Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan, Pelaksanaan, Akuntansi dan Pelaporan Keuangan PDF
Document Details
Uploaded by ComfortingSocialRealism6004
Politeknik Negeri Semarang
2023
Tags
Summary
This document is a regulation from the Indonesian Ministry of Finance, outlining the planning, execution, accounting, and financial reporting procedures for the national budget. It details the RKA, RKA-K/L, RKA-BUN, and various types of government expenditures (belanja) within the Indonesian budget system.
Full Transcript
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2023 TENTANG PERENCANAAN ANGGARAN, PELAKSANAAN ANGGARAN, SERTA AKUN...
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2023 TENTANG PERENCANAAN ANGGARAN, PELAKSANAAN ANGGARAN, SERTA AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 131 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2022 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (7), Pasal 10 ayat (4), Pasal 11 ayat (2), Pasal 14 ayat (4), Pasal 18 ayat (6), Pasal 19 ayat (5), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (7), Pasal 34, Pasal 38, Pasal 40 ayat (6), Pasal 41 ayat (9), Pasal 42 ayat (2), Pasal 43 ayat (6), Pasal 44 ayat (2), dan Pasal 47 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran, dan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2020 tentang Pemberian Penghargaan dan/ atau Pengenaan Sanksi kepada Kementerian Negara/Lembaga dan Pemerintah Daerah, perlu mengatur ketentuan mengenai rencana kerja anggaran kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara, monitoring dan evaluasi anggaran, serta tata cara pemberian penghargaan dan/ atau sanksi kepada kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah; b. bahwa untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang lebih tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dan untuk menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah pusat sesuai dengan prinsip akuntansi dalam penerapan standar akuntansi pemerintahan, serta berdasarkan kewenangan Menteri Keuangan selaku bendahara um um negara untuk jdih.kemenkeu.go.id - 2 - menetapkan kebijakan dan pelaksanaan anggaran negara dan menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan huruf o Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan anggaran, serta pelaporan dan pertanggungjawaban anggaran; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan. huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan; Mengingat 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6267); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2022 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6794); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6850); 6. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2020 tentang Pemberian Penghargaan dan/ atau Pengenaan Sanksi kepada Kementerian Negara/Lembaga dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 74); 7. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98); 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01 / 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954); jdih.kemenkeu.go.id - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERENCANAAN ANGGARAN, PELAKSANAAN ANGGARAN, SERTA AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Rencana Kerja dan Anggaran yang selanjutnya disingkat RKA adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang mencakup rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga, rencana kerja dan anggaran Otorita lbu Kata Nusantara, dan rencana kerja dan anggaran bendahara umum negara. 2. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari masing masing kementerian negara/lembaga, yang disusun menurut bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 3. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA-BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari bendahara umum negara yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara, yang disusun· menurut bagian anggaran bendahara umum negara. 4. Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur. 5. Standar Biaya adalah satuan biaya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal (chief financial officerj yang digunakan sebagai acuan perhitungan kebutuhan anggaran dalam penyusunan RKA dan pelaksanaan anggaran. 6. Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran negara menurut nomenklatur kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara dalam menjalankan fungsi belanja Pemerintah Pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan. 7. Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat BA K/L adalah Bagian Anggaran yang menampung belanja Pemerintah Pusat yang pagu anggarannya dialokasikan pada kementerian negara/lembaga. 8. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga. 9. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih jdih.kemenkeu.go.id - 4 - yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah. 10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 11. Klasifikasi Organisasi adalah pengelompokkan alokasi sesuai dengan struktur organisasi kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara. 12. Klasifikasi Fungsi adalah pengelompokkan alokasi sesuai fungsi kepemerintahan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. 13. Klasifikasi Jenis Belanja adalah pengelompokkan Belanja Negara berdasarkan jenis belanja dan transfer ke daerah. 14. Klasifikasi Pembiayaan adalah pengelompokkan pengeluaran pembiayaan berdasarkan Jems pengeluaran pembiayaan. 15. Belanja Pegawai adalah kompensasi terhadap pegawai, baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam maupun luar negeri baik kepada pejabat negara, pegawai negeri sipil, dan pegawai yang dipekerjakan oleh Pemerintah yang belum berstatus pegawai negeri sipil sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka untuk mendukung tugas fungsi unit organisasi pemerintah selama periode tertentu, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. 16. Belanja Barang dan Jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perj alanan. 17. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan/ atau aset lainnya yang memberi manfaat ekonomis lebih dari satu periode akuntansi (12 (dua belas) bulan) serta melebihi batasan nilai minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan Pemerintah. 18. Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/ atau kesejahteraan masyarakat. 19. Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. jdih.kemenkeu.go.id -5- 20. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. 21. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 22. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 23. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN. 24. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. 25. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. 26. Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. 27. Direktorat Anggaran Bidang adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat J enderal Anggaran yang terdiri dari Direktorat Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman, Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan/ atau Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara. 28. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran. 29. Satuan Kerja Bagian Anggaran BUN yang selanjutnya disebut Satker BUN adalah unit organisasi lini BUN yang melaksanakan kegiatan BUN dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran BUN. 30. Program RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Program adalah penjabaran kebijakan beserta rencana penerapannya yang dimiliki Kementerian/Lembaga dan BUN untuk mengatasi suatu masalah strategis dalam mencapai hasil (outcome) tertentu sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan fungsi BUN dimaksud serta visi dan misi Presiden. jdih.kemenkeu.go.id - 6 - 31. Kegiatan RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilaksanakan untuk menghasilkan keluaran dalam mendukung terwujudnya sasaran Program. 32. Keluaran adalah barang atau jasa yang merupakan hasil akhir dari pelaksanaan Kegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional. 33. Klasifikasi Rincian Output yang selanjutnya disingkat KRO adalah kumpulan atas rincian output yang disusun dengan mengelompokkan muatan rincian output yang sejenis atau serumpun berdasarkan sektor/bidang/jenis tertentu secara sistematis. 34. Rincian Output yang selanjutnya disingkat RO merupakan Keluaran riil yang dihasilkan oleh unit kerja Kementerian/Lembaga yang berfokus pada isu tertentu serta berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi unit kerja tersebut dalam mendukung pencapaian sasaran Kegiatan yang telah ditetapkan. 35. Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/ atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/ atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara. 36. Belanja Berkualitas adalah belanjayang direncanakan dan dilaksanakan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, prioritas, transparansi, dan akuntabilitas. 37. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. 38. Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. 39. Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya. 40. Hibah Pemerintah yang selanjutnya disebut Hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/ atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri. 41. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan jdih.kemenkeu.go.id -7- berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 42. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN. 43. Rupiah Murni Pendamping yang selanjutnya disingkat RMP adalah dana rupiah murni yang harus disediakan Pemerintah untuk mendampingi pinjaman dan/ atau hibah luar negeri. 44. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 45. Badan Layanan Umum yang selanjutnya disebut BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 46. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga atau Rencana Kerja Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renja K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun. 47. Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN. 48. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari Belanja Negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 49. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/ atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 50. Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disebut DAK Fisik adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah dalam rangka mencapai prioritas nasional, mempercepat jdih.kemenkeu.go.id - 8 - pembangunan daerah, mengurang1 kesenjangan layanan publik, dan/ atau mendorong pertumbuhan perekonomian daerah. 51. Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disebut DAK Nonfisik adalah DAK yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik Daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 52. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. 53. Dekonsentrasi Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Dekonsentrasi Kepada GWPP adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. 54. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang selanjutnya disingkat GWPP adalah penyelenggara Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi dan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 55. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian U:rusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. 56. Bantuan Pemerintah adalah bantuan yang tidak memenuhi kriteria bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah kepada perseorangan, kelompok masyarakat atau lembaga pemerintah/nonpemerintah. 57. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatujabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan. 58. Standar Biaya Masukan yang selanjutnya disingkat SBM adalah standar biaya yang digunakan sebagai masukan (input) untuk menyusun rincian biaya dalam suatu Keluaran. 59. Standar Biaya Keluaran yang selanjutnya disingkat SBK adalah indeks biaya yang ditetapkan untuk menghasilkan 1 (satu) volume keluaran. 60. Standar Struktur Biaya yang selanjutnya disingkat SSB adalah batasan besaran atau persentase komposisi biaya dalam 1 (satu) Keluaran. 61. Non-Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Non-ASN adalah warga negara Indonesia yang jdih.kemenkeu.go.id - 9 - memenuhi syarat tertentu, melaksanakan tugas dan fungsi instansi pemerintah, diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai pegawai pada instansi pemerintah berdasarkan surat keputusan/ perjanjian kerja/kontrak kerja untuk jangka waktu tertentu dan dibiayai dari APBN. 62. Rencana Bisnis dan Anggaran BLU yang selanjutnya disebut RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU. 63. Standar Biaya Keluaran Umum yang selanjutnya disingkat SBKU adalah SBK yang berlaku untuk beberapa/ seluruh Kementerian/Lembaga. 64. Standar Biaya Keluaran Khusus yang selanjutnya disingkat SBKK adalah SBK yang berlaku untuk 1 (satu) Kementerian/Lembaga. 65. Arah Kebijakan adalah penjabaran urusan pemerintahan dan/ atau prioritas pembangunan sesuai dengan visi dan misi Presiden yang rumusannya mencerminkan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga, berisi satu atau beberapa program untuk mencapai sasaran strategis penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan indikator kinerja yang terukur. 66. Prakiraan Maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan Program dan Kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya. 67. Angka Dasar adalah indikasi pagu Prakiraan Maju dari Kegiatan-Kegiatan yang berulang dan/atau Kegiatan Kegiatan tahun jamak berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dan menjadi acuan penyusunan pagu indikatif dari tahun anggaran yang direncanakan. 68. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat Renstra K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun. 69. Pagu Indikatif Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif K/L adalah indikasi pagu anggaran yang akan dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Renja K/L. 70. Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga untuk penyusunan RKA-K/L. 71. Kerangka Anggaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KAJM adalah rencana APBN jangka menengah yang memuat kerangka pendapatan, belanja, dan pembiayaan untuk menjaga kesinambungan dan disiplin fiskal Pemerintah. 72. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya disingkat RPJMN adalah dokumen jdih.kemenkeu.go.id - 10 - perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun. 73. Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. 74. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. 75. DIPA Petikan adalah DIPA per Satker yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi Kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan Satker. 76. Petunjuk Operasional Kegiatan yang selanjutnya disingkat POK adalah dokumen yang memuat uraian rencana kerja dan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, disusun oleh KPA sebagai penjabaran lebih lanjut dari DIPA. 77. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan. 78. Pagu Indikatif Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif BUN adalah indikasi dana yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan BUN. 79. Pagu Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada BUN sebagai dasar penyusunan RKA-BUN. 80. Alokasi Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Menteri Keuangan sebagai BUN berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. 81. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada Satker dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau Satker di Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggungjawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 82. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker jdih.kemenkeu.go.id - 11 - BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 83. Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN. 84. Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RKA-BUN adalah dokumen hasil penelaahan RKA BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan Program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur J enderal Anggaran. 85. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPABUN. 86. Tunggakan adalah tagihan atas pekerjaan/penugasan yang telah diselesaikan dan telah tersedia alokasi anggarannya tetapi belum dibayarkan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran berkenaan. 87. Surat Penetapan Pergeseran Anggaran Belanja Antarsubbagian Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SPP BA BUN adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan dalam rangka pergeseran anggaran belanja antarsubbagian anggaran pada BA BUN untuk suatu kegiatan. 88. Surat Penetapan Satuan Anggaran Bagian Anggaran yang selanjutnya disingkat SP SABA adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan untuk suatu kegiatan, yang dilakukan pergeseran anggaran belanjanya dari BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L. 89. Mitra Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Mitra PPA BUN adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai mitra penganggaran PPA BUN. 90. Penyesuaian Belanja Negara adalah melakukan pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis (automatic adjustment), realokasi anggaran, pemotongan anggaran belanja negara, dan/atau pergeseran anggaran antar-Program. 91. Revisi Anggaran adalah perubahan RKA berupa penyesuaian rincian anggaran dan/ atau informasi Kinerja yang telah ditetapkan berdasarkan Undang Undang mengenai APBN, termasuk revisi atas DIPA yang telah disahkan pada tahun anggaran berkenaan. jdih.kemenkeu.go.id - 12 - 92. Laporan Hasil Reviu yang selanjutnya disingkat LHR adalah laporan yang disusun pada tingkatan unit akuntansi tertentu sebagai gabungan dari catatan hasil reviu dan ikhtisar hasil reviu unit akuntansi di bawahnya. 93. Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai unit Pembantu Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya. 94. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat J enderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. 95. Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/ atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari PLN dan/ atau PDN sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen PLN dan/ atau PDN serta masih dalam masa penarikan. 96. Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen PLN dan/ atau PDN yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/ atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan. 97. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Satker Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. 98. Penerusan Hibah adalah hibah yang diterima oleh Pemerintah yang diterushibahkan atau diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah a tau dipinjamkan kepada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penerimaan hibah sepanjang diatur dalam perjanjian hibah. 99. Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/ atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari hibah luar negeri dan/ atau hibah dalam negeri sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen hibah luar negeri jdih.kemenkeu.go.id - 13 - dan/ atau hibah dalam negeri serta masih dalam masa penarikan. 100. Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/ atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen hibah luar negeri dan/ atau hibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/ atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan. 101. Pemberi Hibah adalah pihak yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang memberikan Hibah kepada Pemerintah. 102. Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran rincian Keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak Pengadaan Barang/Jasa untuk menghasilkan rincian Keluaran (output) sesuai dengan volume rincian Keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA. 103. Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berupa belanja pegawai operasional dan belanja barang operasional. 104. Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerj akan sendiri oleh Kementerian/ Lembaga/ Perangkat Daerah, Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, orgarnsas1 kemasyarakatan, a tau kelompok masyarakat. 105. Rumusan Informasi Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan Program dan Kegiatan termasuk sasaran Kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan Program, hasil (outcome), Kegiatan, Keluaran (output), indikator Kinerja utama, dan indikator Kinerja kegiatan. 106. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 107. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 108. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. 109. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menenma, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam jdih.kemenkeu.go.id - 14 - pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kernenterian / Lembaga. 110. Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 111. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 112. Pengelola Basis Data Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PBDK adalah pejabat atau pegawai yang ditunjuk oleh kepala Satker untuk diberi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola data kepegawaian pada aplikasi kepegawaian Satker. 113. Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai yang selanjutnya disingkat PPABP adalah pembantu KPA yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan administrasi Belanja Pegawai. 114. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 115. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 116. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola. 117. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. 118. Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan Kontrak. 119. Uang Makan adalah uang yang diberikan kepada Pegawai ASN berdasarkan tarif dan dihitung secara harian untuk keperluan makan Pegawai ASN. 120. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan SPM-LS. 121. Bank/Pos Penyalur adalah bank/pos mitra kerja sebagai tempat dibukanya rekening atas nama Satker untuk menampung dana Belanja Bantuan Sosial/Bantuan Pemerintah yang akan disalurkan kepada penerima bantuan sosial/Bantuan Pemerintah. 122. Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalamjumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai jdih.kemenkeu.go.id - 15 - kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS. 123. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP. 124. Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi UP yang telah ditetapkan. 125. Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 126. Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran UP. 127. Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP. 128. Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran UP. 129. Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPP-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban UP. 130. Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP. 131. Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju. 132. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. 133. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai. 134. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPM-GUP jdih.kemenkeu.go.id - 16 - Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban UP yang membebani DIPA. 135. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP. 136. Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP yang membebani DIPA. BAB II PENDEKATAN PENYUSUNAN RKA Bagian Kesatu Pedoman Pendekatan Penyusunan RKA, Klasifikasi Anggaran, Bagian Anggaran, Satker, dan Struktur Anggaran Pasal 2 (1) Penyusunan RKA harus menggunakan pendekatan: a. kerangka pengeluaran jangka menengah; b. penganggaran terpadu; dan c. penganggaran berbasis Kinerja. (2) RKA disusun secara sistematis dan dirinci menurut klasifikasi anggaran. (3) Penyusunan RKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan instrumen: a. indikator Kinerja; b. Standar Biaya; dan c. evaluasi Kinerja. (4) Dalam hal RKA-BUN disusun berdasarkan kebutuhan dan karakteristik BA BUN, penyusunan RKA-BUN dapat menggunakan pendekatan dan instrumen yang dikecualikan dari pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan instrumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 3 (1) Klasifikasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), merupakan pengelompokkan anggaran Belanja Negara untuk penyusunan dan penyajian informasi APBN yang meliputi: a. Klasifikasi Organisasi; b. Klasifikasi Fungsi; dan c. Klasifikasi Jenis Belanja. (2) Selain klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyusunan RKA-BUN dapat menggunakan Klasifikasi Pembiayaan. (3) Klasifikasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. pembiayaan utang; b. pembiayaan investasi; c. Pemberian Pinjaman; d. kewajiban penjaminan; dan/ atau jdih.kemenkeu.go.id - 17 - e. pembiayaan lainnya. (4) Kodefikasi segmen akun untuk Klasifikasi Pembiayaan menggunakan kodefikasi segmen akun yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai bagan akun standar. Pasal 4 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA dan Menteri Keuangan selaku PA BUN menyusun RKA atas Bagian Anggaran yang dikuasainya. (2) Dalam rangka penyusunan RKA-BUN, Menteri Keuangan selaku PA BUN menetapkan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan selaku PPA BUN. (3) Penyusunan RKA berdasarkan Klasifikasi Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, dilakukan secara hierarki berdasarkan pengelompokkan struktur pengelolaan anggaran menurut Bagian Anggaran dan Satker. Pasal 5 (1) Bagian Anggaran diberikan kepada: a. Kementerian yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden; dan b. Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Pimpinan Lembaga bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden; 2. memiliki entitas/unit yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan akuntansi dalam struktur organisasi yang ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 3. bukan lembaga ad hoc; 4. Pimpinan Lembaga/Sekretaris Lembaga telah ditetapkan sebagai PA yang mendapat kuasa dari Presiden untuk mengelola keuangan negara dari Lembaga yang dipimpinnya, minimal selama 2 (dua) tahun; dan 5. mendapatkan rekomendasi persetujuan dari Direktorat Anggaran Bidang. (2) Rekomendasi persetujuan dari Direktorat Anggaran Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5, diberikan berdasarkan analisis atas: a. pemenuhan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b angka 1 sampai dengan angka 4; b. efisiensi alokasi anggaran yang dikelola; c. capaian Kinerja anggaran unit organisasi dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir memiliki nilai sangat baik; dan d. rancangan informasi Kinerja yang diusulkan. (3) Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Anggaran Bidang atas nama jdih.kemenkeu.go.id - 18 - Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan persetujuan/penolakan atas usulan permohonan Bagian Anggaran kepada Lembaga yang mengajukan permohonan Bagian Anggaran. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b belum terpenuhi, maka Lembaga yang mengajukan permohonan Bagian Anggaran dapat menjadi Satker pada Kementerian yang relevan. Pasal 6 (1) Satker melaksanakan Kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran. (2) Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan bagian dari struktur organisasi Kementerian/Lembaga yang ditetapkan melalui surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait kelembagaan; b. diberikan penugasan dan tanggung jawab untuk mengelola Kegiatan dan alokasi Kegiatan; c. memiliki unit yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan akuntansi, yang ditetapkan dalam struktur organisasi dan tata kerja; dan d. memenuhi ketentuan karakteristik dan lokasi Satker sebagai berikut: 1. lokasi Satker yang bersangkutan berada pada provinsi/kabupaten/kota yang berbeda dengan unit eselon I/ setara dalam hal karakteristik tugas / kegiatan yang ditangani bersifat sama dengan unit eselon I/ setara; atau 2. lokasi Satker yang bersangkutan dapat berada pada provinsi/kabupaten/kota yang sama dengan unit eselon 1/setara dalam hal karakteristik tugas / kegiatan yang ditangani bersifat spesifik dan berbeda dengan unit eselon I/ setara. (3) Pembentukan Satker baru dapat diusulkan dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal Satker baru yang diusulkan merupakan Satker dengan jenis/karakteristik tertentu atau mendapatkan penugasan khusus dari PA/KPA unit eselon I Satker yang bersangkutan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf d; b. adanya surat keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga tentang penetapan Satker; dan c. mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait pengelolaan sesuai jenis/karakteristik Satker tersebut. jdih.kemenkeu.go.id - 19 - Pasal 7 (1) Struktur RKA memuat: a. rincian anggaran; dan b. informasi Kinerj a. (2) Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling sedikit disusun menurut: a. Program; b. Kegiatan; c. Keluaran; dan d. sumber pendanaan. (3) Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, memuat paling sedikit: a. hasil; b. Keluaran; dan c. indikator Kinerja. Pasal 8 (1) Struktur RKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dituangkan dalam format RKA yang paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama unit organisasi; b. fungsi; c. informasi Kinerja yang menyajikan hasil, Keluaran, dan indikator kinerjanya meliputi: 1. sasaran strategis dan indikator Kinerja sasaran strategis; 2. Program beserta sasaran dan indikator Kinerj a Program; 3. Kegiatan beserta sasaran dan indikator Kinerja Kegiatan; dan 4. Keluaran yang disertai dengan volume, harga satuan, dan jumlah biaya; dan d. target Kinerja dan rincian alokasi anggaran dijabarkan dalam: 1. rincian alokasi pada level Program, Kegiatan, dan Keluaran; 2. Prakiraan Maju 3 (tiga) tahun kedepan; 3. jenis belanja; 4. sumber pendanaan; dan 5. rincian rencana pendapatan. (2) Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 4, terdiri dari KRO dan RO. (3) RO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat lokasi kegiatan yang mencerminkan informasi lokasi dihasilkannya RO dan/ atau lokasi penerima manfaat (beneficiaries) RO. (4) Lokasi kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. lokasi wilayah administratif; dan b. lokasi khusus lainnya yang merujuk pada referensi rincian spesifik lokasi RO pada bidang tertentu. Pasal 9 Fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dirumuskan pada level Kementerian/Lembaga atau BA jdih.kemenkeu.go.id - 20 - BUN mengacu pada Klasifikasi Fungsi sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga atau BA BUN. Pasal 10 (1) Program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c angka 2 mengacu pada: a. daftar Program yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk penyusunan RKA K/L; dan b. Program Kementerian/Lembaga yang relevan dengan Kegiatan/Keluaran dari Satker BUN untuk penyusunan RKA-BUN. (2) Dalam hal tidak terdapat Program Kementerian/Lembaga yang relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyusunan RKA-BUN menggunakan Program tersendiri sesuai dengan fungsi Menteri Keuangan selaku BUN. (3) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb, dapat bersifat lintas antarsubbagian anggaran dalam BA BUN atau lintas antar BA BUN dengan BA K/L. Pasal 11 (1) Jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d angka 3, mengacu pada Klasifikasi Jenis Belanja sesuai dengan tujuan penggunaan jenis belanja dan transfer ke daerah yang menjadi kewenangan Kementerian/Lembaga atau BUN, yang terdiri atas: a. jenis belanja pada Kementerian/Lembaga berupa: 1. Belanja Pegawai; 2. Belanja Barang dan Jasa; 3. Belanja Modal; dan 4. Belanja Bantuan Sosial; dan b. jenis belanja pada BA BUN berupa: 1. Belanja Pegawai; 2. Belanja Barang dan Jasa; 3. belanja pembayaran kewajiban utang; 4. belanja subsidi; 5. belanja hibah; 6. Belanja Bantuan Sosial; 7. belanj a lain-lain; dan 8. transfer ke daerah. (2) Penggunaan jenis belanja dan transfer ke daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan kodefikasi segmen akun yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai bagan akun standar. Pasal 12 (1) Ketentuan mengenai: a. daftar nomenklatur dan kode BA K/L dan PPA BUN; b. Klasifikasi Organisasi, Klasifikasi Fungsi, dan Klasifikasi J enis Belanj a; dan c. SBM, SBK, dan SSB, jdih.kemenkeu.go.id - 21 - tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Perubahan atas nomenklatur dan/ atau penambahan kode BA K/L dan/atau PPA BUN berdasarkan Klasifikasi Organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran. Pasal 13 (1) RKA-K/L disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam tata cara penyusunan RKA-K/L dalam Lampiran II dan RKA-BUN disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam tata cara penyusunan RKA-BUN dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Penyusunan RKA-K/L dan RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Informasi. (3) Dalam hal terdapat perubahan format RKA-K/L atau RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan format RKA-K/L dan/atau RKA-BUN ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan. Bagian Kedua Kaidah Penganggaran dalam Penyusunan RKA Paragraf 1 Umum Pasal 14 Penyusunan RKA memperhatikan kaidah penganggaran yang meliputi: a. prinsip Belanja Berkualitas; b. pemenuhan alokasi dasar; c. pembatasan alokasi untuk belanja tertentu; d. pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang didanai dari sumber dana tertentu; e. penandaan anggaran (budget tagging); f. penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran; g. sinkronisasi antara belanja Pemerintah Pusat dan TKD; h. kebijakan penganggaran yang ditetapkan pada tahun berkenaan; 1. pengalokasian anggaran yang akan diserahkan menjadi penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara; J. pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan: 1. Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan; 2. Bantuan Pemerintah; 3. Belanja Bantuan Sosial; 4. kontrak tahun jamak; dan jdih.kemenkeu.go.id - 22 - 5. kerjasama Pemerintah dan badan usaha melalui pembayaran ketersediaan layanan/ availability payment; dan k. Standar Biaya. Paragraf 2 Prinsip Belanja Berkualitas Pasal 15 (1) Prinsip Belanja Berkualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, meliputi: a. efisiensi; b. efektivitas; c. prioritas; d. transparansi; dan e. akuntabilitas. (2) Prinsip efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan memastikan pengalokasian anggaran untuk menghasilkan Keluaran yang direncanakan dengan mengacu pada ketentuan terkait Standar Biaya. (3) Prinsip efektivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan memperhatikan ketepatan dan relevansi antara Keluaran yang dihasilkan dengan sasaran Program dan sasaran strategis. (4) Prinsip prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (5) Prinsip transparansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam proses penyusunan anggaran kepada pihak yang terkait sesuai dengan kewenangannya dan menyediakan ringkasan informasi bagi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Prinsip akuntabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dilakukan dengan memastikan alokasi anggaran yang dituangkan dalam RKA memenuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kewenangannya. Paragraf 3 Pemenuhan Alokasi Dasar dan Pembatasan Alokasi untuk Belanja Tertentu Pasal 16 (1) Pemenuhan alokasi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, paling sedikit untuk: a. kebutuhan anggaran untuk biaya operasional Satker yang mendasar, yaitu: 1. pembayaran gaji dan tunjangan; 2. operasional dan pemeliharaan kantor; dan jdih.kemenkeu.go.id - 23 - 3. operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi; b. penyediaan dana untuk pelaksanaan pelayanan publik; c. kebutuhan dana pendamping untuk kegiatan yang anggarannya bersumber dari pinjaman dan/ atau Hibah; d. kebutuhan anggaran untuk Kegiatan atau Keluaran berlanjut, penyelesaian pekerjaan tahun sebelumnya, dan penyelesaian kewajiban kepada pihak ketiga; e. penyediaan dana untuk penyelesaian Tunggakan; dan/atau f. penyediaan dana untuk program prioritas nasional/ kegiatan prioritas / proyek prioritas / major project. (2) Penyediaan dana untuk penyelesaian Tunggakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dilaksanakan dengan ketentuan: a. untukjumlah Tunggakan per tagihan dengan nilai sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), harus dilampiri surat pernyataan dari KPA; b. untuk jumlah Tunggakan per tagihan di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil reviu dari APIP K/ L; dan/atau c. untuk jumlah Tunggakan per tagihan di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (3) Dalam hal Tunggakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilakukan audit oleh pihak pemeriksa yang berwenang, hasil audit dari pihak pemeriksa yang berwenang tersebut digunakan sebagai dokumen pendukung pengganti surat pernyataan dari KPA atau pengganti hasil reviu dari APIP K/L atau audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Pasal 17 (1) Pembatasan alokasi untuk belanja tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c, paling sedikit untuk: a. pembatasan proporsi pagu akun tertentu dan proporsi komponen utama/ pendukung sesuai kebijakan Menteri Keuangan; dan/ atau b. pembatasan kegiatan tertentu, antara lain: 1. penyelenggaraan rapat, seminar, lokakarya, dan sejenisnya yang dilaksanakan di luar kantor; 2. pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Satker; 3. pengadaan kendaraan bermotor; jdih.kemenkeu.go.id - 24 - 4. penggunaan produk impor; atau 5. asuransi barang milik negara tertentu. (2) Penyelenggaraan rapat, seminar, lokakarya, dan sejenisnya yang dilaksanakan di luar kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, dibatasi kecuali untuk hal-hal yang sangat penting dan pelaksanaannya dilakukan secara sederhana. (3) Pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2, dibatasi kecuali untuk gedung yang bersifat pelayanan umum khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, penegakan hukum, dan gedung/bangunan khusus dalam bidang ilmu pengetahuan, serta penanggulangan narkotika. (4) Pengadaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 dibatasi, kecuali untuk: a. kendaraan fungsional antara lain ambulans untuk rumah sakit, kendaraan tahanan, atau kendaraan roda dua untuk petugas lapangan; b. kendaraan untuk Satker baru yang sudah ada ketetapan/persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan/ atau peraturan perundang-undangan pembentukan Satker baru; c. penggantian kendaraan dinas yang secara teknis tidak dapat dimanfaatkan lagi atau yang memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi; atau d. kendaraan untuk keperluan antar jemput pegawai. (5) Penggunaan produk impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 4 dibatasi dengan mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri. (6) Asuransi barang milik negara tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb angka 5, diprioritaskan untuk barang milik negara di daerah rawan bencana, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, yang pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengasuransian barang milik negara. Paragraf 4 Pengalokasian Anggaran untuk Kegiatan yang Didanai dari Sumber Dana Tertentu Pasal 18 Pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang didanai dari sumber dana tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d, merupakan pengalokasian anggaran yang bersumber dari: a. PLN; b. PDN; c. Hibah; d. SBSN; atau e. PNBP. jdih.kemenkeu.go.id - 25 - Pasal 19 (1) Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah. (2) Kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN dilakukan berdasarkan perjanjian PLN yang: a. telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan lender (on-going); b. direncanakan akan dinegosiasikan pada tahun berjalan; atau c. belum ditandatangani dan/ atau belum dapat dipastikan akan ditandatangani sebelum tahun berjalan yang direncanakan dimulai (pipe line), dalam rangka penanggulangan bencana alam. (3) Dalam rangka pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN, Kementerian/Lembaga mengalokasikan RMP dan local cost sesuai ketentuan yang termuat dalam naskah perjanjian PLN, minutes of negotiation, atau dokumen perencanaan pinjaman lainnya. (4) Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN dan pengalokasian RMP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. mencantumkan akun belanja atas transaksi berdasarkan naskah perjanjian PLN sesuai dengan kategori pembiayaan yang diperbolehkan oleh lender, b. mencantumkan kode kantor bayar sebagai berikut: 1. kode KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah (140) untuk transaksi PLN dalam valuta asing dan tata cara penarikannya menggunakan mekanisme pembayaran langsung (direct payment) dan letter of credit; dan/ atau 2. kode KPPN sesuai dengan lokasi kegiatan dimana proyek yang bersumber dari PLN dilaksanakan dan tata cara penarikannya menggunakan mekanisme rekening khusus; c. mencantumkan sumber dana sesuai dengan naskah perj anjian PLN; d. mencantumkan tata cara penarikan PLN sesuai dengan naskah perjanjian PLN atau dokumen lain yang telah disetujui oleh lender, e. mencantumkan kode register PLN yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko; f. mencantumkan persentase/porsi pembiayaan yang dibiayai oleh lender sesuai dengan naskah perjanjian PLN atau dokumen lain yang telah disetujui oleh lender, dan g. mencantumkan cara menghitung besaran porsi PLN yang dibiayai oleh lender dengan mengacu pada buku petunjuk pengadaan barang jasa jdih.kemenkeu.go.id - 26 - (procurement guidelines) masing-masing lender dan ketentuan perpajakan dan bea masuk yang berlaku. Pasal 20 (1) Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh pemerintah. (2) Pengalokasian anggaran yang bersumber dari PDN mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. Kementerian/Lembaga menyusun rencana kegiatan yang bersumber dari PDN dengan berpedoman pada daftar prioritas kegiatan yang bersumber dari PDN; b. mencantumkan sumber dana sesuai dengan naskah perjanjian PDN; c. mencantumkan kode register PDN yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko; dan d. melampirkan naskah perjanjian PDN yang disusun mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penarikan pinjaman dalam negen. Pasal 21 (1) Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hibah. (2) Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari Hibah digunakan untuk mendukung: a. program pembangunan nasional; dan/ atau b. program lain yang tercantum dalam daftar rencana kegiatan Hibah. Pasal 22 (1) Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d, mengacu pada daftar prioritas proyek yang bersumber dari SBSN yang ditetapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2) Pengalokasian anggaran yang bersumber dari SBSN mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. mencantumkan sumber dana SBSN; dan b. mencantumkan kode register SBSN yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Pasal 23 (1) Pengalokasian anggaran untuk Kegiatan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e, berasal dari: a. PNBP Kementerian/Lembaga; jdih.kemenkeu.go.id - 27 - b. PNBP BUN yang berasal dari pelaksanaan kewenangan Menteri Keuangan selaku BUN; atau c. PNBP Satker BLU. (2) Pengalokasian anggaran untuk Kegiatan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada: a. ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan PNBP; dan b. surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan penggunaan sebagian dana yang berasal dari PNBP. Pasal 24 (1) Pengalokasian anggaran yang bersumber dari PNBP Satker BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. mengacu pada ketentuan peraturan perundang undangan mengenai pengelolaan keuangan BLU; b. penyusunan informasi Kinerja Satker BLU mengikuti ketentuan penyusunan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; c. melampirkan RBA; dan d. mencantumkan estimasi saldo awal dan penetapan ambang batas pada kertas kerja RKA Satker BLU. (2) RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk ditelaah bersama-sama dalam penelaahan RKA. (3) Dalam penelaahan RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal Anggaran dapat melibatkan Direktorat J enderal Perbendaharaan. Pasal 25 (1) Pengalokasian anggaran yang bersumber dari PNBP Satker BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, khusus untuk Satker BLU yang mengelola dana kerjasama pembangunan internasional, dilakukan untuk pemberian hibah kepada pemerintah asing/lembaga asing. (2) Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan pada sub BA BUN Hibah. Paragraf 5 Penandaan Anggaran (Budget Tagging) Pasal 26 Penandaan anggaran (budget tagging) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penandaan anggaran (budget tagging) dilakukan pada level RO sesuai dengan kategori yang telah ditentukan; b. penandaan anggaran (budget tagging) dilakukan berdasarkan kesepakatan dalam pertemuan 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) antara Kementerian/Lembaga, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perencanaan jdih.kemenkeu.go.id - 28 - Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada saat penyusunan dan penelaahan Renja K/L; c. rekap penandaan anggaran (budget tagging) yang dilakukan pada saat penyusunan dan penelaahan Renja K/L, menjadi salah satu dokumen pendukung dalam penyusunan RKA-K/L; dan d. ketepatan penandaan anggaran (budget tagging) akan dilakukan melalui penilaian kembali pada saat penyusunan dan penelaahan RKA-K/L. Paragraf 6 Penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran Pasal 27 (1) Penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f, dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah penyusunan Renja K/L berdasarkan kebutuhan. (2) Penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran dapat berupa: a. penguatan relevansi antara Program, Kegiatan, dan Keluaran dengan sasaran strategis dan sasaran Program; b. perbaikan/penyempurnaan rumusan indikator Kinerja pada level Program, Kegiatan, dan Keluaran; atau c. penambahan usulan Program, Kegiatan, dan/ atau Keluaran baru sesuai dengan perkembangan penelaahan anggaran. (3) Ketentuan mengenai penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN setelah penyesuaian Indikasi Kebutuhan Dana BUN berdasarkan kebutuhan. (4) Hasil penajaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), digunakan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai acuan dalam penyusunan RKA-K/L dan digunakan oleh PPA BUN sebagai acuan dalam penyusunan RKA-BUN. Paragraf 7 Sinkronisasi antara Belanja Pemerintah Pusat dan TKD Pasal 28 (1) Sinkronisasi terhadap belanja Pemerintah Pusat dan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g, dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga paling sedikit dengan TKD yang penggunaannya telah ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) TKD yang penggunaannya telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit terhadap DAK Fisik. (3) Belanja Kementerian/Lembaga yang disinkronisasi dengan belanja TKD mencakup belanja Satker jdih.kemenkeu.go.id - 29 - pusat/kantor pusat, Satker vertikal/kantor daerah, Satker Dekonsentrasi, Satker Tugas Pembantuan, serta belanja Bantuan Pemerintah. (4) Sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan di level Program, Kegiatan, Keluaran, dan/ atau lokasi berupa wilayah administratif pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa) dan lokasi khusus yang meliputi lokasi berdasarkan referensi spesifik pada bidang tertentu. Pasal 29 (1) Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan DAK Fisik dilakukan dengan memprioritaskan alokasi belanja Kementerian/Lembaga untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah di lokasi yang didanai oleh DAK Fisik. (2) Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan DAK Nonfisik dilakukan dengan memprioritaskan alokasi belanja Kementerian/Lembaga untuk mendukung operasionalisasi layanan publik daerah di lokasi yang didanai oleh DAK Nonfisik. (3) Dalam hal penugasan, belanja Pemerintah Pusat dapat dialokasikan untuk mendanai urusan Pemerintah Daerah untuk penuntasan target pembangunan daerah. Pasal 30 (1) Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan TKD lainnya yang ditentukan penggunaannya untuk bidang tertentu dilakukan di level Program. (2) Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan TKD lainnya yang ditentukan penggunaannya dilakukan dengan memprioritaskan alokasi belanja Kementerian/Lembaga untuk mendukung bidang bidang yang didanai dari TKD lainnya yang ditentukan penggunaannya. Paragraf 8 Kebijakan Penganggaran yang Ditetapkan pada Tahun Berkenaan Pasal 31 Kebijakan penganggaran yang ditetapkan pada tahun berkenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf h, merupakan pokok-pokok kebijakan anggaran dan hal-hal khusus dalam penyusunan RKA tahun yang direncanakan yang tercantum dalam penetapan pagu indikatif, pagu anggaran, alokasi anggaran, dan peraturan perundang undangan mengenai kebijakan penganggaran tahun yang direncanakan. jdih.kemenkeu.go.id - 30 - Paragraf 9 Pengalokasian Anggaran yang Diserahkan Menjadi Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara Pasal 32 (1) Pengalokasian anggaran yang akan diserahkan menjadi penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf i, merupakan pengalokasian anggaran pada Kementerian/Lembaga yang akan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara. (2) Ketentuan mengenai pengalokasian anggaran yang akan diserahkan menjadi penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik negara. Paragraf 10 Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan Pasal 33 Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 1, dilaksanakan sesuai dengan: a. ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keuangan negara; b. sinergi kebijakan fiskal nasional; dan c. sinergi pendanaan pelaksanaan Urusan Pemerintahan. Pasal 34 (1) Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, merupakan alokasi anggaran yang diberikan kepada GWPP. (2) Pengalokasian anggaran Dekonsentrasi Kepada GWPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk mendanai: a. pembinaan dan pengawasan umum dan teknis terhadap: 1. penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota; dan 2. Tugas Pembantuan yang dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota; dan b. pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pembinaan dan pengawasan umum dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. jdih.kemenkeu.go.id - 31 - (4) Pengalokasian anggaran Dekonsentrasi Kepada GWPP untuk mendanai pelaksanaan urusan pembinaan dan pengawasan umum dan teknis Pemerintah Pusat terhadap Tugas Pembantuan yang dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2, dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. (5) Pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan: a. lebih efektif dan efisien dilaksanakan oleh G WPP; b. daerah memiliki pelaksana yang lingkup tugas dan fungsinya sama dengan Urusan Pemerintahan yang didekonsentrasikan; c. daerah memiliki sarana dan prasarana serta personel untuk menyelenggarakan Dekonsentrasi; dan d. tidak memerlukan biaya pendamping dari daerah. (6) Dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP, Menteri/Pimpinan Lembaga: a. memberitahukan indikasi program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan untuk tahun anggaran berikutnya kepada GWPP paling lambat pertengahan bulan Juni dan/ atau setelah ditetapkannya pagu anggaran; b. melakukan koordinasi penyusunan RKA Satker sebagai bagian penyusunan RKA-K/L; c. menetapkan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga, yang paling sedikit mengatur mengenai: 1. program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan sebagai dasar pelimpahan bagi GWPP; dan 2. mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan program dan kegiatan yang didekonsentrasikan, paling lambat bulan November sebelum tahun pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP; dan d. menyampaikan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada daerah penerima dana Dekonsentrasi Kepada GWPP, dengan tembusan kepada Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pasal 35 (1) Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan alokasi atas penugasan sebagian Urusan Pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangannya kepada daerah provinsi dan/ atau daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan. (2) Pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi ketentuan: jdih.kemenkeu.go.id - 32 - a. lebih efektif dan efisien dilaksanakan oleh daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota; b. daerah memiliki perangkat daerah yang lingkup tugas dan fungsinya sama dengan Urusan Pemerintahan yang ditugaspembantuankan; c. daerah provinsi dan/ atau daerah kabupaten/kota memiliki sarana dan prasarana serta personel untuk menyelenggarakan Tugas Pembantuan; d. tidak memerlukan biaya pendamping dari daerah; e. memperhatikan karakteristik daerah; f. bukan merupakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; dan g. bukan untuk Urusan Pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah. (3) Dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala daerah, Menteri/Pimpinan Lembaga: a. memberitahukan indikasi program dan kegiatan yang akan ditugaskan untuk tahun anggaran berikutnya kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala daerah, paling lambat pertengahan bulan Juni dan/ atau setelah ditetapkannya pagu anggaran; b. melakukan koordinasi penyusunan RKA Satker sebagai bagian penyusunan RKA-K/L; c. menetapkan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga, paling sedikit mengatur mengenai: 1. program dan kegiatan yang akan ditugaskan sebagai dasar penugasan bagi Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala daerah; dan 2. mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan program dan kegiatan yang ditugaskan, paling lambat bulan Desember sebelum tahun pelaksanaan Tugas Pembantuan; dan d. menyampaikan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada daerah penerima dana Tugas Pembantuan, dengan tembusan kepada Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pasal 36 (1) Barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan merupakan barang milik negara dan dikelola serta dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik negara. (2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai penunjang penyelenggaraan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan. jdih.kemenkeu.go.id - 33 - Pasal 37 Untuk mendukung pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan, Kementerian/Lembaga harus memperhitungkan kebutuhan anggaran di dalam RKA-K/L/DIPA untuk memenuhi: a. biaya operasional dan pemeliharaan atas barang hasil pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan yang belum dihibahkan; b. honorarium pejabat pengelola keuangan dana Dekonsentrasi Kepada GWPP dan/ atau dana Tugas Pembantuan; dan c. biaya lainnya dalam rangka pencapaian target pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan/ atau Tugas Pembantuan. Pasal 38 Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan tidak dapat dilakukan dalam hal pelaksanaan kegiatan sejenis pada tahun anggaran sebelumnya, organisasi perangkat daerah penerima dana dimaksud: a. tidak memenuhi target kinerja pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan; b. tidak menyampaikan laporan keuangan dan barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; c. melakukan penyimpangan sesuai hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga yang bersangkutan atau aparat pemeriksa fungsional lainnya; dan/ atau d. tidak bersedia menerima hibah terhadap barang milik negara yang disetujui untuk diterima. Pasal 39 Dalam hal terdapat PNBP pada pelaksanaan dana Dekonsentrasi Kepada GWPP dan/ atau dana Tugas Pembantuan, PNBP dimaksud wajib disetorkan ke rekening kas umum negara sesuai ketentuan peraturan perundang undangan mengenai PNBP. Paragraf 11 Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Bantuan Pemerintah Pasal 40 (1) Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Bantuan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 2, dilaksanakan dengan memenuhi syarat: a. sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengamanatkan Pemerintah memberikan bantuan; b. mendapat penugasan Presiden; dan/ atau c. tercantum dalam RKP. jdih.kemenkeu.go.id - 34 - (2) Bantuan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dalam bentuk: a. uang; b. barang; dan/ atau c. Jasa. (3) Bantuan Pemerintah, diberikan kepada: a. perseorangan non-Pegawai ASN/prajurit TNI/ anggota POLRI, kecuali diatur tersendiri dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. kelompok masyarakat; dan/ atau c. Lembaga pemerintah/nonpemerintah. (4) Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Bantuan Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan akun peruntukannya. (5) Pengalokasian anggaran Bantuan Pemerintah berupa barang yang akan diserahkan kepada masyarakat atau Pemerintah Daerah dan berbasis proposal, dilengkapi dengan surat pernyataan pejabat eselon I yang menyatakan bahwa alokasi tersebut telah berdasarkan proposal yang diterima. Paragraf 12. Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Belanja Bantuan Sosial Pasal 41 Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Belanja Bantuan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 3, diberikan kepada masyarakat miskin atau tidak mampu, untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan/ atau kesejahteraan masyarakat. Pasal 42 (1) Pengalokasian Belanja Bantuan Sosial dilakukan oleh Kementerian/Lembaga yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan program perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, penanggulangan kemiskinan dan pelayanan dasar, dan penanggulangan bencana. (2) Besaran alokasi Belanja Bantuan Sosial ditentukan berdasarkan target/ sasaran dan besaran bantuan per target/ sasaran. (3) Biaya penyaluran bantuan sosial dialokasikan secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan: a. besaran alokasi Belanja Bantuan Sosial; b. jangka waktu penyaluran; c. jumlah penerima bantuan sosial; dan d. sebaran wilayah penerima bantuan sosial. Pasal 43 (1) Anggaran Belanja Bantuan Sosial disusun oleh Kementerian/Lembaga dengan memperhatikan: jdih.kemenkeu.go.id - 35 - a. tujuan penggunaan bantuan sosial yang menjadi target Kinerja Kementerian/Lembaga; b. pemberi bantuan sosial; c. penerima bantuan sosial; dan d. bentuk bantuan sosial yang disalurkan. (2) Tujuan penggunaan bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. perlindungan sosial, yang bertujuan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/ atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai kebutuhan dasar minimal; b. rehabilitasi sosial, yang bertujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara waJar; c. jaminan sosial, yang merupakan skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak; d. pemberdayaan sosial, yang merupakan semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya; e. penanggulangan kemiskinan, yang merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok, dan/ atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan; dan/ atau f. penanggulangan bencana, yang merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. (3) Pemberi bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1). (4) Penerima bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, adalah perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat miskin, tidak mampu, dan/ atau yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan/ atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. (5) Bentuk bantuan sosial yang disalurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas: a. uang; b. barang; dan/ atau c. Jasa. (6) Pemberian bantuan sosial dapat dilakukan melalui lembaga nonpemerintah di bidang pendidikan, jdih.kemenkeu.go.id - 36 - kesehatan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat miskin, tidak mampu, dan/ atau yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan/ atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. (7) Belanja Bantuan Sosial yang diberikan oleh pemberi bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada penerima bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak untuk: a. dikembalikan kepada pemberi bantuan sosial; atau b. diambil hasilnya oleh pemberi bantuan sosial. Paragraf 13 Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Kontrak Tahun Jamak Pasal 44 (1) Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 hurufj angka 4, dapat dilakukan untuk pekerjaan yang: a. penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan atau lebih dari 1 (satu) tahun anggaran; atau b. memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dan paling lama 3 (tiga) tahun anggaran. (2) Pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 1 (satu) tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, termasuk untuk: a. pekerjaan yang penyelesaiannya direncanakan kurang dari 12 (dua belas) bulan, tetapi membebani lebih dari 1 (satu) tahun anggaran; atau b. pekerjaan yang semula direncanakan dilakukan secara tahun tunggal menjadi tahun jamak sebagai akibat dari suatu keadaan kahar sehingga kewajiban yang telah ditentukan dalam kontrak tidak dapat dipenuhi. (3) Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. pekerjaan konstruksi; dan/ atau b. pekerjaan nonkonstruksi. Pasal 45 (1) Kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dilakukan setelah mendapat persetujuan dari: a. Menteri/Pimpinan Lembaga/PA bersangkutan; atau b. Menteri Keuangan. (2) Kontrak tahun jamak yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan PLN, PDN, dan/atau Hibah, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). jdih.kemenkeu.go.id - 37 - (3) Persetujuan kontrak tahun jamak oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/PA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan untuk: a. pekerjaan konstruksi dengan nilai sampai dengan Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah); atau b. pekerjaan nonkonstruksi dengan nilai sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (