Buku Ajar Pengembangan Karakter PDF
Document Details
Uploaded by TerrificOmaha
Universitas Negeri Semarang
2023
Abdul Malik, S,Pd, M.Pd, Niam Wahzudik, S.Pd, M.Pd, Abdul Kholiq, S.Pd, M.Pd, Atip Nurharini, S.Pd, M.Pd, Abdul Azis, S.Psi, M.Psi, Amirul Mukminin, S.Pd, M.Pd
Tags
Summary
Buku ajar ini membahas konsep dasar karakter, komponen karakter, dan pengembangan karakter, berfokus pada pentingnya pengembangan karakter pada remaja. Buku ini disusun oleh Tim Pengampu Mata Kuliah Pengembangan Karakter dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang tahun 2023.
Full Transcript
Buku Ajar Pengembangan Karakter Tim Pengampu Mata Kuliah Pengembangan Karakter 1. Abdul Malik, S,Pd, M.Pd 2. Niam Wahzudik, S.Pd, M.Pd 3. Abdul Kholiq, S.Pd, M.Pd 4. Atip Nurharini, S.Pd, M.Pd 5. Abdul Azis, S.Psi, M.Psi 6. Amirul Mukminin, S.Pd...
Buku Ajar Pengembangan Karakter Tim Pengampu Mata Kuliah Pengembangan Karakter 1. Abdul Malik, S,Pd, M.Pd 2. Niam Wahzudik, S.Pd, M.Pd 3. Abdul Kholiq, S.Pd, M.Pd 4. Atip Nurharini, S.Pd, M.Pd 5. Abdul Azis, S.Psi, M.Psi 6. Amirul Mukminin, S.Pd, M.Pd Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang 2023 BAB 1 KONSEP DASAR KARAKTER A. URGENSI PENGEMBANGAN KARAKTER Karakter merupakan watak, sifat, akhlak ataupun kepribadian yang membedakan seorang individu menggunakan individu lainnya. Orang-orang yang berkarakter baik ialah yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Disadari atau tidak krisis moral telah banyak terjadi di negara kita. Krisis itu antara lain pergaulan bebas, pelecehan seksual, kejahatan, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, pencurian, kebiasaan mencontek, dan masih banyak lagi perseteruan yg belum mampu diatasi sampai tuntas. Khususnya pada remaja karena pada usia remaja merupakan masa-masa peralihan yang masih labil sehingga sangat diperlukan dalam bimbingan pengembangan karakter. Remaja sekarang pada umumnya mengalami krisis moral. Hal tersebut masih menjadi masalah sosial yang belum dapat diselesaikan secara tuntas. Para remaja sangat membutuhkan bimbingan karakter agar tidak terjerumus pada kegiatan-kegiatan yang negatif, dan dapat mengalihkan minatnya pada kegiatan positif. Situasi dan kondisi karakter bangsa yang memprihatinkan memerlukan penguatan pendidikan karakter atau pengembangan karakter. Pengembangan Karakter merupakan suatu tindakan atau usaha dalam membentuk sifat atau kepribadian yang lebih baik. B. KONSEP DASAR KARAKTER 1. PENGERTIAN KARAKTER Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Menurut Endang Ekowarmi (2010) karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia (when character is lost then everyting is lost). Menurut Thomas Lickona karakter merupakan sifat alami seseorang dalam menanggapi situasi secara bermoral. Sifat alami tersebut tercermin dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, adil, menghormati orang lain, disiplin, dan karakter mulia lainnya (Lickona, 2012). Karakter diartikan sebagai ciri khusus struktur dasar kepribadian seseorang (Soekanto, 1993). Karakter diartikan sebagai ciri yang khusus, pola sikap yang bersifat individual atau keadaan moral seseorang. Karakter seseorang berkaitan dengan lingkungan sekitarnya (Kevin Ryan 1999:lima). Karakter baik berkaitan dengan mengetahui, menyayangi, dan melakukan yang baik. Mengetahui yang baik berarti mengetahui yang buruk pula. Mengetahui yang baik bisa diartikam juga sebagai kemampuan untuk menyimpulkan suatu keadaan dan menentukan sesuatu yang baik untuk dilakukan. Aristoteles mendefisinikan karakter yang baik menjadi tingkah laku yang benar dalam hubungannya menggunakan orang lain serta diri sendiri. Karakter adalah suatu ciri khas yang dimiliki individu yang terbentuk dari lingkungan sekitarnya. Ciri khas tersebut berupa sifat, kepribadian, dan perilaku. E. Mulyasa dalam bukunya Manajemen Pendidikan Karakter mengutip Edward Wynne sebagai berikut: Karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, curang, kejam dan rakus dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter jelek, sedangkan yang berperilaku baik, jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter baik/mulia. Menurut Kamisa dalam Adi Supriyanto dan Wahyudi karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, dan budi pekerti yang dapat membuat seseorang terlihat berbeda dari orang lain, berkarakter dapat diartikan memiliki watak dan juga kepribadian. Berbeda dengan kepribadian, karakter merupakan bagian dari kepribadian yang mewakili sikap dan keyakinan etis, moral, dan sosial manusia. Karakter lebih terlihat jelas dalam situasi tertentu di mana seseorang menerapkan keyakinannya pada situasi yang dihadapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa karakter berkembang setelah individu menghadapi tantangan lingkungan. Beberapa contoh karakter meliputi kejujuran, kesetiaan, kemurahan hati, ambisi, dan integritas. Sementara itu, kepribadian lebih kompleks dari karakter. Kepribadian juga mencakup pola pikir dan perilaku yang muncul dalam setiap situasi kehidupan. Beberapa contoh kepribadian ialah ekstraversi, neurotisisme, ketelitian, keramahan, dan kemandirian. Karakter dapat dilihat sebagai esensi seseorang, sedangkan kepribadian adalah cara orang mengekspresikan esensi tersebut. Dalam hal ini, keduanya saling bergantung. Kepribadian terdiri atas temperamen yang dimiliki sejak lahir, karakter berkembang, dan pola pikir sadar dan bawah sadar yang dihasilkan dari belajar dan berinteraksi dengan dunia di sekitar. Karakter didasarkan pada keyakinan, sedangkan kepribadian adalah cara menjalani hidup dalam setiap situasi. Baik karakter maupun kepribadian sangat penting bagi pengalaman hidup dan kesehatan. 2. KOMPONEN KARAKTER Adapun komponen dalam karakter sebagai berikut (Lickona. 2012). a) Pengetahuan Moral Pengetahuan moral termasuk hal yang penting untuk diajarkan. Keenam aspek berikut ini merupakan aspek yang menonjol sebagai tujuan pendidikan karakter yang diinginkan. b) Kesadaran Moral Aspek pertama dari kesadaran moral menggunakan pemikiran untuk melihat suatu situasi yang memerlukan evaluasi moral dan kemudian untuk berpikir tentang apa arti tindakan yang benar. c) Pengetahuan Nilai Moral Nilai-nilai moral seperti menghargai kehidupan, kemandirian, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, rasa hormat, disiplin diri, integritas, kebaikan, kasih sayang, dan dorongan adalah semua cara untuk menjadi orang baik. d) Penentuan Perspektif Merupakan kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat situasi apa adanya, membayangkan bagaimana mereka mungkin berpikir, dan bereaksi , terhadap masalah yang dihadapi. e) Pemikiran Moral Termasuk memahami apa yang dimaksud dengan moralitas dan mengapa harus menjadi aspek moral. f) Pengambilan Keputusan Mampu memikirkan cara untuk berperilaku seperti ini dalam masalah moral adalah keterampilan untuk pengambilan keputusan yang reflektif. g) Pengetahuan Pribadi Menyadari diri sendiri adalah jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk diperoleh, tapi penting untuk membangun karakter. Mengembangkan pengetahuan moral pribadi berarti mengenali kekuatan dan kelemahan karakter individu dan bagaimana kelemahan karakter tersebut. h) Perasaan Moral Sifat emosional karakter telah diabaikan dalam diskusi pendidikan moral, tetapi sangat penting dalam hal ini. Mengetahui apa yang benar tidak jaminan perbuatan baik. Adapun enam aspek yang merupakanaspek emosional yang harus dapat dirasakan seseorang untuk menjadi manusia berkarakter. i) Hati Nurani Hati nurani memiliki empat dimensi. Aspek kognitif mengetahui apa yang benar dan aspek emosional berkomitmen untuk melakukan hal yang benar. Selain memahami kewajiban moral, hati nurani yang matang juga mencakup kemampuan untuk merasa bersalah secara konstruktif. Bagi orang yang berhati nurani, moralitas harus diperhatikan. j) Harga diri Harga diri yang tinggi saja tidak menjamin karakter yang baik. Sebagai pendidik, tantangan kami adalah membantu kaum muda mengembangkan rasa diri, berdasarkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, integritas, dan kebaikan, berdasarkan keyakinan pada kemampuan mereka sendiri. k) Empati Empati adalah berempati dengan situasi orang lain dan pengalaman mereka yang terjadi dalam situasi itu. Empati memungkinkan seseorang untuk keluar dari dirinya sendiri dan menjadi orang lain. Ini adalah sisi emosional dari keputusan perspektif. l) Mencintai Hal Baik Bentuk kepribadian tertinggi mengandung sifat yang benar-benar menarik namun menonjol. Ketika orang menyukai hal yang baik, mereka akan senang melakukan hal-hal yang baik, mereka tidak hanya memiliki moral wajib tetapi juga moral aspirasional m) Kendali Diri Kontrol emosi bisa dilebih-lebihkan. Untuk alasan ini pengendalian diri adlah kebijakan moral yang diperlukan, pengendalian diri juga perlu agat tidak manja n) Kerendahan Hati Kerendahan hati adalah kebijakan moral yang diabaikan, tetapi merupakan bagian integral dari karaket yang baik o) Tindakan Moral Tindakan moral adalah hasil dari dua bagian Karakter lain. Ketika orang memiliki kualitas moral kecerdasan dan emosi, mereka dapat melakukan apa yang mereka ketahui dan merasa benar akan hal itu, dan tindakan moral itu sendiri disengaja dan menjadi suatu penilaian tentang benar dan buruk nya suatu etika untuk memahami apa yang membuat seseorang bertindak baik, kita perlu mempertimbangkan tiga aspek karakter lainnya: kompetensi, keinginan, dan kebiasaan. Adapun tindakan moral memiliki beberapa aspek: 1) Kompetensi Kompetensi moral adalah kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral menjadi tindakan moral yang efektif. Kompetensi moral juga menunjukkan kemampuan untuk memahami benar dan salah dan mengambil sikap tegas dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan norma moral. Misalnya, dalam menyelesaikan suatu masalah dalam konflik diperlukan keahlian Mengungkapkan Pendapat tanpa menyakiti lawan. 2) Keinginan Keinginan moral adalah rasa solidaritas dan kesediaan untuk saling membantu. Keinginan diperlukan untuk mengendalikan emosi, melihat, berpikir, dan melawan tekanan dan godaan. Keinginan adalah inti dari dorongan moral. 3) Kebiasaan Kebiasaan adalah bagian dari pendidikan moral. Karena ketika seseorang melakukan perbuatan baik, ia sering mendapat dorongan kebiasaan. Oleh karena itu, seseorang harus selalu dilatih dalam meningkatkan kebiasaan baik, banyak berlatih tentang bagaimana cara menjadi pribadi yang baik, serta menerapkannya dalam bertingkah laku di kehidupan. C. PENGEMBANGAN KARAKTER Pendidikan serta pengembangan karakter dapat didefinisikan menjadi segala usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Lickona (2012) menyatakan Pendidikan karakter ialah suatu perjuangan yang disengaja untuk membuat seorang agar mampu tahu, memperhatikan, dan mengamalkan nilai etika inti dengan baik. Definisi tersebut juga menekankan untuk mengikat siswa menggunakan aktivitas yang akan mengarahkan mereka dan mengantarkan mereka untuk berfikir secara kritis mengenai masalah etika serta moral, menginspirasi orang lain untuk loyal serta setia dengan tindakan etika dan moral, juga memberikan kesempatan untuk mempraktikan perilaku etika serta moral. Pengertian yang disampaikan Lickona memperlihatkan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan moral, perasaan, serta Tindakan juga memberikan dasar yang kuat untuk menciptakan pendidikan karakter yang koheren serta komprehensif. Mengetahui diri sendiri merupakan hal yang sulit, tetapi hal ini sangat penting bagi perkembangan moral serta karakter. Perkembangannya meliputi pencerahan akan kelemahan serta kelebihan diri sendiri dan bagaimana mengatasi kelemahan itu. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya dengan memperlihatkan jurnal etik atau mencatat peristiwa moral yang terjadi, bagaimana menyikapinya, serta bagaimana respon itu bisa dipertanggungjawabkan secara etika. Efektivitas pendidikan karakter ditentukan oleh pembelajaran, keteladanan, penguatan, serta pembiasaan yang dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan. Penguatan atau pendekatan yang strategis terhadap pelaksanaan ini melibatkan komponen yang berkaitan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Karakter bisa dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), kemudian pelaksanaan (acting) serta kebiasaan (habit). Pendidikan karakter menjadi upaya mendorong seseorang untuk tumbuh dan berkembang menggunakan kompetensi berfikir dan berpegang teguh di prinsip hidupnya dan berani melakukan yang benar meskipun dihadapkan pada banyak sekali tantangan. Pendidikan Karakter mempunyai 3 fungsi utama (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020) yaitu: (a) Fungsi pembentukan serta pengembangan potensi. Yaitu menghasilkan dan membuat seorang agar berpikiran, berhati, dan berperilaku baik. (b) Fungsi perbaikan serta penguatan. Yaitu memperbaiki serta memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, rakyat, serta pemerintah buat berpartisipasi serta bertanggung jawab dalam pembangunan dan pengembangan karakter yang menyugesti kemajuan bangsa. (c) Fungsi penyaringan. Maksudnya dengan pendidikan karakter bisa menentukan budaya bangsa sendiri ataupun budaya yang baik serta menyaring budaya yang tidak sesuai dengan nilai–nilai budaya dan karakter bangsa kita. Pendidikan Karakter secara jelas mempunyai beberapa tujuan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020) yaitu: (1) Mengembangkan potensi nurani atau afektif seorang agar menjadi manusia dan masyarakat negara yang mempunyai nilai-nilai karakter bangsa. (2) Memiliki kebiasaan serta perilaku yang terpuji serta sejalan menggunakan tradisi budaya bangsa. (3) Menanamkan jiwa kepemimpinan serta tanggungjawab sebagai generasi penerus bangsa. (4) Memiliki kemampuan untuk menjadi manusia yang berdikari, kreatif, serta berwawasan kebangsaan. (5) Membuat lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, amanah, menggunakan rasa kebangsaan yang tinggi serta penuh kekuatan. Nilai-nilai Pendidikan Karakter (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020) sebagai berikut. (a) Religius; Diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan lain. (b) Nasionalis; Ditunjukkan melalui apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku, dan agama. (c) Integritas; Meliputi sikap tanggung jawab, konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran, menghargai martabat individu, serta mampu menunjukkan keteladanan. (d) Mandiri; Pembelajar sepanjang hayat, mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi, dan cita-cita. (e) Gotong royong; Diharapkan peserta didik menunjukkan sikap menghargai sesama, dapat bekerja sama, inklusif, tolong menolong, memiliki empati dan rasa solidaritas. REFERENSI Ajat Sudrajat. (2022). Mengapa Pendidikan Karakter? Jurnal Pendidikan Karakter, 1(1). https://doi.org/10.21831/jpk.v1i1.1316 Akhmad Sudrajat. (2010, December 26). Pengembangan Karakter. Retrieved August 28, 2022, from Akhmad Sudrajat website: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/12/26/pengembangankarakter/ Cahyadi, Nurdin. (2019). Karakter Remaja Indonesia. Diakses dari laman https://disdik.purwakartakab.go.id/karakter-remaja-indonesia-?/karakter-remaja- indonesia Tim Detikedu. (2021). Berikut Metode Pendidikan Karakter di Sekolah. Diakses dari laman https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5531645/berikut-metode- pendidikan-karakter-disekolah Fadilah dkk. (2021). Pendidikan Karakter. Bojonegoro : Agrapana Media. Fromn,E. & Xirau,R. (1969).The Nature of Man. Mac Millan Company. London. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Pendidikan karakter. Diakses pada laman https://kemdikbud.go.id. Lickona, T. (2012). Educating for Character; Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Mohamad, Kosim. (2011). Urgensi Pendidikan Karakter. Pamekasan: STAIN Pamekasan. Mudha, Psikolog. (2021). Pendidikan Karakter – Pengertian, Urgensi, dan Contohnya. Diakses dari laman https://psikologmudha.com/pendidikan-karakter/ Mulyasa, H. E. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara Sarlito Wirawan S. (1978). Berkenalan Dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Bulan Bintang. Jakarta Serevina, Vina. (2022). Fungsi dan Tujuan Urgensi Pendidikan Bagi Pengembangan Karakter dan Budaya. diakses dari laman https://www.kompasiana.com/vina23783/621b87108700643e547ac172/fungsi- dan-tujuanurgensi-pendidikan-bagi-pengembangan-karakter-dan-budaya Soekanto, S.(1993). Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press. Stevenson, L & Haberman, D.L. (2001). Hakekat Manusia. (Alih Bahasa; Yudi Santoso dan Saud Pasaribu). Yayasan Bentang Baru. Yogyakarta Suprayitno, A. dan Wahyudi, W. (2020). Pendidikan Karakter di Era Milenial. Yogyakarta: Deepublish. Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. ____. (2013). Desain Pendidikan Karakter. Diakses 28 Agustus, 2022, dari laman https://books.google.co.id/books?id=fje2DwAAQBAJ&printsec=copyright &hl=id&source=gbs_pub_info_r#v=onepage&q&f=false BAB 2 PANDANGAN UMUM DAN TEORI PEMBENTUKAN KARAKTER SECARA MADZHAB BEHAVIORIS A. Konsep Teori Behavioristik Teori behavioristik adalah pendekatan dalam psikologi yang menekankan pada keterkaitan antara stimulus eksternal dan respons yang teramati dalam perilaku manusia. Pendekatan ini mengabaikan aspek batiniah seperti pikiran, perasaan, dan motivasi dalam memahami perilaku, dan lebih fokus pada pengamatan perilaku yang dapat diukur dan diamati secara langsung. Teori behavioristik berpendapat bahwa perilaku dapat dipelajari, dimodifikasi, dan dikendalikan melalui pengaruh lingkungan eksternal. Teori behavioristik memiliki pandangan khusus mengenai manusia yang didasarkan pada prinsip-prinsip utamanya yang menekankan perilaku yang dapat diukur dan diamati. Berikut adalah beberapa pandangan utama teori behavioristik mengenai manusia: 1) Perilaku Dapat Dipelajari: Teori behavioristik percaya bahwa perilaku manusia dapat dipelajari melalui pengalaman belajar. Individu tidak lahir dengan perilaku tertentu, tetapi mereka mengembangkan perilaku tersebut melalui interaksi dengan lingkungan. 2) Peran Lingkungan: Lingkungan eksternal memainkan peran sentral dalam membentuk perilaku manusia. Stimulus dari lingkungan menyebabkan respons yang teramati dalam bentuk perilaku. Lingkungan menyediakan penguatan (reward) dan hukuman (punishment) yang membantu membentuk dan mengarahkan perilaku. 3) Fokus pada Perilaku Teramati: Teori behavioristik hanya berfokus pada perilaku yang dapat diamati secara langsung. Aspek-aspek batiniah seperti pikiran, perasaan, dan motivasi dianggap tidak relevan dalam memahami perilaku manusia. 4) Perilaku dapat Dimodifikasi: Teori ini percaya bahwa perilaku dapat dimodifikasi atau diubah melalui penguatan positif atau negatif. Penguatan positif meningkatkan kemungkinan perilaku muncul lagi, sedangkan hukuman atau penguatan negatif mengurangi kemungkinan perilaku tersebut muncul lagi. 5) Pemodelan (Modeling): Individu cenderung meniru perilaku yang mereka lihat dari orang lain, terutama dari model atau teladan yang mereka anggap sebagai otoritas atau contoh yang baik. 6) Pentingnya Pembelajaran: Pembelajaran adalah cara utama di mana individu memperoleh perilaku dan keterampilan. Pembelajaran terjadi melalui pengulangan, latihan, dan penguatan. 7) Respons Terhadap Stimulus: Teori ini menganggap manusia sebagai makhluk yang merespons stimulus lingkungan. Respons tersebut dapat berupa gerakan fisik, tindakan, atau reaksi emosional. 8) Keterbatasan Terhadap Kemampuan Manusia: Teori behavioristik memiliki pandangan yang agak deterministik tentang manusia, di mana perilaku dipandang sebagai hasil langsung dari stimulus eksternal. Ini dapat mengabaikan peran proses kognitif dan peran individu dalam membentuk perilaku. 9) Pengaruh Kelompok dan Teladan: Teori ini mengakui peran pengaruh kelompok dan model yang ada dalam lingkungan individu. Manusia cenderung menyesuaikan perilaku mereka dengan apa yang dilihat dari orang-orang di sekitarnya. Dalam pandangan teori behavioristik, manusia dianggap sebagai produk dari lingkungan eksternal dan pembelajaran. Perilaku manusia dilihat sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons yang teramati secara langsung, tanpa memasukkan faktor-faktor internal seperti pemikiran atau emosi. Beberapa konsep kunci dalam teori behavioristik termasuk: 1) Pengkondisian: Teori behavioristik menekankan pentingnya pengkondisian, yaitu pembentukan atau perubahan perilaku melalui penguatan positif atau negatif. Dua bentuk utama pengkondisian adalah classical conditioning (pembelajaran terkondisi klasik) dan operant conditioning (pembelajaran terkondisi operan). 2) Classical Conditioning: Dalam classical conditioning, stimulus netral dihubungkan dengan stimulus yang menyebabkan respon tertentu sehingga stimulus netral ini sendiri akhirnya dapat menyebabkan respon yang sama. Contohnya adalah eksperimen Ivan Pavlov dengan anjing, di mana bunyi lonceng dihubungkan dengan pemberian makanan sehingga lonceng sendiri akhirnya dapat memicu air liur mengalir pada anjing. 3) Operant Conditioning: Dalam operant conditioning, perilaku diperkuat atau dihukum untuk memengaruhi kemungkinan perilaku tersebut muncul lagi di masa depan. Ini mengacu pada konsep penguatan positif (reward) dan penguatan negatif (hukuman) yang membentuk perilaku. B.F. Skinner adalah tokoh yang terkenal dengan konsep operant conditioning. 4) Pemodelan (Modeling): Teori behavioristik juga mengakui peran penting model atau teladan dalam pembentukan perilaku. Orang cenderung meniru perilaku yang mereka lihat dari orang lain, terutama dari individu yang dianggap sebagai otoritas atau teladan. 5) Pengaruh Lingkungan: Lingkungan eksternal memiliki pengaruh kuat dalam membentuk perilaku dan karakter manusia. Teori ini berpendapat bahwa lingkungan memberikan stimulus yang memicu respons tertentu. 6) Penggunaan Penguatan: Penguatan positif atau negatif digunakan untuk meningkatkan atau mengurangi kemungkinan perilaku muncul kembali. Penguatan positif melibatkan memberikan hadiah atau imbalan setelah perilaku, sedangkan penguatan negatif melibatkan menghilangkan atau mengurangi stimulus yang tidak diinginkan setelah perilaku. 7) Keterampilan Belajar: Teori behavioristik menekankan bahwa perilaku dan keterampilan dapat dipelajari melalui pengulangan, latihan, dan pengalaman. B. Konsep pendidikan menurut teori behavioristik Dalam konteks pendidikan, teori behavioristik memiliki pandangan yang berfokus pada peran lingkungan dalam membentuk perilaku dan pembelajaran. Berikut adalah beberapa aspek penting tentang pendidikan menurut teori behavioristik: 1) Pembelajaran melalui Pengkondisian: Teori behavioristik menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui proses pengkondisian, di mana perilaku dipelajari melalui penguatan positif atau negatif yang terkait dengan stimulus tertentu. 2) Penguatan dan Hukuman: Dalam konteks pendidikan, penguatan positif (reward) digunakan untuk meningkatkan kemungkinan perilaku atau respons yang diinginkan muncul lagi. Sebaliknya, hukuman digunakan untuk mengurangi kemungkinan perilaku tidak diinginkan muncul lagi. 3) Pemodelan (Modeling): Konsep modeling sangat penting dalam pendidikan menurut teori behavioristik. Guru atau instruktur dianggap sebagai model yang memperlihatkan perilaku yang diinginkan, dan siswa cenderung meniru perilaku yang mereka lihat. 4) Latihan dan Pengulangan: Latihan dan pengulangan memiliki peran penting dalam memperkuat pembelajaran. Semakin sering seseorang melakukan suatu tindakan atau praktik, semakin kuat koneksi antara stimulus dan respons terbentuk. 5) Tujuan Pembelajaran yang Terukur: Teori ini mendorong pembelajaran yang dapat diukur dan diamati secara langsung. Hasil pembelajaran dilihat dalam perubahan perilaku yang teramati dan dapat diukur. 6) Umpan Balik yang Jelas: Dalam pendidikan menurut teori behavioristik, umpan balik (feedback) memiliki peran penting dalam membantu siswa memahami konsekuensi dari perilaku atau tindakan mereka. Umpan balik dapat membantu memperkuat perilaku yang diinginkan atau mengarahkan perubahan perilaku. 7) Pentingnya Penguatan Positif: Penguatan positif dianggap lebih efektif dalam membentuk perilaku daripada hukuman. Memberikan pujian, penghargaan, atau hadiah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. 8) Kelas yang Teratur dan Terstruktur: Pendekatan behavioristik cenderung mendukung kelas yang terstruktur dengan aturan yang jelas dan konsekuensi yang dapat diprediksi untuk perilaku yang baik atau buruk. 9) Pembelajaran Adaptif: Prinsip penguatan positif dapat diterapkan dalam pendekatan pembelajaran adaptif di mana siswa diberikan tugas yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas, penguatan positif memberikan motivasi untuk terus belajar. 10) Peran Guru sebagai Fasilitator: Guru berperan sebagai fasilitator atau pengatur lingkungan belajar yang mendukung penguatan positif dan membantu siswa mengembangkan perilaku yang diinginkan. Namun, teori behavioristik juga memiliki kritik karena cenderung mengabaikan peran penting pemikiran, kreativitas, dan pemahaman konsep yang lebih mendalam dalam pembelajaran. Pendekatan ini lebih cocok untuk pembelajaran keterampilan praktis dan perilaku yang dapat diukur secara langsung. C. Pandangan teori behavioristik terhadap pembentukan karakter Teori behavioristik adalah pendekatan dalam psikologi yang menekankan pada pengamatan perilaku yang dapat diukur dan diobservasi secara langsung. Teori ini mengabaikan aspek batiniah seperti pikiran, perasaan, dan motivasi dalam memahami perilaku manusia. Dalam konteks karakter manusia, pandangan teori behavioristik memiliki beberapa aspek yang bisa diperhatikan: 1) Pengaruh Lingkungan: Teori behavioristik percaya bahwa karakter manusia terbentuk oleh lingkungan eksternal. Lingkungan memainkan peran penting dalam membentuk perilaku dan karakter seseorang. Lingkungan mencakup pengalaman belajar, pola interaksi sosial, dan stimulus eksternal lainnya. \ 2) Pembentukan Melalui Pembelajaran: Menurut teori behavioristik, karakter dan perilaku manusia terbentuk melalui proses pembelajaran. Individu belajar melalui penguatan (reward) dan hukuman (punishment) yang diterima sebagai respons terhadap tindakan mereka. 3) Modeling (Pemodelan) Perilaku: Teori behavioristik juga mengakui peran penting model (teladan) dalam membentuk karakter manusia. Orang cenderung meniru perilaku yang mereka lihat dari orang lain, terutama dari individu yang dianggap sebagai otoritas atau teladan. 4) Kondisioning (Pengkondisian): Teori behavioristik menyoroti konsep pengkondisian, di mana perilaku manusia dapat diubah atau dimodifikasi melalui penguatan positif atau negatif. Misalnya, penguatan positif dapat meningkatkan kemungkinan perilaku muncul lagi, sedangkan hukuman atau penguatan negatif dapat mengurangi kemungkinan perilaku tersebut. 5) Keterbatasan dalam Memahami Kompleksitas Manusia: Salah satu kritik terhadap teori behavioristik adalah keterbatasannya dalam menjelaskan aspek batiniah manusia, seperti motivasi, emosi, dan pikiran. Teori ini tidak memberikan pemahaman mendalam tentang alasan di balik perilaku atau cara manusia mengatasi dilema moral atau etika. 6) Kurang Memperhatikan Peran Individu: Teori behavioristik cenderung lebih fokus pada dampak lingkungan dan penguatan terhadap perilaku, dan kurang memperhatikan faktor internal atau peran individu dalam membentuk karakter. Ini dapat mengabaikan peran pengetahuan, nilai-nilai pribadi, dan proses berpikir dalam pengembangan karakter. 7) Penekanan pada Perubahan Perilaku: Teori behavioristik cenderung lebih fokus pada perubahan perilaku yang dapat diobservasi dan diukur secara konkret. Ini dapat membuatnya kurang relevan dalam menjelaskan karakter yang lebih kompleks dan berkaitan dengan aspek moral, etika, dan nilai-nilai. Secara keseluruhan, teori behavioristik memiliki pandangan yang sangat mekanis dan eksternal terhadap karakter manusia. Sementara teori ini memiliki kontribusi dalam memahami bagaimana pembelajaran dan lingkungan mempengaruhi perilaku, ia cenderung kurang memperhatikan dimensi-dimensi internal yang penting dalam membentuk karakter dan moralitas manusia. BAB 3 TEORI DAN PANDANGAN TOKOH BEHAVIORISTIK DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER Beberapa tokoh utama dalam pengembangan teori behavioristik adalah: A. Ivan Pavlov (1849–1936) Pavlov adalah seorang ilmuwan Rusia yang terkenal dengan penelitiannya tentang pembelajaran terkondisi (classical conditioning). Ia melakukan eksperimen dengan anjing untuk mengamati bagaimana stimulus tertentu dapat menghasilkan respon yang terkait secara otomatis. Ivan Pavlov, seorang ilmuwan Rusia yang terkenal dengan penelitiannya tentang pembelajaran terkondisi (classical conditioning), tidak secara langsung mengembangkan teori pembentukan karakter. Namun, konsep pembelajaran terkondisi yang dia teliti memiliki implikasi terhadap bagaimana individu bisa mengembangkan perilaku dan respons tertentu yang pada akhirnya dapat memengaruhi karakter mereka. Pavlov memusatkan penelitiannya pada bagaimana stimulus tertentu bisa menghasilkan respons yang terkait secara otomatis, bahkan tanpa adanya pengalaman langsung sebelumnya. Eksperimennya dengan anjing mengenai conditioning membuat kita memahami bagaimana pengkondisian dapat mempengaruhi perilaku. Ini juga bisa diterapkan pada pembentukan karakter: a. Pembentukan Asosiasi: Konsep utama dalam pembelajaran terkondisi adalah pembentukan asosiasi antara stimulus netral dan stimulus yang sudah ada. Misalnya, Pavlov mengaitkan bunyi lonceng dengan pemberian makanan, sehingga bunyi lonceng sendiri akhirnya bisa memicu respons air liur pada anjing. Dalam konteks karakter, pembentukan asosiasi antara situasi tertentu dan respons atau tindakan dapat membentuk bagaimana individu bertindak dalam situasi tersebut. b. Penguatan dan Hukuman: Pavlov juga mengamati bahwa respons bisa diperkuat atau dilemahkan melalui penguatan (reward) atau penghilangan penguatan (punishment). Dalam pembentukan karakter, penguatan positif atau hukuman bisa memengaruhi respons atau perilaku individu terhadap situasi tertentu. c. Proses Pembelajaran yang Berkelanjutan: Pembelajaran terkondisi adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan pengulangan dan pengkondisian ulang untuk menguatkan atau mengubah asosiasi yang ada. Hal ini juga dapat diterapkan dalam pembentukan karakter, di mana respons terhadap situasi tertentu dapat berkembang dan berubah seiring waktu. Penting untuk diingat bahwa konsep-konsep Pavlov tentang pembelajaran terkondisi lebih terfokus pada aspek-aspek perilaku yang lebih sederhana daripada karakter yang kompleks. Namun, implikasi dari penelitiannya tetap memiliki relevansi dalam memahami bagaimana pengalaman dan pembelajaran dapat membentuk respons dan perilaku manusia, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pembentukan karakter. B. John B. Watson (1878–1958) Watson dianggap sebagai bapak dari aliran behaviorisme dalam psikologi. Ia percaya bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh pembelajaran dan bahwa perasaan dan pikiran tidak relevan dalam pemahaman perilaku manusia. John B. Watson, seorang psikolog Amerika yang merupakan salah satu pendiri aliran behaviorisme, memiliki pandangan yang berpengaruh terhadap bagaimana karakter individu dapat terbentuk melalui proses pembelajaran dan interaksi dengan lingkungan eksternal. Meskipun Watson lebih fokus pada perilaku terukur daripada karakter, konsep-konsep dalam pandangannya tetap dapat diterapkan dalam konteks pembentukan karakter. Berikut adalah beberapa aspek dari pandangan Watson mengenai pembentukan karakter: a. Determinisme Lingkungan: Watson percaya bahwa individu lahir sebagai "tabula rasa" (lembaran kosong) dan bahwa karakter dan perilaku manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan eksternal. Ini berarti bahwa karakter individu tidak memiliki predisposisi bawaan, melainkan terbentuk melalui pengalaman belajar dari lingkungan. b. Pengkondisian: Watson berpendapat bahwa karakter manusia terbentuk melalui proses pengkondisian. Dia menekankan bahwa manusia bisa diubah dan dibentuk melalui penguatan positif dan negatif yang mereka alami dalam interaksi dengan lingkungan. c. Peran Teladan (Modeling): Watson mengakui pentingnya peran orang-orang di sekitar dalam membentuk karakter seseorang. Individu cenderung meniru perilaku yang mereka lihat dari orang lain, terutama dari model atau teladan yang mereka anggap sebagai otoritas. d. Pentingnya Pembelajaran: Watson mendukung pandangan bahwa karakter manusia terbentuk melalui proses pembelajaran. Lingkungan memberikan stimulus yang menyebabkan respons tertentu, dan respons ini dapat diperkuat atau dilemahkan melalui penguatan atau hukuman. e. Perubahan Perilaku Melalui Lingkungan: Menurut Watson, karakter dan perilaku individu bisa diubah dan dimodifikasi melalui manipulasi lingkungan. Ini berarti bahwa dengan mengubah lingkungan dan penguatan yang diberikan, individu bisa mengembangkan karakter yang berbeda. f. Pentingnya Pendidikan dan Pengasuhan: Watson menggarisbawahi peran pendidikan dan pengasuhan dalam membentuk karakter anak. Dia percaya bahwa orangtua dan pengasuh memiliki pengaruh besar dalam membentuk respons dan perilaku anak melalui penguatan positif dan negatif. g. Pengaruh Terhadap Emosi dan Karakter: Meskipun Watson lebih fokus pada perilaku teramati daripada aspek batiniah, pendekatannya dapat memberikan pandangan tentang bagaimana interaksi dengan lingkungan dan pembelajaran dapat membentuk respons emosional dan karakteristik individu. Pandangan Watson menyoroti pentingnya lingkungan dan proses pembelajaran dalam membentuk karakter manusia. Meskipun pendekatannya lebih mekanis dan lebih terfokus pada perilaku teramati, konsep-konsep ini masih memiliki implikasi yang relevan dalam pembentukan karakter dan respons individu terhadap dunia di sekitarnya. C. B.F. Skinner (1904–1990) Skinner adalah salah satu tokoh paling terkenal dalam teori behavioristik. Ia mengembangkan konsep operant conditioning, yang merupakan pendekatan di mana perilaku diperkuat atau dihukum untuk memengaruhi kemungkinan perilaku tersebut muncul lagi di masa depan. B.F. Skinner, seorang psikolog dan ilmuwan perilaku Amerika, mengembangkan konsep operant conditioning yang memiliki implikasi dalam pembentukan karakter. Meskipun Skinner lebih berfokus pada pembentukan perilaku daripada karakter, prinsip-prinsip yang dia kembangkan dapat memberikan pandangan tentang bagaimana karakter individu dapat terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan. Berikut adalah beberapa aspek dari pandangan Skinner mengenai pembentukan karakter: a. Operant Conditioning: Skinner mengembangkan teori operant conditioning, yang mengatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh konsekuensi dari perilaku tersebut. Penguatan positif dan negatif memainkan peran penting dalam membentuk atau mengubah perilaku individu. b. Penguatan dan Hukuman: Skinner mengemukakan bahwa perilaku yang diperkuat atau diikuti oleh penguatan positif cenderung terulang dan dikuatkan. Sebaliknya, perilaku yang diikuti oleh hukuman cenderung berkurang atau dihindari. c. Shaping (Pembentukan): Skinner mengenalkan konsep "shaping," di mana perilaku yang mendekati perilaku yang diinginkan diperkuat secara bertahap hingga mencapai perilaku yang diinginkan. Konsep ini relevan dalam pembentukan karakter, di mana karakteristik positif dapat dikuatkan melalui penguatan. d. Pemodelan (Modeling): Meskipun lebih dikenal dengan konsep operant conditioning, Skinner juga mengakui peran modeling dalam pembentukan perilaku. Individu cenderung meniru perilaku orang lain, yang dapat berkontribusi pada pembentukan karakter. e. Pendidikan dan Lingkungan: Skinner percaya bahwa karakter dan perilaku manusia dapat dibentuk melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan yang menyediakan penguatan positif dapat membantu membentuk karakter yang diinginkan. f. Peran Konsekuensi: Menurut Skinner, karakter individu dapat terbentuk melalui pengalaman konsekuensi dari perilaku yang mereka tunjukkan. Penguatan positif dapat membantu mengembangkan karakteristik yang diinginkan, sedangkan hukuman dapat membantu mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. g. Pentingnya Kontrol Lingkungan: Salah satu konsep utama dalam teori Skinner adalah memberikan individu kontrol atas lingkungan mereka. Jika individu dapat mengendalikan konsekuensi dari perilaku mereka sendiri, mereka dapat memengaruhi pembentukan karakter mereka. Pandangan Skinner menunjukkan betapa pentingnya lingkungan dan konsekuensi dalam membentuk perilaku individu. Meskipun teorinya lebih berfokus pada pembentukan perilaku yang teramati, prinsip-prinsip yang dikembangkannya dapat memberikan wawasan tentang bagaimana karakter juga dapat terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungan. D. Edward Thorndike (1874–1949) Thorndike merupakan tokoh yang mengembangkan teori hukum efek dan hukum latihan. Ia juga memperkenalkan istilah "puzzle box" dalam penelitiannya tentang pembelajaran kucing. Edward Thorndike, seorang psikolog Amerika, mengembangkan beberapa konsep yang dapat berkontribusi pada pemahaman tentang pembentukan karakter. Salah satu konsep utama yang dia kembangkan adalah hukum efek (law of effect), yang memiliki implikasi dalam pembentukan respons dan karakteristik tertentu. Meskipun Thorndike lebih terfokus pada pembelajaran terkait perilaku daripada karakter, prinsip-prinsip yang dia ajukan dapat memberikan pandangan tentang pembentukan karakter. Berikut adalah beberapa aspek dari pandangan Thorndike mengenai pembentukan karakter: a. Hukum Efek (Law of Effect): Thorndike mengemukakan bahwa perilaku yang diikuti oleh konsekuensi positif cenderung dikuatkan dan terulang, sementara perilaku yang diikuti oleh konsekuensi negatif cenderung ditekan atau dihindari. Prinsip ini dapat diterapkan dalam pembentukan karakter, di mana karakteristik positif dikuatkan melalui konsekuensi positif. b. Penguatan dan Hukuman: Seperti hukum efek, konsep penguatan positif dan hukuman juga berperan dalam pembentukan karakter. Penguatan positif dapat membantu memperkuat karakteristik yang diinginkan, sedangkan hukuman dapat membantu mengurangi karakteristik yang tidak diinginkan. c. Pemodelan (Modeling): Thorndike mungkin lebih terkenal dengan konsep hukum efek, tetapi dia juga mengakui peran penting model dalam pembelajaran. Individu cenderung meniru perilaku orang lain, yang juga dapat memengaruhi pembentukan karakter. d. Asosiasi Stimulus-Respons (S-R): Pandangan Thorndike yang lebih umum tentang pembelajaran adalah bahwa individu mengembangkan hubungan antara stimulus dan respons melalui pengalaman belajar. Ini dapat menginformasikan bagaimana karakter dapat terbentuk melalui pembelajaran dan interaksi dengan lingkungan. e. Pembelajaran Melalui Pengalaman: Thorndike menekankan pentingnya pengalaman dalam pembelajaran. Individu dapat mengembangkan karakter melalui paparan terhadap situasi tertentu dan respons yang mereka kaitkan dengan situasi tersebut. f. Respons Terhadap Konsekuensi: Karakteristik individu dapat terbentuk melalui respons mereka terhadap konsekuensi dari perilaku atau tindakan mereka. Konsekuensi positif dapat menguatkan karakteristik yang diinginkan. g. Pengulangan dan Latihan: Seperti konsep pembelajaran lainnya, pengulangan dan latihan memiliki peran dalam memperkuat karakteristik melalui pembentukan asosiasi stimulus-respons. Meskipun konsep-konsep Thorndike lebih terfokus pada pembentukan perilaku yang teramati, implikasi dari pandangannya dapat memberikan wawasan tentang bagaimana karakter juga dapat terbentuk melalui proses pembelajaran dan interaksi dengan lingkungan. E. Albert Bandura (1925–2021) Meskipun lebih dikenal dengan teorinya tentang teori belajar sosial (social learning theory), Bandura juga memiliki pengaruh dalam pengembangan teori behavioristik. Teori belajar sosialnya menekankan peran model dalam pembentukan perilaku. Albert Bandura, seorang psikolog sosial terkenal, mengembangkan teori belajar sosial (social learning theory) yang memiliki dampak signifikan dalam memahami pembentukan karakter dan perilaku manusia. Teori ini menggabungkan elemen dari behaviorisme dengan faktor-faktor kognitif dan sosial. Berikut adalah beberapa aspek pandangan Bandura mengenai pembentukan karakter: a. Modeling (Pemodelan): Konsep modeling merupakan inti dari teori belajar sosial. Bandura berpendapat bahwa manusia belajar melalui mengamati orang lain dan meniru perilaku mereka. Model atau teladan dapat memengaruhi pembentukan karakter melalui transmisi nilai-nilai, norma, dan perilaku yang diamati. b. Proses Belajar: Bandura mengajukan bahwa individu tidak hanya belajar melalui penguatan dan hukuman, tetapi juga melalui pengamatan dan imitasi. Ini berarti bahwa karakter dan perilaku individu dapat terbentuk melalui proses observasi dan replikasi perilaku yang mereka lihat. c. Peran Kognisi dan Persepsi: Teori belajar sosial menyoroti peran penting kognisi dalam pembelajaran. Bandura mengemukakan bahwa individu tidak hanya meniru perilaku, tetapi juga memproses informasi tentang konteks, konsekuensi, dan hasil dari perilaku tersebut. d. Self-Efficacy: Konsep self-efficacy, atau keyakinan dalam kemampuan diri sendiri, merupakan aspek penting dalam teori Bandura. Individu yang memiliki self- efficacy yang tinggi lebih cenderung mengembangkan karakter yang kuat dan percaya diri dalam menghadapi tantangan. e. Penguatan Diri (Self-Reinforcement): Bandura menekankan bahwa individu tidak hanya membutuhkan penguatan eksternal, tetapi juga dapat memberikan penguatan kepada diri sendiri. Ini berarti bahwa karakteristik yang diinternalisasi dapat diperkuat melalui penghargaan diri sendiri atau merasa puas dengan prestasi. f. Pengaruh Lingkungan dan Keterlibatan Pribadi: Teori ini mengakui bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter, tetapi juga menyoroti peran aktif individu dalam proses pembelajaran. Keterlibatan pribadi dan interpretasi individu terhadap lingkungan juga memainkan peran penting dalam pembentukan karakter. g. Pentingnya Observasi dan Interaksi Sosial: Bandura menekankan pentingnya observasi dan interaksi sosial dalam pembentukan karakter. Lingkungan sosial dan pengaruh dari orang-orang di sekitar dapat membentuk nilai-nilai, norma, dan sikap individu. h. Proses Pembelajaran yang Berkelanjutan: Teori ini menganggap pembelajaran sebagai proses berkelanjutan sepanjang hidup. Karakter dapat terbentuk melalui interaksi dan pembelajaran yang terus-menerus dengan lingkungan dan orang lain. Dalam teori belajar sosial Bandura, pembentukan karakter bukanlah hasil dari faktor tunggal, tetapi merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor-faktor kognitif, sosial, dan lingkungan. Pandangan ini memberikan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana individu dapat mengembangkan karakter dan perilaku melalui interaksi dengan dunia di sekitar mereka. F. Clark L. Hull (1884–1952) Hull dikenal karena teorinya tentang drive reduction theory, yang mencoba menjelaskan bahwa motivasi muncul dari kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mengurangi ketegangan atau "drive". Clark L. Hull adalah seorang psikolog Amerika yang mengembangkan teori drive reduction (teori pengurangan dorongan) dalam psikologi. Meskipun Hull lebih terkenal dengan konsep motivasi dan teori pengurangan dorongan, ada beberapa elemen dalam pandangannya yang dapat dihubungkan dengan pembentukan karakter. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan Hull lebih terfokus pada aspek motivasi dan pembelajaran daripada karakter secara langsung. Berikut adalah beberapa aspek pandangan Hull yang relevan dalam konteks pembentukan karakter: a. Teori Pengurangan Dorongan: Hull mengemukakan bahwa motivasi muncul dari kebutuhan biologis atau dorongan yang perlu dipenuhi untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan atau dorongan. Misalnya, rasa lapar akan memicu dorongan untuk mencari makanan guna mengurangi kebutuhan ini. b. Pembelajaran melalui Asosiasi: Hull mengemukakan bahwa pembelajaran terjadi melalui pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons. Hal ini dapat berdampak pada bagaimana karakter individu terbentuk melalui pembelajaran dan pengalaman. c. Reinforcement (Penguatan): Hull mengakui peran penting penguatan dalam pembelajaran. Penguatan positif dapat memperkuat respons atau perilaku tertentu, dan hal ini juga dapat memengaruhi bagaimana karakteristik tertentu dapat terbentuk. d. Drive dan Dorongan: Teori Hull tentang drive reduction menyoroti pentingnya kebutuhan biologis dan dorongan dalam membentuk perilaku. Dalam konteks karakter, dorongan untuk memenuhi kebutuhan tertentu juga dapat memengaruhi bagaimana karakter individu berkembang. e. Keteraturan dan Konsistensi: Hull menekankan pentingnya keteraturan dan konsistensi dalam pembelajaran. Respons yang dikuatkan secara konsisten cenderung lebih persisten, yang juga dapat memengaruhi pembentukan karakteristik yang konsisten. f. Pemenuhan Kebutuhan dan Kepuasan: Pandangan Hull menekankan bahwa individu akan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan dan mengurangi dorongan. Ini juga dapat berhubungan dengan bagaimana karakteristik yang mendukung pemenuhan kebutuhan dan kepuasan dapat terbentuk. Meskipun konsep-konsep dalam pandangan Hull dapat memberikan wawasan tentang bagaimana pembentukan karakter dapat dipahami melalui lensa motivasi dan pembelajaran, teori ini lebih fokus pada aspek-aspek pembelajaran dan motivasi daripada karakter dengan sendirinya. Tokoh-tokoh ini berkontribusi dalam pengembangan teori behavioristik dan masing-masing memiliki pendekatan unik dalam memahami perilaku dan karakter manusia serta proses pembelajaran. BAB 4 PANDANGAN UMUM DAN TEORI PEMBENTUKAN KARAKTER SECARA MADZHAB KOGNITIF A. Pengertian Teori Kognitif Kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu yang mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya, kognisi fokus pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan kreatifitas (Elliott,et.al.,1996:238) serta peran struktur mental atau pengorganisasiannya dalam proses mengetahui sesuatu (Lefrancois,1988:55). Tekanan utama pendekatan psikologi kognitif terletak pada bagaimana informasi diproses dan disimpan; ini tentu berbeda dengan pendekatan psikologi behavioristik yang fokus pada tingkah laku dalam kontek lingkungan dan kosekuensinya. Dengan demikian, psikologi kognitif, menurut Phye&Andre, adalah studi tentang struktur kognisi dan komponennya dalam memproses informasi (Elliott,et.al.,1996:238). Konsep kognitif pembelajaran, menurut Shuell, telah berpengaruh besar pada pembelajaran berupa pemberian kesadaran yang tinggi pada pendidik betapa pentingnya pengaruh pengetahuan awal (entry behavior) siswa dan strategi penguatan memori mereka terhadap pembelajaran mereka saat ini (Elliottet.al.,1996:241). Berikut dipaparkan beberapa teori pembelajaran kognitif yang relevan dengan kurikulum. B. Aspek-aspek Kegiatan Pembelajaran Aliran Kognitif-Kontruktivis Hakekat belajar menurut aliran ini sebagai suatu aktivitas yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Adapun aspck-aspek dalam kegiatan pembelajaran yang berlandaskan aliran kognitifkonstruktivisme adalah : 1. Belajar. Belajar merupakan usaha pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannva melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Belajar menurut aliran ini adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk perilaku yang dapat diamati dan dapat diukur. 2. Pembelajaran. Kegiatan pembelajaran menekankan pada proses daripada hasil. Pemberian makna terhadap objeklmateri yang dipelajari atau pengalaman yang diperoleh oleh individu/peserta didik melalui interaksi dengan jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. 3. Evaluasi. Evaluasi proses dan basil belajar peserta didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas pckerjaan. Bentukbentuk evaluasi bisa berbentuk tugastugas otentik atau berbagai penilaian alternatif selain rnenggunakan paper and pencil test di akhir pembelajaran. 4. Peserta didik Pembentukan pengetahuan hares dilakukan oleh peserta didik, maka is hares aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal yang dipelajarinya.Siswa dipandang sudah inemiliki pengetahuan awal sebelum rnempelajari sesuatu. 5. Pendidik/guru. Guru tidak mendominasi pembelajaran, tetapi membantu proses pengkonstruksian pengetahuan peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang dim ilikinya, melainkan membantu peserta didik membentuk pengetahuannya sendiri. Peran kunci guru adalah pengendalian, yang meliputi : a. menumbuhkan kemandirian peserta didik dengan menyediakan kesempatan untuk mnengambil keputusan dan bertindak. b. menumbulikan kemampuan peserta didik mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik c. menyediakan sistcm dukungan yang memberikan keinudahan belajar agar peserta didik mempunyai peluang optimal untuk berlatih. Karakteristik pembelajaran yang dilakukan guru adalah : a. membebaskan peserta didik dari belenggu kurikulum ; b. mencmpatkan peserta didik sebagai kekuatan timbulnya interes ; c. bersama peserta didik mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah komplit ; d. proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang komplit dan tidak mudah dikelola. 6. Lingkungan belajar. Lingkungan belajar merupakan kondisi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan pembelajaran. Aliran kognitifkonstruktivis rnenekankan bahwa kegiatan pembelajaran yang penting adalah aktivitas peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Jadi lingkungan belajar dipilih yang mendukung munculnya berbagai aktivitas belajar peserta didik. C. Pengembangan kognitif Siswa Setelah bertahun-tahun mengobsevasi anak semua umur, Jeane Piaget menyimpulkan bahwa pengembangan kognisi berlangsung dalam empat tingkat. Masing-masing tingkat berkembang berdasarkan kemampuan tingkat sebelumnya dan masing-masing tingkat ditandai kemunculan kemampuan baru yang direorganisir dalam pikiran anak (Elliott et.al.,1996:84;Slavin,1994:31). Fungsi kognitif mulai dari respon anak terhadap fenomena konkrit: bayi mengetahui sesuatu melalui apa yang ia sentuh, rasa, atau lihat. Berdasarkan itu, Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan tergantung pada manipulasi anak terhadap, dan interaksinya dengan, lingkungan yang memfasilitasi anak mengetahui sesuatu sebagai hasil perbuatannya pada lingkungan. Dengan kata lain, pendekatan Piaget bertumpu pada kajian bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungan yang memicu pengembangan kemampuan dan struktur kognitif anak. Menurut Piaget, keempat tingkat pengembangan kognitif anak dan adolesen adalah: (1) Sensorimotor stage (lahir-2 tahun), formasi konsep objek yang gradual berkembang dari tingkah laku reflek ke tingkah laku bertujuan; anak sudah bisa melihat hubungan sederhana antara objek sejenis; (2) Preoperational stage (2-7 tahun), kemampuan memakai simbol sebagai representasi objek; anak mulai memahami konsep yang lebih kompleks melalui pengalaman; (3) Concrete operations stage (7-11 tahun), peningkatan kemampuan berpikir logis dan mulai memanipulasi data dalam pemecahan masalah asalkan ada keterlibatan objek yang konkrit atau sudah punya pengalaman sebelumnya; anak belum bisa berpikir abstrak; dan (4) Formal operations stage (11 tahun-dewasa), pengembangan operasi formal dan abstrak sudah bisa dilakukan anak yang ditandai kemampuan berpikir abstrak dan simbolik; masalah dapat dipecahkan melalui eksperimentasi sistemnatik (Slavin,1994:34;Ornstein&Hunkins, 2013:102-03). Perlu dijelaskan bahwa istilah ”operasioanal” yang dimaksud Piaget pada tingkat-tingkat pengembangan kognitif ialah perbuatan atau aktifitas mental yang kita lakukan. Sedangkan istilah preoperasions mengacu pada keadaan anak yang sudah mulai memakai simbol, tetapi belum mampu secara mental memanipulasinya seperti yang disebutkan dalam konteks pre-operasions di atas (Elliott et.al.,1996:90). Piaget menyatakan bahwa manusia mewarisi metode berfungsinya aspek intelektual yang memungkinkan kita merespon lingkungan kita dengan membentuk struktur kognitif. Esensi teori Piaget adalah bagaimana anak-anak dan adolesen mengorganisir pikiran dan tingkah laku serta bagaimana pikiran dan perangai itu berubah sementara tumbuh (Slavin,1994:32). Selanjutnya Slavin menjelaskan bahwa pola tingkah laku atau pola pikir yang dipakai anak dan orang dewasa menghadapi objek di dunia (disebut ”skemata”) berkisar dari yang sederhana (seperti bayi yang dapat meraba suatu objek yang dekat dari tempatnya) sampai ke yang kompleks (seperti anak SMA mnyelesaikan suatu masalah matematika yang rumit). Selain itu, skemata dapat pula dikategiorikan sebagai behavioral (memegang benda, mengendara mobil) atau kognitif (pemecahan masalah, kategorisasi konsep- konsep). Menurut Piaget, kita memakai skemata yang telah kita kembangkan dalam mengkaji berbagai fenomena yang kita temui dalam lingkungan kita sehingga kita dapat mengetahui hakekat tiap fenomena tersebut. Anak baru lahir berupaya untuk mencari dan merespon stimulus, yang lama kelamaan, mengembangkan kumpulan tingkah laku dan kemampuan (Lefrancois, 1988:181). Kumpulan ini mulanya mengandung tingkah laku sederhana dan reflek seperti memegang, menyentuh atau mengulum (sucking) yang secara gradual menjadi lebih kompleks, terkoordinasi dan bertujuan. Proses ini dikenal dengan ”adaptasi” melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah terminologi Piaget untuk mendeskripsikan cara manusia memahami lingkungannya; sedangkan akomodasi mengacu perubahan struktur kognitif sebagai modifikasi atas respon tertentu. Proses adaptasi merupakan inti teori belajar Piaget. Siswa mengelaborasi materi atau informasi baru dan materi atau informasi yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Kemudian diikuti proses modifikasi agar materi baru itu serasi dengan materi lama yang menghasilkan respon struktur kognitif siswa terhadap materi baru sampai materi baru dan lama berasimilasi. Proses selanjutnya ialah proses equilibration yaitu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi (Elliott et.al.,1996:84). Dalam memahami materi baru, selain mengasimilasi materi lama (schemata) dan materi baru, struktur kognitif siswa juga melakukan akomodasi seperlunya sampai timbul keseimbangan (ekuiliberasi) antara kedua materi itu yaitu keseimbangan antara pemahaman siswa terhadap materi lama dan pengalaman baru dengan materi baru. Ini berarti asimilasai bukan sekadar mengambil informasi baru tetapi juga menyaring atau memodifikasi informasi baru sampai serasi dengan informasi yang sudah diketahui. Asimilasi dan akomodasi adalah suatu proses yang integral, bukan terpisah atau berdiri sendiri, karena keduanya merupakan proses yang memungkinkan timbulnya adaptasi. Dalam istilah Piaget, siswa telah mulai mengakomodasi karakteristik objek atau materi baru (Lefrancois,1988:181). Kesimpulkan, semua kegiatan manusia melibatkan asimilasi dan akomodasi; akomodasi memerlukan asimilasi yang melibatkan perubahan pada skemata berupa pengalaman baru. Hal ini disebabkan asimilasi saja tidak mampu menangani situasi dan masalah baru dalam konteks struktur kognitif yang ada. Dari teori Piaget yang fokus pada perkembangan kognitif bayi, beberapa implikasi teori itu berlaku juga pada pembelajaran dalam kelas. Khusus terkait pendidikan pra-sekolah, implikasi teori Piaget ialah perlu menyediakan bermacam objek dengan berbagai ragam warna, bentuk dan ukuran. Dengan bantuan objek tersebut, anak mengaktifkan indera dan badan mereka; dengan menyentuh, memegang atau merangkak, mereka dapat mengenal lingkungan (Elliott et.al.,1996:88). Sedangkan menurut Ausubel (1968) siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut pengatur kemajuan (belajar)‖ (advance organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (Degeng I Nyoman Sudana, 1989:115). Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya bahwa advance organizers dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni: 1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa; 2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa ―saat ini‖ dengan apa yang ―akan‖ dipalajari siswa; 3. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Oleh karena itu, pengetahuan guru tehadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikan seseorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel ―sangat abstrak, umum dan inklusif‖, yang mewadahi apa yang akan diajarkan selain itu logika berfikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berfikir yang baik, guru akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami DAFTAR PUSTAKA Asri Budiningsih. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. BaharudinEsa Nur. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran.Yogyakarta : Ar-Ruz Media. Djaali. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Dahar, Ratnawilis.1996. Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga. Degeng, 1. N. S. 1989. Ihnu Pengajaran Taksononii Variahel. Jakarta : Depdikbud, Dirjcn Dikti, P2LPTK. Moh. Ansyar. 2013. Kurikulum Pendidikan. Padang: UNP Muhaimin, et. a!. 2000. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Cet. II. Bandung : Remaja Rosda Karya. Sanjaya. Wina. 2006. Strategi Penthelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana. BAB 5 TEORI DAN PANDANGAN TOKOH KOGNITIF DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER Pendidikan bertujuan melahirkan peserta didik yang baik, yang merupakan peserta didik yang tumbuh dan berkembang dalam karakter yang baik, tumbuh dan berkembang dengan segala potensi, kapasitas dan komitemen untuk melakukan yang terbaik serta dilakukan secara benar dan memiliki kecenderungan untuk tujuan hiup. Karakter akan terbentuk di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang memungkinkan semua peserta didiknya menunjukkan potensinya guna mencapai tujuan yang sangat penting dalam hidupnya. Bayak tokoh dan filusuf mashur memiliki pandangan mengenai terbentuknya karakter. Piaget, Vygotsky, dan Bruner yang merupakan tokoh aliran kognitif juga memiliki teori dan pandangan tentang bagaimana terbentuknya karakter. 1. Piaget Piaget (1896 -1980) tokoh aliran kognitif banyak mengembangkan teori perkembangan manusia. Salah satu teorinya yang terkenal yaitu mengenai perkembangan kognitif dan teori perkembangan moral. Teori moral yang dikembangkan Piaget bertujuan agar manusia dalam setiap kehidupannya mampu bersosialisasi, menempatkan diri dan mengikuti aturanyang ditetapkan. Moral ini menurut Piaget yang bertugas mengoperasikan intelegensi atau karakter. Selain itu, Piaget diantaranya juga memaparkan mengenai hakikat dari kecerdasan atau intelegensi. Ia pun menjelaskan mengenai hakikat dari Intelegensi, yaitu ada yang sifatnya operatif, dan figuratif. Piaget menuliskan bahwa fungsi kognitif (berpikir/intelegensi) adalah untuk memahami realitas, dan fungsi Moralitas diperlukan untuk menghadapi realitas tersebut dan bertindak atas dasar moral tersebut. Menurut Piaget (dalam Hidayat, 2004:33), masa anak berusia 3 – 6 tahun termasuk dalam tahapan hateronomous. Pada tahapan tersebut penalaran anak terhadap moral masih sangat labil, mudah terbawa arus, dan mudah terpengaruh. Oleh karena itu, guru sangat berperan dalam memberikan pendidikan moral baik dengan contoh prilaku maupun dengan pemberian wawasan melalui kegiatan yang dapat diterima oleh anak. Salah satu kegiatan yang disenangi anak adalah kegiatan bercerita. Rata-rata semua anak di dunia ini senang mendengarkan cerita karena sifat dasar anak adalah selalu ingin tahu hal-hal baru. Melalui kegiatan bercerita, guru dapat memberikan pendidikan karakter melalui cerita-cerita keteladanan dan membandingkan sifat yang baik dengan yang buruk atau yang benar dan salah menurut norma-norma moral. Anak-anak sejak dini perlu diajarkan norma dan aturan yang berlaku, baik agama dan sosial agar memiliki sikap dan moral yang baik. Piaget dalam Masganti (2012) menyatakan bahwa anak-anak berpikir dengan dua cara yang sangat berbeda mengenai moralitas tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka. Piaget juga mengemukakan bahwa seorang manusia dalam kehidupannya akan mengalami dua rentangan perkembangan moral yaitu : a. Tahap heteronomous yang merupakan cara berpikir anak tentang keadilan peraturan yang bersifat objektif yang berarti tidak boleh diubah dan tidak dapat ditiadakan oleh manusia. Menurut Piaget pada tahap ini, ada dua hal penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak. Faktor pertama adalah struktur kognitif anak. Pada tahap ini pemikiran anak masih bersifat egosentris. Egosentris dalam diri anak akan mendorongnya melakukan tindakan yang berdasarkan keinginannya sendiri. Faktor kedua yang berkontribusi terhadap perkembangan moral anak adalah hubungan sosial kekeluargaan dengan orang dewasa. Secara natural otoritas dalam hubungan antara anak-anak dan orang dewasa adalah hubungan kekuasaan dari atas ke bawah. b. Tahap autonomous yaitu anak mulai menyadari adanya kebebasan untuk tidak sepenuhnya menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar dirinya. Tahapan pendidikan moral anak memberikan arahan tentang nilai apa yang harus diberikan kepada anak sesuai dengan tahap pembelajarannya. Selain mengetahui tahapan pendidikan anak dari sisi psikologis, orang tua dan guru harus dapat mengajarkan nilai-nilai agama yang sesuai dengan usia anak. Nilai dan ajaran agama memberikan informasi apa yang harus dikerjakan oleh seorang anak. Orang tua dan guru perlu memberikan arahan dan pendampingan sehingga mereka prilaku dan tindakan yang baik baik dari sisi sosial maupun agama. Perkembangan moral yang menjadi alat ukur tinggi dan rendahnya moral, bila moral pada anak mengalami perkembangan yang mengalami perubahan pada kualitas dan kemampuan yang dimiliki, perhatian terhadap peraturan dan konvensi harus dilakukan dalam interaksi anak kepada orang lain. Piaget (Maharani, 2014) manyampaikan 3 fase perkembangan moral anak yaitu : a. Fase Absolut yang merupakan fase dimana anak dapat menghayati peraturan- peraturan sebagai suatu hal yang mampu diubah karena bersumber dari pengaruh yang di hormatinya. b. Fase Realitas yang merupakan fase dimana anak dapat menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan dari orang lain. Peraturan yang dianggap bisa diubah, oleh karena itu mereka menyetujui perubahan jujur yang sudah disetujui bersama, sekaligus merasa bertanggung jawab untuk mentaatinya. c. Fase Subyektif yang merupakan fase dimana anak lebih mencermati motif atau kesengajaan pada penilaian perilaku Pengembangan moral anak merupakan bagian dari pembebasan diri anak dari ketergantungan orang tua. Dengan berinteraksi bersama secara luas anak akan mampu memahami pandangan dari orang lain dengan beragam aturan bagi kehidupan bermoral. Piaget merupakan ilmuan sekalugus filusuf yang mashur lebih jauh juga memaparkan tahap - tahap perkembangan moral sebagai hasil penilitannya tentang anak-anak, yaitu: a. Tahap Moralitas Heterogen Tahap ini, anak berusia 4-7 merupaka tahap pertama anak mengalami perkembangan moral. Pada tahap ini anak berfikir keadilan dan peraturan ialah perangkat dunia yang tidak dapat diubah daan diatur oleh orang. Selain itu, anak juga berfikir peraturan dibuat oleh orang dewasa dan memiliki perbatasan dalam bertingkah laku. Oleh karena itu, pada tahapan ini seharusnya orang dewasa perlu memberi kesempatan kepada anak untuk membuat peraturan mereka sendiri agar anak menyadari bahwa peraturan yang mereka sepakati itu dapat mereka ubah. sendiri agar anak menyadari bahwa peraturan yang mereka sepakati itu dapat mereka ubah. b. Tahap Moralitas Otonomi, Saat usia anak menginjak 7-10 tahun, mereka mulai sadar bahwa peraturan-peraturan dan hukum-kuhum yang ada diciptakan oleh manusia. Pada tahap ini, anak mulai dapat menilai sebuah perbuatan baik dan buruknya. Tidak hanya itu, mereka juga sudah mulai berpikir serta mempertimbangkan niat dan dampak baik buruknya dari hasil perbuatan yang akan anak lakukan. Dengan begitu moralitas akan terlihat dengan adanya kerjasama maupun hubungan timbal balik antara anak dengan lingkungan yang dihadapinya Moralitas Heteronom atau juga disebut realisme moral, yaitu tahapan moral yang diperuntukkan untuk-anak-anak. Heteronom mengandung arti tunduk pada aturan. Pada fase ini, anak-anak akan mengikuti apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang diperintahkan orang dewasa (orang tua). Sampai usia 12 tahun anak-anak akan mudah untuk dikendalikan dan diberikan aturan. Sedangkan Moralitas Otonom atau disebut juga moralitas kerja sama di mana anak-anak sudah mulai bisa bekerja sama dan mempunyai teman yang dapat diajak berinteraksi, sehingga keterikatan dengan orang tua akan sedikit demi sedikit teratasi. Dalam memberikan aturan hendaknya di jenjang ini orang tua atau pendidik berkomunikasi dan menyetujui aturan secara bersama. Berikut tabel tahapan perkembangan moral Piaget: Moralitas Heteronom (Anak Moralitas Otonom (Anak Besar) Kecil) Berdasarkan pada hubungan Berdasarkan pada hubungan kerja paksaan (doktrin) orang tua sama dan pengakuan bersama terhadap anak-anak yang terhadap kesetaraan di antara berkaitan dengan aturan individu yang otonom. Prinsip aturan dengan Prinsip aturan menggunakan moral menggunakan realisme moral, di rasional, di mana aturan berdasarkan mana aturan dipandang sebagai kesepakatan bersama, terbuka untuk ketentuan yang tidak fleksibel, negosiasi, mengedepankan asas kerja asal dan wewenangnya dari luar, sama dan saling menghargai. tidak terbuka negosiasi Keadilan berdasarkan keputusan Keadilan diartikan sebagai perlakuan orang dewasa, tindakan semena- setara atau kesediaan mena dianggap adil. Kejahatan mempertimbangkan kebutuhan dinilai berdasarkan bentuk individu, dalam hukuman obyektif dan konsekuensi berdasarkan kepantasan atas tindakan. pelanggaran Keadilan dilihat sebagai sesuatu Hukuman dipandang sebagai sesuatu yang melekat, sedangkan yang dipengaruhi oleh maksud kejahatan dipandang sebagai manusia. konsekuensi otomatis pelanggaran Teori yang dikembangkan Piaget tersebut, menjadi dasar orang tua dan pendidik dalam proses tumbuh kembang anak agar karakter dapat terbentik dengan baik. Dengan begitu orang tua dan pendidik dapat memberikan tahapan pendidikan dan pemahaman yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak. Proses tumbuh kembang yang terjadi pada anak juga perlu distimulus dengan baik, sehingga akan membentuk karakter anak menjadi baik sesuai usia perkembangannya (Muhibbin, 204). 2. Lev Vygotsky Pendidikan karakter sangat penting untuk pembentukan karakter yang kuat. Karakter kuat tidak terbentuk jika proses pembelajaran hanya memfokuskan pada kegiatan yang menekankan pada aspek kognitif saja. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme Vygotsky yang lebih menitikberatkan interaksi dari faktor- faktor interpersonal (sosial), kultural-historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia. Lev Vygotsky adalah tokoh pendidikan yang melihat bagaimana pembelajaran itu terjadi dipandang dari sisi sosial. Perkembangan kognitif dan Bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan. Manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan fungsi mental mereka untuk meningkatkan pembelajaran, ingatan dan penalaran logis. Dalam pandangan Vygotsky, dasar fungsi mental manusia dibangun secara biologis dan untuk mengembangkan fungsi mental tersebut, manusia memutuhkan peranan masyarakat dan budaya. Menurut Ormrod (2012) menjelaskan bahwa ada beberapa konsep-konsep dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky antara lain : a. Interaksi informal maupun formal antara orang dewasa dan anak akan memberi pemahaman bagi anak tentang bagaimana anak berkembang. b. Setiap budaya memiliki makna dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif anak, kebermaknaan budaya bagi anak bertujuan untuk menuntun anak dalam menjalani kehidupan secara produktif dan efisien. c. Kemampuan berfikir dan berbahasa berkembang pada awal tahun perkembangan anak. Perkembangan kognitif menurut Vygotsky sangat tergantung pada perkembangan dan penguasaan bahasa. d. Berkembangnya proses mental yang kompleks terjadi setelah anak melakukan aktifitas sosial, dan secara bertahap akan terinternalisasi dalam kognitif anak yang dapat dipergunakan secara bebas. Vygotsky mengemukakan bahwa proses berfikir yang kompleks sangat tergantung pada interaksi sosial anak. Sebagaimana anak mendiskusikan tentang peristiwa, objek dan masalah dengan orang dewasa dan orang lain yang lebih berpengetahuan, maka secara bertahap hasil diskusi tersebut akan menjadi bagian dalam struktur berpikir anak. e. Anak akan mampu mengerjakan tugastugas yang menantang jika diberi tugas yang lebih menantang dari individu yang kompeten. Pemberian tugas yang menantang mendorong berkembangnya kemampuan kognitif secara optimal. Terkait konsep penting dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky, selain Interaksi-interaksi sosial yang berperan dalam membangun pengetahuan anak, Schunk (2012) menfokuskan penjelasannya pada empat konsep utama teori konstruktivisme Vygotsky yang terdiri dari Zone of Proximal Development (ZPD), Scaffolding, serta bahasa dan pemikiran. a. Zone of Proximal Development (ZPD) Satu konsep yang utama pada teori konstruktivisme Lev Vygotsky adalah Zone of Proximal Development (ZPD). Schunk (2012: 341) menjelaskan bahwa ZPD merupakan jarak antara level potensi perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan level potensi perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang lain atau dengan teman sebaya yang lebih mampu. Sedangkan Woolfok (2009: 74) mengartikan ZPD sebagai sebuah perbedaan tentang apa yang dapat dilakukan sendiri oleh anak dan apa yang perlu bantuan dari orang lain ataupun dari orang dewasa. Interaksi dengan orang dewasa ataupun dengan teman sebaya mampu memberi dorongan anak dalam proses perkembangannya. Kedua penjelasan tersebut sejalan dengan definisi ZPD yang diungkapkan oleh Vygotsky (1986: 86) yaitu jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan ditentukan oleh pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat potensi pembangunan yang ditentukan melalui permasalahan pemecahan di bawah bimbingan orang dewasa atau bekerja sama dengan rekan yang lebih cakap. Maka dapat disintesiskan bahwa Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Zone of Proximal Development merupakan istilah vygotsky untuk serangkaian tugas yang sulit dikuasai anak secara mandiri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari orang lain seperti dari guru atau teman yang lebih mampu. Jadi, batas bawah dari ZPD adalah tingkat sebuah masalah yang mampu di pecahkan oleh anak secara mandiri. Batas atas ZPD adalah tingkat tanggung jawab atau tugas tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan dari seorang instruktur atau guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Ormod (2012: 317) bahwa zone of proximal development merupakan konsep wilayah yang menunjukan terjadinya peluang kemampuan anak untuk memahami tugas-tugas sebagai wujud berkembangnya ke- mampuan kognitif anak. Gambar Zone of Proximal Development (ZPD) (Moll, 1990: 185) Tahap I : Tahap pertama menunjukkan bagaimana peserta didik mengembangkan pemahaman tentang bahasa yang sesuai dengan studi mereka dan dasar- dasar topik yang sedang dipelajari dengan mengandalkan orang lain seperti instruktur untuk melakukan suatu tugas. Tahap II : Pada tahap kedua, pembelajar menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk melaksanakan tugas tanpa bimbingan apapun. ZPD terjadi antara tahap pertama dan kedua. Peserta didik berlatih sendiri, yang menyiratkan bahwa mereka melakukan aktivitas tertentu tanpa bantuan. Namun, mereka tidak pada tahap kemampuan sempurna dan terkadang memerlukan beberapa bantuan. Tahap III : Pada tahap ketiga kinerja dikembangkan. Artinya pada tahap ini peserta didik mencapai tahap kemandirian. Pada tahap ini, seorang siswa tidak memerlukan bantuan dari orang dewasa, atau berlatih lebih banyak latihan untuk memperkuat pengetahuan yang sudah ada. Tahap IV :Pada tahap keempat, peserta didik melakukan deautomatisasi kinerja yang mengarah pada proses pengulangan fungsi, setiap kali menerapkannya pada hasil tahap sebelumnya melalui ZPD. ZPD menyiratkan bahwa pada tahap tertentu dalam pengembangan, peserta didik dapat memecahkan berbagai masalah tertentu hanya ketika mereka berinteraksi dengan guru dan bekerja sama dengan rekan sejawat. Begitu aktivitas pemecahan masalah pelajar telah diinternalisasi, masalah yang awalnya dipecahkan di bawah bimbingan dan kerja sama dengan orang lain dapat ditangani secara independen. Vygotsky (1978: 87) menyoroti bahwa "apa yang ada di ZPD hari ini akan menjadi tahap perkembangan aktual besok, yaitu, apa yang dapat dilakukan pembelajar dengan bantuan hari ini, dia atau dia akan dapat melakukannya sendiri besok". b. Scaffolding. Konsep lain dalam teori Konstruktivisme Lev Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding erat kaitannya dengan zone of proximal development yaitu sebuah teknik untuk mengubah level dukungan. Selama sesi pengajaran, orang yang lebih ahli (guru atau siswa yang lebih mampu) menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan level kinerja murid yang telah dicapai. Ketika tugas yang akan dipelajari murid merupakan tugas yang baru, maka orang yang lebih ahli dapat menggunakan teknik instruksi langsung. Saat kemampuan siswa meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan. Vygotsky menganggap bahwa anak mempunyau konsep yang kaya tetapi tidak sistematis, tidak teratur, dan spontan. Anak akan bertemu dengan konsep yang sistematis dan logis serta rasional yang dimiliki oleh orang yang lebih ahli yang membantunya. c. Bahasa dan pemikiran Perkembangan manusia terjadi melalui alat-alat kultur (bahasa dan simbol- simbol) yang kemudian diteruskan dari satu orang ke orang lain atau sering disebut dengan transmisi alat-alat kultur (Schunk: 2012: 341). Bahasa adalah alat kultur yang paling penting. Bahasa di dapat dari tuturan sosial, kemudian untuk disimpan dalam tuturan pribadi, dan akhirnya menjadi tuturan tersembunyi (di dalam). Vygotsky mempercayai bahwa bahasa tidak hanya untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk merencanakan, memonitor perilaku mereka dengan caranya sendiri dinamakan “pembicaraan batin” (inner speech) (pembicaraan privat). Menurut Piaget inner speech bersifat egosentris dan tidak dewasa. Tetapi menurut teori Vygotsky inner speech adalah alat penting bagi pemikiran selama masa kanak-kanak (early childhood). Anakanak berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa sebelum mereka dapat fokus pada pemikirannya. Anakanak menggunakan bahasa untuk komunikasi dengan dunia luar selama periode agak lama sebelum transisi dari pembicaraan eksternal ke pembicaraan internal (batin). Periode transisi terjadi antara usia 3 sampai 7 tahun dan terkadang anak dalam usia ini sering berbicara sendiri. Setelah beberapa waktu kebiasaan berbicara sendiri dapat hilang dan mereka melakukannya tanpa harus diucapkan. Ketika ini terjadi anak sudah memasukkan pembicaraan egosentris menjadi inner speech, dan pembicaraan batin ini kemudian akan menjadi pemikiran mereka. Teori Vygotsky mengemukakan bahwa anak yang menggunakan inner speech merupakan proses awal menjadi komunikatif secara sosial dan juga menegaskan bahwa seorang anak yang menggunakan inner speech akan lebih kompeten secara sosial daripada anak yang tidak menggunakannya (Santrock. 2013: 63). Teori Vygotsky mengundang banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Artinya pengetahuan didistribusikan diantara orang dan lingkungan, yang mencakup objek, alat, buku, dan komunitas dimana orang berada. Hal ini menunjukkan bahwa memperoleh pengetahuan dapat dicapai dengan baik melalui interaksi dengan orang lain dalam kegiatan bersama. Dengan demikian peran orang tua sangat penting dalam mendidik anak, dan akan mempengaruhi tumbuh-kembang anak, akan tetapi orangtua merupakan significant other bagi anak dan role model bagi seorang anak dalam proses pembentukan kepribadiannya. Orangtua memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk dalam pembentukan karakter dan penanaman nilainilai budi pekerti pada anak. Karena orangtua merupakan sosok pertama dan utama dalam melindungi, merawat, dan mencurahkan kasihsayang sebelum anak mengenal orang lain. Di Indonesia orangtua mengenal istilah asuh, asah dan asih yang dijadikan pola untuk mendidik putra-putrinya. Pola asuh adalah perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh lebih menyangkut pada perawatan dan perlindungan anak yang sangat menentukan pembentukan fisik dan mental anak. Pola asah menyangkut perawatan anak dalam menyuburkan kecerdasan majemuk, utamanya terkait dengan aspek kognitif dan psikomotorik. Pola asah ini meliputi pembentukan intelektualitas, kecakapan bahasa, keruntutan logika dan nalar, serta ketangkasan dalam mengolah gerak tubuh. Sedangkan pola asih merupakan perawatan anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual sehingga mampu menyuburkan rasa kasih sayang, empati, memiliki norma dan nilai sosial yang bisa diterima oleh masyarakat. Pola asih ini akan mempengaruhi perkembangan afeksi anak, meliputi moral, akhlak, emosi dan perilaku. 3. Jerome Bruner Teori Bruner sendiri adalah salah satu teori yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap bidang pendidikan, khususnya untuk pembelajaran matematika. Kemudian dari adanya teori ini, pemikiranya mencetuskan pembelajaran discovery learning. Bruner lebih banyak memberikan pandangan tentang perkembangan kognitif manusia, bagaimana cara manusia belajar, atau mendapatkan pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Adapun dasar pemikiran teorinya ini memandang bahwa manusia sebagai pemroses, pemikir, dan juga pencipta informasi. Menurutnya, belajar adalah suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan berbagai hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Teori Bruner ini membahas tentang kegiatan belajar manusia tidak berhubungan dengan umur dan juga tahap perkembangannya. Discovery Learning Method adalah gaya belajar aktif dan langsung yang dikembangkan oleh Jerome Bruner pada tahun 1960-an. Bruner menekankan bahwa belajar itu harus sambil melakukan atau learning by doing. Dengan metode ini, pesrta didik secara aktif berpartisipasi, bukan hanya menerima pengetahuan secara pasif. Discovery Learning menunjukkan pendekatan instruksional umum yang mewakili pengembangan pembelajaran konstruktivis untuk lingkungan belajar berbasis sekolah. Bruner (1961) mengembangkan pembelajaran penemuan dari studi kontemporer dalam psikologi kognitif, dan merangsang pengembangan metode instruksional yang lebih spesifik. Meskipun Bruner sering disebut sebagai pengembang pembelajaran Discovery Learning pada 1960-an, tetapi ide terkait metode pembelajaran ini diperoleh dari beberapa pemikiran dan teori yang telah lebih dahulu dikembangkan oleh beberapa ahli lain seperti John Dewey, Jean Piaget, dan Seymour Papert. Bruner (1961) berpendapat bahwa, praktik menemukan sendiri mengajarkan seseorang untuk memperoleh informasi dengan cara yang membuat informasi itu lebih siap digunakan dalam pemecahan masalah. Metode Discovery Learning menciptakan proses pembelajaran aktif di mana materi atau konten tidak diberikan oleh guru di awal pembelajaran secara langsung. Selama proses belajar berlangsung, peserta didik diminta untuk dapat menemukan sendiri cara bagaimana memecahkan masalah (Tampubolon, 2017). Lebih lanjut bisa dijelaskan bahwa model pembelajaran ini adalah bagaimana peserta didik memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery terjadi bila peserta didik terlibat terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui kegiatan observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan, dan inferensi. Proses di atas disebut cognitive process atau the mental process of assimilating concepts and principles in the mind (PG Dikdas, 2020). Menurut Kristin & Wardani (2016) menjelaskan karakteristik utama model Discovery Learning diantara lain: a. Penyelesaian masalah dilakukan dengan menelaah dan memahami untuk membandingkan dan membuat kesimpulan pengetahuan. a. Mengarahkan kepada peserta didik. b. Metode penggabungan ilmu pengetahuan baru yang diperoleh dan ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelumnya Pengaplikasian model Discovery Learning dapat diperhatikan melalui langkah- langkah sebagai berikut (Winangun, 2020) a. Stimulation (Stimulasi) b. Problem Statement (Identifikasi Masalah) c. Data Collection (Pengumpulan Data) d. Data Processing (Pengolahan Data) e. Verification (Pembuktian) f. Generalization (Menarik Kesimpulan) Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi, yakni perolehan pengetahuan adalah suatu proses interaktif, dan asumsi yang kedua, orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan dan didapatkan sebelumnya. Bruner menjelaskan mengenai empat tema pendidikan. Tema yang pertama menjelaskan tentang pentingnya struktur pengetahuan, kemudian tema yang kedua adalah kesiapan belajar, dan tema yang ketika lebih menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Tema yang terakhir mengenai motivasi ataupun keinginan untuk belajar dan berbagai cara yang tersedia pada guru untuk merangsang motivasi tersebut. Bruner menyatakan bahwapertumbuhan kognitif individu terjadi lewat tiga tahapan yang metodenya diputuskan melaluipengamatan lingkungan yakni tahap enaktif, tahap ikonik serta tahap simbolik Thobroni (2015). a. Tahap Enaktif / Kegiatan Dalam tahap ini, guna mengenali lingkungan di sekitar dirinya, individu melakukan aktivitas atau kegiatan seperti menyentuh dan melakukan pembelajaran dengan benda benda yang konkret atau nyata (real). Di tahap ini individu memperoleh informasi baru dengan aktivitasnya terhadap benda benda tersebut. b. Tahap Ikonik/ Gambar Bayangan Di tahap ini, individu mentransformasikan atau menerjemahkan informasi yang telah diterima sebelumnya. Bisa saja benda yang disentuh ataupun peristiwa yang dirasakan itu dibayangkan Kembali walaupun hal itu telah lewat bahkan tak bisa diulang kemudian bayangan itu disimpan dalam pikirannya. c. Tahap Simbolis Dalam tahap ini, individu mengungkapkan atau mengekspresikan bayangan berupa informasi yang disimpannya tadi. Dan individu tersebut mampu mengenal bayangan itu dan menjelaskan dengan bahasanya sendiri yang dapat dimengerti. Dan tak lupa pada tahap ini, diuji ketepatan dan kerelevan atau tidaknya informasi yang diunngkapkan sebelumnya oleh individu yang bersangkutan. Bertahap adalah kata yang cocok untuk memperjelas pemikiran Bruner diatas. Sebab dilakukannya pembelajaran secara bertahap akan mempermudah individu (terutama peserta didik) untuk mencerna dan berhasil memahami materi pembelajarannya. Sesungguhnya dalam pembelajaran di sekolah dasar, sudah lama menerapkan ketiga tahapan belajar dari Bruner ini, seperti berikut: a. Tahap Kegiatan Biasanya diungkapkan persoalan atau peristiwa sederhana dalam keseharian atau menggunakan benda nyata pada saat dilakukannya pembelajaran terutama tentang konsep ataupun prosedur di dalam mata pelajaran yang bersifat abstrak. Maksudnya benda benda yang real itu digunakan saat tahap pembelajaran materi yang bersifat abstrak untuk memahaminya. b. Tahap Ikonis Membentuk bayangan sebagai model dari benda atau kegiatan keseharian biasanya dilakukan setelah dimanipulasinya benda secara real melalui perseoalan keseharian yang ada di sekitarnya. Maknanya disini siswa dapat memahami pembelajaran tadi dengan suatu perumpamaan atau perbandingan baik itu menggunakan gambar ataupun yang lainnya. c. Tahap Simbolis Dalam artian wujud dari model abtrak sebelumnya (bahasa mata pelajaran) digunakanlah simbol atau lambang yang bersifat abstrak pada tahap ini. Lebih jelasnya disini siswa telah memiliki kesimpulan atas apa yang dipelajarinya dan bisa menjelaskannya. Ada berbagai hal yang memerlukan perhatian lebih menurut Bruner, agar dapat mentransformasikan pemgetahuan yang didapat pada pembelajaran, yaitu: a. Motivasi Seorang peserta didik itu harus mempunyai keinginan untuk belajar dan mencapai tujuannya. Karena motivasi ini adalah dasar niat dan minat atau tidaknya siswa tersebut dalam belajar. Dengan kata lain kotivasi adalah pendorong utama kemauan siswa untuk mau atau tidaknya belajar.Apabila tidak terdapat semangat dalam diri peserta didik maka akan sulit untuk mencapai tujuan belajar karena dalam dirinya sendiri saja tidak ada keinginan tersebut. b. Kesiapan Belajar Sebelum memulai pembelajaran tentunya kesiapan belajar peserta didik itu perlu diperhatikan dan sebab tenaga ajar harus tau tingkat kematangan psikolagi anak yang diajar. Jika tidak siap, ditakutkan nantinya siswa tak dapat menguasai materi yang diajarkan. c. Struktur Pengetahuan Struktur pengetahuan itu penting dan harus disesuaikan dengan karakteristik perkembangan siswa. Baik itu berisi konsep, ide, gagasan atau contoh yang ada dalam kurikulum. d. Intuisi Tentunya intuisi juga penting sebab diartikan sebagai kapabilitasdalam memahamisuatu konsep tanpa penalaran yang direncanakan, seperti spontan saja ingin membaca sebuah buku untuk memperluas wawasan padahal itu tidak direncanakan tapi keinginannya datang tiba tiba Jadi, pada intinya menurut Bruner dengan peserta didik itu dapat mengidentifikasi konsep baru terlepas dari materi yang diberikan padanya yang dipelajari dan disimpulkan nya dalam suatu proses aktif itulah yang disebut dengan belajar. Sebab belajar tak hanya bisa bermodalkan materi yang diberikan saja, tentu peserta didik perlu mencari mempelajari sumber sumber lain yang sejalan dengan materi pembelajarannya. Dan saat peserta didik mampu melakukan hal tersebut dan menyimpulkannya maka tercapailah tingkat pencapaian konsep pembelajaran tersebut. Tentunya kaitan terbesar dalam teori Bruner ini adalah saat individu mampu mengembangkan pemikiran dari nalarnya dan menemukan penemuan dari apa yang ada di dalam nalar nya itu. Kemandirian peserta didik disini adalah pokok utamanya bisa dilakukan dengan membaca, mencari materi di internet, meneliti, dan sebagainya. Memproses informasi sampai menerjemahkan informasi yang diterima inilah yang menjadi proses kognitif dalam belajar. DAFTAR PUSTAKA Masganti. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan: Perdana Publishing. Maharani, Laila. 2014. “Perkembangan Moral Pada Anak Laila Maharani” 01 (2): 93– 98 Moll, L. C. 1990. Vygotsky and Education (Rev.ed). Cambridge: Cambridge University Press. Muhammad Thobroni. 2015. Belajar & Pembelajaran Teori dan Praktik, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, hlm 84 Ormrod, J. E. 2012. Human Learning. (6th ed.). United State of America: Pearson Education, Inc. PG Dikdas. 2020. http://pgdikdas.kemdikbud.go.id/read-news/mengenalmodel- pembelajaran-discovery-learning Santrock, J. W. 2013. Psikologi Pendidikan. (2nd ed.). (Terjemahan Tri Wibowo). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. (Edisi asli diterbitkan tahun 2004 oleh McGraw Hill Company, Inc). Schunk, D. H. 2012. Learning Theories. (Terjemahann Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hal 42. Tampubolon, D. (2017). Students’ Perception on the Discovery Learning Strategy on Learning Reading Comprehension at the English Teaching Study Program Christian University of Indonesia. Journal of English Teaching, 3 (1), 43-54. Vygotsky, L. S. (1986). Though and Language. (Translate, revised and edited by Alex Kozulin). London: The Massachusetts Institute of Technology. (Edisi asli diterbitkan tahun 1934 oleh lembaga sosial dan ekonomi Moskow) BAB 6 PANDANGAN UMUM DAN TEORI PEMBENTUKAN KARAKTER SECARA MADZHAB HUMANISTIK Pandangan Umum Pendidikan Humanistik Human merupakan kata dalam bahasa inggris yang artinya adalah manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah human/hu·man/ memiliki 2 arti yaitu: 1 bersifat manusiawi (seperti manusia yang dibedakan dari binatang, jin, malaikat); 2 berperikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Human sebagai bentuk ajektif bersifat manusiawi. Humanistik berarti bersifat kemanusiaan. Sedangkan humanism artinya aliran yang bertujuan menghidupkan rasa kemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Dari arti katanya jelas tampak bahwa humanisme merupakan paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting, terutama ada sifat-sifat kemanusiaannya. Pada saat manusia dipandang dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya, maka potensi yang ada pada diri manusia, yakni potensi yang bersifat psikologis, social, dan kultural. Dalam pandangan ini, manusia yang ideal adalah manusia yang mampu mengembangkan sifat atau nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki secara harmonis, sehingga ia selain mampu menjadi individu yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi, juga mampu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan bersama (social) sesuai dengan landasan nilai-nilai kultural dalam masyarakatnya. Hal itu memperlihatkan bahwa humanisme muncul dengan misi untuk menempatkan dan memandang manusia sebagai mahkluk yang merdeka, dan unik dengan berbagai potensi yang ada di dalam dirinya, dan dengan itu ia dapat menentukan nasibnya sendiri. Visi humanisme ini bertujuan menyempurnakan kemanusiaan. Munculnya teori belajar humanistik tidak dapat dilepaskan dari gerakan pendidikan humanistik yang memfokuskan diri pada hasil afektif, belajar tentang bagaimana belajar dan belajar untuk meningkatkan kreativitas dan potensi manusia. Pendekatan humanistik ini sendiri muncul sebagai bentuk ketidaksetujuan pada dua pandangan sebelumnya, yaitu pandangan psikoanalisis dan behavioristik dalam menjelaskan tingkah laku manusia. Ketidak setujuan ini berdasarkan anggapan bahwa pandangan psikoanalisis terlalu menunjukkan pesimisme suram serta keputusasaan sedangkan pandangan behavioristik dianggap terlalu kaku (mekanistik), pasif, statis dan penurut dalam menggambarkan manusia Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme. Konsep psikologi humanistik mencoba untuk melihat peserta didik sebagaimana manusia seutuhnya dengan segala kompleksitasnya. Konsep humanisme cenderung berpegang pada perspektif optimistik tentang sifat alamiah manusia. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka. Untuk itu maka perlu kiranya mengembangkan proses pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Termasuk upaya dalam mengembangkan proses pembelajaran berdasarkan teori-teori belajar dalam hal ini teori humanistik dengan membangun proses belajar yang sesuai dengan keinginan peserta didik, dan mengembangkan keterampilan belajar sepanjang hayat. Pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subyek yang memberikan ruang kebebasan kepada anak untuk belajar dan menentukan arah hidupnya, manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga mampu berkolaborasi dengan orang lain. Pendidikan yang humanistik menekankan bahwa adanya komunikasi dan relasi yang baik antar peserta didik dan juga dengan seluruh elemen sekolah dan masyarakat di sekitar Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanistik Pada dasarnya, teori humanistik adalah teori belajar yang memanusiakan manusia. Pembelajaran dipusatkan pada pribadi seseorang. Teori ini tidak lepas dari pendidikan yang berfokus pada bagaimana menghasilkan sesuatu yang efektif, bagaimana belajar yang bisa meningkatkan kreativitas dan memanfaatkan potensi yang ada pada seseorang. Teori humanistik ini muncul sebagai perlawanan terhadap teori belajar sebelumnya, yaitu teori behaviouristik, yang dianggap terlalu kaku, pasif, bahkan penurut ketika menggambarkan manusia. Abraham Maslow Nama lengkapnya adalah Abraham Harold Maslow Maslow dikenal sebagai ayah spiritual psikologi humanistik. Abraham Maslow adalah pelopor psikologi humanistik. Ia berasal dari Amerika yang tepatnya berada di Brooklyn New York. Ia dilahirkan pada tahun 1930. Ia merupkan anak pertama dari tujuh bersaudara. Orangtuanya merupakan imigran dari Rusia. Sedangkan, latar belakang keluarga Abraham Maslow adalah bukan dari latar belakang keluarga yang berpendidikan. Dengan keadaan yang sepeti itu, ayah Abraham Maslow mengharapkan kesuksesan dalam berpendidikan dan dalam bidang yang diminati di kemudian hari (Amalia, 2019). Pada masa kecilnya, Abraham Maslow mulai mengagumi para tokoh filosof, seperti: Alfred North, Whitehead, Henry Bagson, Thomas Jefferson, Abraham Lincolin, Plato dan Spinoza. Selain itu, Abraham Maslow juga mendalami karya-karya para tokoh tersebut (Insani, 2019). Hal itulah yang menjadikan cikal bakal Abraham Maslow bisa menjadi salah satu tokoh teori humanistik. Pada tahun 1951-1969, Abraham Maslow menjadi professor di Universitas Brandeis. Kemudian, ia juga menjadi anggota di Laughlin Insitute. Tidak lama dari itu, Abraham Maslow mengalami serangan jantung. Lalu, ia meninggal pada tanggal 8 Juni tahun 1970 Sebelum itu, Abraham Maslow telah dikenal sebagai bapak psikologi humanistik. Ia meyakini, bahwa manusia berperilaku untuk mengapresiasi diri mereka sebaik-baiknya. Selain itu, manusia juga me