Summary

This document provides material on taxation and civil law from the Kanwil DJP Jakarta Timur in 2024. It discusses the relationship between taxation and civil law and the subjects associated within each.

Full Transcript

3) hak-hak Pemerintah; 4) objek-objek yang dikenakan pajak; 5) timbul dan hapusnya hutang pajak; 6) cara penagihan hutang pajak; 7) cara mengajukan keberatan / banding; 8) dan lain-lain. Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pajak adalah termasuk hukum...

3) hak-hak Pemerintah; 4) objek-objek yang dikenakan pajak; 5) timbul dan hapusnya hutang pajak; 6) cara penagihan hutang pajak; 7) cara mengajukan keberatan / banding; 8) dan lain-lain. Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pajak adalah termasuk hukum publik (mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang/badan termasuk badan hukum). Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perseorangan yang memilki karakter mengatur dengan tujuan melindungi kepentingan individu (individual interest). Secara yuridis formal, KUHPerdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu: 1. buku I mengatur tentang orang (van Perrsonen) mulai Pasal 1 s/d 498, 2. buku II mengatur tentang benda (van Zaken) mulai Pasal 499 s/d 1232, 3. buku III mengatur tentang perikatan (van Verbintenissen) mulai Pasal 1233 s/d 1864, dan 4. buku IV mengatur tentang pembuktian dan Kadaluwarsa (van Bewijs en Verjaring) mulai Pasal 1865 s/d 1993. Namun berdasarkan sistematika ilmu hukum, sistematika hukum perdata terbagi atas hukum perorangan (personenrecht), bagian kedua tentang hukum keluarga (Familierecht), bagian ketiga tentang hukum harta kekayaan (Vermogenrecht), dan bagian keempat tentang hukum waris (Erfrecht). Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan. Dengan demikian hukum perdata ini mengikat hanya antara orang yang satu dengan orang yang lain yang memiliki hubungan hukum. Hubungan hukum yang umumnya memuat hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian dengan asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian apabila muncul masalah dalam pelaksanaannya maka pihak yang merasa dirugikan dalam perjanjian tersebut dapat melakukan suatu upaya hukum melalui jalur hukum untuk menuntut kembali haknya yang dilanggar oleh pihak lain. Kesimpulan: 1. Hukum pajak mengambil sasaran pada peristiwa, keadaan dan perbuatan yang berada dalam lapangan perdata sebagai odjek pengenaannya. Misalnya pada kepemilikan bumi dan bangunan akan dikenakan pajak bumi dan bangunan. Hubungan bumi dan bangunan dengan pemiliknya adalah merupakan hubungan perdata. 24 2. Hukum pajak mengunakan istilah-istilah dalam hukum perdata, misalnya kompensasi, pembebasan utang, pambayaran, daluwarsa, domisili dan lain-lain. Namun dalam penerapannya harus sudah ditentukan dalam UU. 3. Hubungan antara Hukum Pajak dengan Hukum perdata ada yang berpendapat hubungan antara hukum umum dan hukum khusus. Perdata merupakan hukum umum dan hukum pajak merupakan hukum khusus. Artinya hukum perdata harus dipandang sebagai hukum umum yang berlaku bagi serangkaian hubungan hukum sepanjang tidak ditentukan secara khusus (lex specialis derogat lex generalis). PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari lex specialis derogat lex generale, maka dalam setiap Undang-Undang, penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada di ketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata, antara lain: 1. Hak majikan memotong Pajak. a. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa: “Si majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan”. b. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama maupun yang baru. Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordonansi PPd 1944 menyatakan bahwa “majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak Upah/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji”. Di dalam Pasal 21 UU Pajak Penghasilan dinyatakan pada ayat (1): Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh: a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia, b. dan seterusnya. Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-Undang Pajak sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan wajib membayar gaji kepada si buruh, padahal dalam Undang-Undang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini ketentuan dalam Undang-Undang Pajaknya yang dianut. 25 HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dengan demikian, hukum pidana mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum. Segala peraturan tentang pelanggaran, kejahatan, dan sebagainya diatur dalam undang-undang yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang disingkat KUHP. Hukum Pajak berhubungan dengan hukum pidana karena jika wajib pajak (WP) menghindari pembayaran pajak, membayar dengan pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya, maka dikenakan pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku, dikarenakan ketentuan pidana juga diatur dalam hukum pajak. Sebagaimana diketahui bahwa hukum pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHP tetapi di luar itu juga terdapat ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya yang meliputi bermacam-macam bidang yang salah satunya adalah hukum pajak. Dalam penjelasan Pasal 13A UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan), pengenaan sanksi pidana pajak merupakan upaya terakhir dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Faktor seseorang melakukan pidana khusus dalam hukum pajak sehingga timbul hukum pidana: a. Wajib Pajak mengisi formulir dan keterangan secara palsu atau tidak dengan sebenarnya, maka wajib pajak itu dapat dipidana telah memalsukan keterangan. b. Dalam Pasal 322 KUHPidana diancam terhadap pegawai yang sengaja membuka rahasia, yang seharusnya disimpan secara baik. c. Terhadap orang atau badan yang melakukan usaha menyimpan, menguasai atau membuat laporan keuangan dan harta benda kekayaan pihak ketiga, seperti: Akuntan, Biro Administrasi, Biro Penasehat, wajib memberi keterangan dan memperlihatkan arsip kepada petugas pajak, jika melakukan pelanggaran terhadap hal ini maka dikenakan hukuman pidana. d. Berdasarkan STB 1941 No. 491 terhadap seseorang yang memakai lagi materai tempel yang telah dipakai, merupakan kejahatan Pidana Fisikal dan diancam sesuai pasal 122 ayat 1 Aturan bea materai 1921 dan pasal 260 KUHPidana. e. Sogok atau suap kepada wajib pajak dan sebaliknya. f. Pemerasan terhadap wajib pajak. g. Adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan di bidang perpajakan. 26 Ancaman pidana dalam hukum pajak mengacu pada ketentuan hukum pidana. Pada ketentuan pasal 103 KUHP yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan undang-undang lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.” Misalnya wajib pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam pasal 231 KUHP. Demikian pula halnya jika terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP. Termasuk misalnya dalam hal pembuktian tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHAP. Namun, sesungguhnya pengenaan sanksi pidana pajak sangat kontraproduktif dan tidak sejalan dengan fungsi pajak sebagai penerimaan negara, oleh karena itu pengenaan sanksi pidana hanyalah sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sebagaimana penjelasan Pasal 13A UU KUP. Untuk itu, diatur juga dalam UU KUP tentang ketentuan pembayaran denda sebagai pengganti sanksi pidana. Ultimum remedium merupakan istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Bahkan ultimum remedium tidak hanya suatu istilah, tetapi juga merupakan suatu asas hukum. PENEMUAN HUKUM DAN PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK Dalam ilmu hukum dikenal sumber hukum, yaitu segala apa saja yang menimbulkan aturan- aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, aturan-aturan tersebut kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum terdiri dari: undang-undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie), traktat (treaty), pendapat sarjana hukum (doktrin). Berdasarkan Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (ABWI), keputusan hakim diakui sebagai sumber hukum. Dengan demikian oleh peraturan Perundang- undangan telah diakui bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentukan hukum. Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan Perundang-undangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu hakim turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak maka. Scholten mengatakan bahwa hakim menjalankan “rechtsvinding” (penemuan hukum). 27 Walaupun hakim ikut menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentuk undang- undang, DPR) karena keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan Perundang-undangan. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 21 AB bahwa hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Disamping itu apabila suatu undang-undang isinya tidak jelas, seorang hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum. Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan Perundang-undangan tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang. Hal tersebut bertujuan agar dapat mencapai kehendak pembuat undang- undang dan sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat maka hakim menggunakan beberapa cara penafsiran peraturan Perundang-undangan. Meskipun peraturan Perundang-undangan telah diatur selengkap-lengkapnya namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. Hal ini bisa terjadi mengingat pada saat peraturan Perundang-undangan dibuat ada hal-hal yang belum ada atau belum dikenal seperti listrik. Aliran listrik sekarang telah dianggap sebagai benda, sehingga barangsiapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib termasuk perbuatan yang melanggar hukum yaitu tindak pidana pencurian. Mengingat hukum bersifat dinamis maka hakim sebagai penegak hukum harus berpedoman pada peraturan Perundang-undangan demi mencapai kepastian hukum. Sedangkan di dalam memberikan putusan hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Agar hukum bersifat luwes maka peraturan Perundang-undangan juga harus mengikuti perkembangan zaman. Untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya, hakim harus mengingat pada adat-kebiasaan, jurisprudentie, ilmu pengetahuan dan akhirnya pendapat hakim itu sendiri ikut menentukan, dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum. Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-Undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi. Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui dan memahami arti kaedah-kaedah hukum. Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum: a. Penafsiran tata bahasa (gramatika) 28 Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang, yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Misalnya dalam suatu peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan istlah “kendaraan”. Mengingat kendaraan dapat berupa kendaraan roda dua, roda empat, atau sepeda. Dengan demikian sepatutnya suatu peraturan perundang- perundangan memperjelas kendaraan bermotor jenis apa yang dilarang parkir. Penafsiran menurut tata bahasa merupakan penafsiran yang paling penting dibandingkan dengan penafsiran- penafsiran lainnya, sebab apabila kata-kata dalam kalimat suatu pasal dalam undang- undang telah jelas maksudnya maka tidak boleh lagi dipergunakan cara-cara penafsiran lainnya. b. Penafsiran sahih (resmi, autentik) Penafsiran sahih (resmi, autentik) adalah penafsiran yang pasti terhadap kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Misalnya pengertian “saat terutangnya PPN untuk penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak” sesuai Pasal 11 ayat (2) UU PPN dinyatakan bahwa dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. c. Penafsiran histories Penafsiran histories adalah penafsiran terhadap suatu peraturan Perundang-undangan berdasarkan pada sejarah pembentukan peraturan Perundang-undangan tersebut. Penafsiran histories dibagi 2 (dua) yaitu: 1. Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah secara keseluruhan terjadinya hukum tersebut, misalnya peraturan Perundang-undangan perpajakan dimulai dari zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan saat ini. 2. Sejarah undang-undangnya, penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi di legislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya yang dipelajari adalah maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu, misalnya didenda f 10, sekarang ditafsirkan dengan uang R.I., sebesar Rp10,- 29 d. Penafsiran sistematis (dogmatis) Penafsiran sistematis adalah penafsiran memiliki susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain. Misalnya tanggal jatuh tempo penyetoran dan pelaporan PPN selama ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU KUP yaitu “PPN yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan PPN tersebut disetor paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak sesuai Pasal 3 ayat (3) UU KUP”. Setelah berlakunya UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 pada tanggal 1 April 2010 maka ketentuan tentang tanggal setor dan lapor PPN berubah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15A UU PPN yaitu “penyetoran PPN oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan”. e. Penafsiran sosiologi Penafsiran sosiologi yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang- undang. Hal ini penting karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat berubah dan berkembang sesuai perkembangan masa, sedangkan undang-undang tetap saja. f. Penafsiran ekstensif Penafsiran ekstensif adalah penafsiran dengan memperluas arti, kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimaksudkan dalam ketentuan itu. Misalnya “aliran listrik termasuk benda”. g. Penafsiran restriktif Penafsiran restriktif ialah penafsiran dengan mempersempit arti kata-kata dalam suatu undang-undang, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacat dan lain-lain. h. Penafsiran analogis Penafsiran analogis ialah penafsiran pada suatu hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. i. Penafsiran a contrario Penafsiran a contrario ialah suatu cara penafsiran undang-undang yang didasarkan pada lawan dari ketentuan tersebut. Contoh Pasal 34 BW yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya 30 terdahulu diputuskan. Bagaimana hanya dengan laki-laki? Tidak berlaku karena kata laki-laki tidak disebutkan. Penafsiran sebagaimana diuraikan di atas harus dibatasi dalam menafsirkan peraturan Perundang-undangan perpajakan dan penafsiran yang tidak diperkenankan dalam menafsirkan peraturan Perundang-undangan perpajakan adalah penafsiran analogis dan a contrario. Kedua penafsiran ini sangat berbahaya, misalnya objek yang dikenakan pajak dalam undang-undang dengan interpretasi analogis dapat diperluas, sehingga objek yang tidak disebut dalam undang-undang akhirnya dapat dikenakan pajak. Demikian juga penafsiran a contrario, misalnya objek yang tidak dikenakan pajak sesuai undang-undang dengan interpretasi a contrario menjadi dikenakan pajak. Soemitro (2004 : 22) penjelasan yang diberikan dalam memori penjelasan adalah tidak mengikat, sebab penjelasan bukan merupakan ketentuan undang-undang sehingga masih dapat dipersoalkan di muka pengadilan. Tafsiran yang diberikan oleh pelaksana sangat lemah dan masih dapat dijadikan sengketa dalam pengadilan maka oleh sebab itu jangan diberikan kesempatan kepada pelaksana untuk memberikan penafsiran mengenai suatu ketentuan hukum. Dalam praktek sering pelaksana memberikan tafsiran mengenai sesuatu tetapi menurut hukum ini tidak mengikat walaupun tafsiran itu digunakan olehnya untuk melaksanakan undang-undang yang bersangkutan. Cara-cara penafsiran sebagaimana telah diuraikan terdahulu pada umumnya berlaku dalam Hukum Pajak, namun penafsiran undang-undang pajak sering dilihat dengan kaca mata yang istimewa, sehingga sering para sarjana mengatakan sebagai masalah yang luar biasa. Alasannya banyak orang yang berbuat demikian, karena berdasarkan kenyataan, bahwa corak pemungutan pajak berpengaruh besar atas cara-cara penafsiran itu. Brotodihardjo (1982 : 147), menyatakan bahwa hingga kini yang merupakan titik persengketaan di antara para sarjana adalah penafsiran analogi dalam Hukum Pajak, sekali pun pada gelagatnya pada akhir-akhir ini mereka cenderung kepada pendapat bawa penafsiran semacam ini harus tidak dipergunakan dalam penafsiran Perundang-undangan pajak. Berdasarkan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang. Artinya, bahwa tidaklah sekali-kali diperkenankan memungut pajak selain berdasarkan undang-undang. Maksud dari ketentuan ini agar wajib pajak tidak diperlakukan semena-mena oleh Fiskus. Pemungutan pajak di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi harus berdasarkan undang-undang; hal ini sesuai dengan Pasal 23A ayat (2) Amandemen Ketiga UUD Negara Republik Indonesia 1945 “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. 31 SAAT DIMULAINYA KEWAJIBAN PERPAJAKAN A. DASAR HUKUM UU Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 TAHUN 2023. Saat dimulainya kewajiban perpajakan: a. Saat dimulainya kewajiban perpajakan adalah saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan sehubungan adanya perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. b. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP seharusnya dibaca dan ditafsirkan secara utuh dan satu kesatuan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP. Kewajiban perpajakannya dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, berlaku bagi: 1. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan; atau 2. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan. c. Dalam hal diperoleh data dan informasi atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang menimbulkan adanya pajak yang terutang sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan, apabila Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak atas kewajiban perpajakan tersebut belum melewati daluwarsa penetapan pajak. d. Sesuai prinsip self assessment, Wajib Pajak dapat diberikan kesempatan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melaporkan dalam Surat Pemberitahuan atas kewajiban perpajakan sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan. SUBJEK PAJAK DAN BUKAN SUBJEK PAJAK A. DASAR HUKUM Pasal 2, Pasal 2A, Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 (disebut dengan UU PPh). 32 B. YANG MENJADI SUBJEK PAJAK (Pasal 2 UU PPh) (1) Yang menjadi subjek pajak adalah: a. 1. orang pribadi; dan 2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; b. badan; dan c. bentuk usaha tetap. C. KLASIFIKASI SUBJEK PAJAK, SAAT MULAI DAN BERAKHIRNYA KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri adalah (Pasal 2 ayat 3 UU PPh): 1. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang: a. bertempat tinggal di Indonesia; b. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau c. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama‐lamanya. (Pasal 2A ayat (1) UU PPh). 2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan; b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Kewajiban pajak subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. (Pasal 2A ayat (2) UU PPh). 3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya 33 warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi. Subjek pajak luar negeri adalah (Pasal 2 ayat 4 UU PPh): 1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia; 2. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan: 1. tempat tinggal; 2. pusat kegiatan utama; 3. tempat menjalankan kebiasaan; 4. status subjek pajak; dan/atau 5. persyaratan tertentu lainnya, yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; dan 4. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan computer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan 34 adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ketentuan tambahan: Saat dimulainya kewajiban perpajakan adalah saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan sehubungan adanya perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. 1. Kewajiban perpajakannya dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, berlaku bagi: a. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan; atau b. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan. 2. Dalam hal diperoleh data dan informasi atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang menimbulkan adanya pajak yang terutang sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan, apabila Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak atas kewajiban perpajakan tersebut belum melewati daluwarsa penetapan pajak. 3. Sesuai prinsip self assessment, Wajib Pajak dapat diberikan kesempatan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melaporkan dalam Surat Pemberitahuan atas kewajiban perpajakan sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan. D. BUKAN SUBJEK PAJAK Yang tidak termasuk subjek pajak adalah: (Pasal 3 UU PPh) 1. kantor perwakilan negara asing; 2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; 3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 35 b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat : a. bukan warga negara Indonesia; dan b. tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Organisasi Internasional adalah organisasi, badan, lembaga, asosiasi, perhimpunan, forum antar pemerintah atau non pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas utama atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia. (Pasal 1 PMK 235/PMK.010/2020 tentang Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan). PEMBUATAN ATURAN DAN KEBIJAKAN Pembentukan peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang- undangan. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan Perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan Perundang-undangan. Dalam modul ini akan diuraikan tentang Pengertian, Asas Peraturan Perundang-undangan, Materi Muatan, Pengundangan dan Penyebarluasan, serta Partisipasi Masyarakat. I. Pengertian Peraturan Perundang-undangan a. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. b. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. c. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 36 d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. e. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. f. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. g. Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. h. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. i. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. II. Pancasila Merupakan Sumber Dari Segala Sumber Hukum Negara Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Penempatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya. III. Asas Peraturan Perundang-undangan Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang- 37 undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya. d. Dapat dilaksanakan Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Kejelasan rumusan Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan. IV. Materi Asas Muatan Peraturan Perundang-undangan Materi pemuatan peraturan Perundang-undangan mengandung asas antara lain: a. Pengayoman Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Kemanusiaan Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 38 c. Kebangsaan Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. d. Kekeluargaan Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Kenusantaraan Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Bhinneka Tunggal Ika Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Keadilan Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Ketertiban dan kepastian hukum Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. 39 Selain asas sebagaimana dimaksud di atas, Peraturan Perundang- undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang- undangan yang bersangkutan" antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. V. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah; Peraturan Daerah meliputi: - Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; - Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; - Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki tersebut. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 40 VI. Pengundangan dan Penyebarluasan Pengundangan a. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: 1) Lembaran Negara Republik Indonesia; 2) Berita Negara Republik Indonesia; 3) Lembaran Daerah; atau 4) Berita Daerah b. Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: 1) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2) Peraturan Pemerintah; 3) Peraturan Presiden mengenai: - pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan - pernyataan keadaan bahaya. 4) Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang- undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. c. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. d. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. e. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang- undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. f. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang Peraturan Perundang-undangan. g. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak sama dengan tanggal Pengundangan, dimungkinkan, untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang-undangan tersebut. 41 VII. Penyebarluasan Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak. 1. Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia. 2. Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah. HUKUM PAJAK 1) Pengertian Hukum Pajak Hukum pajak, dalam bahasa Inggris,disebut tax law. Dalam bahasa Belanda, hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakan tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya. Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana. Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro, 1979). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan: - Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak); - Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak); - Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah; - Timbulnya dan hapusnya utang pajak; - Cara penagihan pajak; - Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian hukum pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai “ketentuan umum” bagi 42 peraturan Perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya sektoral. 2) Tugas Hukum Pajak Tugas umum yang harus diemban oleh hukum pajak adalah: a. Menelaah keadaan masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak; b. Merumuskannya ke dalam peraturan-peraturan hukum; c. Menafsirkan peraturan-peraturan hukum tersebut; d. Mengatur ketentuan-ketentuan pidana; e. Mengatur ketentuan-ketentuan administrasi; f. Mengatur ketentuan peradilan administrasi dan peradilan pajak. Tugas Khusus hukum pajak adalah sebagai alat kebijaksanaan untuk menentukan politik perekonomian ataupun tugas di luar kepentingan keuangan negara. 3) Fungsi Hukum Pajak Fungsi hukum pajak berkaitan erat dengan fungsi dari negara. Beberapa fungsi dari negara seperti: a. Mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan. b. Melaksanakan ketertiban Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yag kondusif dan damai diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat. c. Pertahanan dan keamanan Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. d. Menegakkan keadilan Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warga meminta keadilan di segala bidang. KETENTUAN UMUM TERKAIT PENDAFTARAN NPWP I. DASAR HUKUM 1. Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 2007 (berlaku sejak 1 Januari 2008) tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; 2. Pasal 2, 3, dan 4 PP 74 Tahun 2011 (berlaku sejak 1 Januari 2012) tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; 43 3. PMK-147/PMK.03/2017 (berlaku sejak 1 November 2017) tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. PMK ini mencabut PMK-182/PMK.03/2015; 4. PER-38/PJ/2013 (berlaku sejak 8 November 2013) tentang perubahan PER- 20/PJ/2013 (berlaku sejak 30 Mei 2013) tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan PKP, Penghapusan NPWP dan Pencabutan PKP, serta Perubahan Data dan Pemindahan WP. PER ini mengubah ketentuan Pasal 6 PER-20/PJ/2013; 5. PER-15/PJ/2016 (berlaku 27 September 2016) tentang Perubahan Kedua PER- 28/PJ/2012 tentang Tempat Pendaftaran dan Pelaporan Usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus dan Kantor Pelayanan Pajak Madya. II. DEFINISI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. (Pasal 1 angka 6 UU Nomor 28 Tahun 2007). Setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP. III. PENGELOMPOKAN WAJIB PAJAK (WP) Dalam rangka pelaksanaan administrasi perpajakan, WP dikelompokkan menjadi WP orang pribadi dan WP badan. NPWP WP Orang Pribadi diadministrasikan sebagai berikut: 1. Wajib Pajak orang pribadi dikelompokkan ke dalam lima kategori: a. Orang Pribadi (lnduk), yaitu terdiri dari Wajib Pajak belum menikah, dan suami sebagai kepala keluarga; b. Hidup Berpisah (HB), yaitu wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; c. Pisah Harta (PH), yaitu suami-istri yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. Wajib Pajak ini diberikan NPWP Pusat yang berbeda dengan NPWP suami. d. Memilih Terpisah (MT), yaitu wanita kawin, selain kategori Hidup Berpisah dan Pisah Harta, yang dikenai pajak secara terpisah karena memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya, dan Wajib Pajak ini diberikan NPWP Pusat yang berbeda dengan NPWP suami. 44 e. Warisan Belum Terbagi (WBT) sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris. 2. NPWP tidak diberikan kepada: a. Wanita kawin yang tidak hidup berpisah berdasarkan putusan hakim, tidak melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis, dan/atau tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya, yang hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya; dan b. Anak yang belum dewasa yang memiliki penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 4 Undang- Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 TAHUN 2008. 3. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) dan orang pribadi lainnya yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas juga wajib mendaftarkan diri di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha tersebut, untuk memperoleh NPWP Cabang bagi setiap tempat usaha. IV. KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (Pasal 2 ayat 1 UU KUP). Subjektif artinya sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU PPh 1984 dan perubahannya. Objektif artinya Persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai PPh 1984 dan perubahannya. Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. V. JANGKA WAKTU MENDAFTARKAN DIRI 1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya 45 setelah penghasilan Wajib Pajak tersebut pada suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. 2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha atau pekerjaan bebas nyata-nyata mulai dilakukan. 3. Wajib Pajak badan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat pendirian. 4. Bendahara wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lambat sebelum melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak. VI. KEWAJIBAN MELAPORKAN KEGIATAN USAHA Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (pasal 2 ayat 2 UU KUP). Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean (Pasal 1 angka 4 UU KUP). Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (Pasal 1 angka 15 UU PPN). Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar. VII. JANGKA WAKTU PELAPORAN USAHA a. Orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sebagai PENGUSAHA yang menyerahkan BKP/JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP; b. Badan, sebagai PENGUSAHA yang menyerahkan BKP/JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP; 46 c. Pengusaha kecil, tidak memilih sebagai PKP sampai dengan suatu bulan dalam suatu tahun buku OMSET BKP dan/atau JKP melebihi batasan yang ditentukan sebagai Pengusaha Kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya. VIII. SANKSI BERKAITAN DENGAN KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI DAN MELAPORKAN KEGIATAN USAHA 1. Sanksi administrasi Apabila WP tidak melaksanakan kewajiban mendaftarkan diri dan atau PKP tidak melaporkan usahanya, Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan. Terhadap kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat NPWP dan pengukuhan PKP secara jabatan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan (Pasal 13 ayat 2 UU KUP). 2. Sanksi pidana Setiap orang yang dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar (Pasal 39 angka 1 UU KUP). IX. PENGGUNAAN NIK SEBAGAI NPWP Penggunaan NIK sebagai NPWP merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur bahwa NPWP orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan NIK (Pasal 2 ayat (1a) UU HPP). Tujuan kebijakan ini adalah: 1. Untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penggunaan NPWP sehubungan dengan ketetuan penggunaan NIK sebagi NPWP bagi wajib pajak Orang Pribadi; 47 2. Untuk memberikan kesetaraan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien bagi selain wajib pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia yang menggunakan NIK sebagai NPWP; 3. Untuk mendukung kebijakan satu data Indonesia dengan mengatur pencantuman nomor identitas tunggal yang terstandardisasi dan terintegrasi dalam pelayanan administrasi perpajakan. PERUBAHAN FORMAT NPWP MASA TRANSISI NPWP SUMBER-SUMBER PENERIMAAN NEGARA Mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara terdiri atas: 1. Penerimaan Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 48 Dasar hukum: UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). - Pajak Penghasilan (PPh) - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) - Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) - Pajak Bumi dan Bangunan (PBB P5L) - Bea Meterai - Kepabeanan dan Cukai 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan Perundang-undangan. Dasar hukum: UU No. 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. - Pendapatan dari Sumber Daya Alam: misalnya, royalti dari pertambangan, minyak, dan gas. Peraturan terkait termasuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang penerimaan negara dari pengelolaan sumber daya alam. - Pendapatan dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Negara: meliputi hasil sewa, penjualan aset negara, dan dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). - Pendapatan dari Jasa dan Layanan Pemerintah: seperti biaya administrasi, izin, dan layanan publik lainnya. Contoh termasuk biaya penerbitan paspor, sertifikat, dan izin usaha. 3. Hibah Hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Dasar hukum: PP No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. - Hibah dari dalam negeri - Hibah dari luar negeri APBN (ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan 49

Use Quizgecko on...
Browser
Browser