Buku Ajar Pendidikan Agama Islam ITI 2022 PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
Institut Teknologi Indonesia
2022
Dr. Noor Rachmat, M.A, Dra. Hermawati, M.Ag, Siti Nadroh, M.Ag
Tags
Summary
This is a textbook on Islamic studies for undergraduate students at Institut Teknologi Indonesia (ITI). The book covers a wide range of topics, including the concept of Islam, its history, and its various aspects within Indonesian context. It also explores Islamic perspectives on contemporary issues.
Full Transcript
BUKU AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Disusun oleh : DR. Noor Rachmat, M.A Dra. Hermawati, M.Ag Siti Nadroh, M.Ag INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA 2021/2022 1 DAFTAR ISI BAB I : KONSEP UMUM...
BUKU AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Disusun oleh : DR. Noor Rachmat, M.A Dra. Hermawati, M.Ag Siti Nadroh, M.Ag INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA 2021/2022 1 DAFTAR ISI BAB I : KONSEP UMUM MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN A. Pengantar Umum Pendidikan Agama Islam B. Konsep Umum Pendidikan Kepribadian (MPK) C. Kedudukan MPK PAI dalam Kurikulum Perguruan Tinggi D. Tujuan MPK PAI E. Proses Pembelajaan MPK PAI BAB II : MANUSIA DAN AGAMA A. Pengertian Manusia B. Unsur-Unsur Manusia C. Pengertian Agama D. Dimensi-Dimensi Agama E. Fungsi Agama Bagi Manusia F. Teori Pertumbuhan Agama BAB III : ISLAM AGAMA RAHMATAN LIL ‘ALAMIN A. Islam Pandangan Hidup B. Islam Agama dan Peradaban C. Hubungan Islam dengan Agama-Agama Lain D. Kemantapan dan Kebahagiaan Hidup dalam Islam BAB IV : SEJARAH PERADABAN ISLAM A. Pengertian Peradaban Islam B. Sejarah Peradaban Islam Masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Ar- Rasyidin C. Sejarah peradaban Islam Masa Bani Umayyah dan Abbasiyah D. Sejarah Peradaban Islam Masa Tiga Kerajaan Besar (Turki Usmani, Mughal dan Safawi) BAB V : ISLAM DI NUSANTARA (INDONESIA) A. Sejarah Kedatangan Islam Di Nusantara B. Teori Kedatangan Islam di Nusantara C. Proses Islamisasi Nusantara D. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara E. Tokoh-Tokoh Islamisasi Nusantara BAB VI : SUMBER AJARAN ISLAM ( AL-QUR’AN, AS-SUNNAH DAN IJTIHAD) A. Sumber Ajaran Islam Pertama (Al-Qur’an) B. Sumber Ajaran Islam Kedua ( As-Sunnah/Hadis) 2 C. Sumber Ajaran Islam Ketiga (Ijtihad) D. Signifikansi Al-Qur’an-Hadis dalam Kehidupan Modern BAB VII : ASPEK TEOLOGI ISLAM A. Pengertian Teologi B. Perbedaan Teologi dengan Ilmu Tauhid, Aqidah, Ilmu Kalam, Keimanan dan Ushuluddin C. Sejarah Lahir Teologi dan Aliran-Aliran Teologi Islam D. Pokok-Pokok Masalah dalam Teologi Islam E. Menyikapi Perbedaan Faham Teologi Islam BAB VIII : ASPEK HUKUM ISLAM A. Pengertian Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqiyah dan Syari’ah B. Perbedaan dan Persamaan Syari’ah dan Fiqh C. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh D. Ulama Fiqh, Madzhab dan Karyanya E. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh F. Menyikapi Perbedaan dalam Fiqh BAB IX : ASPEK IBADAH ISLAM A. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Ibadah B. Penggolongan Ibadah Pribadi (Fardi-Syakhsyiah) dan Sosial (Ijtima’iyah) C. Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah D. Tempat-Tempat Ibadah E. Tujuan dan Hikmah Ibadah BAB X : ASPEK AKHLAK ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA A. Pengertian Etika, Akhlak dan Tasawuf B. Aspek Akhlak dalam Al-Qur’an dan Hadis C. Akhlak terhadap Allah SWT, Rasululullah, Sesama Manusia, Lingkungan, Alam Nyata dan Alam Ghaib D. Ajaran-Ajaran Tasawuf E. Etika Profesi D. Membentuk Keluarga Sakinah BAB XI : ASPEK FILSAFAT ISLAM A. Pengertian Filsafat Islam B. Munculnya Pemikiran Filsafat dalam Islam C. Tokoh-Tokoh Filosof Muslim D. Aliran Filsafat Islam E. Faedah Mempelajari Filsafat BAB XII : ASPEK SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM ISLAM A. Pengertian Sains dan Teknologi B. Wacana Islam (Al-Qur’an dan Hadis) tentang Sains 3 C. Klasifikasi Sains dalam Islam D. Urgensi Penguasaan Saintek bagi Umat Islam E. Kontribusi Ilmuwan Muslim dalam Pengembangan Sains BAB XIII : ASPEK EKONOMI DAN KEWIRAUSAHAAN DALAM ISLAM A. Pengertian Ekonomi Islam B. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam C. Sejarah Ekonomi Islam D. Lembaga-Lembaga Ekonomi Islam di Indonesia E. Etos Kerja dan Enterpreneurship dalam Islam BAB XIV : ASPEK POLITIK DAN KEPEMIMPINAN ISLAM A. Pengertian Politik Islam B. Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam C. Praktek-Praktek Politik Islam D. Dinamika Pemikiran Politik Islam E. Etika Kepemimpinan dalam Islam BAB XV : NARKOBA DALAM PANDANGAN SYARI’AT ISLAM A. Pengertian Narkoba B. Narkoba dalam Pandangan Islam C. Dasar HukumNarkoba dalam Islam D. Ancaman Penyalahgunaan Narkoba E. Upaya Pencegahan dan Solusi Penyalahgunaan Narkoba BAB XV I : KORUPSI DALAM PANDANGAN SYARI’AT ISLAM A. Pengertian Korupsi B. Korupsi dalam Pandangan Islam C. Dasar Hukum Korupsi dalam Islam D. Ancaman Pelaku Korupsi E. Upaya Pencegahan dan Solusi Tindakan Korupsi 4 BAB I KONSEP UMUM MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN Standar Kompetensi : Meningkatkan keimanan dan ketakwaan dalam memperkokoh kepribadian bangsa, mengembangkan pemikiran rasional dan berakhlak mulia serta memperluas wawasan keIslaman dengan memahami berbagai aspek ajaran Islam. Kompetensi Dasar : Mahasiswa mampu memahami kedudukan MPK Pendidikan Agama Islam, konsep ketuhanan atau Tauhid,hakikat manusia, dan relasinya kepada ALLAH S.W.T, sesame manusia serta alam semesta. Indikator Umum : Mahasiswa dapat: 1. Menjelaskan peranan Pendidikan Agama Islam dalam pengembangan kepribadian bangsa Indonesia 2. Menjelaskan ajaran Islam tentang manusia dan agama, Islam sebagai agama Rahmatan lil’ Alamin, peradaban Islam, Islam di Nusantara (Indonesia), sumber ajaran Islam (Al-Qur’an, hadis dan Ijtihad), teologi, hokum, ibadah, akhlak/tasawuf, filsafat, sains, ekonomi dan kewirausahaan serta politik secara komprehensif, utuh, multidimensi dan mencerahkan berdasarkan argumentasi naqli dan ‘aqli yang kokoh, rasional dan meyakinkan; 3. Menjelaskan isu-isu kontemporer tentang sumbangan Islam bagi peradaban dunia Eropa, perkembangan Islam di dunia, khususnya Eropa/Barat, Islam sebagai agama dan peradaban dunia; berdasarkan argumentasi naqli dan ‘aqli secara komprehensif, kokoh, rasional dan meyakinkan; 4. Menjelaskan Islam di Nusantara (Indonesia) yang berkenaan dengan masuknya Islam ke Indonesia, Islam Nusantara, kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, tokoh/ulama yang berjasa menyebarkan agama Islam di Nusantara, tantangan dan 5 peluang perkembangan Islam pada masa depan, serta upaya mewujudkan pribadi yang berwawasan keislaman, kemodernan dan ke-Indonesiaan berdasarkan argumentasi naqli dan ‘aqli secara komprehensif, kokoh, rasional dan meyakinkan; A. Pengantar Pendidikan Agama Islam Negara Republik Indonesia bukanlah suatu negara yang berdasarkan agama, akan tetapi negara Republik Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia yang penduduknya menganut agama Islam. Masyarakatnya dikenal sebagai suatu masyarakat yang religious, dimana nilai-nilai agama sangat kuat menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu terlihat dengan jelas dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu pada sila pertama dicantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dicantumkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan merupakan dasar dari sila-sila Pancasila, berarti nenek moyang kita terdahulu dan terutama para pendiri negara ini melihat betapa pentingnya agama sebagai salah satu dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat negara Republik Indonesia. Sebagai wujud nyata masyarakat negara Republik Indonesia sebagai masyarakat religious yang harus dipertahankan dan diwariskan secara terus menerus bagi anak cucu bangsa sebagai generasi penerus, maka para pendiri negara ini telah menetapkan Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar (Rakyat) sampai dengan Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan tempat menggali dan mengembangkan ide-ide pembaharuan yang melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, bukan hanya menghasilkan sarjana yang ahli dalam bidangnya, tetapi juga menghasilkan sarjana-sarjana yang beriman dan bertakwa, sesuai dengan harapan dari pengamalan Pancasila dan Undang- undang 1945. Pendidikan adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup, sehingga prosesnya tidak hanya bersifat formal namun juga non-formal, yang mana prosesnya bisa berlangsung di dalam maupun di luar kelas. Pendidikan juga merupakan proses perkembangan potensi-potensi manusia yang mudah dipengaruhi oleh lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan di mana peserta didik tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu proses yang memperkenalkan dan menginternalisasikan nilai-nilai budaya kepada peserta didik. Budaya diartikan sebagai pandangan dan sikap hidup. Pandangan adalah pola pikir mengenai segala aspek kehidupan, baik yang terkait dengan diri setiap pribadi maupun dengan masyarakat. Sedangkan sikap hidup merupakan keseluruhan perilaku dan tindakan seseorang berdasarkan pada kesadarannya. Pandangan dan sikap hidup ini menjadi kepribadian seseorang. Demikian pula pendidikan dalam Islam, merupakan salah satu bentuk menifestasi dari cita-cita umat Islam untuk melestarikan nilai-nilai Islam kepada generasi penerus, sehingga nilai cultural-religious yang dicita-citakan dapat berfungsi dan berkembang dalam masyarakat, sehingga para pendidik Islam berusaha membentuk pribadi Muslim yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Untuk lebih mendalam beberapa definisi tentang Pendidikan Islam dikemukakan oleh para ahli, diantaranya: 1. Al-Syaibaniy; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. 6 Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi dalam masyarakat. 1 2. Muhammad Fadhil al-Jamaly; mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Melalui proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatannya.2 3. Ahmad Tafsir; mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. 3 4. Hamka; pendidikan adalah serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pengajaran berarti upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.4 5. Qardawi; pendidikan adalah sebuah keniscayaan sekaligus menjadi sebuah kebutuhan setiap manusia. Hal tersebut dikarenakan manusia pada hakikatnya memliki tiga peran yakni peran untuk beribadah, peran sebagai wakil Tuhan serta peran sebagai pembangun peradaban. Sebagai tokoh muslim abad modern yang dianggap sebagai seorang pembaharu (reformer) Qardhawi mendefinisikan pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya yang meliputi akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, serta akhlak dan tingkah laku.5 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan tersebut, ia akan dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya. Hal senanda juga disimpulkan oleh Hasan Langgulung, seorang pakar Pendidikan bahwa pendidikan dalam hal ini adalah usaha-usaha pendidikan yang didasarkan pada dua dasar utama, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Itulah dasar ideal dalam pendidikan Islam. Dari kedua dasar utama tersebut pendidikan Islam itu juga didasarkan pada athar (perkataan sahabat Nabi), sosial kemasyarakatan umat, nilai-nilai dan adat kebiasaan umat masyarakat dan hasil pemikiran para pemikir muslim.6 Materi ajara PAI disusun berdasarkan dienul Islam, yang sumber ajarannya adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Mata kuliah PAI terkait erat dengan soal pandangan dan sikap hidup, karena mata kuliah ini termasuk kelompok mata kuliah Pengembagan Kepribadian (MPK). Sehubungan dengan PAI merupakan MPK, maka perlu dijelaskan beberapa hal penting yaitu Konsep General Education (MPK), kedudukan MPK PAI dalam kurkulum Perguruan TInggi, dan Proses Pembelajaran MPK PAI. 1 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencama Prenada Media Group, 2010), h. 28 2 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h. 26 3 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Ramaja Rosdakarya, 2013), h. 32 4 Samsul Nizar, Memeperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-1, h. 111 5 Safrudin Aziz, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2015), h.168. 6 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 35. 7 B. Konsep Umum Pendidikan Kepribadian (MPK) Proses pembelajaran di PerguruanTinggi Indonesia menyerap dan menyepakati filosofi konsep pendidikan internasional yang cenderung semakin manusiawi, realistis, demokratis, dan religious. Kebijakan pendidikan tinggi Indonesia menerima deklarasi UNESCO 1998 tentang hakikat pendidikan yang berwujud empat pilar pendidikan, yaitu: (1) Learning to Know, (2) Learning to Do, (3) Learning to Be, dan (4) Learning to Live Together. Untuk mengembangkan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadia sebagai pengganti MKU dikutip prinsip learning to live together, yaitu untuk: (1) membangun kohesi sosial, (2) memperkuat ketahanan komunitas, (3) membangun sistem nilai untuk kewarganegaraan, (4) upaya pembentukan identitas melalui proses pemilikan ganda, dan (5) mempersiapkan prakondisi untuk budaya perdamaian. Pendidikan Tinggi Indonesia mempunyai fungsi untuk membentuk sosok lulusan yang utuh dan lengkap ditinjau dari segi kemampuan/keterampilan dan kematangan pribadi. Oleh karena itu, pendidikan tinggi harus mampu menghasilkan: (1) manusia unggul secara intelektual dan anggun secara moral, (2) kompeten serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, dan (3) memiliki komitmen tinggi untuk berbagai peran sosial. Untuk mencapai misi dan fungsi pendidikan tinggi tersebut institusi penddikan tinggi beserta seluruh unsurnya perlu: 1.Melestarikan dan mengembangakan fungsi kritis melalui pengkajian etika nilai intelektual dan ilmiah dalam setiap aktivitas, seta mampu meyuarakan persoalan etika, budaya, dan social secara independen dan penuh kesadaran akan tanggung jawab inetelektual. 2.Meningkatkan: (1) fungsi kritis dan pemikiran ke depan melalui analisis yang kontinyu terhadap kecenderungan social ekonomi, budaya, dan politik,(2) kapasitas intelektual dan moral untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai universal termasuk kedamaian, menegakkan hokum kebebasan, persamaan hak, dan solidaritas. 3. Mempunyai: (1) kebebasan dan otonomi akademik secara penuh dan bertanggung jawab dan akuntabilitas penuh kepada masyarakat, (2) peran dalam mengidentifikasi dan menyampaikan isu yang mempengaruhi kemajuan komunitas, bangsa, dan masyarakat global. Mengingat perkembangan yang terjadi pada saat ini di lingkungan Pendidikan Tinggi Indonesia sebagai akibat dari proses demokratisasi dan sesuai pula dengan hakikat pendidikan tinggi seperti tersebut di atas, maka perlu diadakan penyempurnaan terhadap substansi kajian, materi ajar, proses pembelajaran pendidikan tinggi, maupun manajemen pelaksanaannya, termasuk penyempurnaan kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap dan mandiri, serta mempunyai tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian didasarkan pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi. Berdasarkan keputusan Mendiknas tersebut lahir keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 tentang Rambu- rambu Pelaksanaan MPK dan akhirnya,lahir Modul Acuan Proses Pembelajaran (MAPP). Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi dose-dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dalam merancang kegiatan pembelajaran dan sebagai 8 pendorong untuk meningkatkan aktivitas kegiatan belajar mengajar, serta mengembangkan isi dan ke dalam bahan ajar yang konstektual terhadap lingkungan setempat dan waktu. Dalam perkembangan berikutnya lahir Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 yang pada Pasal 37 ayat (2) menyatakan: Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat: a. Pendidikan Agama, b. Pendidikan Kewarganegaraan, dan c. Bahasa. Berdasarkan Undang-undang tersebut lahir Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. C. Kedudukan MPK PAI Dalam Kurikulum Perguruan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas No. 232/U/2000 Pendidikan Agama Islam sebagai MPK mempunyai kedudukan yang sama dengan Mata Kuliah lain yang termasuk MPK inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi. MPK mempunyai visi dan misi. Visi MPK adalah menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan kepribadiannya. Sedangkan misinya adalah membantu mahasiswa, agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dan kebudayaan serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan. Visi dan Misi di atas dijabarkan ke dalam kompetensi MPK yaitu menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis, serta berpandangan luas sebagai manusia intelektual. D. Tujuan MPK PAI Kompetensi dasar MPK PAI sama dengan MPK Pendidikan Agama lainnya, yang dituangkan dalam Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006 Pasal 3 Ayat (2). Dalam keputusan itu dinyatakan bahwa tujuan Pendidikan Agama adalah “Mengantarkan mahasiswa sebagai modal (kapital) intelektual dalam melaksanakan proses belajar sepanjang hayat, untuk menjadi ilmuwan yang berkepribadian dewasa dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan kehidupan”. Di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 2 yang telah ditetapkan pada tanggal 11 Juni 2003 dijelaskan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 7 Dengan demikian tujuan pendidikan pada hakikatnya untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalamUndang-undang Dasar 1945. 7 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UndangUndang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Cet. I; Jakarta: Visimedia, 2007), h. 5. 9 Sedangkan tujuan Pendidikan Agama menurut Said Muhammad Qutub adalah untuk menyiapkan manusia yang saleh, yaitu manusia yang bertakwa, mengabdi kepada Allah dan selalu mengikuti petunjuk-Nya. Sementara Mahmud Yunus merumuskan tujuan pendidikan Agama Islam adalah untuk menciptakan anak-anak supaya pada waktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan-amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan dunia akhirat. Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam ialah terbentuknnya kepribadian muslim. Untuk lebih mendalam beberapa tujuan Pendidikan Islam dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya: 1. Muhammad Fadhil Al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam menurut al-Qur‟an meliputi; (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini. (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta. (4) menjelaskan hubungannya dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta. 8 2. Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: (1) membentuk akhlak mulia (2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat (3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya (4) menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik (5) mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.9 3. Al-Ghazali tujuan dari pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan pangkat dan bermegah-megah, dan hendaklah seorang pelajar itu belajar bukan untuk menipu orang-orang bodoh atau bermegah-megahan. Jadi pendidikan itu tidak keluar dari pendidikan Akhlak. 10 4. Menurut Hamka dan Samsul Nizar dijelaskan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al-insan al-kamil atau manusia sempurna. Beranjak dari konsep tersebut, maka setidaknya pendidikan Islam seyogyanya diarahkan pada dua dimensi. Dalam hal ini yaitu; dimensi dialektika horisontal terhadap sesama manusia dan dimensi ketundukan vertikal kepada Allah. 11 Bahkan secara universal, tujuan Pendidikan Islam telah dirumuskan dalam kongres se-Dunia ke II tentang Pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, yang hasil rumusannya menyatakan: “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Kerena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah 8 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h. 83 9 Sri Miniarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 103 10 Abd. Ranchman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 112 11 Samsul Nizar, Memeperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-1, h. 116 10 kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukkan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.12 Dari beberapa pandangan diatas menjadi jelas dan tegas bahwa tujuan pendidikan Islam ialah untuk membentuk manusia mulia sejati serta cakap melaksanakan pekerjaan duniawai dan ukhrawi. Membentuk manusia yang berkepribadian muslim sejati, berarti membentuk manusia dengan melalui pendidikan Islam. Dengan terbentuknya kepribadian muslim sejati pada setiap orang Islam, maka kepribadian tersebut merupakan ciri tertentu yang membedakan dengan kepribadian di luar Muslim. Kepribadian merupakan suatu ciri pembeda antara seseorang dengan yang lain, yaitu sifat jasmaniah dan terutama cara berpikir serta cara merasa yang menyatakan diri dan tabi’atnya, yang selanjutnya jadi cirri pembeda antara dia dengan orang lain. Tujuan Pendidikan Agama Islam, secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Memperkuat imandan takwa kepada Allah 2. MengembangkanAkhlak Mulia dan peka terhadap lingkungan 3. Mengembangkan penalaran yang baik, berpikir kritis, dan menjadikan nilai-nilai Islam untuk mengenali berbagai masalah aktual dan memecahkannya. 4. Memiliki wawasan yang luas dan megenali berbagai perubahan di masyarakat, serta mampu mengambil keputusan dan sikap secara bertanggung jawab sesuai dengan nilai- nilai Islam. 5. Mampu berkomunikasi dengan baik, bersikap mandiri, dan toleran dalam mengembangkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama. 6. Mampu bersikap rasional dan dinamis dalam rangka mengembangkan dan memanfaatkan IPTEKS sesuai dengan nilai-nilai Islam bagi kepentingan bangsa dan manusia. E. Proses Pembelajaran MPK PAI Proses pembelajaran MPK PAI didasarkan pada visi dan misi PAI, yaitu menjadikan ajaran Islam sebagai sumber nilai dan pedoman yang mengantarkan mahasiswa dalam pengembangan profesi dan kepribadian mahasiswa yang Beriman, Bertakwa, Berilmu, dan Berakhlak mulia, serta menjadikan ajaran Islam sebagai landasan berpikir dan berperilaku dalam pengembangan profesi. Materi pembelajaran MPK PAI disusun berdasarkan visi dan misi tersebut. Di samping itu pendekatan dan strategi serta metode dan evaluasi proses pembelajaran juga didasarkan pada visi dan misi tersebut. Dalam SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006 pasal 5 dikemukakan mengenai metodologi pembelajaran MPK, yang meliputi pendekatan, metode, bentuk, aktivitas, dan motivasi. Dalam SK tersebut dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah menempatkan mahasiswa sebagai subyek pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran, dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.sedangkan metode yang digunakan adalah membahas masalah secara kritis, analistis, 12 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 62 11 induktif, deduktid, dan reflektif melalui kreatif yang bersifat partisipatoris untuk meyakini kebenaran substansi dasar kajian. Sementara itu, bentuk aktivitas dalam proses pembelajaran adlah kuliah tatap muka secara bervariasi, ceramah, dialog kreatif, diskusi, interaktif, metode inquiry, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil, dan berbagai kegiatan akademik lainnya yang lebih menekankan pada pengalaman belajar peserta didik secara bermakna. Sedangkan motivasi merupakan upaya untuk menumbuhkan kesadaran bahwa proses belajar mengembangkan kepribadian merupakan kebutuhan hidup. Metodologi pembelajaran tersebut penting untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses pembelajaran MPK PAI. Tugas Evaluasi : 1. Terangkan dengan jelas prinsip learning to live together yang merupakan salah satu pilar pendidikan! 2. Uraikan dengan jelas fungsi Pendidikan Tinggi Indonesia, serta jelaskan fungsi tersebut! 3. Pendidikan Agama Islam diberikan di Perguruan Tinggi mempunyai beberapa dasar yuridis yang cukup kuat. Terangkan dengan jelas beberapa dasar yuridis tersebut! 4. Pendidikan Agama Islam mempunyai kedudukan yang sama dengan Mata kuliah lain yang termasuk Mata kuliah Pengembangan Kepribadian. Bagaimana pendapat saudara terhadap pernyataan tersebut. Uraikan dengan jelas! 5. Pendidikan Agama Islam diberikan di Perguruan Tinggi mempunyai beberapa tujuan. Uraikan dengan jelas tujuan tersebut! Tugas Refleksi Bagaimana pandangan saudara tentang relasi, posisi dan signifikansi pendidikan agama di tengah-tengah kemajuan ilmu pngetahuan dan teknologi? Daftar Pustaka Abd. Ranchman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 112 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencama Prenada Media Group, 2010). Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014). Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Ramaja Rosdakarya, 2013). Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al- Ma’arif, 1980), 35. Safrudin Aziz, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2015), h.168. Samsul Nizar, Memeperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-1, h. 111 Sri Miniarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 103 12 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UndangUndang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Cet. I; Jakarta: Visimedia, 2007). BAB II MANUSIA DAN AGAMA ‘’A person is an individual with unique identity (seseorang merupakan pribadi dengan identitas yang unik)’’, demikian ungkapan yang dinyatakan oleh Jeffreys NVC dalam bukunya Personal Values in the Modern World. Sukanto dalam bukunya Nafsiologi yang mengutip ucapan Alexis Carrel, menyatakan bahwa ilmu tentang manusia merupakan ilmu pengetahuan yang paling sulit diantara ilmu pengetahuan yang ada. Unik, karena memang para pakar belum mampu memecahkan rahasia pribadi manusia secara menyeluruh. Ilmu Pengetahuan hanya mampu menyatakan secara sederhana bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Jasmani memang dapat dikaji dari ilmu faal, biologi atau anatomi, karena ia merupakan benda nyata sehingga dapat ditelusuri dengan teliti. Tetapi ketika ia mencoba menelusuri yang bersifat rohani, ia terbentur. Maksimal yang dapat dipelajari hanyalah berdasarkan gelaja-gejala yang berwujud pada sikap dan tingkah laku, yang kemudian disebut dengan ilmu jiwa atau psychology atau ilmu nafs. Muncul pertanyaan, ‘’apakah beda roh dengan jiwa’’, ‘’mengapa manusia dapat berpikir dan binatang tidak, sedangkan keduanya punya hati dan otak’’, ‘’kapan masuk roh kedalam tubuh seseorang’’, ilmu pengetahuan hingga saat ini belum mampu menjawab dan memecahkan teka teki atau masalah ini. Selain itu, suatu masalah bisa jadi pemecahanya dapat berbeda satu sama lain, tergantung kondisi dan situasi saat masalah itu muncul. Ketika seseorang itu sedang berada dalam situasi tenang keputusannya akan berbeda dengan di saat panas. Belum lagi jika dilihat dari keadaan fisiknya, dimana otak manusia terdiri dari jutaan sel yang mampu mengelolah beribu-ribu bahkan jutaaan masalah, sementara otak binatang jauh berbeda dengan manusia. Dari sinilah muncul kesimpulan untuk menyatakan bahwa manusia itu merupakan pribadi yang unik. Dalam ajaran Islam, Allah SWT selaku Pencipta alam semesta dan manusia telah memberikan informasi melalui wahyu Al-Qur’an. Berdasarkan informasi Al-Qur’an dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia terdiri dari unsur-unsur : Jasad, yang diungkapkan dalam Al-Qur’an kurang lebih 6 ayat Ruh, yang disebut dalam Al-Qur’an kurang lebih 21 ayat. Nafs, yang dinyatakan dalam Al-Qur’an kurang lebih 140 ayat. Qalb, yang disebut dalam Al-Qur’an kurang lebih 125 ayat. Fikr, yang dinyatakan Al-Qur’an dalam bentuk kata kerja kurang lebih 17 ayat. Aqal, sama dengan fikr dinyatakan Al-Qur’an dalam bentuk kata kerja kurang lebih 46 ayat. 13 Kajian seperti ini tidak akan ditemukan pada buku pegangan agama-agama lain. Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan bahasan yang lebih komprehensif tentang manusia dan sekaligus menjawab pertanyaan mengapa manusia perlu beragama dan memilih Islam sebagai agamanya. Sebelum membahas tentang manusia dan agama, akan dibahas sekilas tentang pertumbuhan agama dan teori tentang Tuhan. I. Manusia 1. Pengertian Manusia dan Unsur-Unsurnya Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Beberapa ahli filsafat, Socrates misalnya, menyebut manusia sebagai Zoon politicon atau hewan yang bermasyarakat, dan Max Scheller menyebutnya sebagai Das Kranke Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah. 13 Sebutan lainnya tentang manusia adalah sebagai berikut: Homo sapiens atau makhluk yang mempunyai budi, Homo faber atau Tool making animal yaitu binatang yang pandai membuat bentuk peralatan dari bahan alam untuk kebuTuhan hidupnya, Homo economicus atau makhluk ekonomi, Homo religious yaitu makhluk beragama, Homo laquen atau makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan manusia dalam kata-kata yang tersusun, animal rationale (hewan yang rasional atau berpikir), animal symbolicum (hewan yang menggunakan symbol) dan animal educandum (hewan yang bisa dididik).14 Istilah manusia di dalam filsafat timur (Islam) disebut dengan Bani Adam 15, adalah keturunan Adam dan bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Al-Bashar16. yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk fisik yang membutuhkan makan dan minum. Istilah lain yaitu al-Insan17 yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan berfikir dan mengetahui hal yang benar dan yang salah. Sedangkan istilah an-Na18s menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Menurut Besar Bahasa Indonesia (KBBI) manusia adalah makhluk yang berakal budi/insan kamil, artinya makhluk yang paling sempurna Beberapa pengertian manusia menurut para ahli: 1. Thomas Aquinas: Manusia adalah suatu substansi yang komplit yang terdiri dari badan dan jiwa19 2. Spinoza, Goethe, Hegel, dan Marx: Manusia adalah makhluk hidup yang harus produktif, menguasai dunia di luar dirinya dengan tindakan mengekpresikan kekuasaan manusiawinya yang khusus, dan menguasai dunia dengan kekuasaannya ini. Karena manusia yang tidak produktif adalah manusia yang reseptif dan pasif, dia tidak ada dan mati20 13 Drijarkara, Percikan Filsafat, (Semarang: Kanisius, 1978), h. 138 14 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 2009), h. 82. Lihat juga Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Quran, (Surabaya: 1980), h. 5-6. 15 Lihat dalam Q.S. Al-‘Araf/7: 26-27. 16 Lihat dalam Q.S Al-Mu’minun/23:12-14. 17 Lihat dalam Q.S. Ar-Rahman/55:4; Al-An’am/6:4-5; Hud/11:9. 18 Lihat dalam Q.S. An-Nisa/4:1; Al-Hujurat/49:13. 19 Hardono Hadi, Jati Diri Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 33. 20 Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 39. 14 3. Jujun S. Suriasumantri: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan among (unique) di dalam ekosistem, namun juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagiannya21 4. Nurcholish Madjid manusia adalah makhluk Tuhan yang tertinggi sebaik-baiknya ciptaan, sebab manusia dikaruniai akal oleh Allah. Oleh sebab itu manusia dibebani tanggungjawab menjalankan amanah untuk menjadi khalifah Allah di bumi ini22. Dari beberapa pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang unik, sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain ciptaan Tuhan, terdiri dari badan jiwa sekaligus juga makhluk bermasyarakat dan berbudaya. Manusia hidup di dunia ini memiliki tugas dan untuk dapat melaksanakan tugas itu, manusia dilengkapi Allah SWT petunjuk dan hidayah. Petunjuk dan hidayah itu dimulai dengan adanya fitrah dalam diri manusia sendiri, yaitu kejadian asalnya yang suci dan baik, sebab manusia dilengkapi dengan kemampuan dan bakat alami untuk mengenali sendiri mana hal-hal yang buruk, yang akan menjauhkannya dari kebenaran dan mana hal-hal yang baik, yang akan mendekatkan dirinya kepada kebenaran. Manusia dengan fitrahnya itu akan menjadi makhluk yang hanif, yaitu yang secara alami cenderung dan memihak kepada yang benar baik dan yang suci. Agar manusia senantiasa berada dalam fitrahnya, Allah telah menyiapkan unsur- unsur yang ada dalam diri manusia, yakni: jasad, ruh, nafs, qalbu, dan aql. Jika semuanya berfungsi sesuai dengan fitrah kemanusiaannya, maka manusia sejatinya memihak kepada yang baik dan benar yang dalam wujud tertingginya ialah memihak kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini merupakan pelaksanan perjanjian primordial antara manusia dan pencipta-Nya. Perjanjian itu diikat ketika Allah hendak menciptakan manusia, sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an: “Dan (ingatlah Wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak-anak Adam (turun-temurun) dari (tulang) belakang mereka, dan ia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri, (sambil ia bertanya Dengan firmanNya): "Bukankah Aku Tuhan kamu?" mereka semua menjawab: "Benar (Engkaulah Tuhan kami), Kami menjadi saksi". Yang demikian supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak: "Sesungguhnya Kami adalah lalai (tidak diberi peringatan) tentang (hakikat tauhid) ini" (Q.S. Al’Araf/7:172). Penjelasan tentang unsur-unsur yang terdapat pada manusia sebagaimana diinformasikan oleh Al-Qur’an, sebagai berikut: 1. Jasad23 21 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 237 22 lihat pemahaman Nurcholish tentang manusia dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). 23 Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi.12 Ciri-ciri jasmani yaitu: 1. Bersifat materi yang tercipta karena adanya proses (tahap) 2. Adanya bentuk berupa kadar dan bisa disifati 3. Ekstetensinnya menjadi wadah roh 4. Terikat oleh ruang dan waktu 5. Hanya mampu menangkap yang kongkret bukan yang abstrak 6. Substansinya temporer dan hancur setelah mati. Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001), h.41. Lihat lebih jauh dalam, Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Ibn Rusyd Filosof Muslim dari Andalusia Kehidupan, Karya dan pemikirannya, (Jakarta, Riora Cipta, 2001). 15 Jasad merupakan bentuk lahiriah manusia, dalam Al-Qur’an dinyatakan diciptakan dari tanah. Penciptaan dari tanah diungkapkan lebih lanjut melalui proses yang dimulai dari sari pati makanan, disimpan dalam tubuh sampai sebagiannya menjadi sperma atau ovum (sel telur), yang keluar dari tulang sulbi (laki-laki) dan tulang depan (tsaraib) perempuan (QS. At-Thariq/86: 5-7). Sperma dan ovum bersatu dan tergantung dalam rahim kandungan seorang ibu (alaqah), kemudian menjadi yang dililiti daging dan kemudian diisi tulang dan dibalut lagi dengan daging. Setelah ia berumur kurang lebih 9 (sembilan) bulan, ia lahir ke dunia dengan dorongan suatu kekuatan ruh ibu, menjadikan is seorang anak manusia. Meskipun wujudnya suatu jasad yang berasal dari sari pati makanan, nilai-nilai kejiwaan untuk terbentuknya jasad ini harus diperhatikan. Untuk dapat mewujudkan sperma dan ovum berkualitas tinggi, baik dari segi materinya maupun nilainya, Al-Qur’an mengharapkan agar umat manusia selalu memakan makanan yang halalan thayyiban (QS.Al-Baqarah/2 : 168, QS. Al-Maidah/55: 88 dan QS. Al-Anfal/8 : 69). Halal bermakna suci dan berkualitas dari segi nilai Allah SWT. Secara sederhana, makanan yang diperoleh dengan cara yang baik dan tidak melanggar nilai-nilai agama. Thayyiban bermakna bermutu dan berkualitas dari segi materinya. Istilah yang popular pada zaman sekarang disebut makanan bergizi. Bukan semata nilai gizinya yang tinggi, tetapi juga faktor kebersihannya. Untuk memperoleh dan mengolahnya harus diperhatikan petunjuk-petunjuk para ahli dalam bidangnya. Jika sari pati makanan yang tersimpan dalam tubuh seseorang, kemudian berkembang menjadi sperma atau ovum berasal dari kualitas yang rendah secara materi, ia dapat mengakibatkan sperma atau ovumnya lemah. Misalnya bersumber dari makanan yang tidak halal, akan memberi akibat alaqah yang terbentuk mempunyai nilai kesucian yang rendah. Masalah ini berkaitan erat dengan masalah terbentuknya faktor kejiwaan bagi si anak yang lahir. Begitu pula jika tidak thayyib akan bermasalh pada faktor kesehatannya. 2 Ruh24 Ruh adalah daya (sejenis makhluk/ciptaan) yang ditiupkan Allah kepada janin dalam kandungan (QS.Al-Hijr/15 : 29, QS. As-Sajadah/32 : 9 dan QS. As-Shaad/38 : 27) ketika janin berumur 4 bulan 10 hari. Manusia sampai sekarang ini belum mampu mengungkap dan meneliti secara mendalam tentang ruh. Bahkan ilmu pengetahuan tak mengenalnya. Walaupun dalam istilah bahasa dikenal adanya istilah ruhani, maka kata ini lebih mengarah pada aspek kejiwaan, yang dalam istilah Al-Qur’an disebut nafs. Ketidakberhasilan manusia memilah mana yang ruh dan mana yang jiwa, memberi bukti kebenaran pernyataan QS. Al- Isra/17: 85 yang menyatakan Allah memberikan ilmu tentang ruh itu hanya sedikit. Manusia mampu mendeteksi gejala-gejalanya pada diri manusia, namun tetap mengalami kesulitan mendeteksi ruh itu sendiri. Tentang status ruh, QS. An-Nahl/16 : 2, 102, QS. Al-Mu’minun/23 : 15, QS. Maryam/19: : 17, QS. An-Naba/78 : 38 dan QS. Al-Qadar /97: 4 memberikan informasi bahwa ruh itu sederajat dengan malaikat. Malaikat dan ruh itu diturunkan dan diutus Allah sesuai dengan perintah-Nya dan mereka berdiri sendiri. Dalam arti kata, malaikat dengan ruh 24 Pembahasan tentang ruh secara filosofis (filosof Muslim) dan sufistik Lihat, Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 28. Lihat pula dalam Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.83-84. 16 itu setara. Ia mampu mi’raj kepada Allah, sebagaimana juga malaikat mi’raj kepada Allah dalam 1 hari dengan kadar 50.000 tahun ukuran manusia (QS. Al-Ma’arij/ 70: 4). Dalam diri manusia, ruh berfungsi untuk : 1. Membawa dan menerima wahyu (QS. As-Syu’ara/26: 193) dan 2. Menguatkan iman (QS. Al-Mujadalah/58: 22) Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia pada dasarnya sudah siap menerima beban perintah-perintah Allah dan sebagai orang yang dibekali dengan ruh, seharusnya ia selalu meningkatkan keimanannya terhadap Allah. Hal itu berarti bahwa mereka yang tidak ada usaha untuk menganalisa wahyu Allah, baik yang berbentuk konseptual yang dalam periode Rasul Muhammad ini bernama Al-Qur’an, maupun yang berbentuk realita faktual yang kemudian setelah itu dirumuskan bernama ilmu pengetahuan (al-Bayan), serta tidak pula ada usaha untuk menguatkan keimanannya setiap saat, berarti ia mengkhianati ruh yang ada dalam dirinya. Dengan adanya ruh tersebut, setiap manusia pada dasarnya punya kemampuan yang sama untuk menganalisis Al-Qur’an dan alam semesta dalam rangka peningkatan kualitas keimananya. Dalam mencari kebenaran itu, manusia dilarang berputus asa. Hal ini tersirat dalam pesan Ya’kub kepada anak-anaknya dalam usaha mencari Yusuf dan adiknya yang menyatakan agar jangan putus asa dengan ruh dari Allah (QS.Yusuf/12: 87). Tiupan tambahan ini pula yang dialami oleh Maryam. Sebagaimana diungkapkan pada QS. An- Nisa/4: 171, QS. At-Tahrim/66: 12 dan QS. Al-Anbiya/21: 91. Sedang kepada Isa, yang secara tegas diangkat sebagai Rasul ditiupkan ruh kudus (QS. Al-Baqarah/2: 87 dan ayat 252 dan QS. Al-Maidah/5: 110). Dengan demikian terlihat perbedaan kualitas ruh antara manusia biasa dengan manusia pilihan sebagai Rasul atau Nabi. Ini pula yang membedakan mengapa para Rasul Allah mampu menerima dan membawa langsung wahyu dari Allah sementara manusia biasa yang punya ruh biasa hanya mampu menerima dan mempelajari wahyu yang disampaikan oleh Rasul-rasul tersebut. 3 Nafs25 Ketika suatu saat manusia mati, semua para ahli menyatakan manusia itu mati. Tetapi Al-Qur’an menginformasikan bahwa yang mati itu nafsnya. Hal ini diungkap pada QS. Al- Anbiya/21: 35 dan QS. Al-Ankabut/2: 57, Qs. Al-Imran/3: 185, yang menyatakan ’kullunafsin dzaiqatul maut’ setiap jiwa pasti mati’’. Dan kematiannya itu dengan izin Allah, sesuai dengan ajal yang telah ditentukan (QS. Al-Imran/3: 145). Jika jiwanya yang mati, ruh-nya kemana? Hadist menginformasikan bahwa ruh manusia menuju alam barzah. Ilmu pengetahuan kembali terbentur untuk mendeteksinya. Sementara jasad mengalami proses pembusukan, menjelang ia bersenyawa kembali secara sempurna dengan tanah. Ia kembali bersatu secara utuh dengan tanah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa, nafs terdiri dari 3 jenis, masing-masing diungkapkan pada surat : 1. Nafs al-amarah (QS. Yusuf/12: 53) menyatakan “ Aku tidak bermaksud membersihkan jiwaku, karena sesungguhnya nafs amarah mendorong kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat Tuhanku’’. Ungkapan ini secara tegas memberikan pengertian bahwa nafs amarah itu mendorong kearah kejahatan. 25 Untuk lebih jelas pembahasan tentang nafs dalam dimensi psikologi manusia lihat dalam A. Mujib, Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999). 17 2. Nafs al-lawwamah, (QS. Al-Qiyamah/75: 1-3) menyatakan : ‘’Aku bersumpah dengan hati qiyamah, dan aku bersumpah dengan nafs al-lawwamah, apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangnya?’’. Ungkapan ayat-ayat ini tidak memberi petunjuk tentang apa pengertian nafs lawwamah ini. Tetapi, jika berbicara penjelasan lanjutan pada ayat 20-21 berbunyi : ‘’Sekali-kali tidak, sebenarnya kamu mencintai dunia (ajilah), dan meninggalkan akhirat’’. Dengan penjelasan ini terlihat bahwa yang dimaksud dengan nafs lawwamah ini adalah jiwa yang condong kepada dunia dan tak acuh dengan akhirat. 3. Nafs al-Muthmainnah (QS. Al-Fajr/89: 27-30) menyatakan : ‘’Hai nafs muthmainnah, kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang(radhiah) tenang (mardhiah), masuklah dalam kelompok hambaku, dan masuklah ke dalam kebahagiaan (jannah) bersamaku’’. Dari uraian ini terlihat bahwa nafs muthmainnah ini adalah jiwa yang mengarah ke jalan Allah untuk mencari ketenangan dan kesenangan sehingga hidup berbahagia bersama Allah. Dari tiga macam bentuk jiwa yang terdapat pada diri manusia itu selalu terjadi pertarungan daripada ketiganya. Yang satu mendorong manusia untuk berbuat jahat, yang lain mendorong manusia untuk cinta dunia dan tak acuh dengan kehidupan akhirat, sementara yang satu lagi justru mengajak manusia itu untuk hidup di jalan Allah. Yang terakhir inilah merupakan bentuk jiwa yang membuat hidup senang dan tenang dalam kebahagiaan di jalan Allah. 4. Qolb26 Kata Qalb berasal dari qalaba yang berarti mebolak balik. Sebagai kata benda ia bermakna ‘’jantung’’, namun ia lebih popular diterjemahkan sebagai ‘’hati’’. Secara operasional, Al-Qur’an member gambaran bahwa qolb itu terletak dalam shudur, yang sering diartikan dada. Shudur ada persamaan dengan kata sadar. Dalam otak juga ada yang disebut pusat sadar. Qolb merupakan suatu dorongan perasaan, ada yang bersifat positif dan ada yang negatif. Yang positif memberi dorongan ke arah keimanan kepada Allah dan yang negatif memberi dorongan pembangkangan pada ajaran-ajaran Allah. Berpedoman pada QS Asy-Syu’ara/26: 193-194, qolb ini merupakan wadah dari ruh melemah, justru penyakit akan bersemi dalam qolbnya (QS. Al-Ahzab/33: 32). Penyakit yang dimaksud disini bukan fisiknya yang sakit, tetapi operasionalnya. Penyakit oprerasional inilah yang mengarah pada tindakan-tindakan yang bersifat mengingkari perintah atau larangan dari Pencipta manusia dan alam semesta ini. Proses kerjanya disebut juga dengan istilah ’af-idah, fuaada’ yang sering diartikan ‘perasaan’. Dari ungkapan surat QS. An-Nahl/16: 78, QS. As-Sajadah/32/ 9 dan QS. Al- Mulk/67, diungkapkan bahwa perasaan dari qolb itu muncul setelah pendengaran dan penglihatan berfungsi. Bagi mereka yang tidak menggunakan ketiga alat ini untuk mempelajari ayat-ayat Allah, baik yang berbentuk Al-Qur’an maupun alam semesta dinyatakan dalam QS. Al-A’raf/7: 179, mereka mirip binatang bahkan lebih rendah.. 26 Kata qalbu terambil dari akar kata yang bermakna membalik, karena seringkali ia berbolak-balik, sekali tenang sekali, sesekali setuju dan sesekali menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al- Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik adapula yang tidak baik. Lihat lebih jelas dalam M.Q. Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996)., h. 288 18 Berkaitan dengan itu Nabi Muhammad SAW bersabda : ‘’Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia itu terdapat segumpal mudgah; jika ia baik (positif), maka ia akan membentuk amal jasadnya ke arah yang shaleh, dan jika ia buruk (negatif), maka ia akan menjadikan jasad itu beramal buruk. Ketahuilah itu adalah qolb’’. Yang positif mendorong manusia untuk selalu zikir (ingat) kepada Allah. Makin sering seseorang itu berzikir kepada Allah makin tentram qolbnya (QS. Ar-Ra’d/13: 28). Ia berani mempersaksikan kepada Allah apa yang ada dalam qolbnya (QS. Al-Baqarah/2: 204). Ia menuntun ke arah jalan yang diridhai Allah dalam bentuk keimanan kepada Allah dan karenanya memperoleh hidayah dari Dia (QS-Qashas/28: 10), dan melalui qolb ini pula muncul kemauan untuk mengkaji Al- Qur’an (QS.Al-Baqarah/2: 97). Sebagai orang mukmin yang selalu mengikuti ajaran Allah dan Rasul, qolb yang terang itu akan melahirkan sikap santun dan kasih sayang. Untuk menenangkan dan memantapkan qolb agar tetap beriman kepada Allah di QS. Al-Baqarah/2: 260, dicontohkan peristiwa Ibrahim yang meminta kepada Allah bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Allah tidak langsung mununjukkan kepada Ibrahim, tetapi menunjukkan kejadian-kejadian alam. Ibrahim dengan memperhatikan realita alam yang terjadi meyakini bukti tentang kebesaran Allah, sehingga iapun puas. Dari kasus ini juga dapat dipahami bahwa kajian intelektual juga dapat membantu memantapkan pendirian qolb. Dalam informasi lebih lanjut QS. Al-Ahzab/33: 33 dan QS. An-Nur/24: 37 menyatakan bahwa qolb seseorang yang dapat berguncang. Hal ini bukan karena pertentangan dalam qolb, sebab QS. Al-Ahzab/33: 4 mempertegas bahwa Allah tidak menjadikan dua qolb pada seseorang. Ketika ia terdorong untuk mengikuti jalan yang diridhai Allah, Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah telah membukakan qolbnya serta memberi hidayah (QS At- Taghabun/64: 11, QS. At-Tahrim/66: 4, QS. Al-Hujarat/49: 3). Orang yang qolbnya telah terbuka ini, akan mempunyai dampak lanjut berbentuk getaran hati ketika nama Allah didengarnya (QS. Al-Anfal/8: 2). Mereka yang sudah sampai pada tingkat ini, akan selalu dapat pertolongan dari Allah. Qolb selalu tenang, teguh dari segala godaan serta mantap dalam pendirian ( QS. Al-Anfal/8: 10-11). Dalam kondisi qolb yang penuh dengan kebaikan, Allah akan mewujudkan pula sikap, yang baik dari orang tersebut dalam bentuk tindakan sehari-hari (QS. Al-Anfal/8: 70). Dari qolb itu akan muncul emosi yang berfungsi untuk mempertahankan hidup, diantaranya adalah : emosi takut, emosi marah, benci, cemburu, penyesalan, gembira dan cinta. Dalam QS. A/2l-Baqarah: 126, cinta kepada Allah diungkapkan dengan tambahan kada ‘’asyaddu’’ (mendalam), yang dalam bahasa agama disebut dengan istilah ‘’iman’’. Cinta kepada Rasul ialah menjadikan Rasul sebagai suri teladan dalam menjalani kehidupan (QS. Al-Ahzab/ 33: 21, QS. Al-Qalam/68: 4). Sebaliknya, ketika seseorang itu sudah terdorong untuk berbuat sesuatu yang tidak diridho Allah, maka Allah yang menyatakan qolb mereka tertutup (QS. All-Baqarah/2 : 7, QS. Al-A’raf/7: 101, QS.Yunus/10: 74, QS. Al-Jasiyah/ 45: 22-23). Qolb yang tertutup ini dapat terjadi karena tidak punya ilmu (QS. A-Rum/30: QS. 50) dan lama kelamaan ia terkunci disebabkan tidak memahami isi Al-Qur’an (Muhammad/47: 24). Kemudian, qolbnya akan mengandung penyakit (QS.Al-Baqarah/2: 10), seperti al-ajli (watak sapi = materialisme dan bersikap tak acuh pada kebenaran) (QS. Al-Baqarah: 93). Atau dapat juga terjadi qolbnya menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras. Manusianya bersifat bangkang terhadap ajaran Allah. Jika sudah mencapai kondisi yang seperti ini dalam QS. Fusshilat/41: 5 digambarkan bahwa qolb mereka telah tertutup untuk menerima didikan. 19 Yang negatif mendorong manusia ke arah jalan yang tidak diridhai Allah yang dalam istilah Al-Qur’an disebut istmun, yang dalam bahasa Indonesia sering disebut dosa (al- Baqarah ayat 283). Allah member batas antara dirinya dengan qolbnya (QS. Al-Anfal/8: 24). Penilaian hukum bukan dari sigat yang ia ucapkan secara tidak sengaja, tetapi dari apa yang bersemi pada qolbnya (QS. Al-Baqarah/2: 255), dan membuat seseorang akan lalai dalam zikir kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya (QS. Al-Kahfi/18: 28). Bahkan dapat muncul sikap lebih negatif lagi di mana ia berani bersaksi kepada Allah tentang apa yang terkandung dalam qolbnya, padahal ia adalah musuh yang kejam (QS. Al-Baqarah/2: 204). Namun demikian, betapapun tertutupnya qolb untuk menerima didikan, karena qolb itu telah membatu, suatu saat batu itu bisa mampu mengeluarkan sungai dan bahkan dari pecahan batu itu terbit tetesan air (QS. Al-Baqarah/2: 74). Hal ini bermakana bahwa jika proses pendidikannya tepat, qolb yang keras itu akan mampu juga melahirkan kasih sayang. Hal senanda dijelaskan dalam QS. Al-Maidah/5: 13 bahwa mereka yang mempunyia qolb keras membatu ini, merupakan suatu kutukan dari Allah yang disebabkan mereka sering melanggar janji. Mereka inilah yang sering memutar balikkan kebenaran yang datang dari Allah dan melupakan peringatan yang diberikan Allah kepadanya. Hal ini tidaklah berarti bahwa mereka harus dijauhi. Ibarat batu yang keras masih dapat mengeluakan air bahkan mengalirkan sungai, jika metode pendekatanya tepat, ia akan dapat ditarik ke jajan yang benar. 5 Fikir dan Akal27 Kata fikir dan akal tidak ditemukan dalam bentuk kata benda, tetapi bentuk yang ditemukan dalam Al-Qur’an adalah bentuk kata kerja. Dari sini dapat dipahami bahwa diinformasikan adalah proses kerjanya, yaitu berfikir dan menggunakan akal. Pusat sumber berpikir ditemukan oleh penelitian manusia dalam bentuk saraf-saraf yang terhimpun pada otak. Al-Qur’an tidak memberikan informasi. Di sisi lain ilmu pengetahuan dan penelitian manusia tak mampu menemukan pusat kerja akal. Sehingga seing terjadi pemahaman bahwa akal sama dengan fikir Al-Qur’an menginformasikan bahwa qolb yang berfungsi membuat manusia berakal (QS.Al-Hajj/22: 46). Dari kajian ayat-ayat Al-Qur’an, dapat dilihat adanya persamaan dari perbedaan antara fikir dengan akal. Fikir merupakan proses kerja dari otak, dan proses ini terjadi hanya pada manusia. Perlu dianalisa bahwa binatangpun juga punya otak, tetapi ia mampu berfikir. Secara ilmu pengetahuan, manusia dapat meneliti segi struktur otaknya. Otak, bukan hanya alat untuk berfikir, tetapi ia juga merupakan alat untuk menggerakkan anggota tubuh. Besar kecilnya otak seseorang, tidak menentukan secara mutlak tinggi rendahnya kepandaian seseorang. Namun, menurut Paryana Suryadipura, sebagian besar orang pandai dan para penjahat mempunyai ukuran topi 55 dan 58. Dibawah nomor 55 terdapat banyak penjahat (10%), semntara orang pintarnya 1 %. Topi diatas nomor 58 terdapat banyak orang pintar (40%) dan sedikit penjahat (3%). Dengan demikian, ada orang yang pintar kepalanya kecil dan ada pula orang jahat kepalanya besar. Kajian Paryana tentang fikir, sulit dibedakan dengan kajian tentang jiwa, karena di samping ia menulis tentang proses berfikir, ia juga mengulas tentang fikir berarti mengaji 27 Pembahasan tentang akal manusia lihat lebih jauh dalam Rasyidi, & H. Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: CV. Kuning Mas, 1984). h. 15. 20 sesuatu yang bersifat abstrak. Demikian juga mengaji tentang jiwa. Namun, tidak berarti kajian tentang fikir berhenti sampai di sana. Ia juga mengemukakan adanya lima pusat yang ada dalam otak, di luar pangkal otak dan panca indra. Pusat yang paling bawah ia sebut pusat kesadaran, sebelah kiri belakang pusat ingatan, di tengah pusat persyaratan sympatis, di sebelah kanan belakang, pusat kemauan dan paling puncak disebut pusat akal. Dengan rumusan seperti ini, terjadi tumpang tindih antara fikir dan akal. Namun, jika diamati lebih jauh stuktur otak seperti yang digambarkanya pada buku halaman 268-269, tampak bahwa yang dimaksud dengan pusat akal itu ialah pusat yang berhubungan dengan alam jabarut dan alam malakut yang pada tik puncaknya dengan Nur Ilahi. Al-Qur’an maupun hadis tidak menerangkan bagaimana proses berfikir. Menyelidiki perose berfikir merupakan tugas manusia dengan bekal ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Al-Qur’an memeberikan arah pada apa saja yang harus dipikirkan, antara lain : 1) Proses penciptaan alam (Ali-Imran ayat 190-191, ar-Ra’d ayat 2-3, al-Jatsiyah ayat 12-13) 2) Kebendaan (QS. Al-Baqarah/2 : 19, QS. AN-Nahl/ 16: 11) 3) Kemanusiaan dari kehidupan (QS. Al-Baqarah/2: 266, QS. Al-A’raf/7: 176, QS. Yunus/10: 24, QS. An-Nahl/16: 6, QS. Ar-Rum/30: 8 dan 21, QS. Az-Zumar /39: 42) 4) Kerasulan Muhammad (QS. Al-A’raf /7: 184, QS. As-Saba/34: 46) 5) Al-Qur;an (QS. An-Nahl/16: 44, QS. Al-Hasyar/59/ 21) Sukanto dalam bukunya Nafsiologi, mengemukakan proses berfikir melalui tahapan, yaitu: pembentukan pengertian, pembentukkan pendapat, pembentukan keputusan. pembentukan kesimpulan yang meliputi: kesimpulan induksi, yakni kesimpulan yang ditarik dari keputusan yang khusus untuk memperoleh pengertian yang umum, kesimpulan deduksi, yakni dari keputusan yang umum untuk memperoleh pengertian yang khusus, Kesimpulan analogi, yang ditarik dari pembandingan beberapa situasi. Paryana Suryadipura dalam bukunya “Alam Fikiran” mengemukakan bahwa proses berfikir, bergerak dari panca indra masuk ke pangkal otak, menyentuh pusat kesadaran, bergerak ke arah pusat ingatan. Dari pusat ingatan, ia bergerak ke arah dua kemungkinan. Orang yang punya nilai keagamaan pada dirinya, maka proses fikirnya akan melalui pusat lebih dahulu, baru kemudian ke pusat kemauan. Sedangkan mereka yang tak acuh dengan nilai keagamaan, maka proses fikirnya dari pusat ingatan langsung ke pusat kemauan. Djamaludin Kafie, membagi tingkatan berfikir 5 (lima) tingkatan : 1) Berfikir biasa, yakni dengan pengalaman indrawi untuk membentuk ketahuan kita. Untuk itu, ia memberikan berdasarkan QS. An-Nahl/16: 78, yang menyatakan ‘’Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaaan tidak tahu apa-apa, kemudian Dia memberimu pendengaran, penglihatan dari hati, agar kamu bersyukur’’. Dari ungkapan ayat ini Allah member informasi bahwa bayi pertama kali mendengar, kemudian melihat dan belakangan baru punya perasaaan yang tumbuh dari hatinya. 2) Berfikir logis, yakni teknik penalaran untuk dapat menarik kesimpulan yang sah. Berdasarkan QS. Al-Baqarah/2: 164: “Dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan siang. Bahtera yang berlayar dilaut membawa apa yang berguna bagi manusia, serta apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan buki sesudah matinya, dan Dia sebaarkan di bumi itu segala jenis hewan dan perputaran angin serta awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, merupakan tanda-tanda bagi orang yang menggunakan akal”. 21 3) Berfikir ilmiah, yakni berfikir secara sistematis, metodis dan obyektif, dalam rangka mencapai kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Ia mengutip QS. Ar-Rum/30: 8 yang memberikan teguran pada manusia yang tidak memikirkan diri mereka sendiri, padahal Allah tidak menjadikan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan manusia benar-benar mengingkari akan pertemuan dengan Tuhan. 4) Berfikir filsafat, yakni berfikir dialektis yang terarah untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, integral dan universal. Ayat Al-Qur’an yang digunakan sebagai pendukung rumusannya itu ialah QS. Fusshilat/41: yang menyatakan bahwa Allah memperlihatkan kepada manusia tentang tanda-tandaNya di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi manusia bahwa kebenaran yang mulia itu dari Tuhan. Hal ini untuk membuktikan bahwa Tuhan itu menyaksikan segala sesuatu. 5) Berfikir Theologis, yakni corak berfikir Qur’an yang bertujuan untuk mencapai suatu keyakinan bahwa Allah SWT adalah wujud al-Haq. Ia mengutip contoh kasusnya dengan QS. Ibrahim/14: 10 yang menyatakan bahwa Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, tak perlu diragukan. Dari contoh kasus ini dapat ditarik rumusan bahwa dengan menggunakan aqal seseorang akan mampu berkembang memecahkan suatu masalah yang bersifat realita, tetapi juga mampu memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan sesuatu yang ghaib. Berbeda dengan fikir yang hanya memecahkan masalah yang berkaitan semata. Dari segi lain, pengunaan aqal akan dapat merangsang nilai-nilai keimanan yang lebih dalam kepada Allah, sementara dalam fikir hal seperti itu tak banyak dapat dihadapkan. Fikiran hanya bersifat pengembangan daya nalar. Sementara aqal bukan saja daya nalar yang dikembangkanya tetapi juga menyangkut nilai-nilai rohaniyah yang lebih dalam. Berdasarkan itu, hadist Nabi yang menyatakan ‘’Ad-Dinu huwal’aqlu’’, tak dapat diterjemahkan sebagai ‘’Ad-Dinu huwal fikru’’. Pengunaan akal jauh lebih dalam sentuhannya dibanding pengunaan fikir. 2. Kedudukan Manusia Telah disebutkan di atas istilah manusia dalam Al-Qu’an sebagai insān yang berkenaan dengan dimensi kemasyarakatan dan keilmuan manusia. sebagai basyar berkenaan manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab, maka manusia secara kodrati mempunyai kelebihan, sekaligus juga mempunyai kelemahan dibanding dengan makhluk lain, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an: 1) Manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk (Q.S al-Thin/95 : 4). 2) Manusia menjadi mulia karena dapat membuat peralatan (Q.S. Al- Isra’ /17 : 70 ). 3) Manusia diciptakan dengan tegak lurus (Q.S. Al-Balad/90 : 4 ) 4) Manusia diciptakan dengan tabeat dalam keadaan tergesa-gesaal (Q.S. Anbiya/21 :37). 5) Sifat manusia suka berkeluh kesah (Q.S. Al Maārij 70 : 19). 6) Manusia diciptakan keadaan lemah (Q.S. Al-Nisa ( 4 : 28 ). 7) Manusia diberi kodrat kelaliman dan pengingkar Q.S. Ibrahim,surah/ 14 : 34 ). 8) Manusia berpotensi menjadi jahat dan melampaui batas (Q.S. Al- Alaq /96 : 6 ). 9) Manusia berpotensi dalam keadaan rugi (Q.S. Al Asr/103 : 2 ). 10) Manusia berpotensi membuat maksiat terus menerus (Q.S.Aal- Qiyāmah/ 75: 5 ). 11) Manusia ingkar dan tidak mau berterima kasih Q.S. Al-Ādhiyat /100 : 5 ). 22 3. Tugas dan Fungsi Manusia Allah menciptakan jin manusia semata-mata untuk beribadah kepad-Nya (Q.S Adz Dzariyât:/51: 56: ‘ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Manusia selain sebagai hamba yang harus mengabdi semata-mata kepada Allah, Sang Penciptanya, juga harus menjalankan fungsinya sebagai khalifah. Sebagai seorang Khalifah, manusia harus menggunakan akal dan pikiran yang telah Allah karuniakan kepadanya untuk memimpin, memperbaiki, menjaga, melestarikan alam, serta menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sebagai khalifah dan hamba Allah siap maka tugasnya di muka bumi yang harus dilaksanakan, diantaranya: a. Mencari, dan Menemukan Pengetahuan. Manusia ditugaskan untuk menuntut ilmu penegtahuan sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S Al –Alaq/96 : 3-4. b. Memakmurkan Bumi Dalam Q.S. Hud/11 : 61, manusia ditugaskan untuk memakmurkan bumi, yang tentu saja dalam kaitannya dengan memakmurkan bumi maka manusia harus menguasai alat untuk menguasai bumi--diperlukan pengetahuan untuk menciptakan alat juga diperlukan sumber daya manusia yang kuat. c. Memikul Amanah Amanah dari kata amina yang artinya aman dan dipercaya. Dengan demikian jika ada sesuatu yang dititipkan kepadanya terasa aman sesuatu itu. Manusia memikul amanah yang dititipkan kepadanya sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab/33 : 7. Al-Qur’an menyebut amanah lain diantaranya dalam jual beli Q.S 2 : 282, penegakan hukum (Q.S. 4 : 85), menjaga moral (Q.S 8 : 2 ) dan perjanjian (Q.S. 78 : 23 ). d. Bekerja menurut bidang masing-masing. Secara umum tugas manusia di bumi ialah bekerja sesuai bidangnya masing-masing (Q.S. 17 : 84). Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa, kedudukan manusia, fungsi dan perannya di bumi adalah sebagai khalifah Allah yang secara khusus diciptakan untuk mengabdi kepadaNya. Di samping itu tugas lain yang harus dilaksanakan ialah mencari dan menemukan ilmu penegtahuan baik eksakta, sosial, humaniora dan ilmu keagamaan. Manusia wajib memakmurkan bumi, wajib mensejahterakan manusia, wajib memikul amanah sebagai tugas moral dan wajib bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. II. Agama a. Pengertian Agama Kata agama dikenal pula dengan kata Din yang berasal dari bahasa Semit, artinya “undang-undang/hukum”. Dalam bahasa Arab, artinya “menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan, peraturan-peraturan yang merupakan hukum’. Kata senada dari Agama adalah Religi Bhs Latin; relegere, berarti; ”mengumpulkan, membaca” dan kata religare, mempunyai makna “mengikat”. Pengertian Agama dalam Bahasa Sansekerta adalah: a: berarti tidak dan gama: mempunyai makna “pergi” (agama: tidak pergi/tetap ditempat, diwarisi turun menurun. Sementara Gam: berarti tuntutan”.28 28 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jld. I, (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 9. 23 Pengertian agama secara terminologi menurut Joachim Wach adalah; ”Suatu sistem kepercayaan, sistem kaidah yang mengikat penganutnya serta memiliki sistem hubungan dan interaksi. Sedangkan J. Milton Yinger menyebutkan agama sebagai “sistem kepercayaan dan praktek yang menyadarkan manusia untuk menghadapi masa terakhir dari hidupnya. Dunlop memahami agama sebagai sarana terakhir bila institusi lainnya tak berdaya mengatasi problem manusia. Hendro Puspito berpendapat bahwa agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan supranatural (non- empiris) yang dipercayai dan didayagunakannya baik untuk kehidupan personal maupun masyarakatnya.29 Harun Nasution menyatakan agama sebagai keyakinan dan pengakuan akan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai, mengikat, mempengaruhi dan menuntut umatnya untuk mengikuti sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib tersebut. 30 Dalam surat Arrum/30: 30 disebutkan bahwa Agama menjadi fitrah manusia. Dari beberapa pengertian di atas, agama pada dasarnya adalah sikap dasar manusia kepada Tuhan. Agama mengungkapkan diri dalam sembah dan bakti sepenuh hati kepada Tuhan. Berbeda dengan iman yang didasarkan pada pewahyuan Tuhan, agama sebenarnya merupakan hasil usaha manusia, yang dikembangkan dalam rangka mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan pengungkapan iman. Dengan demikian agama tidak sama dengan iman, karena seseorang yang beragama, baru memasuki tahapan awal dari perjalanan panjang yang harus dilaluinya mengarungi dunia rohani yang tiada batasnya. Kecintaan (iman) kepada Tuhan dalam Islam dinyatakan sebagai orang yang beriman itu adalah orang yang sangat mencintai Tuhan. Cinta kepada Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam Firman Tuhan pada QS. Al-Baqarah/2: 265 adalah prioritas pertama dan utama disbanding dengan lainnya. Proses yang mesti dilalui juga bukanlah proses yang mudah, dia mesti diperkenalkan, dibiasakan, dibina, dipelihara dan seterusnya. Tuhan mengingatkan melalui firmanNya: janganlah kamu mengaku beriman, sementara keimanan kamu itu belum diuji dengan benar, mungkin baru kamu beragama atau baru berIslam saja (QS.Al-Mulk/67: 2). Proses tersebut dimulai dari latihan-latihan ibadah ritual yang ringan sampai latihan spiritual yang berat. Mulai dari latihan bersembahyang, berpuasa, berzakat atau bersedekah, sampai pergi ziarah ke Mekkah (pergi berhaji). Jadi agama lebih merupakan wadah atau lembaga yang mempersatukan dan mengatur wadah atau lembaga yang mempersatukan dan mengatur berbagai aktivitas berkaitan dengan pengungkapan dan penghayatan iman kepada Tuhan. Dengan pengertian ini tidak berarti 29 Hendro Puspito, Sosiologi Agama. (Jakarta: Kanisius, 1990), h. 34 30 Lebih lengkap Harun Nasution menyatakan bahwa agama sama dengan din sama dengan religi, yang mengandung definisi sebagai berikut: 1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. 4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib. 6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. 7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. 8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jld. I, h. 10. 24 agama hanya berkaitan dengan hal yang vertikal saja sementara aspek horizontalnya diabaikan. Agama jelas memiliki ciri social yang sangat luas dan dalam. Agama adalah institusi atau ruang tempat pengembangan dan penghayatan dimensi sosial dari iman kepada Tuhan. b Dimensi-Dimensi Agama Dari istilah agama kemudian muncul apa yang disebut dengan religiusitas atau keberagamaan., yatitu komitmen religius (yang beruhungan dengan agama atau keyakinan iman ), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau prilaku individu yang berkaitan dengan agama atau keyakinan yang dianut. Menurut Charles Y Glock dan Rodney Stark, terdapat lima dimensi agama (keberagamaan) meliputi: 1) Keyakinan (religious belief). Yaitu pengharapan-pengharapan di mana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin- doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama- agama tetapi seringkali juga di antara tradisi- tradisi dalam agama yang sama. 2) Praktik ibadah (religious practice). Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. 3) Penghayatan (religious feeling). Dimensi ini berkaitan dengan perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi keagamaan yang dialami seseorang. 4) Pengamalan (religious effect). Dimensi yang menunjukkan sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agama di dalam kehidupan sosial. 5) Pengetahuan (religious knowledge). Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang- orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisitradisi keagamaan.31 Sedangkan Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama menyebutkan bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu : 1) Dimensi praktis atau ritual (ritual or practical) 2) Dimensi naratif atau mistis (narrative or mythic) 3) Dimensi pengalaman atau emosional (experiential or emotional) 4) Dimensi sosial atau institusional (social or institutional) 5) Dimensi etis atau legal (ethical or legal) 6) Dimensi doktrinal atau fikosofis (doctrinal or philosophical) 7) Dimensi material atau bahan.32 Pertama, ritual sebagai dimensi praktis berada dalam kegiatan seperti penyembahan, meditasi, ziarah, pengorbanan, ritus, sakramen, dan aktivitas penyembuhan. Kedua, doktrin sebagai dimensi filosofi berfungsi membantu individu memahami ajaran agama, dan eksistensi doktrin. Contoh doktrin kefanaan dalam tradisi Buddha. Ketiga, mite sebagai dimensi naratif melalui cerita agama, dan histori tradisi agama. Contoh cerita kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus dalam iman Kristen. Keempat, pengalaman sebagai dimensi emosional adalah signifikan dalam sejarah agama, karena pengalaman bersifat visioner dan meditatif. Contoh pencerahan dalam Buddha, visi nabi Muhammad dalam Islam, dan konversi Paulus dalam Kristen. Kelima, etika sebagai dimensi legal dalam bentuk 31 R. Stark dan C.Y. Glock. Dimensi-Dimensi Keberagamaan, dalam Roland Robertson (ed), Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi, A. Fedyani Saifudin, (Jakarta: CV Rajawali,1988), h. 295 32 Ninian Smart, Dimensions of Sacred: An Anatomy of the World‟s Beliefs (California: University of California Press, 1996), 10-11. 25 imperatif seperti contoh perintah taurat dalam Yahudi ortodoks, dan syariat dalam Islam. Perkembangan etika sebagai dimensi legal dalam nasional modern terdapat dalam norma sipil dan aturan di sekolah. Keenam, organisasi sebagai komponen sosial dalam spesialis agama seperti para imam, guru, rabi. Ketujuh, material sebagai dimensi artistik berada dalam paham seni bangunan ibadah seperti gereja, dan masjid. Adapun dalam perspektif Islam dimensi agama (keberagamaan) meliputi: 1) Dimensi Iman. Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Dimensi ini biasa disebut dengan akidah Islam yang mencakup kepercayaan manusia terhadap Allah, malaikat, kitab suci, nabi, hari akhir serta qaḍa dan qadar. 2) Dimensi Islam. Dimensi ini mencakup sejauh mana tingkat frekuensi intensitas dan pelaksanaan ibadah seseorang. Dimensi ini mencakup pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji juga ibadah- ibadah lainnya seperti membaca Al-Qur`an. 3) Dimensi Ihsan. Dimensi ini berhubungan dengan pengalamanpengalaman religius, yakni persepsi- persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami oleh seseorang, misalnya perasaan dekat dengan Allah, perasaan berdosa saat melanggar perintah Allah dan lain- lain. 4) Dimensi Ilmu. Dimensi ini mengacu pada seberapa jauh pengetahuan seseorang tentang agamanya, menyangkut pengetahuan tentang Al Qur`an, pokok ajaran dalam rukun iman dan rukun Islam, hukum-hukum Islam, sejarah kebudayaan Islam. 5) Dimensi Amal. Dimensi ini meliputi bagaimana pemahaman keempat dimensi di atas ditunjukkan dalam tingkah laku seseorang. Dimensi ini mengidentifikasi pengaruh-pengaruh iman, Islam, iḥsan dan ilmu di dalam kehidupan orang sehari-hari.33 Jalaluddin Rahmat menambahkan dimensi sosial Dimensi social (community), yaitu dimensi yang mengukur seberapa jauh seorang pemeluk agama terlibat secara sosial pada komunitas agamanya. Dimensi kesalehan sosial dapat digunakan untuk mengukur kontribusi seseorang dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, baik berwujud tenaga, pemikiran maupun harta.34 a. Fungsi Agama Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan manusia secara subtantif adalah sebagai pedoman, aturan dan undang- undang Tuhan yang harus ditaati dan dijalankan dalam kehidupan. Agama sebagai way of life, sebagai pedoman hidup yang harus diberlakukan dalam segala segi kehidupan. Selain itu agama merupakan unsur mutlak dalam pembinaan karakter pribadi dan membangun kehidupan sosial yang rukun dan damai. Menurut Hendropuspito fungsi agama bagi manusia meliputi: 1) Fungsi Edukatif Manusia mempercayakan fungsi edukatif pada agama yang mencakup tugas mengajar dan membimbing. Keberhasilan pendidikan terletak pada pendayagunaan nilai-nilai rohani 33 Masrun,dkk, Studi Kualitatif Non Fisik Manusia Indonesia, (Jakarta: Kementerian, 1978), h. 60. 34 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 30 26 yang merupakan pokok-pokok kepecayaan agama. Nilai yang diresapkan antara lain: makna dan tujuan hidup, hati nurani, rasa tanggung jawab kepada Tuhan. 2) Fungsi Penyelamatan Agama dengan segala ajarannya memberikan jaminan kepada manusiakeselamatan di dunia dan akhirat. 3) Fungsi Pengawasan Sosial Agama ikut bertanggung jawab terhadap norma-norma sosial sehingga agama menyeleksi kaidah-kaidah sosial yang ada, mengukuhkan yang baik dan menolak kaidah yang buruk agar selanjutnya ditinggalkan dan dianggap sebagai larangan. Agama juga memberi sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggar larangan dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya. 4) Fungsi Memupuk Persaudaraan Persamaan keyakinan merupakan salah satu persamaan yang bisa memupuk rasa persaudaraan yang kuat. Manusia dalam persaudaraan bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja, melainkan seluruh pribadinya juga dilibatkan dalam suatu keintiman yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercaya bersama. 5) Fungsi transformatif Agama mampu melakukan perubahan terhadap bentuk kehidupan masyarakat lama ke dalam bentuk kehidupan baru. Hal ini dapat berarti pula menggantikan nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru. Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi.35 6) Profetis atau kritis Agama juga dapat berfungsi sebagai pendorong untuk mengkritisi, sasarannya adalah para penguasa zalim yang melakukan penindasan, dilakukan dengan cara: persuasif, evolusi, eksekratif (mengutuk) dan perlawanan langsung. Contoh: a) Teologi pembebasan dan pembangunan di Amerika Latin b) Gerakan revolusi Damai di Filipina era Marcos dan Iran era Syah Reza Pahlevi c) Protes kalangan agamawan menentang pemasungan kebebasan buruh (Syarikat Buruh Solidaritas) di bawah pimpinan Lech Walesa yang dipenjarakan bersama pengikut setianya. d) Pemberontakan Banten (1888), Perang Padri, Perang Diponegoro, perang sabil di Aceh. Berkaitan dengan fungsi agama, Ramayulis menyatakan bahwa agama berfungsi: 1. Sumber Nilai Dalam Menjaga Kesusilaan. Agama menjadi kerangka acuan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. Sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan individu dan masyarakat. 2. Agama Sebagai Sarana Untuk Mengatasi Frustasi. Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku keagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk mengatasi frustasinya. Karena seseorang gagal mendapatkan 35 Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1990), h. 67. 27 kepuasan yang sesuai dengan kebutuhannya, maka ia mengarahkan pemenuhannya kepada Tuhan. 3. Agama Sebagai Sarana Untuk Memuaskan Keingintahuan. Agama mampu memberikan jawaban atas kesukaran intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna ditengah-tengah alam semesta ini. 36 Dari paparan di atas menunjukkan begitu banyak fungsi dan peran agama bagi manusia, baik secara individu maupun community, sejak manusia masih sederhana kebudayaannya bahkan sampai modern sekalipun, sejatinya membutuhkan kehadiran agama. Dari fungsi-fungsi diatas dapat disimpulkan fungsi dan peran agama bagi manusi sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Hamka, bahwa fungsi dan peranan agama itu ibaratkan “tali kekang”, yaitu kekang dari pada pengumbaran akal pikiran, tali kekang dari pada gejolak hawa nafsu (yang angkara murka), dan tali kekang dari pada ucap dan perilaku (yang keji dan biadab). Agama menuntun perjalan hidup manusia agar tetap berada diatas jalan lurus (shirotol mustaqim) yang diridhai oleh Allah Swt.37 b. Motivasi dan Kebutuhan Manusia terhadap Agama Menurut Zakiah Darajat yang dikutip oleh Noer Rohmah dalam bukunya Pengantar Psikologi Agama menyatakan bahwa kebutuhan manusia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu: a. Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah/ fisik (makan, minum, seks, dan sebagainya). b. Kebutuhan rohaniah/ Psikologi dan sosial (kebutuhan akan rasa kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa harga diri, kebutuhan akan rasa bebas, kebutuhan akan rasa sukses, kebutuhan akan rasa tahu. 38 Zakiah Darajat, memasukkan agama sebagai unsur terpadu dari psikologi, yaitu bagian dari kesehatan mental manusia. Zakiah Darajat menjelaskan: “Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya; berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.”39 Dalam kaitannya dengan motivasi beragama bagi manusia, menurut Nico Syukur sebagaimana dikutip Raharjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Jiwa Agama dijelaskan bahwa motivasi beragama dibagi menjadi empat: 1. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi sosial, frustasi moral maupun frustasi karena kematian. 2. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat. 3. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia. 36 Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia:, 2002), hlm. 225-227. 37 Muhaimin, Problema Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), h.16. 38 Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), h.35-36 39 Moh. Sholeh, Agama Sebagia Terapi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 25. 28 4. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.40 Pandangan lain yang menjelaskan perlunya manusia terhadap agama diungkapkan oleh Abudin41 dengan menyebutkan alasan sebagai berikut yaitu: Pertama, fitrah manusia. Dijelaskan dalam Q.S. Ar- Rum30/ 30: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada adama (Islam) sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Terdapat potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia. Fitrah atau naluri bertuhan dalam arti berkeinginan untuk mengetahui dan mengenal Allah, yang didukung oleh akal pikiran yang kritis akan melahirkan kegairahan yang luar biasa untuk menatap dan menguak makna di balik ayat-ayat Allah yang terbentang di alam raya. Perenungan manusia dengan menggunakan akal pikirannya yang kritis disertai dengan pengamatan dan perasaan yang halus dan tajam akan menguatkan keyakinannya bahwa sesungguhnya jagat raya beserta seluruh isinya ini adalah makhluk Allah, yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan penuh perencanaan dan bertujuan, tanpa sia-sia sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. al-Mu’minu/ 23: 115 ditegaskan: “Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”. Kedua, kelemahan dan kekurangan manusia. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam Q.S. Al-Syams/ 91:7-8, bahwa “Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kafasikan dan ketaqwaan”. Ketiga, Tantangan Manusia. Alasan lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama karena dalam perjalanan kehidupannya menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan sebagaimana digambarkan dalam (Q.S 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa kebudayaan yang memalingkan manusia dari Tuhan. Kita misalkan membaca ayat yang berbunyi “ Sesungguhnya orang- orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi orang dari jalan Allah” (Q.S. Al- Anfal/8:36). Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa agama sangat membantu tercapainya kesehatan mental dan krisis kejiwaan, terutama di tengah-tengah kehidupan modern dengan segala problematikanya. Modernitas telah menghadapkan manusia pada berbagai tantangan di antaranya hedonisme, tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta rekayasa kebudayaan yang membuat manusia dalam kegelisahan. Manusia membutuhkan jawaban dari kegelisahan hidup yang dialaminya. Kegelisahan berangkat dari adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan fisik, kognisi dan spiritual. 40 Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, h.35-36. 41 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2011, h. 20. 29 Para pakar psikologi meyakini, agama memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi kegelisahan yang berujung pada rasa frustasi. Keyakinan ini dimunculkan karena agama berfungsi sebagai tempat pelepasan ketegangan. Rasa bersalah dapat diobati dengan bertobat dan meminta ampun kepada Tuhan. Dengan melakukan pengakuan dosa, seorang individu merasa telah melepaskan beban berat psikologisnya. Efek dari pelepasan ketegangan ini dapat mengatasi rasa frustasi. Ketika seseorang telah terlepas dari rasa frustasi, ia akan merasakan ketenangan hidup yang berujung pada kebahagiaan III. Pertumbuhan Agama dan Teori Tentang Tuhan c. Pertumbuhan Agama42: Dalam sejarah pertumbuhan perkembangan keberagamaan yang dianut manusia terdapat beberapa bentuk penggambaran manusia tentang Tuhan. Salah satu teori pemahaman tentang Tuhan adalah penggambaran manusia di mana pada mulanya Tuhan digambarkan sebagai ada banyak (politeisme), kemudian berkembang ke penggambaran tentang Tuhan sebagai yang hanya ada satu saja (monoteisme)–dari politeisme ke monoteisme. Kita tidak menyangkal jika ada teori lain mengatakan yang sebaliknya, bahwa gambaran manusia tentang Tuhan pada mulanya justru bersifat monoteistik. 1) Politeisme Ada perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah pemahaman manusia tentang Tuhan. Semula kekuatan gaib yang dibayangkan sebagai daya atau roh misterius yang tidak berbentuk mengelilingi manusia, mulai digambarkan sebagai pribadi, dalam rupa sebagai dewa atau dewi. Dengan penggambaran demikian maka ada kemungkinan bagi manusia untuk mengadakan hubungan pribadi dengan Kekuatan Gaib (Tuhan). Mungkin karena dalam pengalaman manusia dunia ini terasa begitu besar, luas dan serba beragam corak kejadian dan peristiwa yang terkandung di dalamnya, maka berkembanglah anggapan bahwa tidak mungkin penguasa dunia ini hanyalah satu atau beberapa saja. Manusia percaya bahwa ada banyak penguasa yang berpengaruh dalam kehidupa manusia, yang dijuluki sebagai para dewa. Bentuk mereka ada bermacam-macam, ada yang pria dan ada yang wanita (dewa-dewi). Kepercayaan ini disebut polyteisme: yang berarti percaya akan banyak Allah. a. Dinamisne: percaya pada benda-benda yang memiliki kekuatan gaib (mana/sakti). Tujuan: mengumpulkan mana sebanyak mungkin agar terhindar dari marabahaya. b. Animisme: setiap benda yang bernyawa ataupun tidak memiliki roh (materi halus menyerupai uap/udara dan dapat berbentuk spt bagian dari tubuh manusia. Tujuan: menyenangkan hati roh-roh dengan sesajen agar terhindar dari malapetaka. c. Politeisme: percaya pada dewa-dewa (tiga dewa terbesar: Hindu Kuno, Mesir Kuno, Arab Jahiliyah dan dewa utama: Zeus/Yunani Kuno, Yupiter/Romawi dan Ammon/Mesir). 43 b) Henoteisme44 42 Taylor, E.B. and Frazer, J.G. “Animism and Magic”, dalam Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion. New York, Oxford: Oxford University Press, 1996. 43 Lihat lebih legkap dalam Taylor, E.B, Primitive Culture, (Cambridge University Press, 2012). 44 lihat lebih jauh dalam Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jld. I, h. 14. 30 Dari politeisme berkembang penggambaran yang kemudian dikenal dengan istilah henoteisme, yaitu kepercayaan yang memiliki beberapa pengertian: Pertama, yang berkuasa atas dunia ini bukan banyak melainkan satu. Namun penguasa di satu tempat berbeda dengan penguasa di tempat lain; Kedua, ada banyak dewa, tetapi hanya satu yang Maha Kuasa; Ketiga, dewa atau penguasa di satu zaman berbeda dengan penguasa di zaman lain. Pandangan ini memberi tempat bagi pemahaman yang mulai berkembang tentang ke- esa-an Tuhan di satu pihak, dan sekaligus menampung pemahaman yang sudah berkembang tentang ada banyaknya Tuhan, pengendali dunia dan kehidupan yang berlangsung di dalamnya. Dengan demikian henoteisme dapat dipandang sebagai suatu peralihan dari politeisme menuju monoteisme. Kendati tidak begitu jelas bagaimana peralihan ini berlangsung, tetapi yang terang adalah adanya pergeseran pemahaman tentang Tuhan dari penggambaran yang sangat politeistik ke panggambaran yang bersifat monoteistik. c) Monotheisme45 Dengan menempatkan henoteisme sebagai tahap peralihan dari politeisme menuju monoteisme, maka dapat dikatakan telah terjadi perkembangan berarti dalam hal penggambaran manusia tentang Tuhan. Ada perkembangan kepercayaan bahwa tidaklah mungkin penguasa di satu tempat dan tempat yang lain, penguasa di satu zaman dan zaman yang lain, itu berbeda. Begitu juga tidak mungkin adanya penguasa-penguasa lain di samping Yang Maha Kuasa. Pastilah Dia itu satu dan sama. Itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Ini adalah kepercayaan yang disebut monotheisme, yang berarti percaya akan satu allah. Monoteisme mencapai bentuknya yang khas dalam agama-agama besar dunia, seperti: Yahudi, Kristen dan Islam. Maka, tanpa mengabaikan keunikan dari ketiga agama besar tadi, sebenarnya ketiganya memiliki kesamaan dasar yang mempersatukan. Masalah yang berkembang berikutnya adalah: "Tuhan Yang Satu, Yang Maha Esa itu, berada di mana? Seberapa besar kekuasaanNya terhadap kehidupan manusia? Dari sinilah muncul teori-teori besar tentang Tuhan, yang gemanya masih bisa kita dengar dan diskusikan hingga kini baik pada tataran teologis maupun dalam praksis kehidupan keagamaan. Tetapi, apapun dan bagaimanapun gambaran manusia tentang Tuhan, hal paling penting adalah bagaimana agar pandangan atau gambaran kita tentang Tuhan (tentunya yang serba positif) benar-benar mampu menyemangati hidup kita, dan mengarahkannya untuk semakin baik. Doktrin Agama Monotheis: a) Asal-usul manusia b) Kehidupan hari akhir c) Sifat kudus dari ajaran Tuhan d) Tuhan sebagai penguasa mutlak dan tidak bisa dibujuk kecuali dengan kepatuhan (bukan dengan sesajen). e) Etika dan moral yang berimplikasi pada kebaikan personal dan publik f) Ibadah ritual dan perannya sebagai latihan spiritual dan upaya menjalin kontak dengan Tuhan. d. Teori tentang Tuhan 45 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jld. I, h. 15. 31 Walaupun kepercayaan manusia tentang Tuhan sudah semakin maju, tetapi masih terdapat pemahaman yang berlainan menyangkut hubungan antara Tuhan dengan manusia dan alam ciptaanNya. Setidaknya ada tiga teori penting yang akan saya sajikan di sini, yakni: deisme, pantheisme, dan theisme: 1. Deisme Secara etimologis, kata deisme dari bahasa Latin Deus , berarti Tuhan. Identik dengan ‘Theos’ dalam bahasa Yunani juga berarti Tuhan. Kata “theism” dalam bahasa Inggris dibentuk dari kata Theos dalam bahasa Yunani. Karena itu, sebelum abad ke-17, kata-kata “theism” dan “deism” dapat dipertukarkan penggunaannya dalam bahasa Inggris. Namun dalam perkembangannya, para filsuf dan teolog mulai membedakan pengertian kedua istilah tersebut, terutama pada akhir-akhir abad ke-17.46 Kaum Deis percaya kepada Tuhan, tetapi mereka tidak memiliki seperangkat sistem kepercayaan formal atau sistem peribadatan kepada Tuhan. Kaum Deis biasanya disebut sebagai penganut agama alam (natural religion), yang mengakui pengetahuan religius yang diterima semata-mata melalui akal, sebagai lawan dari pengetahuan religius yang diperoleh melalui wahyu atau dogma keagamaan. Karakteristik deisme lainnya adalah mereduksi fungsi Tuhan di dalam penciptaan alam semesta hanya pada penyebab pertama itu saja, dan tidak ada keterlibatan lebih lanjut. Kau Deis biasanya menolak doktrindoktrin agama, seperti Tritunggal, inkarnasi, otoritas dan orisinalitas kitab suci, taubat, keajaiban/mukjizat, dan tindakan yang bersifat gaib dalam sejarah.47 Deisme beranggapan bahwa Tuhan yang Esa itu, setelah selesai menciptakan alam ini, Ia keluar dari segala sesuatu yang diciptakanNya dan tidak pernah kembali lagi. Artinya alam ini dicipta serba sempurna dengan segala hukumnya, kemudian semuanya diserahkan kepada alam dan manusia untuk menentukan kehidupannya masing-masing. Tuhan tidak ikut campur tangan dalam perbuatan manusia. Semua yang diperbuat oleh manusia adalah pilihan-pilihan yang diambil olehnya sendiri, dan itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Apakah seseorang itu mau pintar atau tidak, mau kaya atau miskin, mau sukses atau gagal, semua adalah karena pilihannya sendiri dan bukan lagi karena kuasa Tuhan. Singkatnya Tuhan dalam pandangan deisme sangat mekanis dan teknis. Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu dianggap tidak ada. Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara terbuka menyangkal adanya Tuhan. Pandangan yang muncul pada abad 18 di Perancis. 48 2. Panteisme Istilah ‘panteisme’ berasal dari Yunani. Pan artinya semua. Theos artinya Tuhan. Panteisme yaitu kepercayaan bahwa Tuhan identik dengan alam. Atau suatu kepercayaan bahwa Tuhan berada dalam segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan.49 46 Shofiyullah Muzammil, Dari Edward Herbert sampai David Hume, TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 20