Buku Ajar Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
UKSW
2023
Prof. Pdt. Dr. Yusak B. Setyawan
Tags
Summary
Buku ajar ini membahas tentang Hermeneutik Perjanjian Baru (bagian 1), dan meneliti bagaimana memahami teks Perjanjian Baru. Buku ini menekankan pentingnya sikap jujur dan rendah hati dalam menafsirkan teks Alkitab. Contoh dari kitab-kitab Injil disajikan dan dikaji dalam konteks hermeneutik.
Full Transcript
Buku Ajar HERMENEUTIK PERJANJIAN BARU (Bagian 1) (Draft Dalam Progress) Prof. Pdt. Dr. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D) Dosen Fakultas Teologi UKSW FAKULTAS TEOLOGI UKSW SALATIGA 2023 (Edisi Revisi) Prof. Pdt. DR. Yus...
Buku Ajar HERMENEUTIK PERJANJIAN BARU (Bagian 1) (Draft Dalam Progress) Prof. Pdt. Dr. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D) Dosen Fakultas Teologi UKSW FAKULTAS TEOLOGI UKSW SALATIGA 2023 (Edisi Revisi) Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Daftar Isi Bab 1 APA ITU HERMENEUTIK? Bab 2 ALKITAB DAN BERBAGAI MACAM PENDEKATAN HERMENEUTIK MODERN Bab 3 HERMENEUTIK FILOSOFIS Bab 4 HERMENEUTIK: DARI YESUS SAMPAI KEKRISTENAN AWAL Bab 5 UNSUR-UNSUR HERMENEUTIK Bab 6 TERJEMAHAN PERJANJIAN BARU Bab 7 STUDI HERMENEUTIK DENGAN PENDEKATAN NARATIF- KRITIS Bab 8 STUDI HERMENEUTIK DENGAN PENDEKATAN SOSIO- HISTORIS DAN PERBANDINGAN TERJEMAHAN Bab 9 STUDI HERMENEUTIK MATIUS 9:18-26 Bab 10 STUDI HERMENEUTIK MATIUS 5 :38-42 (48) Bab 11 STUDI HERMENEUTIK MATIUS 11:2-19 Bab 12 STUDI HERMENEUTIK LUKAS 17:20-35 Bab 13 STUDI HERMENEUTIK MARKUS 8:1-10 Bab 14 STUDI HERMENEUTIK LUKAS 7:36-50 2 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Bab 1 APA ITU HERMENEUTIK? Pengalaman Membaca Teks Perjanjian Baru Bagi siapa saja yang berniat untuk memahami teks-teks Perjanjian Baru, sangat penting untuk menyadari bahwa teks-teks tersebut, walaupun telah dibaca berkali-kali, tetap mengandung ketidak-jelasan. Teks-teks tersebut sunguhpun telah sangat akrab, namun ketika dibaca dengan seksama tidak serta merta didapatkan pemahaman yang memadai. Perhatikan dua teks Perjanjian Baru di bawah ini. Telah banyak diketahui bahwa Yesus adalah Juruselamat, Kristus dan Tuhan. Pengakuan tersebut adalah salah satu inti dari keyakinan iman Kristen. Namun dalam kedua teks tersebut, penafsir yang membaca dan menafsirkan teks-teks tersebut akan berhadapan dengan berbagai pertanyaan yang mungkin tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya apalagi ketika kedua teks tersebut dipikirkan secara kritis dan serius. Mark 3:31-35: 31. Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. 32 Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepada-Nya: "Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.“ 33 Jawab Yesus kepada mereka: "Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?“ 34 Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling- Nya itu dan berkata: "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara- Ku! 35 Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." Teks Markus 3:31-35 mengandung sejumlah pertanyaan. Dalam ayat 31 dinyatakan bahwa Ibu dan saudara-saudara Yesus datang ketika Yesus sedang dikelilingi oleh orang banyak. Pertanyaan yang muncul adalah, apa aktivitas yang sedang dilakukan oleh Yesus? Mengapa orang banyak mengelilingi Yesus? Apakah Yesus sedang mengajar? 3 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Dimana tempat ketika Yesus dikelilingi orang banyak? Di sinagoge atau di sebuah rumah? Pertanyaan lain yang muncul adalah mengapa Ibu dan saudara-saudara Yesus datang pada saat Yesus sedang melakukan pembicaraan atau sedang mengajar? Yang dimaksud dengan saudara-saudara Yesus itu apakah benar-benar saudara kandung atau saudara macam apa? Kalau benar Yesus mempunyai saudara-saudara kandung, mengapa tidak pernah diceritakan dalam teks Perjanjian Baru? Siapa nama dari saudara-saudara Yesus dan berapa jumlah saudara Yesus? Berapa laki-laki dan berapa perempuan saudara-saudara Yesus tersebut? Apakah benar bahwa Yesus bukan anak tunggal melainkan seseorang yang mempunyai adik? Terhadap pernyataan Yesus "Siapa ibu-Ku dan siapa saudara- saudara-Ku?“ dalam teks tersebut, apa maksudnya? Apakah pernyataan ini berarti bahwa Yesus menolak kedatangan Ibu dan saudara-saudaraNya? Apa maksud dari perkataan Yesus "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu- Ku"? Apa yang dimaksud dengan melakukan kehendak Allah? Apa reaksi Ibu dan saudara-saudara Yesus mendengar perkataan dari Yesus? Mengapa teks tersebut tidak menceritakan respon lebih lanjut dari Ibu dan saudara-saudara Yesus? Yohanes 10:7-21: 7 Maka kata Yesus sekali lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu. 8 Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka. 9 Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. 10 Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. 11 Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba- dombanya; 12 sedangkan seorang upahan yang 4 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba- domba itu. 13 Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. 14 Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba- Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku 15 sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba- Ku. 16 Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara- Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala. 17 Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. 18 Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku." 19 Maka timbullah pula pertentangan di antara orang-orang Yahudi karena perkataan itu. Banyak di antara mereka berkata: "Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?” 21 Yang lain berkata: "Itu bukan perkataan orang yang kerasukan setan; dapatkah setan memelekkan mata orang-orang buta?" Teks Yohanes 10 sebagaimana tersebut di atas juga tidak kalah rumit dan mengandung begitu banyak pertanyaan. Ayat 7-18 merupakan perumpamaan yang sangat terkenal yakni perumpaan tentang Yesus sebagai pintu bagi domba-domba. Keseluruhan perumpamaan tersebut mengundang pembacanya untuk bertanya, apa maksud dari perumpamaan tersebut? Mengapa Yesus memakai perumpamaan pintu bagi domba-domba untuk menjelaskan identitasNya? Pertanyaan tentang perumpamaan tersebut bisa ditambah lagi yang dapat menambah daftar panjang pertanyaan. Namun respon dari orang-orang Yahudi yang terdapat dalam ayat 19 sangat membuat pembaca teks ini penasaran, apakah tuduhan orang banyak bahwa Yesus kerasukan setan dan gila adalah benar? Hal-hal apa yang 5 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) membuat orang banyak menuduh Yesus sebagai kerasukan setan dan gila? Dari kedua contoh pembacaan teks Perjanjian Baru tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa pengalaman dalam pembacaan teks, yakni: Pertama, bahwa setiap teks mengandung sejumlah pertanyaan yang setiap kali pertanyaan tersebut coba untuk dijawab akan mengundang ke pertanyaan yang lain. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses pembacaan teks menunjukkan bahwa sebenarnya pembaca tidak pernah memahami teks secara penuh. Ketiga, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pembacaaan teks seolah-olah memaksa pembacanya untuk menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pembaca hanya bisa mengajukan jawaban yang bersifat sementara dan terkadang jawaban-jawaban tersebut mengandung kesalah-pahaman. Dalam hubungannya dengan hal tersebut di atas, pengakuan akan pengalaman ketidak-pahaman dari pihak penafsir terhadap teks-teks Alkitab adalah syarat mutlak dari praktek hermeneutik. Maka praktek hermeneutik paling tidak mensyaratkan dua hal utama dari pihak penafsir. Pertama, penafsir harus jujur bahwa usaha untuk memahami teks tidak pernah mudah, walaupun teks-teks yang akan ditafsir telah diketahui, telah dibaca, dan mungkin telah ditafsir oleh orang lain termasuk ahli-ahli ataupun orang yang menganggap bahwa dirinya seorang ahli tafsir. Kedua, penafsir harus memiliki sikap kerendahan hati dalam praktek hermeneutik, yakni bahwa selalu ada aspek ketidak-tahuan, atau aspek pemahaman yang tidak pernah utuh dalam memahami teks- teks Alkitab. Manakala seorang penafsir telah merasa tahu dan menganggap bahwa pemahamannya terhadap teks Alkitab tertentu telah lengkap, maka praktek hermeneutik pada titik itu akan terhenti. Kejujuran dan kerendahan hati dari pihak penafsir adalah pintu masuk ke arah praktek hermeneutik yang dilakukan terhadap teks-teks Alkitab. 6 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Dua hal tersebut di atas menandaskan bahwa praktek hermeneutik sebenarnya tidak lepas dari integritas diri dari penafsir. Dengan kata lain, praktek memahami teks-teks Alkitab merupakan aktivitas yang sangat erat terkait dengan dimensi etis. Penafsir yang tidak mempunyai kualitas etis yang menjunjung tinggi kejujuran dan kerendahan hati tidak akan pernah menjadi penafsir dalam arti yang sesungguhya. Kejujuran dan kerendahan hati adalah dua keutamaan utama yang paling tidak dituntut dari seorang penafsir pada saat melakukan praktek hermeneutik terhadap teks-teka Alkitab. Hermeneutik dan Eksegese Dalam studi-studi Perjanjian Baru dikenal bermacam-macam istilah berkaitan dengan pembacaan teks-teks Perjanjian Baru, mulai dari penafsiran, eksegese, eksposisi, dan hermeneutik. Kata kerja yang berkaitan dengan kata-kata tersebut adalah menafsir, melakukan eksegese, melakukan eksposisi dan melakukan studi hermeneutik. Terkadang penafsiran dianggap sama dengan eksegese dan eksposisi. Tak jarang hermeneutik juga disamakan dengan penafsiran. Sering juga eksegese dianggap merupakan sinonim dari hermeneutik. Namun, yang sangat jelas adalah baik eksegese, eksposisi dan hermeneutik memang berkaitan dengan penafsiran, walaupun demikian eksegese dan hermeneutik mempunyai kandungan pemahaman dan paradigma yang berbeda. Sementara eksegese bisa dianggap serupa dengan eksposisi, hermeneutik tidak boleh dinggap sama dengan eksegese atau eksposisi. Eksegese biasanya diperlawankan dengan eisegese. Sementara eksegese dianggap sebagai upaya untuk melakukan tafsir dengan cara mengeluarkan makna dari dalam teks, eisegese merupakan usaha menafsirkan yang seolah-olah mendapatkan makna dari dalam teks tetapi yang terjadi adalah memasukkan makna ke dalam teks dan menganggap semuanya itu sebagai makna teks. Dalam penafsiran tradisional, yaitu pendekatan historis-kritis, eisegese adalah salah satu “dosa terbesar” yang tidak boleh dilakukan oleh penafsir dalam proses penafsiran. Eisegese dianggap 7 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) merupakan cara pemaksaan pemaknaan yang dilakukan oleh penafsir kepada teks yang sedang ditafsir. Eksegese berarti suatu proses penafsiran, pengartian atau interpretasi terhadap teks, sedangkan hermeneutik adalah usaha untuk menafsirkan, mengartikan, dan memaknai teks dengan cara yang dapat dipertanggung-jawabkan dengan memakai metode dan alat-alat yang tepat serta menentukan prinsip-prinsip yang perlu dituruti dan diperhatikan agar penafsir dapat mewujudkan maksud dan tujuannya untuk memahami teks. Hermeneutik dengan demikian mempunyai pra-andaian yang berbeda dengan eksegese. Sementera eksegese menekankan pada praktek penafsiran, hermeneutik tidak hanya mencakup praktek penafsiran melainkan juga terutama menentukan terlebih dahulu bagaimana pemahaman terhadap teks menjadi dimungkinkan. Istilah hermeneutik sebenarnya telah lama dikenal dalam bidang filsafat bahasa tetapi yang kemudian dipakai secara lebih intens dalam studi-studi Perjanjian Baru (dan juga terhadap teks-teks Perjanjian Lama). Kata ini berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein dan hermeneuō, yang berarti menafsirkan, mengartikan, atau mennerjemahkan. Dalam bahasa Inggris arti-arti kata hermeneuein masih bisa dilacak dengan jelas. Aktivitas penerjemahan terhadap teks tertulis ke dalam teks tertulis bahasa lain, disebut dengan to translate, orangnya disebut translator, sedangkan aktivitas menerjemahkan bahasa dalam bentuk penuturan lisan ke dalam penuturan lisan bahasa lain, disebut to interprete, orangnya disebut interpreter. Semuanya aktivitas tersebut di atas berkaitan dengan penafsiran. Dalam bahasa Yunani, aktivitas dari tindakan menafsirkan adalah hermeneia, yakni penafsiran. Istilah hermeneuein sebenarnya mempunyai akar yang sangat panjang dalam konteks budaya Yunani. Dalam mitologi Yunani, Zeus adalah Raja dari segala dewa yang bertahta di Gunung Olimpus. Sebagai raja atas segala dewa, Zeus adalah penguasa atas bumi termasuk manusia. Dia memberi peraturan dan tata tertib bagi 8 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) manusia. Untuk mewujudkan itu Zeus tidak secara langsung menyampaikan kata-kata perintah dan aturan kepada manusia, melainkan selalu melalui perantara, yakni Dewa Hermes. Disebut Hermes, karena dewa inilah yang bertugas untuk menafsirkan, menterjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan Zeus kepada umat manusia. Dalam Kisah Para Rasul, disinggung tentang Zeus dan Hermes yang sebenarnya merupakan kisah tentang kesalah-pahaman. Paulus dan Barnabas sedang melakukan tugas pemberitaan Injil. Paulus lebih banyak berbicara, dan Barnabas tidak banyak berbicara. Dan karena mereka melakukan mujijat penyembuhan, maka orang banyak menganggap bahwa dewa-dewa telah turun ke tengah-tengah manusia. Paulus yang lebih banyak berbicara disebut Hermes, dan Barnabas yang lebih banyak diam, disebut Zeus. Kis 14:1-13 14:1 Di Ikoniumpun kedua rasul itu masuk ke rumah ibadat orang Yahudi, lalu mengajar sedemikian rupa, sehingga sejumlah besar orang Yahudi dan orang Yunani menjadi percaya. 2 Tetapi orang-orang Yahudi, yang menolak pemberitaan mereka, memanaskan hati orang-orang yang tidak mengenal Allah dan membuat mereka gusar terhadap saudara-saudara itu. 3 Paulus dan Barnabas tinggal beberapa waktu lamanya di situ. Mereka mengajar dengan berani, karena mereka percaya kepada Tuhan. Dan Tuhan menguatkan berita tentang kasih karunia- Nya dengan mengaruniakan kepada mereka kuasa untuk mengadakan tanda-tanda dan mujizat-mujizat. 4 Tetapi orang banyak di kota itu terbelah menjadi dua: ada yang memihak kepada orang Yahudi, ada pula yang memihak kepada kedua rasul itu. 5 Maka mulailah orang-orang yang tidak mengenal Allah dan orang-orang Yahudi bersama-sama dengan pemimpin- pemimpin mereka menimbulkan suatu gerakan untuk menyiksa dan melempari kedua rasul itu dengan batu. 6 Setelah rasul-rasul itu mengetahuinya, menyingkirlah mereka ke kota-kota di Likaonia, yaitu Listra dan Derbe dan daerah sekitarnya. 7 Di situ mereka memberitakan Injil. 8 Di Listra ada seorang yang duduk saja, karena 9 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) lemah kakinya dan lumpuh sejak ia dilahirkan dan belum pernah dapat berjalan. 9 Ia duduk mendengarkan, ketika Paulus berbicara. Dan Paulus menatap dia dan melihat, bahwa ia beriman dan dapat disembuhkan. 10 Lalu kata Paulus dengan suara nyaring: "Berdirilah tegak di atas kakimu!" Dan orang itu melonjak berdiri, lalu berjalan kian ke mari. 11 Ketika orang banyak melihat apa yang telah diperbuat Paulus, mereka itu berseru dalam bahasa Likaonia: "Dewa-dewa telah turun ke tengah-tengah kita dalam rupa manusia." 12 Barnabas mereka sebut Zeus dan Paulus mereka sebut Hermes, karena ia yang berbicara. 13 Maka datanglah imam dewa Zeus, yang kuilnya terletak di luar kota, membawa lembu-lembu jantan dan karangan-karangan bunga ke pintu gerbang kota untuk mempersembahkan korban bersama-sama dengan orang banyak kepada rasul-rasul itu. Perbedaan antara eksegese dan hermeneutik dapat dilihat lebih lanjut dari sudut pandang yang berkaitan dengan konteks masa kini yang di dalamnya penafsir melakukan praktek penafsiran. Eksegese secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha penafsiran dengan cara menjelaskan dan menguraikan teks, namun hermeneutik tidak sekedar menjelaskan dan menafsirkan teks melainkan bahwa usaha penafsiran dan penjelasan teks tersebut mempunyai relevansi dengan kehidupan manusia dalam konteks tertentu. Dan lebih jauh lagi, tidak hanya penafsiran tersebut mempunyai relevansi dengan konteks saja, pemahaman terhadap teks dalam studi hermeneutik tersebut menimbulkan resonansi dalam diri penafsir. Dalam hermeneutik, hasil-hasil penafsiran kemungkinan dapat menimbukan kekuatan, pemikiran, perenungan dan perubahan pada pembaca tafsiran tersebut dalam konteks tertentu (H.A. van Dorp). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hermeneutik sangat menekankan pada pemahaman dan penafsiran teks yang mempunyai relevansi bagi konteks, dan sekaligus menimbulkan inspirasi bagi baik penafsir maupun pembaca tafsiran untuk berpikir, bersikap dan bertindak. Hermeneutik berkaitan dengan praksis kehidupan. Maka, hermeneutik selalu berkaitan dengan ekspresi iman dalam konteks 10 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) tertentu dan menghasilkan inspirasi bagi orang beriman untuk menjalani kehidupan secara kongkrit (van Dorp). Hermeneutik dan Teks-Teks Untuk sementara dan secara sederhana dapat dikatakaan bahwa hermeneutik adalah ilmu tentang prinsip-prinsip, ketentuan-ketentuan dan metode-metode penafsiran terhadap teks-teks. Dengan menyatakan definisi sementara seperti tersebut, maka hermeneutik tidak semata-mata merupakan praktek penafsiran, melainkan ilmu tentang penafsiran yang mencakup praktek penafsiran itu sendiri. Penafsiran itu dilakukan terhadap teks, terutama teks yang disebut sebagai produk-produk literer yang dihasilkan pada masa lampau, termasuk teks-teks Perjanjian Baru (L. Berkhof). Sangat penting untuk disinggung tentang teks-teks yang kepadanya perlu diterapkan hermeneutik. Teks-teks yang ditafsir, yang merupakan produk masa lampau adalah teks-teks yang dianggap penting, berpengaruh dan bahkan mungkin menentukan suatu komunitas atau masyarakat luas karena teks tersebut mengandung ajaran, pengetahuan, hikmat dan memberi inspirasi. Teks-teks Perjanjian Baru, misalnya, dianggap sebagai sumber ajaran iman, inspirasi, contoh dalam pengambilan keputusan dan tindakan orang- orang Kristen dan komunitas Kristen. Maka teks-teks Perjanjian Baru menjadi sangat penting untuk dipahami dengan menerapkan hermeneutik untuk memahaminya. Teks-teks yang dihasilkan pada masa lampau mengandung berbagai macam unsur yang saling terjalin dan kait mengait. Kata teks berasal dari bahasa Latin texture, yang dari kata ini istilah-istilah lain terbentuk, yakni textil, dan text, serta konteks (con text). Semua kata- kata tersebut mengandung pengertian tentang jalinan-jalinan unsur- unsur yang membentuk “lembaran” yang dapat terlihat dengan kasat mata, walaupun terkadang unsur-unsur pembentuknya sering tidak terlihat karena sangat halus. Sebagaimana tekstil, teks juga dibentuk oleh berbagai macam unsur baik yang terlihat langsung (hard text), misalnya kata-kata, kalimat, paragraf, dan tanda-tanda baca, maupun 11 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) tak terlihat (soft text), misalnya nuansa makna dari kata tertentu, yang semuanya mempunyai konteks (con text). Jalinan-jalinan unsur dalam teks tersebut memuat pengalaman- pengalaman yang dalam studi hermeneutik perlu dipahami, dikuak dan dieksplisitkan. Dalam contoh teks baik dalam Markus 3:31-35 dan Yohanes 10:7-21 pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus dijawab untuk memahami pengalaman-pengalaman yang terkandung di dalam kedua teks tersebut. Dalam kaitannya dengan teks sebagai jalainan pengalaman, bisa dikatakan bahwa teks (tertulis) sejajar dengan individu manusia yang kedua-duanya mengandung jalinan-jalinan yang membentuk sebuah lembaran. Itu sebabnya ahli teologi pastoral Anton Boisen pernah menegaskan bahwa tidak mudah memahami seorang manusia, karena di dalam setiap individu manusia terdapat berbagai macam pengalaman yang jalin menjalin yang membentuk Gestalt individu dalam proses kehidupan yang sangat kompleks. Menurutnya, setiap manusia adalah a living human document. Lembaran-lembaran itu, baik teks tertulis (written text) maupun teks hidup/manusia (living text ) itu bisa dipahami sejauh unsur-unsur yang jalin menjalin tersebut diamati, dianalisis, disentesis dan dibahasakan dalam bahasa si penafsir. Itu semua tercakup dalam studi hermeneutik. Hermeneutik Umum dan Hermeneutik Khusus Ahli-ahli hermeneutik biasanya membagi hermeneutik ke dalam dua kategori besar yaitu, hermeneutik umum (general hermeneutics) dan hermeneutik khusus (special hermeneutics). Hermeneutik umum diaplikasikan untuk memahami dan menafsirkan semua teks-teks umum, semacam tulisan undang-undang kuno, puisi, sajak, prosa, tulinsan-tulisan klasik dan sebagainya. Sedangkan hermeneutik khusus diaplikasikan pada teks-teks tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sebagai contoh, karena Alkitab termasuk sebagai produk literer namun mempunyai ciri khusus, yakni keyakinan bahwa Alkitab mempunyai hubungan dengan dimensi transendental, 12 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) maka hermeneutik yang diterapkan juga diwarnai dengan keyakinan seperti itu. Hermeneutik yang diaplikasikan untuk teks-teks Alkitab biasanya disebut sebagai hermeneutik tulisan suci, atau hermeneutica sacra. Hermeneutik Sebagai Ilmu dan Seni Ahli-ahli hermeneutik semakin menyadari bahwa peran penafsir menjadi sangat menentukan dalam proses penafsiran. Setiap penafsir adalah teks hidup yang menghidupi dirinya dalam konteks tertentu. Maka proses penafsiran dan hasil pemahaman terhadap suatu teks menjadi unik juga. Teks yang sama jika ditafsirkan oleh penafsir yang berbeda akan menghasilkan hasil tafsir yang berbeda juga. Kenyataan ini sebenarnya telah disadari oleh ahli ahli Taurat dalam tradisi agama Yahudi yang meyakini bahwa teks Kitab Suci boleh dan bisa ditafsirkan dengan berbagai macam cara yakni sebanyak tujuh puluh cara, mengingat pada masa dahulu dalam agama Yahudi, ahli- ahli agama meyakini bahwa jumlah bahasa yang ada di dunia ini sebanyak tujuh puluh (van Dorp). Dengan demikian, kemajemukan pemahaman terhadap teks-teks Alkitab bukanlah hal yang harus dihindari, melainkan merupakan hal yang harus dihormati. Karena setiap penafsir hidup dalam konteksnya, dan proses serta hasil tafsir merupakan hal yang terkait dengan imajinasi penafsir dalam konteksnya, maka hermeneutik tidak hanya dipahami sebagai ilmu melainkan juga sebagai seni. Hermeneutik adalah ilmu dan seni tentang pemahaman terhadap teks (A. Berkeley Mickelsen). Jika dihubungkan dengan pengalaman iman masing-masing penafsir, misalnya berkaitan dengan keyakinan akan Alkitab sebagai Kitab Suci yang diwahyukan oleh Tuhan Allah, maka proses dan hasil tafsir menjadi cara untuk mengekspresikan pemahaman iman dalam keindahan tafsiran. Groenen: Hermeneutika, Hermeneutik dan Hermeneuse Terhadap istilah yag berkaitan dengan ilmu dan seni penafsiran, C. Groenen pernah mengusulkan tiga istilah yang berkaitan dengannya yakni hermeneutika, hermeneutik dan hermeneuse. Setiap istilah 13 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) dijelaskan dengan menghubungkannya pada latar belakang sejarah dan pokok-pokok pemikiran yang melatar-belakanginya. Setelah melakukan penjelasan panjang lebar, akhirnya Groenen mengusulkan bahwa istilah hermeneuse adalah istilah yang perlu dipakai dalam kaitannya dengan penerapan ilmu dan seni penafsiran. Walaupun demikian, usulan Groenen untuk memakai istilah hermeneuse tidak mendapatkan respon positif di kalangan ahli-ahli hermeneutik. Barangkali hal ini terjadi karena pemikiran Groenen tentang hermeneutik tidak dikenal secara luas oleh ahli-ahli hermeneutik berhubung tulisannya tentang hal ini dituangkan dalam bahasa Indonesia dan jugai ahli-ahli hermeneutik di Indonesia menganggap tidak ada urgensi yang sangat siknifikan untuk memakai istilah hermeneuse. Namun demikian, sangat adil kalau dalam buku ini dikemukakan pemaparan Groenen berkaitan dengan istilah hermeneutika, hermeneutik dan hermeneuse tersebut secara singkat dan sekilas. Hermeneutika Groenen mendefinisikan hermeneutika sebagai ilmu praktis yang menentukan kaidah dan patokan yang perlu diperhatikan dalam penafsiran teks. Dalam hermeneutika, teks Alkitab didekati dengan cara seobyektif mungkin. Peran penafsir dalam hermeneutika adalah melakukan penelitian secara obyektif terhadap teks-teks Alkitab. Hermeneutika dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu hermeneutika tradisional dan hermeneutika modern. Hermeneutika tradisional didefinisikan sebagai ajaran tentang metode penafsiran Alkitab sebagai teks suci. Dalam hubungannya dengan hal ini, hermeneutika dapat dikatakan sebagai ilmu tafsir yang membahas, menyelidiki dan menafsirkan teks-teks Alkitab. Dalam hermeneutika tradisional telah disadari bahwa teks-teks Alkitab tidak begitu saja mudah untuk dipahami, oleh karena itu diperlukan kaidah-kaidah, aturan-aturan dan prinsip-prinsip untuk memahami teks-teks Alkitab. Hermeneutika tradisional juga menekankan pentingnya menentukan metode, melakukan refleksi, dan mengusahakan cara kerja sistimatis dalam proses penafsiran. 14 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Hermeneutika tradisional mempunyai akar tradisi yang sangat panjang yang telah dimulai dari teolog-teolog awal yang adalah juga bapa-bapa gereja. Teori penafsiran yang selama ini diketahui telah dirumuskan Origenes (185-254) dalam buku "Peri Arkhon." Teolog- teolog lain di Antiokhia, tidak hanya di Alexanderia, juga mengembangkan pemikiran-pemikiran berkaitan dengan teori penafsiran teks Alkitab. Secara umum hermeneutika tradisional dibagi ke dalam dua bagian besar, yakni pemikiran dalam mazab Aleksanderia dan mazab Antiokhia yang akan dikemukakan pada bagian yang akan datang. Kedua mazab pemikiran tentang penafsiran Alkitab tersebut mempunyai perbedaan yang sangat mendasar, namun pada prinsipnya terdapat ciri-ciri yang sama, yaitu, pertama, teks Alkitab dianggap sebagai hal yang paling utama dalam penafsiran. Kedua, dalam penafsiran terhadap teks Alkitab dikembangkan berbagai macam makna terhadap teks yang sama, yakni makna literalis (makna harafiah), makna tipologis (makna yang yang didapatkan dari hubungan antara dua peristiwa/fenomena), dan makna plenior (makna yang paling penuh dan paling penting). Ketiga, peran subyek dari penafsir dalam proses penafsiran dianggap tidak penting karena hanya merupakan pihak yang berusaha untuk memahami teks-teks Alkitab tersebut. Tahap hermeneutika modern dimulai pada abad 18, ketika ahli-ahli Perjanjian Baru menerapkan metode historis kritis, yakni menafsirkan teks secara kritis dalam konteks kesejarahan, yang akan dikemukakan secara lebih rinci pada bagian berikutnya dari buku ini. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa hermeneutika modern mempunyai ciri-ciri mirip dengan hermeneutika tradisional namun mempunyai beberapa perbedaan, yakni, pertama peran subyek penafsir tidak diangap penting dalam proses penafsiran. Kedua, teks- teks Alkitab adalah bagian terpenting dalam proses penafsiran, namun semakin disadari bahwa teks-teks tersebut mempunyai sifat historis. Sampai pada batas ini, Alkitab semakin disadari sebagai teks 15 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) yang tumbuh dalam sejarah dan mempunyai sejarah perkembangan karena terbukti bahwa terdapat lapisan-lapisan perkembangan dari teks-teks tersebut. Juga pada tahap ini, ahli-ahli hermeneutik semakin diyakinkan bahwa teks-teks Alkitab, termasuk teks-teks Perjanjian Baru, mengandung tidak hanya perbedaan melainkan juga kontradiksi atau pertentangan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Hermeneutik Menurut Groenen, hermeneutik adalah ilmu atau seni yang berusaha menentukan pra-syarat dan pra-andaian dari pihak penafsir dalam proses penafsiran terhadap teks-teks Alkitab. Dengan menekankan pada peran penafsir, maka hermeneutik dapat dikatakan bersifat subyektif. Pemahaman tentang hermeneutik dengan menekankan pada peran penafsir terjadi karena dilatar-belakangi oleh dominasi metode historis-kritis dalam praktek penafsiran yang cenderung menganggap teks-teks Alkitab pertama-tama sebagai dokumen historis tak punya relevansi bagi pembaca pada masa kini dan tidak memberikan inspirasi bagi kehidupan orang pada masa kini. Teks Alkitab adalah dokumen historis tentang masa lalu, yaitu masa lalu dari komunitas orang beriman termasuk komunitas Kristen yang tak ada hubungannya dengan kehidupan komunitas Kristen pada masa kini. Tokoh yang dianggap berperan besar dalam hubungannya dengan hermeneutik, dengan menekankan peran subyektif penafsir dalam proses penafsiran adalah Rudolf Bultmann. Bultmann mengusulkan proses penafsiran dengan menggunakan metode interpretasi eksistensial. Dia masih tetap memandang penting penerapan metode historis-kritis dalam proses penafsiran teks-teks Alkitab, namun subyek penafsir dihargai dalam proses penafsiran tersebut. Secara sederhana, pokok-pokok pemikiran Bultmann tentang penafsiran adalah sebagai berikut. Pertama, isi historis dalam teks- teks Alkitab tidak bersangkut paut dengan kepercayaan Kristen itu sendiri. Sejarah dalaam teks adalah hal yang berbeda dengan keyakinan iman Kristen. Elemen sejarah dalam teks-teks Alkitab dapat 16 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) dilihat sebagai hanya sebuah tahap dalam perkembangan agama Kristen yang tak berarti bagi manusia pada masa kini. Kedua, dalam proses penafsiran sangat penting untuk menghubungkan dengan aspek eksistensi manusia, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Heidegger. Dalam proses penafsiran tersebut, persoalan eksistensial tersebut berhubungan dengan kehidupan kongkrit dan terus berubah dijiwai oleh keputusan bebas manusia yang mengarahkan hidup dan memberi arti di dunia. Eksistensi kehidupan manusia ini harus dilibatkan dalam penafsiran. Interpretasi atau penafsiran terhadap teks-teks Alkitab, dengan demikian, bukan pertama-tama untuk menguak peristiwa-peristwa yang terjadi pada masa lalu, melainkan merupakan usaha penafsiran atau interpretasi terhadap eksistensi masa kini. Ketiga, usaha untuk masuk dalam proses penafsiran terhadap teks- teks Alkitab tersebut dilakukan dengan cara demitologisasi. Cara ini diusulkan oleh Bultmann mengingat bahwa teks-teks Alkitab sebenarnya dibungkus dalam bahasa mitologis, bahan-bahan yang membentuk teks-teks tersebut berasal dari mitos-mitos. Maka kalau dalam proses penafsiran yang dicapai adalah aktualisasi teks-teks Alkitab, penafsir harus berusaha membuka selubung mitos dari teks- teks tersebut agar dapat dipahami dan relevan bagi manusia yang hidup pada masa kini. Karena itu, penafsir sebagai subyek dalam penafsiran harus berhadapan dengan kenyataan bahwa teks-teks Alkitab terbungkus dalam bentuk mitos-mitos, dan untuk menguak makna teks diperlukan demitologisasi, yakni pembukaan selubung- selubung mitologis untuk mendapatkan pesan teks yang aktual. Dalam perkembangan berikutnya, dalam skopa hermeneutik, teks- teks Alkitab tak hanya dapat dikenal sebagai obyek, tetapi sebagai yang bermakna dan harus secara terus menerus diaktualkan dalam berbagai macamm cara. Metode historis-kritis dalam proses penafsiran tetap dipertahankan, tetapi diberi elemen baru yakni pentingnya memasukkan peranan subyek penafsir yang dicakup dalam konsep prapaham. Maka hermeneutik dipahami bukan sebagai 17 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) ajaran tentang struktur penafsiran, tetapi sebagai bagaimana proses memahami teks-teks Alkitab menjadi dimungkinkan agar degannya teks-teks tersebut tetap aktual dan relevan bagi konteks masa kini. Hermeneuse Groenen mengusulkan istilah yang ketiga, yaitu hermeneuse yang merupakaan gabungan dari hermeneutika dan hermeneutik. Hermeneuse dapat diterapkan pada semua teks, karya sastra, teks- teks suci seperti Alkitab. Karena itu hermeneuse dibagi ke dalam dua bagian besar yakni hermeneuse profan (untuk memahami dan menafsirkan karya sastra termasuk klasik), dan hermeneuse suci (untuk menafsirkan dokumen dianggap suci, dokumen yang mempunyai ciri illahi, dan karenanya diperlukan sikap dan pendirian tertentu, yakni iman). Hermeneuse bertugas untuk, pertama, mengaktualkan teks-teks Alkitab yang berupa tradisi historis kepada umat percaya masa kini. Kedua, untuk menentukan syarat-syarat yang dapat menyingkapkan dan membuka jalan yang memungkinkan salah satu tradisi historis dapat dipindahkan ke dalam manusia/masyarakat yang mempunyai konteks yang berbeda (historis dan kultural). Ketiga, untuk menentukan cara agar tradisi historis dapat dipahami dan berarti bagi orang masa kini. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hermeneuse bertugas untuk menemukan isi dan makna suatu tradisi dalam konteks tradisinya, menentukan konteks historis-kultural penerima tradisi itu dan menghubungkan kedua tugas tersebut. Hermeneutik Dalam Studi-Studi Perjanjian Baru Istilah hermeneuse yang diusulkan oleh Groenen tidak dipakai oleh ahli-ahli hermeneutik di Indonesia. Lagi pula dalam perkembangan disiplin ilmu studi-studi Alkitab (biblical studies), ahli-ahli biasanya memakai istilah hermeneutik atau hermeneutics, dalam bahasa Inggris. Tentu saja ide-ide Groenen tentang hermeneuse merupakan hal yang tercakup dalam pemahaman tentang hermeneutik sebagaimana yang sekarang dipahami oleh ahli-ahli hermeneutik pada masa kini. 18 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Hermeneutik adalah proses mengubah situasi ketidak-tahuan menjadi pemahaman, mengubah situasi ketidak-pahaman atau kesalah- pahaman menjadi situasi memahami terhadap teks-teks yang biasanya disimbolkan dengan kata-kata. Karena itu hermeneutik berhubungan dengan kata-kata. Namun, kata-kata bukanlah hal yang sederhana melainkan suatu fenomena yang kompleks. Menurut Aristoteles, kata adalah simbol pengalaman mental. Karena itu menurut Dilthey, kata tak pernah tidak bermakna. Kata atau kata dalam bahasa, menurut Gadamer adalah modus operandi dari cara berada kita di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia. Sangat penting juga untuk menyadari bahwa hermeneutik adalah cara baru bergaul dengan bahasa yang merupakan penjelmaan kebudayaan manusia, dimana subyek-obyek saling berhubungan dan memberi makna. Interpretasi, menurut Emilio Betty adalah usaha untuk menjernihkan persoalan memahami atau mengerti, yaitu dengan menyelidiki proses interprertasi yang mencakup pemahaman, didahului pengertian yang dilakukan secara triadik, yakni pertentangan antara pikiran yang terarah pada obyek dan pikiran penafsir, mengenal kecondongan pesan teks, dan meresapi isi teks yang lain ke dalam diri. Pentingnya Hermeneutik Studi hermeneutik sangat penting dipelajari dan dikuasai oleh orang- orang yang akan mepersiapkan diri untuk bidag pekerjaan dan pelayanan yang menuntut penguasaan pada teks-teks Alkitab. Terutama pekerjaan atau pelayanan sebagai pendeta, pengajar agama, konselor Kristen, penasihat iman, dan sebagainya, mengingat pelayanan tersebut tidak pernah lepas dari teks-teks Alkitab. Perlu ditegaskan bahwa komunitas Kristen adalah komunitas yang dahulu menghasilkan teks-teks Alkitab tetapi yang kemudian dibentuk, ditentukan, diasah dan diasuh oleh teks-teks Alkitab. Maka siapapun yang mendapatkan panggilan hidup untuk melayani komunitas Kristen, kepadanya diwajibkan untuk memahami teks-teks Alkitab 19 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) secara bertanggung jawab dan dapat diandalkan. Hermeneutik memungkinkan pelayan-pelayan dan pekerja-pekerja bagi komunitas Kristen untuk dapat melakukan tugas dengan lebih baik lagi. Studi hermeneutik berguna (Berkhof) untuk, pertama, menyediakan pemahaman-pemahaman terhadap teks-teks Alkitab yang dapat digunakan sebagai sumber untuk merekonstruksi dan membentuk teologi. Kedua, pemahaman-pemahaman yang didapatkan berkat studi hermeneutik merupakan dasar bagi disusunnya khotbah-khotbah yang dilakukan dalam pelayanan yang beragam yang pada giliran berikutnya menjadi sumber ajaran bagi komunitas Kristen. Ketiga, studi hermeneutik juga menjadi dasar bagi pengajaran agama bagi generasi muda, untuk mendukung pelayanan perkunjungan ke keluarga-keluarga anggota gereja, yang terkadang membutuhkan penjelasan tentang teks-teks Alkitab. Dengan kata lain, studi hermeneutik terhadap teks-teks Alkitab, termasuk teks-teks Perjanjian Baru, menjadi bagian tak terpisahkan dari pelayanan Kristen. Komunitas Kristen adalah komunitas yang dibentuk oleh pengajaran biblis, atau dengan kata lain, dibentuk oleh pemahaman-pemahaman hermeneutik terhadap teks-teks Alkitab. Dalam iman Kristen diyakini bahwa Alkitab adalah sumber dan norma bagi keidupan iman dan tindakan praksis. Maka studi hermeneutik merupakan hal vital yang berkaitan dengan keberlangsungan komunitas Kristen. Melakukan studi hermeneutik terhadap teks-teks Alkitab mengandung harapan bahwa penafsir-penafsir akan berjumpa dengan kehendak Tuhan yang dapat memberi kekuatan, inspirasi dan kemampuan untuk menghadapi situasi kehidupan aktual. Dan pada titik berikutnya, dengan memahami teks-teks Alkitab, penafsir dan komunitas Kristen dapat berjumpa dengan Tuhan yang hidup (Richard Nysse and Donald Juel). 20 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Bab 2 ALKITAB DAN BERBAGAI MACAM PENDEKATAN HERMENEUTIK MODERN Pendahuluan Berbicara tentang Alkitab dalam hubungannya dengan studi hermeneutik, perlu sekali untuk melihat teks 2 Timotius 3:16 yang sering digunakan untuk memahami apa hakekat dari Alkitab. 2 Timotius 3:16: 16 Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Berdasarkan ayat tersebut di atas, teks-teks Alkitab, termasuk teks- teks Perjanjian Baru, diyakini sebagai tulisan yang diilhamkan oleh Tuhan Allah. Berkaitan dengan hal tersebut, menafsirkan teks Alkitab menjadi identik dengan menemukan firman Tuhan. Khotbah yang dianggap sebagai pemberitaan firman Tuhan didasarkan pada keyakinan ini, yakni bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Silogisme dari cara berpikir ini adalah, pertama, Alkitab adalah firman Tuhan (premis mayor). Kedua, Alkitab harus ditafsirkan dan dijelaskan dengan baik dan tepat (premis minor). Ketiga, karena khotbah berisi penafsiran dan pemberitaan Alkitab yang dilakukan dengan baik dan tepat, maka khotbah adalah pemberitaan firman Tuhan (conclusio). Dalam keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, khususnya ahli- ahli hermeneutik yang meyakini konsep plenary inspiration membedakan antara konsep inspiration dan illumination. Inspirasi adalah konsep yang berkaiatan dengan penulisan teks-teks Alkitab bahwa penulisan teks-teks tersebut pada masa lalu dilakukan oleh penulis-penulisnya karena diberi inspirasi atau pewahyuan dari Tuhan. Karena Alkitab adalah firman Tuhan yang ditulis berkat inspirasi, maka teks-teks Alkitab tersebut tidak mungkin salah baik dalam penulisan maupun dari segi maksud dan tujuannya. Sedangkan 21 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) iluminasi adalah konsep yang berkaitan dengan diberikannya pencerahan kepada penafsir dan pendengar pemberitaan firman pada masa kini sehingga orang-orang tersebut memahami firman Allah sebagaimana yang dahulu dimaksudkan ketika teks-teks tersebut ditulis berkat inspirasi dari Tuhan Allah. Persoalan hubungan antara firman Tuhan dan Alkitab, atau khususnya anggapan bahwa Alkitab diyakini identik dengan firman Tuhan merupakan persoalan yang diangkat oleh ahli-ahli hermeneutik khususnya sejak metode historis-kritis diterapkan dalam penafsiran teks-teks Alkitab. Dengan memakai metode historis-kritis, ahli-ahli menemukan bahwa teks-teks Alkitab tidak lepas dari kekeliruan sehubungan dengan keterbatasan-keterbatasan manusia yang terlibat dalam penulisan teks-teks Alkitab pada masa lampau dan proses penerus-alihan teks-teks tersebut yang dilakukan pada masa terkemudian. Beberapa contoh teks-teks Perjanjian Baru di bawah ini menjadi bukti bahwa teks-teks Alkitab tidak lepas dari kekeliruan penulisan atau pengutipan. Mat 27:9-10: kekeliruan dalam penulisan nama Yeremia 9 Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia: "Mereka menerima tiga puluh uang perak, yaitu harga yang ditetapkan untuk seorang menurut penilaian yang berlaku di antara orang Israel, 10 dan mereka memberikan uang itu untuk tanah tukang periuk, seperti yang dipesankan Tuhan kepadaku." Teks tersebut mempunyai padanan dan penulis teks tersebut pasti mendasarkan pada sumber dalam Zakaria 11:12-13: 12 Lalu aku berkata kepada mereka: "Jika itu kamu anggap baik, berikanlah upahku, dan jika tidak, biarkanlah!" Maka mereka membayar upahku dengan menimbang tiga puluh uang perak. 13 Tetapi berfirmanlah TUHAN kepadaku: "Serahkanlah itu kepada penuang logam!" nilai tinggi yang ditaksir mereka bagiku. Lalu aku mengambil ketiga puluh uang 22 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) perak itu dan menyerahkannya kepada penuang logam di rumah TUHAN. Kis 7:14: kekeliruan mengemukakan jumlah sanak saudara yakni tujuh puluh lima jiwa. 14 Kemudian Yusuf menyuruh menjemput Yakub, ayahnya, dan semua sanak saudaranya, tujuh puluh lima jiwa banyaknya. Teks tersebut mempunyai padanan dengan Kejadian 46:26-27: 26 Semua orang yang tiba di Mesir bersama-sama dengan Yakub, yakni anak-anak kandungnya, dengan tidak terhitung isteri anak-anaknya, seluruhnya berjumlah enam puluh enam jiwa. 27 Anak-anak Yusuf yang lahir baginya di Mesir ada dua orang. Jadi keluarga Yakub yang tiba di Mesir, seluruhnya berjumlah tujuh puluh jiwa. Matius 3:1-3 melakukan kesalahan pengutipan dari Yesaya 40:3 1 Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea dan memberitakan: 2 "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" 3 Sesungguhnya dialah yang dimaksudkan nabi Yesaya ketika ia berkata: "Ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya." Yesaya 4:3-5: 3 Ada suara yang berseru-seru: "Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! 4 Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan; tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran; 5 maka kemuliaan TUHAN akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama; sungguh, TUHAN sendiri telah mengatakannya." 23 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Alkitab dan Firman Tuhan Hubungan antara Alkitab dan firman Tuhan sebagaimana dipahami oleh orang-orang Kristen, termasuk teolog-teolognya, dapat digolongkan ke dalam tiga pandangan besar. Pertama, Alkitab dan firman Tuhan tidak identik. Titik temu antara Alkitab dan firman Tuhan terdapat dalam kesadaran religius manusia, yakni orag-orang yang menghayati bahwa dalam teks-teks Alkitab orang menyadari dan menemukan firman Tuhan. Dalam pandangan ini, Alkitab tidak dipahami sebagai tulisan yang diwahyukan oleh Tuhan tetapi sekedar tulisan-tulisan yang ditulis oleh manusia (human records). Teks-teks Alkitab adalah produk dari aktivitas manusia untuk menyaksikan perjalanan eksistensial akan Roh Allah. Kedua, firman Tuhan adalah semata-mata pekerjaan Roh Allah, sedangkan teks-teks Alkitab hanyalah bungkus dari firman Tuhan. Firman Tuhan dapat didengar melalui pemberitaan ketika orang berusaha untuk menemukan firman Tuhan dalam Alkitab. Teks-teks Alkitab adalah tulisan manusia tentang pengalaman iman dan dapat dipakai untuk mengingatkan segi historis kehidupan iman dari komunitas iman/Kristen pada masa lalu. Ketiga, Alkitab adalah firman Tuhan. Teks-teks Alkitab ditulis karena diinspirasikan oleh Allah. Karena itu teks-teks Alkitab mempunyai ciri perfect accuracy (sempurna ketepatannya), inerrant (tidak salah), infallible (selalu benar dan tepat). Pandangan yang ketiga ini menekankan pada kepercayaan akan inspirasi dan illuminasi. Alkitab Mempunyai Sisi Manusiawi dan Illahi Ketiga pandangan tentang hubungan antara Alkitab dan firman Tuhan tersebut mempunyai argumentasi yang sama-sama kuat berhubung dengan ciri khas Alkitab yang dianggap tidak hanya merupakan sekedar tulisan manusia melainkan juga mengandung (dengan berbagai pemahaman yang berbeda) segi keillahian. Dapat dikatakan bahwa Alkitab mempunyai sisi manusia dan sisi illahi. Teks-teks Alkitab mempunyai sisi manusiawi karena teks-teks tersebut tumbuh dalam sejarah dan dipengaruhi oleh konteks sosio-budaya. 24 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Tak dapat disangkal bahwa penulis-penulis teks Alkitab sering juga menyertakan pendapat pribadi. Teks-teks Perjanjian Baru menyajikan kenyataan ini, bahwa penulis-penulis teks Alkitab berperanan dalam proses penulisan teks tersebut. Perhatikan Lukas 1:1-4 di bawah ini. 1 Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, 2 seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. 3 Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, 4 supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar. Dalam 1 Korintus 7:1-17, penulis teks yang mengakui dirinya sebagai Paulus secara sadar menyertakan pendapat pribadinya. 1 Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, 2 tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. 3 Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. 4 Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. 5 Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak. 6 Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah. 7 Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang 25 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) lain karunia itu. 8 Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. 9 Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu. 10 Kepada orang- orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. 11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya. 12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. 13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. 14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. 15 Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. 16 Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu? 17 Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat. 26 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Dalam surat-surat sebagaimana tercantum dalam kanon Perjanjian Baru, penulis teks langsung memperkenalkan identitasnya. Perhatikan 1 Korintus 1:1-3: 1 Dari Paulus, yang oleh kehendak Allah dipanggil menjadi rasul Kristus Yesus, dan dari Sostenes, saudara kita, 2 kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita. 3 Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu. Karena penulis-penulis teks Alkitab adalah manusia yang dapat melakukan kesalahan maka dalam proses penulisan teks-teks tersebut kemungkinan terjadi kesalahan dapat terjadi juga. Perhatikan teks-teks yang berasal dari Kitab Kejadian: Kejadian 26:34-35 34 Ketika Esau telah berumur empat puluh tahun, ia mengambil Yudit, anak Beeri orang Het, dan Basmat, anak Elon orang Het, menjadi isterinya. 35 Kedua perempuan itu menimbulkan kepedihan hati bagi Ishak dan bagi Ribka. Kejadian 26:2-3 2 Esau mengambil perempuan-perempuan Kanaan menjadi isterinya, yakni Ada, anak Elon orang Het, dan Oholibama, anak Ana anak Zibeon orang Hewi, 3 dan Basmat, anak Ismael, adik Nebayot. Lihat juga teks 1 Raj 9:12 dan 2 Taw 8:2 1 Raja-Raja 9:11-12 11 Oleh karena Hiram, raja Tirus, telah membantu Salomo dengan kayu aras, kayu sanobar, dan emas, 27 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) sebanyak yang dikehendakinya, maka pada waktu itu raja Salomo memberikan kepada Hiram dua puluh kota di negeri Galilea. 12 Tetapi ketika Hiram datang dari Tirus untuk melihat-lihat kota-kota yang diberikan Salomo kepadanya itu, maka semuanya kurang menyenangkan hatinya. 2 Tawarikh 8:1-2 1 Setelah lewat dua puluh tahun selesailah Salomo mendirikan rumah TUHAN dan istananya sendiri. 2 Maka Salomo memperkuat kota-kota yang diberikan Huram kepadanya, dan menyuruh orang Israel menetap di sana. Alkitab mempunyai sisi illahi, dalam pengertian bahwa teks-teks Alkitab mengandung pesan Illahi. Orang-orang yang mengimaninya akan mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang hidup dan mendorong mereka untuk berpikir, bersikap da bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Teks-teks Alkitab sungguhpun ditulis dalam bahasa manusia namun teks-teks tersebut membawa amanat illahi, yakni bahwa Allah mengasihi manusia dan menyelamatkan manusia. Sebagai tulisan manusia tentang pengalaman-pengalaman iman, Alkitab merupakan kumpulan tulisan dengan beragam bentuk sastra. Dapat dikatakan bahwa Alkitab adalah perpustakaan kecil, buku yang terdiri dari buku-buku. Buku-buku tersebut terkadang berbentuk mirip tulisan sejarah, hukum, tulisan kebijaksanaan (wisdom), puisi, nyanyian, narasi, nubuatan, kisah perjalanan, riwayat hidup, surat, imaginasi tentang tentang akhir zaman, dan sebagainya. Yang jelas, Alkitab adalah kumpulan buku yang kaya warna yang memuat juga pengalaman iman dan kesaksian iman dari orang-orang beriman, mulai dari orang-orang pra-terbentuknya komunitas Israel kuno sampai berkembangnya komunitas Kristen. Otoritas Akitab Orang-orang Kristen dan Gereja mengakui kewibawaan (otoritas) Alkitab dalam pelbagai keragaman konsep berpikir tergantung dari tradisi Kekristenan macam apa orang dan gereja tersebut. Gereja- 28 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) gereja Kristen Protestan biasanya menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam pengajaran iman, sedangkan Gereja Roma Katolik mendudukkan Alkitab sebagai salah satu sumber otoritas pengajaran iman, disamping tradisi dan hukum gereja. Sangat penting untuk dikemukakan bahwa pengakuan akan otoritas Alkitab yang diyakini oleh orang-orang Kristen dan gereja-gereja bersumber pada pengajaran dan sikap Yesus terhadap Kitab Suci, yakni kitab-kitab yang nantinya dikanonisasi dalam Perjanjian Lama. Sebagai contoh, Yesus tetap mengakui Taurat dan kitab para nabi sebagai tulisan-tulisan yang berwibawa dalam pengajaran iman, misalnya Mat 5:17-19. Matius 5:17-19: 17 "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. 18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. 19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. Dalam kisah tentang bagaimana Yesus menghadapi pencobaan, sebagaimana tertera dalam Matius 4:1-11, ditemukan bahawa Yesus mengakui kewibawaan Kitab Suci. Teks-teks yang dikutipNya berasal dari teks-teks dalam Perjanjian Lama. Matius 4:1-11: 1 Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. 2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. 3 29 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu- batu ini menjadi roti." 4 Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." 5 Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah, 6 lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat- malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu." 7 Yesus berkata kepadanya: "Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!" 8 Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, 9 dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku." 10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" 11 Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus. Otoritas Alkitab ditegaskan juga oleh konsensus Gereja ketika proses kanonisasi Alkitab yang memuat enam puluh enam kitab diakui secara umum oleh gereja-gereja. Kanonisasi pada hakekatnya adalah suatu proses panjang untuk menentukan kitab-kitab mana yang dianggap suci, sekaligus mempunyai kewibawaan dalam kehidupan gereja. Mengingat gereja-gereja pada masa kini terkait secara langsung dengan keberadaan gereja pada masa lampau, maka pengakuan akan kewibawaan Alkitab juga diwarisi oleh gereja-gereja pada masa kini. Gereja-gereja masa kini tidak hanya mewarisi iman akan Kristus yang dikristalisasikan dalam Pengakuan Iman Rasuli melainkan mewarisi pengakuan akan kewibawaan Alkitab dalam bentuk penerimaan akan kanon Alkitab. 30 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Pada masa kini penerimaan akan kewibawaan Alkitab terwujud dalam berbagai macam bentuk. Pertama, dalam kaitannya dengan kehidupan iman personal, yakni melalui pembacaan dan perenungan teks-teks Alkitab secara personal. Kedua, dalam kaitannya dengan kehidupan komunitas-komunitas Kristen, baik gereja maupun lembaga dan institusi Kristen. Alkitab digunakan untuk memelihara iman umat, menjadi landasan dalam mengatur organisaasi Kristen, dan bahkan dalam pembentukan komunitas Kristen. Ketiga, otoritas Alkitab terlihat dari pelibatan teks-teks Alkitab dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat luas. Teolog-teolog menjadikan teks-teks Alkitab sebagai sumber inspirasi, partner dialog atau bahkan sebagai peletak landasan teologis dalam pergumulan dengan berbagai isu kemasyarakatan, mulai dari lingkungan hidup, ekonomi, politik, hukum, medis, persoalan pendidikan, disabilitas dan sebagainya. Sebagai kitab suci yang mempunyai kewibawaan yang sangat tinggi dan menentukan maka, Alkitab mempunyai berbagai macam fungsi dalam kehidupan orang beriman. Pertama, sebagai sumber moralitas, yakni teks-teks Alkitab dipakai untuk menentukan tindakan-tindakan yang baik, benar dan tepat yang sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana ditemukan dalam teks-teks Alkitab. Kedua, sebagai sumber spiritualitas, mengingat teks-teks Alkitab berfungsi untuk menumbuhkan dan mengembangkan keimanan dengan cara melakukan introspeksi, refleksi, dan meditasi. Ketiga, Alkitab berfungsi untuk menyusun dan memperdalam ajaran yang benar dan tindakan yang benar (ortodoksi dan ortopraksi), mengingat dalam Kekristenan tidak ada doktrin dan etika yang dikembangkan tanpa pergumulan akan teks-teks Alkitab. 31 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Keempat, Alkitab berfungsi untuk mempertemukan pembacanya pada dirinya sendiri terutama, pada hal-hal yang selama ini tidak disadarinya. Jadi teks-teks Alkitab dapat dianggap sebagai window into the unconscious dari pembaca-pembacanya. Kelima, Alkitab berfungsi untuk mendorong pembaca-pembacanya dan juga pendengar pemberitaannya untuk berjumpa dengan Allah yang hidup agar dapat menghayati kehidupan imannya secara aktual. Pendekatan-Pendekatan Modern terhadap Alkitab Dalam era modern ini, Alkitab dipahami dengan berbagai macam pendekatan, yang mempunyai perbedaan satu sama lain. Kadang- kadang ada kecenderungan untuk menganggap pendekatan yang satu sebagai yang lebih benar daripada pendekatan yang lain. Bermacam-macam pendekatan itu dapat kita lihat seperti yang dikemukakan oleh Schüsser Fiorenza dengan mengemukakan empat pendekatan. Dalam buku ini akan dipaparkan tiga pendekatan terhadap Alkitab sebagaimana dikemukakan oleh Padilla. Pertama, pendekatan intuitif atau yang disebut dengan pendekatan dengan paradigma dogmatis. Pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan revelasionis, yakni pendekatan yang menekankan pada pewahyuan Alkitab. Alkitab dipahami secara naluriah dan dogmatis. Pendekatan ini biasanya dipakai oleh orang-orang Kristen yang menamakan diri sebagai orang Kristen Injili. Dalam pendekatan ini, hermeneutik berarti ilmu yang mempelajari tentang aturan dan metode penafsiran Kitab Suci. Dalam pendekatan ini, doktrin tentang Alkitab memegang peranan penting. Alkitab dipercayai sebagai yang identik dengan firman Tuhan bukan sekedar mengkomunikasikan firman Allah, yang diwahyukan oleh Tuhan (inspiration), yang tidak mungkin salah (inerancy), yang tak mungkin keliru (infallibility), dan sebagai orakel (oraculity). Sedangkan ilmu bahasa, sejarah, dan ilmu-ilmu manusia yang lain sungguhpun penting, hanya dipandang sebagai pelengkap saja. 32 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Pendekatan intuitif membedakan hermeneutik umum dan khusus. Hermeneutik umum mempelajari latar belakang sejarah dan budaya Alkitab, konteks jauh dan konteks dekat, arti kata secara sintaksis dan ensiklopedis, makna teologis dan menentukan pra-syarat penafsiran Alkitab. Sedangkan hermeneutik khusus mempelajari segala aturan untuk menafsirkan teks Alkitab menurut jenis sastra (genre) tertentu, antara lain misalnya, perumpamaan, amsal, nubuatan, dan sebagainya. Pendekatan intuitif dengan paradigma dogmatis ini mempunyai segi positif dan segi negatif. Segi positif dari pendekatan ini adalah bahwa Alkitab dapat dipahami oleh semua orang, ditekankannya peranan Roh Kudus, ditekankannya bahwa usaha pemahaman terhadap teks- teks Alkitab bukan untuk memenuhi kebutuhan intelektual tetapi pada ketaatan akan firman Tuhan, dan ditekankannya respon pribadi terhadap berita Alkitab. Segi negatif dari pendekatan ini adalah bahwa, pertama, pendekatan ini menekankan pada sikap manusia sekedar patuh pada teks-teks Alkitab yang bisa jadi bukan merupakan firman Tuhan itu sendiri. Kelemahan berikutnya, yang kedua, adalah bahwa keillahian Alkitab terlalu ditonjolkan, yang menyebabkan orang menjadi tidak kritis dan cenderung menganggap apa yang ditulis dalam Alkitab sebagai kebenaran yang mutlak. Akibatnya ada kecenderungan bahwa semua ilmu harus diverifikasi oleh Alkitab. Ketiga, pendekataan ini cenderung melakukan praktek pencabutan ayat dari konteksnya yang menyebabkan penafsiran menjadi dangkal. Keempat, dalam pendekatan ini, Alkitab dipakai untuk membangun kesalehan pribadi, yang cenderung memupuk sikap eksklusif dan superior, cenderung mengarahkan hidup ke “seberang sana,” sedangkan perhatian pada saudara seiman agak kurang, pelayanan sosial dianggap sebagai salah satu metode pekabaran Injil. Kedua, pendekatan akademis dengan metode historis-kritis. Pendekatan ini sangat umum dilakukan dalam dunia akademis dan menekankan segi intelektual. Pendekatan yang populer dan 33 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) dikembangkan adalah historis-kritis yang dipengaruhi oleh rasionalisme. Yang menarik pendekatan ini pertama-tama tidak digunakan oleh ahli-ahli biblika, melainkan dikembangkan oleh filsuf- filsuf seperti misalnya John Lock dan Spinoza. Yang menjadi perhatian utama adalah obyektifitas penyelidikan teks Kitab Suci. Pendekatan historis-kritis dikembangkan oleh Semler yang dicirikan oleh dua pemikiran, yakni, pertama, bahwa firman Tuhan dan Alkitab tidaklah identik. Kedua, bahwa kitab-kitab dalam Alkitab bersifat kontekstual dan tidak mengikat. Mengingat pendekatan ini sangat intens dalam menyelidiki teks-teks dalam terang konteks historis dan kultural maka sebagai hasil sampingnya dikembangkan pula ilmu pengantar atau ilmu pembimbing. Tujuan pendekatan ini adalah untuk memahami teks-teks Alkitab dan latar belakang kehidupan di balik teks. Dalam pendekatan ini diteliti perbedaan versi dan dilakukan usaha untuk memahami apakah ada cerita yang berulang atau tidak konsisten, atau kacau menurut akal sehat. Perkembangan berikutanya adalah bahwa dalam pendekatan ini juga diteliti bahan-bahan dari berbagai sumber. Pendekatan akademis ini memahami hermeneutik sebagai upaya untuk memahami teks Kitab Suci saja, sedangkan untuk mengaplikasikan hasil eksegese Alkitab pada situasi masa kini bukanlah tugas hermeneutik, melainkan tugas teologi praktika, sistimatika, historika, dan teologi sosial. Dua hal penting dalam yang ditunjukkan oleh pendekatan ini adalah bahwa, pertama, pendekatan ini menghargai tradisi ilmiah dalam penafsiran, yakni dengan memakai dan memanfaatkan ilmu sejarah dan ilmu sastra. Kedua, pendekatan ini menekankan bahwa penelitian ilmiah tak perlu dipisahkan atau dipertentangkan dengan kebutuhan gereja. Ilmu dan iman dapat saling mendukung satu sama lain, dan bahwa ilmu dapat dimanfaatkan untuk kebaikan gereja, khususnya dalam hal memahami teks-teks yang menjadi penopang kehidupan bergereja. 34 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Segi positif dari pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini mendorong orang untuk dapat, pertama, memahami dunia umat Israel/orang Kristen mula-mula. Kedua, dapat memahami bahwa umat Kristen mula-mula bukanlah homogen. Ketiga mendukung berkembangnya sikap kritis dan kreatif. Keempat, pendekatan ini mendorong keterbukaan pada penyelidikan non-kanonis. Kelima pendekatan ini dapat memperkaya pemahaman tentang teks-teks Alkitab dengan bantuan ilmu-ilmu lain. Pendekatan ini mengandung juga segi negatif, yaitu pertama, ada kecenderungan bahwa pendekatan ini kurang langsung berhubungan dengan pergumulan jemaat awam. Kedua, penyelidikan kritis sebagaimana dikembangkan dalam pendekatan ini bisa berkembang ke arah pemikiran spekulatif. Ketiga, pendekatan ini cenderung mencerai-beraikan teks Alkitab yang sudah utuh, maka seringkali dituduh liberal dan merusak iman. Ketiga, pendekatan sosial praksis. Pendekatan ini menekankan pemecahan masyarakat modern serta berusaha untuk memahami Alkitab bagi kehidupan manusia secara holistik baik spiritual maupun kesejahteraan secara menyeluruh. Pendekatan ini dikembangkan terutama oleh dan dalam teologi pembebasan, feminis, teologi hitam, teologi minjung, dan teologi-teologi lainnya yang prihatin pada masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan kongkret. Beberapa penekanan dalam pendekatan ini dapat dikemukakan, sebagai berikut. Pendekatan ini melakukan usaha memahami teks- teks Alkitab yang tidak hanya menyangkut makna teks tetapi makna teks untuk masa kini dalam konteks aktual. Asumsi yang digunakaan dalam pendekatan ini adalah asumsi teologis yang menekankan praksis iman. Pendekatan ini menekankan pemaknaan secara sinkronis dengan melihat sejarah secara spiral bukan sebagai garis yang sederhana, melainkan bergerak secara kompleks. Dalam hubungannya dengan teks-teks Alkitab, pendekatan ini memandang 35 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) teks-teks tersebut sebagai alat refleksi, yakni sebagai alat atau media untuk menolong manusia khususnya mereka yang tertindas dan tersisih. Ahli-ahli yang mengembangkan pendekatan ini memandang bahwa tugas hermeneutik adalah untuk merefleksikan bagaimana firman yang terjadi pada masa lampau dan dalam budaya tertentu dimengerti dan dipahami menjadi bermakna secara eksistensial dalam suituasi kita sekarang ini. Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, dipegang asumsi bahwa sebelum membaca teks, penafsir telah mempunyai pra-pemahaman, yang dalam proses penafsiran akan terjadi perpaduan horizon pembaca dan penulis. Maka dalam proses penafsiran terjadi situasi saling menafsirkan antara pembaca dan penulis. Dalam pendekatan ini empat unsur yang menentukan dalam proses penafsiran teks-teks Alkitab adalah, situasi historis penafsir, pandangan dunia dan kehidupan (world- and- life view), pandangan tentang Kitab Suci, dan teologi yang diwarisi oleh pembaca. Empat unsur ini menjadi bagian yang terpisahkan dalam studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-praksis. Konteks dari penafsir menjadi bagian yang sama pentingnya dengan konteks dari teks-teks Alkitab yang ditafsir. Pendekatan ini memuat baik segi positif dan segi negatif. Segi positif dari pendekatan ini adalah bahwa, pertama, penafsir teks-teks Alkitab mestilah seorang ahli atau orang yang telah dilatih dalam proses penafsiran teks. Kedua, penafsir teks-teks Alkitab didorong untuk memperoleh pemahaman tentang diri sendiri dan masyarakat secara langsung dari teks-teks Alkitab. Ketiga, pendekatan ini dapat disumbangkan kepada gereja dan komunitas Kristen lainnya untuk dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan konteks masyarakatnya sendiri. Keempat, penafsir teks-teks Alkitab tidak hanya diajak untuk memahami teks-teks tersebut melainkan juga ditantang untuk mewujudkan pemahaman tersebut sampai pada tindakan nyata. Ini yang disebut sebagai praksis iman. 36 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Segi negatif dari pendekatan ini perlu diperhatikan juga. Pertama, dalam pendekatan ini penafsir dapat mengartikan teks sesuai dengan tanggapannya yang mungkin belum tentu dikehendaki teks. Kedua, penafsir mempunyai kecenderungan untuk memilih bagian-bagian dari teks-teks Alkitab yang dianggap mengandung pemihakan Allah kepada kaum lemah dan tertindas. Ketiga, dalam pendekatan ini ada kecenderungan bahwa persoalan kehidupan rohani kurang menjadi penekanan. Keempat, ajaran dan dogma gereja cenderung kurang menjadi perhatian. Kelima, pendekatan ini cenderung melihat peristiwa yang ada di dalam Alkitab sebagai peristiwa yang sering direlatifkan, bukan peristiwanya yang dianggap penting melainkan makna yang terdapat dalam peristiwa tersebut. 37 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Bab 3 HERMENEUTIK FILOSOFIS Pendahuluan Walaupun hermeneutik filosofis bukan menjadi kajian utama dalam buku ini, namun karena hermeneutik Perjanjian Baru juga memanfaatkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan dalam hermeneutik filosofis, maka sangat penting juga untuk memperhatikan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf tentang hermeneutik. Sebagaimana diakui oleh ahli-ahli hermeneutik, hermeneutik filosofis merupakan cabang baru dalam bidang filsafat yang sangat berkembang pesat terutama pada tiga ratus limapuluh tahun terakhir ini. Sebenarnya, telaah hermeneutik telah dilakukan oleh filsuf-filsuf klasik Yunani, tetapi mengingat urgensi persoalan memahami pemahaman itu sendiri, maka kajian hermeneutik semakin diusahakan secara lebih intens oleh filsuf-filsuf Barat Modern. Dengan kata lain, berkembangnya minat terhadap bidang ini disebabkan oleh semakin kompleksnya bagaimana memahami tentang memahami itu sendiri. Tokoh-tokoh hermeneutik filosofis yang dapat diangkat untuk memperjelas pemikiran-pemikiran tetang hermeneutik, antara lain, F. Schleiermacher, Ricoeur, Bultmann, Ebeling, Tillich dll. Berikut ini akan dibahas beberapa pemikiran hermeneutik filosofis secara sekilas. Bagi mereka yang terdorong untuk memperdalam tentang topik ini disarankan untuk mendapatkan bahan-bahan lebih lanjut dalam bidang kajian filsafat. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) Dalam bidang kajian fiosofis, Schleiermacher dapat disebut sebagai bapak hermeneutik modern. Yang sangat menarik adalah sebenarnya dia berlatar belakang sebagai seorang teolog praktika dan sekaligus ahli dalam filologi klasik. Pemikiran-pemikirannya dianggap telah 38 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) mengangkat kajian hermeneutik ke taraf tataran universal, dengan menegaskan bahwa hermeneutik memerlukan landasan kritis yang menyeluruh tentang apa itu pemahaman. Pemikirannya yang sangat fundamental ini ditandaskan dalam konteks kehidupan keilmuan, khususnya di Eropa, dimana terjadi situasi bahwa selama ini hermeneutik dipasung oleh ortodoksi dan otoritas gereja, baik itu dari pihak Gereja Katolik maupun Protestan. Menurut Schleiermacher, pemahaman tentang pemahaman menjadi amat mendasar dalam hermeneutik mengingat bahwa dalam kenyataannya orang mengalami situasi tidak memahami atau kurang memahami atau salah memahami tehadap kata-kata atau teks yang dibaca. Jadi, dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas ditemukan hal yang menarik bahwa pemahaman selalu dimulai dari fakta kesalah-pengertian. Karena itu hermeneutik tidak pertama-tama berkaitan dengan pencarian akan arti teks, tetapi pertama-tama berkaitan dengan bagaimana memahami teks-teks yang dikaji menjadi mungkin. Menurut Schleiermacher, titik tolak dalam hermeneutik adalah pentingya memahami konsep tentang pemikiran dan bahasa. Menurut pemahaman Schleiermacher, bahasa yang dipakai manusia tidak hanya mengkomunikasikan pemikiran-pemikiran, melainkan yang sangat utama adalah bahwa bahasa membentuk pemikiran itu. Bahasa dan pemikiran adalah dua hal yang saling kait mengait. Tujuan hermeneutik, sebagaimana ditandaskan oleh Schleiermacher adalah berusaha untuk merekonstruksi maksud pengarang teks tertentu pada masa mula-mula, yakni pada masa ketika teks tersebut ditulis. Usaha pemahaman terhadap teks sebagaimana dimaksudkan pada masa mula-mula tersebut didasarkan pada model ideal percakapan atau konversasi. Dalam hal ini model konversasi antar teman diyakini bahwa aspek kehadiran (presence) menjadi begitu penting. Dapat dikatakan bahwa, menurut pemikiran Schleiermacher teks merupakan bentuk dari aplikasi pribadi atau kedirian yang tertuang dalam bahasa. Karena itu dalam teks selalu terdapat segi subyektif, yakni bahwa di dalam teks selalu terdapat kepentingan dan 39 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) unsur psikologis yang menyertainya, dan segi obyektif, yakni bahwa penulis selalu memakai aspek-aspek kebahasaan yang dapat dipahami orang lain secara obyektif, misalnya aspek gramatikal yang diwujudkan dalam bahasa. Hermeneutik Alkitab, yakni hermeneutik terhadap teks-teks Alkitab, bukan merupakan kegiatan yang terisolir, melainkan tunduk pada hermeneutik yang berlaku umum. Dalam hal ini, keyakinan akan inspirasi dalam penulisan teks-teks Alkitab tidak meniadakan interpretasi yang berlaku umum dimana hermeneutik diterapkan. Wilhelm Dilthey (1833-1911) Wilhelm Dilthey menghasilkan karya-karya yang sangat beragam dan terkenal sebagai filsuf, psikolog dan sejarawan. Satu tahun setelah kelahirannya, Schleiermacher meninggal, namun pemikiran-pemikiran Schleiermacher tetap menjadi daya tarik yang luar biasa bagi Dilthey; dia adalah orang yang mengagumi pemikiran-pemikiran Schleiermacher. Pada saat Dilthey hidup dan berkarya terjadi pekembangan yang sangat intens dalam bidang keilmuan, terutama ilmu-ilmu positif. Yang terjadi adalah berkembang juga mentalitas positivisme menguasai Zeitgeist pada saat itu. Klaim ilmu-ilmu positif adalah ilmu obyektif hanya dihasilkan oleh ilmu alam dengan pemakaian metode yang obyektif. Pada saat inilah, ilmu-ilmu humaniora, termasuk juga teologi mengalami kebingungan karena tidak dapat memenuhi tuntutan obyektifitas sebagaimana ditandaskan oleh ilmu-ilmu positif. Di tengah-tengah kebingungan ilmu-ilmu humaniora dan teologi, Diltey mengemukakan gagasan tentang hal menjelaskan dan memahami. Menurut Dilthey, ilmu alam berusaha untuk menjelaskan (to explain) gejala-gejala alam, secara lahiriah dengan memakai pendekatan empiris, yakni pendekatan yang dengannya dapat ditangkap oleh alat indrawi. Sedangkan ilmu-ilmu manusia (humaniora) berusaha untuk memahami (to understand) hal-hal yang berkaitann dengan kehidupan manusia dan pengalaman-pengalaman batin serta perwujudannya, antara lain dalam bentuk teks tertulis. 40 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Menurut Dilthey, unsur fundamental dalam hermeneutik adalah memahami ungkapan-ungkapan batin dan mengenali kembali keadaan akal budi seseorang terutama yang tercatat dan tertuang dalam bahasa. Dengan demikian memahami berarti kemampuan untuk memindahkan diri sendiri ke dalam diri orang lain agar tercapai situasi memahami. Menurut Dilthey, hal ini mungkin dilakukan dan mempunyai keabsahan. Dalam pemahaman tersebut selalu tercakup dua aspek, sebagaimana ditekankan oleh Schleiermacher, yaitu aspek obyektif (sistim budaya) dan aspek subyektif (kesadaran individual). Martin Heidegger (1889-1976) Martin Heidegger adalaf filsuf yang secara langsung mempengaruhi pemikiran-pemikiran teolog-teolog terutama Bultmann. Heidegger mengungakapkan pemikiran-pemikirannya dalam bahasa Jerman yang terkadang sangat sulit diterjemahkan dalam bahasa lain. Namun, yang sangat penting adalah pemikiran utamanya tentang Sein und Zeit (Ada dan menjadi). Dalam pandangannya manusia tidak lagi berbicara melainkan bahasalah yang berbicara (Die Sprache spricht). Karena bahasa yang berbicara maka hermeneutik menjadi penting. Malahan dapat dikatakan bahwa membicarakan tentang manusia sebenarnya merupakan hermeneutik. Dengan kata lain, menurut Heidegger, hermeneutik sebenarnya adalah filsafat itu sendiri. Gagasan dasarnya adalah bahwa manusia mewujudkan kemungkinan dalam usaha untuk memahami, mengartikan sesuatu, dan mengadakan interpretasi terhadap fenomena atau peristiwa yang melingkupinya. Heidegger mengemukakan ide yang sangat penting dalam hermeneutik yang pada waktu berikutnya sangat mempengaruhi hermeneutik biblis. Menurutnya, dalam hermeneutik selalu didasarkan pada tiga hal, yaitu: kepentingan (Vorhabe), dan praduga (Vorsicht) dan prapaham (Vorgriff, Vorverstandnis). Pemahaman terhadap teks- teks selalu bersifat sirkuler, yaitu pengertian yang memberi pemahaman seharusnya sudah memahami yang diartikan. Karena itu 41 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) dalam hermeneutik terjadi apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis. Lingkaran hermeneutik ini melibatkan aspek prapaham, yang mana hal ini tak perlu disesali malah harus disyukuri agar ada kemunginan untuk memahami sesuatu. Dikemudian hari gagasan tentang lingkaran hermeneutik menjadi populer, dengan isu bahwa masalah dalam lingkaran hermeneutik adalah bukan bagaimana bisa keluar dari lingkaran itu melainkan bagaimana bisa masuk dengan cara yang tepat. Hans-Georg Gadamer (1900- ) Hans-Georg Gadamer adalah salah satu filsuf yang bergerak dalam pemikiran-pemikiran hermeneutik yang sangat berpengaruh. Bukunya yang terkenal berjudul, Wahrheit und Methode, yang di dalamnya Hans-Georg Gadamer mempertanyakan metodologi yang dipergunakan oleh ilmu modern tetapi sekaligus menantang teori hermeneutik Dilthey. Menurut Gadamer, Dilthey cenderung mengesampingkan pengalaman yang lebih asli dari realitas, yaitu pengalaman akan keseluruhan hidup serta kebenaran yang ada di dalamnya. Hal yang serupa tidak hanya terlihat dalam gagasan- gagasan Diltey melainkan juga terlihat dalam ilmu-ilmu humaniora modern. Sambil mengkritik penggunaan metodologi yang selama ini diterapkan dalam ilmu-ilmu humaniora, Gadamer menolak metodologisme yang statis dan dogmatis. Metode bagi Gadamer tetap diperlukan tetapi tetap merupakan hal yang sekunder dan hendaknya didasari oleh kesadaran, yaitu kebenaran yang mendasar. Pemikiran hermeneutisnya dijelaskan melalui model karya seni sebagai wadah yang dapat mengungkap kebenaran, dan mengintepretasikan fakta dengan cara baru. Dalam karya seni, pemahaman terhadapnya membutuhkan keterlibatan dari si penafsir dimana tidak lagi dibedakan subyek dan obyek. Menurut Hans-Georg Gadamer, dalam realitanya interpretasi tak lepas dari berbagai macam kepentingan, antara lain kepentingan politis, sosial, ekonomis dan keagamaan yang mesti harus disadari pada saat melakukan interpretasi. 42 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Dalam pemahaman tentang hermeneutik semacam itu, memahami berarti proses masuk pada tradisi pada masa yang lampau dan yang pada masa kini dimana penafsir harus menyesuaikan diri. Dalam hermeneutik, perlu disadari akan kenyataan adanya prapaham, yakni sudut pandang dan arah yang membuka diri pada dunia masa lampau, yang merupakan kemampuan awal dalam proses memahami. Selanjutnya, untuk memahami teks dibutuhkan prapaham dan minat, dengan tujuan akhirnya ialah bersetuju dengan teks, yang pada titik inilah horison teks dan pembaca menyatu. Paul Ricoeur (1913-) Paul Ricoeur juga merupakan salah satu pemikir dalam bidang kajan hermeneutik yang sangat terkena dan berpengaruh. Dalam bukunya yang dalam bahasa Indonesia kira-kira berjudul Konflik Interpretasi- Interpretasi, Paul Ricoeur berpendapat bahwa teks adalah sederetan ungkapan dalam tulisan yang tidak diucapkan dan mengandaikan ada relasi antara pengarang dan pembaca, namun demikian tetap tidak ada dialog dan tanya jawab antara pembaca dan penulis. Maka sebenarnya soal membaca dan soal menulis tidak punya kaitan apa- apa sebab pembaca tidak hadir ketika teks ditulis oleh penulis. Begitu teks selesai ditulis, seolah-olah pengarangnya mati. Karena itu, bisa dikatakan bahwa teks bersifat abadi, maka dapat dianalisa dan diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Pendapat Ricoeur yang penting lainnya adalah bahwa dalam bahasa terdapat unsur referensial, artinya terdapat hubungan antara bahasa dengan realitas luar. Misalnya dalam percakapan, makna kata-kata yang diucapkan terkait dengan konteks, karenanya unsur referensialnya tercampur dalam gerak-gerak yang menunjukkan makna. Tetapi dalam teks tertulis, termasuk teks-teks Alkitab, unsur referensial ditunda. Maka teks sebenarnya dapat diperlakukan tanpa pengarang dan tanpa dunia. Ketika teks dicoba untuk ditafsirkan, maka di sinilah timbul gagasan tentang menjelaskan, yakni memperlakukan teks tanpa pengarang, tanpa dunia, menemukan relasi intern dan strukturnya, dan 43 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) menjelaskan sistim semiotik, dll. Mengartikan berarti mewujudkan teks seperti pada sebuah percakapan hidup. Pembaca melakukan proses aprosiasi, yakni usaha untuk menjadikan teks sebagai miliknya sendiri dan menemukan kembali apa yang dikatakan oleh teks. 44 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Bab 4 HERMENEUTIK: DARI YESUS SAMPAI KEKRISTENAN AWAL Pendahuluan Dalam bagian ini akan dikemukakan sejarah singkat tentang olah hermeneutik mulai dari Yesus, Paulus sampai pada teolog-teolog atau bapa-bapa gereja yang melakukan praktek dan mengemukakan pemikiran tentang hermeneutik. Yesus Dan Penafsiran Kitab Suci Penafsiran Kitab Suci sebenarnya telah dimulai dan dikembangkan oleh orang-orang Yahudi jauh-jauh hari sebelum Yesus lahir. Teks- teks Kitab Suci bisa ditafsirkan sebanyak 70 macam yang melambangkan jumlah seluruh bangsa-bangsa/bahasa di dunia. Teks Kitab Suci ditafsirkan oleh aliran-aliran dalam agama Yahudi, oleh ahli-ahli Taurat, tetapi juga oleh seluruh umat dengan cara mempelajarinya. Menafsirkan dalam Kaitan Dengan Perjanjian Lama Dalam Perjanjian Baru dapat diperoleh kesan bahwa Yesus juga melakukan penafsiran terhadap teks-teks Kitab Suci. Penafsiran Yesus bersumber dari teks-teks Perjanjian Lama. Dalam hal ini secara umum harus diakui bahwa tidak ada hal yang baru yang dilakukan Yesus. Walaupun demikian terdapat elemen yang baru yakni pandangan Yesus terhadap Perjanjian Lama itu sendiri. Menurut Yesus, tidak seluruh Perjanjian Lama dapat dianggap sebagai firman Tuhan. Hal ini terlihat ketika Yesus berpendapat bahwa ketetapan- ketetapan yang dibuat Musa tidaklah identik dengan firman Tuhan, bahwa Yesus melakukan penafsiran teks-teks Kitab Suci secara baru dalam kaitannya dengan konsep Kerajaan Allah, serta penegasan ajaran Yesus yang baru yakni akan hukum kasih 45 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Yesus Dan Farisi Menurut ahli-ahli, dengan melihat ajaran-ajaranNya, Yesus dianggap berdiri dekat dengan aliran Farisi. Dalam teks-teks Perjanjian Baru terlihat bahwa perdebatan sengit yang dilakukan oleh Yesus justru dilakukan dengan orang-orang Farisi. Perdebatan itu mencakup bagaimana memahami atau menafsirkan teks Kitab Suci, bukan tentang apa Kitab Suci itu sendiri. Seringnya perdebatan yang dilakukan oleh Yesus terhadap orang Farisi menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Yesus dan Farisi. Tentang Kitab Suci sendiri, Yesus mempunyai kesamaan pandangan dengan pandangan Farisi, yakni sebagai berikut: Pertama, Kitab Suci adalah berwibawa, karena diwahyukan oleh Allah. Yesus memakai kata-kata: "ada tertulis" (Mark 11:17, Mat 4:4), "belum pernah kamu baca" (Mark 2:25), Daud dengan pimpinan Roh Kudus (Mark 12:36). Tetapi disamping itu Yesus menyadari ada sisi manusiawi, misalnya surat cerai dari Musa. Kedua, Musa dianggap sebagai pengarang Taurat dan Daud sebagai pengarang Mazmur. Yesus menganggap peristiwa dalam Perjanjian Lama sebagai peristiwa yang sejati, misalnya: penciptaan (Mark 10:6), Habel dibunuh (Mat 23:35). Peristiwa-peristiwa tersebut tetap mempunyai relevansi pada zaman Yesus, misalnya, soal sabat (Mark 2:25). KritikNya terhadap orang-orang yang patuh dalam kehidupan beragama adalah bahwa orang pada saat itu pandai memelihara tetapi mengesampingkan Tuhan. Ketiga, menekankan perintah moral/etis, hubungan pribadi dengan Tuhan daripada upacara keagamaan. Soal sabat (Mark 7:1), Yesus mengutip teks yang terdapat dalam Hos 6:6, Yes 29:13. Soal Bait Suci, Dia mengutip Yes 56:7, Yer 7:2. Yesus menafsir ulang pemahaman-pemahaman iman yang sedang berkembang saat itu, misalnya tentang syema (Mark 12:29-30), dan menggabungkan hukum kasih (Mark 12:31). Hal yang sama juga terlihat dalam Khotbah di Bukit, "kamu telah mendengar… tetapi Aku berkata….” 46 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Sikap dan pendirian Yesus begitu tegas dalam kaitannya dengan kehidupan keberagamaan. Disamping itu, Yesus mengajar dengan wewenang sendiri sehingga Ia sanggup mengangkat hukum ke dalam tingkat moral yang lebih tinggi. Yesus Dan Ahli Taurat Penafsiran Yesus terhadap teks-teks Perjanjian Lama begitu dekat dengan pandangan ahli-ahli Taurat atau rabi-rabi pada saat itu. Misalnya, mengenai sumpah, “kamu telah… (Im 19:12, Kel 20:7, Bil 30:2), tetapi aku… (Yes 66:1, Maz 48:2)” terdapat dalam Mat 5:3. Hal ini mempunyai kesejajaran dengan Sirakh 23:9 yang berkata: "Jangan membiasakan mulutmu bersumpah" (Dari mazab Halakah yang lebih menekankan moral etis daripada doktrin dogmatis). Tetapi dalam Mark 12:26-27: Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, merupakan tafsiran ala haggada (lihat IV Makabe) Namun demikian Yesus dalam penafsiran terhadap teks-teks Perjanjian Lama menafsirkan secara khas juga. Khususnya tentang Kerajaan Allah, Yesus menafsirkan bahwa Kerajaan Allah sudah genap (Mark 1:15) dengan mengkaitkannya dengan teks yang terdapat dalam Yesaya 53. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kerajaan Allah ditafsirkan oleh Yesus secara mesianis. Ini merupakan hal yang unik dan melampaui penafsiran Yudaisme terhadap nubuat- nubuat PL. Dalam mengajarkan tentang Kerajaan Allah, Yesus juga menghubungkannya dengan diriNya sendiri (Mat 11:5). Tentu saja penafsiran yang demikian ditentang oleh orang sejaman. Di lain pihak Ia amat menghargai Taurat, menjunjung tinggi doktrin, dengan menegaskan “satu iota tak akan ditiadakan.” Tetapi menurut Yesus, Taurat saja tidak cukup. Taurat itu benar, baik dan kudus, tetapi kasih adalah kegenapan Taurat. Sikap Yesus teradap sabat adalah bahwa manusia itu lebih berharga dari sabat, karena itu menurut Yesus, sangat diperbolehkan menyembuhkan orang pada hari sabat. Menurut Yesus Taurat perlu ditafsirkan secara profetis, kalau tidak (Yoh 8:17), maka Taurat menjadi sekedar hukum. 47 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa baik bentuk dan isi penafsiran Yesus mirip dengan rabi sezaman, tetapi pandanganNya agak berbeda, yakni bahwa Yesus tak ragu-ragu mengkritik teks-teks Kitab Suci itu sendiri dan menafsirkannya dengan wibawaNya dan mengucapkannya sebagai Firman Allah. Hal ini terlihat, misalnya bahwa hukum kasih menerangi hukum lain. Disamping itu, Yesus berani mengatakan bahwa diriNya adalah penggenap nubuatan Perjanjian Lama. Paulus Dan Hermeneutik Paulus Dan Yesus Hubungan Paulus dan Yesus dapat digambarkan dengan berbagai macam cara. Misalnya hubungan itu bagaikan hubungan antara agama tentang Yesus dan agama Yesus. Tetapi dalam penafsiran, terdapat kontinyuitas hubungan antara Yesus dan Paulus. Dalam penafsirannya, Paulus amat mengenal ucapan-ucapan Yesus, misalnya 1Kor 11:25, 1Kor 15:3. Paulus berhutang pada komunitas Kristen yang memelihara tradisi yang berisi pengajaran dan kata-kata Yesus. Lihat penelitian Davies yang menegaskan bahwa Paulus mengenal sumber lisan atau bahkan sumber tulis yang berisi kata- kata Yesus. Seperti Yesus, Paulus menolak legalisme. Misalnya Gal 3:10, 5:14, Rom 13:4. Dia menganggap bahwa Perjanjian Lama adalah kitab pengharapan. Dia menafsirkan tidak hanya kata-kata Yesus tetapi tentang Yesus sendiri: sebagai Adam kedua, tubuh Yesus sebagai makanan rohani (1Kor 10:2). Ini merupkan pengaruh spekulasi Yahudi. Catatan Tentang Penafsiran Paulus Beberapa catatan tentang penafsiran Paulus dapat dikemukakan sebagai berikut: 48 Prof. Pdt. DR. Yusak B. Setyawan (MATS,Ph.D), Hermeneutik Perjanjian Baru (Bagian 1) Pertama, penafsiran Paulus menggunakan tipologi, khususnya hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Apa yang terdapat dalam Perjanjian Lama adalah pola, sekedar contoh. Israel adalah pola dari gereja. Kisah keluaran adalah contoh dari kehidupan orang Kristen (1Kor 10:6), Adam adalah gambaran dari Dia yang akan datang (Rom 5:14). Pemakaian kata kiasan "allegoroumena" dalam Gal 4:22-26 dapat dianggap sebagai pengaruh filsafat Yunani. Kedua, isi penafsiran Paulus bersifat Kristosentris. Seluruh Kitab Suci mengacu pada mesias yang terjanji yaitu Yesus Kristus. Kristus berkaitan dengan rencana penebusan Allah dimulai dari Israel, mulai dari kejatuhan Adam dalam dosa (Rom 5:12), kesetiaan Abraham (Gal 3:6), pemberian Taurat (Gal 3:19), sampai pada penyaliban dan kebangkitan. Tafsiran Paulus lahir dari iman dan refleksi iman akan Yesus Kristus. Ketiga, oleh Paulus dipahami bahwa Perjanjian Lama menjadi Kitab Suci karena Roh yang datang dari Allah. Tanpa itu Perjanjian Lama kehilangan maknanya sebagai Kitab Suci (2Kor 3:6, 4:3-4) Cara Mengelaborasi Teks: Pertama, Paulus bebas terhadap arti asli dari perikop yang ia kutip. Konteks teks tak penting, kadang-kadang agak sewenang-wenang menurut kacamata ahli biblika modern. Misalnya Maz 69:9 dalam Rom 15:2-3, "kata-kata cercaan", padahal mazmur tak bersifat mesianis. Tafsiran Paulus ditulis untuk mengajar dan teks-teks yang dikutip untuk memberi dasar legitimasi. Ini sebenarnya corak penafsiran rabinis, yaknni cenderung mengabaikan konteks sambil menekankan pada kata-kata tunggal. Kedua, penafsiran Paulus (atau tulisan Paulis) ditulis dalam bahasa Yunani. Tetapi selain dari itu, Paulus sedikit banyak dipengaruhi oleh filsafat Yu