KB 1 Moderasi Beragama.pdf

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

Full Transcript

KEGIATAN BELAJAR 1 SKETSA KEBERAGAMAAN DI INDONESIA Capaian Pembelajaran (CP) Menganalisis sketsa keberagamaan manusia, sketsa keberagamaan di Indonesia dan berbagai tantangan kehidupan beragama dan bernegara yang merupakan kondisi objektif yang menjadi l...

KEGIATAN BELAJAR 1 SKETSA KEBERAGAMAAN DI INDONESIA Capaian Pembelajaran (CP) Menganalisis sketsa keberagamaan manusia, sketsa keberagamaan di Indonesia dan berbagai tantangan kehidupan beragama dan bernegara yang merupakan kondisi objektif yang menjadi latar belakang urgensi beragama secara moderat. Tujuan Pembelajaran (TP) 1. Menganalisis sketsa keberagamaan dalam kehidupan manusia. 2. Menganalisis sketsa keberagamaan dalam kehidupan bangsa Indonesia. 3. Menganalisis Praktik Keberagamaan Substantif-Inklusif vs Legal Formalistik- Eksklusif 4. Menganalisis urgensi beragama secara moderat. Ruang Lingkup Materi 1. Sketsa Keberagamaan Dalam Kehidupan Manusia 2. Sketsa Keberagamaan Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia 3. Praktik Keberagamaan Substantif-Inklusif vs Legal Formalistik-Eksklusif 4. Urgensi Beragama Yang Moderat 1 Uraian Materi A. Pengantar Materi pembelajaran pada Kegiatan Belajar 1; Sketsa Keberagamaan Di Indonesia ini diarahkan untuk mengantarkan para guru pada kemampuan untuk melakukan analisis terhadap urgensi beragama secara moderat. Untuk kepentingan tersebut, materi pembelajaran pada KB 1 ini disusun dengan alur sebagai berikut : ✓ Diawali dengan uraian tentang sketsa keberagamaan dalam kehidupan manusia, dimana uraian tersebut berisi gambaran yang menunjukkan bahwa kehadiran agama dalam kehidupan manusia, secara umum, selalu disertai “dua muka” (janus face). Secara inherent agama memiliki identitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. Dengan kata lain, agama mempunyai energi potensial yang bersifat konstruktif dan dalam waktu yang bersamaan agama juga mempunyai energi potensial yang bersifat destruktif terhadap umat manusia. ✓ Alur berikutnya adalah uraian tentang sketsa keberagamaan dalam kehidupan bangsa Indonesia, dimana uraian tersebut berisi gambaran yang menunjukkan bahwa sebagaimana dalam kehidupan manusia secara universal, kehadiran agama dalam kehidupan bangsa Indonesia --bangsa yang beragama, bangsa yang plural, dimana salah satu aspek pluralitas bbanggsa Indonesia terrsebutt adalah pluralitas agama-- juga mempunyai energi potensial yang bersifat konstruktif dan dalam waktu yang bersamaan juga mempunyai energi potensial yang bersifat destruktif terhadap umat manusia. ✓ Berikutnya, uraian dilanjutkan dengan paparan yang menggambarkan manifestasi dari potensi positif dan potensi negatif agama dalam kehidupan 2 bangsa Indonesia yaitu model keberagamaan substantif-inklusif sebagai manifestasi dari potensi positif agama, dan model keberagamaan legal formalistik-eksklusif sebagai manifestasi potensi negatif agama. ✓ Uraian berikutnya dilanjutkan dengan paparan bahwa dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, model keberagamaan legal formalistik-inklusif kemudian digambarkan sebagai variabel yang cukup deterministik dalam melahirkan tiga tantangan bagi kehidupan beragama dan berbangsa, yaitu; 1) berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem), yang mengesampingkan martabat kemanusiaan, 2) berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik yang berpotensi memicu konflik, dan 3) berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI. ✓ Uraian materi pembelajaran KB 1 ini diakhiri dengan pemaparan gambaran bahwa beragama yang moderat adalah solusi untuk menghadapi dan mengatasi tiga tantangan kehidupan beragama dan berbangsa, dimana untuk membangun kehidupan beragama yang moderat tersebut dilakukan melalui upaya; 1) memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, 2) mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan, dan 3) merawat keindonesiaan. B. Sketsa Agama Dalam Kehidupan Manusia Salah satu tesis yang sampai saat ini belum tergoyahkan menyatakan bahwa agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan dasar setiap individu dari sebuah masyarakat yang kemudian menjadi komponen dominan yang mempengaruhi gerak langkah yang dilakukan oleh setiap individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut.1 1 Beberapa hasil kajian yang mendasari pernyataan tersebut antara lain lihat Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York : Scribner’s Sons, 1958), dan Robert N. Bellah, Tokugawa Religion; the Cultural Roots of Modern Japan, (New York : the Free Press, 1985). 3 Tesis tersebut ternyata tidak hanya berlaku bagi komunitas yang berada di kawasan yang berperan sebagai tempat lahirnya agama-agama besar, akan tetapi, dalam intensitas dan scope yang beragam, juga berlaku bagi komunitas yang berada di luar kawasan tersebut. Salah satu bukti tentang apa yang dikemukakan terakhir di atas antara lain adalah pengambilan sumpah jabatan Presiden Amerika Serikat. Di negara yang sering dianggap sebagai prototipe negara sekuler tersebut, pengambilan sumpah jabatan presiden selalu melibatkan kitab suci Bible. Demikian pula makna simbolik dari realitas yang bisa kita lihat bahwa Ratu Inggris dan kepala-kepala negara yang berada di kawasan Skandinavia --yang juga sering dianggap sebagai prototipe negara-negara sekuler-- berperan sebagai kepala Gereja Anglikan. Bukti tersebut tentu saja berimplikasi pada seluruh perkembangan sosial, ekonomi, dan politik, dimana agama selalu hadir sebagai salah satu variabel yang mempengaruhinya, meskipun hal tersebut terjadi dalam intensitas dan scope yang beragam.2 Seorang tokoh pemikir Islam Indonesia, Almarhum Nurcholish Madjid pernah menyatakan bahwa kehadiran agama dapat dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai comparative advantage. Agama diharapkan akan memberi nilai tambah yang fundamental terhadap upaya menciptakan keseimbangan antara kehidupan material dan immaterial, kehidupan yang profan dan yang sacral.3 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama sesungguhnya hadir sebagai petunjuk bagi penciptaan kehidupan yang penuh keteraturan dan keharmonisan. Namun, kehadiran agama di muka bumi dalam bentuk “keberagamaan manusia”, tidak tampil dalam wajah yang seragam sebagaimana juga tidakseragamnya manusia itu sendiri. Hal ini, sebenarnya memiliki blessing teologis-sosiologis terutama bagi upaya menciptakan keteraturan kosmik, 2 Lihat Phillipe E Hammond (ed.), The Sacred in A Secular Age, (Berkeley, Los Angeles, London : University of California Press, 1985). 3 Lihat Nurcholis Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987), hal. 122. 4 sebagaimana Tuhan menghendaki keragaman (pluralitas) itu sebagai sunnatullah. Sayangnya, tidak semua komunitas umat beragama memiliki kesadaran untuk mengambil dan mengembangkan sisi positif-konstrukrtif dari keragaman tersebut. Terdapat sebagian komunitas umat beragama yang memiliki anggapan bahwa sebagian komunitas agama lain yang berbeda sebagai musuh yang harus dihindari dan dinafikan eksistensinya. Hal terakhir tersebut di atas membuat seorang novelis sekaligus wartawan dari Inggris, A. N. Wilson, mengemukakan fikiran yang bersifat pesimistis -- tepatnya, negatif-- tentang agama. Dalam buku yang ditulisnya yang berjudul “Against Religion; Why We Should Try to Live Without It”, A. N. Wilson mengemukakan bahwa jika dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan, mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Lebih lanjut Wilson mengemukakan bahwa agama adalah tragedi umat manusia. Dalam pandangan Wilson, hampir tidak ada satupun agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan. Wilson menambahkan bahwa agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat sendiri di atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran.4 Selanjutnya Wilson juga sependapat dengan Marx yang menggambarkan bahwa agama adalah candu bagi rakyat, bahkan Wilson berpendapat bahwa agama jauh lebih berbahaya dari pada candu, karena menurut Wilson, agama bisa membuat orang “tidak bisa tidur”.5 Pandangan Wilson bahwa agama bisa membawa kepada berbagai macam konflik berbasis klaim kebenaran memang terasa terlalu berlebihan dan sangat pesimistis. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan Wilson tersebut 4 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang”, dalam Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam …, hal. 11. 5 Lihat, Ma’arif Jamuin, Manual Advokasi: Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama, (Surakarta, Penerbit CISCORE, 2004), hal. 42 – 43. 5 didukung oleh berbagai bukti yang menunjukkan bahwa dalam suasana ekstrim dan fanatik, agama bisa membawa manusia terjebak kepada situasi untuk saling “menganiaya sesamanya”. Banyak catatan sejarah yang bisa dikemukakan mengenai bermacam konflik antar agama dimana konflik tersebut “seolah-olah” dibenarkan oleh agama. Kita bisa melihat bahwa perjalanan sejarah agama-agama tidak pernah luput dari masalah konflik hingga sekarang. Masih segar dalam ingatan kita, pada dekade akhir dari abad dua puluh kejadian tragis berbau keagamaan, antara lain konflik berdarah di Ayodhya antara pemeluk Hindu dan pemeluk Islam pada tahun 1992, peperangan di Yogoslavia antara Bosnia Muslim dan Serbia Kristen ketika negara itu pecah pada tahun 1989, konflik-konflik berdarah bernuansa agama juga terjadi di Irlandia Utara, Srilangka, Israel, dan Sudan.6 Peristiwa yang muncul serta menggemparkan negara adikuasa, dan beritanya mengumandang di seluruh pelosok dunia, yakni peristiwa hancurnya Gedung World Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat, tepatnya 9 September 2001 dihubungkan juga dengan gerakan fundamentalisme beragama yang berkembang di negara tersebut. Maraknya serangan bom dan aksi tembak- menembak yang terjadi di berbagai negara belakangan ini seringkali dicap sebagai bentuk terorisme yang dilatarbelakangi oleh radikalisme agama. Dari berbagai kejadian itu, banyak pihak yang menuding aksi tersebut dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras berlandaskan agama Islam, seperti Al-Qaeda, ISIS atau Daesh, Boko Haram, Abu Sayyaf, dan afiliasi kelompok-kelompok tersebut di berbagai negara. Namun, sesungguhnya tindakan radikal dan aksi teror juga dilakukan oleh kelompok dengan latar belakang agama lain (selain Agama Islam). Misalnya kasus ledakan bom yang terjadi di Malegaon, Maharashtra, dan di Modasa, Gujarat di India pada 29 September 2008 yang menewaskan 8 orang, dan melukai lebih dari 80 orang yang mayoritas beragama Islam. Menurut otoritas setempat, 6 Abdullah Ismail, “Dilema Agama: Antara Pembebasan dan Konflik Telaah Sosiologis atas Konflik Islam- Kristen di Maluku Utara”, dalam Jurnal Sains, Sosial Dan Humaniora (JSSH), Vol.1, No. 1, hal : 16 – 21. 6 aksi ini dilakukan oleh kelompok garis keras di India dengan latar belakang agama Hindu.7 Hal yang sama juga terjadi di Myanmar, di mana sejumlah rahib beragama Buddha melakukan aksi kekerasan terhadap warga Rohingya yang beragama Islam, mulai dari tindakan diskriminasi hingga pengusiran paksa dari tempat tinggal mereka. Pemerintah Myanmar sepertinya membiarkan hal itu terjadi, bahkan dianggap mendukung gerakan kelompok radikal Buddha tersebut. Begitu pula dengan kelompok teroris dan radikal Kristen seperti Army of God dan Ku Klux Klan di Amerika Serikat yang kerap melakukan tindak kekerasan dan membunuh masyarakat yang dianggap berbeda dengan iman Kekristenan mereka. Kelompok radikal Kristen lainnya juga hadir di beberapa negara seperti The Lord’s Resistance Army (LRA) di Uganda, The National Liberation Front of Tripura di India.8 Pesimisme Wilson, dan berbagai fenomena yang dapat dijadikan sebagai bukti yang mendasari pesimisme Wilson tersebut sebenarnya bukanlah satu satunya sketsa atau wajah keberagamaan dalam kehidupan manusia. Terdapat juga komunitas beragama yang menganggap bahwa komunitas agama lain (yang berbeda) adalah partner dan memiliki eksistensi yang harus dihargai sebagaimana mereka juga menghargai diri dan agama mereka. Hal ini, karena menurut komunitas beragama dengan jenis yang disebut terakhir tersebut, beragama adalah merupakan salah satu dari hak dasar kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. Apa yang telah dipaparkan di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jose Casanova bahwa kehadiran agama, secara umum, selalu disertai “dua muka” (janus face). Secara inherent agama memiliki identitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, 7 Angel Damayanti,. “Radikalisme Pada Komunitas Non-Islam”, (Universitas Kristen Indonesia, 2018), hal. 1. 8 Angel Damayanti,. “Radikalisme Pada Komunitas …” 7 “universalist”, dan “transcending”. Dengan kata lain, Jose Casanova ingin mengatakan bahwa agama mempunyai energi potensial yang bersifat konstruktif dan dalam waktu yang bersamaan agama juga mempunyai energi potensial yang bersifat destruktif terhadap umat manusia.9 Dengan demikian, sekali lagi, pesimisme Wilson, dan berbagai fenomena yang dapat dijadikan sebagai bukti yang mendasari pesimisme Wilson tersebut sebenarnya bukanlah satu satunya sketsa atau wajah keberagamaan dalam kehidupan manusia karena terdapat juga komunitas beragama yang menganggap bahwa komunitas agama lain (yang berbeda) adalah partner dan memiliki eksistensi yang harus dihargai sebagaimana mereka juga menghargai diri dan agama mereka sebab beragama adalah merupakan salah satu dari hak dasar kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. C. Sketsa Keberagamaan Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia Sebagaimana yang telah dikemukakan di awal bagian A, yaitu Sketsa Keberagamaan Dalam Kehidupan Manusia, bahwa agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan dasar setiap individu dari sebuah masyarakat yang kemudian menjadi komponen dominan yang mempengaruhi gerak langkah yang dilakukan oleh setiap individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut, dan ini berlaku di berbagai kawasan di dunia ini, termasuk di kawasan yang dianggap sebagai prototipe sekuler. Nah, jika pada komunitas yang berada di kawasan yang dianggap sebagai prototipe sekuler saja kecenderungan terhadap agama ini nampak, maka optimisme keagamaan pada komunitas di kawasan yang berperan sebagai tempat lahirnya agama-agama besar, kawasan Asia misalnya, tentu lebih kental, dan Indonesia adalah termasuk salah satu di dalamnya. 9 Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Jogjakarta : Galang Press, 2001), hal. 42. 8 Karena itulah, agama memiliki posisi fundamental bagi bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yakni UUD 1945 dan Pancasila sila pertama. Amanat itu tertuang secara jelas; ✓ Pertama, dalam Pembukaan UUD 1945. Penyebutan frasa “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” di dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 adalah satu bentuk pengakuan rasa syukur Bangsa Indonesia kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, tanpa ada “campur tangan” Tuhan melalui Rahmat dan Berkat-Nya, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan terwujud. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, di mana ajaran agama tidak hanya diyakini, tetapi juga menjadi faktor dominan yang mendrive gerak langkah yang dilakukan oleh setiap warganya. ✓ Kedua, Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi pekerti, kemanusiaan yang luhur, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. ✓ Ketiga, dalam Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Hal ini bermakna bahwa kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Akan tetapi, penting untuk dicermati, bagi para penganutnya, ajaran agama diyakini menjanjikan jaminan kebaikan atau kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu, menurut para penganutnya, agama juga memberikan jaminan 9 bagi mereka untuk dapat keluar dari kegelapan menuju keadaan yang terang benderang. Dari sebagian kecil ajaran agama tersebut, bagi Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius, di mana ajaran agama tidak hanya diyakini, tetapi juga menjadi faktor dominan yang mendrive gerak langkah yang dilakukan oleh setiap warganya, kondisi ril yang seharusnya terjadi adalah Bangsa Indonesia --yang seluruh penduduknya beragama-- menjadi bangsa yang maju, terdepan, sukses menghadapi berbagai problem kehidupan, dan tentunya menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera. Akan tetapi, apa yang terjadi saat ini justru menunjukkan kondisi yang belum sesuai dengan idealitas tersebut. Dalam kehidupan sosial juga ada kecenderungan yang sangat memprihatinkan dimana bangsa ini sedang disibukkan dengan saling hujat dan bentrok antar sesama warga bangsa, yang ironisnya seringkali disebabkan oleh hal-hal yang sangat sepele, seperti; perbedaan cara beribadah formal, perbedaan organisasi, dan hal lain yang seharusnya justru menjadi kekayaan khasanah yang dapat dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini angsa Indonesia sedang menghadapi situasi kehidupan sosial- keagamaan yang memiliki daya destruksi terhadap kebinekaan bangsa. Setidaknya, ada tiga tantangan kehidupan keagamaan yang dihadapi saat ini. Tantangan pertama berkaitan dengan menguatnya pandangan, sikap, dan perilaku keagamaan eksklusif yang bersemangat menolak perbedaan dan menyingkirkan kelompok lain. Cara beragama ini tidak hanya mempertanyakan keabsahan Indonesia sebagai rumah bersama bagi kelompok-kelompok yang berbeda, tetapi juga berusaha membangun ulang Indonesia menjadi sebuah negara eksklusif yang hanya dimiliki kelompok tertentu.10 10 Kelompok Kerja Moderasi Beragama, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Aparatur Sipil Negara Kementerian Agama Republik Indonesia, (Jakarta : Kelompok Kerja Moderasi Beragama, 2021), hal. 4 10 Pada 2012, CSIS melakukan survei nasional. Dari 1.200 total responden, ditemukan bahwa 33,4% tidak mau bertetangga dengan orang yang berlainan agama; 25% tidak percaya kepada umat agama lain, dan 68% menentang pembangunan tempat ibadah agama lain di lingkungannya.11 Data-data di atas menunjukkan betapa kuatnya sikap keberagamaan eksklusif, sebuah sikap keberagamaan yang dibangun di atas hilangnya kepercayaan kepada kelompok lain, yang jika dibiarkan akan berujung pada tindakan penyingkiran kepada kelompok lain yang berbeda. Tantangan kedua berkaitan dengan tingginya angka kekerasan bermotif agama. Pandangan, sikap, dan cara beragama yang eksklusif pada akhirnya melahirkan berbagai praktik intoleransi dan kekerasan keagamaan yang menghancurkan dan mematikan.12 Setidaknya, sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, berbagai konflik sosial keagamaan muncul di berbagai wilayah seperti yang terjadi di Poso dan Ambon Pada 2002, meledak bom Bali yang menewaskan 202 orang.13 Peristiwa ini disusul dengan pengeboman Hotel J.W. Marriot Jakarta, dengan korban 11 orang meninggal dan 152 mengalami luka serius (2003).14 Pada 2004, 5 orang meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka berat karena ledakan bom di Kedutaan Besar Australia Jakarta.15 Setahun kemudian, bom terbesar kedua meluluh-lantakkan Kuta Bali dan menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 100 orang.16 Pada 11 Kompas, “Toleransi Jadi Tantangan,” Kompas.com, 2012, https://nasional.kompas.com/read/2012/06/06/03234293/toleransi.jadi.tantangan?page=all. 12 Rizal Sukma, “Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution”, dalam Kusuma Snitwongse dan W. Scott Thompson (eds.), Ethnic Conflict in Souteast Asia (Singapura: ISEAS, 2005), hal. 1. 13 K. Ramakrishna, dan S.S. Tan, After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia (Singapore: World Scientific and Institute of Defence and Strategic Studies, 2003); B. Singh, “The challenge of militant Islam and terrorism in Indonesia,” Australian Journal of International Affairs, Vol. 58, No. 1 (2004), hal.47-68; J. Magouirk, S. Atran, dan M. Sageman, “Connecting terrorist networks,” Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 31, No. 1 (2008): 1-16; B. West, “Collective memory and crisis: the 2002 Bali bombing, national heroic archetypes and the counter-narrative of cosmopolitan nationalism,” Journal of Sociology, Vol. 44, No. 4 (2008), hal. 337- 353; F. Galamas, “Terrorism in Indonesia: an overview,” Research Papers, Vol. 4 (2015), hal. 215; A.S. Zora, “Terrorism in Indonesia: A review on rehabilitation and deradicalization,” Journal of Terrorism Research, Vol. 6, No. 2 (2015), hal. 36-56. 14 G.S. Oak, “Jemaah Islamiyah's fifth phase: the many faces of a terrorist group,” Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 33, No. 11 (2010), hal. 989-1018. 15 M. Subhan, “Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi terorisme tahun 2000- 2015),” Journal of International Relations, Vol. 2, No. 4 (2016), hal. 59-67. 16 M. Subhan, “Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi terorisme tahun 2000- 2015),” Journal of International … 11 2009, sepasang bom diledakkan di Hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton Jakarta, dengan korban 7 orang meninggal dan 50 lainnya luka-luka.17 Peristiwa kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Pada 14 Januari 2016, salah satu jaringan ISIS di Indonesia melakukan serangan dengan senjata api dan meledakkan bom di Jalan Thamrin Jakarta dan mengakibatkan hilangnya nyawa 8 orang.18 Pada 2018, terjadi pengeboman di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, dan Markas Polrestabes Surabaya di tahun 2018.19 Pada akhirnya, di depan ideologi keagamaan yang tertutup, dipenuhi kebencian dan kekerasan ini, Indonesia dipertaruhkan. Inilah tantangan ketiga, yaitu berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI. Atas nama agama, Pancasila mulai digugat dan dipertanyakan. Indonesia dianggap sebagai berhala. Hormat bendera merah putih diyakini mencederai iman. Di sinilah, kita menemukan ideologi khilafah dijajakan sebagai alternatif pengganti NKRI.20 Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, melakukan survei kepada siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) se-Jabodetabek. Hasilnya: 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan; 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam; 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.21 17 Rizal Sukma, J. Ma'ruf, dan K. Abdullah, “The attitude of Indonesian Muslims towards terrorism: an important factor in counter-terrorism?,” Journal of Human Security, Vol. 7, No. 1 (2001), hal. 21; M. Subhan, “Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi terorisme tahun 2000-2015).” 18 A. Fenton dan D. Price, “ISIS, jihad and Indonesian law: Legal impacts of the January 2016 Jakarta terrorist attacks,” Issues in Legal Scholarship, Vol. 14, No. 1 (2016), hal. 1-26; Y.P. Suratman, “The effectiveness of de-radicalization program in Southeast Asia: does it work? The case of Indonesia, Malaysia, and Singapore,” Journal of Asian Studies, Vol. 5, No. 2 (2017), hal. 135-156 19 I.A. Irawan, “Pergeseran orientasi terorisme di Indonesia 2000-21018,” kumparan.com 17 Mei 2018, https://kumparan.com/erucakra-garuda-nusantara/pergeseran-orientasi-terorisme-diindonesia-2000-2018 (Diakses 7 Juni 2019) 20 Kelompok Kerja Moderasi Beragama, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Aparatur Sipil Negara Kementerian Agama Republik Indonesia, (Jakarta : Kelompok Kerja Moderasi Beragama, 2021), hal. 5 21 BBC, “Survei: hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal,” www.bbc.com, 2011, https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/04/110426_surveiradikalisme.. 12 Pada 2016, Jaringan GUSDURian melakukan pemetaan sosial media dan internet, di mana hasilnya adalah narasi keislaman dan keindonesiaan didominasi oleh pandangan keagamaan yang menganggap bahwa demokrasi dan Indonesia dianggap sebagai musuh bagi Islam.22 Karena demokrasi dan Indonesia dianggap sebagai musuh Islam, maka ideologi yang harus dipeluk umat Islam adalah ideologi khilafah. Di tahun yang sama, Wahid Foundation melakukan survei kepada para siswa SLTA aktivis Unit Kerohanian Islam (Rohis), di mana 37 % sangat setuju dan 41 % setuju Indonesia menjadi khilafah Islam.23 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Convey Indonesia Pada tahun 2018, melakukan survei tentang intoleransi dan terorisme di kalangan guru, siswa, dosen, dan mahasiswa. Penelitian tersebut melibatkan 1.859 siswa dan mahasiswa, serta 322 guru dan dosen di 34 provinsi dan 68 kota di Indonesia.24 Penelitian tersebut menunjukkan, 86% siswa dan mahasiswa, dan 87.89% guru dan dosen yang menjadi responden setuju pemerintah melarang keberadaan kelompok-kelompok keagamaan minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dari seluruh responden, 91.23% di antaranya setuju bahwa syariat Islam harus diterapkan pada level negara, 37.71% setuju bahwa jihad bermakna “qitâl” atau mengangkat senjata berperang melawan non-muslim, 37.71% setuju bahwa bom bunuh diri adalah bagian dari ajaran jihad dalam Islam, dan 61.92% memahami bahwa sistem kekhalifahan merupakan sistem pemerintahan Islam. Itulah tadi sebagian dari wajah kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini. Pemahaman, sikap, dan cara beragama yang eksklusif, intoleran, memuja kekerasan, dan menolak NKRI terus menerus dipasarkan. Cara beragama seperti ini akan menghancurkan sendi-sendi kebangsaan yang selama ini dibangun 22 Infid dan Gusdurian, “Laporan Mapping Internet dan Sosial Media” (Jakarta, 2016). 23 Berita Satu, “Survei Wahid Foundation: 86% Aktivis Rohis Ingin Berjihad ke Suriah,” www.beritasatu.com, 2017, https://www.beritasatu.com/megapolitan/414934/survei-wahidfoundation-86- aktivis-rohis-ingin-berjihad-ke-suriah 24 PPIM UIN Jakarta dan Convey, Api dalam Sekam: Keberagamaan Muslim Gen-Z, Survei nasional tentang Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia (Jakarta: PPIM UIN Jakarta and Convey Indonesia, 2018). 13 melalui tata kehidupan yang saling merangkul, menghargai, dan mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan berbagai masalah bersama. Karena itulah, perlu dibangun pemahaman keagamaan yang lebih moderat dengan mengedepankan sikap inklusif, dialogis, humanis, toleran, adil, dan damai. D. Praktik Keberagamaan Substantif-Inklusif vs Legal Formalistik-Eksklusif25 Paradigma pemikiran politik Islam yang “substantif-inklusif” secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik. Adapun ciri-ciri yang menonjol pada pemikiran substantif-inklusif ada empat. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detail pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa umat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al- Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain. Kedua, pendukung paradigma substantif-inklusif meyakini bahwa misi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau negara. Tetapi seperti halnya para nabi lainnya, yakni mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian misi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi al-Najjar, concern utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam (al-wihda al-ijtimai) daripada membangun Disadur dari M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita Membingkai Potret Pemikiran Politik 25 KH Abdurrahman Wahid,” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Wahid Institute, 2006), xix-xxii. 14 sebuah negara atau sistem pemerintahan. Kenyataan kemudian terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk melakukan musyawarah dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sistem dan mekanisme yang berbeda. Ketiga, para proponen paradigma substantif-inklusif berpendapat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik. Karena Islam dipandang semata-mata sebagai agama dan bukan-nya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, tetapi tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam. Menurut Al-Ashmawi, mantan hakim agung Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progresif Islam terkemuka, bahkan Al-Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi etis yang mulia. Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif-inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam (Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu di antara kekuatan kultural yang bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya politisasi. 15 Sementara itu, paradigma legal-eksklusif mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut. Pertama, paradigma legal-eksklusif dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia. Para pendukung paradigma legal-eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didisain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legal-eksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam. Paradigma ini menghendaki agar umat Islam selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya (khulafa ar-rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk me- wujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik Barat. Akibatnya, paradigma ini mendorong um- at Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistem-sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam. Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga menegasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang implementasinya harus didukung oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim untuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif terhadap sistem-sistem dunia yang berlaku. 16 Keempat, dalam konteks politik paradigma legal-eksklusif menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta ekspe- rimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal. E. Urgensi Moderasi Beragama Setiap agama mengajarkan penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang Maha Pencipta. Penghambaan kepada Tuhan ini diwujudkan dalam kesiapan mengikuti petunjuk-Nya dalam kehidupan. Manusia menjadi hamba hanya bagi Tuhan, tidak menghamba kepada yang lain, dan juga tidak diperhambakan oleh yang lain. Di sinilah esensi nilai keadilan antarmanusia sebagai sesama makhluk Tuhan. Manusia juga menjadi hamba Tuhan yang diberi mandat untuk memimpin dan mengelola bumi, sebagai makhluk yang diciptakan dengan keunggulan budi pikir. Bumi perlu dikelola agar tercipta kemaslahatan bersama. Inilah salah satu visi kehidupan terpenting dan terkuat yang diajarkan agama. Karena keterbatasan manusia, maka bangsa dan negara menjadi konteks ruang lingkup tugas ini: bagaimana manusia mengelola bumi di mana ia tinggal, agar tercapai kemaslahatan bersama yaitu bangsa dan negara yang adil, makmur, dan sentosa. Kerangka pikir ini dapat ditemukan di setiap agama dalam bentuk keyakinan bahwa mencintai negeri adalah sebagian dari keimanan. Keseimbangan antara keagamaan dan kebangsaan justru menjadi modal besar bagi kemaslahatan bangsa. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, “formalisme beragama” dapat dikatakan sebagai suatu pola penghayatan keagamaan yang hanya berhenti pada aspek legalistik formalnya, namun tidak sampai menyentuh 17 aspek substansi atau isi dan makna yang sejati serta hakikat yang sesungguhnya dari beragama itu. Para formalis agama, dalam praktiknya, hanya beragama secara buta, tidak refleksif, tidak kritis dan tidak cukup inklusif atau toleran terhadap kelompok lain di luar mereka. Ukuran yang dipakai untuk menilai dirinya maupun orang lain terletak pada dogma, ajaran, aturan, norma dan hukum tertulis yang ketat dan kaku. Mereka sering kali gampang menilai orang lain buruk dan negatif serta curiga pada orang lain di luar kelompoknya. Akibatnya, mereka mengabaikan nilai-nilai mendasar dan penting dalam kehidupan bersama dalam kondisi harmonis dan selaras. Penganut formalis agama dalam hidupnya dapat saja merendahkan dan mensubordinasi kelompok lain yang melakukan hal-hal baik lain di luar aturan dan norma yang mereka (para formalis) yakini. Mereka sering kali abai terhadap relasi intersubjektivitas yang mengandung nilai-nilai humanis, pluralis, toleran dan inklusif. Kaum formalis agama sering kali juga mengklaim diri berposisi lebih tinggi dari pada orang atau kelompok lain di luar mereka secara rohani. Muncul kesombongan rohani/religius dalam diri mereka karena hampir seluruh totalitas praksis harian mereka dipenuhi dengan unsur penggunaan simbolisme agama sebagai titik tumpu dan kriteria penilaian moral. Mereka menggunakan simbol- simbol agama hampir di semua ruang kehidupan mereka, termasuk di ruang- ruang publik eksistensi mereka. Mereka dapat saja bersikap munafik dalam hidup beragama. Penggunaan simbol itu hanya sebatas formal saja (agar terlihat baik), namun tidak sungguh bermakna dalam kehidupan internal batiniah mereka. Terjadi pendangkalan rohani, karena bukan nilai substansi yang mereka kejar, tetapi nilai artifisial, aksidental, popularitas dan egoisme diri yang diutamakan. Umumnya para formalis aama tidak peduli pada sesama, kurang solider, kurang berbagi, kurang berempati, kurang berpraksis untuk membangun kehidupan nyata dan peningkatan kualitas kehidupan manusia secara komprehensif. Mereka gampang melakukan pengadilan sosial dan pengadilan moral kepada orang lain dengan ukuran dan kriteria formalis itu. Akibatnya 18 mereka mudah berkonflik atau berseteru dengan kelompok yang berbeda pandangan. Orang yang formalis juga sering tidak kritis dalam beragama. Karena hanya norma dan aturan yang dijadikan patokan hidup, maka mereka seolah taat buta dan malas berpilkir, kurang refleksif dan hanya menunjukkan ketaatan buta terhadap aturan, simbol dan ajaran agama tanpa bersikap rasional apalagi bersikap kritis atas agama dan imannya. Mereka bisa saja atas nama norma/hukum agama melakukan tindakan kekerasan pada kelompok lain di luar mereka. Akibatnya terjadi pendangkalan dalam praktik agama yang dihayatinya. Formalis beragama berpikiran tertutup, eksklusif, kurang toleran dan cenderung monoperspektif dalam mengevaluasi diri mereka maupun orang lain. Sikap formalisme itu di satu sisi baik, karena menunjukkan kedisiplinan dan ketaatan pada norma agama secara konsisten. Namun seharusnya tidak berhenti sampai di tahap ini saja. Orang yang beragama dan beriman das sollen (seharusnya) merefleksikan dan mengolah dunia batinnya agar kehidupan rohani/religiusnya dipenuhi dengan kekayaan nilai religius yang substantif yakni menjalin relasi yang seimbang dengan Tuhan, sesama manusia, alam dan dirinya sendiri serta menunjukkan sikap/tindakan bertanggun jawab untuk menciptakan situasi kerukunan, persaudaraan, perdamaian dengan semua orang apapun agama, suku dan etnisnya dalam realitas sosialnya. Oleh karena itu sudah seyogyanya orang beragama bertolak lebih ke dalam lagi untuk mengolah kehidupan religiusnya, tidak hanya sebatas tahap formalis saja, tetapi jauh menyentuh aspek yang lebih dalam dan lebih bermakna positif- konstruktif bagi kehidupan, kemanusiaan dan peradaban. Ia melampaui yang formalis dan menjangkau yang substansif. Ia melampaui norma menuju nilai yang hakiki dan bermakna. Ia lebih toleran, inklusif dan solider dengan sesama dalam seluruh dinamika kehidupannya. Dalam konteks pencegahan tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, Imam Besar Al-Azhar, Imam al-Thayib dalam forum penanggulangan terorisme di Makkah, Arab Saudi menyerukan perlunya “reformasi pengajaran agama-agama di negara muslim untuk mencegah penyebaran ekstremisme 19 agama, karena ekstremisme mempunyai korelasi dengan penafsiran yang buruk terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah” (Kompas, 24/02/2015). Seruan al-Thayib ini dilandasi oleh maraknya kekerasan berbasis agama yang terjadi di kawasan Timur Tengah, terutama yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Islamic State of Irak and Syria (ISIS). Di Indonesia, kekerasan yang bernuansa agama juga tidak kalah maraknya, hanya intensitasnya tidak separah seperti yang terjadi di kawasan Timur Tengah, seperti di Irak. Namun, keadaan ini akan berpengaruh ke Indonesia jika tidak segera diantisipasi dengan melakukan pencegahan di berbagai lini, salah satunya yang tidak kalah pentingnya adalah melalui lembaga pendidikan. Seiring dengan era informasi dan globalisasi saat ini, bahwa pengaruh apapun baik ideologi, agama, dan budaya sangat mudah menimpa generasi kita. Perdebatan soal pendidikan agama di sekolah terkait dengan maraknya distruksi sosial memang tidaklah baru. Tetapi yang menarik, analisis kebanyakan pengamat selalalu menuding kegagalan itu pada sistem pendidikan Orde Baru, yang dianggap normatif, verbalistik dst. Lepas dari itu, siapapun biang keladinya memang perlu segera ada upaya kongkret ke arah perbaikan itu, yaitu reorientasi pendidikan agama di sekolah. Reorientasi pendidikan agama tidak cukup hanya menyangkut hal-hal luar seperti upacara, ritus, hukum, lambang-lambang dan sederet kesalehan ritual- formalistik lainnya. Pendidikan agama tidak bisa disamakan dengan segi-segi formal itu, meski ia juga merupakan bagian yang penting dalam agama. Bagaimanakah seharusnya arah dasar Pendidikan agama Islam di sekolah, utamanya pada tingkat dasar dan menengah? Apakah pendidikan agama hanya sekadar membawa peserta didik memahami apa itu agama? Sudah efektifkah pendidikan agama yang selama ini diberikan kepada anak didik kita? Bagaimana dengan muatan-muatan materi pendidikan agama yang tertuang dalam buku ajar? Jika pendidikan agama bukanlah sekadar memberikan pelajaran agama secara teratur oleh guru di sekolah, melainkan penanaman jiwa agama yang dimulai dari pendidikan keluarga sejak kecil, dengan jalan membiasakan anak 20 untuk berbuat baik, maka seperti apakah pemaknaan pendidikan agama dalam sekolah itu? Pesan-pesan materi pendidikan agama setidaknya harus mencerminkan sifat toleran, inklusif, humanis, dan pluralis. Pendidikan agama adalah upaya menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agamanya melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran secara berkesinambungan. Dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik tidak boleh dipisahkan, tetapi harus integrated dan diberikan secara simultan. Perbincangan soal upaya perbaikan kualitas pendidikan, khususnya pada pendidikan agama terasa sangat dilematis. Di satu sisi guru masih dilihat sebagai satu-satunya elemen terpenting, sehingga kualitas pendidikan apapun harus dimulai dari guru. Sementara itu, muatan buku ajar sebagai elemen yang secara bersamaan juga harus diperhatikan. Padahal selama ini perhatian serius di seputar materi buku ajar yang ada di sekolah sebagaimana yang diteorikan belum banyak dilakukan. Bahkan yang terjadi sering menimbulkan masalah dan polemik di Masyarakat. Memang yang terlihat selama ini, bahwa materi yang tertuang dalam buku ajar agama baru menyentuh pada aspek formalnya, misalnya upacara, ritus, hukum dan lambang-lambang. Sementara spirit atau ruh dari hukum tersebut, yaitu iman dan amal saleh belum banyak disentuh. Dengan kata lain, pendidikan agama selama ini terjebak pada upaya membuat orang sekadar memengerti agama (kognitif), dan tidak mendorong untuk menghayati dan mengamalkan (afektif dan psikomotorik), atau jika menggunakan terminologi sosiologi agama, belum menyatu antara nilai ortodoksi dan ortpraksis. Padahal relijiusitas adalah sikap dasar yang membuat orang beramal baik, penuh cinta dan kasih, lembut hati dan mudah memaafkan sekaligus memiliki solidaritas kemanuisaan universal. Inilah persoalan yang sangat inti dalam beragama yang seharusnya menjadi potret pendidikan agama. Dengan demikian konsep tentang pentingnya pendidikan bagi terciptanya kesadaran sosial adalah sangat urgen. Dari sini pula, kita perlu menggali dimana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan 21 selama ini. Di sinilah perlu ada penelitian terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan tersebut. Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain agama yang dipentingkan bukan huruf-huruf yang tersusun menjadi hukum, namun yang lebih penting dari itu semua adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu iman dan kasih sayang. Karena dengan pendidikan model terakhir ini, diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal, jiwa toleran, solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh dari perpecahan, kekerasan, konflik dan ketegangan antarumat beragama. Reorientasi pendidikan semacam ini juga akan terlihat secara jelas ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama. Di sini pluralisme agama setidaknya harus menjadi kekuatan konstruktif- transformatif dalam model pendidikan kita. Potensi pertama, yaitu kekuatan konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui pendidikan agama dan keteladanan sikap seorang guru. Reorientasi pendidikan agama di atas sudah saatnya dimulai dari TK hingga perguruan tinggi dengan merubah kurikulum kita yang selama ini dianggap kurang memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktik yang paling sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan bumi Indonesia. Sikap mental moderat, adil, dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keragaman kita. Dalam berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk mengembangkan kehidupan bersama yang tenteram dan menentramkan. Bila ini dapat kita wujudkan, maka setiap warga negara dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sekaligus menjadi manusia yang menjalankan agama seutuhnya. 22 Seperti telah dikemukakan, ajaran untuk menjadi moderat bukanlah semata milik satu agama tertentu saja, melainkan ada dalam tradisi berbagai agama dan bahkan dalam peradaban dunia. Adil dan berimbang, yang telah dijelaskan sebelumnya, juga sangat dijunjung tinggi oleh semua ajaran agama. Tidak ada satu pun ajaran agama yang menganjurkan berbuat aniaya/zalim, atau mengajarkan sikap berlebihan. Ajaran wasathiyah, seperti telah dijelaskan pengertiannya, adalah salah satu ciri dan esensi ajaran agama. Kata itu memiliki, setidaknya, tiga makna, yakni: pertama bermakna tengah-tengah; kedua bermakna adil; dan ketiga bermakna yang terbaik. Ketiga makna ini tidak berarti berdiri sendiri atau tidak saling berkaitan satu sama lain, karena sikap berada di tengah-tengah itu seringkali mencerminkan sikap adil dan pilihan terbaik. Contoh yang mudah dicerna dalam kehidupan sehari-hari adalah kata “wasit”. Ia merupakan profesi seseorang yang menengahi sebuah permainan, yang dituntut untuk selalu berbuat adil dan memutuskan yang terbaik bagi para pihak. Contoh lain, kedermawanan itu baik, karena ia berada di tengah-tengah di antara keborosan dan kekikiran. Keberanian juga baik karena ia berada di tengah- tengah di antara rasa takut dan sikap nekad. Demikian seterusnya. Dari sejumlah tafsiran, istilah “wasatha” berarti yang dipilih, yang terbaik, bersikap adil, rendah hati, moderat, istiqamah, mengikuti ajaran, tidak ekstrem, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan duniawi atau akhirat, juga tidak ekstrem dalam urusan spiritual atau jasmani, melainkan tetap seimbang di antara keduanya. Secara lebih terperinci, wasathiyah berarti sesuatu yang baik dan berada dalam posisi di antara dua kutub ekstrem. Oleh karena itu, ketika konsep wasathiyah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak akan memiliki sikap ekstrem. Dalam berbagai kajian, ‘wasathiyat Islam’, sering diterjemahkan sebagai ‘justly - balanced Islam’, ‘the middle path’ atau ‘the middle way’ Islam, di mana Islam berfungsi memediasi dan sebagai penyeimbang. Istilah-istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah untuk tidak terjebak 23 pada ekstremitas dalam beragama. Selama ini konsep wasathiyat juga dipahami dengan merefleksikan prinsip moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), dan adil (i`tidal). Dengan demikian, istilah ummatan wasathan sering juga disebut sebagai ‘a just people’ atau ‘a just community’, yaitu masyarakat atau komunitas yang adil. Kata wasath juga biasa digunakan oleh orang-orang Arab untuk menunjukkan arti khiyar (pilihan atau terpilih). Jika dikatakan, “ia adalah orang yang wasath”, berarti ia adalah orang yang terpilih di antara kaumnya. Jadi, sebutan umat Islam sebagai ummatan wasathan itu adalah sebuah harapan agar mereka bisa tampil menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Baik dalam beribadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat. Ajaran ini begitu sentral dalam dua sumber utama ajaran Islam, Alquran dan hadis Nabi. Salah satu ayat misalnya mengatakan: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (al-Baqarah, 2: 143) Ayat tersebut mengindikasikan bahwa atribut wasathiyah yang dilekatkan kepada komunitas muslim harus ditempatkan dalam konteks hubungan kemasyarakatan dengan komunitas lain. Seseorang, atau sebuah komunitas muslim, baru dapat disebut sebagai saksi (syahidan) manakala ia memiliki komitmen terhadap moderasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya, jika kata wasath dipahami dalam konteks moderasi, ia menuntut umat Islam menjadi saksi dan sekaligus disaksikan, guna menjadi teladan bagi umat lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai panutan yang diteladani sebagai saksi pembenaran dari seluruh aktivitasnya. Dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya komitmen seseorang terhadap moderasi sesungguhnya juga menandai sejauh mana komitmennya terhadap nilai-nilai keadilan. Semakin seseorang moderat dan berimbang, semakin terbuka 24 peluang ia berbuat adil. Sebaliknya, semakin ia tidak moderat dan ekstrem berat sebelah, semakin besar kemungkinan ia berbuat tidak adil. Hal inilah yang menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad saw. Sangat mendorong agar umatnya selalu mengambil jalan tengah, yang diyakini sebagai jalan terbaik. Dalam sebuah hadisnya, Nabi mengatakan: “Sebaik-baik urusan adalah jalan tengahnya” Di Indonesia, diskursus wasathiyah atau moderasi sering dijabarkan melalui tiga pilar, yakni: moderasi pemikiran, moderasi gerakan, dan moderasi perbuatan. Terkait pilar yang pertama, pemikiran keagamaan yang moderat, antara lain, ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks, yaitu pemikiran keagamaan yang tidak semata-mata bertumpu pada teks-teks keagamaan dan memaksakan penundukan realitas dan konteks baru pada teks, tetapi mampu mendialogkan keduanya secara dinamis, sehingga pemikiran keagamaan seorang yang moderat tidak semata tekstual, akan tetapi pada saat yang sama juga tidak akan terlalu bebas dan mengabaikan teks. Pilar kedua adalah moderasi dalam bentuk gerakan. Dalam hal ini, gerakan penyebaran agama, yang bertujuan untuk mengajak pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran, harus didasarkan pada ajakan yang dilandasi dengan prinsip melakukan perbaikan, dan dengan cara yang baik pula, bukan sebaliknya, mencegah kemungkaran dengan cara melakukan kemungkaran baru berupa kekerasan. Pilar ketiga adalah moderasi dalam tradisi dan praktik keagamaan, yakni penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat. Kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya, keduanya saling terbuka membangun dialog menghasilkan kebudayaan baru. 25 Referensi A. Fenton dan D. Price, “ISIS, jihad and Indonesian law: Legal impacts of the January 2016 Jakarta terrorist attacks,” Issues in Legal Scholarship, Vol. 14, No. 1 (2016), hal. 1-26 Abdullah Ismail, “Dilema Agama: Antara Pembebasan dan Konflik Telaah Sosiologis atas Konflik Islam-Kristen di Maluku Utara”, dalam Jurnal Sains, Sosial Dan Humaniora (JSSH), Vol.1, No. 1, hal : 16 – 21. Angel Damayanti,. “Radikalisme Pada Komunitas Non-Islam”, (Universitas Kristen Indonesia, 2018) Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1999) B. Singh, “The challenge of militant Islam and terrorism in Indonesia,” Australian Journal of International Affairs, Vol. 58, No. 1 (2004), hal.47-68 B. West, “Collective memory and crisis: the 2002 Bali bombing, national heroic archetypes and the counter-narrative of cosmopolitan nationalism,” Journal of Sociology, Vol. 44, No. 4 (2008), hal. 337-353 Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Jogjakarta : Galang Press, 2001) Berita Satu, “Survei Wahid Foundation: 86% Aktivis Rohis Ingin Berjihad ke Suriah,” www.beritasatu.com, 2017, https://www.beritasatu.com/megapolitan/414934/survei-wahidfoundation- 86-aktivis-rohis-ingin-berjihad-ke-suriah Conny Semiawan, “Relevansi Kurikulum Masa Depan”, dalam Basis, nomor 07-08, tahun ke-49, Juli-Agustus 2000, hal. 34-35 Darlis. (2017). Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural. Rausyan Fikr, Vol.13 No. 2 Desember 2017, 225-255. 26 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Jalan Menuju Moderasi; Modul Penguatan Moderasi Beragama Bagi Guru, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2021) Djohar, Pendidikan Strategik; Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: LESFI, 2003) Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1999) F. Galamas, “Terrorism in Indonesia: an overview,” Research Papers, Vol. 4 (2015), hal. 215; A.S. Zora, “Terrorism in Indonesia: A review on rehabilitation and deradicalization,” Journal of Terrorism Research, Vol. 6, No. 2 (2015), hal. 36-56 G.S. Oak, “Jemaah Islamiyah's fifth phase: the many faces of a terrorist group,” Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 33, No. 11 (2010), hal. 989-1018 Infid dan Gusdurian, “Laporan Mapping Internet dan Sosial Media” (Jakarta, 2016) J. Magouirk, S. Atran, dan M. Sageman, “Connecting terrorist networks,” Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 31, No. 1 (2008): 1-16 K. Ramakrishna, dan S.S. Tan, After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia (Singapore: World Scientific and Institute of Defence and Strategic Studies, 2003) Kelompok Kerja Moderasi Beragama, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Aparatur Sipil Negara Kementerian Agama Republik Indonesia, (Jakarta : Kelompok Kerja Moderasi Beragama, 2021) Kompas, “Toleransi Jadi Tantangan,” Kompas.com, 2012, https://nasional.kompas.com/read/2012/06/06/03234293/toleransi.jadi.tanta ngan?page=all. Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7272 Tahun 2019 Tentang Pedoman Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam. M. Subhan, “Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi terorisme tahun 2000-2015),” Journal of International Relations, Vol. 2, No. 4 (2016), hal. 59-67 27 M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman Wahid,” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Wahid Institute, 2006) Ma’arif Jamuin, Manual Advokasi: Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama, (Surakarta, Penerbit CISCORE, 2004) Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York : Scribner’s Sons, 1958) Mohamad Ali, “Pengembangan Kurikulum; Isi, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi”, dalam Laporan Eksekutif dan Rekomendasi Kebijakan pada Lokakarya Penelaahan Makalah Kebijakan Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Bank Dunia/Dutch Trust Funds, (Jakarta, 2002) Nurcholis Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987) Phillipe E Hammond (ed.), The Sacred in A Secular Age, (Berkeley, Los Angeles, London : University of California Press, 1985) PPIM UIN Jakarta dan Convey, Api dalam Sekam: Keberagamaan Muslim Gen-Z, Survei nasional tentang Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia (Jakarta: PPIM UIN Jakarta and Convey Indonesia, 2018) Rizal Sukma, “Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution”, dalam Kusuma Snitwongse dan W. Scott Thompson (eds.), Ethnic Conflict in Souteast Asia (Singapura: ISEAS, 2005) Robert N. Bellah, Tokugawa Religion; the Cultural Roots of Modern Japan, (New York : the Free Press, 1985) Shihab, A., Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999) Y.P. Suratman, “The effectiveness of de-radicalization program in Southeast Asia: does it work? The case of Indonesia, Malaysia, and Singapore,” Journal of Asian Studies, Vol. 5, No. 2 (2017), hal. 135-156 28

Use Quizgecko on...
Browser
Browser