Modul Cerdas Cermat APBN 2024, Barang Milik Negara (BMN)

Summary

Ini adalah modul tentang Barang Milik Negara (BMN) dan Badan Layanan Umum (BLU). Modul ini membahas konsep dasar BMN, ruang lingkup pengelolaan BMN, pengertian, dasar hukum, syarat, jenis, contoh, dan peranan BLU; serta tujuan pembentukan BLU, asas-asas BLU, pengelolaan keuangan BLU, tarif layanan BLU, dan perbedaan antara satuan kerja (satker) biasa, BLU, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Full Transcript

BAB 6 BARANG MILIK NEGARA (BMN) DAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU) Kita Belajar Apa? Pada bab ini, kita akan membahas hal-hal terkait Barang Milik Negara (BMN) dan Badan Layanan Umum (BLU). Pembahasan...

BAB 6 BARANG MILIK NEGARA (BMN) DAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU) Kita Belajar Apa? Pada bab ini, kita akan membahas hal-hal terkait Barang Milik Negara (BMN) dan Badan Layanan Umum (BLU). Pembahasan pada submateri BMN meliputi konsep dasar BMN dan ruang lingkup pengelolaan BMN. Sementara itu, submateri BLU akan mengulas materi terkait pengertian, dasar hukum, syarat, jenis, contoh, dan peranan BLU. Selain itu, terdapat pula materi pendukung berupa tujuan pembentukan BLU, asas-asas BLU, pengelolaan keuangan BLU, tarif layanan BLU, serta perbedaan antara satuan kerja (satker) biasa, BLU, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Secara lebih rinci, teman-teman bisa melihat mind map pada Gambar 6.1 untuk mendapatkan gambaran awal mengenai materi yang akan teman-teman baca pada bab ini. Gambar 6.1 Mind Map Materi BMN dan BLU 6.1 Konsep Dasar Barang Milik Negara Barang Milik Negara (BMN) merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah pusat harus melakukan pengelolaan BMN agar dapat berguna bagi pemerintah dan masyarakat. Pengelolaan BMN adalah suatu proses dalam mengelola kekayaan yang telah ada sebelumnya atau yang diperoleh dari beban APBN atau perolehan lainnya yang sah yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pemerintah maupun masyarakat. BMN adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sehingga pengelolaan BMN harus dilakukan secara baik dan benar. 6.1.1 Dasar Hukum dan Pengertian BMN Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 mendefinisikan BMN sebagai semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan Iainnya yang sah. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 juga menjelaskan definisi BMN yang tidak jauh berbeda dari Undang- 105 Undang Nomor 1 Tahun 2004. BMN didefinisikan sebagai semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan Iainnya yang sah. Beberapa hal yang termasuk dalam kategori perolehan lainnya yang sah dijabarkan sebagai berikut. a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis Contoh: pemerintah mendapatkan hibah barang dari pemerintah negara lain/lembaga internasional. b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak Contoh: pemerintah mendapatkan BMN setelah perusahaan asing masa kontraknya berakhir dengan pemerintah. c. Barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Contoh: aset peninggalan penjajah/asing yang akhirnya menjadi BMN. d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap Contoh: keputusan pengadilan atas barang sitaan akhirnya menjadi BMN. BMN merupakan bagian dari kekayaan negara yang harus dikelola dengan baik dan benar. Aturan pengelolaan BMN pada dasarnya diamanatkan secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 Bab XIV yaitu pasal 33 ayat (3). Pasal tersebut menyebutkan bahwa kekayaan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, termasuk BMN yang merupakan salah satu dari komponen kekayaan negara. Oleh karena itu, pengelolaan BMN pada hakikatnya adalah amanat UUD 1945. Selanjutnya, amanat dari UUD 1945 terkait BMN diatur secara lebih lanjut dalam paket Undang- Undang Keuangan Negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 khususnya pada BAB I Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kemudian, dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa keuangan negara mencakup kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak Iain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak Iain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. 6.1.2 Wewenang dan Tanggung jawab Pengelolaan BMN Pengelola BMN memiliki wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. Pemisahan fungsi tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 s.d 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 (terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020), subjek/pelaku dari pengelolaan BMN, terdiri dari: a. Pemerintah Pusat 1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) adalah pengelola barang 2) Menteri/pimpinan lembaga adalah pengguna barang 3) Kepala kantor satker adalah kuasa pengguna barang b. Pemerintah Daerah 1) Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah 2) Sekretaris daerah adalah pengelola barang milik daerah 3) Kepala kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah pengguna barang milik daerah 6.1.3 Jenis-Jenis BMN BMN dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut. a. Persediaan 1) Persediaan ATK 2) Obat-obatan 3) Bahan baku 106 b. Aset tetap 1) Tanah 2) Peralatan dan Mesin 3) Gedung dan Bangunan 4) Jalan, Irigasi dan Jaringan 5) Aset Tetap Lainnya (misalnya buku koleksi perpustakaan, hewan peliharaan, barang bercorak seni dan budaya) 6) Konstruksi dalam Pengerjaan c. Aset lainnya 1) Aset Kemitraan (KSP, BGS/BSG) 2) Aset Tak Berwujud (software, hak cipta, hak paten) 3) Aset Tetap yang dihentikan penggunaannya 6.1.4 Asas Pengelolaan BMN Terdapat 6 (enam) asas dalam pengelolaan BMN yang dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Asas fungsional Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah di bidang pengelolaan BMN dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna BMN sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. b. Asas kepastian hukum Pengelolaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan serta asas kepatutan dan keadilan. c. Asas transparansi Penyelenggaraan pengelolaan BMN harus transparan dan membuka diri terhadap hak dan peran serta masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar dan keikutsertaannya dalam mengamankan BMN. d. Asas efisiensi Penggunaan BMN diarahkan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal. e. Asas akuntabilitas publik Setiap kegiatan pengelolaan BMN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. f. Asas kepastian nilai Pendayagunaan BMN harus didukung adanya akurasi jumlah dan nominal BMN. Kepastian nilai merupakan salah satu dasar dalam penyusunan neraca pemerintah dan pemindahtanganan BMN. 6.2 Ruang Lingkup Pengelolaan Barang Milik Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, pengelolaan BMN meliputi 8 (delapan) kegiatan, yaitu perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan, dan pemindahtanganan. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, dijabarkan bahwa pengelolaan BMN meliputi keseluruhan siklus pengelolaan barang yang terdiri dari 11 (sebelas) kegiatan yang diilustrasikan dalam Gambar 6.2, yaitu perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; pemindahtanganan; pemusnahan; penghapusan; penatausahaan; dan pembinaan pengawasan dan pengendalian. 107 Gambar 6.2 Ruang Lingkup Pengelolaan BMN Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran (2020) Guna memberikan gambaran yang lebih jelas dari tiap-tiap siklus/ruang lingkup tersebut, mari kita pelajari materi berikut. a. Perencanaan dan Penganggaran BMN Perencanaan kebutuhan BMN merupakan kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah IaIu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang (PP 28 Tahun 2020). Perencanaan kebutuhan merupakan salah satu dasar bagi kementerian/lembaga dalam pengusulan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar (baseline) serta penyusunan rencana kerja dan anggaran. Perencanaan kebutuhan disusun dengan berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga. Kegiatan ini menghasilkan dokumen berupa Rencana Kebutuhan BMN atau sering disebut RKBMN. b. Pengadaan BMN Menurut Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, pengadaan BMN (pengadaan barang/jasa pemerintah) adalah kegiatan pengadaan barang/jasa oleh kementerian/lembaga yang dibiayai oleh APBN yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan sampai dengan serah terima hasil pekerjaan). Pengadaan BMN dilaksanakan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif serta akuntabel. c. Penggunaan BMN BMN yang telah dibeli/diadakan harus digunakan dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi suatu instansi pemerintah. Dengan demikian, pengadaan BMN ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Penggunaan BMN dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. BMN dapat ditetapkan status penggunaannya dengan tujuan sebagai berikut. 1) untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga yang bersangkutan 2) untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian /lembaga yang bersangkutan. d. Pengamanan dan Pemeliharaan BMN BMN yang ada pada penguasaan pengelola barang maupun pengguna/kuasa pengguna barang wajib diamankan dan dipelihara. Tujuan dari pengamanan dan pemeliharaan BMN adalah mewujudkan pengelolaan BMN yang 108 tertib, terarah, efektif, efisien, optimal, dan akuntabel. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 21/KMK.02/2012, disebutkan pengamanan BMN dalam praktiknya memiliki 3 (tiga) jenis pengamanan sebagai berikut. 1) Pengamanan Fisik Pengamanan fisik merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi barang, penurunan jumlah barang, dan hilangnya barang. Contohnya memagar area kantor. 2) Pengamanan Hukum Pengamanan hukum merupakan kegiatan melengkapi bukti status kepemilikan, untuk melindungi dari sisi adanya gugatan hukum. Contohnya membuat/mengurus sertifikat tanah instansi pemerintah. 3) Pengamanan Administrasi Pengamanan administrasi merupakan kegiatan penatausahaan dalam rangka mengamankan BMN dari segi administratif. Contohnya melakukan inventarisasi BMN. Selain diamankan, BMN juga harus dipelihara. Pemeliharaan BMN adalah kegiatan yang dilakukan agar BMN selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 21/KMK.02/2012, pemeliharaan BMN terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu: 1) Pemeliharaan Ringan Pemeliharaan ini bersifat sederhana, dilakukan secara rutin oleh pegawai, dan tidak membutuhkan biaya. Contohnya membersihkan kotoran yang melekat di komputer kantor. 2) Pemeliharaan Sedang Pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan secara berkala oleh tenaga terdidik/terlatih yang mengakibatkan adanya pembebanan anggaran atau dengan kata lain memerlukan biaya. Contohnya pemeliharaan AC secara rutin. 3) Pemeliharaan Berat Pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan sewaktu-waktu oleh tenaga ahli yang pelaksanaannya tidak dapat diduga tetapi dapat diperkirakan kebutuhannya yang mengakibatkan pembebanan anggaran. Contohnya pemeliharaan yang dilakukan saat terdapat kerusakan gedung kantor karena tertimpa pohon. e. Pemanfaatan BMN Pemanfaatan BMN adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga dan/atau optimalisasi BMN. Menurut Peraturan Menteri Keuangan ll5/PMK.06/2020 tentang pemanfaatan BMN, terdapat 6 (enam) jenis pemanfaatan BMN sebagai berikut. 1) Pinjam Pakai Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan barang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan BMN tersebut harus diserahkan kembali kepada pengelola barang/pengguna barang setelah jangka waktu tersebut berakhir. 2) Sewa Apabila ada BMN yang tidak digunakan (idle), BMN dapat disewakan kepada pihak Iain agar pemanfaatan BMN lebih optimal. Sewa adalah pemanfaatan BMN oleh pihak Iain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan berupa uang tunai. 3) Bangun Guna Serah (BGS) atau Bangun Serah Guna (BSG) Bangun Guna Serah merupakan bentuk pemanfaatan BMN dengan memanfaatkan tanah milik pemerintah untuk selanjutnya didirikan bangunan oleh pihak ketiga melalui kerjasama. Setelah bangunan tersebut selesai dibangun, sebagian digunakan untuk kantor instansi pemerintah sedangkan bagian lainnya digunakan oleh pihak mitra (swasta). Setelah jangka waktu perjanjian berakhir, bangunan tersebut diserahkan kepada pemerintah dan menjadi BMN. Sementara itu, BSG pada dasarnya hampir sama dengan BGS. Namun, dalam mekanisme BSG, bangunan yang sudah selesai dibangun langsung diserahkan terlebih dahulu kepada pemerintah dan dicatat sebagai BMN, kemudian digunakan oleh pemerintah untuk kantor dan sebagian yang lainnya dipakai oleh mitra (swasta). 4) Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) 109 KSP adalah pendayagunaan BMN oleh pihak Iain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan sumber pembiayaan Iainnya. KSP dilakukan pemerintah melalui kerja sama dengan pihak Iain. Pihak ketiga memiliki kewajiban untuk membayar kepada negara (PNBP) sesuai perjanjian yang ada. Apabila kerja sama sudah selesai, aset tersebut menjadi milik negara. 5) Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) KSPI adalah kerja sama antara pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. KSPI lebih berfokus kepada infrastruktur. 6) Kerja Sama Terbatas untuk Pembiayaan Infrastruktur (KETUPI) KETUPI adalah optimalisasi BMN untuk meningkatkan fungsi operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur Iainnya. Tujuannya lebih kepada ketersediaan pembiayaan, yang selanjutnya pembiayaan tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur lainnya. f. Penilaian BMN BMN yang telah ada perlu melewati proses penilaian untuk mendapatkan nilai wajar atas BMN tersebut. Penilaian ini berguna untuk penyusunan laporan keuangan sehingga bisa diketahui nilai dari aset pemerintah. Penilaian BMN adalah kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian berupa BMN pada saat tertentu. Penetapan nilai BMN dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). g. Pemusnahan BMN Pemusnahan BMN adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN. Pemusnahan dilakukan dalam hal kondisi BMN tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan/atau tidak dapat dipindahtangankan, serta alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemusnahan dilakukan dengan cara dibakar, dihancurkan, ditimbun, ditenggelamkan, atau cara lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Pelaksanaan pemusnahan dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang. Pemusnahan dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. h. Pemindahtanganan BMN BMN yang tidak diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dapat dipindahtangankan. Terdapat 4 (empat) bentuk pemindahtanganan sebagai berikut. 1) Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada pihak Iain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 2) Tukar menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah pusat dengan pihak Iain, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang paling sedikit dengan nilai seimbang. 3) Hibah adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, atau dari pemerintah pusat kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. 4) Penyertaan modal pemerintah pusat adalah pengalihan kepemilikan BMN yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham/aset neto/kekayaan bersih milik negara pada BUMN, BUMD, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara. i. Penghapusan BMN Penghapusan BMN adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengelola barang, pengguna barang, dan/atau kuasa pengguna barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. Penghapusan BMN dari daftar barang pengguna dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang. Penghapusan BMN dari daftar BMN dilakukan dalam hal sudah beralih kepemilikannya, pemusnahan, atau sebab-sebab lain (hilang, dicuri, terbakar, susut, mencair). j. Penatausahaan BMN Menurut PP No 28 Tahun 2020, penatausahaan BMN adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan penatausahaan bersifat administratif. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.06/2016, terdapat 110 3 (tiga) kegiatan utama dalam penatausahaan BMN, yaitu inventarisasi, pembukuan dan pelaporan dengan penjelasan sebagai berikut. 1) Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan BMN. 2) Pembukuan adalah kegiatan pendaftaran dan pencatatan BMN ke dalam daftar barang yang ada pada pengguna barang/kuasa pengguna barang dan pengelola barang menurut penggolongan dan kodifikasi barang. Setelah dilakukan inventarisasi, BMN tersebut dibukukan sesuai dengan golongan BMN. Pengguna/kuasa pengguna barang harus menyimpan dokumen kepemilikan BMN selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya. Pengelola barang harus menyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang berada dalam pengelolaannya. 3) Pelaporan adalah serangkaian kegiatan penyusunan serta penyampaian data dan informasi yang dilakukan oleh unit akuntansi yang bertugas menatausahakan BMN pada pengguna barang/kuasa pengguna barang dan pengelola barang. Pelaporan ini biasanya bersifat semesteran dan tahunan. k. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian BMN Kegiatan pembinaan, pengawasan dan pengendalian BMN ini dilakukan terhadap seluruh siklus pengelolaan BMN. Menteri Keuangan melakukan pembinaan pengelolaan BMN dan menetapkan kebijakan umum pengelolaan BMN yang terdiri dari kebijakan umum dan kebijakan teknis. Pengguna/kuasa pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap BMN yang dikuasainya, dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban, serta menindaklanjuti hasil audit sesuai ketentuan. Pengelola barang berwenang melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan pengelolaan BMN dalam rangka penertiban sesuai dengan ketentuan dan dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit. Hasil audit disampaikan kepada pengelola untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan. 111 Tahukah Kamu? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 53/2023 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) dan aset dalam penugasan di Ibu Kota Negara (IKN). Peraturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 17/2022 yang mengatur pendanaan dan pengelolaan anggaran untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Nusantara. Pasal 2 dari PMK No. 53/2023 menyatakan bahwa peraturan ini bertujuan untuk menyediakan pedoman dalam pengelolaan BMN dan aset dalam penguasaan (ADP) di IKN. Peraturan ini dimaksudkan untuk memastikan tata kelola BMN dan ADP yang tertib, terarah, adil, dan akuntabel, sehingga pengelolaan BMN dan ADP menjadi efisien, efektif, dan optimal. Pengelolaan BMN di IKN mencakup beberapa aspek seperti perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, perolehan BMN dari pengalihan barang milik daerah (BMD) dan ADP, penggunaan, pemanfaatan, serta pengamanan dan pemeliharaan. Selain itu, pengelolaan BMN juga mencakup penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan, serta pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, sebagai pengguna barang di IKN, memiliki 17 tanggung jawab dan kewenangan, termasuk merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman teknis pengelolaan BMN, serta menetapkan standar barang dan kebutuhan BMN di IKN. Sebagian tanggung jawab dan kewenangan ini dapat dilimpahkan kepada Kuasa Pengguna Barang. Sumber: Maria Elena (2023) 6.3 Konsep Dasar Badan Layanan Umum Dalam meningkatkan pelayanan publik yang efisien dan produktif, pemerintah membentuk suatu organisasi publik, yaitu Badan Layanan Umum (BLU). BLU merupakan suatu instansi pemerintah yang pengelolaan keuangannya diatur secara fleksibel berupa keleluasaan untuk menetapkan praktik-praktik bisnis yang sehat guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, BLU juga memiliki fleksibilitas dalam hal pelaksanaan anggaran, yang meliputi pengelolaan pendapatan, pengelolaan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Hal ini tentu menjadi ciri khas tersendiri yang dimiliki oleh BLU apabila dibandingkan dengan instansi pemerintah lainnya. BLU bertugas untuk memberikan pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, pengelolaan dana, pengelola kawasan, dan penyediaan barang/jasa lainnya. Penjelasan singkat mengenai BLU diatur dalam pasal 68 dan 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sementara itu, pengelolaan BLU berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum. Sebagai tindak lanjut pengelolaan BLU, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 yang selanjutnya diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pengelolaan keuangan BLU dilaporkan dan dipertanggungjawabkan secara tertib dengan laporan keuangan BLU yang diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah 112 Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, laporan keuangan BLU setidaknya terdapat laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai dengan laporan kinerja BLU tersebut. 6.3.1 Pengertian dan Asas Badan Layanan Umum Badan Layanan Umum adalah suatu instansi semiotonom yang dibentuk pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik baik barang maupun jasa kepada masyarakat umum yang bersifat nonprofit (tidak mencari keuntungan) berdasarkan prinsip efisiensi dan produktivitas dalam pengelolaannya. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, BLU merupakan instansi yang dibentuk pemerintah untuk memberikan layanan kepada masyarakat umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mencari keuntungan dan diselenggarakan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas. Menurut Wahani (2016), BLU dibagi menjadi 2 (dua), yaitu BLU (Pusat) dan BLU Daerah dengan peraturannya masing-masing. BLU (Pusat) dikelola berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Sementara itu, BLU Daerah tidak hanya dikelola dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 saja tetapi diatur juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Persamaan dari keduanya adalah sama-sama memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Sementara itu, perbedaan dari keduanya ialah BLU Daerah berada pada lingkungan pemerintah daerah sehingga bertanggung jawab kepada kepala daerah, sedangkan BLU (Pusat) bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Tujuan pembentukan BLU, antara lain untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, melakukan penerapan praktik bisnis yang sehat, dan membentuk instansi semiotonom yang fleksibel dalam mengelola keuangannya berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas. Fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan BLU bertujuan agar BLU dapat meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat umum melalui implementasi praktik bisnis yang sehat dengan tetap memperhatikan aspek produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Fleksibilitas BLU tercermin dalam 3 (tiga) aspek pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut. a. Fleksibilitas terhadap pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. b. Fleksibilitas terhadap bidang kepegawaian. BLU dapat mempekerjakan tenaga profesional non-ASN. c. Fleksibilitas terhadap remunerasi, artinya fleksibel terhadap pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Satuan kerja (satker) dan BLU memiliki kedudukan sebagai bagian dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan, sedangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki kedudukan sebagai bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut Pasal 68 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kekayaan BLU dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk penyelenggaraan kegiatan BLU yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. BLU memiliki 7 (tujuh) asas dalam pengelolaannya. Asas-asas BLU tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, yakni sebagai berikut. a. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. 113 b. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. c. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikan kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. d. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota. e. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. f. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/pemerintah daerah. g. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktik bisnis yang sehat. Secara umum, BLU memiliki 2 (dua) hal penting dalam pengelolaannya, yakni sebagai berikut. a. Pengelolaan Pendapatan Pendapatan yang diperoleh dari penyediaan layanan barang dan/atau jasa masyarakat digunakan untuk kegiatan operasional BLU yang sifatnya fleksibel. Fleksibilitas inilah yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan BLU kepada masyarakat umum. Beberapa hal yang termasuk dalam pendapatan BLU adalah pendapatan dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pendapatan layanan yang bersumber dari masyarakat, pendapatan layanan yang bersumber dari entitas akuntansi/entitas pelaporan, pendapatan hasil kerja sama, pendapatan hibah berupa barang atau kas, dan pendapatan BLU lainnya berupa hasil penjualan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat dari penjualan atau pengadaan barang/jasa oleh BLU. b. Pengelolaan Belanja Dalam pengelolaan belanja, BLU diberikan fleksibilitas anggaran atau flexible budget untuk melampaui batas maksimal anggaran (pagu anggaran) yang telah ditetapkan ketika terjadi penambahan volume kegiatan pada 1 (satu) periode anggaran. Fleksibilitas tersebut diperlukan untuk menyesuaikan jumlah belanja dengan volume aktivitas layanan dengan tetap mengikuti praktik bisnis yang sehat. Artinya, selama pendapatan BLU meningkat maka belanja BLU dapat bertambah setidaknya sebanding (antara pendapatan dan belanja) dan begitu pula sebaliknya. Fleksibilitas dalam pengelolaan belanja berlaku dalam ambang batas yang sudah ditentukan pada Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA). Apabila melebihi ambang batas fleksibilitas, belanja BLU harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Apabila terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran kepada Menteri Keuangan untuk didanai dari APBN. 6.3.2 Syarat Badan Layanan Umum Instansi pemerintah terbagi atas 3 (tiga) status kelembagaan, yaitu satker biasa, satker dengan Pengelolaan Keuangan BLU (PK BLU), dan perusahaan negara/BUMN. Perbedaan satker biasa, BLU, dan BUMN dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1 Perbedaan Satker Biasa, BLU, dan BUMN Karakteristik Satker Biasa BLU BUMN Badan Hukum/ Kekayaan Status Hukum Bagian K/L Bagian K/L Negara Dipisahkan Orientasi Non-Profit Not for Profit Profit Dapat Menggunakan PNBP Pendapatan Usaha Bukan Dapat Menggunakan PNBP Pendapatan Fungsional Atas Izin Merupakan PNBP Secara Langsung Menteri Keuangan Pengelolaan Dikecualikan Asas Bisnis Asas Universalitas Keuangan Universalitas 114 Rupiah Murni (RM) APBN (Berupa Rupiah Murni(RM) Rupiah Murni (RM)APBN dan Penyertaan Modal Negara) dan Sumber Dana APBN PNBP BLU Pendapatan Usaha SDM PNS PNS dan Non PNS Pegawai Persero Kekayaan/Aset Tidak dipisahkan Tidak dipisahkan Dipisahkan Semiotonom (Otonom ala Otonom (Korporasi, Perum, Pengelolaan/ Terpusat (Pemerintahan) Korporasi atau Nomenklatur Persero) Manajemen Pemerintah) Surplus Tidak Ada Dikelola Dikelola Perpajakan Bukan Subjek Pajak Bukan Subjek Pajak Subjek Pajak Apabila satker biasa atau non-BLU ingin mengubah statusnya menjadi satker dengan PK BLU, satker tersebut harus memenuhi 3 (tiga) syarat yang telah ditetapkan, antara lain: a. Syarat Substantif Persyaratan substantif dapat terpenuhi apabila satker/instansi non-BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut. 1) Satker/instansi tersebut menyediakan barang dan/atau jasa untuk pelayanan umum di bidang kesehatan, pendidikan, dan sebagainya yang tidak berkaitan dengan layanan pajak, perizinan, atau retribusi. 2) Satker/instansi tersebut menyelenggarakan tugas pengelolaan wilayah/kawasan tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, seperti badan pengusahaan kawasan, otorita, dan kawasan pengembangan ekonomi terpadu. 3) Satker/instansi tersebut menyelenggarakan tugas pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat, seperti lembaga/badan pengelolaan dana investasi, dana bergulir, dan dana abadi pendidikan. 4) Satker/instansi tersebut menyelenggarakan operasional pelayanan publik yang menghasilkan barang dan/atau jasa semipublik (quasi-public goods). 5) Satker/instansi tersebut menyelenggarakan kegiatan yang bersifat nonprofit (tidak mencari keuntungan). b. Syarat Teknis Persyaratan teknis dapat terpenuhi apabila satker memenuhi hal-hal berikut ini. 1) Kinerja pelayanan umum satker/instansi tersebut layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui penetapan sebagai BLU. Kinerja pelayanan umum dari satker/instansi terkait dapat dilihat dari rekomendasi menteri/ pimpinan lembaga yang setidaknya paling kurang harus mempertimbangkan hal-hal berikut ini. a) Indeks kepuasan masyarakat; b) Peluang peningkatan kinerja pelayanan; c) Peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada harus kondusif atau mendukung bagi peluang peningkatan kinerja layanan; dan d) Profesionalitas sumber daya manusia. 2) Kinerja keuangan satker/instansi tersebut sehat sebagaimana yang ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU. Kinerja keuangan dari satker/instansi terkait dapat diukur dengan mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut. 115 a) Peningkatan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam 2 (dua) tahun terakhir dan/atau proyeksi PNBP dalam 5 (lima) tahun ke depan. b) Rasio realisasi atau proyeksi belanja pegawai dengan PNBP paling kurang tidak meningkat. c) Data realisasi atau proyeksi rasio keuangan. c. Syarat Administratif Persyaratan administratif terpenuhi apabila satker/instansi non-BLU dapat menyajikan seluruh dokumen sebagai berikut. 1) Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; 2) Pola tata kelola; 3) Rencana strategis bisnis; 4) Laporan keuangan pokok; 5) Standar pelayanan minimum; dan 6) Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen. Apabila seluruh dokumen dan syarat sudah terpenuhi, dokumen persyaratan administratif disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga untuk mendapat persetujuan sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan. Syarat untuk mendapatkan persetujuan dari menteri/pimpinan lembaga, yaitu satker/instansi yang diusulkan menjadi BLU tersebut harus mendapatkan nilai yang memuaskan. Penilaian terhadap usulan BLU dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU (PPK-BLU), Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. 6.3.3 Jenis Badan Layanan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1 angka 23 menyatakan bahwa BLU berperan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan keuntungan. Penyediaan layanan barang dan/jasa yang diberikan BLU terdapat di berbagai sektor, misalnya sektor pendidikan, kesehatan, pengelola dana, pengelola kawasan, dan sebagainya. Secara lebih jelasnya, BLU dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian berdasarkan jenis layanannya yang dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Penyedia Layanan Barang dan/atau Jasa Jenis layanan ini mengacu pada BLU sebagai penyedia layanan publik di bidang pendidikan dan pelatihan, kesehatan, penelitian, pengembangan, dan penyiaran publik. Contoh BLU penyedia layanan barang dan/atau jasa adalah rumah sakit pemerintah, perguruan tinggi negeri, balai besar pelatihan, dan pusat penelitian. b. Pengelola Wilayah/Kawasan Tertentu Jenis layanan ini mengacu pada layanan BLU sebagai pengelola wilayah/kawasan tertentu yang tujuannya untuk peningkatan pelayanan publik masyarakat umum seperti otorita dan kawasan pengembangan ekonomi terpadu. Contoh BLU pengelola wilayah/kawasan adalah Otorita Batam dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). c. Pengelola Dana Khusus Jenis layanan ini mengacu pada layanan BLU sebagai pengelola dana khusus yang ditujukan untuk meningkatkan perekonomian dan pelayanan masyarakat umum seperti pengelola dana bergilir, rekening dana investasi, dan rekening pembangunan daerah. Contoh BLU pengelola dana khusus adalah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Pusat Investasi Pemerintah (PIP), Pengelola Dana Bergulir untuk Usaha Kecil dan Menengah, dan Pengelola Dana Kelapa Sawit. 116 Tahukah Kamu? BLU tidak termasuk subjek pajak penghasilan lho! Menurut Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan, subjek pajak dalam negeri mencakup badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan; pembiayaannya bersumber dari APBN/APBD; penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat/daerah; dan pembukuannya diaudit oleh aparat pengawasan fungsional negara. Badan Layanan Umum (BLU) merupakan unit dari badan pemerintah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23/2005. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa pendapatan BLU berasal dari APBN, jasa layanan, serta hibah. Pendapatan yang diperoleh dari sumber non-APBN/APBD dilaporkan dan dikonsolidasikan dalam pertanggungjawaban APBN/APBD. Pembukuan BLU diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan hal ini, BLU dapat dikategorikan sebagai badan pemerintah yang tidak termasuk subjek pajak penghasilan. Oleh karena itu, penghasilan yang diterima BLU dikecualikan dari pengenaan PPh, baik PPh Badan maupun PPh Potong-Pungut lainnya (withholding tax). Gambar 6.3 Politeknik Keuangan Negara STAN sebagai BLU Sumber: Dewa Suartama (2023) 6.4 Tarif Layanan Badan Layanan Umum Standar pelayanan minimum pada instansi pemerintah yang berstatus BLU setidaknya harus memperhatikan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya, serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Biaya merupakan salah satu unsur yang penting mengingat satker/instansi yang berstatus BLU mengenakan tarif layanan. BLU menerapkan tarif layanan sebagai imbalan atas jasa layanan yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Tarif yang dikenakan atas layanan BLU tergantung jenis layanan dan seluruh biaya lainnya yang dikeluarkan BLU tersebut untuk menghasilkan barang dan/atau jasa layanan. Tarif layanan BLU diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Pasal 68 & 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Selain itu, Tarif layanan BLU diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum. Tarif layanan BLU disusun segera setelah satker ditetapkan menjadi BLU. Tarif layanan BLU disusun atas dasar perhitungan biaya per 117 unit layanan atau hasil per investasi dana, yang diusulkan kepada menteri/pimpinan lembaga yang selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan BLU, kebijakan atas tarif layanan BLU ditetapkan sebagai berikut. a. Tarif layanan lebih besar dari seluruh biaya yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan barang/jasa layanan. b. Tarif layanan sama dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan barang/jasa layanan. c. Tarif layanan lebih kecil dari seluruh biaya yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan barang/ jasa layanan. Tarif layanan di atas tergantung dari kebijakan tiap-tiap BLU yang bersangkutan. Usulan tarif layanan BLU dibuat oleh pemimpin BLU kepada menteri/pimpinan lembaga. Usulan tarif layanan dapat berupa usulan tarif layanan baru dan/atau usulan perubahan tarif layanan. Usulan tarif layanan dituangkan dalam bentuk dokumen pengusulan yang disusun dan ditandatangani oleh pemimpin BLU. Selanjutnya, menteri/pimpinan lembaga menyampaikan usulan tarif layanan tersebut kepada Menteri Keuangan paling lama 6 (enam) bulan sejak penetapan menjadi BLU sesuai dengan kebijakan kementerian negara/lembaga. Menteri Keuangan akan melakukan penilaian terhadap usulan tarif layanan yang disampaikan oleh menteri/pimpinan lembaga dengan menunjuk tim penilai. Kewenangan untuk menunjuk tim penilai dapat diserahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. Kemudian, Menteri Keuangan akan menetapkan atau menolak usulan tarif layanan berdasarkan pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai. Pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai didasarkan pada hasil kajian dan penilaian terhadap usulan tarif layanan. Usulan tarif layanan dapat diterima ataupun ditolak oleh Menteri Keuangan. Apabila usulan tarif layanan tersebut diterima, maka usulan tarif layanan tersebut ditetapkan dan dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan. Ketika sudah ditetapkan, tarif layanan tersebut diterapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum. Dalam rangka penerapan ketentuan mengenai tarif layanan, Menteri Keuangan yang diwakili oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring dan evaluasi kepada BLU yang bersangkutan. Apabila usulan tarif layanan ditolak, Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menyampaikan penolakan atas usulan tarif layanan kepada menteri/pimpinan lembaga dalam bentuk surat penolakan. Tarif layanan BLU ditetapkan dengan memperhatikan hal-hal berikut. a. Kontinuitas dan pengembangan layanan Tarif layanan dapat meningkatkan kemampuan BLU dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan biaya dalam penyediaan barang/jasa layanan dan mendorong kesinambungan serta pengembangan bisnis BLU. b. Daya beli masyarakat Tarif layanan memperhitungkan kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli barang/jasa layanan yang dihasilkan oleh BLU berdasarkan pendapatan masyarakat, perubahan harga barang/jasa layanan, dan nilai mata uang. c. Asas keadilan dan kepatutan Tarif layanan menjamin bahwa setiap orang/pelanggan memperoleh pelayanan sesuai dengan hak dan manfaat yang diterima, serta tarif layanan dengan memperhitungkan situasi dan kondisi sosial masyarakat. d. Kompetisi yang sehat Tarif layanan mampu menjamin dan menjaga praktik bisnis yang sehat tanpa menimbulkan gangguan pada industri dan bisnis sejenis yang lain. Bentuk tarif layanan BLU berupa besaran tarif dan/atau pola tarif. Besaran tarif merupakan penyusunan tarif layanan dalam bentuk nilai nominal uang dan/atau persentase dari harga patokan, indeks harga, kurs, pendapatan kotor /bersih, dan/atau penjualan kotor/bersih. Pola tarif adalah penyusunan tarif layanan dalam bentuk formula. 118 Dalam hal BLU belum mempunyai tarif layanan yang diatur oleh Menteri Keuangan, BLU yang bersangkutan dapat menggunakan tarif layanan sesuai Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. Pendapatan yang dihasilkan oleh BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU. Pelaporan tarif layanan BLU berupa laporan tahunan yang disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. BLU menyampaikan laporan atas pelaksanaan tarif layanan BLU kepada Menteri Keuangan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Pengusulan dan pelaporan tarif layanan BLU dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh kementerian keuangan, yakni Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Contoh tarif layanan BLU dapat dilihat pada Tabel 6.2 yang menunjukkan tarif layanan BLU Politeknik Keuangan Negara STAN. Tabel 6.2 Contoh Tarif Layanan BLU PKN STAN Pada Kementerian Keuangan Tarif Layanan Badan Layanan Umum PKN STAN Pada Kementerian Keuangan No. Jenis Layanan Satuan Tarif (Rp) A. Seleksi Ujian Masuk 1. Seleksi Mahasiswa Reguler Per Calon Mahasiswa 300.000,00 2. Seleksi Mahasiswa Reguler Alih Program/Tugas Belajar Per Calon Mahasiswa 0,00 3. Seleksi Mahasiswa Non Reguler Per Calon Mahasiswa 300.000,00 4. Seleksi Mahasiswa Non Reguler Alih Program Per Calon Mahasiswa 300.000,00 B. Program Diploma 1. Program Diploma Reguler a. Program Diploma I Per Mahasiswa/Semester 0,00 b. Program Diploma III Per Mahasiswa/Semester 0,00 c. Program Diploma IV Per Mahasiswa/Semester 0,00 d. Program Diploma III Alih Program Per Mahasiswa/Semester 0,00 e. Program Diploma IV Alih Program Per Mahasiswa/Semester 0,00 2. Program Diploma Non Reguler a. Program Diploma I Per Mahasiswa/Semester 8.000.000,00 -15.400.000,00 b. Program Diploma III Per Mahasiswa/Semester 11.500.000,00 - 18.900.000,00 c. Program Diploma IV Per Mahasiswa/Semester 13.500.000,00 - 20.900.000,00 d. Program Diploma III Alih Program Per Mahasiswa/Semester 12.500.000,00 - 19.900.000,00 e. Program Diploma IV Alih Program Per Mahasiswa/Semester 14.000.000,00 - 21.400.000,00 C. Layanan Akademik Lainnya Terjemahan Dokumen Ijazah atau Transkrip Bahasa Inggris Per Lembar 150.000,00 Sumber: Diolah dari PMK Nomor 27/PMK.05/2021 Kesimpulan BMN pada hakikatnya adalah kekayaan negara yang harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan Iainnya yang sah. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang ada menjadi landasan bagi Pengelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang untuk menjalankan kewajiban dan wewenangnya. BLU merupakan instansi pemerintah untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat umum dengan orientasi tidak mengutamakan mencari keuntungan. BLU dikelola secara semiotonom dan memiliki fleksibilitas anggaran dengan menggunakan prinsip efisiensi dan produktivitas agar lebih agile dan menumbuhkan semangat enterprising the government. Dasar hukum pengelolaan BLU diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum. Ada 3 (tiga) syarat utama satker biasa atau non-BLU ingin mengubah statusnya menjadi satker dengan PK BLU, yaitu satker tersebut harus memenuhi syarat substantif, teknis, dan administratif. BLU mengelompokkan jenis layanannya menjadi 3 (tiga) bagian, yakni BLU sebagai penyedia barang dan/atau jasa, pengelola kawasan/wilayah tertentu, dan pengelola dana khusus. BLU menerapkan tarif layanan segera setelah satker ditetapkan menjadi BLU. Tarif layanan 119 BLU disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana kemudian diusulkan kepada menteri/pimpinan lembaga untuk selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Kebijakan atas tarif layanan BLU ditetapkan lebih besar, sama, atau lebih kecil dari seluruh biaya yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan barang/jasa layanan tergantung tiap-tiap BLU yang bersangkutan. Tarif layanan yang dikenakan oleh BLU memperhatikan beberapa hal, yaitu kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan, serta kompetisi yang sehat. Latihan Soal 1. Berikut ini yang bukan merupakan ciri dari Badan Layanan Umum adalah…. A. Dapat mempekerjakan tenaga profesional non PNS. B. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. C. Dapat melakukan investasi jangka panjang atas kehendak sendiri. D. BLU termasuk kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan. 2. Barang Milik Negara yang rusak berat dan tidak dapat diperbaiki dapat dimusnahkan setelah mendapatkan persetujuan dari…. A. Pengelola Barang B. Pengguna Barang C. Badan Pertanahan Nasional D. DJKN 3. Berapa lama maksimal jangka waktu kerjasama pemanfaatan BMN? A. 25 tahun B. 30 tahun C. 20 tahun D. 35 tahun Referensi Asmarani, N.G.C. (2022), Apa Itu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu?, News.ddtc.co.id, Tersedia di https://news.ddtc.co.id/apa-itu-kawasan-pengembangan-ekonomi-terpadu- 40955#:~:text=Menurut%20Damuri%2C%20Kapet%20merupakan%20perkembangan,melakukan%20keg iatan%20usaha%20di%20Kapet (diakses 20 Agustus 2022). Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2021). Kinerja Badan Layanan Umum (BLU) dan Tantangan BLU Tahun 2021. Jakarta: Pusat Kajian Anggaran DPR RI. Direktorat Jenderal Anggaran. (2022). Perkembangan Dana Abadi dalam APBN. Diambil dari https://anggaran.kemenkeu.go.id/in/post/perkembangan-dana-abadi-dalam-apbn Indonesia, P. R. (2014). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Innes Ericca, A. I. (2020). Juknis BMN. Diambil kembali dari https://puskeshaji.kemkes.go.id/upload/pedoman/files/JUKNIS_BMN_HALAMAN.pdf Juliani, H. (2018). Eksistensi Badan Layanan Umum Sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik. Administrative Law & Governance Journal, 54-56. 120

Use Quizgecko on...
Browser
Browser