🎧 New: AI-Generated Podcasts Turn your study notes into engaging audio conversations. Learn more

file_09-03-2021_60478b892285a.pdf

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

Full Transcript

KEGIATAN BELAJAR 1: CAPAIAN PEMBELAJARAN Menguasai, Memahami, menghayati dan menerapkan makna Akidah Islam tentang Al-Asmā al-Husnā yaitu: 1) Allāh; 2) al-Rahmān; al-Rahīm; 4) dan al-Mālik dengan berbag...

KEGIATAN BELAJAR 1: CAPAIAN PEMBELAJARAN Menguasai, Memahami, menghayati dan menerapkan makna Akidah Islam tentang Al-Asmā al-Husnā yaitu: 1) Allāh; 2) al-Rahmān; al-Rahīm; 4) dan al-Mālik dengan berbagai aspeknya, serta mengidentifikasi ruang lingkup akidah Islam. SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN 1. Memahami Pengertian Al-Asmā al-Husnā. 2. Memahami konsepsi tentang Allah. 3. Memahami konsepsi tentang Al-Rahman dan al-Rahim. 4. Memahami konsepsi tentang al-Malik. 5. Memahami konsepsi al-Asma Al-Husna dalam lingkup Pancasila. POKOK-POKOK MATERI 1. Pengertian Al-Asmā al-Husnā. 2. Memahami konsepsi tentang Allah. 3. Memahami konsepsi tentang Al-Rahman dan al-Rahim. 4. Memahami konsepsi tentang al-Malik. 5. Memahami konsepsi al-Asma Al-Husna dalam lingkup Pancasila. URAIAN MATERI A. Pengertian Al-Asmā Al-Husnā ْ ‫ )األ َ ْس َما ُء ْال ُح‬secara bahasa Nama-nama Allah yang Indah atau Al-Asmā al-Husnā (‫سنَى‬ terdiri dari dua suku kata, yaitu al-asmā dan al-husnā. Kata asmā merupakan bentuk jamak 1 dari mufrad (tunggal) ism yang berarti nama diri atau lafẓun yu’ayyinu syakhṣan au ḥayawānan au syaian (nama diri seseorang, binatang, atau sesuatu), sedangkan al-husnā berarti yang paling bagus, baik, cantik, jadi secara bahasa al-Asmā' al- Ḥusnā berarti nama-nama yang terbaik. Namun secara langsung, Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia mengartikan al-Asmā' al-Ḥusnā dengan nama-nama Allah yang berjumlah 99 (sembilanpuluh Sembilan). Istilah ini diambil dari beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mempunyai berbagai nama yang terbaik, melalui nama itu, umat Islam bisa mengetahui keagungan Allah dan menyeru dengan nama-nama tersebut ketika berdo’a atau mengharap kepada-Nya. Selain itu, kata al-ḥusnā menunjukkan bahwa nama-nama yang disandang Allah menunjukkan sifat-sifat yang amat sempurna dan tidak sedikitpun tercemar dengan kekurangan. Sebagai contoh, bagi manusia kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi seperti otot-otot yang berfungsi dengan baik, dengan kata lain manusia membutuhkan hal tersebut untuk memiliki kekuatan, dengan meneladani Allah Yang Maha Kuat (al-Qawiyyu). Bekenaan dengan jumlah bilangan al- Asmā' al-Ḥusnā, para ulama yang merujuk kepada al-Qur’an mempunyai hitungan yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Pakar Tafsir dari Indonesia, Muhammad Quraish Shihab, bahwa al-Thabathabai dalam tafsirnya Al- Mīzān menyatakan bahwa jumlah al-Asmā' al-Ḥusnā itu ada sebanyak 127 (seratus dua puluh tujuh) nama. Ibnu Barjam al-Andalusi lebih sedikit banyak dari al-Thabathabai menyebutkan dalam karyanya Syarh al-Asmā' Al-Husnā dengan menghimpun 132 nama populer yang termasuk dalam al-Asmā' al-Husnā. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ia menghimpun dalam bukunya Al-Kitab al-Asna fī Syarh al-Asmā' al-Husnā, hingga mencapai lebih dari dua ratus nama, baik yang sudah disepakati, maupun yang masih diperselisihkan dan yang bersumber dari ulama-ulama sebelumnya. Adapun Riwayat yang populer menyebutkan bahwa bilangan al-Asmā' al-Ḥusnā adalah sembilan puluh sembilan. Pada subbab di bawah ini, akan dipaparkan empat al-Asmā' al-Ḥusnā saja dari sembilanpuluh Sembilan, yaitu Allah, al- Rahman, al-Rahim, dan al-Malik. B. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Allah Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa kata Allah (‫ )هللا‬berasal dari kata al-Ilāh. Kata al-Ilāh (‫ )إله‬berarti menyembah (‫)عبد‬. Kata al-Ilāh juga dapat diderivasi dari kata alih (‫ )أله‬yang berarti ketenangan (‫)سكن‬, kekhawatiran (‫ )فزع‬dan rasa cinta yang mendalam (‫)ولع‬. Ketiga makna kata alih (‫ )أله‬mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan. 2 Selain itu, kata Allah bisa dilacak dari kata ilāhun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha –yalihu– laihan, yang berarti Tuhan yang Maha Pelindung, Maha Perkasa. Ilāhun, jamaknya ālihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau hamba atau budak. Dalam kamus besar bahasa Arab Lisān Al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilāhun masih umum, ketika ditambah dengan lam ma‘rifah, maka menjadi Al-ilāhun yang tiada lain adalah Allah Swt, yaitu zat yang disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya ālihatun. Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi. Quraish Shihab mengatakan kata Ilāh (‫ )إله‬disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jamak disebut ulang sebanyak 34 kali. Kata ilāh (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali. Dalam al-Quran kata ilāhun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu, ataupun dewa-dewa. Semua istilah tersebut dalam al-Quran menggunakan kata ilāhun, jamaknya ālihatun. Allah Swt. menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang kafir sebagai ilāhun (QS. Al- Furqan, 25: 43). Allah Swt. menyatakan sesembahan orang musyrik sebagai ilāhun (QS. Hud, 11: 101). Kata ilāhun dan rabbun sesungguhnya warisan bahasa Arab Kuna yang dipertahankan penggunaannya dalam al-Quran, sebagaimana contoh di atas. Orang-orang Arab sebelum Islam, memahami makna kata ilāhun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka mereka mengatakan ilāhun al-ḥubbi, dan ilāhatun al-ḥubbi untuk menyebut dewi cinta. Kaum penyembah berhala (animisme), atau aliran kepercayaan di zaman kita sekarang, sebagaimana orang-orang Arab jahiliyah, menganggap tuhan mereka berjenis kelamin, laki dan perempuan. Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan adalah kata ilāhah (‫)إالهة‬. Kata ini merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilāhah (‫ )إالهة‬selanjutnya digunakan untuk mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah kata ulāhah (‫ )األلهة‬yang berarti terik matahari yang panas. Kata ilāhah (‫)إالهة‬ juga tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan. Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan ilāhah (‫)إالهة‬ karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari. Dapat disimpulkan bahwa kata ilāh (‫ )إله‬pada awalnya berasal dari kata wilāh (‫)واله‬, yang berarti ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilāh (‫ )واله‬diderivasikanlah kata ilāhah (‫)إالهة‬ yang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya 3 berevolusi menjadi kata Allah. Menurut Ahmad Husnan, kata Ilāh yang berbentuk kata Allah mempunyai arti mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakikat zat yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang zat-Nya”. Dalam pandangan Quraish Shihab kata Allah ‫هللا‬, terulang dalam al-Quran sebanyak 2.698 kali. Ada yang berpendapat bahwa kata "Allah" disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al- Quran. Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilāh (‫ )إله‬disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali. Hal ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah dengan ibadah, dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak menyembah malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita tidak menyembah kecuali Allah semata. Ibadah kepada Allah berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan. Dengan kecintaan akan memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-Nya. Kata “Allah” merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya. Ibnu al-‘Arabi (560-638 H) menyebut dan membedakan Tuhan yang dipercayai manusia saat ini meliputi “Tuhan kepercayaan” (ilāh al-mu’taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilāh al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al- ilāh fī al-i’tiqad) “Tuhan Kepercayaan” (al-haqq al-i’tiqad), Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq al-ladzī fī al- mu’taqad) dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq a-Makhlūq fī al-i’tiqad). Allah Swt dalam pandangan Islam adalah Allāh Aḥad, bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala aspek, dan tak pernah sekalipun mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang ada dalam genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagai mana yang nampak dalam dunia materi. Keesaan ini juga menegasikan dan mensucikan Tuhan dari 4 hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu merusak kebersahajaan yang satu. Demikian juga, Ahad mengindikasikan bahwa tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhan Yang Maha Esa merupakan titik lokus utama ajaran agama Islam dalam segala aspeknya, termasuk akidah dan kalam atau teologi. Oleh karenanya tidaklah berlebihan, jika khususnya umat Islam Indonesia wajib menjaga Konstitusi Pancasila. Karena semua sila yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, terutama Sila Kesatu, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada, tak terkecuali dengan Islam. Dari konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep tentang Mu’jizat, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan. Tuhan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan pengertian sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya. Konsepsi teologi Islam tentang ketuhanan terangkum dalam QS. al-Nās/114: 1-3: ۡ ِ َّ‫ۡۡ ِإۡلَ ِۡهۡٱلن‬٢ۡ‫اس‬ ۡۡ٣ۡ‫اس‬ ۡ ِ َّ‫كۡٱلن‬ ۡ ِ َّ‫بۡٱلن‬ ِۡ ‫ۡۡ َم ِل‬١ۡ‫اس‬ ُ َ ‫قُلۡۡأ‬ ِۡ ‫عو ۡذُۡ ِب َر‬ Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia; Sembahan manusia (QS. al-Nas/114: 1-3). Berdasarkan penjelasan dalil naqli di atas, konsep ketuhanan dalam teologi Islam dikenal dengan tiga istilah, yaitu: Rab (Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilāh (Sesembahan). Kesemua sebutan tersebut untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kata "Allah" dalam al-Qur'an terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, al-Rabb, Al-Ilāh atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum atatu kewajaran beribadah kepada selain- Nya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelesan tentang tauhid. Menurut konsep Islam Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa. Ia adalah Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan hakim semesta Alam, Tuhan dikonseptualisasikan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa, hal ini 5 tercantum dalam surat Q.S. Al-Ihlas Menurut Maulana Muhammad Ali, Islamolog asal Lahore Pakistan, kata nama Allah merupakan isim jamid, tak digubah dari perkataan lain. Konsep Tuhan dalam Islam bersifat Esa, merupakan keunikan dan final sesuai dengan Pancasila, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama lain, seperti; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, meskipun sama-sama meyakini Ketuhanan. Hal tersebut juga berbeda dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang telah djelaskan Syed Naquib al-Attas bahwa: “The nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same as the conceptions of God understood in Greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as the conceptions of God understood in Western philosophical or scientific tradition; nor in that of Occidental and Oriental mystical traditions”. Konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah Yang Maha Esa, Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Attas menjelaskan “The nature of God as revealed in Islam is Derived from Revelation”. Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personifikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai juru penyelamat dengan beragam manifestasi namanya, maupun sebagai penebus dosa, Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Ruh Qudus dan sebagainya. Bukan pula seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada. Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Allah Yang Maha Esa sebagai Dzat Pencipta makhluk. Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”. Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami 6 perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal, yaitu Tuhan umat Islam adalah Allah Yang Maha Esa tiada berbilang. Allah SWT, merupakan kata agung (Lafadz al-Jalalah), nama diri (Ism Al-Dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf, yaitu ‫هللا‬. Jika huruf pertama, alif dihilangkan, tiga huruf lainnya merupakan simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunia) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah). Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala sesuatu, dan huruf terakhir, ha (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu. Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa Aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif dan lām di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilāh dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata Allah adalah satu-satunya Ism ‘Alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Konsep Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra-Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah” berarti Tuhan dalam konsepsi Injil, yang terdiri atas beberapa aknum. Ketiga, Orang-orang Arab pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan al-A’sha al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah ke arah monoteisme. Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan. Tuhan yang haq dalam konsep al-Qur’an adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al- Qur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al- 7 Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4. Menurut informasi al-Qur’an, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Qura’n adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-Qur’an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan. Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci, yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan. Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa. Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan menggunakan kalimat perintah: 8 “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada- Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.” Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-‘asmā al-husnā. Pengertian “Allah Ahad’ adalah Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Sebagian filsuf Arab, di antaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah. Menurut sebagian pakar bahasa, Allah SWT Berfirman, Qul huwa Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu Wahīd, karena kata Wahīd termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat- Nya. Dalam tradisi Ibrani atau Yahudi, Allah disebut dengan nama Yahweh. Kata ini dianggap bukan nama yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah. Dalam kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang disebut sebagai Yahweh dipermasalahkan. Herlianto mengutip pernyataan Freedman, menyatakan bahwa ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak jelas, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit yang pagan. Dengan adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi keberagaman orang Israel, dan menyatakan bahwa nama Yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani. Dari sini nampak bahwa nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga banyak menimbulkan kontroversi di antara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak menggunakan kata Yahweh sebagai sebutan nama Tuhan mereka. Sebagai gantinya, Kaum yahudi Ortodoks menggunakan sebutan Adoney atau Ha Syem. Akan tetapi penggunaan nama inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua nama tersebut dalam pengucapannya terkadang disamakan dengan Yahweh, atau Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan, bukan Tuhan. Dalam penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney, Ha syem, ataupun Yahweh. Akan tetapi juga ada sebutan lain untuk Tuhan mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah. Dalam tradisi Yunani, nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Kata El, dalam Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The Interpreters Dictionary of Bible, kata El, digunakan sebagai 9 sinonim Yahweh. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam bentuk jamak. Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara Eolah di artitikan sebagai God (Tuhan). Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat ditelusuri dalam Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-Yunani-Inggris. Dalam teks aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati (tetragramaton) saja, yaitu Y-H-W-H. Karena terdiri atas konsonan semua, tentu saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca. Namun dari berbagai sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca Yahweh, ada pula yang menyebut Yehova. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”. Misalnya pada ungkapan “Halelu-Yah” (Terpujilah Yah). Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut, berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai contoh, di negara Arab, umat kristen menyebut Tuhannya dengan Allah, seperti orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen menyebut Tuhannya dengan God atau Lord. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen Arab tidak dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral kedudukannya dalam bahasa Arab. Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama diri (proper name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan. Lafadz Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ism dzat (nama diri). Buktinya, masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama Suci (Sacred Name Movement), menolak pemakain kata Allah dalam Bible, kemudian mengganti dengan nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah bukan nama Tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7 Masehi. Oleh karena itu, lafadz Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini mengganti nama Allah dengan kata Elohim, kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan Yesua Hamsyah. Sebagaimana tradisi Yahudi, tradisi Kristen juga tidak hanya mengalamai problem dengan nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan ketuhanan Yesus. Dalam pemikiran Paulus, ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang yang saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku dan Bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak Tuhan. Para teolog Kristen pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan 10 yang transenden. Misalnya, dalam Kitab Kejadian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri Tuhan. Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea 325 diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan Bapak, Anak dan Ruhul Qudus merupakan Tuhan Kristen yang mereka sebut dengan Trinitas. Trinitas ini pun dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah Konsili Konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan problem yang misterius hingga kini. Konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen inilah yang dikoreksi oleh Islam. Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah. Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten”. Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18). Yang dimaksud dengan kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s. Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al- Qur’an. Berkenaan dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq). Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam jels- jels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif. Dalam ajaran al-Qur’an, Allah merupakan Rab (Tuhan Pemelihara) manusia dan seluruh makhluk di alam raya ini. Muhammad Ismail Ibrahim di dalam buku Mu’jam al-Alfāzh wa al-A’lām al-Qur’āniyyah menyebutkan bahwa terdapat beberapa arti kata rabb, di antaranya rabb al-walad, artinya “memelihara anak dengan memberi makan dan mengasuhnya”, rabb asy-syai’, artinya “mengumpulkan dan memilikinya”, serta rabb al-amr, “memperbaikinya”. Adapun al-Rabb adalah Tuhan dan merupakan salah satu dari nama Allah yang jamaknya arbāb. dalam bahasa Arab, kata rabb berarti “yang memiliki”, “yang menguasai”, “yang menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”, 11 “yang merubah”. Menurut Izutsu Tuhan (Allah) dalam al-Qur'an adalah satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud”, realitas di mana tidak satupun di seantero dunia ini yang dapat melawan-Nya. Secara semantik rabb adalah kata fokus tertinggi dalam kosa-kata al-Qur'an, yang menguasai seluruh medan semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb) ini dilawankan dengan kata “manusia” (‘abd atau rabbani). Sebab, manusia, sifatnya, perbuatan, psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi pusat perhatian pemikiran al-Qur'an. Dalam hal ini, bagaimana manusia bereaksi terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama. Reaksi manusia terhadap firman Tuhan sangat beragam. Manusia (al-insan) yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam al-Qur'an di sebut dengan rabbani. Dalam bahasa Arab maupun al-Qur’an istilah rabbani sama dengan rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar bentukan) yang dinisbatkan kepada rabb yang berarti Tuhan. Rabba berasal ‫ يرب‬- ‫ رب‬yang berarti: ‫نشاء الشيئ من حال الى حال الى حال الثمام‬ (Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan yang sempurna). Huruf Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan). Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT. Yaitu orang yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya yang setinggi-tingginya oleh Allah SWT. Oleh karena itu, rabbani adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani (orang yang dididik Tuhan) atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan. Jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya. Menurut Toshiko Izutsu, ia juga menemukan suatu relasi kata rabb dengan kata-kata lain yang mengindikasikan makna lain terhadap kata rabb, yakni: Tuhan yang menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara, mengawasi di samping juga memperbaiki segala hal, pemimpin, kepala yang diakui kekuasaannya yang berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan, ia juga bermakna raja dan pemilik. Makna-makna ini adalah relasi rabb dengan sifat-sifatnya. Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya unsur mengesakan Allah Swt, dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (Q.S: Al-Zumar: 62; al-Fathir: 3; al-Mulk: 1; al-A’raf: 54). Menurut Ibnu Qoyyim konsekuensi Rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejahatannya. Rabb adalah"Tuhan Sang 12 Maha Pencipta", yang meciptakan keseluruhan alam ini tidak hanya sekedar menciptakan tetapi juga di maksudkan sebagai " Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak lepas dari kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha Pengatur". Dari sisi pengakuan, tidak hanya kaum muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di dunia barat tidak secara formal beragama tetapi mereka mengakui adanya "Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta. C. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Rahmān dan Al-Rahīm Kata al-Rahmān (‫ )الرخمن‬berasal dari kata Rahīma (‫ )رخيم‬yang artinya menyayangi atau mengasihi yang terdiri dari huruf Rā, Hā, dan Mim, yang mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang, dan kehalusan. Di dalam al-Qur’an kata al-Rahmān terulang sebanyak 57 kali, sedangkan al-Rahīm (‫ )الرخيم‬sebanyak 95 kali. Apa arti al-Rahmān? Dalam bahasa Inggris, seringkali kata yang digunakan untuk menerjemahkan al-Rahmān adalah merciful atau benefactory. Namun ada yang perlu kita pahami, bahwa kedua kata tersebut tidak bisa untuk secara sempurna menggantikan makna kata al-Rahmān. Mercy itu maknanya kasih yang diberikan ketika seseorang melakukan suatu kesalahan, padahal al-Rahmān itu tidak hanya diberikan setelah seseorang melakukan kesalahan. Lalu kata benefactory sendiri, hampir tidak pernah dipakai di keseharian, padahal seharusnya terjemahan membuat kita lebih paham. Al-Rahmān salah satunya berasal dari akar kata al-Rahm, saat seorang perempuan hamil, tempat janin bayinya disebut dengan rahim. Disebut rahim karena janin tersebut dirawat, dilindungi, disayangi dalam berbagai hal. Hubungan sang ibu dan sang bayi kurang lebih seperti ini: 1) Apakah bayi tersebut mengenal/tahu ibunya? Tidak. 2) Apakah bayi tersebut sudah punya rasa cinta/sayang ke ibunya? Tidak. 3)Apakah ibunya sudah memperhatikan, melindungi dan merawat bayinya? Yes, in every way. The entire life of the child is taken care of by the mother. Dan bayi tersebut tidak tahu sama sekali bahwa ia sangat disayangi, bahwa ibunya mau melakukan banyak hal untuk bayinya, juga melindunginya dari setiap bahaya. Kata rahim tersebut melahirkan kata al-Rahmān. Seseorang yang memiliki rahmah, adalah seseorang yang memiliki rasa kasih sayang kepadamu (have compassion towards you), seseorang yang lembut dan mempermudah dirimu (want to be soft and easy with you). Ada saat-saat dimana kita akan mempertanyakan kasih sayang Allah kepada kita. Saat itu, mungkin adalah hari berat dalam hidup kita, saat itu, mungkin iman kita sedang begitu rendah. Saat itu, 13 mungkin juga kamu perlu lagi menengok makna al-Rahmān, mencoba berbaik sangka dan memikirkan kasih sayang dalam bentuk apa yang Allah sedang berikan kepada kita, juga memikirkan betapa banyak hal buruk yang bisa terjadi pada kita, namun Allah menjaga kita dari hal-hal tersebut. Lafaz al-Rahmān dan al-Rahīm keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar al-Rahmān dengan maksud mubalagah; lafaz al-Rahmān lebih balig (kuat) daripada lafaz al-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, " al-Rahmān artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan al- Rahīm artinya Yang Maha Penyayang di akhirat." Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman: ‫َوكانَ بِ ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ِحيما‬ Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa al- Rahmān adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani Al-Qur'an, bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, al-Rahīm adalah nama Arab, dan al- Rahmān nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan, pendapat ini tidak disukai. Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‫ص ْلتُهُ َو َم ْن‬ َ ‫شقَ ْقتُ َل َها اسْما ِمنَ اس ِْمي فَ َم ْن َو‬ َ ‫صلَ َها َو‬ ‫ أَنَا ه‬:‫َّللاُ تَعَالَى‬ ‫الر ْح َم ُن َخلَ ْقتُ ه‬ َ ‫الر ِح َم َو‬ ‫قَا َل ه‬ َ َ‫ط َع َها ق‬ ُ‫ط ْعتُه‬ َ َ‫ق‬ Allah Swt. berfirman, "Akulah al-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang 14 siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya. Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis di atas mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orang- orang Arab ingkar terhadap nama al-Rahmān karena kebodohan mereka terhadap Allah dan apa-apa yang diwajibkannya. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz al-Rahmān dan al-rahīm mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapan “rajulun gadbanu” ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful. Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa al-Rahmān adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan al- rahīm hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: ‫َو َكانَ ِب ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ِحيما‬ Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain. Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu: ِ ‫علَى ْالعُ ْن‬ ‫ف‬ ِ ‫الر ْف‬ َ ‫ق َما َال يُ ْع ِطي‬ َ ‫الر ْفقَ ويعطي‬ ِ ‫علَى‬ ٌ ‫َّللاَ َر ِف‬ ِ ُّ‫يق ي ُِحب‬ ‫ِإ هن ه‬ Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang kasar. Ibnul Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis 15 yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al- Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: ‫َم ْن لَ ْم يَسْأ َ ِل ه‬ َ ‫َّللاَ َي ْغ‬ ‫ضبْ عليه‬ Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya. Salah seorang penyair mengatakan: ‫ي آدَ َم حين يسأل يغضب‬ َ ُ‫س َؤالَه‬ ُّ ‫وبُ َن‬... َ ‫ب ِإ ْن ت َ َر ْك‬ ُ ‫ت‬ َ ‫َّللاُ َي ْغ‬ ُ ‫ض‬ ‫ه‬ Allah murka bila kamu tidak meminta kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta pasti marah. Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya At- Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, " al-Rahmān artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin), sedangkan al-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin." Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya: ‫علَى ْالعَ ْر ِش‬ َ ‫ث ُ هم ا ْستَ َوى‬ Kemudian Dia ber-istiwa di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan: 59). Di dalam firman lainnya disebutkan pula: ‫علَى ْال َع ْر ِش ا ْستَوى‬ ُ ‫الر ْح‬ َ ‫من‬ ‫ه‬ Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy. (Thaha: 5). Allah menyebut nama al-Rahmān untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman: Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). Maka Dia mengkhususkan nama al-Rahīm untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih-sayang, mengingat kasih sayang bersifat umum —baik di dunia maupun di akhirat— bagi semua makhluk-Nya. Sedangkan lafaz al-Rahīm dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi, memang 16 di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat". Nama al-Rahmān hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada selain-Nya yang berhak menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam firman-Nya: ‫عوا فَلَهُ ْاألَسْما ُء ْال ُحسْنى‬ ُ ‫الر ْحمنَ أَيًّا َما ت َ ْد‬ ُ ‫َّللاَ أ َ ِو ا ْد‬ ‫عوا ه‬ ‫عوا ه‬ُ ‫قُ ِل ا ْد‬ Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). Dalam ayat lainnya lagi Allah Swt. telah berfirman: َ‫من آ ِل َهة يُ ْعبَد ُون‬ ِ ‫الر ْح‬ ِ ‫س ِلنا أ َ َجعَ ْلنا ِم ْن د‬ ‫ُون ه‬ ُ ‫س ْلنا ِم ْن َق ْب ِل َك ِم ْن ُر‬ َ ‫َو ْسئ َ ْل َم ْن أ َ ْر‬ Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah!" (Az-Zukhruf: 45). Ketika Musailamah Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasi-nya, dia menamakan dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya terkenal dengan julukan al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut melainkan dengan panggilan Musailamah al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang Sahara. Sebagian ulama menduga bahwa lafaz al-Rahīm lebih balig dari-pada lafaz al-Rahmān, karena lafaz al-Rahīm dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan tentangnya tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz al-Rahmān tidak layak disandang selain Allah Swt. Karena Dialah yang pertama kali menamakan diri-Nya al-Rahmān hingga selain-Nya tidak boleh menyandang sifat ini. sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam firman-Nya: Katakanlah, ‫عوا فَلَهُ األ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬ ُ ‫الر ْح َمنَ أَيًّا َما ت َ ْد‬ ُ ‫َّللاَ أ َ ِو ا ْد‬ ‫عوا ه‬ ‫عوا ه‬ُ ‫قُ ِل ا ْد‬ 17 "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya dengan sebutan "al-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia. Adapun lafaz al-Rahīm, maka Allah Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: ٌ ‫علَ ْي ُك ْم بِ ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ُؤ‬ ‫ف َر ِحي ٌم‬ ٌ ‫علَ ْي ِه َما َعنِت ُّ ْم َح ِر‬ َ ‫يص‬ َ ‫سو ٌل ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم‬ ٌ ‫ع ِز‬ َ ‫يز‬ ُ ‫لَقَ ْد جا َء ُك ْم َر‬ Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128). Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya: ‫صيرا‬ َ ُ‫ط َف ٍة أ َ ْمشاجٍ نَ ْبت َ ِلي ِه َف َجعَ ْلناه‬ ِ َ‫س ِميعا ب‬ ْ ُ‫اْل ْنسانَ ِم ْن ن‬ ِ ْ ‫إِنها َخلَ ْقنَا‬ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2). Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, al- Rahmān, al-Razīq, dan al-Khalīq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan al-Rahmān karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz al-Rahīm. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus. Jika ditanyakan, "Bila lafaz al-Rahmān lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz al-Rahīm juga disebut, padahal sudah cukup dengan menyebut al-Rahmān saja?" Telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya dengan sebutan al-Rahmān selain Dia, maka didatangkanlah lafaz al-Rahīm untuk membantah dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati dengan julukan al-rahmānirrahīm kecuali hanya Allah semata. Demikian yang diriwayatkan 18 oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya. Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal kata al-Rahmān sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firman- Nya: ‫عوا فَلَهُ األ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬ ُ ‫الر ْح َمنَ أَيًّا َما ت َ ْد‬ ُ ‫َّللاَ أ َ ِو ا ْد‬ ‫عوا ه‬ ‫عوا ه‬ُ ‫قُ ِل ا ْد‬ Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan —yaitu ketika Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian) kata bismillāhirrahmānirrahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)?"— mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal al-Rahmān, tidak pula al-Rahīm." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak mengenal al-Rahmān kecuali Rahmān dari Yamamah" (maksudnya Musailamah Al-Kazzab). Allah Swt. telah berfirman: ‫من أ َ َن ْس ُجد ُ ِلما تَأ ْ ُم ُرنا َوزادَ ُه ْم نُفُورا‬ ‫من قالُوا َو َما ه‬ ُ ‫الر ْح‬ ‫َوإِذا قِي َل لَ ُه ُم ا ْس ُجد ُوا ِل ه‬ ِ ‫لر ْح‬ Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60). Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah Rahmān. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan syair berikut: ‫الر ْح َم ُن َر ِبي يَ ِمي َن َها‬ ‫ب ه‬ َ َ‫ أ َ َال ق‬... ‫ت تِ ْل َك ْالفَتَاة ُ ه َِجي َن َها‬ َ ‫ض‬ َ ‫أ َ َال‬ ْ َ‫ض َرب‬ Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan kanannya? 19 Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya: ‫ق‬ ْ ‫الر ْح َم ُن يَ ْع ِقد ُ َوي‬ ِ ‫ُط ِل‬ ‫ش ِأ ه‬ َ ‫علَ ْي ُك ُم‬ َ َ‫و َما ي‬... َ ‫عجلتم علينا إذ عجلنا‬ Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus hubungan). Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rahmān adalah wazan fa'lana dari lafaz Rahmān, dan ia termasuk kata-kata Arab. Ibnu Jarir mengatakan, al-rahmānirrahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni mempunyai makna yang sama. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang dilarang bagi selain Dia menyandangnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang tiada seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya dengan isim ini. Muhammad Quraish Shihab menyatakan cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik al-Rahmān maupun al-Rahīm terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahmān, Aku menciptakan rahīm, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (HR. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin ‘Áuf). Quraish menguatkan pendapatnya dengan mengetengahkan pendapat menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang 20 melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya. Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat dinamai rahim. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna. Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih – sebagaimana rahmat Allah – tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”. Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt. Masih menurut Quraish Shihab, menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh al- Rahmān pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut – tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya, sebagai pengejewantahan dari 21 rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”. Sedang buah al-Rahīm menurut Al-Ghazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali. Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah al- Rahmān (Pemberi Rahmat) karena Dia al-Rahīm (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya. Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari bacaan al-Rahmān dan al-Rahīm. Sejak kecil kita sudah diajarkan oleh orang tua atau guru kita untuk memulai segala sesuatu dengan membaca Bismillah, namun Bismillah yang kita baca tidak lebih dari sebuah keyaqinan kita tentang keagamaan yang paling terkesan dimasa kanak-kanak dan merupakan kebiasaan yang kita bawa hingga dewasa dan naïfnya kebiasan itu tetap stagnan tanpa pemahaman lebih mengenai makna Bismillah yang sesungguhnya. Padahal Bismillah bukan hanya ajaran Islam semata, bukan doktrin yang tanpa makna, melainkan adalah sebuah kalimat yang sarat akan makna dan tersaji husus untuk ummat Muhammad demi kebaikan ummatnya. Rosulullah meskipun bergelar al-ummi tapi beliau tidak bodoh. Karena ada Tuhan Allah Yang Maha Cerdas, Maha Baik dan bijaksana dibalik semua ajaran dan anjurannya. Sehingga dalam memerintahkan segala sesuatu pasti ada hikmah dan tujuannya yang tentu saja untuk kebaikan kita sebagai ummatnya, termasuk didalamnya adalah perintah berbismillah dalam memulai setiap aktivitas atau kegiatan yang kita lakukan. 22 Berangkat dari itu maka rasionalisasi bismillah menjadi sangat penting. Rasionalisasi yang saya maksudkan adalah bagaimana konsep membaca bismilah sebelum melakukan aktivitas seperti yang di anjurkan dalam Islam adalah sebuah teory yang logis dalam menghasilkan energy positif bagi manusia yang produktif, khususnya sebagai khalifah di atas bumi ini. Rasionalisasi bismillah adalah proses dimana bismillah ternyata adalah konsep yang pas bahkan bagi manusia yang mendewakan logika modernitas. Salah satunya adalah bahwa bismilah ternyata bersinergi dengan konsep ilmu perencanaan, bahkan lebih komplit dalam cara pandangnya karena harus melibatkan kekuatan memandang dengan mata pikiran dan mata hati. Sebab ketika Bismillah menjadi point penting dari prilaku dan akhlaq nabi Muhammad, maka pastilah mengandung kebaikan bagi ummatnya dan itu berlaku tak kenal waktu tak pandang sekarang nanti atau dulu. Kebaikan dan efektifivas Bismillah bukan saja mengantar kita pada ke Khusu’an beribadah, tapi juga dalam memberi pencerahan pemikiran dan kepribadian yang kita butuhkan untuk sampai pada gerbang kesuksesan baik financial maupun spiritual. Seorang Maxwell Maltz menuturkan bahwa kita harus mengusahakan diri kita memiliki ke-7 ciri kepribadian untuk bisa menjadi manusia yang sukses menjalani hidup di dunia. Diantaranya adalah Sense of Direction, Understanding, Courage, Chairty, Self-Acceptance, Self-Confidence. Esteem (Self-Esteem). Dari ketujuh pandangan Maxwell Maltz tersebut sebenarnya secara tersirat sudah diajarkan oleh Bismillah yang kita baca setiap harinya. Bahkan bismillah jauh lebih sempurna memandang arti kesuksesan itu, karena bismillah juga mengajarkan kita bagaimana kita mampu menikmati kesuksesan tersebut dengan konsep bahagia dalam hidup bahkan membawanya hingga ke surga yang kita yaqini adanya. Bismillah seperti kunci gerbang utama menuju kesempurnaan akhlak kita sehingga dengan kunci itu kita bisa membuka pintu sukses kepribadian kita untuk menjadi kaya, bahagia dan masuk surga. Dalam prakteknya untuk bisa sampai pada titik pengertian itu memang dibutuhkan kemampuan berfikir dan kematangan memaknai bismillah itu sendiri, dan buku ini setidaknya akan membawa kita pada ranah pemikiran dan pemaham tersebut. Singkat memang, tapi setidaknya akan dapat membuka cakrawala berfikir kita di dalam ruang-ruang tafakkur kita. Soekarno, Presiden Pertama Indonesia berpendapat bahwa kata-kata rahman, rahim yang merupakan sifat prerogatif Tuhan menunjukkan pada kasih sayang Tuhan, namun makna yang jauh berbeda. Kata-kata al-Rahman menurutnya berarti ‘pemurah’ atau kemurahan Tuhan untuk memberikan sesuatu kepada manusia sekalipun manusia tidak beramal kepada Tuhan. Dengan kata lain, al-Rahim menunjukkan kepada pemberian Tuhan sebagai ganjaran dari amal 23 yang diperbuat manusia. Tanpa amalan maka manusia tidak akan memperoleh ganjaran apa- apa. Soekarno memberi contoh dari sifat al-Rahman Tuhan sebagai berikut: “Misalnya kita diberi tanah air oleh Tuhan. Kita di-procotkan (dilahirkan, pen.) dari gua qardha ibu, tidak didasar laut, atau tidak di awang-awang, dirgantara. Tidak dirgantara itu angkasa, itu yang dinamakan oleh Ki Dalang Dirgantara. Tidak, kita dilahirkan dalam suatu keadaan yang di situ ada buminya, yang kita bisa hidup di atasnya, yang di situ ada air yang kita bisa hidup. Pendek kata yang dengan satu perkataan, kita simpulkan dengan perkataan tanah air. Salah satu kerahmanan Tuhan kepada kita”. Dapat disebut bahwa bagi Soekarno tanah air adalah merupakan pemberian Tuhan sebagai aplikasi dari rahmān Tuhan. Oleh karenanya, manusia berkewajiban memelihara dan mempertahankannya. Pemikiran Soekarno tersebut dapat dipahami bahwa Soekarno ingin membangkitkan dan membakar semangat juang rakyatnya dalam membela negara. Hal ini sangat beralasan karena dalam lanjutan pidatonya, Soekarno menyebutkan, “Tanah air ini, saudara-saudara diancam bahaya. Tuhan perintahkan kepada kita, hai buatlah tanah airmu ini terhindar dari bahaya, tanah air ini adalah satu amanah Tuhan dan diancam tanah air ini oleh bahaya, kewajiban kita untuk menyelamatkannya dari bahaya”. Selain itu Soekarno juga berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kesenangan, karena kesenangan menjalankan sifatnya itu pulalah Tuhan menurunkan agama, oleh karenanya manusia berkewajiban membuat senang kepada Tuhan, yakni dengan cara menjalankan agama, dan menjalankan amar ma’rūf nahī munkar sebagai kewajiban yang diperintahkan Allah. Tuhan bisa menjalankan rahmaniah-Nya. Antara lain terhadap tanah air dan masyarakat ini. D. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Malik Setelah al-Rabb, maka sifat Allah yang menyusul adalah al-Malik (‫)الملك‬, yang secara umum diartikan raja atau penguasa. Penempatan susunannya seperti ini sejalan dengan penempatannya dengan sekian banyak ayat al-Qur'an, antara lain pada surah al-Fatihah dan surah al-Hasyar. Oleh karena rahmat yang dicurahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan yang dilukiskan dengan kata Raḥmān itu disebabkan karena Dia juga Raḥīm, memiliki sifat Raḥmān yang melekat pada diriNya. Namun siapa yang memiliki sifat rahmat, belum tentu memiliki sifat kekuasaan dan hanya Allah yang memiliki yakni memiliki kekuasaan dan kerajaan serta kepemilikan. Kata "Malik" mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Kata "Malik" yang biasa diterjemahkan raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan. Karena itu, biasanya kerajaan terarah kepada manusia, tidak kepada barang 24 yang sifatya tidak dapat menerima perintah dan larangan. Salah satu kata "Malik" dalam al- Qur'an adalah yang terdapat dalam surah al-Nās, yakni "Malik al-nās" (Raja manusia). Dalam Al-Qur'an, tanda-tanda kepemilikan kerajaan adalah kehadiran banyak pihak kepadaNya untuk bermohon agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan persoalan- persoalan besar agar dapat tertanggulangi. Allah SWT melukiskan betapa Yang Maha Kuasa itu melayani kebutuhan makhlukNya. Sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur'an: "Setiap yang di langit dan di bumi bermohon kepadaNya. Setiap saat dia dalam kesibukan (memenuhi kebutuhan mereka) (QS. al-Rahmān ayat 29). Kata "Malik" terdiri dari tiga huruf yakni Mim, Lam, dan Ka. Yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan keshahihan. Kata Malik pada mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata Malik terulang di dalam al-Qur'an sebanyak 5 (lima) kali, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata "hak" dalam arti yang "pasti dan sempurna," yaitu terdapat dalam surah Thaha ayat 114 dan surah al-Mukminun ayat 122, “Dan adapun kerajaan Allah mencakup kerajaan lagit dan bumi.” Allah berfirman dalam surah al- Zukhruf ayat 85: "Maha suci Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Disisi-Nya pengetahuan tentang kiamat dan hanya kepada- Nya kamu di kembalikan". Demikian pula Allah juga pemilik kerajaan akhirat, hal tersebut terdapat dalam surah al-an'am ayat 73 dan surah al-Hajj ayat 56: "Dan milikNya kerajaan/kekuasaan pada hari ditiup sangkakala " "Kerajaan pada hari itu (kiamat) adalah milik Allah". Imam Al-Gazali menjelaskan arti "Malik" yang berarti raja yang merupakan salah satu nama Asmaul Husna dengan menyatakan bahwa "Malik" adalah yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang wujud, bahkan Dia adalah yang butuh kepadaNya segala sesuatu yang menyangkut segala sesuatu, baik pada zatNya, sifatNya, wujudNya dan kesinambungan eksistensinya. Bahkan wujud segala sesuatu, bersumber dari-Nya, atau dari sesuatu bersumber dari-Nya. maka segala sesuatu selain-Nya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan membutuhkanNya. Demikianlah itu raja yang mutlak". Disini terlihat perbedaan antara "Malik" yang berarti "Raja" dan "Maalik" yang diartikan "pemilik". Seseorang pemilik belum tentu menjadi raja, sebaliknya pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja. Oleh karenanya, Allah adalah raja sekaligus pemilik. Kepemilikan Allah berbeda dengan kepemilikan makhluk/manusia. Allah swt berwewenang penuh untuk melakukan apa saja terhdap apa yang dimilikiNya. Al-Mulku berakar pada kata mim, lam, dan kaf yang mengandung makna pokok “keabsahan dan kemampuan”. Dari makna yang pertama terbentuk kerja malaka – yamliku – mulkan artinya menguasai. Dari sini diperoleh kata malik dan mulk masing-masing artinya raja dan 25 kekuasaan. Dalam al-Qur’an penggunaannya bisa dilihat pada surat Al-Baqaraah ayat 247. “Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Alloh telah membangkitkan untuk kamu Thalut sebagai “malik” Mereka menjawab, “Bagaimana ia mempunyai mulku atas kami, padahal kami lah yang berhak memegang mulki darinya, karena ia tidak memiliki kekayaan”. Ayat ini menceritakan penolakan Bani Israil atas kepemimpinan Thalut, karena memandang Thalut tidak memiliki apa yang menurut mereka menjadi syarat kepemimpinan. Menurut ilmu politik dan ilmu Negara sendiri malik, dalam hal ini adalah raja, diartikan sebagai seorang yang mewarisi kekuasaan dari penguasa sebelumnya, kekuasaannya disebut mulk, kerajaan. Pengertian Malik menurut al-Qur’an adalah lebih luas, ia bermakna raja, tapi juga pemilik kekuasaan, artinya bukan hanya penguasaan akan tetapi juga kepemilikan. Pengertian tersebut dapat di lihat dalam QS. 3: 26; “Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai Tuhan yang memiliki kekuasaan! Engkaulah yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah juga yangmemuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan Engkau sajalah adanya segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Dalam ayat tersebut digambarkan bahwa Alloh pemilik dari kekuasaan (malik-ul mulki) dan memberikan dan mencabut kekuasaan tersebut kepada siapa yang dikehendakinya. Sedangkan dalam QS. 59: 23, dikatakan bahwa Alloh adalah Al-Malik. Dengan melihat ayat tersebut bisa kita simpulkan bahwa suatu kekuasaan hakekatnya adalah milik Alloh SWT dan manusia hanyalah berkuasa dengan izin dari Alloh SWT. Ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan kata ini secara umum, artinya tidak hanya merujuk kepada suatu kekuasaan politik saja. E. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā dalam Pancasila Konsepsi teologis dalam Pancasila tidak bisa dipahami dalam vacuum, sebab konsepsi teologis Pancasila, betapapun murni dan transendentalnya, dihasilkan oleh para pemikir yang hidup dalam semangat zaman tertentu. Apa yang kemudian dikenal sebagai Pancasila saat ini, dirintis dalam beberapa tahapan zaman yang diwarnai oleh gerakan-gerakan sosial-politis bahkan teologis yang sangat kritis terhadap zaman sebelumnya. Dalam hal ini, menurut penulis, sangat penting untuk menelusuri konsepsi teologis Pancasila menurut perumus Pancasila itu sendiri, yaitu Soekarno, untuk dijelaskan kepada generasi penerus bangsa melalui Pancasila. Soekarno dalam berbagai karyanya, baik ceramah maupun tulisan, banyak mengungkapkan tentang teologi Pancasila, terlebih lagi tentang teologi Islam. Soekarno menyampaikan 26 pidatonya di Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, ketika itu Soekarno menjelaskan tentang prinsip teologi atau Ketuhanan dalam penyusunan dasar negara: “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut pentunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan, jalannya agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.” Bagi Soekarno, Tuhan adalah kekuatan, kekuatan yang tidak ada tandingannya. Oleh karenanya, Soekarno menghendaki negara Indonesia merupakan negara yang memiliki teologi ketuhanan, bukan seluleristik ataupun ateistik. Namun demikian, temuan penulis, teologi bagi bangsa itu merupakan suatu bentuk berketuhanan yang dicirikan oleh dua corak teologi, yaitu: berkebudayaan dan berperadaban. Teologi berkebudayaan merupakan suatu corak teologi yang inklusifistik, dengan tiada egoisme agama. Teologi yang berkeadaban, suatu teologi yang pluralis, saling hormat-menghormati antar satu agama ataupun keyakinan yang tumbuh- kembang di Nusantara ini. Uniknya, malah Soekarno menganggap suatu keanehan bahwa ada orang yang berpendapat, orang yang intelek tidak percaya adanya Tuhan (ateistik). Karena, menurut Soekarno, makna intelek itu adalah otak, atau orang intelek itu adalah orang yang berpendidikan. Selanjutnya Soekarno menganggap, beliau dianggap intelek karena telah menyandang gelar insinyur dan 16 doktor dari berbagai jurusan ilmu, serta mendapat gelar professor. Pernah ada yang bertanya, “Bung Karno yang intelek, yang professor dan menyandang 16 doktor, mengapa percaya adanya Tuhan? Apa bukti adanya Tuhan?” Dengan lantang dan penuh keyakinan, Soekarno memberi jawaban: “Ya, jikalau saya harus membuktikan kepada saudara bahwa Tuhan itu ada, saya tidak bisa, tetapi bisa membuktikan kepada diriku sendiri, kepada ku sendiri bahwa Tuhan ada, bahkan saya sering bercakap-cakap dengan Tuhan. Saya sering meminta kepada zat itu, itupun belum merupakan bukti Tuhan itu ada. Bahwa saya sering meminta kepada zat itu dan zat itu memberikan kepadaku apa yang kuminta. Nah, itulah bagiku satu bukti yang nyata bahwa Tuhan itu ada”. Selanjutnya Soekarno menjelaskan, beliau sering memohon sesuatu kepada zat yang dinamakan Allah Subhanahu wata’ala, dan apa yang Soekarno minta diberikan. Oleh 27 karenanya, bagi Soekarno itu sudah merupakan bukti yang kuat, yang teguh, yang nyata, yang tidak dapat dibantah bahwa yang Soekarno minta itu ada, bahwa Tuhan itu pasti ada. Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam setiap pidatonya selalu memuji dan mengharapkan pertolongan Tuhan. Sebagai contoh ketika Soekarno berceramah dihadapan para mahasiswa di Universitas Katolik Bandung, tanggal 16 Januari 1961: “Nah, saya yang di dalam hal yang demikian itu, sebagai tadi saya katakana, selalu, ya, mohon dari taufik hidayah daripada Tuhan, mana ada kekuatan yang lebih besar daripada yang berasal daripada Tuhan? Saya selalu berkata di dalam pidato-pidato saya, bahwa dengan bantuan Tuhan saya bisa menyelenggarakan ini, tanpa bantuan Tuhan saya tidak bisa menyelenggarakan ini, saudara-saudara”. Seandainya orang ingin menjumpai dengan Tuhan, orang itu tidak harus naik setinggi- tingginya, cukup hanya turun ke dalam hatinya, demikian menurut Soekarno. Manusia dianugerahkan akal atau rasio oleh Tuhan. Dengan rasionya manusia mampu menciptakan alat- alat canggih yang dapat membawa manusia naik ke langit, dapat sampai ke planet yang manusia inginkan. Otak manusia semakin berkembang, namun menurut Soekarno setinggi apapun perkembangan otak manusia itu tidak akan mampu menjadikan manusia dapat bertemu dengan Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad yang dapat berhadapan langsung dengan Tuhan, itu pun atas seizin Allah. Menurut Soekarno sebagaimana disampaikan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara, pada tanggal 16 Januari 1961: “Kalau kita hendak menjumpai Tuhan saudara-saudara, meskipun kita memakai explorer, meskipun kita memakai sputnik, meskipun kita memakai alat perkakas apapun yang kita bisa sampai mendarat di bintang-bintangnya Bima Sakti, kalau kita tidak turun di dalam hati kita malahan kita tidak akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala. Profesor botak yang membikin perkakas, atau ingenieur botak yang membikin perkakas yang membawa manusia ke bulan, belum tentu dia berjumpa dengan Tuhan; tetapi ambillah orang yang hina-hina, kadang-kadang dia berjumpa dengan Tuhan meskipun dengan tidak dengan dia punya pancaindera”. Menurut Soekarno yang penting bagi manusia untuk dapat berjumpa dengan Tuhan adalah dalam rangka meningkatkan keimanan. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan itu Esa, tetapi ada di mana-mana. Siapa saja yang berkeinginan untuk bertemu dengan Tuhan, tidak harus manusia naik ke langit setinggi-tingginya dengan memakai berbagai macam peralatan. Manusia boleh saja bercita-cita untuk dapat bertemu dengan Tuhan Sang Pencipta, namun menurut Soekarno manusia harus turun, turun ke sini (dengan penuh keyakinan sambil Soekarno menunjuk ke dadanya), turun ke dalam hatinya. Soekarno bicara tentang hati, berbicara soal hati berarti berbicara soal keimanan. Iman menyangkut hati seseorang, 28 menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan. Manusia merupakan hamba Allah, berarti manusia harus selalu menyesuaikan kepada keinginan Tuhannya. Keyakinan akan menjadikan manusia untuk selalu berbuat baik, baik untuk dirinya, manusia, dan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan penghambaan manusia kepada Tuhan dikarenakan manusia merupakan makhluk yang dhaif. Bagi Soekarno, tanpa adanya keyakinan pastilah seseorang tidak akan mampu bertemu dengan Tuhannya, sekalipun memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Kemudian Soekarno juga menegaskan bahwa manusia hanya dapat berjumpa dengan Tuhannya apabila telah mengerjakan segala yang diperintahkan Tuhan dan meninggalkan segala larangannya. Selain itu, dapat dipahami bahwa kalimat “berjumpa dengan Tuhan” yang dimaksud oleh Soekarno adalah mampu merasakan bahwa Tuhan itu ada, dan yakin sekalipun manusia tidak dapat melihat Tuhan dan tentu Tuhan melihatnya. Dengan demikian berjumpa dengan Tuhan bukanlah dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam makna majazi, sebagaimana ungkapan Soekarno di atas. Islam menghendaki agar supaya manusia sujud kepada Tuhan, mem-persatukan diri dengan Tuhan, tetapi juga mempersatukan dengan semua manusia, dan dalam Islam bahkan banyak hukum yang mengatur antara sesama manusia, menjadikan manusia sebagai insan masyarakat. Manusia diberi hak oleh Tuhan untuk menjadi makhluk yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Islam tidak mengajarkan setiap manusia untuk mementingkan diri sendiri, di sinilah menjadikan Islam sebagai agama kemanusiaan. Menurut Soekarno, dalam ajaran Islam banyak sekali membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Menurut agama Islam, manusia dilatih dan dididik dalam rangka mempersiapkan manusia untuk kemasyarakatan. Oleh karenanya, manusia ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang tinggi derajat dan martabatnya. Yang mempersatukan manusia dengan Tuhannya. Faisal Ismail dalam Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila (1995), sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Arif, Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menjelaskan, Bung Karno menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Ahad sebagai basis etik keempat sila di atasnya. Sebab di dalam pemikirannya, Pancasila memiliki dimensi politik dan etis. Dimensi politik merupakan tugas utama Negara meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan kesejahteraan sosial. Sisi dimensi etis bersifat religius karena sejak awal, bangsa Indonesia berketuhanan. Menurut Bung Karno dan dalam Pancasila, kebangsaan ini tidak menegasikan atas Islam. Tapi, menjadi 29 blok historis yang memayungi semua ideologi, demi satu cita-cita: merdeka. Ini juga terkait dengan sum-sum ide Pancasila itu sendiri yang merupakan sintesis antar-ideologi. Sintesis ini terjadi tidak hanya demi kompromi politik antargolongan, melainkan cerminan dari cara pikir masyarakat yang eklektik. Islam selalu memberi dan menerima dari nasionalisme dan sebaliknya. Menurut Syaiful Arif, konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat strategis baik bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis. Konsepsi itu merujuk pada hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak, sekaligus mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan beragama dan memfasilitasi kehidupan sosialnya. Sementara itu, agama menguatkan negara melalui pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik. Persis seperti ditegaskan Imam al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak bisa hidup, tanpa lainnya. Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara melindunginya. Keselarasan antara konsepsi Pancasila dan Islam ini juga terdapat pada desain politik yang diawali transendensi (ketuhanan) dan diakhiri transformasi (keadilan sosial). Inilah alasan Kuntowijoyo menyebut demokrasi Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan. Di dalam desain ini, makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan sosial. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila sepadan dengan worldview nilai teologi Islam berupa prinsip tauhid. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu bentuk tanda keimanan seluruh rakyat Indonesia. Iman menyangkut hati seseorang, menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan. 30 KEGIATAN BELAJAR 2: CAPAIAN PEMBELAJARAN Menguasai, Memahami, menghayati dan menerapkan makna Akidah Islam tentang: 1) Mukjizat; 2) Karomah; 3) dan Sihir dengan berbagai aspeknya, serta mengidentifikasi ruang lingkupnya dalam akidah Islam. SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN 1. Memahami Konsepsi tentang Mukjizat. 2. Memahami konsepsi tentang Karomah. 3. Memahami konsepsi tentang Sihir. POKOK-POKOK MATERI 1. Konsepsi tentang Mukjizat. 2. konsepsi tentang Karomah. 3. konsepsi tentang Sihir. URAIAN MATERI A. KONSEP TENTANG MUKJIZAT Terma mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu al-Mu’jizat (‫)المعجزة‬. Al-mu’jizat adalah bentuk kata mu’annas (female) dari kata mudhakkar (male) al-mu’jiz. Al-mu’jiz adalah isim fā’il (nama atau sebutan untuk pelaku) dari kata kerja (fi’l) a’jaza (‫)أعجز‬. Kata ini terambil dari akar kata ‘ajaza-yu’jizu-ajzan wa ‘ajuzan wa ma’jizan wa ma’jizatan/ma’jazatan (‫)عجز – يعجز – عجزا – وعجوزا – ومعجزا – ومعجزة‬, yang secara harfiah antara lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak 1 dapat (tidak bias), dan tidak kuasa. Al-‘ajzu adalah lawan dari kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi, al-‘ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam pada itu, istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al’ajib (‫)العجيب‬, maksudnya sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau pihak lain tidak ada yang sanggup menanding atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khāriqun lil-‘ādah (‫)أمر خارق للعادة‬, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi. Dalam al-Qur’an, kata a’jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat. Dan kata ‘ajaza dalam al-Qur’an digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5: 31 dan QS. Al-Jin/72: 12: ِ ‫س ْوأَةَ أ َ ِخي ِه قَا َل يَا َو ْيلَتَا أَ َع َج ْزتُ أ َ ْن أَ ُكونَ ِمثْ َل َهذَا ْالغُ َرا‬ ‫ب‬ َ ‫ض ِلي ُِريَهُ َكي‬ َ ‫ْف ي َُو ِاري‬ ِ ‫األر‬ ُ ‫غ َرابًا يَ ْب َح‬ ْ ‫ث فِي‬ ُ ُ‫َّللا‬ ‫ث ه‬ َ َ‫فَبَع‬ ْ َ ‫س ْوأَةَ أَ ِخي فَأ‬ )٣١( َ‫صبَ َح ِمنَ النهاد ِِمين‬ َ ‫فَأ ُ َو ِار‬ َ ‫ي‬ “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” )١٢( ‫ض َولَ ْن نُ ْع ِجزَ هُ ه ََربًا‬ ِ ‫األر‬ ِ ُ‫ظنَنها أَ ْن لَ ْن ن‬ ‫عجزَ ه‬ ْ ‫َّللاَ فِي‬ َ ‫َوأَنها‬ “Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada)Nya dengan lari.” Dalam kedua ayat di atas, kata ‘ajaza digunakan untuk pengertian tidak mampu atau tidak sanggup. Dalam kamus al-mu’jam al-Wasit}, mukjizat dirumuskan dengan: ‫أمر خارق للعادة يظهره هللا على يد نبي تأييدا لنبوته‬ “Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat-kebiasaan yang ditampakkan Allah di atas kekuasaan seseorang Nabi untuk memperkuat kenabiannya.” Adapun yang dimaksud dengan mukjizat dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an, seperti diformulasikan Manna al-Qattan dan lain-lain ialah: ‫أمر خارق للعادة بالتعدي سالم عن المعارضة‬ 2 “Sesuatu urusan (hal) yang menyalahi tradisi, dibarengi atau diiringi dengan tantangan atau pertandingan dan terbebas dari perlawanan (menang).” Berdasarkan definisi mukjizat di atas, dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat yaitu: 1. Unsur utama dan pertama mukjizat ialah harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan (khariqun lil ‘adah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi tradisi, atau kejadiannya sesuai dengan kebiasaan yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak dapat dikatakan mukjizat. Itulah sebabnya mengapa banyak hal aneh yang dikeluarkan oleh ahli-ahli sulap bahkan ahli-ahli sihir tidak dinyatakan sebagai mukjizat (QS. Al-Nisa/4: 171). Mengingat pada dasarnya tidak menyalahi kebiasaan karena dia tidak sungguh- sungguh, dan banyak orang lain yang bisa melakukan hal serupa atau bahkan lebih dari itu. Berbeda dengan kemampuan Nabi ‘Isa almasih menghidupan orang mati yang tidak pernah bisa dilakukan oleh siapa pun. Demikian pula dengan kemukjizatan tongkat Nabi Musa as yang bisa berubah menjadi ular sunggguhan (Thu’banun mubin) (QS. Al- A’raf /7:107 dan QS. As-Shura/26: 32). Contoh mukjizat lain ialah kemampuan Nabi Sulaiman as berkomunikasi dengan semua hewan (QS. Al-Anbiya’/21: 81 dan QS. Al- Ma’idah/5: 110). Begitu pula dengan ketidakterbakaran Nabi Ibrahim as saat dilemparkan ke dalam kawah yang sedang mendidih (QS. Al-Anbiya’/21: 68-69). Semua peristiwa yang baru disebutkan dinamakan mukjizat, karena semua peristiwa ini memang tidak pernah mentradisi. Maksudnya, masing-masing peristiwa di atas hanya terjadi sekali atau sesekali sepanjang zaman dan untuk orang-orang tertentu saja di tengah-tengah sekian banyak manusia. Atas dasar ini, maka sihir, seperti disinggung di atas, tidak dapat dikatakan sebagai mukjizat karena kejadiannya tidak sungguhan semisal lipatan kertas atau dedaunan menjadi uang, sapu tangan menjadi burung, dan lain-lain. Demikian pula dengan tukang sulap meskipun sering dianggap menyalahi kebiasaan. Sebab sihir, sesuai dengan salah satu makna harfiahnya, berarti dusta alias tipu daya (tidak sesungguhnya). Sedangkan mukjizat adalah sesuatu yang benar-benar terjadi. 2. Unsur pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan. Maksudnya, mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau perlawanan sebagaimana layaknya sebuah pertandingan. Untuk membuktikan bahwa itu mukjizat, harus ada upaya konkret lebih dulu dari pihak lain (lawan) untuk menandingi mukjizat itu sendiri. Dan pihak yang menandingi itu harus sepadan atau 3 sebanding dengan yang ditandingi. Jika pihak yang menandingi atau melawan tidak sebanding kelasnya, maka itu bukan lagi mukjizat namanya. Sebab, kekalahan yang diderita pihak lawan yang tidak selevel misalnya, tidak menunjukkan kehebatan si pemenang, dan tidak pula berarti mengisyaratkan ketidakmampuan pihak yang kalah (lawan). Sebagai contoh, tongkat Nabi Musa as yang dilemparkan menjadi ular sungguhan yang dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan thu’banun mubin, itu benar-benar ditandingi oleh sahirin (Para penyihir) yang dikendalikan Fir’aun. Tapi, sihir-sihir yang dikerahkan seluruh kaki tangan Fir’aun itu kemudian ternyata dikalahkan dan tidak pernah mampu mengalahkan mukjizat Allah yang diberikan kepada Nabi Musa as, dalam kaitan ini tongkat yang menjadi ular. 3. Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu mukjizat adalah bahwa mukjizat itu setelah dilakukan perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan untuk selama- lamanya. Jika sesuatu/seseorang memiliki kemampuan luar biasa, tetapi hanya terjadi seketika atau dalam waktu tertentu, maka itu tidak dikatakan mukjizat. Katakanlah misalnya seorang petinju kelas berat sekaliber siapapun, tidak dapat dikatakan memiliki mukjizat. Selain karena mukjizat hanya diberikan kepada nabi Allah, juga dalam kenyataannya tidak satu pun petinju kelas berat dunia yang sakti dan abadi dalam artian terus menerus tak terkalahkan sepanjang karirnya sebagai petinju. Demikian pula misalnya dengan pesilat, pegulat, pebulu tangkis, dan lain sebagainya. Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya. Contohnya, perahu Nabi Nuhas yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi ‘Isa almasih atas izin Allah, dan lain-lain. Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi tersebut berada, dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau 4 masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan akalnya di manapun dan kapan pun. Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap orang yang ragu di manapun dan kapanpun mereka berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat meterial, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya. Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri adalah sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.” Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang kontroversial di antara para Mufassir telah menjadi kajian yang menarik. Hal ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir Ahmad Khan (1817-1898) terhadap Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun dalam Al-Qur’an sebagai firman Tuhan (saying of God) yang bertentangan dengan ciptaan Tuhan (creation of God). Karena Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak mungkin menyalahi hukum alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat esensial. Jika firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an tidak layak disebut firman Tuhan yang suci. Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini menghantarkannya pada satu kesimpulan bahwa tidak satupun dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini, Ahmad Khan telah menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti penjelasan mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw. Pada akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat Ibnu Rushd yang mengatakan bahwa antara kebenaran menurut akal (al-m’aqul) tidak boleh bertentangan dengan kebenaran menurut wahyu (al-manqul). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara metaforis.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser