Nikah Dibawah Tangan Dalam Perspektif Islam PDF
Document Details
Uploaded by StrongWendigo
Universitas Tadulako
Arsyad Said
Tags
Summary
This article discusses the concept of "marriage under hand" (nikah dibawah tangan) from an Islamic perspective. It examines the rights and duties of spouses and the role of marriage in society, while also engaging in discussion of the procedures and rules surrounding marriage within Islamic societies and its varying application and practice.
Full Transcript
NIKAH DIBAWAH TANGAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Arsyad Said Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako Email : Abstract Marriage is a very noble way to regulate the life of...
NIKAH DIBAWAH TANGAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Arsyad Said Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako Email : Abstract Marriage is a very noble way to regulate the life of the household and the descendants and know each other, so that will open the way for mutual help-help. Marriage raises the Rights and duties of husband and wife reciprocity arranged very neatly, as well as the rights and obligations between parents and their children. In fact, not all Islamic societies follow the procedures or rules that apply. This is evident that some people still carry out unpublished marriage practices known as marriages under hand. Islamic law has raised the motives and goals of marriage to a higher and more noble level. If before guided by Islamic teachings the purpose of marriage is solely because driven by biological needs and continue life, by Islamic Shari'ah he was appointed with the motive of implementing sunnatullah with the basis of the purpose to worship Allah SWT. Keyword : Marriage Under Hand, Perspective Islam A. PENDAHULUAN Allah menciptakan hubungan antara pria dan wanita melalui pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi, untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Allah telah mengikat antara pria dan wanita dengan ikatan cinta dan kasih sayang, sehingga diatur kehidupan akan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Jaminan kelangsungan hidup itu sebagaimana telah disebutkan dalam Firman Allah swt : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (S Ar-Rum : 21). Pernikahan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu dengan yang lain, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolong-menolong. Pernikahan menimbulkan Hak dan kewajiban suami istri timbal balik diatur amat 1 rapi, demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri diatur pula bagaimana cara mengatasinya. Dituntukan pula adat sopan santun pergaualan dalam keluarga dengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin.1 Selain itu, pernikahan merupakan institusi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana awal untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong kehidupan bermasyarakat. Melalui pernikahan akan menimbulkan beberapa konsekuensi, maka dibuat aturan dan prosedur guna menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan. Dalam syari'at Islam, aturan tentang adanya pencatatan nikah baik dalam al- Qur'an maupun al-Sunnah pada mulanya memang tidak diatur secara konkrit. Lain halnya dengan ayat muamalat yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatkan. Namun, sesuai perkembangan zaman dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, Islam mengatur pencatatan perkawinan melalui perundang- undangan dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Melalui pencatatan perkawinan, suami istri akan memiliki akta nikah sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka suami atau istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Pada kenyataannya, tidak semua masyarakat Islam mengikuti prosedur atau aturan yang berlaku. Hal ini terbukti bahwa sebagian masyarakat masih melaksanakan praktik nikah yang tidak dipublikasikan yang dikenal dengan sebutan nikah dibawah tangan. Namun sampai saat ini, sebagian ulama dan masyarakat umumnya masih belum memiliki kesamaan rumusan yang menimbulkan perbedaan persepsi terhadap nikah dibawah tangan. Secara normatif, ada yang menilai bahwa praktik nikah dibawah tangan itu sah dan dapat menimbulkan hikmah positif, sebaliknya ada yang menilai tidak sah 1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Universitas Indonesia, Yogyakarta : 1989, Hlm 1 2 dan dapat menimbulkan implikasi negatif. Dan apabila dilihat dari perspektif hukum positif dan norma sosial, nikah dibawah tangan dianggap sebagai suatu deviasi atau penyimpangan. Sedangkan menurut Mahmud Syalthut yang dikutip oleh Dadi Nurhaedi, Nikah dibawah tangan merupakan jenis pernikahan di mana dalam akadnya tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (I'lanu nikah), tidak tercatat secara resmi dan suami istri tersebut hidup secara sembunyi-sembunyi dan hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Perkawinan adalah sebagai fitrah manusia, karena manusia tidak dapat hidup sendiri, ia memiliki ketergantungan dan saling membutuhkan. Demikian halnya pria dan wanita, agar membentuk hubungan berupa lembaga perkawinan yang bertujuan membentuk keluarga bahagia dan sejehtera sesuai dengan tuntunan ajaran. Rasulullah saw telah bersabda “Siapa yang menikah, maka dia telah menyempurnakan separuh imannya. Maka hendaklah ia memelihara diri pada setengah sisanya” (HR. Al Tabrani dari Anas) Kehadiran syariat Islam di tengah-tengah uamt Islam adalah dalam rangka menuntun kemaslahatan hidup manusia serta mengangkat martabat manusia ketingkat yang lebih luhur dan suci. Termasuk satu diantaranya ialah menuntun dan membimbing umat manusia dalam menegakkan dan membangun kehidupan rumah tangga yang bersih dan suci, damai, sejahtera bahagia serta penuh dengan limpahan berkah dan rahmat dari Allah swt. Syariat Islam telah mengangkat motif dan tujuan perkawinan ketingkat yang lebih luhur dan lebih mulia. Kalau sebelum dituntun oleh ajaran Islam tujuan perkawinan adalah semata-mata karena didorong oleh kebutuhan biologis serta meneruskan kelangsung hidup, oleh syariat Islam ia diangkat dengan motif melaksanakan sunnatullah dengan didasari oleh tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT.2 2 Mustafa Kamal, dkk, Fikih Islam (Sesuai Putusan Majelis Tarjih), Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta : 2002, hlm 245 3 B. PEMBAHASAN 1. Pengertian nikah dibawah tangan. Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual), menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah swt kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Apakah sama pernikahan dibawah tangan dengan nikah sirri?. Nikah di bawah tangan itu = nikah yang tidak dicatatkan pada instansi terkait, tapi dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sedangkan nikah sirri adalah nikah yang sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh orang di lingkungan sekitar. Nikah semacam dibawah tangan jelas-jelas bertentangan dengan Hadits Nabi yang memerintahkan adanya walimah (perayaan pernikahan). Istilah "Nikah Di Bawah Tangan" adalah nikah tanpa adanya suatu pencatatan pada instansi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang- undangan. Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak ada motif “sembunyi”, tentunya juga telah memenuhi ketentuan syari’ah yang benar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1980 tentang Nikah dibawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharat. Pernikahann harus dicatat secara resmi pada instatnsi berwenang, sebagai langkah prevenstif untuk menolak dampak negative/madharat (saddan lidz-dzari’ah).3 Jawahir Thontowi (2003) mengatakan bahwa perdebatan tentang nikah dibawah tangan ini ke dalam tiga pandangan sebagai berikut: 1. Kelompok pertama memandang bahwa nikah dibawah tangan tidak dilarang atau boleh-boleh saja dilakukan, dengan berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut. a) Nikah dibawah tangan dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah timbulnya pelanggaran hubungan antara pria dan wanita. 3 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa, Sekretariat MUI, Jakarta : 2010, hlm 528 4 b) Nikah dibawah tangan dilakukan dengan mematuhi syarat dan rukun yang digariskan dalam hukum Islam. c) Nikah dibawah tangan dilakukan dengan mempertimbangkan alasan bahwa Islam mengajarkan agar mempermudah pernikahan, jangan menunda-nunda meskipun masih ada beban ekonomi. Selain didasarkan pada ketentuan hukum Islam, praktik nikah dibawah tangan lebih ditentukan karena urusan keluarga masing-masing pelaku. 2. Kelompok kedua memandang bahwa nikah dibawah tangan dilarang karena mudharat-nya lebih banyak, dengan alasan sebagai berikut. a) Nikah dibawah tangan dilarang karena hukum yang dianut seharusnya adalah hukum positif, mengingat hukum Islam sudah ter- cover di dalamnya. b) Nikah tangan dibawah menimbulkan dualisme dalam penerapan hukum, sehingga unifikasi dan kepastian hukum tentang pernikahan bisa hilang. c) Nikah dibawah tangan menimbulkan masalah, seperti proses perceraian yang menyulitkan kedua belah pihak akibat dicatatnya pernikahan secara resmi. d) Dalam nikah dibawah tangan, suami tidak mempunyai tanggung jawab yang besar dan mengikat karena kecenderungan yang kerap terjadi bahwa ekonomi rumah tangga ditanggung sendiri-sendiri. e) Nikah dibawah tangan menjadi lahan empuk yang sering dipraktikkan oleh pejabat dan Pegai Negeri Sipil. 3. Kelompok ketiga kecenderungannya berada ditengah, yaitu memperbolehkannya asalkan disesuaikan dengan ketentuan hukum positif, yaitu mencatatkannya secara resmi melalui pejabat yang berwenang, meski tanpa harus segera melaksanakan walimah. Pandangan ketiga ini berusaha menjabatani kebuntuan antara pro dan kontra terhadap nikah siri. Pandangan ketiga ini, selain bermuatan kepentingan agar umat Islam mematuhi dan memiliki kesadaran hukum 5 yang tinggi (baik terhadap hukum agama maupun hukum positif) juga memiliki pesan agar perkawinan tersebut didukung oleh pihak-pihak keluarga terlibat.4 Pada dasarnya yang dimaksud dengan nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan orang-orang Islam dan memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan di Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi, pernikahan jenis secara materiil sebenarnya sah bila telah memenuhi persyaratan perkawinan menurut hukum Islam. Hanya saja secara formil yuridis tidak memenuhi persyaratan ketentuan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksananya, yaitu tidak dicatatkan di Pejabat Pencatat Nikah. Sehingga, bisa dianggap tidak sah atau setidak-tidaknya dapat dibatalkan. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.“Dalam Undang-undang perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pencatan perkawinan itu adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam pencatatan”.5 Pencatatan pernikahan itu cukup penting. Terutama untuk pihak wanitanya. Untuk jual beli/hutang piutang saja, Islam menyuruh kita melakukan pencatatan, apalagi untuk hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang lebih penting lagi. Ini untuk perlindungan hukum semua pihak, terutama istri dan anak-anak. Sebenarnya dalam ajaran Islam, pencatatan nikah itu, diharuskan karena pernikahan tersebut termasuk kegiatan mu’amalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian utang piutang sebagaimana tecantum dalam surat Al Baqarah ayat 282: 4 Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, Visimedia, Jakarta : 2007, hlm 26-28 5 Rahmi Meldayati, Psiko-Ekologi, Perspektif IBN A’RABI, Tesis, Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta : 2015, hlm 126 6 ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu).Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Pencatatan tersebut dapat dijadikan suatu bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai antisipasi adanya ketidakjelasan di kemudian hari (syarat tawsiqy). Misalnya mengenai asal usul anak, harta bersama, wali nikah, warisan, pemberian nafkah iddah, atau nafkah anak (jika terjadi perceraian), juga untuk menghindarkan kesewenang-wenangan suami. Dalam peraturan hukum di Indonesia, selain peraturan perundang-undangan yang mengatur keharusan mencatatkan pernikahan (yang dengan pencatatan ini akan dikeluarkan bukti Akta Nikah), ada pula ketentuan yang mengatur mengenai isbat nikah (permohonan pengakuan secara administratif). Pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat dimintakan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Permintaan isbat nikah ini sangat 7 terbatas, yaitu yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan, adanya keraguan terhadap sahnya salah satu syarat perkawinan, perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974. Bagaimana jika terjadi perceraian dalam kondisi nikah di bawah tangan? Bagi si istri, dalam rangka menyelesaikan perceraiannya agar mendapatkan hak-haknya sebagai istri (misalnya hak atas nafkah iddah, hak atas nafkah anak, ataupun hak atas harta bersama), maka ia bisa mengajukan permohonan isbat nikah terlebih dahulu ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggalnya. Setelah itu baru ia mengurus perceraiannya dan memperjuangkan hak-haknya sebagai istri (yang di talak oleh suami). Nah, jika tidak ada alasan yang jelas yang dapat menghalangi pernikahan, sebaiknya segeralah mencatatkan pernikahan. Ada banyak factor penghalang untuk mancatatkan pernikahan. Ada yang karena alasan kontrak mengsyaratkan tidak boleh menikah selama mengikuti pendidikan atau ikatan dinas. Tapi tidak jarang karena salah satu pihak (biasanya suami) pada saat yang sama masih terikat pernikahan dengan orang lain dan tidak/belum mendapatkan izin untuk melakukan pernikahan berikutnya, Kalau harus dicatatkan juga sementara tidak mendapatkan izin untuk menikah lagi, maka kemungkinan yang dilakukan adalah penggelapan data. Hal ini justru akan memperberat masalah. Ini bisa kena tindak pidana. 2. Tujuan Pernikahan. Tujuan perkawinan dalam Islam, untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara pria dengan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur syari’ah.6 6 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Leberty, Yogyakarta : 1986, hlm 12 8 Imam Al Ghazali filosof Islam membagi tujuan dan faedah perkawinan menjadi lima Mewujudkan anak yang akan mengekalkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku manusia. a. Memenuhi tuntutan naluri manusia. b. Memelihara manusia dari kejehatan dan kerusakan. c. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang. d. Menimbulkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab (A. Subaire : 185 : 37) Tujuan utama pernikahan yang diajarkan dalam Islam adalah membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, yaitu keluarga yang dihiasi dengan penuh ketenteraman, kecintaan, dan penuh rasa kasih sayang. Tuntunan ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Di antara tanda-tanda kebesabaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri (manusia) supaya kamu cenderung dan merasa tenteram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang (antara kamu sepasang). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (S. Ar-Rum : 21). Dengan mendasari tuntunan ayat tersebut, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 juga menegaskan hal yang sama bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah”. Menurut Huzaemah T Yanggo mengatakan bahwa salah satu ciri rumah yang sakinah adalah kemampun menyelesaikan konflik atau perbedaan dalam keluarga. Semua keluarga dapat mengalami konflik, baik konflik priabadi maupun konflik antara anggota keluarga. Ini adalah hal yang wajar, lebih-lebih aantara dua orang yang berbeda adat kepribadian. Untuk mewujudkan keluarga sakinah dan sejahtera masing-masing harus berupaya untuk menyelesaikan konflik dengan baik, atau setidak-tidaknya memperkecil konflik itu sehingga tidak meluas. Dari sini kemampuan 9 menyelesaikan perbedaan pandangan merupakan syarat bagi terwujudnya rumah yang sakinah. Seorang shahabat Nabi bernama Abu Darda berkata kepada istrinya “Kalau engkau melihatku marah, diamlah dan akupun akan diam jika melihat engkau marah”.7 Jadi, sebuah keluarga baru bisa dianggap sukses apabila telah mencapai dan memenuhi tujuan yang dimaksud. 3. Awal Munculnya Perkawinan Dibawah Tangan. Menurut Masjfuk Zuhdi, nikah di bawah tangan muncul sejak diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975, nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan tidak menurut undang-undang perkawinan, dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Dan pada dasarnya nikah di bawah tangan adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum, dan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.8 Pernikahan sebagai suatu perbuatan hukum mempunyai akibat-akibat hukum bagi suami istri dan anak yang dilahirkan. Akibat hukum yang timbul dari pernikahan tersebut antara lain mengenai penyelesaian harta bersama, sah atau tidaknya seorang anak, pencabutan kekuasaan orang tua, asal-usul anak, penguasaan anak, biaya pendidikan anak, kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, dan kewarisan. Untuk terlaksana dan sahnya perkawinan, maka pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dan sebagai perbuatan hukum diperlukan adanya kepastian hukum, maka pasal 2 ayat (2) menyebutkan : "Tiap-Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Sedangkan dalam KHI Pasal 4 menyebutkan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila 7 Huzemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalm Islam, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu, Yogyakarta : 2013, hlm 123 8 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Haji Masagung, Jakarta : 1988, hlm 2 10 dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan". Mengenai pengertian yuridis tentang sahnya suatu perkawinan ada yang berpendapat bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut, yakni dilaksanakan menurut ketentuan syari'at Islam dengan memenuhi syarat dan rukunnya secara sempurna, sedangkan mengenai pencatatan nikah, bukan sebagai syarat sah nikah, tetapi hanya kewajiban administratif. Pendapat yang lain, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan Undang-Undang perkawinan Pasal 2 ayat (1) mengenai tata cara agama dan Pasal 2 ayat (2) mengenai pencatatan nikah. Jadi, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, yaitu bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut syari'at Islam disertai pencatatan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan sebutan "nikah di bawah tangan". Namun, mengapa nikah di bawah tangan masih banyak dipraktikkan?, apakah motif yang melatarbelakanginya sehingga merahasiakan pernikahannya? Untuk mengungkap fakta dan makna praktik nikah tersebut, karena persoalan ini merupakan fenomena sosial, maka cukup proporsional jika didekati dengan kajian sosiologis 4. Faktor-faktor Menyababkan Nikah Dibawah Tangan Berbicara tentang nikah dibawah tangan, sebenarnya apa yang menjadi alasan atau latar belakang marak terjadinya nikah dibawah tangan? Jawabannya cukup beragam. Di antara sejumlah alasan umum yang kerap terlontar, sebagai berikut: a. Alasan kesulitan ekonomi. Alasan ini merupakan alasan paling mendasar yang bisa saja dimaklumi. Atas dasar alasan inilah, biasanya masyarakat golongan bawah (miskin) yang tidak memiliki harta sehingga tidak sanggup untuk mengurus proses pernikahan secara resmi dan dicatat melalui pejabat yang berwenang. 11 Bagi mereka, yang penting pernikahan secara syariat agama bisa dilangsungkan dan mereka bisa hidup bersama, tidak lagi dianggap sebagai pasangan kumpul kebo, tetapi sudah sah secara hukum agama, meskipun belum sah menurut hukum Negara. Kita sering mendengar dan melihat pemberitaan tentang kenyataan semacam ini, pasangan suami-istri yang menikah dibawah tangan tidak terlalu pusing apakah status pernikahan mereka secara hukum Negara bisa dianggap sah atau tidak, yang penting bagi mereka hidup berkeluarga itu harus terus berjalan. b. Kurangnya Kesadaran hukum. Masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang kesadaran kepatuhan kepada hukum. Banyak hal yang dapat membuktikan pernyataan tersebut. Salah satunya yaitu ketidakpatuhan masyarakat untuk mencatatakan perkawinan atau pernikahan sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 2 (2) UU No. 1/1974. Pelanggaran tersebut memiliki banyak sekali hal yang menjadi alasan, misalnya seperti keinginan menikah yang kedua kalinya bagi seorang suami yang masih beristri, lebih patuh kepada adat sehingga menyepelekan hukum yang ditetapkan oleh negara, niat untuk pernikahannya tidak diketahui oleh pihak tertentu yang bersangkutan, dan sebagainya. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang, dan itupun karena beberapa faktor yaitu sumber daya manusia yang masih kurang ilmu pengetahuannya, pola berfikir dangkal yang disebabkan rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain. c. Kurangnya Pengamalan Nilai-Nilai Ajaran Agama. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Dengan demikian, perkawinan sering dilakukan secara aturan agama Islam oleh masyarakat yang beragama Islam. Sedangkan dalam syarat dan rukun nikah dalam ajaran Islam sudah terpenuhi, maka menganggap sudah sah, dan tidak dicantumkan secara spesifik mengenai keharusan pencatatan perkawinan/ pernikahan. Sehingga beberapa orang yang beragama Islam tidak mencatatkan pernikahannya ke Kantor Urusan Agama. Sebenarnya 12 ajaran Islam, pencatatan nikah itu, diperintahkan karena pernikahan tersebut termasuk kegiatan mu’amalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian utang piutang, sewa menyewa, kontrak, sebagaimana tecantum dalam surat Al Baqarah ayat 282. d. Adat Istiadat Sebagaimana faktor agama yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor adat istiadat tidak jauh berbeda dengan faktor agama. Karena, dalam suatu adat istiadat itu, yang mana peraturan-peraturannya tidak tertulis dan diturunkan atau dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang, maka dalam hal perkawinan atau pernikahan seringkali dilaksanakan secara adat yang dianut di daerahnya. Dan dalam pernikahan itupun tidak ada syarat untuk melakukan pencatatan nikah, sehingga mereka tidak mencatatkan pernikahan ke Kantor Urusan Agama.Tetapi dalam hal ini, tetap harus kembali pada kesadaran masyarakat sebagai masyarakat yang bernegara sehingga harus tetap tunduk patuh pada peraturan yang telah ditetapkan oleh negara. Ada sebagian masyarakat yang berlandaskan mempunyai kepercayaan yang tidak pada tuntutan syariat yang kadang menjadi penghalang seseorang melakukan nikah seperti umumnya. Misalnya, ada kepercayaan khurafat dan takhayyul bahwa barangsiapa melakukan pernikahan pada bulan muharram akan tertimpa bencana, atau kepercayaan lain bahwa seseorang tidak boleh menikahkan dua anaknya dalam waktu kurun satu tahun. Disebabkan adanya kepercayaan-kepercayaan seperti itu, nikah dibawah tangan menjadi pilihan agar tidak mendapaat celaan dari masyarakat.9 Kamal Muchtar menambahkan bahwa nikah dibawah tangan, dilakukan karena calon istri terlanjur hamil di luar nikah. Nikah ini akhirnya terpaksa dilakukan sebagai jalan untuk menutupi rasa malu terhadap orang- orang (masyarakat) sekitarnya. Juga Nikah ini dilakukan bagi calon mempelai yang sudah bertunangan cukup lama, agar terjauh dari 9 Happy Susanto, Op. Cit, hlm 30 13 kemungkinan berbuatan dosa, maka dilakukan akad nikah tanpa disertai pencatatan pernikahan.10 5. Dampak Mudarat Pernikahan Dibawah Tangan Dampak mudarat seperti apa yang ditimbulkan dari pernikahan dibawah tangan? Pernikahan yang tidak tercatat menurut undang-undang perkawinan merugikan bagi pihak wanita dan anak dilahirkannya. Jika terjadi kemungkinan terburuk seperti perceraian, istri dan anak yang ditinggalkan tidak memiliki payung hukum yang kuat karena mereka tidak tercatat dalam admisnistrasi pemerintah. Artinya suami bisa menceraikan istri begitu saja? Suami memang punya hak prerogratif untuk menceraikan istrinya. Maka dari itu, pernikahan di bawah tangan bisa berdampak mudarat karena negara tidak mencatat pernikahan mereka. Lantas mengapa masih banyak orang yang memilih untuk menikah di bawah tangan? Tentu ada banyak hal yang mendasarinya. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan bisa jadi diakibatkan oleh faktor ekonomi, tidak terjangkaunya Kantor Urusan Agama akibat lokasi domisili yang jauh, maupun pertimbangan rumit lainnya yang memaksa pasangan merahasiakan pernikahannya. Jika alasan itu menjadi faktor seseorang menikah dibawah tangan, apakah masih bisa jadi pengecualian? Kembali saya tekankan, ada banyak alasan yang melatarbelakangi pasangan memilih untuk menjalankan nikah dibawah tangan. Jadi ini bukan soal haram atau halal, tapi harus dilihat persoalannya secara utuh. Jangan sampai muncul anasir yang menyimpulkan kesakralan pernikahan tanpa melihat alasan yang melatarbelakanginya. Apakah jasa-jasa nikah siri ini bisa menjadi solusi bagi mereka yang punya kendala menikah di bawah undang-undang? Pernikahan yang tercatat oleh negara tetap merupakan sebuah pilihan yang wajib diprioritaskan oleh pasangan yang hendak menikah. Saya tidak setuju dengan keberadaan jasa nikah siri yang marak 10 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet ke III, Bulan Bintang, Jakarta: 1994, hlm 13-14 14 bermunculan di kota-kota besar. Selama masih ada KUA, sebaiknya pasangan mencatatkan pernikahannya. C. Kesimpulan Nikah dibawah tangan adalah nikah yang dilaksnakan secara rahasia atau sembunyi. Nikah dibawahn tangan juga disebut nikah misyar atau nikah uruf (kebiasaan) dan menurut Undang-undang Perkawinan disebut nikah dibawah tangan. Faktor yang menyebabkan nikah dibawah tangan antara lain :faktor ekonomi, kegerahan menikah untuk terhindar dari pebuatan perzinahan. Di samping itu, kurangnya kesadaran hukum bagi masyarakat, kuragnya kesadaran pengamalan nilai-nilai ajaaran ajaran Islam dan masyarakat kuat ketaatan pada adat kebiasaan. Nikah dibawah tangan dikalangan ulama terdapat berpedaan pendapat tentang hukumnya sah atau tidak. Menurut Mazhab Maliki, Syafii dan Hanafi tidak membolehkan. Ulama terkemuka di dunia Islam Yusuf Qardawi bahwa nikah siri sah selama ada ijab qabul dan saksi. SedangkanMajelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1980 tentang dibawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharat. Pernikahann harus dicatat secara resmi pada instatnsi berwenang, sebagai langkah prevenstif untuk menolak dampak negative/madharat (saddan lidz-dzari’ah. Nikah dibawah tangan lebih banyak dampak negatifnya dibanding dampak positifnya, terutama terhadap wanita menjadi korban ketidakadilan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Pernikahan yang tidak dicatat pada Kantor Urusan agama tidak mempunyai kekuatan hukum, maka setiap perkawinan harus dicatat untuk mendapatkan kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA Al Qur’an dan Terjemahnya : Depag RI, Yayasan Penyelenggera Penterjemah Al Qur’an, Jakarta, 1983. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Universitas Indonesia, Yogyakarta, 1989. Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, Visimedia, 2007. Huzemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalm Islam, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu, 2013. 15 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa, Sekretariat MUI, Jakarta, 2010. Majelis Ulama Indonesia, Jurnal Fatwa No. 1 Tahun 2011, Jakarta. Mustafa Kamal, dkk, Fikih Islam (Sesuai Putusan Majelis Tarjih), Citra Karsa Mandiri, 2002, Yogyakarta. Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Haji Masagung, Jakarta, 1988. Rahmi Meldayati, Psiko-Ekologi, Perspektif IBN A’RABI, Tesis, Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta : 2015. Sution Usman, Kawin Lari Dan Kawin Antara Agama, Leberty, Yogyakarta, 1989. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Leberty, Yogyakarta, 1986. 16