Materi LCTP JAKTIM 2024 PDF
Document Details
Uploaded by SecureShofar
JAKTIM
2024
Tags
Related
- Diktat Hukum Tata Pemerintahan PDF
- Materi Lomba Cepat Tepat Perpajakan SMA/SMK/MA 2024 PDF
- Materi Lomba Cepat Tepat Perpajakan SMA/SMK/MA 2024 Jakarta Timur PDF
- SDSN 2023 Undang-Undang Perpajakan Indonesia PDF
- Pert 2 Bea Materai (Ganjil 2024/2025) untuk Mahasiswa PDF
- SDSN Undang-Undang Perpajakan 2023 PDF
Summary
This document discusses the relationship between tax law, civil law, and criminal law. It covers topics such as the rights of the government, taxable objects, the creation and termination of tax liabilities, tax collection methods, complaint and appeal procedures, and other related issues. It also delves into the influence of tax law on civil law. Key concepts like the Civil Code (KUHPerdata) are explained.
Full Transcript
3) hak-hak Pemerintah; 4) objek-objek yang dikenakan pajak; 5) timbul dan hapusnya hutang pajak; 6) cara penagihan hutang pajak; 7) cara mengajukan keberatan / banding; 8) dan lain-lain. Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pajak adalah termasuk hukum...
3) hak-hak Pemerintah; 4) objek-objek yang dikenakan pajak; 5) timbul dan hapusnya hutang pajak; 6) cara penagihan hutang pajak; 7) cara mengajukan keberatan / banding; 8) dan lain-lain. Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pajak adalah termasuk hukum publik (mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang/badan termasuk badan hukum). Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perseorangan yang memilki karakter mengatur dengan tujuan melindungi kepentingan individu (individual interest). Secara yuridis formal, KUHPerdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu: 1. buku I mengatur tentang orang (van Perrsonen) mulai Pasal 1 s/d 498, 2. buku II mengatur tentang benda (van Zaken) mulai Pasal 499 s/d 1232, 3. buku III mengatur tentang perikatan (van Verbintenissen) mulai Pasal 1233 s/d 1864, dan 4. buku IV mengatur tentang pembuktian dan Kadaluwarsa (van Bewijs en Verjaring) mulai Pasal 1865 s/d 1993. Namun berdasarkan sistematika ilmu hukum, sistematika hukum perdata terbagi atas hukum perorangan (personenrecht), bagian kedua tentang hukum keluarga (Familierecht), bagian ketiga tentang hukum harta kekayaan (Vermogenrecht), dan bagian keempat tentang hukum waris (Erfrecht). Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan. Dengan demikian hukum perdata ini mengikat hanya antara orang yang satu dengan orang yang lain yang memiliki hubungan hukum. Hubungan hukum yang umumnya memuat hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian dengan asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian apabila muncul masalah dalam pelaksanaannya maka pihak yang merasa dirugikan dalam perjanjian tersebut dapat melakukan suatu upaya hukum melalui jalur hukum untuk menuntut kembali haknya yang dilanggar oleh pihak lain. Kesimpulan: 1. Hukum pajak mengambil sasaran pada peristiwa, keadaan dan perbuatan yang berada dalam lapangan perdata sebagai odjek pengenaannya. Misalnya pada kepemilikan bumi dan bangunan akan dikenakan pajak bumi dan bangunan. Hubungan bumi dan bangunan dengan pemiliknya adalah merupakan hubungan perdata. 24 2. Hukum pajak mengunakan istilah-istilah dalam hukum perdata, misalnya kompensasi, pembebasan utang, pambayaran, daluwarsa, domisili dan lain-lain. Namun dalam penerapannya harus sudah ditentukan dalam UU. 3. Hubungan antara Hukum Pajak dengan Hukum perdata ada yang berpendapat hubungan antara hukum umum dan hukum khusus. Perdata merupakan hukum umum dan hukum pajak merupakan hukum khusus. Artinya hukum perdata harus dipandang sebagai hukum umum yang berlaku bagi serangkaian hubungan hukum sepanjang tidak ditentukan secara khusus (lex specialis derogat lex generalis). PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari lex specialis derogat lex generale, maka dalam setiap Undang-Undang, penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada di ketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata, antara lain: 1. Hak majikan memotong Pajak. a. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa: “Si majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan”. b. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama maupun yang baru. Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordonansi PPd 1944 menyatakan bahwa “majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak Upah/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji”. Di dalam Pasal 21 UU Pajak Penghasilan dinyatakan pada ayat (1): Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh: a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia, b. dan seterusnya. Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-Undang Pajak sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan wajib membayar gaji kepada si buruh, padahal dalam Undang-Undang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini ketentuan dalam Undang-Undang Pajaknya yang dianut. 25 HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dengan demikian, hukum pidana mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum. Segala peraturan tentang pelanggaran, kejahatan, dan sebagainya diatur dalam undang-undang yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang disingkat KUHP. Hukum Pajak berhubungan dengan hukum pidana karena jika wajib pajak (WP) menghindari pembayaran pajak, membayar dengan pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya, maka dikenakan pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku, dikarenakan ketentuan pidana juga diatur dalam hukum pajak. Sebagaimana diketahui bahwa hukum pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHP tetapi di luar itu juga terdapat ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya yang meliputi bermacam-macam bidang yang salah satunya adalah hukum pajak. Dalam penjelasan Pasal 13A UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan), pengenaan sanksi pidana pajak merupakan upaya terakhir dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Faktor seseorang melakukan pidana khusus dalam hukum pajak sehingga timbul hukum pidana: a. Wajib Pajak mengisi formulir dan keterangan secara palsu atau tidak dengan sebenarnya, maka wajib pajak itu dapat dipidana telah memalsukan keterangan. b. Dalam Pasal 322 KUHPidana diancam terhadap pegawai yang sengaja membuka rahasia, yang seharusnya disimpan secara baik. c. Terhadap orang atau badan yang melakukan usaha menyimpan, menguasai atau membuat laporan keuangan dan harta benda kekayaan pihak ketiga, seperti: Akuntan, Biro Administrasi, Biro Penasehat, wajib memberi keterangan dan memperlihatkan arsip kepada petugas pajak, jika melakukan pelanggaran terhadap hal ini maka dikenakan hukuman pidana. d. Berdasarkan STB 1941 No. 491 terhadap seseorang yang memakai lagi materai tempel yang telah dipakai, merupakan kejahatan Pidana Fisikal dan diancam sesuai pasal 122 ayat 1 Aturan bea materai 1921 dan pasal 260 KUHPidana. e. Sogok atau suap kepada wajib pajak dan sebaliknya. f. Pemerasan terhadap wajib pajak. g. Adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan di bidang perpajakan. 26 Ancaman pidana dalam hukum pajak mengacu pada ketentuan hukum pidana. Pada ketentuan pasal 103 KUHP yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan undang-undang lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.” Misalnya wajib pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam pasal 231 KUHP. Demikian pula halnya jika terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP. Termasuk misalnya dalam hal pembuktian tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHAP. Namun, sesungguhnya pengenaan sanksi pidana pajak sangat kontraproduktif dan tidak sejalan dengan fungsi pajak sebagai penerimaan negara, oleh karena itu pengenaan sanksi pidana hanyalah sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sebagaimana penjelasan Pasal 13A UU KUP. Untuk itu, diatur juga dalam UU KUP tentang ketentuan pembayaran denda sebagai pengganti sanksi pidana. Ultimum remedium merupakan istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Bahkan ultimum remedium tidak hanya suatu istilah, tetapi juga merupakan suatu asas hukum. PENEMUAN HUKUM DAN PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK Dalam ilmu hukum dikenal sumber hukum, yaitu segala apa saja yang menimbulkan aturan- aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, aturan-aturan tersebut kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum terdiri dari: undang-undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie), traktat (treaty), pendapat sarjana hukum (doktrin). Berdasarkan Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (ABWI), keputusan hakim diakui sebagai sumber hukum. Dengan demikian oleh peraturan Perundang- undangan telah diakui bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentukan hukum. Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan Perundang-undangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu hakim turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak maka. Scholten mengatakan bahwa hakim menjalankan “rechtsvinding” (penemuan hukum). 27 Walaupun hakim ikut menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentuk undang- undang, DPR) karena keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan Perundang-undangan. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 21 AB bahwa hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Disamping itu apabila suatu undang-undang isinya tidak jelas, seorang hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum. Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan Perundang-undangan tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang. Hal tersebut bertujuan agar dapat mencapai kehendak pembuat undang- undang dan sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat maka hakim menggunakan beberapa cara penafsiran peraturan Perundang-undangan. Meskipun peraturan Perundang-undangan telah diatur selengkap-lengkapnya namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. Hal ini bisa terjadi mengingat pada saat peraturan Perundang-undangan dibuat ada hal-hal yang belum ada atau belum dikenal seperti listrik. Aliran listrik sekarang telah dianggap sebagai benda, sehingga barangsiapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib termasuk perbuatan yang melanggar hukum yaitu tindak pidana pencurian. Mengingat hukum bersifat dinamis maka hakim sebagai penegak hukum harus berpedoman pada peraturan Perundang-undangan demi mencapai kepastian hukum. Sedangkan di dalam memberikan putusan hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Agar hukum bersifat luwes maka peraturan Perundang-undangan juga harus mengikuti perkembangan zaman. Untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya, hakim harus mengingat pada adat-kebiasaan, jurisprudentie, ilmu pengetahuan dan akhirnya pendapat hakim itu sendiri ikut menentukan, dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum. Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-Undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi. Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui dan memahami arti kaedah-kaedah hukum. Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum: a. Penafsiran tata bahasa (gramatika) 28