isi dari buku tersebut pun selalu up to date sesuai perkembangan jaman. Namun, bukan berarti buku yang lama tidak berarti bagi khazanah perkembangan Jurnalistik. Buku yang lama tetap penting, tetapi perlu dilakukan sejumlah perubahan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi. Seperti halnya buku yang berjudul Jurnalistik: Literary Journalism yang ditulis oleh penulis pada kesempatan ini. Di dalamnya masih terdapat konsep-konsep lama yang sebenarnya sudah disampaikan oleh buku-buku Jurnalistik sebelumnya, tetapi di dalamnya juga kaya dengan temuan-temuan baru yang up to date; yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kalangan terdidik yang memiliki minat pada dunia jurnalistik. Buku ini disusun dengan strategi selain untuk melayani mahasiswa Ilmu Komunikasi, juga untuk melayanani masyarakat peminat Jurnalistik yang memerlukan up date sekitar perkembangan dunia Jurnalistik kekinian sejalan dengan perkembangan jaman. Sasaran yang ingin dicapai dengan buku ini, secara umum menginginkan mahasiswa dan masyarakat umum memiliki pemahaman yang holistik tentang Jurnalistik, baik secara teoretis maupun praktis. Secara khsusus mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan praktis dalam menyusun karya Jurnalistik, khususnya teknis menulis Literary Journalism yang merupakan hasil perpaduan keterampilan antara Jurnalistik Terapan dan Sastra Terapan. Oleh karena itu, Buku Jurnalistik: Literary Journalism ini dapat dijadikan buku teks bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sastra di seluruh Perguruan Tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh 3 karena itu, semoga dengan hadirnya buku ini dapat mempermudah proses perkuliahan, sehingga lebih efektif. B. Tujuan Pembelajaran Agar mahasiswa dan masyarakat umum mampu mengetahui, memahami, menganalisis dan mempraktikkan kemampuan menulis mereka dalam bentuk karya-karya Jurnalistik yang bernuasa sastra. Dengan mempelajari teori, konsep, dan langkah-langkah praktis di bidang Jurnalistik dan dipadukan dengan kemampuan menundukkan kata-kata, mahasiswa akan mampu membuat karya nyata untuk memberikan kontribusi pada perkembangan dalam berbagai aspek, baik teoretis, akademis, praktis, bahkan manfaat positif bagi masyarakat luas. C. Peta Konsep Buku ini disusun se-sistematis mungkin, dari mulai hal-hal yang teoretis sampai pada hal-hal yang praktis; dari mulai hal-hal yang umum sampai ke hal-hal yang khusus. Buku ini dimulai dengan pembahasan tentang Ilmu Komunikasi yang merupakan induknya Ilmu Jurnalistik. Dalam bab ini dipaparkan tentang definisi komunikasi, fungsi komunikasi, tujuan komunikasi, sampai ke proses komunikasi. Semua dipaparkan secara singkat, tetapi diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang seluk beluk Komunikasi. Setelah membahas secara singkat dan padat tentang Komunikasi, kemudian dibahas salah satu cabang Ilmu Komunikasi yang menurunkan Ilmu Jurnalistik, yakni Komunikasi Massa. Pembahasan Komunikasi Massa cukup komprehensif dari mulai definisi, media massa, fungsi komunikasi massa, etika komunikasi massa, sampai dipaparkan beberapa contoh media massa dan beberapa contoh Teori Komunikasi Massa. Beranjak pada pembahasan selanjutnya, dikupas tentang Pers karena kalau berbicara media massa harus juga berbicara pers karena antara media massa, pers, dan jurnalistik erat kaitannya. Pada Bab Pers dibahas tentang definisi pers, fungsi pers, hak dan kewajian pers, serta sistem pers yang ada pada dunia. Bab berikutnya dibahas tentang Jurnalistik dan Wartawan. Jurnalistik diungkap mulai dari definisi sampai aspek-aspek penting dari Jurnalistik baik dalam pandangan teoretis maupun pandangan praktis. Dalam bahasan wartawan diungkap tentang definisi wartawan, tugas dan fungsi wartawan, serta profil wartawan ideal dalam berbagai kacamata, termasuk dalam kaca mata ajaran agama Islam. 4 Kemudian dibahas juga tentang Kode Etik Jurnalistik yang menjadi rujukan pokok gerak langkah para wartawan dalam menjalankan tugas, baik bagi wartawan media cetak maupun media elektronik. Hal itu penting disampaikan agar dapat diketahui hal-hal apa saja yang baik dan tidak baik, yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang wartawan, terutama pada era kekinian yakni era euphoria kebebasan pers pada masa reformasi ini. Selanjutnya dibahas tentang konten media massa yang merupakan karya jurnalistik dengan berbagai jenis, mulai news sampai views. Dalam bab ini selain disajikan teknik penulisan, juga dilengkapi dengan contoh- contoh yang dapat menjadi panduan pembaca. Bab selanjutnya dibahas khusus tentang Literary Journalism atau Jurnalistik Sastra atau istilah yang lebih popular feature. Mulai dari teknis pembuatan feature sampai contoh-contoh terkait dengan feature yang baik sebagai bahan pembanding dan rujukan bagi pembaca. Selain itu, buku ini pun ditambahkan dengan penguatan berupa pembahasan empat paket undang-undang komunikasi, yakni Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebagai penguat tambahan buku ini pun dibahas tentang Delik Pers, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Delik Pers dipaparkan analisis dari pasal-pasal dalam KUHPidana yang terkait dengan peran dan fungsi Pers. Sememtara itu, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia dibahas dari aspek kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya dalam upaya memfilter isi media massa agar sehat dan mendidik. *** 5 BAB II KOMUNIKASI A. Standar Kompetensi Mampu mengetahui, memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang Komunikasi, baik dari sisi definisi, proses, maupun fungsi, bahkan dengan pendekatan lain yang menunjukkan bahwa Komunikasi merupakan sebuah ilmu yang multidisipliner. B. Pengertian Komunikasi Masyarakat memandang istilah komunikasi sudah menjadi istilah yang biasa dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan lagi istilah ekslusif milik kelompok tertentu seperti sejumlah istilah keilmuwan lain. Komunikasi sudah menjadi kata pasaran yang dapat digunakan oleh siapapun, dalam konteks apapun dan dimanapun. Setiap orang memiliki kebebasan untuk meggunakan sekaligus mempersepsikan istilah komunikasi sesuai degan pendekatan masing-masing. Penulis mempersepsi komunikasi dalam paparan panjang satu bab yang pernah dituliskan dalam buku Komunikasi Politik yang diterbitkan Simbiosa Rekatama Media (2010). Dalam persepsi penulis, orang berdiskusi, berceramah, berpidato, atau mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka, baik melalui media massa maupun tidak, sedang berkomunikasi. Ketika sekelompok orang atau kerumunan orang berdiskusi baik di televisi maupun dalam ruangan-ruangan rapat, bahkan di warung kopi sekalipun, itu pun dapat dipersepsi sedang berkomunikasi. Bahkan, orang terduduk diam atau berdiri mematung tanpa mengungkapkan sepatah kata pun sering dikategorikan sedang berkomunikasi, termasuk orang-orang yang membakar dupa di bawah pohon rindang pun berkomunikasi. Komunikasi memang sudah menjadi istilah yang familiar dalam keseharian kehidupan manusia, bahkan dalam persepsi manusia, dalam kehidupan hewan pun terjadi komunikasi sebagaimana sejumlah hasil penelitian yang mengarahkan pada lahirnya komunikasi hewani. Hewan dapat berkembang biak karena berkomunikasi. Warna warni suara burung, monyet, kambing, dan binatang lainnya menunjukkan warna- warninya makna yang sedang dikomunikasikan. Setiap suara yang hewan keluarkan memiliki warna makna yang berbeda dengan warna suara lainnya. 6 Namun sejumlah ilmuwan berpandangan bahwa inti komunikasi adalah manusia. Ketika manusia ada, maka semua lini kehidupan manusia tersebut adalah komunikasi. Dalam konteks inilah manusia dianggap sebagai mahluk yang paling sempurna karena dapat melahirkan komunikasi; semua hal dapat dipersepsi sebagai komunikasi jika manusia mempersepsikan sebagai komunikasi, sehingga persepsi komunikasi ini selalu mengikuti aturan yang dibuat manusia. Pola-pola komunikasi selalu mengikuti pola-pola keteraturan perilaku manusia, bukan pola-pola hukum alam. Hasil penelitian Cushman dan Pearce (1977) menegaskan bahwa individu di dalam membuat keputusan (berpelaku) sesuai dengan rules tertentu, baik yang bersifat personal maupun kelompok, dan tidak diatur/didasarkan pada hukum-hukum alam yang bersifat deterministik. Menurut Ninna Syam (2002:15), keteraturan dalam komunikasi manusia merupakan fungsi dari lima faktor sebagai berikut : 1. Hukum alam, fisiologis (faali), biologi, psikologi, dan bahkan fisika memungkinkan munculnya tindakan atau gerakan tertentu. Gerakan-gerakan tertentu itu sangat dipengaruhi oleh hukum-hukum gerak atau tindakan yang bersifat fisikal dan neurologikal. Ini semua mempengaruhi semua perilaku manusia (P. Andersen, Garrison & J. Andersen,1979). 2. Rules (norma-norma budaya) ada pada diri setiap orang, baik dalam sistem regional maupun sosial, meskipun tidak disadari. Manusia berperilaku sesuai dengan norma-norma ini karena setiap orang dalam konteks kebudayaannya berperilaku sama/serupa, dan ini seringkali tanpa disadari (P. Andersen, Lustig & J. Andersen,1987). 3. Sifat-sifat pribadi (personal traits) merupakan predisposisi, pola-pola personal atau tindakan-tindakan yang bersifat habitual (kebiasaan) yang telah dan sedang berkembang pada diri individu. Ini sering kali tidak disadari, kecuali jika mereka mencapai tingkai kesadaran tertentu, maka pola-pola semacam itu dipandang sebagai bagian dari kepribadian. Orang menggambarkan dirinya dengan ribuan istilah sifat seperti kasih sayang, nervous, malu atau talk-active (senang ngobrol) (P. Andersen,1987). 4. Pola-pola relasional (relational patterns) merupakan tindakan yang bisa diramalkan (terpola) pada situasi komunikasi kelompok kecil atau dyads. Mereka yang terlibat mungkin sadar atau mungkin tidak, senang atau tidak senang dengan 7 keteraturan ini, tetapi keteraturannya nampak mencolok (mudah diramalkan) (Cronea Pearce dan Snavely,1979). 5. Pilihan-pilihan yang disadari relatif dapat menggambarkan semua bentuk perilaku komunikasi ((P. Andersen, 1986). Bagaimanapun juga manusia dapat melakukan suatu pola perilaku yang sangat disadari seperti dalam membuat perencanaan, penyusunan strategi, taktik serta perilaku lainnya yang diarahkan untuk mencapai suatu sasaran. Kaca mata keilmuwan pun memandang istilah komunikasi sudah mengalami perluasan. Komunikasi sudah milik semua disiplin ilmu, tidak hanya Ilmu Sosial, tetapi ilmu-ilmu eksakta pun sudah lekat dengan istilah komunikasi. Kita sekarang mengenal komunikasi kesehatan, komuikasi fisika, komunikasi biologi, komunikasi matematika, dan komunikasi-komunikasi lainnya. Bahkan, Perspektif Pohon Komunikasi yang digambarkan Nina Winangsih Syam (2002) dalam Rekonstruksi Ilmu Komunikasi memaparkan dengan jelas bahwa terjadi sinergitas di antara Ilmu Komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya, sehingga komunikasi disebut sebagai ilmu yang multidisipliner. Kenyataan tersebut menjadi landasan yang kokoh bagi setiap ilmuwan untuk mempersepsikan definisi komunikasi sesuai dengan pendekatan masing-masing. Katrine Miller (2005) menyatakan bahwa konsep komunikasi sangat banyak dan berubah secara substantif sepanjang waktu. Sarah Trenholm (1991) menyatakan bahwa meskipun komunikasi dapat lintas negara, hal ini bukan berarti komunikasi tidak dapat dipahami. Kendati dalam konteks Etimologi Bahasa, instilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata bahasa Latin communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Dalam persepsi umum, kata sama yang dimaksud di sini adalah sama makna; sama persepsi, sehingga melahirkan kesamaan dalam memaknai sesuatu. Kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk perbincangan, komunikasi terjadi jika di antara dua orang tersebut terjadi kesamaan makna mengenai hal yang diperbincangkan tersebut. Dalam konteks ini, Onong Uchjana Effendi (2001:9) mengistilahkannya sebagai tindakan yang komunikatif. Oleh karena itu, sama merupakan ruhnya bagi komunikasi karena kesamaan persepsi akan melahirkan kesamaan makna dan hal itu merupakan landasan lahirnya komunikasi yang efektif. Banyak orang ramai-ramai belajar Bahasa Inggris merupakan fakta logis untuk 8 membangun komunikasi yang efektif dengan warga dunia dengan asumsi dasar sekitar 70% warga dunia menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat utama berkomunikasi. Indonesia pun yang merupakan negara penuh keberagaman, dari mulai berbeda suku bangsa, bahasa, adat istiadat, agama, ras, dan latar belakang budaya, diikat dengan berbagai kesamaan. Mulai dari merasa sama dari sisi aspek historis sebagai bangsa terjajah oleh Belanda dan berjuang untuk merebut kemerdekaan, sehingga dilahirkan kesamaan bahasa: Bahasa Indonesia, kesamaan bendera: Merah Putih, kesamaan lambang negara: Garuda Pancasila, kesamaan lagu kebangsaan: Indonesia Raya, dan kesamaan-samaan lainnya yang baik secara politis maupun ideologis untuk menguatkan dan mengikat perbedaan. Oleh karena itu, dikuatkan dalam jargon Bhika Tunggal Ika: Berbeda-beda tetapi satu tujuan sebagaimana kesepakatan bersama dalam aturan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusional negara yang mengikat seluruh Bangsa Indonesia. Kesamaan-kesamaan itulah yang membuat Indonesia tetap kokoh dan tangguh walaupun acapkali perbedaan mencuat ke permukaan sebagai sumber konflik, tetapi dapat dipadamkan karena kesamaan- kesamaan tersebut. Bahkan, Indonesia memiliki empat pilar kebangsaan yang terus dipupuk, dipelihara, dilestarikan, dan berusaha diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, yakni: Pancasila, UUD 1945, Bhika Tunggal Ika, dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sebaliknya, beda atau perbedaan seringkali diidentifikasi sebagai ancaman dalam membangun komunikasi yang efektif atau seringkali disebut sebagai kendala komunikasi (noise communication). Hal itu berangkat dari fakta dalam kehidupan sehari-hari manusia bahwa perbedaan acapkali menjadi sumber konflik, seperti halnya konflik Korea Utara-Korea Selatan yang tidak juga berkesudahan karena berbeda ideologi; atau antara India-Pakistan, termasuk di Indonesia seringkali konflik terjadi berlatar belakang isu agama, suku, ras, dan perbedaan lainnya. Kendati Ulama Besar, Kiai Haji Abdullah Gymnastiar yang dikenal Aagim, sering menyebutkan bahwa perbedaan itu rahmat. Bahkan, ia menggambarkan bahwa musik itu indah terdengar karena berangkat dari perbedaan. Namun, musik menjadi indah karena berbeda dengan dibangun dalam harmonisasi yang dikomandoi oleh komposer. Dalam konteks inilah, perbedaan memang dapat menjadi indah jika diharmoniskan, sehingga melahirkan kajian manajemen konflik. Konflik 9 tidak selamanya berdampak negatif, tetapi seringkali berpengaruh positif jika dikelola dengan baik. Namun, ada juga yang menggunakan istilah komunikasi sosial (social communication) atau komunikasi manusia (human communication) adalah ilmu yang mempelajari pernyataan antara manusia yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang (simbol) yang berarti. Esensinya, menurut Santoso Santropoetro (1987:7) adalah kesamaan pengertian di antara mereka yang berkomunikasi. Suatu komunikasi dalam kegiatannya berlangsung melalui suatu proses, yaitu jalan dan urutan kegiatan sehingga terjadi/timbul pengertian tentang suatu hal di antara unsur-unsur yang saling berkomunikasi. Komunikasi adalah kegiatan manusia untuk saling memahami atau mengerti tentang suatu pesan yang dihadapi bersama, yaitu antara pemberi pesan (komunikator) dengan penerima pesan (komunikan), pada umumnya berakhir dengan suatu efek atau hasil. Efek komunikasi merupakan segala perubahan yang terjadi di pihak komunikan sebagai akibat diterimanya suatu pesan oleh komunikan. Frank Dance dan Carl Larson (1976) mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Sekarang, dengan makin berkembangnya Ilmu Komunikasi dan makin banyaknya ilmuwan komunikasi, sangat dimungkinkan definisi komunikasi tersebut jauh lebih banyak. Dance menemukan tiga dimensi konseptual penting yang mendasari definisi komunikasi sebagai berikut: Pertama adalah tingkat observasi (level of observation) atau derajat keabstrakannya. Misalnya, definisi komunikasi sebagai ‛proses yang menghubungkan satu sama lain bagian-bagian terpisah dunia kehidupan‛ adalah terlalu umum, sementara komunikasi sebagai ‛alat untuk mengirim pesan militer, perintah dan sebagainya lewat telepon, telegraf, radio, kurir, dan sebagainya‛ terlalu sempit. Kedua adalah kesengajaan (intentionality). Sebagian definisi mencakup hanya pengiriman dan penerimaan pesan yang disengaja; sedangkan sebagian definisi lainnya tidak menuntut syarat ini. Contoh definisi yang mensyaratkan kesengajaan ini dikemukakan Gerald R. Miller, yakni komunikasi sebagai suatu situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber menstranmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Definisi komunikasi yang mengabaikan kesengajaan adalah definisi yang dinyatakan Alex Gode, yakni suatu proses yang membuat sama bagi dua orang atau lebih apa yang tadinya merupakan monovoli seseorang atau sejumlah orang. 10 Ketiga adalah penilaian normatif. Sebagian definisi meskipun secara implisit menyertakan keberhasilan atau kecermatan; sebagian lainnya tidak seperti itu. Definisi Komunikasi dari John B. Hoben, misalnya, mengasumsikan bahwa komunikasi itu harus berhasil: Komunikasi adalah pertukaran verbal pikiran atau gagasan. Asumsi dibalik definisi tersebut adalah bahwa suatu pikiran atau gagasan secara berhasil dipertukarkan. Sebagian definisi lainnya tidak otomatis mensyaratkan keberhasilan ini, seperti definisi komunikasi dari Bernard Berelson dan Gary Steiner, komunikasi adalah transmisi informasi. Carl I. Hovland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication in the process to modify the behavior of other individuals). Sementara itu, menurut William Albig (dalam Djoernasih,1991:16), ”Communication is the process of transmitting meaningful symbols bertween individuals.‛ (Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna di antara individu-individu) dan menurut Bernard Berelson dan Barry A. Stainer (dalam Effendy,1992:48), komunikasi adalah penyampaian informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan bahasa, gambar-gambar, bilangan, grafik, dan lain- lain. Definisi komunikasi dari Berelson dan Steiner (1964) memfokuskan pada unsur penyampaian. Shannon dan Weaver (1949) juga menerima unsur penyampaian ini, akan tetapi mereka menambahkan unsur inheren lainnya pada waktu mereka mendefinisikan komunikasi, sebagai : mencakup semua prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi orang lainnya. Seperti itu pula Shachter (1961) yang menulis bahwa komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan. Definisi semacam itu menempatkan komunikasi sebagai unsur kontrol sosial di mana seseorang mempengaruhi atau berusaha mempengaruhi perilaku, keyakinan, sikap, dan seterusnya dari orang lain dalam suatu suasana sosial. Gray dan Wise (1959) sependapat dengan konsepsi komunikasi menurut aliran behaviorist sebagai penyajian stimuli maupun sebagai suatu respon apakah itu yang sebenarnya ataupun yang dikhayalkannya sebagaimana ia timbul dalam kesadaran si pengambil inisiatif dari proses ini. Tanpa mendalami kelebihan dan kekurangan aliran behaviorist, orang dapat dengan secara aman mengasumsikan bahwa memandang komunikasi dalam pengertian fenomena stimuli-respon merefreksikan pengaruh secara garis besarnya saja dari skinner atau psikologi perilaku bersama semua revisi dan penyempurnaannya yang dilakukan orang pada tahun-tahun akhir ini. 11 Fotheringham (1966) menunjukkan bahwa tujuan komunikasi yang diterima secara meluas adalah ia harus benar-benar fragmatis, artinya : untuk menolong si penerima menangkap arti yang sama sebagaimana yang ada dalam pikiran si komunikator. Gode (1959) menerapkan suatu unsur yang sama, khususnya disebut kebersamaan arti, ia mendefinisikan komunikasi menjadi suatu proses yang membuat adanya kebersamaan bagi dua atau lebih orang yang semula dimonovoli oleh satu atau beberapa orang. Menurut B. Aubrey Fisher (1986: 11) bahwa komunikasi dapat dipandang baik atau efektif sejauh ide, informasi, dan sebagainya dimiliki bersama oleh atau mempunyai kebersamaan arti bagi orang-orang yang terlibat dalam perilaku komunikasi tadi. Dari banyaknya definisi komunikasi tersebut, untuk lebih memahami komunikasi para peminat komunikasi seringkali mengutif paradigma komunikasi yang dikemukakan Harold Lasswell dalam karyanya The Structure and Function of Communication in Society. Menurutnya, pendekatan yang tepat untuk memahami komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Dalam paradigm Lasswel tersebut dijelaskan bahwa dalam upaya memahami komunikasi harus dapat menjawab lima unsur dalam komunikasi, yakni : Komunikator (communicator, sender, source), pesan (message), media (channel), komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient), dan efek (effect, impact, influence). Berdasarkan lima unsur tersebut, persepsi tentang komunikasi menurut Lasswell adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang akan menimbulkan efek tertentu. Memang secara umum, titik tekan pengertian komunikasi tidak dapat melepaskan diri dari model komunikasi klasik yang pernah diungkapkan Aristoteles bahwa inti dari komunikasi adalah adanya komunikator yang bertugas menyampaikan pesan, sehingga pesan juga harus ada sebagai muatan dalam komunikasi, dan adanya penerima pesan atau disebut komunikator. Adapun di antara komunikator, pesan, dan komunikan itu muncul instilah-instilah lain sangat bergantung dari pendekatan masing-masing ilmuwan termasuk tingkat khazanah berpikir para peminat ilmu komunikasi. Dalam konteks Filsafat Ilmu, tadinya sejumlah ilmuwan berpandangan bahwa Ilmu Komunikasi merupakan bagian dari Ilmu Sosial, sehingga dalam konteks aplikatif di perguruan tinggi Jurusan/Program Studi Ilmu Komunikasi berada pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip). Namun makin ke sini sejumlah ilmuwan 12 berpandangan bahwa Komunikasi merupakan ilmu yang mandiri; sejajar dengan Ilmu Sosial, sehingga dalam konteks aplikatif di perguruan tinggi lahirlah Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom). Bahkan, pada era kekinian sejumlah ilmuwan komunikasi sudah mulai bergeser pada paradigma bahwa Ilmu Komunikasi adalah ilmu yang multidisipliner; ilmu yang berhubungan dan/atau dibangun oleh/dengan ilmu-ilmu lainnya dari seluruh ilmu yang ada. Hal itu dibuktikan dengan makin rindangnya cabang Ilmu Komunikasi yang lahir dari perpaduan antara Ilmu Komunikasi dengan ilmu lainnya. C. Proses Komunikasi Beranjak dari setumpuk definisi tentang komunikasi dengan berbagai perspektif dari para ilmuwan, secara umum banyak ilmuwan sepakat bahwa komunikasi itu merupakan sebuah proses penyampaian pesan dalam bentuk ide, gagasan, pikiran, perasaan, emosi, perilaku dan sebagainya. Pesan dapat juga berbentuk verbal maupun non verbal dan dapat disengaja (intentional) dan tidak disengaja (unintentional). Ada empat jenis pesan yang mungkin ada dalam proses komunikasi: (1) verbal disengaja; (2) verbal tak disengaja; (3) nonverbal disengaja; (4) non nonverbal tak disengaja. Pesan verbal adalah semua jenis komunikasi lisan yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rancangan wicara (communicative stimuli) yang disadari masuk dalam kategori pesan verbal disengaja; yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Pesan verbal tidak disengaja adalah sesuatu yang dikatakan tanpa bermaksud mengatakan hal tersebut. Pesan nonverbal merupakan seluruh aspek perilaku: ekspresi wajah, sikap tubuh, nada suara, gerakan tangan, cara berpakaian dan sebagainya. Pesan tersebut meliputi semua pesan yang disampaikan tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata yang kita gunakan. Perbedaan pesan nonverbal yang disengaja dan yang tidak disengajar adalah dalam aspek keinginan, jika pesan nonverbal yang ingin disampaikan berarti pesan nonverbal disengaja, sedangkan yang tidak ingin disampaikan dianggap tidak disengaja. (Tubbs,2000:8-9) Onong Uchjana Effendy (2001:11) membagi proses komunikasi dalam dua sisi. Pertama, proses komunikasi secara primer dan kedua, proses komunikasi secara skunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Sementara itu, proses komunikasi secara skunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan 13 menggunakan alat dan sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Pendapat yang dikemukakan Effendy dapat diilustrasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Seseorang berbicara dengan orang lain secara face to face di manapun tempatnya, mau di kampus, di warung kopi, di angkot bahkan di jalanan ketika bertemu teman lama, maka menurut Onong, mereka melakukan proses komunikasi primer. Namun, jika orang tersebut berbicara atau mengobrol menggunakan telepon atau hand phone, dan alat sejeninya, mereka dikategorikan melakukan proses komunikasi skunder. May Rudi (2005:2) mendefinisikan proses komunikasi adalah rangkaian kejadian/peristiwa atau perbuatan melakukan hubungan, kontak, dan interaksi satu sama lain (pada umumnya di antara mahluk hidup, walau lebih jauh dalam era cyber technology ini telah pula dimungkinkan komunikasi dengan komputer dan robot) berupa penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna. Dalam proses komunikasi paling sedikit terdapat tiga unsur pokok, yaitu misi penyebar pesan, pesannya, dan si penerima pesan. Suatu komunikasi dapat dikatakan efektif/berhasil bilamana di antara penyebar pesan dan penerima pesan terdapat suatu pengertian yang sama mengenai isi pesan. Isi pesan disampaikan oleh penyebar melalui lambang yang berarti. Lambang-lambang itu dapat dikatakan sebagai titian atau kendaraan untuk membawa pesan kepada si penerima. Lambang-lambang atau simbol-simbol yang digunakan antarmereka dapat terdiri atas: bahasa (baik lisan maupun tulisan), isyarat-isyarat, gambar-gambar, tanda-tanda, dan lain-lain. 14 Gambar 2.1 Proses Komunikasi 1 Penyebar pesan Penerima Pesan (Komunikator) Pesan (Komunikan) Sumber : Santoso Sastropoetro,1987: 8 Misalnya tentang masalah kontroversial Gambar 2.1 ini mengingatkan pada model komunikasi yang paling klasik yang dikemukakan Aristoteles yang sering juga disebut model retoris (rhetorical model). Aristotles adalah Filosof Yunani yang menjadi tokoh paling dini mengkaji komunikasi yang memberikan titik tekan pasa persepsi persuasi. Ia berjasa dalam merumuskan model verbal pertama. Menurutnya, komunikasi terjadi ketika seseorang pembicara menyampaikan pembicaraannya kepada khalayak dalam upaya mengubah sikap mereka. Ia mengemukakan tiga unsur dalam proses komunikasi, yakni pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). Fokus komunikasi yang ditelaah Aristoteles adalah komunikasi retoris yang kini lebih dikenal dengan komunikasi publik (public speaking). Dan B. Cusrtis, James J. Floyd, dan Jerry L. Winsor (2004:7) menekankan beberapa komponen proses komunikasi, yakni sumber, pesan, penyandian, saluran, umpan depan, penguraian sandi, penerima, umpan balik, gangguan, dan konteks. 15 Gambar 2.2 Proses Komunikasi 2 Gangguan Umpan Depan Pesan sumber Encoding Saluran Decoding Penerima Umpan Balik Sumber : Dan B.Curtis et.all,2004 Sumber (komunikator) adalah pemrakarsa suatu pesan. Penyandian atau penulisan sandi adalah suatu proses atau tindak penyeleksian simbol-simbol yang mewakili pikiran seseorang. Sebuah sumber memilih sandi verbal atau nonverbal, seperti Inggris-Amerika dan mengirimkan simbol-simbol melalui saluran-saluran (seperti gelombang suara dan rangsangan visual) yang akan dipahami oleh para penerima. Umpan depan adalah informasi pengantar mengenai komunikasi masa mendatang yang meliputi pesan-pesan verbal. Penguraian sandi adalah suatu proses pemberian arti terhadap simbol- simbol yang diterima. Penerima adalah orang-orang yang menerima simbol-simbol. Umpan balik adalah setiap pesan verbal atau nonverbal yang dikirimkan kembali kepada sumber yang berhubungan dengan pesan sumber. Gangguan adalah setiap faktor yang mengubah atau mencampuri penerimaan pesan yang jelas. Konteks meliputi kondisi fisik dan kondisi lain yang melingkupi tindakan komunikasi Katrine Miller (2005) pun berpendapat bahwa komunikasi merupakan suatu proses sosial dimana individu menyampaikan simbol untuk menyeimbangkan dan menafsirkan makna dalam lingkungannya. Dalam konteks ini, terdapat lima kunci istilah dalam proses komunikasi, yakni sosial, proses, simbol, makna, dan lingkungan sebagaimana gambar berikut : 16 Gambar 2.3 Proses Komunikasi Sosial Environme nt Meaning Social COMMUNICATIO N Symbol Process Sumber Baldwin, 2004 Pertama diyakini bahwa komunikasi merupakan proses sosial. Pada saat ditafsirkan komunikasi sebagai proses sosial, hal itu melibatkan sejumlah orang dalam interaksi, minimalnya melibatkan dua orang, pengirim dan penerima (pesan). Hal ini tentu saja melibatkan intensitas, motivasi dan kemampuan. Komunikasi ini akan selalu berlangsung (tanpa awal) dan tanpa akhir sehingga komunikasi merupakan hal yang sifatnya kompleks, dinamis dan berubah secara kontinu. Kedua, proses alami dari komunikasi dapat dilihat salah satunya dari awal hingga akhir percakapan. Dalam proses ini, individu dan budaya dapat mengubah efek komunikasi. Komunikasi sebagi proses berkaitan dengan sifat komunikasi yang tidak dapat diulang dan dikembalikan ke posisi sebelum komunikasi berlangsung. Dance (1967) menggambarkan proses komunikasi dalam bentuk spiral atau helix. Dance menyatakan bahwa pengalaman komunikasi merupakan akumulasi dan dipengaruhi oleh masa lalu sehingga proses komunikasi yang berlangsung tidak bersifat linier. Dengan demikian komunikasi merupakan proses yang berubah sepanjang waktu di antara partisipannya (pihak yang terlibat dalam proses komunikasi dimaksud). Ketiga, komunikasi pada hakikatnya merupakan suatu simbol. Simbol dimaksud merupakan label atau ’sesuatu’ yang dapat mewakili 17 dan ditujukan pada suatu fenomena. Terdapat dua jenis simbol dalam prosess komunkasi, yaitu (1) simbol konkret yang mewakili suatu obyek, dan (2) simbol abstrak yang mewakili suatu ide atau gagasan. Keempat, hal yang mengaitkan antara proses dengan simbol adalah makna yang merupakan pusat dari pendefinisian komunikasi. Makna merupakan apa yang orang disarikan dari pesan. Kelima, lingkungan merupakan situasi / konteks dimana komunikasi terjadi. Lingkungan dimaksud termasuk sejumlah elemen yang terdiri dari waktu, tempat, periode sejarah, hubungan dan latar belakang budaya antara pembicara dan pendengar. Gerald Miller dan Mark Steinberg (1975) menafsirkan proses komunikasi sebagai berikut : We have chosen to restrict our discussion of communication to intentional symbolic transactions: those in which at least one of the parties transmits a message to another with the intent of modifying the other’s behavior... by our definition, intent to communicate and intent to influence are synonymous. If there is no intent, there is no message. Meskipun demikian, hal tersebut dapat diperdebatkan, terutama terkait dengan adanya pesan yang disampaikan tanpa tujuan atau pesan yang disampaikan karena seseorang salah memberi makna terhadap sesuatu hal. Miller-Steinberg menyatakan bahwa yang disebut dengan komunikasi apabila pesan disampaikan secara sengaja (mempunyai tujuan) dan diterima secara akurat. Palo Alto menyatakan bahwa ketika dua orang yang bersama- sama, mereka akan berkomunikasi karena tidak dapat menghindar dari berperilaku. Meskipun mereka saling diam dan menghindari kontak mata, pada hakikatnya mereka berkomunikasi. Lebih lanjut, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang dilakukan, termasuk pengabaian, berbicara yang membingungkan kepada orang lain pun juga merupakan komunikasi. Kenyataannya, Michael Motley (1990) memberikan alasan bahwa tidak semua perilaku merupakan komunikasi, hanya perilaku yang interaktif sajalah yang disebut sebagai komunikasi. D. Fungsi Komunikasi Tidak satu benda atau kata pun yang ada di dunia ini tidak berfungsi. Allah yang Maha Pemurah telah menciptakan seluruh isi bumi ini dengan fungsinya; untuk kemaslahatan umat. Namun, dalam kehidupan real selanjutnya, kadang manusia tidak memahami fungsi dari eksistensi suatu kata atau suatu benda tersebut. 18 Terlebih kata komunikasi, sebagaimana dipaparkan di atas, jika disimak secara saksama fungsi komunikasi itu sangat banyak, bahkan mungkin akan lebih dulu habis tinta, ketimbang dapat memaparkan fungsi komunikasi sampai selesai. Hal itu untuk menggambarkan betapa banyaknya fungsi komunikasi dalam kehidupan manusia di dunia ini. Namun, demikian bukan berarti orang tak mampu menuliskannya. Banyak peminat komunikasi atau ilmuwan komunikasi yang sudah memaparkan persepsinya tentang fungsi komunikasi, tetapi mereka belum mampu memuaskan semua pihak. Masih memungkinkan muncul persepsi lain tentang fungsi komunikasi. Oleh karena itu, buku ini dipastikan tidak akan mampu memuaskan para peminat komunikasi dalam hal memaparkan fungsi komunikasi. Deddy Mulyana (2001) dengan menggunakan kaca mata agama Islam membongkar hakikat fungsi manusia berkomunikasi. Menurutnya, Tuhanlah yang mengajari manusia berkomunikasi, dengan menggunakan akal dan kemampuan berbahasa yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Qur’an mengatakan, ”Tuhan Yang Maha Pemurah yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia yang mangajarinya pandai berbicara.‛ (Ar-Rahman: 1-4). “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakanya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar!” Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman, “Hai Adam beritahukanlah kepada mereka nama benda-benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu Allah berfirman, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan yang kamu sembunyikan.” (Al-Baqarah: 31-33) Persepsi fungsi komunikasi sebagaimana diungkapkan Deddy Mulyana dengan mengutif ayat-ayat dalam Al-Qur’an memang tidak dapat disangkal dan menguatkan hakikat dari manusia berkomunikasi. Hakikat manusia berkomunikasi merupakan upaya menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Tugas pokok manusia sebagai khalifah di muka bumi ini adalah menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Swt dengan jalan beriman dan bertakwa kepada-Nya. Dalam konteks lain, dapat lebih ditegaskan bahwa manusia 19 berkomunikasi adalah menjalankan perintah Allah atau dalam istilah agama adalah beribadah. Manusia berkomunikasi adalah beribadah. Hal itu sejalan dengan visi ke-Islaman yang memegang teguh filsafat komunikasi hablum minannas dan hablum minallah bahwa manusia harus menjalin komunikasi dengan sesama manusia dan dengan Sang Khaliq; Allah Swt. Oleh karena itu, lahirlah model komunikasi vertikal dan horizontal. Kedua model inilah yang menurunkan makin banyak cabang ilmu komunikasi. Komunikasi vertikal menurunkan lahirnya komunikasi transendental, supranatural, suprasegmental, dan komunikasi ritual. Sementara itu, komunikasi horizontal melahirkan komunikasi intrapersonal, antar-persona, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi massa, dan jenis komunikasi lainnya yang berkait dengan menjalin hubungan antara manusia dengan manusia lainnya baik secara individual maupun kelompok, baik komunikasi bermedia atau pun komunikasi langsung. Pakar komunikasi Barat yang banyak dijadikan rujukan oleh para ilmuwan komunikasi di Indonesia, Harold D. Laswell (1948) memaparkan tentang fungsi komunikasi sebagai berikut : 1. Penjagaan/pengawasan lingkungan (survillance of the environment); 2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk lingkungannya (correlation of the part of society in responding to the environment); dan 3. Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya (transmission of social heritage). Menurutnya, ada tiga kelompok yang selama ini melaksanakan ketiga fungsi tersebut. Fungsi pertama dijalankan oleh para diplomat, atase, dan koresponden luar negeri sebagai usaha menjaga lingkungan. Fungsi kedua, lebih diperankan oleh para editor, wartawan, dan juru bicara sebagai penghubung respon internal. Fungsi ketiga, dilaksanakan oleh para pendidik dalam lingkungan pendidikan formal atau informal karena terlibat dalam mewariskan adat kebiasaan, nilai-nilai dari generasi ke generasi. William I. Gorden (1978) mengungkapkan empat kerangka fungsi komunikasi. Pertama komunikasi sosial. Dengan komunikasi manusia dapat berhubungan sosial dengan sesama manusia lainnya dalam upaya memupuk silaturahmi, membangun aktualisasi diri, menanamkan citra diri, dan bekerjasama dalam berbagai bentuk kehidupan guna mempertahan keberlangsungan hidup. Kedua komunikasi ekspresif. Fungsi komunikasi ini berkait erat dengan komunikasi sosial. Dalam kehidupannya memupuk komunikasi 20 sosial, manusia memiliki keinginan untuk mengungkapkan berbagai perasaan dirinya terhadap pihak lain baik sebagai individu maupun kelompok. Berbagai perasaan manusia, seperti sayang, rindu, cinta, benci, peduli, simpati, sedih, takut, marah, dan berbagai gejolak perasaan lainnya diungkapkan kepada manusia lain melalui berbagai bentuk pesan-pesan, baik verbal maupun non-verbal. Ketiga komunikasi ritual. Manusia hidup tidak dapat melepaskan diri dari sistem kehidupan yang sudah dibentuk sebelumnya. Prosedur- prosedur kehidupan yang nyaris sebagian sudah melekat menjadi sebuah keyakinan dan keharusan dilakukan oleh manusia dalam menjalani pase- pase kehidupan. Pengungkapan berbagai perasaan sebagaimana komunikasi ekspresif dalam kontek memenuhi prosedur sistem kehidupan yang sudah diyakini, seperti pelaksanaan upacara kelahiran, ulang tahun, pernikahan, sampai pada upacara kematian merupakan bagian dari fungsi komunikasi ritual Keempat komunikasi instrumental. Komunikasi instrumental lebih pada fungsi komunikasi untuk melakukan tindakan persuasif, yakni untuk membujuk orang atau pihak lain dengan berbagai penguatan informasi yang diberikan. Komunikasi ini bertujuan di antaranya menginformasikan, mengajarkan, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan serta perilaku atau menggerakan tindakan dan menghibur orang atau pihak lain. Sementara itu, menurut Thomas M. Scheidel (1976) bahwa manusia berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar manusia, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang diinginkan. Menurut Scheidel, tujuan dasar manusia berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologi. Gordon I. Zimmerman et.al. (1977) merumuskan bahwa manusia dapat membagi tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, manusia berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan manusia; untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan kepenasaran akan lingkungan, dan menikmati hidup. Kedua, manusia berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Jadi, komunikasi mempunyai fungsi isi yang melibatkan pertukaran informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan manusia dengan manusia lain. Rudolph F. Verderber (1978) mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi sosial, yakni untuk tujuan 21 kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Kedua, fungsi pengambilan keputusan, yakni memutuskan untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu pada saat tertentu, seperti: apa yang akan dimakan pagi hari, apakah akan kuliah atau tidak, bagaimana belajar untuk menghadapi test. Menurut Verderber, sebagian keputusan itu dibuat sendiri dan sebagian lagi dibuat setelah berkonsultasi dengan orang lain. Sebagian keputusan bersifat emosional, dan sebagian lagi melalui pertimbangan yang matang. Semakin penting keputusan yang akan dibuat, semakin hati-hati tahapan yang dilalui untuk membuat keputusan. Verderber menambahkan, kecuali bila keputusan itu bersifat reaksi emosional, keputusan itu biasanya melibatkan pemrosesan informasi, berbagai informasi dan dalam banyak kasus, persuasi karena manusia tidak hanya perlu memroses data, tetapi sering juga untuk memperoleh dukungan atas keputusannya. Charles R. Wright (1988) menambahkan satu fungsi komunikasi, yaitu entertainment (hiburan) yang menunjukkan pada tindakan- tindakan komunikatif yang terutama sekali dimaksudkan untuk menghibur dengan tidak mengundahkan efek-efek instrumental yang dimilikinya. Sebenarnya cukup banyak pendapat para pakar komunikasi yang dapat dikutif yang memaparkan tentang fungsi komunikasi. Namun, kalau disimak bahwa keseluruhan pendapat tersebut kembali kepada hakikat fungsi komunikasi yakni membangun hubungan vertikal dan horizontal. Kendati jika ditakar, lebih banyak para pakar yang menitikberatkan komunikasi horizontal saja, yakni mengungkap hubungan manusia dengan manusia lainnya. *** 22 BAB III KOMUNIKASI MASSA A. Standar Kompetensi Mampu mengetahui, memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang Komunikasi Massa, baik dari sisi definisi, jenis, bentuk, fungsi, maupun teori sebagai bagian cabang dari Ilmu Komunikasi dan kaitannya dengan Media Massa, Pers, dan Jurnalistik. B. Pengertian Komunikasi Massa Komunikasi massa atau mass communication ialah komunikasi melalui media massa modern yang meliputi surat kabar, majalah, siaran radio, siaran televisi, dan media sosial atau dunia maya dengan teknologi internet. Komunikasi massa menyampaikan informasi, gagasan, dan sikap kepada khalayak yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media. Bittner (1980) mengemukakan definisi komunikasi massa sebagai berikut: ‚Mass communication is message communicated through a mass medium to large number of people. (Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang). ‚ Gerbner (1967) menulis definisi komunikasi massa adalah mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies. (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri). Wright (1986) memberikan definisi komunikasi massa sebagai berikut: The new form can be distinguished from older types by following mayor characteristic it is directed toward relatively large, heterogeneous and anonymous audiences, message are transmitted publicly often-times to reach most audience member simultaneously, and are transient in 23 character; the communicator tends to be or to operate within a complex organization that may involve great expense. Littlejohn (1996:324) memberikan definisi komunikasi massa adalah mass communication is the process whereby media organization produce and transmit messages to large publics and the process by which those messages are sought, usesd, understood, and influenced by audiences. Joseph Devito (1978) dalam Communicology: An introduction to the study of communication mendefinisikan, First, mass communication is communication addressed to masses, to an extremely large audience. This does not mean that the audience includes all people or every one who reads or every one who watches television ; rather is means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and or visual transmitters. Mass communication is perhaps most easily and most logically defined by its forms: television, radio, newspaper, magazine, films, books and tapes. Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan pada sejumlah besar khalayak yang heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik secara serentak, terbuka dan sekilas; Bahkan pada era kekinian, media massa bertambah dengan munculnya media sosial dengan berbagai ragam jenisnya, seperti facebooks, website, twiter, line, youtobe dan sebagainya. C. Efek Media Massa Aktivitas dalam komunikasi massa merupakan aktivitas sosial yang berlaku pada kehidupan masyarakat secara umum. Salah satu aktivitas pokok dalam komunikasi massa adalah sebagai transmisi warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Transmisi warisan sosial (social heritage) berfokus pada komunikasi pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya atau dari anggota-anggota suatu kelompok kepada anggota kelompok yang baru atau pendatang baru (Susanto,1974). 24 Salah satu bentuk dari ativitas transmisi warisan sosial yakni proses penerusan niali-nilai dan norma-norma politik yang berlaku dari satu generasi ke genarasi lain. Dalam proses penyebaran dan penerusan nilai-nilai dan perilaku politik itu, media massa memegang peranan yang sangat penting. (Susanto,1976:163). Sebab media massa, dalam proses aktivitas komunikasi massa, dapat menyebarkan informasi, pengetahuan, bahkan dapat membentuk opini publik. Keadaan tersebut akan dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik pada masyarakat. Dengan demikian, peranan komunikasi massa (media massa) memiliki andil yang cukup signifikan terhadap sikap dan tingkah laku berpolitik pada suatu masyarakat. Media massa adalah tempat dimuat atau disiarkannya hasil kerja wartawan. Media massa dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni media massa cetak seperti surat kabar dan majalah, media massa elektronik seperti radio, televisi, dan media social yang menggunakan internet (media online). Setiap media massa memiliki karakteristik masing-masing. Karakteristik yang paling menonjol dari eksistensi media massa adalah efek pesan yang disampaikan kepada komunikan (massa). Karena berbagai kelebihan karakternya, televisi dianggap paling besar memberikan pengaruh terhadap komunikan jika dibanding dengan media massa lainnya. Dari beragam media massa (surat kabar, majalah, radio, televisi), tidak dapat disangkal, televisilah yang memiliki keunggulan lebih, dalam menyampaikan pesan kepada khalayak. Televisi dalam menyampaikan pesannya bersifat audio visual dapat dilihat dan didengar dan juga ‚datang langsung‛ ke rumah-rumah. Dengan segala kemudahan, masyarakat dengan tidak harus meninggalkan rumah dan sambil santai bersama keluarga dapat menikmati hiburan beraneka ragam, informasi yang serba cepat dan memuaskan (dapat didengar, dipandang, dan dibaca). Televisi tidak mengenal pembatas daratan dan lautan, gunung- gunung, dan lembah-lembah. Bahkan, batasan negara pun bukan merupakan penghalang bagi masuknya siaran televisi. Di beberapa wilayah yang terjangkau, kita dapat menyaksikan siaran-siaran dari 25 negara lain. Apalagi jika dilengkapi dengan teknologi yang lebih muktahir, semua siaran televisi dunia dapat disaksikan di rumah. Karena kemampuan daya sebar dan daya pikat itulah, pada era ini, khalayak (masyarakat) lebih besar perhatiannya terhadap televisi, ketimbang media massa lainnya. Bahkan dari sisi usia khalayak, televisi dapat menyerap perhatian semua segmen pasar. Mulai anak-anak, remaja, dewasa, sampai pada orang tua dapat menyaksikan semua acara televisi dengan tidak perlu memiliki kemampuan khusus, seperti halnya kehadiran media cetak yang memerlukan kemampuan membaca. Namun, bukan berarti media massa lain selain televisi tidak berpengaruh terhadap komunikasi. Semua media massa, baik besar maupun kecil memiliki efek terhadap komunikan. Efek media massa terhadap komunikan/audien terdiri dari efek kognitif, efek afektif/emosional, dan efek konatif/behavioral. Ketiga komponen inilah yang nantinya membentuk suatu sistem yang disebut sikap komunikan (mass behavior). 1. Efek Kognitif Penggunaan media massa untuk informasi mengenai urusan publik akan mengarah pada peningkatan pengetahuan mengenai urusan publik, kandidat dan isyu-isyu aktual bagi audien. Hal ini sebagaimana dibuktikan Chaffe, Ward dan Tipton dalam penelitiannya terhadap siswa sekolah menengah dan sekolah tinggi selama kampanye presiden tahun 1968. Sementara itu, Atkin dan Gantz membuktikan bahwa terhadap hubungan sebab akibat di antara anak-anak berkaitan dengan perhatian terhadap berita televisi dengan peningkatan pengetahuan mengenai urusan publik dan peristiwa-peristiwa baru. Selanjutnya, Chaffe (1975) menjelaskan bahwa pengetahuan politik sangat kuat hubungannya dengan tingkat penggunaan yang berat pada media cetak. 2. Efek Emosional Para peneliti komunikasi politik sepakat bahwa media massa mempunyai efek pada pencapaian emosi individu terhadap sistem politik. Beberapa studi melaporkan bahwa terhadap hubungan positif antara penggunaan media massa dan afeksi politik. Hal ini dapat dilihat 26 dalam penelitian Mc. Leod, Becker dan Brown bahwa pemilih muda yang secara relatif sering menggunakan surat kabar dan televisi untuk informasi urusan publik, meningkatkan perasaan efikasi politiknya selama mendengarkan siaran Watergate, sedangkan responden lain yang tidak menggunakan kedua media massa tersebut, efikasi politiknya menurun. Sementara itu, Chaffe menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan media dalam menguatkan identifikasi partai atau keyakinan terhadap sistem politik dalam sample total. Akan terapi peningkatan efikasi politik secara moderat berhubungan dengan penggunaan media elektronik pada sample sekolah menengah. 3. Efek Konatif /Perilaku Beberapa penelitian mengenai efek media massa pada perilaku politik lebih banyak dipusatkan pada periode kampanye pemilihan. Namun, bukan tidak ada efek perilaku politik di luar waktu pemilu. Kecenderungan para peneliti media massa pada periode pemilu karena sangat dimungkinkan kesempatan untuk aktivitas politik (misalnya aktif kampanye, voting) sangat besar selama masa kampanye. Sebagaimana dalam afeksi politik, bukti yang berkaitan dengan afek penggunaan media massa pada perilaku politik sangat beragam, misalnya, beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan media mengarah pada peningkatan aktivitas politik. Penelitian lain melaporkan bahwa penggunaan media tertentu mengarah pada berkurangnya aktivitas politik, sedangkan yang lain lagi melaporkan tidak ada hubungan. (Tan, 1981:277-279) Steven M. Chaffee dalam Rakhmat (1999: 218) berpendapat bahwa jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa adalah perubahan perasaan atau sikap dan perubahan tingkat laku, atau dengan istilah lain, perubahan kognitif, afektif, dan behavioral. Jadi, efek pesan media massa meliputi efek kognitif, afektif, dan behavioral. Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannnya dengan emosi, sikap, atau 27 nilai. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berprilaku. Menurut Melvin L. De Fleur dan Sandra Ballrokeock bahwa kesan kognitif pembentukan sikap sangat tergantung kepada bahan pemberitaan media yang mengikuti perkembangan dunia mereka. Berbeda dengan Wilbur Schramm (1974), ia menganggap bahwa khlayak itu pasif, sehingga dapat diberondongi dengan pesan bertubi-tubi (Liliweri, 1994: 101). D. Karakteristik Komunikasi Massa Komunikasi massa bersifat umum. Pengertian umum dapat ditelusuri dalam komponen-komponen komunikasi dasarnya, seperti, komunikator, pesan, dan komunikan. Komunikator pada komunikasi massa adalah institutionalized communicator atau organized communicator. Hal ini berbeda dengan komunikator lainnya, seperti, kyai, pendeta, pastor, atau dalang yang bertindak secara individual yaitu atas nama dirinya sendiri, sehingga mempunyai lebih banyak kebebasan. Kendati pada era teknologi informasi dengan menggunakan akses internet yang disebut sebagai media sosial, komunikator individual pun bisa terjadi, misalnya, melalui web site, facebooks, twitter atau blog. Pesan-pesan pada komunikasi massa ditujukan kepada umum. Pesan menjelajah pada massa yang relatif banyak jumlahnya dan menyentuh kepada kepentingan umum. Jadi, tidak ditujukan kepada orang atau sekelompok orang tertentu. Inilah yang membedakan media massa dengan media nirmassa. Nirmassa ditujukan kepada orang atau sekelompok orang tertentu. Walaupun faktanya, dalam konteks tertentu media massa pun seringkali menyekat diri agar komunikasinya khusus pada segmen tertentu, misalnya, sebuah surat kabar atau majalah seringkali menetapkan diri sebagai media anak-anak, remaja, atau dewasa. Bahkan televisi pun menyekat konten isi siaran dengan klasifikasi usia, gender, dan lainnya. Terlebih lagi bagi media sosial, jalinan komunikasi tidak hanya dapat menyekat pada khalayak kelompok tertentu, juga ada wilayah-wilayah komunikasi secara privat, mulai dari 28 bentuk komunikasi interpersonal (face to face: hanya dua orang), tiga orang, atau jumlah tertentu, sehingga muncul group communication. Komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikasi yang dijalin meliputi penduduk yang bertempat tinggal berbeda, kondisi yang berbeda, budaya beragam, berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mempunyai pekerjaan yang berjenis-jenis, dan sebagainya. Namun, terdapat paradok heterogenitas komunikan dalam komunikasi massa, yaitu pengelompokan komunikan pada minat yang sama terhadap media massa, khususnya terhadap isi pesan media, termasuk juga pengelompokan dalam kepentingan konten yang sama. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan, yaitu keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator. Masing-masing penduduk bertempat tinggal berbeda atau terpisah satu sama lain. Dalam keserempakan, terdapat dua aspek penting, yaitu, 1) kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunikasi antar-persona dari penyebaran dan kelangsungan tanggapan, dan 2) keseragaman seleksi dan interpretasi pesan. Ardianto dkk (2007) ‚membandingkan‛ karakteristik antara surat kabar, majalah, radio, dan televisi sebagai media massa utama sebagai berikut : Tabel 3.1 Perbandingan Karakteristik Media Massa Surat Kabar Majalah Radio Siaran Televisi Publisitas: Pesan Depth Writing : Auditori: pesan Audiovisual: tersebar pada Pengajian lebih komunikasi melalui Acaranya dapat khalayak tersebar mendalam pendengaran didengar sekaligus dilihat Perodesitas: Aktualitas: Nilai Radio is the Now: Think in picture: Keteratuaran terbit aktualitasnya lebih Informasi sangat Berpikir dalam (harian, mingguan, lama daripada surat actual Ketimbang Gambar; bulanan) kabar media massa lain keselarasan pikiran dengan gambar yang disampaikan Universalitas: Isinya Gambar/foto lebih Imajinatif: Pengoperasion beranekaragam dan banyak dari surat mengajak Lebih Kompleks: dari seluruh dunia kabar komunikan sistem berimajinatif penyelenggaraan 29 (mengkhayalkan) memerlukan banyak orang dan higt technology. Aktualitas: Masih Cover menjadi daya Akrab: terjalin hangat, terkini, baru tarik utama hubungan ‚intim‛ (konteks berita) dengan pendengar karena dapat dinikmati dalam tempat dan suasana sangat pribadi Terdokumetasikan: Convensatuoinal Dapat Style: informasi didokumentasikan/di disampaikan arsipkan dalam dengan gaya bentuk kliping percakapan Menjaga Mobilitas: Mendengatkan informasi radio tidak mengganggu aktivitas E. Kode Etik Media Massa Dalam menjalankan fungsinya, media massa harus menaati berbagai ketentuan yang berlaku dalam lingkungan tempat media massa itu hidup, baik ketentuan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ketentuan-ketentuan itulah yang dapat dikategorikan etika media massa atau dalam istilah Ardianto dkk (2007) etika komunikasi massa. Etika media massa adalah kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh media massa yang menjadi takaran penilai baik-buruknya media massa itu. Sobur (2001) yang ‚sepakat‛ dengan Ardianto dkk (2007) memandang bahwa etika media massa atau etika komunikasi massa sama dengan etika pers. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan etika media massa adalah filsafat moral yang berkenaan dengan kewajiban-kewajiban pers dan tentang penilaian tentang pers yang baik dan pers yang buruk atau pers yang benar dan pers yang salah. Etika pers adalah ilmu atau studi tentang peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku pers atau apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers. Etika pers mempermasalahkan bagaimana seharusnya pers 30 itu dilaksanakan agar dapat memenuhi fungsinya dengan baik. Ditegaskan Sobur (2001), etika pers adalah kesadaran moral, yakni pengetahuan tentang baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat, bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers. Lahirnya persepsi yang menyamakan antara etika pers dengan etika media massa atau etika komunikasi massa memang dapat dipahami karena di antara ketiga istilah tersebut bersentuhan erat. Bahkan, sejumlah ilmuwan ada juga yang menyamakan antara pers dengan media massa, walaupun dalam konteks lain ada juga yang membedakan. Sebagaimana pemahaman yang telah dikemukakan, pers adalah lembaga tempat berhimpunnya kegiatan jurnalistik yang dijalankan oleh para wartawan yang menghasilkan media massa. Media massa adalah tempat dimuat atau disiarkannya hasil kerja wartawan. Komunikasi massa adalah bentuk komunikasi dengan menggunakan media massa. Hal itu mengandung arti bahwa antara pers, media massa, dan komunikasi massa berbeda. Namun, ketika muncul ‚etika‛ yang di dalamnya berbicara tentang ‚aturan’, dapat saja aturan itu menjadi bagian yang secara langsung atau tidak langsung mengikat baik terhadap pers, media massa, maupun komunikasi massa. Karena dalam konteks pembedaan tersebut menunjukkan antara pers, media massa, dan komunikasi massa adalah rangkaian proses yang menunjukkan kesinambungan. Pers adalah lembaganya, komunikasi massa prosesnya, dan media massa adalah hasilnya. Oleh karena itu, ketika terdapat etika yang berisi aturan-aturan yang harus ditaati, maka baik pers, komunikasi massa, maupun media massa akan merupakan bagian yang ikut terikat oleh aturan tersebut. Namun, untuk memudahkan pemahaman, dalam buku ini penulis mengistilahkan etika media massa. Media massa memang harus beretika sehingga akan ada standar penilaian untuk menentukan media massa yang baik atau buruk, yang benar atau salah, dan yang tepat atau tidak tepat. Apalagi dalam konteks realitas, media massa tidak hanya berhubungan dengan orang per orangan. Media massa berkaitan dengan penyampaian pesan/informasi terhadap khalayak. Oleh karena itu, jika media massa tidak beretika atau berperilaku buruk, salah, atau tidak tepat yang menjadi korban juga 31 adalah khalayak; banyak orang. Dampak negatif media massa yang tidak beretika akan mempengaruhi khalayak ramai. Dapak dari perilaku media massa yang tidak beretika, misalnya, berisi atau menyiarkan pornografi/pornoaksi, sadism, menghina suku, agama, ras, antar-golongan, memfitnah, dan tindakan buruk lainnya akan dirasakan oleh banyak orang. Jika isi media massa tersebut berpengaruh pada kognitif, afektif, dan konatif, maka orang yang akan ber-kognitif, afektif, dan konatif buruk akan banyak; tidak satu dua orang. Bahkan, jika respon yang dihasilkan pun tidak respon satu dua orang, tetapi respon serempak dari khalayak. Mereka bisa berunjuk rasa, berdemo, bahkan bertindak anarkis jika tidak berkenan dengan isi media massa. Oleh karena itu, sangat penting media massa memiliki etika dan taat pada etika tersebut. Karena media massa berkait erat dengan pers, ketika berbicara ketentuan-ketentuan, kewajiban-kewajiban, dan hal-hal lain yang harus ditaati dapat dimaknai bahwa media massa memiliki tanggung jawab untuk taat pada etika tersebut. Hal itu selaras dengan sistem pers bertanggung jawab sosial (social responsibility). Dalam sistem ini, pers diberikan kebebasan, tetapi tidak boleh melanggar aturan-aturan yang sudah dibuat dan ‚disepakati‛, jika melanggar, maka pers harus siap mempertanggungjawabkannya. Dalam konteks sikap dan konsepsi media, sistem pers bertanggung jawab sosial sejalan dengan Laporan Komisi Kebebasan Pers Tahun 1947. Sistem pers tanggung jawab sosial dijadikan rujukan oleh Komisi ini untuk melakukan serangkaian penelitian yang dibiayai Time Inc. dan Encyclopedia Britannica inc. Komisi ini membuat laporan berjudul Freedom of the Press: A Framework of Principle yang ditulis William T. Hocking (anggota komisi). Dalam laporannya tersebut, Komisi mengajukan lima syarat yang dituntut masyarakat modern dari pers sebagai berikut: Pertama, media massa harus menyuguhkan informasi yang bernar, tidak bohong, akurat, dan cerdas. Media massa sudah komit memiliki isi tiga hal: berita, opini, dan iklan. Kejujuran media massa di 32 antaranya harus menempatkan informasi sesuai dengan ketiga hal tersebut. Jika news (berita) pasti harus berlandaskan fakta yang nyata, bukan rekayasa, apalagi imajinatif. Jika opini, maka sajikanlah pendapat, ide, gagasan yang cerdas dan dapat memberikan pendidikan terhadap khalayak. Jika iklan, maka sajikanlah iklan dengan proporsional dengan bentuk-bentuk yang sudah disepakati bersama, misalnya, iklan baris, iklan kolom, pariwara atau advetorial. Kedua, media massa harus berperan sebagai wahana pertukaran pendapat, komentar, dan ktitik yang cerdas dan membangun. Hal ini menguatkan fungsi media massa sebagai alat pendidikan terhadap khalayak. Kendati media massa tidak menyiarkan acara pendidikan yang menyuratkan langsung substansi pendidikan, tetapi setiap isi media, terutama dalam bentuk opini harus bernuansa mendidik, sehingga khalayak ikut cerdas memikirkan persoalan yang sedang menjadi bahan perbincangan di media massa. Ketiga, media massa harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Media massa yang baik adalah media massa yang paham terhadap lingkungan tempat media massa itu hidup. Lingkungan dalam konteks ini yang paling utama adalah lingkungan masyarakat. Media massa adalah bagi penting dan strategis dalam masyarakat, sehingga media massa harus dapat menyelami keinginan masyarakat sehingga isi media di antaranya lebih kuat pada upaya untuk menyampaikan aspirasi masyarakat sekitarnya. Keempat, media massa harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Point ini merupakan kelanjutan dari point ketiga. Setelah media massa memahami kondisi masyarakat, maka yang lebih konprehensif media pun dapat ikut serta mempertahankan, melestarikan, dan menularkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Segala hal isi media massa, terutama news dan opinion harus dapat diselaraskan dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Dengan hal seperti itu, media massa bertindak juga sebagai pencerah atau pendidik dalam masyarakat. 33 Kelima, media massa harus membuka akses penuh ke berbagai sumber informasi. Sejalan dengan perkembangan globalisasi, sekarang ini informasi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terlebih bagi manusia ‚modern‛. Oleh karena itu, media harus mengambil bagian dari memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk dapat mengakses informasi sebesar-besarnya. F. Bentuk-Bentuk Media Massa Sebagaimana disampaikan di muka, media massa sekarang ini lahir dengan berbagai bentuk yang beragam. Walaupun secara umum media massa berdasarkan bentuknya dibagi tiga, yakni media cetak, media elektronik, dan media sosial, tetapi dari ketiga bentuk media massa ini melahirkan bermacam-macam bentuk lainnya. Bentuk ril media cetak di antaranya surat kabar, majalah, bulletin, dan sejenisnya; Bentuk media elektronik di antaranya radio dan televisi, sedangkan bentuk media sosial di antaranya web site, youtobe, facebooks, twiter, dan lain-lain. Dalam buku ini akan diulas beberapa contoh saja, baik media cetak, media elektronik, maupun media sosial. 1. Media Cetak Media cetak adalah media yang proses pembuatannya melalui percetakan, seperti, surat kabar, majalah, bulletin, dan sejenisnya. Surat kabar yang sering lekat juga disebut Koran adalah salah satu media cetak utama. Koran dari Bahasa Belanda: Krant, dari Bahasa Perancis courant adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut kertas Koran. Koran berisi berita-berita terkini dalam berbagai topic, bisa berupa even politik, kriminalitas, olahraga, tajuk rencana, cuaca dan lain-lain. Di kalangan pemerhati media massa, terdapat persepsi yang berbeda tentang surat kabar yang berkembang dalam khasanah ilmu komunikasi. Satu persepsi menyamakan konteks surat kabar dengan penamaan pers: Pers dianggap singakatan persuratkabaran. Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa surat kabar adalah bagian dari pers. Persepsi pertama muncul dengan dasar pemikiran bahwa istilah pers dikhususkan hanya untuk media yang tercetak. Dalam konteks ini, media cetak yang sangat dominan dalam kehidupan komunikasi adalah surat 34 kabar, selain media massa lain yang posisinya tidak menonjol. Oleh karena itu, pers sering disejajarkan dengan makna surat kabar. Persepsi kedua, menggunakan dasar pemikiran bahwa istilah pers tidak hanya untuk media cetak, tetapi media elektronik. Oleh karena itu, radio, televisi, internet, dan sejenisnya pun sering menamakan dirinya pers. Hal itu lebih ditegaskan lagi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakankegiatan jurnalistik, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik,dan segala jenis saluran yang tersedia. Pengertian surat kabar secara tegas dikemukakan Effendy (1989:187), yakni pers dalam arti sempit. Untuk pers dalam arti luas, yakni termasuk media massa elektronik. Media massa cetak (surat kabar) dan media massa elektronik memiliki perbedaan ciri yang khas. Media massa cetak (surat kabar) memiliki ciri sebagai berikut: 1) pesan-pesannya dapat diulang, dapat dipelajari dan disimpan untuk dibaca pada setiap kesempatan; dan 2) pesan-pesan persuasif pada media massa cetak lebih banyak ditujukan kepada pikiran. Ciri khas yang dimiliki media massa elektronik adalah pesan-pesan persuasif lebih banyak ditujukan kepada perasaaan. Pers dalam arti media cetak (printed mass media). Ditegaskan dengan istilah cetak karena ada sejumlah ahli yang memasukan media massa elektronik (electronic mass media), seperti radio dan televisi-ke dalam pers, bahkan sekarang ini masuk juga media sosial. Pers adalah sarana untuk menyiarkan produk jurnalistik. Pada zaman modern sekarang ini, jurnalistik tidak hanya mengelola berita, tetapi juga aspek- aspek lainnya untuk isi surat kabar atau majalah. Karena itu fungsinya bukan lagi menyiarkan informasi, tetapi juga mendidik, menghibur, dan mempengaruhi agar khalayak melakukan kegiatan tertentu serta melakukan kontrol sosial. Bahkan selain itu, media massa pun memiliki fungsi ekonomi, historis, dan pewarisan budaya. 35 Di Indonesia, pengertian pers ditegaskan dalam Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers dan Undang- Undang No. 21 tahun 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang tahun 1966. Kemudian disempurnakan lagi dengan lahirnya Undang- Undang No.40 tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional yang hanya sebagai salah satu media komunikasi massa, yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya. Sejarah mencatat keberadaan surat kabar sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann Guternberg di Jerman. Prototipe pertama surat kabar diterbitkan di Bremen Jerman pada tahun 1609. Pada tahun yang sama, surat kabar yang sangat sederhana terbit di Strasborg. Bentuk surat kabar yang sesungguhnya terbit pada tahun 1602 di Frankfurt, Berlin, Humberg, Vienna, Amsterdam, dan Antwerp ( Hiebert, Ungu-rait, Bohn, 1975: 206). Di Inggris, surat kabar pertama yang masih sederhana terbit pada tahun 1621. Sementara itu, yang dianggap benar-benar surat kabar terbit secara teratur ialah Oxford Gazette yang terbit di Oxford pada tahun 1665. Beberapa bulan kemudian ketika pemerintahan pindah ke London, surat kabar tersebut berubah namanya menjadi London Gazette. Surat kabar harian yang pertama terbit adalah Daily Courant. Di Amerika, Surat kabar harian pertama adalah Pennsylvania Evening Post dan Daily Advertiser yang terbit pada tahun 1783. Sampai tahun 1830-an, surat kabar relative mahal harganya dan hanya dibaca oleh golongan elit, serta para politikus. Perkembangan teknologi percetakan telah mengakibatkan proses pencetakan semakin cepat, sehingga surat kabar semakin memasyarakat karena harganya murah. Surat kabar New York Sun yang diterbitkan oleh Benjamin Day pada tahun 1833 harganya hanya enam send dan mudah 36 didapat dari penjaja pinggir jalan. Surat kabar New York Sun menandai era surat kabar sebagai media massa, dan karena murahnya harga surat kabar pada era itu disebut The Penny Press. Beberapa tahun kemudian bermunculan surat kabar lainnya, seperti New York Herald, New York Tribune dan New York Times. Pada akhir abad ke 19, surat kabar di Amerika mengalami kejayaan karena surat kabar melakukan promosi yang sangat agresif, terlebih saat Joseph Pulitzer menerbitkan St Louis Post-Dispatch, dan membeli New York Word pada tahun 1883. Pada saat dibeli Pulitzer, New York Word hanya mencetak 20.000 ekslempar, tetapi pada tahun 1892 pembacanya berjumlah 374.000 orang. Kejayaan ini dikenal sebagai masa Newspaper Barons. Pulitzer juga yang telah memprakarsai dimuatnya cerita komik secara rutin pada surat kabar minggu. Setelah Pulitzer meninggal namanya digunakan untuk penghargaan bagi karya jurnalistik tingka dunia. Surat kabar di Amerika pada akhir abad ke 19 menjadi bisnis besar karena sirkulasinya semakin besar dan banyak persaingan antarpenerbit surat kabar. Masing-masing surat kabar ingin menarik perhatian pembacanya. Berbagai cara dilakukan, di antaranya dengan menulis headline dengan huruf besar dan tebal, serta berita sensasional. Surat kabar tersebut disebut yellow paper (surat kabar kuning), dan kegiatannya disebut yellow journalism. Menurut Frank Lutther Mott, yellow journalism adalah suatu pemberitaan yang didasarkan pada sensasi, criminal, skandal, gosip, perceraian, seks, bencana dan olah raga Tahun 1919 terbit surat kabar New York Daily News uang ukurannya lebih kecil, banyak menggunakan foto terutama pada halaman pertama, dan menampilkan satu atau dua headline, serta menekankan unsur seks dan sensasi. Perwujudan tabloid semacam ini disebut sebagai jazz journalism. Eksistensi surat kabar di Indonesia melalui enam periode, yakni masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan, zaman orde lama dan serta orde baru, serta orde reformasi. 37 Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Di Surabaya (1835) terbit Soerabajasch Advertentiebland yang diganti namanya menjadi Soerabajasch Niews en Advertentiebland. Di Semarang terbit Samarangsche Advertentiebland dan De Samarangsche Courant. Di Padang terbit Soematra Courant, Padang Handeslsbland, dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebes courant dan Makaassaarschh Handelsbland. Semua penerbit terkena peraturan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat (Soebagijo, 1977 9:11). Tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda dan 12 surat kabar berbahasa Melayu, di antaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di bogor), Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa Bromartini yang terbit di Solo Ketika Jepang datang, surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih secara perlahan. Beberapa surat kabar disatukan agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruska oleh kantor berita Yashima di bawah pusat pemerintahan Jepang, yakni Domei. Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya menjadi pegawai, sedang yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada saat surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang. ( Soebagijo, 1977: 39-43). Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Surat kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang. Surat kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeradi ikut melakukan propaganda agar rakyat datang berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta, 19 September 1945. Dalam perkembangannya, Berita Indonesia (BI) berulang kali dibredel, dan selama pembredelan para tenaga redaksinya ditampung olah surat kabar Merdeka yang didirikan oleh B.M. Diah. Surat kabar perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat 38 dengan pemimpin redaksinya Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi. Koran tersebut menampilkan ‚Pojok‛ dengan ‚Bang Golok‛. Surat kabar lainnya yang terbit di masa kemerdekaan antara lain, Soeara Indonesia pimpinan Manai Sophian (Makassar), Pedoman Harian yang berubah namanya menjadi Soeara Merdeka (Bandung), Kedaulatan Rakjat (Bukittinggi), Demokrasi (Padang), (Soebagijo, 1977: 49-66). Pada masa orde baru, surat kabar yang tadinya dipaksakan untuk berafiliasi, kembali mendapatkan kepribadiannya, Kedaulatan Rakjat yang pada zaman orde lama ganti Dwikora, kembali kepada nama semula. Demikian pula dengan Pikiran Rakjat di Bandung. Lingkungan kampus tidak ketinggalan menerbitkan harian Kami. Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak cukup menggembirakan, tetapi di lain pihak perlu diwaspadai. Jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 silam membawa aura baru di dunia pers. Berakhirnya orde baru mengalirkan kebebasan berekspresi melalui media atau kebebasan pers. Krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997 bertindak sebagai katalisator bag berakhirnya kekuasaan politik Orde Baru. Berbulan-bulan presiden harus menghadapi protes, terutama berakar dari kalangan mahasiswa, yang puncaknya terjadi di Jakarta yang dikenal dengan peristiwa berdarah terhadap kaum minoritas keturunan Cina yang selama ini dianggap mendapat keistimewaan. Selain lengsernya rezim Orde Baru, para demonstran menuntut pelaksanaan demokrasi, seperti kebebasan pers dan kebebasan serikat pekerja. Setelah kerusuhan Mei 1998, akhirnya Presiden Suharto mundur dari jabatannya. Sampai Pemilu 1999 Indonesia dipimpin oleh B.J. Habibie, yang sebelumnya menjabat wakil presiden. Saat itulah pemberian SIUPP mulai lebih mudah. Bahkan, tahun 1999 dikeluarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 yang mengakhiri kewajiban memiliki SIUPP dan setahun kemudian, pada masa Pemerintahan Presiden KH. Abdurahman Wahid Departemen Penerangan dibubarkan. Namun sayang, pada masa reformasi itu, nasib media massa nasional pun tidak beranjak lebih baik. Kendati telah diadakan perubahan peraturan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 tahun 1999. 39 Bahkan, dapat diindikasikan kondisi media massa nasional di era reformasi lebih buruk. Krisis multidimensional yang mendera Republik ini sangat berpengaruh besar pada nasib media massa nasional. Krisis yang terjadi di Indonesia sejak lebih kurang tahun 1997-an, juga ikut mencabik-cabik kondisi media massa nasional. Kendati krisis yang menimpa media massa nasional ini nampaknya dimulai dari secercah harapan kebebasan, tetapi realitas membuktikan kondisi media massa nasional masa ini malah semakin memburuk. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang nampaknya banyak berpihak pada upaya pembebasan pers dari belenggu kekuasaan, seperti, pembebasan SIUPP, pembebasan organisasi kewartawanan, dan lain sebagainya, tampaknya berujung pada ikut terseretnya media massa nasional pada berbagai krisis. Krisis pers nasional masa kini tak jauh berbeda dari krisis yang mendera bangsa dan negara ini. Semua krisis tersebut bermuara pada krisis kepercayaan dan krisis akhlak (moral). Berbagai kebijakan pembebasan yang diberikan pemerintah dimanipestasikan oleh sebagian insan pers dalam frame pesta pora. Kearifan dan kedewasaan insan pers nasional yang diharapkan pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi kebijakan kebebasan tidak menjelma. Sebagian insan pers yang didorong dengan lahirnya insan pers-insan pers ‚karbitan‛, telah bersikap kekanak-kanakan. Mereka menyikapi kebebasan dengan euporia kebablasan. Inilah yang mengakibatkan menaiknya kuantitas perusahaan media massa di Tanah Air tidak diimbangi dengan kenaikan kualitas insan pers. Merekalah yang tidak menyadari bahwa dunia media massa bukan sekedar perhitungan untung rugi. Siapapun yang menjadi insan pers tidak dapat hanya beracuan pada frame demi keuntungan finansial. Namun, dunia pers adalah dunia yang penuh dengan idealisme. Pers tanpa idealisme, dalam arti kata hanya mengejar keuntungan finansial, tidak bedanya dengan perusahaan rokok kretek, perusahaan teh botol, perusahaan gula-gula, dan sejenisnya. Perusahaan semacam itu tidak berhak menamakan dirinya pers. 40 Keseimbangan sikap dalam mensejajarkan idealisme dan keuntungan finansial tak dapat ditolak harus menjadi acuan gerak langkah insan pers. Ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mengelola media massa yang ideal-komersial. Jika lebih mengedepankan sisi ideal, media massa tidak akan hidup lama. Sebaliknya, jika mengutamakan sisi komersial, lembaga itu tidak layak lagi diberi predikat pers. (Effendy,2001). Kebijakan pembebasan SIUPP bagi penerbitan pers, dari sisi kuantitas memicu lahirnya media massa baru yang tentu menelorkan pula insan pers-insan pers baru. Karena tanpa jaring-jaring pengaman, mereka lahir begitu saja, bertelur begitu saja, dan mati begitu saja. Hal ini kentara sekali menimpa media cetak di Tanah Air. Menurut cacatan Happy Bone Zulkarnaen (2002), pada tahun- tahun awal pembebasan SIUPP, jumlah penerbitan pers (media cetak) mencapai 1.600, tetapi tiga tahun kemudian turun dratis; yang tinggal tidak lebih dari 300. Sementara itu, Noor Achirul Layla (2002) mencatat pada tahun 1998 jumlah media cetak di Indonesia sekitar 200, tiga tahun kemudian jumlahnya melipat hingga delapan kali lipat atau lebih kurang 1.600 buah. Namun, empat tahun kemudian tinggal 800 buah. Melipatnya kelahiran media cetak, tentu menelorkan insan pers yang jauh lebih besar. Bila pada masa Orde Baru jumlah wartawan hanya mencapai angka 6.000 orang, pada era reformasi jumlahnya berlipat-lipat. Majalah Pantau (majalah khusus tentang media massa dan jurnalisme di Indonesia) memperkirakan jumlah wartawan media cetak pada tahun 2002 mencapai lebih dari 12.000 orang dan perkiraan PWI Pusat sekitar 20.000 orang Kendati kebebasan pers mulai menemukan eksisnya, tekanan demi tekanan tak pupus. Kasus penyerbuan redaksi Tempo di Jalan Proklamasi No. 72 tahun 2003 lalu menjadi salah satu bukti. Fakta lain adalah penyerbuan di kantor Indopos, kasus pemukulan wartawan di kampus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya hingga hukuman penjara bagi redakttur surat kabar Rakyat. Para insan media yang masih punya idealism tinggi membentuk asosiasi-asosiasi baru yang concern pada masalah etika pers, misalnya Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Pemerintah pun memberlakukan 41 Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers. Undaang-undang inilah yang kemudian menjadi tonggak kebebasan pers era reformasi. Surat kabar memiliki empat ciri umum yang menonjol. Keempat ciri tersebut yakni, aktualitas, publisitas, perioditas, dan universalitas. Aktualitas dalam surat kabar mengandung pengertian, memiliki nilai waktu, nilai psikologis, nilai pengetahuan, dan nilai sosial. Publisitas dalam surat kabar mengandung pengertian bahwa surat kabar terbit secara teratur atau periodik. Tidak menjadi soal apakah terbitnya itu sehari sekali, sehari dua kali, atau seminggu sekali, dan seterusnya. Universalitas dalam surat kabar mengandung pengertian bahwa surat kabar memuat aneka berita mengenai kejadian-kejadian di seluruh dunia dan tentang segala aspek kehidupan manusia. Surat kabar pun memiliki sifat, terekam, menimbulkan perangkat mental secara aktif, mengandung teknik pentransmisian, dan memnimbulkan efek. Surat kabar memiliki sifat terekam, artinya berita- berita yang dipublikasikan surat kabar sudah tersusun dalam bentuk alinea, kalimat, kata-kata, dan gambar yang dicetak pada kertas. Surat kabar memiliki sifat menimbulkan perangkat mental secara aktif, artinya pesan-pesan yang dikomunikasikan kepada khalayak dengan menggunakan bahasa dan huruf yang tercetak ‚mati‛ di atas kertas dan agar dimengerti maknanya, pembaca harus menggunakan perangkat mental secara aktif. Surat kabar memiliki sifat mengandung teknik pentransmisian agar mengenai sasaran. Mengenai hal ini Schramm dalam (Effendy,1986:2004) menyatakan bahwa pesan hendaknya dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian, pesan hendaknya menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga sama-sama dapat dimengerti. Pesan hendaknya dapat membangkitkan kebutuhan pribadi pihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhannya, dan pesan hendaknya menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok di mana sasaran berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan 42 yang dikehendaki. Surat kabar pun memiliki sifat menimbulkan efek, artinya memberikan pengetahuan, meningkatkan intelektual, dan mengubah sikap. Fungsi surat kabar secara umum identik dengan fungsi pers. Fungsi di sini mengandung makna ideal atau didasari oleh suatu semangat idealisme yang kuat. Hal ini penting untuk ditekankan, mengingat pers (surat kabar) di Indonesia adalah sebagai lembaga kemasyarakatan yang memiliki idealisme, yakni, 1) social control: secara bebas menyatakan pendapat, 2) memiliki idealisme social responsibility: memiliki tanggung jawab sosial. Dalam pelaksanaan semangat idealisme tersebut, pers memiliki fungsi yang terjabarkan sebagai berikut. 1) Fungsi mempengaruhi. Pers memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Ia mampu mengangkat suatu persoalan masyarakat menjadi persoalan penting, bahkan persoalan-persoalan yang diangkat oleh pers mampu menjadi topik isyu masyarakat dalam komunikasi pergaulan keseharian. 2) Fungsi menyiarkan informasi. Pers mampu memikat masyarakat dan menimbulkan rasa suka, sehingga keberadaan pers menjadi kebutuhan sehari-hari. Peluang demikian mengantarkan pers menjadi suatu usaha penerbitan yang memiliki prospek bisnis yang cerah. 3) Fungsi mendidik. Di sini pers memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan memberikan pengajaran massa (mass education). 4) Fungsi menghibur. Umumnya fungsi menghibur dilakukan dengan memberikan cerita pendek, cerita bersambung, cerita gambar, teka-teki silang, sajak, karikatur, dan sebagainya. 2. Media Elektronik Seperti halnya surat kabar, eksistensi media elektronik pun mengalami pasang surut. Salah satu media elektronik yang sempat merakyat adalah radio. Radio di Indonesia pun mengalami pasang surut sesuai perkembangan pemerintahan di Indonesia. Peristiwa yang maha 43 penting bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni Proklamasi Kemerdekaan tidak dapat disiarkan langsung oleh radio siaran karena radio siaran masih dikuasai oleh Jepang. Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat disiarkan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris pukul 19.00 WIB, dan hanya dapat didengar oleh penduduk sekitar Jakarta. Baru pada 18 Agustus 1945, naskah bersejarah itu dapat dikumandangkan di luar batas tanah air dengan resiko petugasnya diberondong senjata serdadu Jepang. Setelah itu, dibuat pemancar radio gelap, radio siaran dengan stasiun call ‚Radio Indonesia Merdeka‛. Dari situlah Wakil Presiden Mohamad Hatta dan pemimpin lainnya menyampaikan pidato melalui radio siaran yang ditujukan kepada rakyat Indonesia. Pada 11 September 1945 diperoleh kesepakatan dari hasil pertemuan antara pemimpin radio siaran untuk mendirikan sebuah organisasi radio siaran. Tanggal 11 September itu menjadi hari ulang tahun Radio Republik Indonesia (Effendy, 1990: 58-60) Hingga akhir 1966, RRI adalah satu-satunya radio siaran di Indonesia yang dikuasai dan dimiliki pemerintah. Selain sebagai media informasi dan hiburan, pada masa orde baru, radio siaran melalui RRI menyajikan acara pendidikan dan persuasi. Acara pendidikan yang berhasil adalah ‚Siaran Pedesaan‛ yang mulai diudarakan pada September 1969 oleh stasiun RRI regional. Stasiun RRI regional juga membantu menginformasikan program-program pemerintah, seperti keluarga berencana, transmigrasi, kebersihan lingkungan, imunisasi ibu hamil dan balita. Sejalan dengan perkembangan budaya sosial dan teknologi, maka bermunculan radio siaran-radio siaran amatir yang diusahakan oleh perorangan. Kemudian Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Karena jumlah radio siaran swasta semakin banyak dan fungsinya makin penting, tahun 1974 stasiun-stasiun radio siaran swasta niaga terhimpun dalam wadah yang dinamakan Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia, disingkat PRSSNI. 44 Pada zaman orde baru radio-radio wajib merelai warta berita dari RRI, pada era reformasi tidak lagi terjadi. Pada masa reformasi bermunculan radio-radio siaran swasta. Menurut catatan PRSSNI, hingga tahun 2005, terdapat sekitar 900 radio siaran swasta. Namun banyak juga radio siaran swasta yang tidak terdaftar di PRSSNI karena sejak reformasi, radio siaran tidak lagi diwajibkan menjadi anggota PRSSNI. Radio-radio tersebut memiliki kewenangan untuk menyiarkan warta berita secara mandiri dengan nama program yang berbeda-beda. Selain radio, media elektronik yang sangat fenomenal adalah televisi. Televisi dianggap media massa yang paling berpengaruh terhadap kehidupan manusia karena seperti di Amerika, 99% penduduk memiliki televisi di rumahnya. Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita, dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari (Agee,et.al,2001:279). Secara historis tahun 1948 merupakan tahun penting dalam dunia pertelevisian dengan adanya perubahan dari televisi eksperimen ke televisi komersial di Amerika. Karena perkembangan televisi yang sangat cepat, dari waktu ke waktu media ini memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat. Kegiatan penyiaran melalui televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24 Agustus 1962 bertepatan dengan dilangsungkannya pembukaan Pesta Olahraga Se-Asia IV atau Asean Game di Senayan Jakarta. Sejak itu pula TVRI dipergunakan sebagai stasiun panggilan (station call) hingga sekarang (Effendy:1993:54). Pada tanggal 16 Agustus 1976, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan stasiun satelit Palapa untuk telekomunikasi dan siaran televisi. Sejak 1989, lahirlah televisi swasta pertama, yakni RCTI, kemudian SCTV, dan seterusnya hingga sekarang ratusan stasiun televisi sudah bersdiri di seluruh Indonesia, baik televisi SSJ (Sisten Stasiun Berjaringan) maupun televisi lokal. Perkembangan televisi sangat luar biasa setelah ditemukan televisi kabel, apalagi setelah muncul juga televisi analog dan televisi berlangganan, bahkan ke depan akan muncul televisi digital. Perkembangan kuantitas televisi tidak hanya menyangkut kepemilikan pesawat televisi yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia, tetapi juga 45 makin bertambahnya jumlah stasiun televisi dan tidak hanya di kota besar, tetapi ke daerah-daerah atau ibu kota kabupaten/kota. Hingga November 2015, jumlah televisi Jakarta yang sering disebut televisi nasional karena daerah layanannya sangat luas ada 14 stasiun, yakni RCTI, SCTV, Indosiar, AnTV, TransTV, Trans7, TV One, Metro TV, MNC TV, Global TV, TVRI, Kompas TV, I News TV, Net TV. Di salah satu provinsi terbesar, yakni Jawa Barat jumlah stasiun televisi lokal mengalami pelonjakan, hingga November 2015 berjumlah 30. Penambahan stasiun pun terjadi di provinsi lainnya. 3. Media Sosial Media sosial adalah salah satu media massa dari ketiga media massa, yakni media cetak dan media elektronik. Kebetulan pada era ini media sosial tengah mengalami masa puncaknya karena didukung oleh perkembangan teknologi infomasi yang sangat pesat, terutama internet yang merambah dengan dapat menggunakan media apapun, termasuk hand phone yang jelas menjadi bagian hal yang sangat pribadi. Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content". Teknologi media sosial dalam berbagai bentuk, termasuk majalah, forum internet, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video, peringkat dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori-teori dalam bidang media penelitian (kehadiran sosial, media kekayaan) dan proses sosial (self-presentasi, self-disclosure) Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi unt

Use Quizgecko on...
Browser
Browser