Wajah dan Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia PDF
Document Details
Uploaded by ExcitingNarwhal8168
Universitas Kiai Abdullah Faqih Gresik
Muhammad Naf’an Nafis
Tags
Summary
This document is a study of Islamic moderation in Indonesia. It explores the historical context of Islamic moderation in the Indonesian archipelago, focusing on key figures and events. The author examines the concept of Islamic moderation and its relevance to Indonesian society.
Full Transcript
Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia)...
Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia) Muhammad Naf’an Nafis Universitas Kiai Abdullah Faqih Gresik E-mail: [email protected] Abstrak: Sungguh menyedihkan jika perbedaan dalam Islam, yang pada dasarnya berangkat dari perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap teks al-Qur'an dan al-Hadits, berakibat pada ketidakharmonisan dalam bermasyarakat dan bernegara. Padahal, sepanjang perbedaan itu dilandasi oleh nilai-nilai ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), hablu minannaas (hubungan baik dengan sesama makhluk), dan ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan itu rahmat), tidak akan menimbulkan masalah. Khususnya di Indonesia, dari fakta yang ada, nampaknya belum menunjukkan bahwa perbedaan adalah rahmat. Oleh karena itu, tulisan ini mengajak untuk mencoba merujuk kembali sejarah atau kajian historis memahami Islam dan ber- Islam yang sesuai dengan konteks yang ada Indonesia, agar manusia Indonesia tidak terjebak pada ekstrimitas yang berlebihan. Konsep Islam moderat pada dasarnya hanya sebatas tawar menawar yang semata-mata ingin membantu masyarakat secara umum dalam memahami Islam. Bersikap moderat dalam ber- Islam bukanlah hal yang menyimpang dalam ajaran Islam, karena hal ini dapat dideteksi dari rujukannya, baik dalam al-Qur'an, al-Hadits, maupun perilaku manusia dalam sejarah. Mengembangkan pemahaman “Islam Moderat” untuk konteks Indonesia dapat diasumsikan begitu penting. Bukankah diketahui bahwa di wilayah ini terdapat pemahaman Islam yang beragam, agama yang beragam, dan etnis yang beragam. Konsep Islam moderat mengajak, apa yang dipahami Islam secara kontekstual, memahami bahwa keragaman dan perbedaan adalah sunnatullah, tidak ada yang menolak keberadaannya. Jika hal ini dipraktekkan, maka diyakini Islam akan menjadi agama yang membawa rahmat bagi alam semesta. Kata kunci: Historis, Islam Moderat, Konteks Indonesia. Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. PENDAHULUAN Dari awal diakui bahwa fenomena keragaman agama dan budaya di kalangan umat manusia dari zaman dahulu kala sampai hari ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari. Mengingkari fakta ini sama saja dengan sikap tidak mengakui adanya cahaya matahari di kala siang bolong. Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendirisendiri dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab mencatat, bahwa “keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya”.1 Islam moderat adalah islam yang saling menghormati, tidak saling menyalahkan, tidak menyatakan paling benar sendiri, dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep “Islam moderat”. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat bersikap sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang moderat. Berpaham Islam moderat sebagaimana disebutkan, sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek Islam yang dilakuakan Nabi Muhammad dan para sahabatnya, khususnya al-Khulafa al- Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo. Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakuakan organisasi semacam Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama). Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan, meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan ber-“Islam dalam Bingkai Keindonesiaan”. Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.2 sebagaimana dikatakan, ketika sudah memasuki wacana dialog peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam keberbagaian, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap 1 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007), 52. 2 Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009), 65. Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. menghargai dan menghormati keberadaan “yang lain” (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).3 Jejak Historis Islam Moderat di Indonesia Sejak kedatangan Islam di bumi Indonesia, sepanjang menyangkut proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan kultur, sebenarnya ia telah menampakkan keramahannya. Dalam konteks ini, Islam disebarkan dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. Ternyata sikap toleran inilah yang banyak menarik simpatik masyarakat Indonesia pada saat itu untuk mengikuti ajaran Islam. Sementara itu, Walisongo adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di Indonesia. Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud, Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosiokultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.4 Transmisi Islam yang dipelopori Walisonggo merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan pendekatan-masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu menyerap elemen-elemen budaya lokal dan asing, tetapi dalam waktu yang sama masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.5 Demikian pula dikatakan, bahwa proses pergumulan Islam dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman 3 Lihat M. Hilaly Basya, “Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”, https://madina.go.id/ , diakses tanggal 23 November 2024. 4 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), 54-58. 5 Abdul Mun’im DZ, “Pergumulan Pesantren dengan Kebudayaan”, dalam Badrus Sholeh (ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2007), 41. Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. Walisongo. Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah yang manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantra. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam.6 Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekskan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing- masing yang mana dalam kontekstual Islam itu juga dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secra kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar shalih li kulli zaman wa makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).7 Baik agama maupun budaya tidak dapat mengelak dari proses yang tak mungkin terhindarkan, yakni perubahan. Memang benar, ajaran agama sebagaimana tercantum secara tekstual dalam kitab suci, kata demi kata tetap seperti keadaannya semula. Akan tetapi, begitu ajaran agama harus dipahami, ditafsirkan, dan diterjemahkan ke dalam perbuatan nyata dalam suatu setting budaya, politik, dan ekonomi tertentu, maka pada saat itu pemahaman yang didasari ajaran agama tersebut pada dasarnya telah berubah menjadi kebudayan.8 Kajian Historis atau wajah islam moderat itu dapat pula diakibatkan respons yang berbeda dari penganut agama yang sama terhadap kondisi sosial, budaya, maupun ekonomi yang mereka hadapi. Dari perspektif inilah dapat 6 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren…….67. 7 M. Imdadun Rahmat, “Islam Pribumi, Islam Indonesia”, (Jakarta: Erlangga, 2003), 41. 8 Bambang Pranowo, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta: Adicita, 1999), 20. Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. diterangkan mengapa, misalnya, gerakan Islam yang selama ini dikenal sebagai “modernis” yakni Muhammadiyah cenderung memperoleh dukungan yang kuat di daerah perkotaan, sedangkan NU yang sering disebut sebagai golongan ”tradisional” memperoleh pengaruh luas di daerah pedesaan.9 Jadi, yang perlu digaris bawahi adalah meskipun suatu agama itu diajarkan oleh Nabi yang satu dan kitab suci yang satu pula, tetapi semakin agama tersebut berkembang dan semakin besar jumlah penganut serta semakin luas daerah pengaruhnya, maka akan semakin sukar pula kesatuan wajah dari agama tersebut dapat dipertahankan. Karena, sewaktu ajaran dan agama yang berasal dari langit itu hendak dilendingkan ke dataran empirik, maka mau tidak mau harus dihadapkan dengan serangkaian realitas sosial budaya yang sering kali tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan ajaran agama yang hendak dikembangkan.10 Dengan demikian, relasi Islam dan tradisi dalam pemikiran umat Islam sangatlah erat. Memahami Islam tanpa sokongan penguasaan warisan intelektual para pendahulu amat sulit mencapai titik kesempurnaan. Namun, tradisi bukanlah segalanya, ia tetap dalam ketidak sempurnaannya sebagai buah pemikiran yang amat serat nilai. Ia harus disikapi secara proporsional dan tidak boleh dikurangi atau dilebih-lebihkan dari kepastian sebenarnya.11 Wajah Islam Moderat di Indonesia Fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam Indonesia yang cukup panjang. Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang dimainkan. Oleh karena itu, kedua organisasi ini patut disebut sebagai dua institusi civil society yang amat penting bagi proses moderasi negeri ini. Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi sosial-keagamaan yang berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-insitusi penyangga moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar. Dikatakan pula, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU selama ini memainkan peran yang signifikan dalam mengusung ide-ide keislaman yang toleran dan damai.12 Setelah itu dalam perjalanan sejarah selanjutnya, NU dan Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang paling produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Islam, dengan tujuan membendung gelombang radikalisme. 9 Bambang Pranowo, Islam Faktual... 9. 10 Prof. Dr. Said Aqil Siradj, “Tradisi dan Reformasi Keagamaan” (Republika, 2 Juni 2007), 65- 66. 11 Novriantoni Kahar, ”Islam Indonesia Kini: Moderat Keluar, Ekstrem di Dalam?”, https://ahmad.web.id/,diakses tanggal 23 November 2024. 12 Ahmad Zainul Hamid. “NU dalam Persinggungan Ideologi: Menimbang Ulng Moderasi Keislaman Nahdatul Ulama”. Dalam Jurnal Afkar, Edisi No. 21 Tahun 2007. 28. Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. Dengan demikian, agenda Islam moderat tidak bisa dilepas dari upaya membangun kesaling-pahaman (mutual understanding) antar peradaban, Muhammadiyah, misalnya, adalah suatu pergerakan sosial-keagamaan modern yang bertujuan untuk mengadaptasikan ajaran-ajaran Islam yang murni ke dalam kehidupan dunia modern Indonesia. Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, gerakan ini secara luas telah mendapatkan inspirasi dari ideide pembaruan Syaikh Muhammad Abduh, yang mengobarkan semangat pembaruan pemahaman dan pembersihan Islam dari daki-daki sejarah yang selama ini dianggap bagian tak terpisahkan dari Islam.13 Sementara itu, sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunah waljamaah dengan mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penjabaran secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunah waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan AlAsy’ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah AlNu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain.14 Perkataan Ahlusunnah waljama’ah dapat diartikan sebagai “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama”, Sementara itu, watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga i’tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang mana bisa merubah perkembangan islam di Indonesia.15 Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljamaah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. 13 Hilaly Basya, M.,“Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”, diakses tanggal 23 November 2024 14 Mujamil Qomar, Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 62. 15 Husein Muhammad, “Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah: Yang Toleran dan Anti Ekstrem”,Yogyakarta: (Yogyakarta: LKiS, 1999), 40. Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai- nilai Islam).Pemikiran Aswaja sangat toleransi terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Dalam hal ini Aswaja sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, bukan saja yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat (Madzhab Hani, Malik, Syafi’i, dan Hanbali), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti imam Daud al-Dhahiri, Imam Abdurrahman al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri, dan lain-lain.16 Metode mereka sesuai dengan ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya lokal. Hal yang sama merupakan cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo dalam meng-Islamkan pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih merupakan sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan sebuah ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.17 PENUTUP Dengan demikian, Wajah atau kajian historis adanya konsep Islam moderat di indonesia itu karena adanya pemikiran-pemikiran dari golongan organisasi islam indonesia (jika di Indonesia dikenal ada NU, Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Gerakan Wahabi, dan lainnya) dan apapun keyakinan agamanya haruslah dihormati dan berusaha sepenuhnya untuk menjalin interaksi yang baik dengan mereka. Jika hal tersebut yang ingin dibangun, sebenarnya dalam Islam mudah mencari rujukannya. Tentu saja beberapa konsep tersebut erat kaitannya dengan sikap islam moderat, mau berdialog, menghormati golongan lain, tidak menyatakan bahwa dirinya atau golongan-nyalah yang paling benar dalam berpaham, sehingga tidak terjebak pada pemahaman yang berlebihan. Selanjutnya, sikap beragama semacam ini jika dalam sejarah umat manusia dapat merujuk, misalnya, kepada perilaku Nabi Muhammad, para sahabat Nabi, Walisongo. Sedangkan, dalam perilaku beragama golongan dalam Islam, misalnya, dapat merujuk NU dan Muhammadiyah. Husein Muhammad, “Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah…..45. 16 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. (Yogyakarta: 17 LKiS, 2004), 9. Muhammad Naf’an Nafis, Wajah Islam Moderat di Indonesia (Kajian Historis Islam Moderat di Indonesia). Dr. M. Muizzuddin, M.Pd.I. DAFTAR PUSTAKA Shihab, M. Quraish , Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007). Ma’arif, Syafi’i, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009). Basya, M. Hilaly ,“Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”, https://madina.go.id/ , diakses tanggal 23 November 2024. Mas’ud, Abdurrahman , Dari Haramain ke Nuantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006). Mun’im, Abdul DZ, “Pergumulan Pesantren dengan Kebudayaan”, dalam Badrus Sholeh (ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2007). Rahmat, M. Imdadun, “Islam Pribumi, Islam Indonesia”, (Jakarta: Erlangga, 2003). Pranowo, BambanG, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta: Adicita, 1999). Siradj, Prof. Dr. Said Aqil, “Tradisi dan Reformasi Keagamaan” (Republika, 2 Juni 2007). Hamid, Ahmad Zainul. “NU dalam Persinggungan Ideologi: Menimbang Ulng Moderasi Keislaman Nahdatul Ulama”. Dalam Jurnal Afkar, Edisi No. 21 Tahun 2007. Qomar, Mujamil, Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002). Muhammad, Husein, “Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah: Yang Toleran dan Anti Ekstrem”,Yogyakarta: (Yogyakarta: LKiS, 1999). Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. (Yogyakarta: LKiS, 2004).