Modul 1 Kelas 7 - DECEMBER OSIS READING CAMP PDF

Summary

This document is a study guide on the concept of Shiddiq in Islam. It details the importance of truthfulness and honesty in the life of the Prophet Muhammad and his teachings.

Full Transcript

0 SHIDIQ Sifat shidiq adalah poros utama kenabian dan menjadi pusat orbitnya. Semua yang disampaikan para nabi sepenuhnya merupakan sebuah kebenaran dan kejujuran yang murni serta tidak mungkin menyalahi hakikat kebenaran. Bahkan ketika menjelaskan keutamaan...

0 SHIDIQ Sifat shidiq adalah poros utama kenabian dan menjadi pusat orbitnya. Semua yang disampaikan para nabi sepenuhnya merupakan sebuah kebenaran dan kejujuran yang murni serta tidak mungkin menyalahi hakikat kebenaran. Bahkan ketika menjelaskan keutamaan para nabi, al-Qur`an menyebutkan sifat yang satu ini. Allah berfirman: “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang shiddîq (yang sangat membenarkan) lagi seorang Nabi.” (QS Maryam : 41). Melalui ayat ini Allah seakan berkata kepada Rasulullah: “Wahai Muhammad, sampaikanlah kepada umatmu bahwa di Lauh al-Mahfûzh Ibrahim as. telah tertulis sebagai sebuah nabi yang memiliki sifat shidiq yang sempurna baik dalam ucapan maupun perbuatan.” Allah berfirman: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya (shâdiq al-wa’d), dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS Maryam : 54). Allah berfirman: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddîq) dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Maryam : 56-57). 1 Bahkan ketika Nabi Yusuf as. dijebloskan ke dalam penjara, teman-teman satu selnya berkata: “…Yusuf, hai orang yang amat dipercaya (al-shiddîq)!” (QS Yusuf : 46). Lagi pula bagaimana mungkin para rasul itu tidak berlaku shidiq, padahal Allah telah menyeru semua orang beriman dan meminta mereka untuk menjadi orang-orang yang shidiq. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (al-shâdiqûn).” (QS al-taubah : 119). Bahkan Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah adalah orang-orang shidiq. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS al-Hujurât : 15). Orang-orang Shidiq Berhak Dipuji Al-Qur’an memuji orang-orang yang memiliki sifat shidiq: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (QS al-Ahzâb : 23). Tapi sebelum melanjutkan pembahasan, mari kita rihat sejenak… Anas ibn Malik ra. menjadi pelayan Rasulullah Saw. melalui sebuah peristiwa unik, yaitu ketika ibundanya menggendongnya yang baru berusia sepuluh tahun 2 ke kediaman Rasulullah Saw. untuk diserahkan sebagai pelayan. Kala itu sang ibu berseru: “Wahai Rasulullah, ini pelayanmu Anas!” lalu wanita itu meninggalkan Anas begitu saja dan beranjak pulang. Anas ibn Malik ra. berkata: “Ayat ini turun disebabkan pamanku, Anas ibn Nadhar dan orang-orang yang seperti dia.” Sejak Anas ibn Nadhar ra. melihat Rasulullah Saw. pada peristiwa Baitul Aqabah, paman Anas ibn Malik itu sudah amat mencintai beliau. Hanya sayangnya, disebabkan adanya beberapa hal, Anas ibn Nadhar tidak dapat ikut perang Badar, padahal perang Badar memiliki posisi khusus yang sangat istimewa di kalangan umat Islam, sehingga membuat semua sahabat yang mengikuti perang ini mendapatkan predikat khusus di antara para sahabat yang lain. Bahkan menurut Jibril as. yang menjadi panglima golongan malaikat dalam perang Badar, para malaikat yang ikut dalam perang Badar juga mendapatkan kedudukan istimewa di antara para malaikat yang lain. Tentang pamannya, Anas ibn Malik ra. menuturkan: Pamanku yang namaku berasal dari namanya, tidak ikut berperang di Badar bersama Rasulullah Saw. Sungguh hal itu telah membuatnya gelisah. Pamanku berkata: “Pada peperangan pertama yang harus dihadapi Rasulullah aku tidak ikut serta. Seandainya saja Allah berkenan menyampaikan aku pada perang yang terjadi nanti bersama Rasulullah, pastilah Allah akan melihat apa yang kulakukan.” Rupanya pamanku berkata begitu karena dia tak sanggup mengatakan yang lebih dari itu. Maka kemudian dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam perang Uhud. Saat itu dia bertemu Sa’d ibn Mu’adz yang bertanya kepadanya: “Wahai Abu Amr, hendak kemanakah engkau?” dia 3 menjawab: “Semerbak aroma surga sudah kucium di kaki gunung Uhud.” Maka dia pun maju bertempur sampai terbunuh oleh musuh. Ketika mengenang kembali perang Uhud, kita pasti takkan bisa menahan sesak yang mendadak terasa di dada, sebab itulah perang yang di dalamnya tujuh puluh sahabat Rasulullah gugur sebagai syahid. Tampaknya itulah penyebab yang membuat Rasulullah Saw. setiap kali melintas di dekat Uhud selalu berkata: “Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya.” Maksud ucapan Rasulullah ini adalah agar umat Islam tidak membenci Uhud. Uhud memang sebuah gunung yang sulit didaki, tapi perang Uhud jauh lebih sulit dihadapi. Pada saat itu, sebagian sahabat meninggalkan pos yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. selama beberapa saat sebagai bentuk perubahan strategi. Itulah sebabnya kita tidak dapat menyebut perang Uhud sebagai sebuah kekalahan. Penghormatan kita terhadap para sahabat dan sudut pandang kita sebagai muslimlah yang mengharuskan hal itu. Dalam pertempuran Uhud, Rasulullah terluka dan giginya patah. Bahkan ada dua buah mata rantai topi besi Rasulullah yang menancap di wajah beliau sehingga berdarah. Tapi karena Rasulullah telah diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, beliau pun segera melepas baju besinya seraya berseru kepada Allah: “Wahai Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui.” Dalam perang Uhud inilah Anas ibn Nadhr bergerak tangkas ke sana ke mari untuk memenuhi janji yang pernah diucapkannya kepada Rasulullah beberapa tahun sebelumnya. Dalam tempo singkat, sekujur tubuh paman Anas ibn Malik ini telah penuh dengan hujaman tombak dan sabetan pedang sampai akhirnya ia pun gugur sebagai syahid. Ya. Sejak awal pertempuran Anas ibn Nadhr rupanya 4 telah menyadari bahwa hidupnya akan segera berakhir. Tapi ketika Sa’d ibn Mu’adz bertanya kepadanya tentang pertempuran, dengan enteng Anas menjawab sembari tersenyum: “Semerbak aroma surga sudah kucium di kaki gunung Uhud.” Dalam perang Uhud, banyak syuhada yang sulit dikenali wajahnya, semisal Hamzah ra., Mush’ab ibn Umair ra., Abdullah ibn Jahsy ra., dan Anas ibn Nadhr ra. Bahkan Anas ibn Nadhr ra. hanya dapat dikenali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya, sebab tampaknya hanya bagian itulah yang tidak rusak oleh senjata musuh. Sekarang mari kita lanjutkan penuturan Anas ibn Malik…. …dia lalu bertempur sampai gugur. Pada saat itu di sekujur tubuhnya terdapat lebih dari delapan puluh luka sabetan pedang dan tikaman tombak serta anak panah. Bibiku yang bernama Rubayyi’ binti Nadhr berkata: “Aku tidak dapat mengenali saudaraku itu kecuali hanya lewat jari tangannya.” Pada saat itulah turun ayat yang berbunyi: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (QS al-Ahzâb : 23). Para sahabat meyakini bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Anas ibn Nadhr dan para syuhada Uhud lainnya. Ya. Ayat di atas memang menjelaskan kepahlawanan orang seperti Anas ibn Badhr. Orang yang menepati janji yang telah diikrarkannya pada dirinya bahwa ia akan bertempur sampai titik darah yang penghabisan. Akhirnya ia memang 5 terbunuh, sebab rupanya bahkan maut pun tak mampu menghalanginya untuk menepati janji. Ya. Dia telah menepati janjinya kepada Allah. Ketika sebuah ayat memuji para syuhada seperti mereka, maka maksud sebenarnya dari ayat itu adalah untuk menunjukkan bahwa para syuhada itu adalah teladan bagi setiap orang yang bersaksi bahwa “tiada Tuhan selain Allah”, agar mereka tidak mudah menyia-nyiakan agama, menyurutkan keimanan, atau merendahkan syariat Allah. Sungguh Anas ibn Nadhr telah menepati janjinya, sebagaimana beberapa sahabat lain juga telah menepati janji mereka, dan semua itu mereka lakukan karena mereka telah dididik di bawah naungan Rasulullah tercinta. Jadi sebagaimana halnya sosok yang mereka cintai adalah seorang shadiq yang terpercaya, maka para sahabat dan murid-murid beliau pun menjadi orang-orang yang shadiq dan terpercaya. 6 SIFAT SHIDIQ RASULULLAH SAW A. Sang al-Amîn sebelum Diangkat Menjadi Rasul Sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad Saw. tidak pernah dipanggil oleh penduduk Mekah dengan nama asli beiau, melainkan menggunakan julukan “al-Amîn”. Ya. Pada saat itu Muhammad memang lebih terkenal dengan julukannya itu. Jadi sungguh menyenangkan jika sekarang kita mengulang-ulang bacaan wirid “Lâ ilâha illallâh al-malik al-haqq al-mubîn, Muhammad rasûlullâh shâdiq al-wa’d al-amîn…” (Tiada Tuhan selain Allah Maharaja Mahabenar Mahamenjelaskan, Muhammad Utusan Allah yang selalu menepati janji yang terpercaya). Ketika penduduk Mekah merenovasi Baitullah setelah sebagian dindingnya rusak akibat banjir, muncullah persoalan pelik ihwal siapa yang paling pantas untuk meletakkan kembali Hajar Aswad –sebaiknya kita menyebutnya al-Hajar al-As’ad- di tempatnya semula. Pada saat itu para utusan kabilah telah menghunuskan pedang mereka masing-masing. Rupanya masing-masing mereka menganggap bahwa kabilah mereka lah yang paling pantas mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad hingga nyaris saja pecah pertempuran disebabkan hal itu. Untung saja di tengah perselisihan itu muncul kesepakatan untuk menunjuk siapapun yang pertama kali masuk ke Masjidil Haram sebagai hakim. Seketika itu juga para utusan kabilah memasang mata ke arah gerbang Masjidil Haram menanti siapakah gerangan yang akan muncul. Sesaat kemudian, tiba-tiba masuklah Rasulullah dengan wajahnya yang cerah bagai purrnama. Sontak para utusan kabilah yang tengah berselisih itu sama berseru: “Itu dia sang al-Amîn… kami rela jika dia yang memutuskan perkara 7 ini… Itu Muhammad!” Padahal saat itu Rasulullah sama sekali tidak tahu apa yang tengah terjadi. Sikap yang ditunjukkan para utusan itu muncul disebabkan kepercayaan mereka yang penuh kepada Muhammad Saw. Walau pun belum diangkat menjadi nabi, namun Muhammad Saw. telah mendapat kepercayaan dari semua orang, sebab beliau memang memiliki semua sifat yang wajib dimiliki seorang nabi. Ya. Kelebihan yang sesungguhnya adalah kelebihan yang diakui oleh musuh. Itulah yang terjadi pada Abu Sufyan yang saat itu masih menjadi salah seorang musuh besar Rasulullah Saw. tapi mengakui kejujuran beliau. Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abdullah ibn Abbas ra. yang dinukil dari Abu Sufyan, dia berkata: Pada suatu ketika Heraklius mengirim utusan kepadaku saat aku ikut bersama kafilah Quraisy yang sedang berniaga di Syam. Kebetulan pada saat itu tengah berlangsung kesepakatan genjatan senjata antara Rasulullah dan kaum musyrik Quraisy. Setibanya di Baitul Muqaddas, Heraklius memanggilku dan rombongan ke istana dengan dihadiri oleh para pembesar Romawi. Setelah menghadirkan seorang penerjemah, Heraklius bertanya: “Siapakah di antara kalian yang paling dekat nasabnya dengan lelaki yang mengaku nabi itu?” Aku pun menjawab: “Akulah yang paling berdekatan nasab dengannya.” “Suruhlah ia mendekat,” ujar Heraklius sambil menunjuk ke arahku, “Dan mintalah semua teman-temannya berdiri di belakangnya.” 8 Heraklius lalu berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepada mereka bahwa aku akan bertanya kepada lelaki ini. Jika ternyata dia berbohong padaku, maka mereka harus mengatakan bahwa dia berbohong.” Demi Allah, sungguh kalau bukan karena malu untuk berbohong, saat itu aku pasti berbohong. Lalu Heraklius mengajukan pertanyaan pertama kepadaku: “Bagaimana nasab lelaki itu di antara kalian semua?” “Di antara kami,” jawabku, “Dia memiliki nasab yang istimewa.” Heraklius bertanya: “Apakah ada di antara kalian yang pernah menyampaikan apa yang disampaikannya itu sebelumnya?” “Tidak,” jawabku. “Apakah ada nenek moyangnya yang menjadi raja?” tanyanya lagi. “Tidak,” jawabku. “Apakah yang menjadi pengikutnya itu orang-orang terpandang, ataukah orang-orang lemah?” tanya Heraklius lagi. “Orang-orang lemah,” jawabku. “Apakah mereka semakin bertambah, ataukah semakin berkurang?” tanyanya. “Pengikutnya terus bertambah,” jawabku. “Apakah ada di antara mereka yang murtad setelah memeluk agama barunya?” tanyanya. “Tidak ada,” jawabku. “Apakah kalian pernah menemukannya berdusta sebelum dia menyampaikan kenabiannya?” tanyanya lagi. “Tidak pernah,” jawabku. “Apakah dia berkhianat?” tanyanya. 9 “Tidak,” jawabku, “Saat ini kami sedang berada pada masa di mana kami tidak mengetahui apa yang dia lakukan.” Sungguh aku tidak menemukan kata-kata lain selain yang kuucapkan itu. “Apakah kalian memeranginya?” tanya Heraklius lagi. “Ya,” jawabku. “Bagaimana peperangan antara kalian dan dia?” tanyanya. “Peperangan antara kami dan dia naik turun,” jawabku, “Terkadang dia menang, terkadang kami menang.” “Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” tanyanya. Aku menjawab: “Dia memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dan meninggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kami untuk melaksanakan shalat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan berbuat baik kepada kerabat.” Lalu Heraklius berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya: ‘Aku bertanya kepadamu tentang nasabnya, ternyata kau mengatakan bahwa dia memiliki nasab yang istimewa. Memang demikianlah seorang rasul diutus di tengah kaumnya. Aku bertanya kepadamu apakah ada orang selain dia yang menyampaikan apa yang disampaikannya, ternyata kau mengatakan tidak. Menurutku, kalau memang ada orang lain yang menyampaikan apa yang dikatakannya itu sebelumnya, maka aku dapat berkata bahwa dia hanyalah orang yang mengikuti omongan orang sebelum dia. Aku bertanya kepadamu apakah ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, ternyata kau menjawab tidak. Menurutku, kalau memang ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, maka dapat kukatakan bahwa dia hanyalah orang yang menuntut kekuasaan leluhurnya. Aku bertanya kepadamu apakah kalian pernah mendapatinya berdusta sebelum dia mengaku sebagai nabi, ternyata kau 10 menjawab tidak. Dari situ aku tahu bahwa dia tidak mungkin menyebarkan dusta kepada orang banyak dan berdusta atas nama Allah…” Sebetulnya hadits di atas masih panjang, tapi tampaknya cukuplah kita kutip sampai di sini. Hal penting yang harus kita perhatikan di sini adalah adanya dua bukti kebenaran Rasulullah Saw., yaitu: pertama, ucapan Heraklius sang Kaisar Romawi sebagaimana yang telah dikutip di atas; kedua, jawaban Abu Sufyan yang mengakui kebenaran Rasulullah Saw. meski saat itu dia belum memeluk agama Islam. Hanya saja sayangnya, ternyata Heraklius menyia-nyiakan kesempatan emas yang menghampirinya itu, sebab kecintaannya kepada kekuasaan telah membuatnya kehilangan peluang untuk mencapai kekuasaan hakiki yang kekal. Setelah mengetahui kebenaran Rasulullah, Heraklius menolak masuk Islam dan bergabung dengan kaum muslimin. Tapi meski begitu, Heraklius tetap menunjukkan penghormatan ketika surat yang dikirimkan Rasulullah sampai ke tangannya. Jadi setidaknya, pengakuan Heraklius atas kebenaran Rasulullah cukup menyenangkan kita. Sebenarnya, apa yang diucapkan Heraklius memiliki makna yang dalam. Ya. Apakah mungkin seseorang yang tidak pernah sekali pun berdusta kepada orang banyak –meski sekedar gurauan- sampai usia empat puluh tahun, akan dapat berdusta atas nama Allah padahal dia semakin dekat dengan ajal? Sebelum memeluk Islam, Yasir bertanya kepada putranya yang bernama Ammar: “Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab: “Menemui Muhammad Saw.” 11 Ternyata jawaban itu sudah cukup baginya: “Dia adalah al-Amîn (yang terpercaya). Demikianlah penduduk Mekah mengenalnya. Jika dia berkata bahwa dia adalah seorang nabi, maka dia memang benar-benar seorang nabi. Karena tidak ada seorang pun yang pernah menemukannya berdusta.” Apa yang diucapkan Yasir itu tidak hanya terlontar dari satu dua orang saja, tapi diyakini kebenarannya oleh setiap orang sebelum Rasulullah diangkat menjadi nabi. B. Selalu Mengajak Orang Lain untuk Bersikap Jujur (Shidiq) Selain hidup dengan sifat jujur sepanjang hayat, Rasulullah juga selalu mengajak orang lain untuk bersikap jujur. Ada sebuah nasehat Rasulullah yang layak dikutip di sini: “Jaminlah enam hal dari diri kalian, maka aku akan menjamin surga untuk kalian: jujurlah ketika berbicara, tepatilah ketika berjanji, laksanakanlah ketika diberi amanat, jagalah kemaluan kalian, tundukkanlah pandangan kalian, dan kendalikanlah tangan kalian.” Sungguh, Rasulullah menjalani kehidupan dengan sangat lurus (istiqâmah) selurus berkas cahaya. Rasulullah juga selalu menyeru orang lain untuk menerapkan prinsip istiqamah setelah beliau menerapkannya pada dirinya sendiri dan berhasil mencapai puncak tertinggi di antara ‘kemungkinan’ (al-imkân) dan ‘kewajiban’ (al-wujûb). Puncak paling tinggi yang di atasnya hanya ada al-shidq al-ilâhi. Atau dengan kata lain, di dunia kejujuran (al-shidq), Rasulullah telah mencapai cakrwala tertinggi “maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS al-Najm : 9). 12 Dari satu sisi, pencapaian Rasulullah ini berada dalam ranah ‘kemungkinan’, sementara di sisi lain pencapaian beliau telah melampaui ranah ‘kemungkinan’ tersebut. Qadhi Iyadh pernah berkata ketika menjelaskan peristiwa Mi’raj: “Pada saat itu Rasulullah mencapai sebuah posisi yang beliau tidak tahu di mana harus meletakkan kakinya. Sehingga akhirnya beliau diminta untuk meletakkan satu kakinya di atas kakinya yang lain.” Adalah benar jika dikatakan bahwa Rasulullah adalah seorang ‘manusia’. Akan tetapi ternyata sifat jujur yang beliau miliki telah mengangkatnya ke derajat yang sedemikian tinggi. Beliau pernah berpesan kepada kita: “Jaminlah diri kalian padaku untuk bersikap jujur dan tidak berbohong di dalam hidup kalian, maka aku jaminkan surga untuk kalian.” Di dalam hadits lain dikatakan: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya sikap jujur itu menenangkan, sedangkan dusta membuat gelisah.” Rasulullah juga bersabda: “Jika kalian menganggap bahwa di dalam kejujuran terkandung kebinasaan, maka sesungguhnya di dalamnya juga terkandung keselamatan.” Melalui hadits ini Rasulullah meminta kita untuk bersikap jujur. Karena kalau pun kita menganggap bahwa sikap jujur akan membinasakan kita, maka sesungguhnya kejujuran kelak pasti akan mendatangkan keselamatan. Rasulullah juga bersabda: “Hendaklah kalian bersikap jujur, karena ia menuntun ke arah kebajikan; sementara kebajikan menuntun ke arah surga. Ketika seseorang selalu bersikap jujur sampai sifat itu menyatu dengan dirinya maka 13 akhirnya dia pun akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang shiddîq. Hendaklah kalian menjauhi dusta, karena ia menuntun ke arah kejahatan; sementara kejahatan menuntun ke arah neraka. Ketika seseorang selalu berdusta sampai sifat itu menyatu dengan dirinya maka akhirnya dia pun akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” Jadi jelaslah bahwa keselamatan pasti terkandung di dalam kejujuran. Ketika seseorang mati sambil memegang teguh kejujuran, maka dia akan mati satu kali. Tapi ketika seseorang mati dengan membawa dusta, maka dia akan mati berkali-kali. Ka’b ibn Malik ra. berkata: “Sungguh aku telah selamat disebabkan kejujuranku.” Ketika kita membahas sifat jujur, kita tentu tidak mungkin melupakan Rasulullah Saw. Tersebutlah seorang sahabat bernama Ka’b ibn Malik ra. yang terkenal dengan lidahnya yang selalu jujur dan pedangnya yang tajam. Selain itu dia adalah seorang penyair yang dengan syairnya mampu membuat kaum kafir mematung di dalam peristiwa ‘Aqabah. Dia termasuk kalangan awal Anshar. Tapi sayangnya, Ka’b tidak ikut dalam perang Tabuk yang menjadi salah satu perang terberat pada masa itu. Dalam perang Tabuk, sepasukan kecil muslimin harus menghadapi pasukan Kekaisaran Romawi di tengah sahara yang gersang. Mereka bergerak dengan niat suci. Memikul keberanian yang tak tertandingi. Memetik pahala dari Allah hingga maut menjemput. Diriwayatkan dari Ka’b ibn Malik oleh Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, dan Imam Muslim, lewat jalur al-Zuhri: 14 Tak pernah sekali pun aku tidak ikut dalam perang yang dipimpin Rasulullah, kecuali hanya di perang Tabuk. Padahal aku juga tidak ikut dalam perang Badar. Tapi beliau tidak pernah mengecam seorang pun yang tidak ikut dalam perang itu. Kala itu Rasulullah ingin menyerang kafilah kaum Quraisy sampai akhirnya Allah mempertemukan antara pasukan muslim dan musuh mereka di tempat yang tidak direncanakan. Aku juga ikut bersama Rasulullah pada malam Aqabah, ketika kami membuat perjanjian di dalam Islam. Tapi tidak ada yang lebih kusukai seandainya saja aku ikut dalam perang Badar, karena Badar menjadi peristiwa paling diingat oleh orang melebihi apa yang terjadi pada diriku: aku tidak pernah merasa sekuat dan memiliki kesempatan lebih lapang daripada keadaanku ketika aku tidak ikut dalam perang itu. Demi Allah, tak pernah sebelumnya aku memiliki dua unta tunggangan sekaligus untuk kemudian aku himpun keduanya dalam perang itu. Tak pernah sekalipun Rasulullah berangkat berperang, kecuali pada saat itu juga beliau menyiapkan perang berikutnya. Sampai terjadilah perang itu. Rasulullah Saw. melaksanakan pertempuran di bawah panas yang menyengat, harus melewati perjalanan panjang, serta menghadapi musuh yang banyak. Kaum muslimin pun mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Rasulullah lalu memberi tahu pasukan muslim arah yang beliau inginkan. Saat itu sangat banyak kaum muslimin yang ikut bersama Rasulullah, padahal tidak ada satu kitab pun yang menyatukan mereka. Yang dimaksud dengan ‘kitab’ di sini adalah catatan. Ka’b melanjutkan… Saat itu tak ada seorang pun yang ingin tidak ikut serta, kecuali orang itu pasti tahu bahwa hal itu tidak akan diketahui Rasulullah, jika ternyata tidak ada wahyu Allah yang turun. Pada saat itu Rasulullah berangkat berperang ketika pepohonan sedang berbuah dan rimbun. Tapi kaum muslimin bersama Rasulullah mempersiapkan diri untuk berangkat. Maka aku pun bersiap-siap 15 seperti mereka, tapi kemudian aku pulang tanpa berhasil menyiapkan apa-apa. Saat itu aku berkata pada diriku bahwa aku mampu melakukan itu. Aku terus berlama-lama menyiapkan diri sementara pasukan muslim telah mematangkan persiapan. Akhirnya, ketika Rasulullah siap berangkat bersama pasukan muslim, aku belum menyiapkan apa-apa. Aku pun berkata pada diriku bahwa aku akan menyiapkan diri dalam satu dua hari, baru setelah itu aku menyusul mereka. Setelah pasukan berangkat, aku kembali bergegas menyiapkan diri, tapi sampai aku pulang aku tak berhasil menyiapkan apa-apa. Keesokan harinya, aku kembali berusaha menyiapkan diri, tapi sampai aku pulang aku tak berhasil menyiapkan apa-apa. Demikianlah seterusnya sampai akhirnya pasukan muslim memulai pertempuran. Sungguh aku ingin menyusul mereka. Duhai seandainya saja aku melakukan itu, tapi rupanya aku tidak ditakdirkan melakukan itu. Setelah keberangkatan Rasulullah itu, ketika aku keluar ke tengah khalayak. Sungguh aku sedih karena yang kulihat hanyalah lelaki munafik, atau lelaki lemah yang mendapat udzur dari Allah. Rupanya, Rasulullah sama sekali tidak ingat padaku kecuali setelah beliau sampai di Tabuk. Di tengah pasukan di Tabuk beliau bertanya: “Apa yang dilakukan Ka’b?” Seorang lelaki asal Bani Salimah menjawab: “Wahai Rasulullah, dia tertahan oleh pakaian dan tubuhnya.” Tiba-tiba saja Mu’adz ibn Jabal menukas sengit: “Sungguh busuk apa yang kau katakan itu!” Lalu Mu’adz berkata kepada Rasulullah: “Demi Allah wahai Rasulullah yang kami ketahui darinya hanyalah kebaikan.” Rasulullah hanya diam mendengar itu. Ka’b ibn Malik melanjutkan… Ketika aku mendengar bahwa Rasulullah sedang berjalan pulan, aku pun gelisah. Sungguh aku sempat berpikir untuk berbohong. Aku berpikir keras bagaimana caranya aku dapat menghindari kemarahan Rasulullah nanti. Bahkan aku menanyakan hal itu kepada keluargaku yang kuanggap cerdas. Sampai ketika 16 aku mendengar bahwa Rasulullah hampir tiba, aku berkebulatan tekad untuk menjauhi kebatilan, karena aku tahu bahwa aku tidak akan menyampaikan kebohongan apapun kepada Rasulullah. Kuhimpun kejujuranku untuk beliau, dan Rasulullah pun tiba. Setiap kali baru tiba dari sebuah perjalanan, Rasulullah selalu langsung menuju masjid, melakukan shalat dua rakaat lalu duduk bersama umat. Pada saat itulah orang-orang yang tidak ikut berperang untuk menyampaikan alasan mereka masing-masing kepada Rasulullah sambil mengangkat sumpah. Jumlah mereka mencapai delapan puluh orang lebih. Rasulullah menerima semua pernyataan mereka, mengambil sumpah mereka, memohon ampunan untuk mereka, dan menyerahkan urusan yang selebihnya kepada Allah. Pada saat itulah aku datang menghadap. Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, beliau tersenyum masam seraya berkata: “Kemarilah!” Aku melangkah mendekat dan duduk di depan beliau. Rasulullah lalu bertanya: “Apa yang membuatmu tidak ikut berperang? Bukankah kau sudah akan berangkat?” “Benar,” jawabku, “Demi Allah, seandainya saja saat ini aku sedang berhadapan dengan siapapun selain engkau, tampaknya aku berani menyampaikan alasan untuk menghindari kemarahannya. Sungguh sebenarnya aku bisa bersilat lidah, tapi demi Allah aku tahu seandainya hari ini aku menyampaikan kebohongan agar kau menerimanya, sungguh aku takut Allah murka padaku. Dan seandainya aku menyampaikan kejujuran padamu, maka kau akan melihat kejujuranku itu. Sungguh aku memohon ampunan Allah atas itu. Demi Allah, aku sama sekali tidak punya alasan. Demi Allah, aku tak pernah merasa begitu kuat dan begitu berkesempatan dibandingkan ketika aku tidak ikut berperang bersamamu. 17 Rasulullah menyahut: “Aku tahu kau berkata jujur, maka pergilah sampai Allah menetapkan hukuman untukmu.” Aku pun pergi sehingga membuat beberapa lelaki asal Bani Saimah iba padaku. Mereka membuntuti langkahku lalu berkata: “Demi Allah kami tak pernah menemukanmu berbuat dosa sebelum ini. Kau begitu lemah sehingga kau tak berani menyampaikan alasan kepada Rasulullah sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang tidak ikut berperang. Kalau pun kau berbohong, maka dosamu pasti akan terampuni dengan permohonan ampun yang dipanjatkan Rasulullah Saw. untukmu.” Demi Allah orang-orang itu terus merayuku sampai aku sempat berpikir untuk kembali dan membohongi diriku. Tapi aku lalu berkata kepada mereka: “Apakah ada orang yang senasib denganku?” “Ada,” jawab mereka, “Ada dua orang yang berkata sepertimu, dan mereka pun mendapat tanggapan yang sama sepertimu.” “Siapakah kedua orang itu?” tanyaku. “Murarah ibn Rabi’ al-Amri dan Hilal ibn Umayyah al-Waqifi,” jawab mereka. Kedua nama yang mereka sebutkan itu adalah dua orang lelaki saleh yang ikut perang Badar. Setelah kudengar itu, aku pun berlalu. Sejak saat itu, Rasulullah melarang umat Islam bertegur sapa dengan kami bertiga yang tidak ikut berperang. Semua orang menjauhi kami dan sikap mereka mendadak berubah sehingga kurasakan bumi seperti menghimpitku karena semuanya tidak lagi seperti yang kukenal. 18 Hukuman pengucilan terhadap kami bertiga akan berlaku selama lima puluh hari. Sejak saat itu, kedua orang sahabat yang senasib denganku hanya diam di rumah mereka, tapi aku tetap berjalan-jalan seperti biasa dan ikut menghadiri shalat jamaah bersama kaum muslimin yang lain. Aku mendatangi pasar seperti biasa, tapi tak ada seorang pun yang menyapaku. Aku bahkan mendatangi Rasulullah dan mengucapkan salam kepada beliau seusai shalat. Tapi beliau diam seribu bahasa tanpa mempedulikan aku yang melihat ke arah bibirnya untuk mencari tahu apakah beliau berkenan menjawab salamku. Setelah itu aku shalat di dekat Raslullah sambil mencuri-curi pandang ke arah beliau. Aku tahu bahwa setiap kali aku menghadap ke arah kiblat, beliau memandangku. Tapi ketika aku melirik ke arah beliau, Rasulullah langsung membuang muka. Sungguh saat itu aku benar-benar tersiksa. Dan ketika aku tak sanggup lagi menanggung hukuman pengucilan itu, aku mendatangi kediaman Abu Qatadah. Dia adalah sepupuku dan orang yang paling kucintai. Setibanya aku di rumahnya, kuucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah dia sama sekali tidak menjawab salamku. Aku lalu berseru: “Wahai Abu Qatadah, dengan nama Allah kutanya kau apakah kau tahu bahwa aku mencintai Allah dan rasul-Nya?” Abu Qatadah sama sekali tidak menjawab. Aku pun mengulangi pertanyaanku tapi dia tetap diam. Aku pun mengulangi pertanyaanku, maka terdengarlah jawaban: “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu!” Demi mendengar jawaban itu, mendadak air mataku menetes. Aku beranjak meninggalkan tempat itu dan kembali pulang. 19 Ka’b melanjutkan… Ketika aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba datanglah seorang lelaki Nabatea asal Syam yang biasa menjual bahan pangan di Madinah. Lelaki itu bertanya kepada khalayak: “Siapa yang mau menunjukkan Ka’b ibn Malik kepadaku?” Orang-orang pun menunjuk ke arahku dan ketika lelaki Nabatea itu tiba di hadapanku, ia menyerahkan sepucuk surat yang ditulis oleh Raja Ghassan. Surat itu berbunyi: Amma ba’d, kudengar kau mengucilkanmu. Padahal Allah tidak mungkin membuatmu terhina dan disia-siakan. Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban kami untuk menjadi temanmu. Seusai kubaca surat itu, aku pun menganggap bahwa surat itu adalah sebuah musibah. Aku lalu membuang surat tersebut ke perapian. Setelah berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari yang direncanakan, tiba-tiba utusan Rasulullah mendatangiku seraya berkata: “Rasulullah memerintahkan kau untuk menjauhi istrimu.” “Apakah aku harus menceraikannya, atau bagaimana?” tanyaku. “Tidak,” jawab utusan itu, “Kau hanya dilarang mendekati istrimu saja.” Utusan itu lalu menemui kedua orang sahabat lain yang senasib denganku untuk menyampaikan pesan serupa. 20 Aku pun menemui istriku dan berkata: “Kembalilah kau ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah menetapkan urusan ini.” Lalu datanglah istri Hilal ibn Umayyah menghadap Rasulullah seraya berkata: “Wahai Rasulullah, Hilal ibn Umayyah sudah tua renta yang tidak memiliki pelayan. Apakah kau tidak suka jika aku melayanimu?” “Tidak,” jawab Rasulullah, “Tapi jangan sampai dia mendekatimu.” “Demi Allah,” tukas isteri Hilal, “Dia tak tergerak untuk melakukan apa-apa. Demi Allah, dia terus menangis sejak awal pengucilan ini sampai sekarang.” Setelah itu, keluargaku berkata padaku: “Kenapa kau tidak meminta ijin kepada Rasulullah untuk istrimu agar Rasulullah memberi ijin seperti kepada istri Hilal ibn Umayyah untuk melayani suaminya?” Aku menjawab: “Demi Allah aku tidak akan meminta ijin seperti itu kepada Rasulullah. Sungguh aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasulullah jika aku meminta ijin kepada beliau padahal aku masih muda.” Demikianlah akhirnya lima puluh hari pun berlalu sejak Rasulullah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami. Ketika aku sedang melaksanakan shalat Shubuh pada hari kelima puluh di belakang rumahku, tepatnya di saat aku sedang duduk berzikir sambil merasakan sesak di dadaku disebabkan lamanya masa pengucilan itu, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang berteriak dari arah gunung Sal’ dengan suara sangat keras: “Wahai Ka’b ibn Malik bergembiralah!” 21 Sontak aku bersujud karena aku tahu bahwa pembebasan itu akhirnya datang. Rasulullah bahkan lalu mengumumkan bahwa Allah telah menerima taubat kami di saat shalat Shubuh pagi itu. Orang-orang lalu ramai menyampaikan berita itu. Orang yang berteriak dari gunung Sal’ itu lalu mendatangi kedua sahabat lain yang senasib denganku untuk menyampaikan berita gembira itu, sementara seseorang berkuda datang mendekatiku. Rupanya seseorang asal Bani Aslam-lah yang telah berteriak dari gunung tadi, sebab suara lebih cepat dibandingkan lari kuda. Ketika orang yang berteriak dari gunung itu sampai di hadapanku, aku langsung melepaskan jubahku dan kuhadiahkan kepadanya disebabkan berita gembira yang dibawanya. Demi Allah, padahal saat itu itulah jubah satu-satunya yang kumiliki. Aku pun kemudian meminjam dua helai pakaian yang lalu kukenakan untuk menghadap Rasulullah Saw. Sesaat kemudian, orang-orang ramai berdatangan untuk mengucapkan selamat kepadaku atas pengampunan itu. Mereka berkata: “Selamat atas pengampunan Allah bagimu.” Ka’b melanjutkan kisahnya… Sesampainya aku di Masjid Nabi, kulihat Rasulullah tengah duduk di tengah para sahabat. Kulihat Thalhah ibn Ubaidillah ra. bangkit dan berlari ke arahku lalu langsung menjabat tanganku seraya mengucapkan selamat. Demi Allah, tak ada sahabat Muhajirin yang bangkit ke arahku selain dia. Itulah sebabnya aku tidak pernah melupakan Thalhah. 22 Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, beliau lalu berkata dengan wajah berseri-seri: “Bergembiralah kau dengan hari terbaik yang datang padamu sejak kau dilahirkan ibumu.” “Wahai Rasulullah,” sahutku, “Apakah (pengampunan) ini datang darimu, ataukah dari Allah?” “Bukan dariku,” jawab beliau, “Tapi dari Allah.” Ketika sedang gembira, wajah Rasulullah memang tampak bersinar laksana rembulan seperti yang pernah beliau katakan. Setelah aku duduk di hadapan beliau, aku berkata: “Wahai Rasulullah, dengan datangnya pengampunan ini aku berniat mendermakan sebagian hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan rasul-Nya.” Tapi Rasulullah menukas: “Kau peganglah sebagian hartamu sebab itu lebih baik bagimu.” Aku menyahut: “Aku hanya akan memegang harta yang menjadi bagianku di Khaibar.” Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menyelamatkan aku dengan kejujuranku. Sungguh salah satu bentuk taubatku adalah bahwa aku tidak akan berbicara selain dengan jujur sampai aku mati.” Demi Allah, aku tidak pernah menemukan seorang muslim pun yang diuji oleh Allah dengan kejujuran ucapan –sejak kukatakan itu kepada Rasulullah- sebaik ujian yang diberikan-Nya padaku. Sejak saat itu sampai hari ini, tak pernah sekali pun aku berdusta. Sungguh aku berharap semoga Allah menjagaku dari dusta hingga akhir hayatku. 23 Setelah peristiwa itu, Allah menurunkan wahyu: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS al-Taubah : 119). Demi Allah, setelah Allah memberiku hidayah Islam, Dia tak pernah memberiku nikmat yang lebih besar dibandingkan pengampunan bagiku saat itu. Bagiku, anugerah Allah itu jauh lebih besar dibandingkan kejujuranku kepada Rasulullah. Aku sama sekali tidak mau berdusta yang akan membuatku binasa seperti orang-orang yang berdusta. Apalagi Allah telah berfirman untuk mengecam para pendusta dengan kecaman yang keras: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (QS al-Taubah : 95-96). 24 Penerimaan taubat kami bertiga memang ditunda, tidak seperti mereka yang bersumpah di hadapan Rasulullah dan beliau menerima alasan mereka, membaiat, dan memohonkan ampunan untuk mereka sambil menyerahkan yang selebihnya kepada Allah karena Allah sendiri yang akan menentukan segalanya. Itulah sebabnya Allah berfirman: “dan terhadap tiga orang yang ditunda (penerimaan taubat) mereka…” (QS al-Taubah : 118). Jadi, yang dimaksud dengan ‘penundaan’ di dalam ayat itu bukanlah tindakanku yang ‘menunda-nunda’ untuk ikut berperang bersama Rasulullah, melainkan penundaan diterimanya taubatku dan kedua sahabat lainnya yang datang lebih lambat daripada pengampunan yang diberikan Rasulullah kepada orang-orang yang menyampaikan alasan mereka di hadapan Rasulullah. Ya. Hakikat misi kenabian memang didirikan di atas pondasi kejujuran dan sikap istiqamah. Setiap nabi pastilah juga orang yang jujur dan mereka memang harus menjadi orang-orang yang jujur, karena nabi adalah sosok yang bertugas menyampaikan semua perintah yang datang kepadanya dari hadirat Allah yang Maha Mengetahui yang gaib kepada umat manusia. Seandainya proses penyampaian risalah yang dilakukan para nabi itu sedikit saja ternodai oleh kebohongan, maka pastilah segalanya akan langsung berbalik seratus delapan puluh derajat. Sebab semua prinsip kebenaran yang kita pelajari atas nama kemanusiaan datang melalui tangan para nabi. Jadi jelaslah bahwa misi kenabian harus benar-benar steril dan tidak boleh terkontaminasi oleh kebohongan meski sekecil apapun. itulah sebabnya Allah Swt. berfirman: “Seandainya dia (Muhammad) membuat-buat sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun 25 dari kalian yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (QS al-Hâqqah: 44-47). Dalam menyikapi semua perintah yang datang dari Allah, posisi Rasulullah Saw. memang benar-benar seperti jenazah di tangan orang yang sedang memandikannya yang bebas membolak-balikkan tubuhnya sekehendak hati. Arah pandangan Rasulullah pasti selalu hanya tertuju pada arah yang diperintahkan oleh Allah, meski beliau berada di puncak kedekatan dengan-Nya. Rasulullah tidak mungkin alpa akan hal ini. Alih-alih, kepekaan beliau akan hal ini justru amatlah mendalam dan telah merasuk ke dalam jiwa-raga beliau. Hingga menginjak usia empat puluh tahun, Rasulullah adalah sosok yang selalu menepati janji sampai-sampai tak ada seorang pun yang pernah mendengar beliau berdusta atau mendapati beliau melanggar janji. Abdullah ibn Abi Hamsa` meriwayatkan: “Sebelum diangkat menjadi rasul, aku pernah melakukan perjanjian jual-beli dengan Rasulullah. Tapi karena ada barang yang masih kurang, maka aku berjanji kepada beliau bahwa aku akan datang membawa kekurangan itu di suatu tempat. Ternyata aku lupa akan janjiku itu. Setelah tiga hari berlalu, barulah aku teringat dan buru-buru mendatangi tempat tersebut. Setibanya di sana, aku benar-benar terkejut karena Rasulullah masih ada di tempat itu dan berkata: ‘Hai anak muda, kau benar-benar menyusahkan aku. Aku telah menunggu di tempat ini selama tiga hari!” C. Semua Ucapan Rasulullah adalah Tanda Kejujuran Beliau Sejak dilahirkan, Rasulullah memang telah menjadi sosok yang sangat jujur, terpercaya, dan terpilih. Itulah sebabnya orang-orang langsung menyatakan beriman kepada risalahnya setelah Rasulullah mengumumkan kenabian beliau. Seakan-akan saat itu seluruh jagad raya, bukan hanya manusia, berseru: 26 “Sungguh kau telah berkata benar wahai Rasulullah!” Bahkan setiap ciptaan Allah semuanya mengakui kerasulan Muhammad Saw. Sampai di sini perkenankan saya berhenti sejenak untuk menyampaikan sebuah pernyataan penting: Semua ayat al-Qur`an dan sabda nabi kita memiliki kedudukan yang sangat tinggi sehingga tak akan dapat dicapai oleh para filosof dengan akal mereka, para wali dengan hati mereka, atau pun para sufi dengan jiwa mereka. Mereka takkan pernah dapat benar-benar memahami hakikatnya secara sempurna dan tidak akan mampu melahirkan sesuatu yang setara dengannya. Pencapaian manusia biasa untuk menciptakan nas suci adalah tidak mungkin bahkan mustahil. Karena nas suci memiliki tingkat presisi yang tinggi dalam susunan kalimat yang mengandung hubungan langsung antara Zat Allah dengan sifat dan nama-nama baik (al-asmâ` al-husnâ) yang dimiliki-Nya. Sementara itu melalui pengalaman, semua jiwa luhur yang telah mampu mencapai ketinggian tertentu menyatakan bahwa setiap kali mereka melakukan perjalanan transendental, mereka semakin dapat jelas melihat tingkat kebenaran segala yang dijelaskan oleh al-Qur`an dan sabda Rasulullah Saw. serta kesesuaian antara nas-nas suci itu dengan kebenaran (al-haqq) dan hakikat (al-haqîqah). Mereka mampu mencapai ketinggian seperti ini melalui jalan al-kasyf (penyingkapan tabir) dan al-dzauq (olah batin). Ya. Apa yang disabdakan oleh Rasulullah seputar masalah ketuhanan selalu mendapatkan konfirmasi akan kebenarannya dari ‘orang-orang khusus’ yang kemudian menjadikannya sebagai kaidah atau landasan pokok. Penyebabnya adalah karena penjelasan yang disampaikan Rasulullah mampu mencapai 27 tingkat sensitifitas yang tinggi, khususnya pada penjelasan tentang masalah ketuhanan, kebangkitan, padang mahsyar, takdir, dan sebagainya. Beliau menjelaskan semua itu secara rinci dan seimbang sehingga tak akan ada seorang pun yang akan dapat menjelaskan mengenai masalah-masalah pelik seperti ini, jika saja Rasulullah tidak pernah menyampaikan penjelasan tentang itu. Diriwayatkan dari Amr ibn Akhthab ra., dia berkata: “Suatu ketika setelah Rasulullah melaksanakan shalat Shubuh bersama kami, beliau naik mimbar dan berkhutbah sampai tiba waktu Zhuhur lalu beliau shalat. Setelah itu beliau naik mimbar lagi dan berkhutbah sampai tiba waktu Ashar lalu beliau turun dan shalat. Setelah itu beliau naik mimbar lagi dan berkhutbah sampai matahari terbenam. Pada saat itu beliau menyampaikan kepada kami apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Yang paling berpengetahuan di antara kami adalah yang paling kuat hafalannya.” Ya. Rasulullah telah membuka pintu masa silam dan menjelaskan tentang semua nabi hingga Adam as. lengkap dengan sifat dan karakter mereka masing-masing. Setelah itu Rasulullah mengarahkan pandangannya ke masa depan dan menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan Padang Mahsyar, surga, dan neraka. Ya. Rasulullah yang tidak pernah membawa satu buku pun dan tidak pernah menimba ilmu dari siapapun. Lantas bagaimana mungkin beliau dapat memiliki semua pengetahuan itu? Tidak diragukan lagi, Allah-lah yang telah mengajari beliau segala yang belum beliau ketahui sebelumnya baik berkenaan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Tak mungkin ada cara lain bagi Rasulullah untuk memiliki pengetahuan seluas itu selain hanya dari Allah. Itulah 28 yang diterima dan dipercaya oleh semua orang yang berakal sehat hingga saat ini dan hal itu menjadi bukti lain akan kebenaran Rasulullah Saw. Rasulullah telah menjelaskan riwayat para nabi dan kemudian menggambarkan rupa wajah mereka dengan penggambaran yang begitu detail seakan beliau sedang melukis wajah para nabi itu. Pada saat itu, orang-orang Ahlul Kitab membenarkan semua keterangan dan penggambaran yang Rasulullah sampaikan tanpa membantahnya sama sekali. Mereka berkata: “Ya. Memang seperti itulah ciri-ciri dan sifat-sifat mereka sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab-kitab kami.” Bukankah hal ini menjadi bukti tak terbantahkan atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah?! Seorang ‘manusia biasa’ yang mampu menjelaskan sifat dan ciri-ciri para nabi terdahulu dengan penjelasan terperinci yang diakui kebenarannya oleh para ulama dan agamawan masa itu, tanpa satu pun kitab kuno seperti Taurat atau Injil yang pernah beliau baca. Topik yang tengah baru diulas ini adalah sebuah topik yang tidak dapat saya jelaskan secara sempurna karena berada di luar kemampuan saya. Demikian pula yang terjadi pada para pembaca. Sebab tidaklah gampang memahami dan menjelaskan topik ini dengan cara yang tepat. Sementara kita tahu, dari pernyataan dan kesaksian orang-orang yang telah mencapai derajat ini -yaitu ribuan wali dan sufi yang menempuh jalan kewalian dan mendaki tangga kewalian setingkat demi setingkat- bahwa semua sabda Rasulullah berada di puncak segala hal. Hal ini tentu membentuk satu dimensi lain pada ranah sifat shidiq dan istiqamah yang beliau miliki. Pembenaran yang dinyatakan oleh orang-orang istimewa itu telah menunjukkan kepada kita bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah sekali pun mengungkapkan sesuatu yang menyimpang dari hakikat 29 dan kebenaran. Hal itu terjadi karena apa yang beliau ungkapkan bukan berasal dari diri beliau sendiri, melainkan datang dari wahyu Ilahi yang terhindar dari kebatilan dari sisi mana pun. Itulah yang menjadikan Rasulullah sebagai penguasa segala ungkapan di sepanjang sejarah manusia. Salah satu hal yang ingin saya paparkan di sini adalah beberapa ucapan Rasulullah yang berhubungan dengan hal-hal gaib dan terbukti kebenarannya setelah empat belas abad kemudian. Ini kembali menjadi bukti kebenaran beliau dan risalah kenabian yang beliau emban. Tapi sebelum masuk ke pembahasan topik ini, saya ingin menjelaskan beberapa masalah seputar pengertian ‘gaib’ agar Anda dapat lebih memahami penjelasan yang akan saya kemukakan di bagian selanjutnya. Di dalam al-Qur`an, kata ‘gaib’ (al-ghaib) muncul di beberapa tempat dengan arti yang bermacam-macam. Allah berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS al-An’âm : 59). Jadi, yang dimaksud dengan ‘gaib’ dalam ayat ini adalah kegaiban yang berada di hadirat ketuhanan Allah sehingga tidak diketahui oleh siapapun selain Dia. Sebuah kegaiban yang tidak diketahui termasuk oleh Rasulullah Saw. Di ayat lain Allah mengingatkan nabi-Nya: “Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku 30 seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?” (QS al-An’âm : 50). Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (QS al-A’râf : 188). Di surat al-Jinn kita temukan ayat yang berbunyi: “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” (QS al-Jinn : 26-28). Dari penjelasan ayat ini, saya dapat menjelaskan sebagai berikut: Siapapun yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. memiliki pengetahuan atas perkara gaib secara tak terbatas, tampaknya telah bersikap berlebihan. Tapi siapapun yang menyatakan bahwa Rasulullah sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang perkara gaib tampaknya telah bersikap meremehkan. Rasulullah memang tidak mampu mengetahui yang gaib, tapi Allah-lah yang telah menampakkan yang gaib itu kepada beliau. Itulah sebabnya Rasulullah 31 mampu menjelaskan semua perkara penting yang akan terjadi sampai Hari Kiamat tiba, karena seolah-olah beliau melihat semua itu di layar televisi. Inilah yang seharusnya dapat kita pahami dengan baik. Apa yang dikatakan Rasulullah bukan berasal dari diri beliau sendiri, tapi dari apa yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui wahyu. Dan karena Allah adalah sumber bagi semua pengetahuan Rasulullah, maka tentu bukan hanya Rasulullah dan para rasul lainnya yang mengetahui hal-hal gaib itu. Alih-alih, ada sebagian wali dan orang-orang saleh yang dapat mengetahui sebagian dari perkara gaib melalui karamah yang mereka terima. Rasulullah bersabda: “Telah ada pada umat sebelum kalian para muhaddatsûn. Jika ada orang seperti mereka di tengah umatku, maka itu adalah Umar ibn Khaththab.” Ibnu Wahhab menyatakan bahwa yang dimaksud ‘muhaddatsûn’ adalah orang-orang yang mendapat ilham. Itulah sebabnya kita pernah menemukan Umar ibn Khaththab ra. mendadak menghentikan khutbahnya lalu berseru: "Wahai pasukan! Gunung itu… gunung itu… gunung itu…!" untuk memperingatkan pasukan muslim dari sergapan musuh. Secara ajaib, seruan Umar itu terdengar oleh panglima pasukan muslim sehingga mereka berhasil selamat dari jebakan musuh. Ada pula banyak waliyullah seperti Muhyiddin Ibnu Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, Imam Rabbani, Musytaq Affandi, dan ratusan lagi lainnya yang telah menyampaikan hal-hal gaib yang kemudian terbukti benar. Hati orang-orang suci seperti mereka selalu terhubung dengan Rasulullah Muhammad Saw., sehingga mereka dapat menangkap pancaran ilham dari cahaya Rasulullah Saw. 32 Jika bahkan para murid Rasulullah Saw. saja dapat sedekat itu dengan embusan nasîmah rahmâniyyah, ilham ilahi, serta pengetahuan atas perkara gaib, maka apatah lagi Rasulullah yang kualitasnya setimbang dengan seluruh umat beliau? Dan apakah tidak mungkin jika pengetahuan Rasulullah atas perkara gaib itu adalah bagian dari mukjizat beliau? Terdapat sekitar tiga ratus mukjizat Rasulullah Saw. yang disebutkan di dalam pelbagai kitab hadits terpercaya. Sebagian besar dari mukjizat itu berisi berbagai macam berita dan nubuat tentang hal gaib yang disampaikan Rasulullah. Di sini kita tentu tidak perlu mengulas semua berita gaib atau nubuat yang pernah beliau sampaikan, tapi ada beberapa contoh yang perlu saya paparkan untuk membentuk kerangka berpikir kita dalam pembahasan ini. Saya akan membagi contoh pemberitaan gaib yang disampaikan Rasulullah dalam tiga bagian: Pertama: berita-berita gaib yang berhubungan dengan masa Rasulullah sendiri. Kedua: berita-berita gaib yang berhubungan dengan masa depan, baik masa depan yang dekat maupun masa depan yang jauh. Ketiga: berbagai fakta yang dijelaskan secara gamblang oleh Rasulullah yang maksudnya baru dipahami setelah ilmu pengetahuan berkembang. 33 Pertama: Berita-Berita Gaib yang Berhubungan dengan Masa Rasulullah 1-Di dalam kitab-kitab hadits, khususnya kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, terdapat sebuah hadits sebagai berikut: Diriwayatkan dari Anas ra., dia berkata: Para sahabat sering bertanya kepada Rasulullah hingga membuat beliau terkepung oleh pertanyaan. Pada suatu hari, Rasulullah naik ke atas mimbar dan bersabda: "Apapun pertanyaan yang kalian ajukan padaku, aku pasti akan memberikan penjelasannya kepada kalian." Aku pun menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata semua orang tertunduk sambil menangis. Tiba-tiba bangkitlah seorang lelaki yang setiap kali bertengkar, namanya selalu dinisbatkan dengan nama seseorang yang bukan ayah kandungnya. Lelaki itu bertanya: "Wahai Rasulullah, siapakah ayah kandungku?" Rasulullah menjawab: "Ayahmu adalah Hudzafah." Mendengar itu, Umar langsung menukas: "Kami rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul. Kami berlindung dari keburukan fitnah." Rasulullah menyahut: "Tak pernah kulihat kebaikan dan keburukan sejelas hari ini. Sungguh telah ditampakkan padaku surga dan neraka hingga aku dapat melihat keduanya tanpa dinding (penghalang)." 34 2-Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab al-Shahîh, sebagaimana pula Imam Abu Daud, dan Imam Nasa`i sebuah hadits dari Anas ra., dari Umar ibn Khaththab ra.: …lalu Umar menjelaskan tentang perang Badar. Dia berkata: "Sehari sebelum perang terjadi, Rasulullah menunjukkan kepada kami tempat matinya para tokoh musyrik. Beliau bersabda: 'Ini tempat matinya si fulan besok, insyâ`allâh.' Maka demi Zat yang mengutus beliau dengan kebenaran, semua orang yang ditunjukkan tempat kematiannya oleh Rasulullah itu sama sekali tak ada yang meleset dari tempat kematian mereka masing-masing." Ya. Orang-orang kafir yang semasa hidupnya tak pernah mau beriman kepada Rasulullah Saw., ternyata seusai perang Badar tubuh mereka 'berbicara' langsung mengakui kebenaran Rasulullah Saw. Hanya satu hari sebelum perang berkobar Rasulullah menunjukkan tempat kematian mereka, dan setelah perang usai semuanya terbukti benar. 3-Di dalam kitab al-Musnad, Imam Ahmad ibn Hanbal menukil riwayat berikut ini: Jarir berkata: "Ketika aku hampir sampai di Madinah, kuhentikan tungganganku, kubereskan bawaanku, kukenakan jubahku, lalu kumasuki kota Madinah. Ternyata saat itu Rasulullah sedang berkhutbah dan orang-orang menatap tajam ke arahku. Aku berhenti lalu bertanya kepada temanku yang ada di situ: 'Hai Abdullah, apakah Rasulullah menyebut-nyebut namaku?' Dia menjawab: 'Ya. Beliau menyebut namamu dengan sebutan terbaik. Ketika Rasulullah tadi berkhutbah, beliau bersabda: 'Sebentar lagi akan datang kepada kalian dari pintu 35 itu salah seorang terbaik yang mendapatkan keberutungan. Ketahuilah bahwa di wajahnya ada sentuhan malaikat'." 4-Imam Ibnu Katsir di dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah dan Imam Baihaqi di dalam kitab Dalâ`il al-Nubuwwah menyebutkan peristiwa berikut ini: Suatu ketika Abu Sufyan melihat Rasulullah berjalan dengan diikuti oleh orang banyak. Abu Sufyan lalu bergumam dalam hati: "Apakah lelaki ini biasa berperang?" Maka tiba-tiba Rasulullah mendekat seraya melekatkan tangan beliau di dada Abu Sufyan lalu berkata: "Kalau kau begitu, Allah pasti akan menistakanmu." Sontak Abu Sufyan menukas: "Aku bertaubat kepada Allah dan aku mohon ampun pada-Nya dengan apa yang tadi terbersit di hatiku." Di dalam riwayat lain dinyatakan bahwa setelah peristiwa Penaklukan Mekah, Abu Sufyan ibn Harb duduk-duduk seraya bergumam dalam hati: "Bagaimana seandainya aku mengumpulkan sesuatu untuk Muhammad?" Tiba-tiba Rasulullah mendekat lalu menepuk bahu Abu Sufyan seraya berkata: "Kalau begitu, Allah pasti akan menistakanmu." Sontak Abu Sufyan mengangkat kepalanya dan melihat Rasulullah telah berdiri di depannya. Abu Sufyan berkata: "Sungguh dulu aku tidak yakin bahwa kau adalah seorang nabi sampai akhirnya datang saat ini. 5-Ada sebuah peristiwa lain yang terjadi pada Umair ibn Wahb ra. yang pada masa jahiliyah memiliki julukan 'Syaithân' tapi kemudian berubah menjadi 'Râhib al-Islâm' setelah ia memeluk agama Islam. Secara singkat dapat saya sampaikan bahwa semuanya bermula ketika suatu hari Umair yang masih kafir sedang duduk-duduk di Mekah bersama Shafwan ibn Umayyah. Mereka lalu bersepakat bahwa Umair ibn Wahb akan berangkat ke Madinah untuk berpura-pura masuk 36 Islam lalu membunuh Rasulullah Saw. dengan imbalan sejumlah unta dari Shafwan. Setelah mengasah pedang, Umair lalu bertolak menuju Madinah. Setibanya di tujuan, dia mengumumkan bahwa dirinya telah masuk Islam dan ingin berbaiat di hadapan Rasulullah. Para sahabat pun membawa Umair ke Masjid Nabawi, tapi mereka tidak mempercayai apa yang dinyatakan Umair. Maka para sahabat pun mengelilingi Rasulullah untuk melindungi beliau. Rasulullah lalu bertanya kepada Umair tentang maksud kedatangannya. Umair menjawab bahwa dia datang untuk memeluk agama Islam. Tapi Rasulullah langsung menyatakan bahwa Umair telah berdusta. Beliau bersabda: "Aku akan menyampaikan kepadamu alasanmu datang ke sini." Rasulullah lalu menuturkan semua yang telah direncanakan Umair berikut kesepakatannya dengan Shafwan di Mekah untuk menghabisi Rasulullah. Bukan main terkejutnya Umair ketika mendengar itu. Kontan lelaki itu menunduk di hadapan Rasulullah sambil menyatakan keislamannya secara sungguh-sungguh dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Sejak saat itu, Umair berubah menjadi sahabat Rasulullah yang sangat tekun beribadah dan selalu melakukan mujahadah hingga akhirnya dia dijuluki 'Râhib al-Islâm'. Siapakah gerangan yang telah memberi tahu Rasulullah tentang apa yang dilakukan oleh Umair dan Shafwan di Mekah? 37

Use Quizgecko on...
Browser
Browser