Summary

This document provides an overview of anxiety and obsessive-compulsive disorders (OCD) in adolescents. It covers different types of anxiety disorders, including separation anxiety disorder, specific phobia, panic disorder, agoraphobia, and Generalized Anxiety Disorder (GAD). Additionally, the document touches upon the causes, symptoms, and treatments related to these conditions. It also briefly discusses social and emotional deficits related to OCD.

Full Transcript

Anxiety disorder atau gangguan kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai dengan emosi negatif yang kuat dan gejala ketegangan tubuh di mana anak dengan penuh kekhawatiran mengantisipasi bahaya atau kemalangan di masa depan (Barlow, 2002). Definisi ini menangkap dua ciri-ciri utama dari...

Anxiety disorder atau gangguan kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai dengan emosi negatif yang kuat dan gejala ketegangan tubuh di mana anak dengan penuh kekhawatiran mengantisipasi bahaya atau kemalangan di masa depan (Barlow, 2002). Definisi ini menangkap dua ciri-ciri utama dari kecemasan, yaitu emosi negatif yang kuat dan unsur ketakutan. Gangguan ini terjadi dalam berbagai bentuk. Banyak anak muda dengan gangguan kecemasan menderita lebih dari satu jenis, baik secara bersamaan maupun pada waktu yang berbeda selama masa perkembangannya (Costello, Egger, & Angold, 2005b). Kecemasan sering kali menghampiri kita ketika kita melakukan sesuatu yang penting, dan dalam kadar yang normal, hal itu membantu kita berpikir dan bertindak lebih efektif. Sedikit kecemasan dapat membantu seorang kita mempersiapkan diri lebih keras untuk melakukan sesuatu yang akan datang. Dalam pengertian ini, kecemasan adalah emosi adaptif yang mempersiapkan anak-anak secara fisik dan psikologis untuk menghadapi orang, objek, atau peristiwa yang bisa berbahaya bagi keselamatan atau kesejahteraan mereka. Meskipun sedikit kecemasan itu baik, kecemasan yang berlebihan akan berdampak sebaliknya. Kecemasan yang berlebihan dan tak terkendali dapat melemahkan. Seorang anak mungkin gagal ujian karena dia menghabiskan terlalu banyak waktu memikirkan betapa mengerikannya jika gagal, sehingga hampir tidak mungkin untuk memikirkan hal lain. Separation Anxiety Disorder (SAD) Ditandai dengan kekhawatiran yang Selective Mutism berlebihan mengenai perpisahan dari Ditandai dengan kegagalan yang rumah atau orang tua. Remaja dapat konsisten untuk berbicara dalam situasi menunjukkan tanda-tanda kesusahan dan sosial tertentu yang mengharuskan atau gejala fisik saat berpisah, mengalami diharapkan untuk berbicara, meskipun kekhawatiran yang tidak realistis tentang anak mungkin berbicara dengan keras bahaya pada diri sendiri atau orang lain saat dan sering di rumah atau di lingkungan berpisah, dan menunjukkan keengganan lain. untuk menyendiri. Specific Phobia Social Anxiety Disorder (SOC) Ditandai dengan ketakutan dan Ditandai dengan rasa takut yang parah dan penghindaran yang parah dan tidak masuk tidak masuk akal karena merasa malu atau akal terhadap objek atau situasi tertentu, dipermalukan ketika melakukan sesuatu di misalnya anjing, laba-laba, kegelapan, atau depan teman sebaya atau orang dewasa. naik bus. Panic Disorder (PD) Agoraphobia Ditandai dengan serangan panik yang berulang, Ditandai dengan rasa takut atau cemas tidak terduga dan parah. Serangan ini dapat terhadap dua atau lebih situasi seperti berupa detak jantung yang cepat, sesak napas, menggunakan transportasi umum, berada di ruang terbuka, berada di ruang tertutup, berada berkeringat, sakit perut, pusing, takut mati, dan di tengah keramaian, atau berada di luar rumah lain-lain. Individu tersebut juga mengalami sendirian. Ketakutan atau kecemasan akan kekhawatiran atau kekhawatiran tentang situasi-situasi ini terjadi karena individu serangan panik tambahan atau konsekuensinya, berpikir bahwa melarikan diri mungkin sulit atau menunjukkan perubahan perilaku atau bantuan tidak tersedia jika mereka maladaptif yang signifikan untuk menghindari mengalami gejala panik atau gejala lain yang serangan panik. melumpuhkan. Generalized Anxiety Disorder (GAD) Ditandai dengan kekhawatiran yang terus menerus dan berlebihan tentang banyak peristiwa dan kegiatan. Remaja mungkin khawatir tentang nilai mereka di sekolah, hubungan mereka dengan teman sebaya, dan keselamatan mereka sendiri atau orang lain. Mereka mungkin terus-menerus mencari kenyamanan atau persetujuan dari orang lain untuk orang lain untuk membantu mengurangi kekhawatiran mereka. Kecemasan adalah emosi yang Ketakutan adalah reaksi emosional Kepanikan adalah sekelompok berorientasi pada masa depan yang berorientasi pada saat ini gejala fisik yang dirancang terhadap bahaya saat ini yang yang ditandai dengan perasaan untuk mempersiapkan ditandai dengan kecenderungan khawatir dan kurangnya melarikan diri yang kuat dan individu dalam menghadapi kendali atas peristiwa yang lonjakan habis-habisan dalam sistem ancaman. akan datang yang mungkin saraf simpatik. Ketakutan merupakan mengancam. reaksi peringatan langsung terhadap bahaya yang sedang terjadi atau keadaan darurat yang mengancam jiwa. Karena anak dan lingkungan mereka terus berubah, ketakutan yang normal pada satu usia dapat melemah beberapa tahun kemudian. Normal atau tidaknya suatu ketakutan tertentu juga bergantung pada dampaknya terhadap anak dan berapa lama ketakutan itu berlangsung. Jika ketakutan hanya berdampak kecil pada kehidupan sehari-hari anak atau hanya berlangsung selama beberapa minggu, kemungkinan besar hal tersebut merupakan bagian dari perkembangan yang normal. Jumlah dan jenis ketakutan yang umum terjadi pada masa kanak-kanak berubah seiring berjalannya waktu (Gullone, 1999). Meskipun ketakutan menunjukkan penurunan secara umum seiring bertambahnya usia, beberapa ketakutan, seperti ketakutan yang berhubungan dengan sekolah akan tetap stabil dan ketakutan seperti ketakutan sosial, dapat meningkat (Muris, 2007). Seperti halnya rasa takut, kecemasan sangat umum terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja. Berbagai jenis kecemasan terlihat jelas pada usia 4 tahun (Eley, Lichenstein, & Moffitt, 2003), dan sekitar 25% orang tua melaporkan bahwa anak mereka terlalu gugup, takut, atau cemas (Achenbach, 1991a). Gejala yang paling sering muncul pada sampel anak-anak dengan kecemasan normal adalah kecemasan akan perpisahan, kecemasan akan ujian, kekhawatiran yang berlebihan akan kompetensi, kebutuhan yang berlebihan akan kepastian, dan kecemasan akan bahaya terhadap orang tua (Barrios & Hartmann, 1997). Gejala cemas dapat mencerminkan sifat stabil yang menjadi kecenderungan anak-anak untuk mengembangkan ketakutan yang berlebihan terkait dengan tahap perkembangan mereka. Dengan demikian, kecenderungan seseorang untuk menjadi cemas dapat tetap stabil dari waktu ke waktu, meskipun objek ketakutan anak-anak berubah. Dalam dosis yang moderat, rasa khawatir dapat membantu anak-anak mempersiapkan diri untuk masa depan. Kekhawatiran adalah pusat utama dari kecemasan, dan kecemasan berhubungan dengan jumlah-jumlah kekhawatiran anak-anak dan intensitasnya. Anak-anak dari dari segala usia merasa khawatir, tetapi bentuk dan ekspresinya berubah. Anak-anak yang lebih tua melaporkan variasi dan kompleksitas yang lebih besar lebih banyak dan lebih kompleks dan lebih mampu menggambarkannya daripada lebih baik daripada anak-anak yang lebih muda (Caes et al., 2016). Kecemasan akan perpisahan penting untuk kelangsungan hidup anak kecil dan merupakan hal yang normal pada usia-usia tertentu. Faktanya, kurangnya kecemasan berpisah pada usia dini dapat menunjukkan kelekatan yang tidak aman atau masalah lainnya. Ketika kecemasan bertahan selama setidaknya empat minggu dan cukup parah sehingga mengganggu rutinitas normal sehari-hari seperti pergi ke sekolah atau berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi, anak mungkin mengalami gangguan kecemasan berpisah. Anak-anak dengan Separation Anxiety Disorder (SAD) menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan usia, berlebihan, dan melumpuhkan yang terkait dengan perpisahan dari orang tua mereka atau figur kelekatan utama lainnya dan takut sendirian (Cooper-Vince et al., 2014). Anak kecil dengan SAD mungkin memiliki perasaan cemas yang samar-samar atau mimpi buruk yang berulang tentang diculik atau dibunuh atau tentang kematian orang tua. Mereka sering menunjukkan perilaku yang berlebihan untuk mendapatkan perhatian orang tua dengan menempel pada orang tua mereka dan membayangi setiap gerakan mereka. Seringkali, mereka enggan untuk tidur terpisah dari orang tua mereka, dan mereka mencoba naik ke tempat tidur orang tua mereka di malam hari atau tidur di lantai tepat di luar pintu kamar tidur orang tua mereka (Allen et al., 2010). SAD adalah salah satu dari dua gangguan kecemasan yang paling umum terjadi pada masa kanak-kanak dan ditemukan pada sekitar 4% hingga 10% dari seluruh anak muda di seluruh dunia (Merikangas et al., 2010; Silove et al., 2015). Hal ini umum terjadi pada anak laki-laki dan perempuan, meskipun lebih banyak terjadi pada anak perempuan. Sekitar dua pertiga dari anak-anak dengan SAD memiliki gangguan kecemasan lain, dan sekitar setengahnya mengembangkan gangguan depresi setelah timbulnya SAD. Mereka mungkin juga menunjukkan ketakutan spesifik untuk tersesat atau takut akan kegelapan. Keengganan atau penolakan untuk bersekolah juga cukup umum terjadi pada anak lebih tua yang mengidap SAD (Albano, Chorpita, & Barlow, 2003). SAD umumnya berkembang dari ringan hingga berat. Hal ini dapat dimulai dengan permintaan yang tidak berbahaya atau dengan gejala seperti gelisah atau mimpi buruk, yang kemudian berkembang menjadi anak tidur di tempat tidur orang tuanya. Demikian pula, pagi hari sekolah dapat menimbulkan gejala fisik dan sesekali ketidakhadiran di sekolah, yang meningkat menjadi amukan harian tentang berangkat ke sekolah dan penolakan langsung. Anak mungkin menjadi semakin khawatir tentang rutinitas harian dan keberadaan orang tua (Albano et al., 2003). Seringkali, SAD terjadi setelah seorang anak mengalami stres yang besar, seperti pindah ke lingkungan baru, masuk sekolah baru, kematian atau sakit dalam keluarga, atau liburan yang panjang. Gejala-gejala SAD juga dapat berupa berubah naik turun selama bertahun- tahun sebagai fungsi dari stres dan transisi dalam kehidupan anak. Meskipun mereka mungkin kehilangan teman sebagai akibat dari penolakan mereka yang berulang kali untuk berpartisipasi dalam kegiatan di luar rumah, anak-anak dengan SAD memiliki kemampuan sosial yang cukup baik dan dapat bergaul dengan orang lain. Namun, prestasi sekolah mereka mungkin menurun karena sering tidak masuk sekolah. Anak tersebut mungkin membutuhkan tugas khusus untuk mengimbangi teman-temannya atau dalam kasus yang ekstrim, mereka mungkin harus mengulang tahun ajaran (Albano et al., 2003). SAD berlanjut hingga dewasa pada lebih dari sepertiga anak-anak dan remaja, dan sejumlah individu dengan SAD mulai mengalami SAD setelah usia 18 tahun (Silove et al., 2015). Sebagai orang dewasa, individu-individu ini lebih mungkin mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan, gangguan kecemasan dan masalah kesehatan mental, dan gangguan fungsional dalam kehidupan sosial dan pribadi mereka (Milrod dkk., 2014; Shear dkk., 2006). Ketakutan anak terjadi pada usia yang tidak tepat, terus berlanjut, tidak rasional atau berlebihan, mengarah pada penghindaran terhadap objek atau peristiwa, dan menyebabkan gangguan dalam rutinitas normal, itu disebut fobia spesifik. Anak-anak dengan fobia spesifik menunjukkan dan melumpuhkan rasa takut yang ekstrem terhadap objek atau situasi yang pada kenyataannya hanya menimbulkan sedikit atau tidak ada bahaya atau ancaman. Anak-anak ini akan berusaha keras untuk menghindari objek atau situasi tertentu. Ketakutan atau kecemasan mereka dapat diekspresikan dengan menangis, mengamuk, membeku, atau melekat. DSM-5 mengkategorikan fobia spesifik ke dalam lima subtipe berdasarkan fokus reaksi dan penghindaran sebagai berikut: Ketakutan terhadap hewan atau serangga; Ketakutan akan peristiwa alam; ketakutan akan darah, cedera, atau prosedur medis; Ketakutan akan situasi tertentu; Ketakutan lainnya. Sekitar 20% dari seluruh remaja mengalami fobia spesifik pada suatu waktu dalam hidup mereka, dan mereka yang mengalami gangguan ini cenderung memiliki beberapa fobia (Kessler et al., 2012a; Merikangas et al., 2010). Namun, sangat sedikit dari anak-anak ini yang dirujuk untuk mendapatkan perawatan, menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua tidak menganggap fobia tertentu sebagai sesuatu yang berbahaya. Fobia spesifik, terutama fobia darah, lebih sering terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki (Essau et al., 2000). Gangguan penyerta yang paling umum terjadi pada anak-anak dengan fobia spesifik adalah gangguan kecemasan lain dan gangguan depresi (Leyfer et al., 2013). Meskipun komorbiditas sering terjadi pada anak-anak dengan fobia spesifik, namun cenderung lebih rendah dibandingkan dengan gangguan kecemasan lainnya (LeBeau et al., 2010). Fobia yang melibatkan hewan, kegelapan, serangga, darah, dan cedera biasanya muncul pada usia 7 hingga 9 tahun, yang mirip dengan perkembangan normal. Namun, meskipun ketakutan akan menurun seiring bertambahnya usia, fobia klinis cenderung lebih bertahan dari waktu ke waktu daripada ketakutan normal. Fobia spesifik dapat terjadi pada usia berapa pun, tetapi tampaknya memuncak antara usia 10 dan 13 tahun (LeBeau et al., 2010). Fobia sosial adalah ketakutan yang nyata dan terus-menerus terhadap persyaratan sosial atau kinerja yang membuat mereka diawasi dan mungkin dipermalukan (Knappe, Beesdo-Baum, & Wittchen, 2010). Mereka yang memiliki gangguan ini berusaha menghindar atau seolah menggunakan topeng tanpa rasa takut pada situasi sosial. Untuk dapat diklasifikasian sebagai fobia sosial, kecemasan yang mereka rasakan harus terjadi pada lingkungan teman sebaya, bukan hanya pada orang dewasa. Anak perempuan mungkin mengalami kecemasan sosial yang lebih besar karena mereka lebih peduli pada sosial dibandingkan anak laki- laki dan lebih mementingkan hubungan interpersonal dan evaluasi oleh teman sebaya. Remaja yang menderita gangguan ini akan lebih sangat emosional dibandingkan dengan remaja lainnya, seperti takut secara sosial, terhambat, sedih, dan kesepian yang disebabkan oleh kurangnya keterampilan sosial. Mereka takut pada sebagian besar situasi sosial, takut untuk bertemu atau berbicara dengan orang baru, menghindari kontak dengan siapa pun di luar keluarga mereka, dan merasa sangat sulit untuk bersekolah, berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi, atau bersosialisasi. Fobia sosial memiliki prevalensi seumur hidup sebesar 6% hingga 12% dan menyerang anak perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan anak laki-laki. Fobia sosial memiliki prevalensi Komorbiditas gangguan Fobia sosial ini sangat jarang seumur hidup sebesar 6% hingga terjadi pada anak dibawah usia 10 kecemasan adalah Generalized 12% dan menyerang anak tahun, dan umumnya berkembang perempuan dua kali lebih banyak Anxiety Disorder (GAD) setelah masa pubertas, dengan dibandingkan anak laki-laki. Separation Anxiety Disorder rentang usia pada awal hingga (SAD) dan fobia spesifik. Sekitar pertengahan remaja. Anak perempuan mungkin 20% remaja dengan fobia sosial mengalami kecemasan sosial yang Prevalensi fobia spesifik juga menderita depresi berat. lebih besar karena mereka lebih tampaknya meningkat seiring peduli pada sosial dibandingkan bertambahnya usia, dengan anak laki- laki dan lebih Mereka juga mungkin sering persistensi dan fluktuasi mementingkan hubungan menunjukkan ledakan keparahan gejala yang cukup besar interpersonal dan evaluasi oleh kemarahan dan agresi yang dari waktu ke waktu teman sebaya. Prevalensi hebat. Mutisme selektif adalah anak-anak yang gagal berbicara dalam situasi sosial tertentu dimana terdapat harapan untuk bisa berbicara, walalupun mereka sering berbicara dirumah atau lingkungan lainnya bahkan dengan suara keras. Gangguan ini dapat mengganggi prestasi pendidikan atau pekerjaan atau komunikasi sosial yang terjadi setidaknya selama 1 bulan. Prevalensi pada mutisme selektif Secara sekilas terdapat persamaan tidak berbeda berdasarkan jenis antara mutisme selektif dengan fobia kelamin atau ras/etnis. Gangguan lain yang dapat terjadi bersamaan sosial, namun ada pendapat bahwa adalah gangguan kecemasan mutisme selektif mungkin merupakan lainnya, khususnya fobia sosial dan varian fobia sosial yang lebih spesifik fobia spesifik. Perilaku oposisi juga secara perkembangan pada anak kecil dapat terjadi, namun hal ini atau identifikasi awal fobia sosial. mungkin terbatas pada situasi di Terdapat juga perbedaan diantara mana anak diharuskan untuk keduanya, seperti keterlibatan sosial berbicara. nonverbal dan fitur oposisi terjadi Usia timbulnya gangguan ini sekitar 3- 4 tahun. pada mutisme selektif, namun tidak begitu terjadi pada fobia sosial Sebelum DSM-5, gangguan panik dan agorafobia dihubungkan karena diagnosis gangguan panik mencakup sebutan “dengan” atau “tanpa” agorafobia (yaitu, ketakutan atau penghindaran yang nyata terhadap situasi tertentu di mana individu berpikir bahwa melarikan diri mungkin sulit, atau bantuan tidak tersedia, jika mereka mengalami gejala seperti panik atau gejala melumpuhkan lainnya). Namun, dalam DSM-5, gangguan panik dan agorafobia kini menjadi gangguan terpisah dengan kriteria diagnostik berbeda Serangan panik adalah periode ketakutan atau ketidaknyamanan yang hebat dan tiba-tiba disertai dengan empat atau lebih gejala fisik dan kognitif yang merupakan karakteristik respons melawan/lari. Biasanya, serangan panik berlangsung singkat, dengan gejala mencapai intensitas maksimal dalam 10 menit atau kurang dan kemudian berkurang secara perlahan selama 30 menit atau beberapa jam berikutnya. Serangan panik disertai dengan perasaan yang luar biasa akan bahaya yang akan terjadi atau malapetaka yang akan datang dan keinginan untuk melarikan diri. Meskipun singkat, namun dapat terjadi beberapa kali dalam seminggu atau sebulan. Penting untuk diingat bahwa meskipun gejalanya dramatis, gejala tersebut tidak membahayakan atau membahayakan secara fisik. Agorafobia ditandai dengan rasa takut atau cemas yang nyata di tempat atau situasi tertentu (yaitu, berada di tengah keramaian, berada di luar rumah sendirian). Individu takut atau menghindari situasi ini karena pemikiran bahwa melarikan diri mungkin sulit, atau bantuan mungkin tidak tersedia, jika mereka mengalami kejadian seperti panik atau gejala ketidakmampuan lainnya (misalnya, rasa takut terjatuh pada orang lanjut usia). (Craske et al., 2010; Wittchen et al., 2010). Serangan panik sering terjadi pada remaja yang Sebagian besar remaja penderita PD yang dirujuk tidak dirujuk, mempengaruhi sekitar 16% remaja mempunyai satu atau lebih gangguan lain yang (Mattis & Ollendick, 2002). paling umum adalah gangguan kecemasan tambahan (khususnya GAD atau SAD) dan PD dan agorafobia jauh lebih jarang terjadi gangguan depresi mayor. dengan perkiraan prevalensi seumur hidup untuk Kondisi komorbiditas lainnya termasuk mania keduanya sekitar 2,5% pada remaja berusia 13 dan hipomania, ADHD dan gangguan hingga 17 tahun (Merikangas et al., 2010). pembangkangan oposisi (ODD) (Doerfler et al., 2007; Michelini et al., 2015). Remaja perempuan dua kali lebih mungkin mengalami serangan panik dibandingkan remaja Komorbiditas agorafobia yang paling umum laki-laki dan hubungan yang cukup konsisten adalah gangguan kecemasan lainnya (misalnya telah ditemukan antara serangan panik dan PD, fobia spesifik dan SOC), gangguan depresi peristiwa kehidupan yang penuh tekanan (King, mayor, gangguan stres pasca trauma, dan Ollendick, & Mattis, 1994). gangguan penggunaan alkohol (APA, 2013). Meskipun PD ditemukan terjadi pada anak kecil, hanya sedikit kasus yang dilaporkan (Higa- McMillan et al., 2014). Usia rata-rata timbulnya serangan panik pertama pada remaja penderita PD adalah 15 hingga 19 tahun dan 95% remaja dengan gangguan tersebut adalah pascapubertas (Bernstein, Borchardt, & Perwien, 1996). Individu dengan PD dan mereka yang menderita PD dan agorafobia dengan gejala awal lebih mungkin mengalami gangguan komorbiditas dan gejala yang kambuh setelah masa remisi dibandingkan dengan gejala yang muncul lebih lambat, yang menunjukkan bahwa penyakit penyerta dan agorafobia merupakan gangguan yang sangat serius (Ramsawh dkk., 2011). => Jika tidak diobati, gangguan ini kemungkinan besar akan berlangsung terus-menerus dan kronis. Bagi anak-anak dengan GAD, kekhawatiran dapat bersifat episodik atau hampir terus menerus. Orang yang khawatir tidak dapat rileks dan mungkin mengalami gejala fisik seperti ketegangan otot, sakit kepala, atau mual. Gejala umum GAD termasuk mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi, dan kurang energi, sulit tidur, dan tidur gelisah (Comer et al., 2012; Layne et al., 2009). Anak-anak dengan GAD cenderung menangkap setiap kejadian menakutkan di film, di Internet, atau di TV dan menceritakannya pada diri mereka sendiri. Anak-anak dengan GAD selalu mencari persetujuan dan kepastian dari orang dewasa dan takut pada orang-orang yang mereka anggap tidak menyenangkan, kritis, atau tidak adil. Anak-anak dengan GAD tampaknya tidak bisa berhenti khawatir bahkan ketika mereka menyadari betapa tidak bahagianya diri mereka sendiri dan orang lain. Ciri-ciri inilah yang membuat kecemasan mereka menjadi tidak normal. Secara umum, kelainan ini umum terjadi GAD adalah gangguan kecemasan pada anak laki-laki dan perempuan, dengan yang paling jarang dilaporkan dalam prevalensi yang sedikit lebih tinggi pada survei nasional besar terhadap lebih remaja perempuan yang lebih tua. Untuk dari 10.000 remaja (13 hingga 18 anak-anak yang lebih kecil, SAD dan tahun) di Amerika Serikat, dengan masalah perilaku yang terjadi bersamaan tingkat prevalensi seumur hidup adalah yang paling umum terjadi; anak-anak sebesar 2,2% (Merikangas et al., 2010). yang lebih tua dengan GAD cenderung Namun, ini adalah diagnosis gangguan memiliki fobia spesifik, SOC, gangguan panik kecemasan yang paling umum (37%) di dan MDD, serta gangguan penyesuaian sosial, harga diri rendah, dan peningkatan antara anak-anak yang dirujuk ke risiko bunuh diri(Leyfer et al., 2013; Masi et klinik khusus kecemasan (Leyfer et al., al., 2004 ) 2013). Usia rata-rata timbulnya GAD adalah pada masa remaja awal (Beesdo et al., 2010). Anak-anak yang lebih tua memiliki jumlah gejala yang lebih tinggi dan melaporkan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang lebih muda, namun gejala ini dapat berkurang seiring bertambahnya usia (Strauss et al., 1988). Dalam sampel komunitas remaja penderita GAD, kemungkinan mereka menderita GAD pada masa tindak lanjut lebih tinggi jika gejala pada saat penilaian awal parah (Cohen, Cohen, & Brook, 1993). Hampir setengah dari kasus yang parah didiagnosis ulang setelah 2 tahun, menunjukkan bahwa gejala GAD yang parah terus berlanjut, bahkan pada remaja yang belum dirujuk untuk mendapatkan pengobatan. Tingkat remisi penuh GAD sangat rendah (APA, 2013) OCD sebelumnya dimasukkan sebagai gangguan kecemasan dalam DSM. Meskipun mengakui hubungannya yang erat dengan gangguan kecemasan, DSM-5 memasukkan OCD dalam bab terpisah dengan sejumlah gangguan terkait yang berbeda dari OCD tetapi mengandung fitur diagnostik yang tumpang tindih seperti keasyikan dan perilaku berulang atau tindakan mental sebagai respons terhadap kegemaran (Piacentini et al., 2014). Gambaran Utama Gangguan Terkait OCD dalam DSM-5 Body Dysmorphic Disorder Hoarding Disorder Trichotillomania Excoriation Disorder ditandai dengan kegemaran ditandai dengan kesulitan ditandai dengan ditandai dengan akan cacat atau kekurangan yang terus-menerus mencabut rambut secara mengorek kulit berulang dalam penampilan fisik membuang atau berpisah berulang-ulang, yang yang mengakibatkan lesi yang tidak dapat diamati dengan harta benda, mengakibatkan kulit. atau tampak kecil bagi orang terlepas dari nilai kerontokan rambut lain. sebenarnya. Gangguan mental di mana individu mengalami pikiran yang mengganggu dan berulang (obsesi), yang menyebabkan dorongan untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu berulang kali (kompulsi) sebagai upaya mereka untuk mengurangi kecemasan. Hal tersebut memakan waktu lebih dari satu jam dalam sehari, dan mengganggu (Evans & Leckman, 2006). Individu yang pengidap OCD berlebihan dan tidak rasional pada kejadian-kejadian yang mustahil atau tidak realistis atau pada kejadian nyata yang dilebih-lebihkan. Obsesi adalah pikiran, desakan, atau Prevalence and Comorbidity gambaran yang terus-menerus dan jumlah keseluruhan kasus penyakit yang mengganggu yang dialami sebagai sesuatu terjadi seumur hidup pada anak-anak dan yang mengganggu dan tidak di inginkan, remaja menurut Zohar (1999) sekitar 1% Umumnya menyebabkan kecemasan atau hingga 2,5% menunjukkan bahwa hal tersebut kesusahan yang signifikan. terjadi lebih sering pada anak muda daripada Kompulsi adalah perilaku berulang, penuh orang dewasa. tujuan, dan disengaja atau tindakan Geller et al (2012) menyebutkan gangguan mental (misalnya mengulangi kata-kata komorbiditas sering terjadi sekitar 50% pada dalam hati) yang dilakukan sebagai anak-anak di komunitas sampel, dan respons terhadap obsesi dalam upaya angkanya lebih tinggi daripada anak-anak di menekan atau menetralisirnya komunitas klinik. Onset, Course, and Outcome Usia permulaan rata-rata untuk OCD adalah antara 9 dan 12 tahun, dengan puncaknya pada masa kanak-kanak dan remaja akhir. Kasus permulaan dini (usia 6-10 tahun) lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan sering kali menunjukkan riwayat keluarga dengan OCD, yang menunjukkan adanya pengaruh genetik. Gejala-gejala OCD bervariasi menurut usia. Anak kecil mungkin memiliki obsesi yang samar- samar dan secara terbuka mengajukan pertanyaan tentang hal tersebut, sementara anak yang lebih besar biasanya menyadari kelainan ini dan mungkin mencoba menyembunyikan gejalanya. Hasilnya hingga dua pertiga dari anak-anak dengan OCD terus memenuhi kriteria diagnostik 2- 14 tahun kemudian, dengan kurang dari 10% yang mencapai remisi penuh. OCD yang menetap hingga dewasa sering kali menyebabkan kesulitan interpersonal, pekerjaan, dan kualitas hidup. Pikiran Obsesif yang Mengganggu: Remaja dengan OCD mungkin mengalami pikiran obsesif yang terus-menerus dan mengganggu, Kecemasan yang Tinggi: Kondisi ini seringkali disertai tingkat kecemasan yang tinggi, yang dapat mengganggu pemikiran rasional dan konsentrasi remaja dalam kegiatan sehari-hari atau belajar. Keterikatan pada Ritual atau Tindakan Berulang: Remaja mungkin merasa terikat pada melakukan ritual atau tindakan berulang sebagai respons terhadap obsesi mereka. Kesulitan Berkonsentrasi: Gangguan obsesif dan kompulsif dapat menyebabkan kesulitan remaja dalam mempertahankan fokus dan konsentrasi pada tugas-tugas atau kegiatan tertentu. Ketegangan Fisik: Kecemasan yang disebabkan oleh obsesi atau kebutuhan untuk melakukan ritual dapat menyebabkan ketegangan fisik yang termanifestasi dalam otot- otot yang tegang, gemetar, atau ketidaknyamanan fisik lainnya. Pola Tidur yang Terpengaruh: OCD dapat memengaruhi pola tidur remaja, menyebabkan kesulitan tidur, insomnia, atau perubahan dalam kebiasaan tidur mereka. Perubahan Pola Makan: Beberapa remaja mungkin mengalami perubahan dalam nafsu makan, seperti hilangnya selera makan atau peningkatan konsumsi makanan tertentu sebagai respons terhadap kecemasan mereka. Ketidaknyamanan Fisik yang Persisten: Gejala OCD dapat menyebabkan ketidaknyamanan fisik yang berlanjut, termasuk sakit kepala, sakit perut, atau gangguan fisik lainnya. Isolasi Sosial: Kecenderungan untuk menjalankan ritual atau mengatasi obsesi mereka sendiri dapat menyebabkan isolasi sosial. Remaja dengan OCD mungkin menghindari interaksi sosial untuk menghindari situasi yang memicu kecemasan Kesulitan dalam Hubungan Teman Sebaya: Defisit emosional dapat muncul dalam bentuk kesulitan membentuk dan mempertahankan hubungan dengan teman sebaya. Obsesi dan ritual dapat menjadi penghalang dalam membangun koneksi sosial yang sehat. Rendahnya Keterlibatan dalam Aktivitas Sosial: Remaja dengan OCD mungkin merasa terhalang untuk terlibat dalam aktivitas sosial karena obsesi atau ritual mereka. Hal ini dapat membatasi partisipasi mereka dalam kegiatan kelompok atau acara sosial. 4. Ketidakmampuan Mengelola Emosi: Obsesi dan ritual yang terus-menerus dapat menyebabkan tingkat kecemasan yang tinggi dan kesulitan dalam mengelola emosi. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan remaja untuk merespons secara sehat terhadap stres dan tekanan emosional. Kecemasan Tinggi: Obsesi yang muncul secara berulang dapat meningkatkan tingkat kecemasan remaja, terutama jika mereka mengalami kesulitan menjalankan ritual atau menyusun cara untuk mengatasi obsesinya. Ketidakmampuan untuk Mengendalikan Pikiran Obsesif: Kesulitan dalam mengendalikan pikiran obsesif dan kebutuhan untuk menjalankan ritual dapat memberikan kontribusi signifikan pada kecemasan remaja Rasa Bersalah atau Malu: Remaja mungkin merasa bersalah atau malu terkait obsesi dan perilaku kompulsif mereka, yang dapat memperburuk gejala depresi. Isolasi Sosial: Kecenderungan untuk mengisolasi diri karena obsesi dan ritual dapat memperburuk perasaan kesepian dan menyebabkan penurunan mood, faktor yang berkontribusi pada depres Perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada laki- laki sepanjang masa kanak-kanak, remaja, dan masa dewasa muda. Perbedaan ini tampaknya tidak hanya disebabkan oleh faktor psikososial atau stres semata. Ada indikasi bahwa kerentanan perempuan terhadap kecemasan memiliki kaitan dengan perbedaan genetik dan neurobiologis yang kompleks, juga pengaruh sosial dan pengalaman yang berbeda antara gender. karakteristik yang terkait dengan stereotip gender laki-laki, seperti keberanian dan ketahanan terhadap ketidakpastian, dapat memberikan perlindungan terhadap tingkat kecemasan tertentu pada anak-anak. Dorongan, ingatan, dan perasaan tertentu begitu menyakitkan sehingga harus ditekan dan dipindahkan ke objek eksternal atau secara simbolis berhubungan dengan sumber kecemasan sebenarnya Perilaku akan berlanjut jika diperkuat atau diberi penghargaan Menurut teori attachment, rasa takut pada anak-anak secara biologis berakar pada keterikatan emosional yang diperlukan untuk bertahan hidup. Gangguan kecemasan yang dialami oleh orang tua memiliki risiko terhadap hal yang sama pada anak. (saudara kembar). pengaruh lingkungan pada saat ibu hamil juga berpengaruh. Potensi kerentanan yang mendasari anak-anak yang berisiko mengalami kecemasan kemungkinan besar terlokalisasi pada sirkuit otak yang melibatkan batang otak, sistem limbik, sumbu HPA, dan korteks frontal. Pola asuh, attachment dan kebebasan atau keyakinan orang tua pada anak yang memiliki gangguan kecemasan. Meminta individu menghadapi apa yang membuat mereka takut, sekaligus memberikan cara untuk mengatasinya selain melarikan diri dan menghindar. Membangun hierarki paparan rasa takut, di mana objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti diurutkan berdasarkan tingkat kesulitannya. Mulai dari eksposur yang ringan atau cukup sulit, kemudian berkembang ke eksposur yang lebih sulit. Dikombinasikan dengan latihan relaksasi agar individu merasa relax dengan adanya rangsangan yang sebelumnya menimbulkan kecemasan. Dihadapkan pada tingkat tertinggi dari situasi yang ditakutkan. CBT mengajarkan individu untuk memahami bagaimana berpikir berkontribusi terhadap kecemasan dan bagaimana memodifikasi pikiran maladaptif mereka untuk mengurangi gejalanya. Pelatihan dan pemaparan keterampilan digunakan untuk memerangi pemikiran bermasalah yang berkontribusi terhadap tekanan cemas dan perilaku penghindaran yang berfungsi untuk mempertahankannya. Terapis menggunakan penguatan sosial untuk mendorong dan memberi penghargaan kepada anak-anak, yang juga diajarkan untuk memberi penghargaan diri mereka sendiri untuk mengatasi keberhasilan. Keterlibatan orang tua dalam Obat yang paling umum dan memberikan contoh, memperkuat efektif adalah inhibitor reuptake teknik penanggulangan, dan serotonin selektif (SSRI). menyediakan strategi manajemen Beberapa anak yang mengalami kecemasan sangat penting dalam kecemasan parah mungkin menangani anak-anak yang memerlukan pengobatan sebelum mengalami kecemasan. mereka dapat berpartisipasi dalam CBT. Dita Ratnasari Wahyuningrum, Antina Nevi Hidayati (Rumah Sakit Umum Daerah Jombang, Jombang, Jawa Timur, Indonesia) Anak tersebut tidak terus-menerus mencabuti rambutnya, tetapi Anak laki-laki berusia 10 tahun, beragama islam, dari hanya sesaat dia sedang sendirian dan saat dia tidak melakukan suku jawa, pelajar dari salah satu SD di Jombang, aktivitas apapun dan juga saat dia sedang cemas. Anak tersebut ibunya menyatakan keluhan bahwa anaknya sering melakukan hal tersebut bukan karena adanya pikiran lain yang ia mencabuti rambutnya sejak 1 bulan ini, dan pikirkan atau karena ada yang memerintahnya, tetapi hal tersebut mengatakan keluhan tersebut ke Poli Jiwa. terus dilakukan karena di dalam pikirannya selalu muncul dorongan Pada awalnya ibu pasien menemukan helaian rambut untuk melakukan hal seperti itu. Anak tersebut juga berusaha yang tercecer di lantai, ternyata setelah diperhatikan mengabaikan tetapi tidak bisa, dikarenakan setelah ia mencabut anaknya lebih dalam, anaknya sering mencabutu rambutnya ia merasa lega, tetapi rasa lega tersebut bukan rasa rambut di kulit kepalanya sendiri senang. Dikarenakan ia terus melakukan hal tersebut hingga kepalanya botak, anak tersebut juga dijauhi teman-temannya dikarenakan hal tersebut. Anak tersebut belum pernah mengalami gangguan seperti ini sebelumnya dan gangguan jiwa lainnya. Tidak didapatkan riwayat panas dan kejang, trauma yang memerlukan perawatan, dan tidak ada riwayat penyakit medis lainnya. Perkembangan masa kanak-kanak juga normal, pemeriksaab fisik juga dalam batas normal dan perkembangan juga sesuai usia, prestasi akademiknya juga bagus (tidak pernah tinggal kelas), mempunyai banyak teman dan juga sering mengaji. Ia juga akrab dan saling menolong dengan kakaknya. Wahyuningrum, D. R., & Hidayati, A. N. (2024). LAPORAN KASUS: SEORANG ANAK DENGAN GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF. Jurnal Kesehatan Tambusai, 5(4), 10477-10484. Anak mendapatkan terapi Haloperidol 0,5 mg, Fluoxetin 10 mg dan Pemeriksaan dermatologis menunjukkan bercak dilakukan terapi lingkungan yaitu dengan cara rambutnya di kebotakan tidak beraturan, rambut yang patah dan pull potong hingga pendek dan memakai topi. Setelah dilakukan terapi test negatif (belum berarti dia bebas dari kerontokan tersebut, anak tersebut menunjukkan perbaikan. Tetapi setelah rambut). diperhatikan selama 2 bulan sejak awal terapi, anak tersebut mulai memotong dan mengelupas kukunya hingga terlalu pendek. Setelah dilakukan konseling perilaku dengan si anak Seperti kebiasaan sebelumnya, ia tidak memotong kukunya terus memalai sarung tangan dan menyimpan gunting kuku, menerus tetapi hanya sesaat dia sendirian, sama seperti tadi hal kebiasaan tersebut berkurang. Tetapi seminggu kedelan tersebut dilakukan karena di dalam pikirannya muncul dorongan muncul kebiasaan baru yaitu si anak sering memainkan untuk berbuat demikian, bukan dikarenakan adanya pikiran lain kancing bajunya sampai terlepas, dan membuat Fluoxetin dan ada yang memerintah, ia sudah berusaha mengabaikan dinaikkan dosisnya menjadi 20mg dan haloperidol 0,5 mg. pikiran tersebut tetapi tidak bisa. Setelah dia memotong kukunya, ia merasa lega tetapi bukan senang. Dalam kasus ini, haloperidol diberikan sebagai terapi augmentasi. Haloperidol merupakan antipsikotik yang digunakan pada pasien OCD yang tidak menunjukkan Diagnosis dan penatalaksanaan kasus Obsessive-Compulsive Disorder perbaikan setelah terapi dengan SSRI (selective serotonin (OCD) memerlukan perhatian khusus dari klinisi serta dukungan penuh reuptake inhibitors ). dari orang tua. Penting bagi klinisi untuk melakukan evaluasi mendalam guna memastikan diagnosis yang tepat, karena gejala OCD dapat Wahyuningrum, D. R., & Hidayati, A. N. (2024). LAPORAN KASUS: bervariasi dan seringkali mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. SEORANG ANAK DENGAN GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF. Jurnal Kesehatan Tambusai, 5(4), 10477-10484. Dita Ratnasari Wahyuningrum, Antina Nevi Hidayati (Rumah Sakit Umum Daerah Jombang, Jombang, Jawa Timur, Indonesia) gambar kepala anak pada kasus tersebut gambar kuku anak pada kasus tersebut Wahyuningrum, D. R., & Hidayati, A. N. (2024). LAPORAN KASUS: SEORANG ANAK DENGAN GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF. Jurnal Kesehatan Tambusai, 5(4), 10477-10484. Raditya, 17 tahun, seorang remaja yang mengidap OCD. Dimana ia merasakan kecemasan yang berlebihan akibat adanya obsesi di dalam pikirannya. Raditya mengaku bahwa ia tidak bisa makan dan minum Untuk mengatasi kecemasan yang berlebihan tersebut, seperti orang normal pada umumnya. Ia mengatakan Raditya sering bertindak “aneh” dan tindakannya sering bahwa jika makan, ia akan memuntahkannya dan jika kali mengganggu aktifitasnya, sehingga ia pernah mengambil minum sendiri, ia akan menumpahkannya. berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya karena tidak Raditya pernah berada di titik depresi, merasa hampa, tahan dengan siksaan tersebut. lelah dengan segala hal, dan sempat berfikir untuk mengakhiri hidupnya. Raditya mengaku bahwa ia memiliki obsesi untuk menjadi sukses tetapi ia selalu mendengar suara suara yang menjatuhkannya dan mengatakan bahwa dirinya Awalnya, keluarga mengira bahwa Raditya mengidap akan gagal. Saat mendengar suara-suara tersebut, Epilepsi karena Raditya pernah memiliki riwayat Raditya berusaha melawannya dengan dengan gerakan epilepsi saat duduk di bangku SD dan di vonis sembuh dan ucapan positif (seperti berjalan maju 5 langkah, lalu saat menduduki bangku SMP. berjalan mundur 3 langkah, lalu berjalan maju lagi). Raditya sempat dirujuk ke Dokter Saraf untuk di tes CT Awalnya Raditya merasa malu untuk mengakui kondisinya Scan dan mendapat hasil baik. Setelah itu, Raditya ke keluarga besar. Namun, pada suatu saat, ia merasa harus dianjurkan untuk pergi ke Psikister atau Psikolog. menceritakannya dan akhirnya ia memutuskan untuk Awalnya Raditya merasa ragu untuk pergi ke Psikolog membuat sebuah Video Blog yang di upload di youtube atau Psikiater karena adanya stigma masyarakat yang tentang riwayat OCD dan kesehariannya. Video tersebut buruk tentang penyakit mental. kemudian tersebar ke grup keluarga dan mendapat respon Setelah Raditya memberanikan diri untuk pergi ke yang positif dari keluarga besarnya. Psikiater, Raditya menjalankan terapi dan minum obat. Raditya berpesan, bagi teman-teman yang merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, jangan takut untuk mengakui dan bercerita serta bersedia untuk berobat ke Psikolog dan Psikiater. Subjek diketahui bernama Sri dan duduk di bangku SMA. Sri mengalami kecemasan ataupun ketakutan terhadap tempat terbuka/ramai. ketakutan ini juga dialaminya apabila dia diharuskan untuk tampil di depan teman-temannya untuk memprestasikan tugasnya. Perasaan cemas/takut ini akan sampai memuncaknya ketika ia berada di tengah-tengah orang banyak atau temantamannya di kelas. Sri menunjukkan tanda-tanda munculnya kebingungan, ketakutan, keluar keringat dingin ketika dia diharuskan untuk tampil di depan kelas. Akibat ketakutannya ini, Sri menjadi siswa yang sulit beradaptasi dengan teman-temannya maupun dengan orang lain dan dikhawatirkan akan menghambat prestasinya. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Sri sendiri mengatakan bahwa yang menjadi tantangan terberat bagi dirinya yaitu mengalami kecemasan atau ketakutan ketika dia diharuskan untuk tampil di depan teman- temannya. Kasus ini adalah akibat dari trauma dengan adanya pengalaman dari orang lain tentang banyaknya temantemannya yang tampil di depan dipukul ketika tidak bias menghafal dan sebagainya dan juga banyaknya teman-temannya yang tampil didepan diejek oleh teman-teman yang lain akibat kesalahan dalam berbahasa, memilih kata-kata atau logatnya Selanjutnya hasil wawancara dengan wali kelas, teman sebangku, orangtua dan konselor, juga memiliki kesamaan dengan apa yang dialami oleh Sri sendiri. Hasil wawancara ini adalah merupakan pengalaman mereka melalui apa yang dilihat dan didengarnya. Dari pengamatan wali kelas melihat adanya gejala yang berupa muka pucat, gemetar, kebingungan dan sering menatap kosong bila saya suruh tampil di depan kelas atau untuk memprestasikan tugasnya. Sedangkan informasi dari konselor sekolah dan teman Sri juga mengukuhkan bahwa perilaku yang dimunculkan oleh Sri melalui gejalanya adalah merupakan hasil dari ketakutannya yang mendalam terhadap orang banyak ataupun tempat keramaian. Dari hasil wawancara ini juga merupakan data yang mendukung hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti dan konselor sekolah dalam mengamati gejala yang dimunculkan oleh Sri sebagai akibat dari reaksi ketakutannya. Gejala-gejala yang muncul ini yaitu; khawatir, ragu-ragu, ketakutan, muka pucat, bingung dan sering menatap kosong. Syarifah Nabila 2307101130020 Kasus ini berfokus pada seorang anak perempuan kelas 5 SD berusia 11 tahun yang mengalami kecemasan sosial cukup parah, yang memengaruhi kesehariannya di sekolah dan interaksi sosialnya. Sejak kelas 1 SD, anak ini pernah mengalami perundungan dari teman-temannya karena ia dianggap terlalu aktif dan pintar. Pengalaman ini meninggalkan trauma, sehingga ia sering merasa takut bahwa orang lain akan menilainya secara negatif atau memandang rendah dirinya. Selain itu, perceraian orang tua yang terjadi pada tahun-tahun awal sekolah dasar menambah beban emosional dan membuatnya semakin rentan terhadap kecemasan sosial. Anak ini cenderung menghindari situasi di mana dia harus menjadi pusat perhatian atau berbicara di depan umum. Di kelas, dia berbicara dengan suara yang sangat kecil, sering menghindari kontak mata, dan tidak berani bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru. Dalam situasi sosial, ia lebih memilih menyendiri dan hanya bergabung dengan teman-teman jika diajak terlebih dahulu, sehingga interaksi sosialnya menjadi terbatas. Ketika diminta maju ke depan kelas atau terlibat dalam aktivitas kelompok, dia merasa sangat gugup, khawatir ditertawakan, dan sering kali mencoba menghindari situasi tersebut dengan alasan tertentu, seperti pergi ke toilet. Di rumah, perilakunya sedikit berbeda; dia lebih terbuka dan aktif ketika bersama keluarga yang mendukung, tetapi masih menunjukkan kecemasan dalam menghadapi situasi baru atau orang yang tidak dikenal. Tes psikologi menunjukkan bahwa dia memiliki pemikiran negatif yang mendalam terhadap dirinya, seperti keyakinan bahwa dirinya akan selalu dinilai buruk oleh orang lain, sehingga lebih memilih untuk tidak menonjol. Kecemasan ini telah berdampak pada perkembangan sosial dan prestasinya di sekolah karena dia belum mampu mengatasi ketakutannya untuk terlibat lebih aktif dalam lingkungan sosial. Kesimpulannya, anak perempuan ini mengalami kecemasan sosial yang signifikan akibat kombinasi pengalaman perundungan di masa awal sekolah dan dampak emosional dari perceraian orang tuanya. Trauma dari pengalaman- pengalaman ini telah membentuk persepsi negatif terhadap dirinya, yang membuatnya sering merasa takut dinilai buruk oleh orang lain dan cenderung menarik diri dari interaksi sosial. Kecemasan sosial ini memengaruhi perilakunya di sekolah, di mana dia jarang berpartisipasi aktif, menghindari menjadi pusat perhatian, dan memilih untuk menyendiri. Di lingkungan rumah, ia menunjukkan sedikit keterbukaan, tetapi masih tetap merasa cemas di hadapan orang asing. Kondisi ini menunjukkan pentingnya intervensi, seperti terapi kognitif perilaku (CBT), untuk membantunya mengatasi pemikiran negatif dan memperbaiki kepercayaan diri serta kemampuan sosialnya. Berliana, A., & Nurtjahjo, F. E. (2024). STUDI KASUS: COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENGURANGI KECENDERUNGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA SEKOLAH DASAR. MANASA, 13(1), 34-46. isi Mash, E.J., & Wolfe, D.A. (2019). Abnormal Child Psychology, Seventh Edition. Boston: Cengage Learning. Wahyuningrum, D. R., & Hidayati, A. N. (2024). LAPORAN KASUS: SEORANG ANAK DENGAN GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF. Jurnal Kesehatan Tambusai, 5(4). Zainuri, M. I., & Wulandari, R. (2020). Studi Tentang Perilaku Agoraphobia Siswa dan Upaya Penanganannya. Jurnal Ilmiah Bimbingan dan Konseling, 1(2).

Use Quizgecko on...
Browser
Browser