Resensi Agama BAB 3
Document Details
Uploaded by Deleted User
Alma Ainun Nijma
Tags
Summary
This document is a student's work on religious studies, specifically discussing the concept of diversity and equality in an Islamic context. It details how Islam views the differences among people, and how Islamic values promote tolerance and harmony. It also discusses how these values pertain to social matters.
Full Transcript
Nama : Alma Ainun Nijma Nim : 6662240235 BAB 3 JAWARA PELOPOR KERUKUNAN A. Mengelola Keragaman Dalam doktrin Islam, perbedaan itu bersifat fungsional bukan kontra- diksional. Lelaki bukan lawannya perempuan, kaya bukan lawannya miskin, penguasa (elite) bukan lawannya rakyat (alit)....
Nama : Alma Ainun Nijma Nim : 6662240235 BAB 3 JAWARA PELOPOR KERUKUNAN A. Mengelola Keragaman Dalam doktrin Islam, perbedaan itu bersifat fungsional bukan kontra- diksional. Lelaki bukan lawannya perempuan, kaya bukan lawannya miskin, penguasa (elite) bukan lawannya rakyat (alit). Masing-masing adalah pasangan yang saling mengisi dan membutuhkan. Dalam sejarah umat Islam di Indonesia, perkawinan menjadi sarana \'persilangan\' budaya secara alamiah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mejemuk. Dari keluarga itu pun berkembang kebudayaan adiluhung sebagai hasil dari pengasuhan dalam kehidupan kebangsaan yang bebas. Islam menghargai kemajemukan, egaliter, dan percaya diri untuk melakukan taaruf melalui dialog secara terbuka dengan bangsa lain. Islam menjaga kesetaraan dan keterbukaan dengan berpegang pada prinsip bahwa kemuliaan individu maupun bangsa didasarkan pada kesadaran takwa. Takwa itu diekspresikan dengan kepercayaan diri, kesungguhan, dan kerendahan hati menerima keunggulan individu atau bangsa lain. Orang-orang yang bertakwa percaya bahwa Allah menilai segala pilihan bebas manusia dan memberikan kemuliaan kepada orang yang melayani sesama dengan cara yang terbaik. Hikmah adalah derajat ilmu tertinggi yang mencapai filosofi nilai, makna, wisdom, atau kebijaksanaan. Dialog bil hikmah membentangkan garis tegas antara yang hak dengan yang batil. Kemudian dialog bermuara seruan bersama melaksanakan kebaikan, menegakkan amar ma\'ruf nahi munkar, mencari yang halal dan thoyyib, serta meninggalkan segala yang haram dan memicu kerusakan. Dalam persidangan, ketika terjadi sengketa antarindividu, antara tertuduh dan penuduh, Islam mengajarkan agar si penuduh memberikan bukti dan saksi. Sedangkan bagi yang tertuduh (terdakwa) berhak menolak dengan sumpah. B. Mengawal Kerukunan Ajaran ta\'awun dalam Islam melintas batas agama dan keyakinan. Kita maklumi, bahwa meskipun Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya \'berbeda\' dalam soal prinsip keyakinan dan kepercayaan. Pada tataran mikro, kerukunan umat beragama itu dimulai dari level keluarga. Islam mengajarkan untuk memperlakukan orangtua, ayah atau ibu dengan baik, meskipun mereka berbeda keyakinan. Pada level yang bersifat makro, Islam mengakui rasa kebangsaan dalam taman sari kemanusiaan. Sebaliknya, Islam menentang fanatisme kebangsaan atau asyabiyah yang dilaknat Allah. Di sisi lain, Islam juga menolak kosmopolitanisme yang mengidealkan peleburan batas-batas kelompok, afiliasi ganda, dan identitas hibrida yang menekankan hak-hak individu. Dalam hal ini agenda pluralisme agama dalam arti \'penyeragaman atau penyatuan agama\' ditolak oleh para ulama. Islam sebagai agama Allah yang rahmatan lil \'alamin, berlaku pada semua tempat, budaya, dan zaman, menetapkan kaidah \"Al-\'adah muhakkamah\". C. Toleransi Berkeadilan Dalam soal keyakinan agama, Islam menekankan pada toleransi, yakni saling menghormati perbedaan dan memberi kebebasan kepada masing-masing individu untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Islam menjunjung tinggi toleransi beragama dan penghormatan kepada umat beragama. Ajaran Islam mengakui pluralitas agama sebagai realitas yang tidak dapat dibantah, sekaligus menghormati perbedaan keyakinan itu. Dasar \"Ketuhanan Yang Maha Esa\" menjadi landasan toleransi beragama sekaligus menempatkan agama sebagai kekuatan moral dan etik dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang pluralistik. Toleransi dan kerukunan beragama berpedoman pada kaidah: \"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku\", sebagaimana tertulis dalam Al-Qur\'an Surat Al-Kafirun, surat 109, ayat 6. Makna surat Al-Kafirun ini diakomodasi dalam UUD 1945, Pasal 29, ayat 2 yang berbunyi: \"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu\". Pengakuan Islam terhadap \"pluralisme agama\" bukan berarti Islam mengakui kebenaran agama lain. Dari segi keyakinan (akidah), Islam dengan tegas dan jelas membentangkan pendirian dan menunjukkan kekeliruan paham trinitas, politeisme, panteisme, ateisme, paganisme, praktik penyembahan terhadap roh leluhur, matahari, bulan, bintang, batu, pohan, dan seterusnya. Dalam kehidupan bernegara, pluralisme agama berlanjut pada pluralisme hukum, karena agama dalam keyakinan Islam harus menjadi dasar dalam kehidupan negara dan penyelesaian konflik sosial. Tugas negara adalah menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan rasa keadilan rakyat yang bersumber dari keyakinan agama. Kepatuhan kepada hukum nasional, baik yang bersumber dari agama, adat, atau kesepakatan formal di parlemen, merupakan menifestasi dari kesadaran akan keadilan berdasarkan Ketuhanan YME. Kepatuhan kepada hukum adalah cerminan iman dan karakter bangsa yang beradab. Dalam tatanan sistem hukum nasional, kita sebagai bangsa telah mengakomodasi prinsip pluralisme hukum. Negara mengakui peradilan negeri (warisan kolonial Belanda yang Kristiani), peradilan agama (Islam) dan adat. Peradilan agama disebut juga Mahkamah Syariah berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 1957. Kekuasaan pengadilan agama atau Mahkamah Syariah adalah menangani berbagai perkara perdata dalam soal kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, pengasuhan anak, kewarisan, hibah dan wakaf. Indonesia sebagai negara Pancasila telah banyak menerbitkan aturan perundangan yang hanya berlaku bagi umat Islam, dan tidak diberlakukan bagi non-Muslim. Misalnya soal UU Perkawinan mengatur bahwa seorang Muslim dan non-Muslim tidak diizinkan menikah. Dengan demikian, dalam perkara perkawinan, sistem hukum nasional Indonesia menganut prinsip \"kesatuan dalam keragaman\" di mana berbagai subsistem hukum yang berbeda diberlakukan secara bersama-sama, dan tiap-tiap warga diadili sesuai dengan ketentuan hukum agama yang diyakininya. Melalui UU Perkawinan, negara melindungi hak warga untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah menurut agama dan kepercayaannya. Inilah kontribusi Islam dalam pemberlakuan paham pluralisme hukum untuk memajukan toleransi dan penghargaan kepada kemajemukan. Berbeda dengan hukum keluarga, dalam masalah ekonomi, Islam mendukung kerja sama bisnis dan perdagangan dengan siapa pun tanpa membedakan agama. Asas kemanusiaan untuk mewujudkan kemakmuran universal. Etika bisnis yang dikembangkan antara lain: \(1) Hanya memproduksi, memperdagangkan, dan mengonsumsi produk halal. \(2) Bebas dari riba (baca: bunga) dan mengutamakan bagi hasil. \(3) Kegiatan bisnis berwawasan sosial (dalam bentuk zakat, infak, sedekah, hibah, wakaf) dan ramah lingkungan, seperti program Corporate Social Responsibility (CSR). Sistem ekonomi Islam tidak hanya berlaku untuk pemeluk Islam. Mereka yang beragama lain dapat memanfaatkan layanan ekonomi (syariah) Islam. Lembaga-lembaga ekonomi syariah tersebut dirancang untuk melayani semua orang, tanpa mempersoalkan latar belakang agama, etnis, dan kebangsaan. Dewasa ini, peradilan agama telah diberi kewenangan tambahan untuk menangani kasus sengketa perbankkan syariah di mana non- Muslim sebagai pemilik atau nasabah bank tersebut boleh menggunakan aturan hukum Islam sebagai rujukan dalam mencari keadilan. Negara memberlakukan satu sistem hukum untuk semua warga yang melanggar, tanpa mempersoalkan afiliasi keagamaan, latar belakang asal usul, etnis, suku bangsa, atau daerah. Siapa pun yang bersalah, Muslim atau Non-Muslim, diputus perkaranya secara adil, tanpa pandang bulu. Semua diperlakukan sama di depan hukum. Inilah kontribusi besar agama Islam dalam membangun landasan pluralisme hukum dalam bingkai persatuan Indonesia demi kuatnya kedaulatan negara, antara lain dengan menumbuhkan kepatuhan hukum dan toleransi sesama warga. Kewajiban kita bersama, Intelektual Muslim Indonesia bekerja keras menafsirkan hukum Tuhan yang tertulis dalam Al-Qur\'an melalui ijtihad, meyakinkan rakyat dan pemangku kebijakan untuk melakukan kodifikasi hukum-hukum publik, termasuk perkara pidana yang akan diberlakukan untuk semua warga negara, sesuai syariat. D. Merawat Persatuan Tantangan terbesar bangsa Indonesia dalam menjaga dan merawat persatuan nasional adalah isu radikalisme dan kesenjangan sosial. Radikalisme terkait dengan pergolakan ideologis dari kekuatan politik global, antara kapitalisme dan komunisme, individualisme dan totalitarianisme, isu terorisme, separatisme, hingga masalah lama terkait negara Islam. Dari segi ideologi dan keagamaan, pihak yang selalu tertuduh sebagai anti Pancasila adalah golongan Islam. Kecurigaan kelompok tertentu terhadap partai Islam dan gerakan masyarakat berbasis masa Islam itu, pada akhirnya akan memicu reaksi radikalisme yang merugikan dan mengancam integrasi nasional. Semua pihak, semua kekuatan bangsa harus mulai belajar menerima fakta sejarah, bahwa Pancasila memiliki hubungan historis, ideal, dan spiritual dengan Piagam Jakarta yang mencita-citakan penerapan syariat Islam. Dalam internal umat Islam perlu pengkajian dan penafsiran Pancasila sesuai syariat Islam yang diajarkan di madrasah, pesantren, dan majelis taklim. Dari segi isi, sila demi sila dalam Pancasila memuat dasar moral bang 100% selaras dengan cita-cita dan tujuan Islam, seperti adil dan beradab, Konsep yang ada dalacin pancasila sepenuhnya berasal dari term syariat Islam yang ada dalam, Patato, hikmah, musyawarah, wakil rakyat, dan lain-lain. Pemicu dan sekaligus sumber ancaman disintegrasi nasional yang sesungguhnya adalah kesenjangan sosial ekonomi, termasuk soal perimbangan keuangan pusat dan daerah. Indonesia merupakan sebuah negara tunggal. Mereka sesungguhnya memprotes cara negara ini diperintah, bukan eksistensinya. Menurut Mahfud MD, tantangan Indonesia hari ini bukan lagi soal federalisme ala Van Mook yang kemudian melahirkan Republik Indonesia Serikat. Ancaman disintegrasi justru datang dari ketidakadilan dan judicial corruption yang dilakukan penyelenggara negara dan pemerinatahan yang akan menciptakan kemelaratan rakyat. Kegagalan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah tegas dan berani dalam menghukum tersangka korupsi akan menciptakan ketidakpercayaan rakyat. Jika negara tidak berbenah, maka kedaulatan negara \"digerogoti\" oleh kekuasaan \"asing\", mulai dari deligitimasi daulat rakyat di Parlemen - MPR RI, DPR RI dan DPRD- hingga deligitimasi daulat konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Pemerintah harus mampu meyakinkan rakyat, bahwa Pancasila sebagai ideologi negara bukan teks bisu atau naskah keramat yang miskin makna. Pancasila merupakan ideologi terbuka yang mampu menganalisis dan menilai apakah pelaksanaan pembangunan yang terjadi telah sesuai atau tidak dengan konstitusi. Pancasila juga harus ditafsirkan dengan berbagai perspektif sehingga mampu mengantisipasi masa depan yang berubah cepat. Selain itu, perlu pendidikan rakyat yang bersifat substantif. Pancasila perlu dikaji dan diajarkan secara jujur, terbuka, dan kontekstual dari sumbernya, yakni sejarah perumusan, norma agama dan kearifan budaya Nusantara yang hidup dalam masyarakat. SIMPULAN PERTANYAAN 1.