Summary

This document details the history and theory of Keroncong music, a traditional Indonesian genre. It explores the origins, instruments, and development of Keroncong music. The document also analyses the cultural influences on the music.

Full Transcript

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Keroncong Keroncong adalah terjemahan bunyi alat musik ukulele yang dimainkan secara arpeggio (rasqueado-Spanyol), dan menimbulkan bunyi “crong-crong”, dan akhirnya timbul istilah keroncong. (Harmunah 1987:9). Sedangkan menu...

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Keroncong Keroncong adalah terjemahan bunyi alat musik ukulele yang dimainkan secara arpeggio (rasqueado-Spanyol), dan menimbulkan bunyi “crong-crong”, dan akhirnya timbul istilah keroncong. (Harmunah 1987:9). Sedangkan menurut (Soeharto 1996:45), musik keroncong adalah jenis permainan musik tradisional menggunakan tangga nada diatonik dengan iringan beberapa alat musik berdawai yang dimainkan dengan aturan tertentu sehingga menjadi ciri khas musik itu sendiri. Musik keroncong merupakan musik tradisional dengan tata nada dinamik, berbentuk vokal dengan iringan beberapa alat musik berdawai yang merupakan bentuk baku dari sebuah orkestra yang terdiri dari gitar melodi secara berkesinambungan dari awal hingga akhir permainan atau lagu, gitar pengiring, ukulele (cuk), dan cello yang bertugas sebagai pengganti bunyi kendang (Dekdikbud 1987:84). Dalam buku yang berjudul “Kerontjong Toegoe” yang ditulis oleh (Victor Ganap 2011:1-4) menyebutkan bahwa musik keroncong berasal dari sejenis musik portugis yang dikenal sebagai fado, maka dari itu sudah dapat dipastikan bahwa musik keroncong adalah sebuah jenis musik yang lahir karena adanya akulturasi. Akulturasi merupakan suatu proses transfer penerima dari beragam unsur budaya yang saling bertemu dan berhubungan serta menumbuhkan proses interaksi budaya yang tanpa meninggalkan budaya aslinya. (Suyono 1995:208). Sedangkan menurut (Koentjaraningrat 1983:13) akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asingyang berbeda. 2.1.1 Sejarah Keroncong Dalam perjalanan sejarah perkembangan musik keroncong, berbagai pendapat telah menyatakan dan percaya bahwa genre musik ini diawali dan diperkenalkan sejak abad ke-16 (Harmunah 1987:9). ketika para pedagang Portugis membuka hubungan perdagangan rempah-rempah di Indonesia serta memonopoli perdagangan lokal (Harmunah 1987:10). Mereka bertempat tinggal di beberapa kota daerah pesisir di berbagai pulau, diantaranya menetap di Jakarta. Dalam tempo yang singkat mereka dapat bergaul dengan penduduk pribumi setempat. Kemudian terjadi pula perkawinan diantara mereka, serta hasil perkawinan tersebut membuahkan keturunan yang dinamakan mustiza (mestiezen). Kemudian datang pula peranakan Portugis yang lain diantaranya peranakan India yang disebut peranakan Gowa. Mereka bergaul rapat dengan penduduk yang beragama Kristen asal suku Ambon dan Banda yang akhirnyamengelompok di sebuah kampung yang diberi nama kampung Serani, distorsi dari kata Nazarani (Kristen). Kemudian peranakan yang dikenal dengan Indi Portugis dan disebut pula dengan istilah “Portugis Hitam”, merupakan keluarga baru yang disebut “Merdeques” atau “Mardjikers”. Kendatipun musik keroncong menyebar ke beberapa kota daerah pesisir di Nusantara Indonesia serta memberikan daerah khas lokal pada musik keroncong di wilayah penyebarannya, namun menjadi suatu anggapan bahwa hingga kini gaya musikal musik keroncong di wilayah Tugu Jakarta sebagai awal mula yang minimal telah mempengaruhi gaya musikal keroncong di wilayah lainnya, atau dapat dikatakan bahwa Tugu Jakarta merupakan titik tolak keberadaan musik keroncong di Indonesia. Hal ini dapat disimak dari perpindahan yang terjadi daripusat urban Jakarta, misalnya ke Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang dan Surabaya (Ernest Heins 1975:25). Selain itu dapat pula disimak dari reportoar musik keroncong, yaitu diantaranya lagu “Kafrinyo” dengan teks bahasa Portugis yang dipertimbangkan oleh masyarakat Tugu Jakarta sebagai contoh tipe keroncong yang asli. Dua buah lagu yang dianggapnya sebagai lagu tertua serta diklasifikasikan sebagai keroncong Portugis adalah “Cafrinyo” dan “Nina Bobok”,karena pada saat itu banyak pula lagu-lagu yang dibawakannya diiringi oleh alat musik gitar yang populer di Portugis pada abad ke 16, yang secara praktis dapat dibawa oleh pelaut Portugis bersinggah di kota-kota pelabuhan. Gambar 2.2 : Notasi Lagu Cafrinyo Gambar 2.2 : Notasi Lagu Nina Bobok Apabila ditinjau dari jenisnya, musik keroncong sama seperti jenis seni musik lainnya, misalnya musik gamelan, musik angklung, musik jazz dan lainnya. Instrumen keroncong biasanya dimainkan oleh 7 orang pemain. Mereka memainkan alat-alat antara lain : cuk, cak, cello, gitar, bass, flute (seruling), biola. Instrumen tersebut selalu mengiringi lagu-lagu keroncong atau lagu-lagu yang biasa diiringi dengan irama keroncong (Budiman 1979:19). Musik keroncong yang tumbuh, hidup dan berkembang di bumi nusantara semakin tampak jelas, terutama di Jawa yang merupakan pusat pengembangan yang utama abad ke 20. Di awal abad 20 musik keroncong menyebar dengan cepat, antara lain dengan concour yang diadakan di pasar-pasar malam dan semakin dirasakan sebagai warisan budaya. Sejak itu pula pusat-pusat dunia keroncong berkembang di daerah kebudayaan Jawa (Judith Becker 1975:15). Pada waktu itu pula, kendatipun musik keroncong belum menentukan bentuk yang sempurna, namun sudah mendapat tempat di hati masyarakat. Hal ini diperkuat oleh Tancil Paco yang menyatakan bahwa pada tahun 1920-an lagu-lagu keroncong sudah menyebar luas dan digemari orang, walaupun pada waktu itu perbendaharaan lagu-lagu keroncong masih kurang, namun musik keroncong di Semarang atau Jawa Tengah merintis lagu daerah yang dikeroncongkan (Budiman 1979:76). Perkembangan musik keroncong di Jawa Tengah khusunya di Surakarta dan sekitarnya, dipengaruhi oleh nada pentatonis (musik gamelan). Pengaruh tradisi gamelan Jawa menghasilkan sebuah reportoar yang disebut “langgam jawa”. Dua unsur yang ada dalam kategori ini adalah syair dalam bahasa Jawa, dan tangga nada serta iramanya juga dari musik. daerah Fungsi instrumentasi. (Ernest Heins 1991:25). dan nada direkayasa agar tercapai suara tradisional, walaupun alat musik yang digunakan sama ketika mengiringi reportoar keroncong asli, langgam keroncong, stambul dan lagu-lagu ekstra. Dalam uraian singkatnya, Yanpolsky berpendapat bahwa langgam jawa adalah bentuk keroncong daerah yang dinyanyikan dalam bahasa Jawa, dan erat kaitannya dengan kota Surakarta di Jawa Tengah, walaupun tidak terbatas pada daerah itu saja. Lebih lanjut dia berpendapat meskipun intrumentasi dan idiommusiknya sama dengan keroncong namun tangga nadanya mendekati laras pelog jawa dan musik gamelan dan melodinya lebih didasarkan pada sistem modus jawa dari pada sistem harmoni barat, yaitu dengan menggunakan nada do, mi, fa, sol dan si. (Adi Wasono 1999:43). 2.1.2. Karakteristik Musik Keroncong Keroncong merupakan musik pop yang diiringi instrumen musik bass, gitar, biola, cak, cuk dan flute. Jalinan musiknya terdiri dari tiga kelompok yaitu lagu, ritme dan hiasan. Lagu atau melodi utama dibawakan oleh penyanyi, kadang- kadang dibawakan juga oleh biola atau flute secara bergantian pada bagian intro. Kelompok kedua adalah ritme, merupakan permainan cuk yang berfungsi mengisi tetap pada ketukan dan cak pada setengah ketukan dibelakangnya, serta pukulan bas yang yang jatuh tepat pada ketukan. Kelompok ketiga adalah hiasan lagu, terdiri dari beberapa permainan instrumen antara lain petikan gitar melodi, petikan cello yang menyerupai suara kendang yang bermain melodi, biola, serta flute yang bermain bergantian atau bersama-sama. Pengelompokan ini menempatkan biola dan flute dalam fungsi ganda yaitu sebagai pembawa melodi utama dan penghias, demikian juga gitar melodi dan cello yang mempunyai fungsi ganda sebagai pembawa ritme dan melodi hiasan. Dalam tulisan “In Defence of Keroncong”, Kornhauser menyebutkan bahwa keroncong mempunyai gaya musik yang berasal dari barat, khususnya Portugis (Brosnia Kornhauser 1984:580). 2.1.3. Bentuk Lagu a. Stambul I dan Stambul II Kata stambul berasal dari kata Istambul (rombongan opera Istambul), kemudian didalam sebuah pertunjukan tersebut menggunakan musik opera yang digabung dengan musik keroncong asli sehingga menghasilkan keroncong stambul. (Agnes Sri Wijajadi 2007:16). Stambul mempunyai dua bentuk, yaitu stambul I dan stambul II. Keduanya mempunyai 16 birama, sukat 4/4 (empat per empat), bentuk kalimat lagu A-B dinyanyikan secara bebas sesuai dengan garis melodi. Perbedaannya adalah musik stambul I bersautan dengan vokal yaitu dua birama instrumental dan dua birama berikutnya diisi oleh vokal, sedangkan stambul II seluruhnya dibawakan oleh vokal. Introduksi stambul II merupakan improvisasi akor Tonika (I) ke akor Sub Dominan (IV) yang dibawakan vokal secara resitatif (Harmunah 1987:18). Gambar 2.4. Contoh Lagu Stambul 1 Sumber : http://peksimidajakarta.com Gambar 2.4. Contoh Lagu Stambul II Sumber : http://peksimidajakarta.com Sebuah lagu Stambul II yang dipopulerkan adalah Tinggal Kenangan. Stambul II biasanya dimainkan dalam tangga nada mayor, meskipun demikian ada juga yang dimainkan dalam tangga nada minor. Ciri harmonisasinya membentuk kadens lengkap I-IV-V-I. b. Keroncong Asli Ciri khas keroncong asli selain bentuk, gayanya terpengaruh permainan gendang dalam gamelan, juga kotekan dan gedugan dari musik para petani ketika mengetam padi atau permainan kotekan peronda malam di desa dengan tong-tong yang dibuat dari seruas bambu (Soeharto, A.H 1996:100-103). Keroncong asli menurut konvensi terdiri dari 28 birama dengan sukat 4/4, mempunyai bentuk kalimat lag A-B-C yang dinyanyikan dua kali. Pada keroncong asli biasanya digunakan intro dan koda. Introduksi merupakan improvisasi instrumen pembawa melodi menuju akor I, V, I dan pada akhir improvisasi akor- akor itu disertai pukulan instrumen pembawa ritme. Improvisasi ditutup dengan kadens lengkap atau biasa disebut dengan overgang. Pada tengah lagu terdapat interlude pada birama ke-delapan sampai ke-delapan sampai ke-sepuluh dan lagu diakhiri dengan koda yang merupakan kadens lengkap. (Harmunah 1987:13). Lagu keroncong asli biasa dimainkan dalam tangga nada mayor, akan tetapi ada beberapa lagu yang dimainkan dalam tangga nada minor. Ciri umum harmonisasinya secara konvensional membentuk kadens I-IV-V-I. Modulasi II-V terjadi pada birama lima sampai sepuluh. Contoh lagunya adalah keroncong kemayoran (Haryadi Suadi 2017:77). Gambar 2.5. Contoh Lagu Keroncong Kemayoran Sumber : http://peksimidajakarta.com c. Langgam Keroncong Langgam keroncong terdiri dari 32 birama dengan sukat 4/4 dan bentuk kalimat lagu A-A1-B-A1. Introduksinya adalah 4 birama terakhir lagu langgam keroncong itu. Biasanya lagu dibawakan dua kali, pada pengulangan kalimat A-A1 dibawakan oleh instrumen terlebih dahulu, setelah itu vokal masuk dari kalimat A- A1 atau lagu ke kalimat B dan ke A1. Akhir lagu (koda) merupakan kadens lengkap (Harmunah 1987:17). Tangga nada mayor maupun minor bisa digunakan dalam bentuk langgam keroncong. Adapun ciri harmonisasinya hampir sama dengan jenis keroncong asli yaitu membentuk kadens lengkap I-IV-V-I dan modulasi II-V.Lagu ekstra diartikan sebagai lagu tambahan yang tidak termasuk dalam ketiga jenis stambul, keroncong asli dna langgam keroncong. Lagu ekstra tidak mempunyai bentuk yang tetap, bersifat merayu, riang gembira, jenaka dan sangat terpengaruh oleh lagu-lagu tradisional misalnya Rangkaian melati (Harmunah 1987:17-18). Gambar 2.4. Contoh Lagu Langgam Sumber : http://peksimidajakarta.com d.Lagu Ekstra Lagu ekstra diartikan sebagai lagu tambahan yang tidak termasuk dalam ketiga jenis stambul, keroncong asli dan langgam keroncong. Lagu ekstra tidak mempunyai bentuk yang tetap, bersifat merayu, riang gembira, jenaka dan sangat terpengaruh oleh lagu-lagu tradisional, misalnya Kicir-Kicir. Gambar 2.4. Contoh Lagu Kicir-Kicir Sumber : http://peksimidajakarta.com Lagu-lagu ekstra mempunyai harmoni yang sama dengan bentuk stambul, keroncong asli dan langgam yaitu mempunyai kadens lengkap dengan tangga nada mayor ataupun minor pada akor II. Akan tetapi introduksinya tidak selalu ditentukan dengan pola yang pasti. Pada perkembangan terakhir, lagu-lagu yang bisa dimainkan dalam keroncong tidak dikelompokkan dalam lagu ekstra. Untuk menyebut lagu-lagu itu disesuaikan dengan nama genre asal lagu itu sendiri. Misalnya, keroncong pop yaitu istilah yang digunakan menyebut lagu-lagu pop yang dikeroncongkan. (R. Agoes Sri Widjajadi 2007:41). 2.1.4. Rhythm Pattern Keroncong a) Contoh Irama engkel Gambar 4.3.3. Irama engkel b) Contoh Irama dobel Gambar 4.3.3. Irama Dobel c) Contoh Irama Kentrungan Gambar 4.3.3. Irama Kentrungan d) Contoh Irama Petikan Gambar 4.3.3. Irama petikan 2.1.5. Alat Musik Keroncong Dan Fungsinya Dalam sebuah orkes keroncong konvensional terdapat tujuh macam alat musik yang digunakan untuk mengiringi dan memainkan lagu-lagu keroncong. Alat-alat musik tersebut adalah: biola, flute, cuk atau keroncong, cak, gitar, cello dan bass (B.J Budiman 1979:49). a. Biola Gambar 2.6. Biola Sumber : Keroncongjowo.com Biola termasuk dalam instrumen gesek yang mempunyai empat dawai bernada g- d-a1-e1. Biola dimainkan dengan menggunakan penggesek biola (bow) yang berfungsi untuk menghasilkan suara. Sama seperti flute, biola berfungsi sebagai pembawa melodi dan memainkan nada-nada isian (Filler melodi dan filler harmoni) berdasarkan pakem keroncong (Mintargo dalam Arba : 2013). Menurut (Harmunah 1987: 23), biola menirukan pembawaan vokal dan mempergunakan teknik yang sama, yaitu portamento. b. Flute Gambar 2.6. Flute Sumber : Keroncongjowo.com Merupakan alat musik tiup kayu (wood wind) yang mempunyai ambitus nada c1 sampai dengan c4. Alat ini bersumber bunyi dari hembusan udara pada rongga atau aerophone. Flute berfungsi pemegang melodi atau hiasan yang mengisi kekosongan selain intro dan coda (Harmunah 1987:21).Di lain bagian Harmunah juga menjelaskan pembawaan dari alat tiup ini pada umumnya banyak membunyikan deretan interval dengan tekanan pada nada bawah sedangkan nada diatas diperpendek (staccato), atau sebaliknya. c. Cuk Gambar 2.6. Cuk Sumber : Keroncongjowo.com Cuk merupakan alat musik chordophone karena sumber bunyi dari dawai atau senar jenis nylon.Cara memainkannya yaitu dengan dipetik secara arpeggio atau menurut istilah dalam teknik permainan gitar disebut “rasgueado” (Spanyol) dengan alat plecktrum (Harmunah 1987: 27). Alat musik ini ada yang mempunyai 4 (empat) dawai dan ada juga yang mempunyai 3 (tiga) dawai (Soeharto 1987: 64). Penalaan pada ukulele yang berdawai empat yaitu g2,b2,e2,a2. Sedangkan pada ukulele yang berdawai 3 yaitu g2,b1,e1. Pada umumnya Orkes keroncong menggunakan tiga d. Cak Gambar 2.6. Cak Sumber : Keroncongjowo.com Cak juga merupakan alat musik chordophone yang mempunyai tiga senar yang terbuat dari logam. Soeharto (1996: 64) mengatakan pada umumnya cak mempunyai tiga alur dengan jumlah senarnya tiga atau empat, jika dipasang empat senar maka penempatan senarnya dipasang berdekatan pada senar pertama dan senar kedua yang memiliki nada yang sama.Cak mempunyai dua penalaan, yang pertama yaitu stem atau in E dengan nada : g2.g2-b1-e2 atau g1.g1-b1,e1 , dan penalaan yang kedua yaitu stem atau in B dengan nada : d1.d1-fis1-b1 (Harmunah 1987: 26), dalam musik keroncong cak berfungsi sebagai pengisi antara pukulan ritmis dari cuk atau ukulele, jadi pada pukulan sinkop.Sinkopasi muncul dalam hubungannya dengan sukat bilamana sebuah nada pada sebuah ketukan yang lemah dari suatu birama diberi aksen dan diubah ke dalam sebuah ketukan yang kuat. e. Gitar Gambar 2.6. Gitar Sumber : Keroncongjowo.com Alat gitar memiliki 6 tali dari kawat atau dawai. Tali 1 nada E, tali 2 nada B, tali 3 nada G, tali 5 nada A, dan tali 6 nada E. Disini gitar berfungsi sebagai pembawa melodi (bukan melodi lagu), gitar bermain sepanjang lagu dengan melodi-melodi yang dirangkainya dari nada-nada akar yang sedang berjalan. Karena berfungsi sebagai pembawa melodi, gitar ini dikenal juga dengan sebutan gitar melodi selain itu gitar juga berfungsi sebagai pembuka pada lagu-lagu jenis keroncong. Kadang-kadang intro bagian pertama lagu-lagu jenis keroncong dimainkan oleh solo gitar secara penuh (B.J Budiman 1979:51). f. Cello Gambar 2.6. Cello Sumber : Keroncongjowo.com Alat musik celo bentuknya seperti biola tetapi ukurannya jauh lebih besar sehingga memainkannya harus duduk di kursi, sedang cellonya ditegakkan diantara kedua lutut. Cello ini memiliki 3 tali dari nilon, nada-nadanya adalah tali 1 nada D, tali 2 nada G dan 3 nada C. Alat musik celo bentuknya seperti biola tetapi ukurannya jauh lebih besar sehingga memainkannya harus duduk di kursi, sedang cellonya ditegakkan diantara kedua lutut. Cello ini memiliki 3 tali dari nilon, nada-nadanya adalah tali 1 nada D, tali 2 nada G dan 3 nada C. Memainkan alat ini dengan cara dipetik (pizzicato), biasanya dipetik dengan jari telunjuk dan ibu jari, karena dimainkan dengan cara dipetik, maka cello disebut juga dengan cello petik. Dalam memainkan cello petik sangat dipentingkan permainan individu yang kuat, karena dalam irama keroncong cello berfungsi sebagai kendang (Budiman 1991:21). g. Double Bass Gambar 2.6. Bass Sumber : Keroncongjowo.com Alat musik bas bentuknya mirip dengan cello, tetapi ukurannya lebih besar lagi, sehingga memainkannya dengan posisi berdiri. Alat bas ini memiliki 4 tali, nada-nadanya adalah tali 1 nada G, tali 2 nada D, tali 3 nada A, dan tali 4 nada E. Cara memainkan alat ini dengan dipetik dengan jari-jari kanan. Bass berfungsi sebagai pemegang atau pengendali irama (Soeharto 1996: 66). Bass atau contrabassjuga termasuk alat musik gesek,yang berdawai empat mempunyai penalaan E-A-D-G, dan ada pula yang berdawai tiga dengan penalaan A-D-G (Harmunah 1987: 23). Sama seperti cello, walaupun termasuk alat musik gesek, dalam musik keroncong bass dimainkan dengan cara dipetikmenggunakan telunjuk. 2.2. Pengembangan Pengembangan berasal dari kata kembang yang berarti menjadi bertambah sempurna. Kemudian mendapat imbuhan pe- dan –an sehingga menjadi kata pengembangan yang artinya proses, cara, atau perbuatan mengembangkan. Jadi pengembangan adalah usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan agar lebih sempurna dari pada sebelumnya (Deni Arisandi 2011:20). Sedangkan menurut (Sugiyono 2009:3) pengembangan berati memperdalam dan memperluas pengetahuan yang telah ada. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002, Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Sedangkan menurut Seels & Richey dalam (Alim Sumarno 2012:64), pengembangan berarti proses menterjemahkan atau menjabarkan spesifikasi rancangan kedalam brntuk fitur fisik. Pengembangan secara khusus berarti proses menghasilkan bahan-bahan pembelajaran. Sedangkan menurut Tessmer dan Richey dalam (Alim Sumarno, 2012:66), pengembangan memusatkan perhatiannya tidak hanya pada analisis kebutuhan, tetapi juga isu-isu luas tentang analisis awal-akhir, seperti analisis kontekstual. Pengembangan bertujuan untuk menghasilkan produk berdasarkan temuan-temuan uji lapangan. Pada hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh, selaras, pengetahuan, keterampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta kemampuan- kemampuan, sebagai bekal atas prakarsa sendiri untuk menambah, meningkatkan, mengembangkan diri ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal serta pribadi mandiri (Iskandar Wiryokusumo, 2011:48). Dari pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah untuk membuat atau memperbaiki, sehingga menjadi produk yang semakin bermanfaat untuk meningkatkan kualitas sebagai upaya untuk menciptakan mutu yang lebih baik. 2.2.1. Tujuan Pengembangan Menurut (Thomas 2002:45) pengembangan dapat terlaksana selama ketiga tuntutan dasar ini dipenuhi : 1. Seseorang atau suatu hal yang berkembang menghasilkan nilai ekonomis yang lebih positif bagi organisasi atau lingkungan dibandingkan dengan seseorang atau suatu hal yang tidak dikembangkan. 2. Kemampuan dari seseorang memberikan kelebihan dibandingkan dengan kompetitor. 3. Kemampuan tersebut tidak mudah diduplikasi oleh kompetitor. 2.2.2 Upaya Pengembangan Musik Keroncong Berhubungan dengan pengembangan musik keroncong itu sendiri, keroncong telah berkembang di masyarakat sesuai zaman dan era-nya sendiri. Sejak kedatangannya di bumi Nusantara dan menjadi musik yang diterima rakyat, keroncong telah mengalami berbagai perkembangan. Selain dikenal sebagai sajian konser musik, keroncong juga dipopulerkan lewat pergelaran beberapa jenis pertunjukan teater seperti stambul, yang populer sejak tahun 1890-an. Stambul merupakan kreasi August Mahieu, peranakan Indo-Eropa di Surabaya yang menggunakan keroncong sebagai musik latar untuk permainan stambul. Pemain stambul berasal dari Sumatera, Jawa, dan Malaka yang kemudian memasukkan lagu-lagu daerahnya dan menjadi keroncong campuran (Agnes Sri Widjajadi 2006:16). Pada pertengahan awal abad ke-20 (1920-1942) merupakan masa yang dinamis dalam sejarah upaya pengembangan musik keroncong. Pada tahun 1920- an banyak lahir kelompok keroncong di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta, dan Solo. Sebagian pemainnya masih terdiri dari orang-orang Belanda. Dengan adanya unsur-unsur pemusik Barat terutama di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mendorong timbulnya “cap Barat” pada musik keroncong. Hal itu juga semakin diperkuat dengan kenyataan perilaku para pelaku dan penikmat keroncong yang cenderung eksklusif. Kebiasaan bernyanyi sambil minum- minuman keras, dansa-dansi, pesta-pesta dengan meniru budaya Barat. Pada masa Jepang terdapat tiga aliran yang berkembang yaitu aliran militer, aliran yang menghendaki pimpinan oleh Jepang, dan aliran kebudayaan. (Soeharto, A.H 1996:40). Aliran kebudayaan yang ingin menguasai Indonesia secara kebudayaan yaitu dengan mengajarkan sejarah kebudayaan Jepang seperti tarian (odori), lagu, dan bahasa Jepang. Pada awal pendudukan Jepang keroncong mengalami kemunduran, tetapi karena kebudayaan Barat dikikis habis maka apresiasi terhadap keroncong justru semakin maju terutama dikembangkan oleh para penganut aliran kebudayaan. Sejak masa pendudukan Jepang dan revolusi melahirkan keroncong yang berbeda sekali dengan yang dikenal sebelumnya. Irama berubah menjadi lamban, mandolin diganti guitar, mandolin kecil dan tamburin hilang. (Paramitha R. Abdurachman 2008:41). Di Jawa Tengah, banyak dari kalangan masyarakat yang berupaya untuk mengembangkan musik keroncong. Keroncong berakulturasi dengan alat musik tradisional setempat seperti gamelan. Fungsi alat musik modern diidentikkan dengan fungsi alat musik dalam gamelan. Bass diidentikkan dengan gong, cello dengan gendang, gitar dan biola atau seruling dengan gambang serta rebab. Lagu- lagu dari Jawa Tengah lebih tenang dan lembut. Irama dan perpindahan nadanya lebih lambat sehingga memungkinkan banyak cengkok dalam menyanyikan lagunya. Cara menyanyikan dengan banyak cengkok juga identik dengan cara menyanyi lagu-lagu Jawa sehingga berkembang satu bentuk atau corak musik keroncong yang dikenal dengan langgam (keroncong Jawa) (Victor Ganap 2008:3). Langgam Jawa memiliki cirri khusus pada penambahan instrument antara lain siter, kendang, saron, dan suluk berupa introduksi vocal tanpa instrument untuk membuka sebelum irama dimulai secara utuh. Langgam keroncong contohnya lagu Bengawan Solo karya Gesang dan Telaga Sarangan karya Ismanto. Ada juga lagu Yen ing Tawang karya Andjar Anny yang bercirikan notasi pentatonik dan berbahasa Jawa. Akulturasi di Jawa Barat melahirkan Gambang Kromong, contohnya lagu Jali-Jali yang bertempo cepat dan syairnya berbentuk pantun. Pada tahun 1968 Langgam Jawa berkembang menjadi Campursari. Pada era 1970-an musik keroncong telah dikemas sebagai musik modern karena memainkan musik-musik pop. Keroncong dianggap sebagai jenis musik pop pertama di Indonesia. (Muchlis Paeni 2009:31). Lagu-lagu pop dinyanyikan dengan gaya keroncong menjadi populer seperti yang dilakukan Koes Plus dengan lagu Bunga di Tepi Jalan, Favorite Group, C’Blues yang merilis album-album berlabel keroncong. (Denny Sakrie 2008:18). Terlebih dengan diselenggarakannya kompetisi musik khususnya keroncong sejak tahun 1960an sampai 1980an banyak artis keroncong yang diorbitkan pada masa itu seperti Waldjinah, Titiek Puspa, Toto Salmon, Mus Mulyadi, Mamiek Slamet, Soendari Soekotjo, dan Koes Hendratmo. Selain karena pengaruh industri musik, perkembangan keroncong juga mendapat pengaruh dari kekuasaan politik. Hal itu terjadi ketika keroncong bisa dijadikan sarana propaganda kebijakan-kebijakan politik penguasa. Pada masa Orde Baru melalui kekuasaan Harmoko selaku Menteri Penerangan, keroncong menjadi maju karena sengaja dikembangkan untuk tujuan politik. Misalnya dengan dibentuknya Artis Safari yang di dalamnya melibatkan artis keroncong yang akan siap mendukung kampanye menjelang pemilu. Lagu-lagunya antara lain Keroncong Bahana Pancasila, Keroncong Tanah Airku, Keroncong Pembangunan atau Keroncong Repelita. Hal itu serupa, ketika pada masa revolusi jenis musik keroncong sangat familier di telinga masyarakat yang mengantarkan lagu-lagu perjuangan. Beberapa lagunya antara lain Jembatan Merah, Rangkaian Melati, Selendang Sutera, dan Pahlawan Merdeka. Bahkan lagu-lagu karya Ismail Marzuki seperti Sepasang Mata Bola menjadi lagu perjuangan yang syairnya mampu menyihir para pejuang muda dan tanpa sengaja tertanam dalam sanubarinya. (C. Sumarni 2001:66). Keroncong sebagai suatu bentuk kesenian, perkembangannya telah mengalami perjalanan yang sangat panjang, bahkan yang disebut sebagai keroncong asli pun tidak lebih merupakan sebuah perkembangan dari yang ada sebelumnya. Keroncong mencapai puncak kejayaannya di abad ke-20, tetapi kini nasibnya semakin tidak jelas, dan bahkan pernah diisukan bahwa 20 tahun ke depan musik keroncong akan punah. (Agus Bing 2008:29). Musik keroncong saat ini hampir tidak pernah menampakkan eksistensinya baik lewat penciptaan lagu maupun pementasan. Jika dahulu keroncong bisa dijumpai di tempat-tempat hajatan seperti pernikahan, syukuran, kini hampir tidak dilakukan lagi. Dalam hal ini keberadaan keroncong terdesak oleh orgen tunggal yang lebih mampu melayani berbagai jenis musik mulai dari pop, dangdut, campur sari dan keroncong. Dari sisi efisiensi orgen tunggal jauh lebih praktis, karena hanya dengan membawa satu instrumen dapat memberi pelayanan banyak hal. Sebaliknya dengan keroncong, banyak instrumen dan banyak orang yang terlibat tetapi masih mempunyai keterbatasan dalam memainkan jenis lagu. Keterbatasan ini merupakan hambatan dalam pengembangan musik keroncong pinggiran. Hal itu sesungguhnya telah menggelitik beberapa seniman musik untuk berusaha membangkitkan kembali musik keroncong dengan caranya sendiri. Tokoh musik Nya’ Ina Raesuki mengajak pemusik pop Dian HP dan Riza Ahmad (jazz) untuk memainkan keroncong dalam album Keroncong Tenggara. Erwin Gutawa pernah mengawinkan Almarhum Chrisye dengan penyanyi langgam Waldjinah dalam lagu Semusim pada tahun 1999. Ada pula perpaduan antara musik keroncong dan dangdut yang disebut cangdut dengan lagu Dinda Bestari, Telamaya, Dewi Murni, dan Gambang Semarang. Keroncong disco reggea Hetty Koes Endang dalam album Tenda Biru dan Kau Tercipta Bukan Untukku. Ada lagi Ismet Yanuar yang memperkenalkan Keroncong Beat. (Agus Bing 2008:29). 2.3. Workshop (Kom) lokakarya; pertemuan untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman diantara sejumlah peserta yang mempunyai keahlian atau profesi yang sama, guna meningkatkan pengetahuan atau memecahkan suatu masalah. (KBBI:2013). Workshop atau lokakarya merupakan salah satu metode yang dapat ditempuh pengawas dalam melakukan supervisi manajerial. Metode ini tentunya bersifat kelompok dan dapat melibatkan beberapa kepala Sekolah, wakil kepala Sekolah dan/atau perwakilan komite Sekolah. Penyelenggaraan workshop ini tentu disesuaikan dengan tujuan atau urgensinya, dan dapat diselenggarakan bersama dengan Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Kelompok Kerja Pengawas Sekolah atau organisasi sejenis lainnya. Sebagai contoh, pengawas dapat mengambil inisiatif untuk mengadakan workshop tentang pengembangan KTSP, sistem administrasi, peran serta masyarakat, sistem penilaian dan sebagainya. Agar pelaksanaan workshop berjalan efektif, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menentukan materi atau substansi yang akan dibahas dalam workshop. Materi workshop biasanya terkait dengan sesuatu yang bersifat praktis, walaupun tidak terlepas dari kajian teori yang diperlukan sebagai acuannya. b. Menentukan peserta. Peserta workshop hendaknya mereka yang terkait dengan materi yang dibahas. Adapun kriteria penyaji workshop antara lain: 1. Seorang praktisi yang benar-benar melakukan hal yang dibahas. 2. Memiliki pemahaman dan libu/bapasan teori yang memadai. 3. Memiliki kemampuan menulis kertas kerja, disertai contoh-contoh praktisnya. 4. Memiliki kemampuan presentasi yang baik. 5. Memiliki kemampuan untuk memfasilitasi/membimbing peserta. 6. Mengalokasikan waktu yang cukup. 7. Mempersiapkan sarana dan fasilitas yang memadai. Dalam pelaksanaan supervisi manajerial, pengawas dapat menerapkan teknik supervisi individual dan kelompok. Teknik supervisi individual di sini adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada kepala Sekolah atau personil lainnya yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. Sedangkan menurut (Andrew Clement 1999 : 203-204), Workshop adalah suatu kegiatan dimana kegitan tersebut terdapat orang-orang yang memiliki keahlian tertentu, lalu berkumpul dan membahas permasalahan tertentu dan memberikan pengajaran atau pelatihan kepada para pesertanya. Dengan kata lain, workshop adalah memberikan pengajaran atau pelatihan kepada peserta mengenai teori dan juga praktek pada suatu bidang. Atau bisa diartikan, Workshop adalah pelatihan untuk peserta yang bekerja secara perseorangan atau secara kelompok untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan atau tugas yang sebenarnya bertujuan untuk mendapatkan pengalaman. 2.3.1. Ciri-Ciri Workshop Adapun ciri-ciri workshop, yaitu:  Permasalahan yang dibahas yaitu permasalahan yang muncul atau berasal dari peserta workshop.  Metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yakni dengan cara musyawarah dan juga penyelidikan, sehingga peserta worksop bisa mengambil bagian untuk menyelesaikan masalah tersebut secara aktif.  Setiap peserta harus aktif dan berpartisipasi dalam memberikan bantuan dalam kegiatan tersebut untuk menyelesaikan permasalahan, sehingga dapat diperoleh hasil yang baik dalam musyawarah tersebut. 2.3.2. Jenis-Jenis Workshop Adapun macam-macam jenis workshop menurut (Andrew Clement 1999: 40) yaitu:  Workshop Berdasarkan Lembaga atau Organisasi Contohnya workshop dalam dunia pendidikan yang membahas tentang permasalahan yang selalu muncul dalam pendidikan dan menyelesaikan persoalan tersebut. Jadi workshop ini tergantung pada lembaga/organisasi yang menyelenggarakannya.  Workshop Berdasarkan Waktu Berdasarkan waktunya, Workshop dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: 1. Workshop beruntun Workshop beruntun yaitu suatu workshop yang dilakukan dalam waktu tertentu diadakan secara terus menerus, biasanya workshop ini dilakukan selama tiga hari secara terus menerus. 2. Workshop Berkala Workshop berkala yaitu workshop yang hanya dilakukan dalam jangka waktu mingguan atau bulanan.  Berdasarkan Sifat Berdasarkan sifatnya, workshop dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Workshop mengikat Workshop yang mengikat adalah jenis workshop yang diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga tertentu, dimana hasil workshop tersebut mengikat setiap peserta yang mengikutinya. 2. Workshop tidak mengikat Workshop yang bersifat tidak mengikat yaitu jenis workshop yang hasilnya tidak mengikat setiap peserta yang mengikutinya. Apapun hasil yang diperoleh dari workshop tersebut tidak wajib dituruti oleh setiap peserta. Contoh workshop yang bersifat tidak mengikat yaitu workshop tentang zat kimia berbahaya yang dihasilkan kendaraan. Tata Pelaksanaan Workshop Adapun tahapan atau rangkaian tata pelaksanaan workshop yaitu: 1. Tujuan workshop diadakan. 2. Masalah yang di bahas dalam workshop 3. Prosedur teknis workshop 4. Pembahasan tentang permasalahan dengan beberapa orang 5. Menentukan cara memecahkan masalah

Use Quizgecko on...
Browser
Browser