Pengawasan Peredaran Obat Hewan PDF
Document Details
Uploaded by PromisedReasoning9579
Gadjah Mada University
Tags
Related
Summary
Dokumen ini berfokus pada pengawasan peredaran obat hewan, meliputi peraturan, klasifikasi, dan izin usaha terkait dengan obat hewan. Dipaparkan landasan hukum, klasifikasi obat hewan (obat keras, bebas terbatas, bebas), serta rute pemberian dan strategi budidaya unggas pasca pelarangan penggunaan bahan tertentu.
Full Transcript
Pengawasan Peredaran Obat Hewan Materi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2021 tentang Kajian Lapang dan Pengawasan Obat Hewan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 1 tahun 2019 tentan...
Pengawasan Peredaran Obat Hewan Materi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2021 tentang Kajian Lapang dan Pengawasan Obat Hewan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 1 tahun 2019 tentang Obat Ikan LANDASAN HUKUM UU No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja PP No 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko PP No. 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian Kepmentanhut No. 455 tahun 2000 Tentang Perubahan Kepmentan No. 695 tahun 1996 Tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran dan Pengujian Mutu Obat Hewan Kepmentan No. 536 Tahun 2004 Tentang Perubahan Kepmentan No. 466 Tahun 1999 Tentang Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik LANDASAN HUKUM Permentan No. 14 Tahun 2017 Tentang Klasifikasi Obat Hewan Permentan No. 09 Tahun 2018 Tentang Pemasukan Obat Hewan Khusus ke Wilayah Negara Republik Indonesia Kepdirjen No. 09111 Tahun 2018 Tentang Juknis Pakan Terapi SE Dirjen PKH No. 09160 Tahun 2019 Tentang Pelarangan Penggunaan dan Peredaran Bahan Baku dan Produk Obat Hewan Mengandung Colistin Permentan No. 45 Tahun 2019 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pertanian LANDASAN HUKUM Kepmentan No. 9736 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Lampiran III Permentan No. 14 Tahun 2017 Tentang Klasifikasi Obat Hewan Permentan No. 15 Tahun 2021 Tentang Strandar Kegiatan Usaha dan Standar Produk Pada Penyelengaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor Pertanian Permentan No. 16 Tahun 2021 Tentang Kajian Lapang dan Pengawasan Obat Hewan UU No. 18 Tahun 2009. Pasal 22 ayat 5 Pasal 49 ayat 2 Pasal 51 ayat 4 Ketentuan lebih Berdasarkan Ketentuan lebih lanjut tentang tingkat bahaya lanjut mengenai pelarangan dalam larangan penggunaan pemakaian dan menggunakan pakan yang akibatnya, obat obat hewan dicampur hewan tertentu pada hormon tertentu diklasifikasikan ternak yang dan/atau menjadi obat produknya untuk antibiotik keras, obat konsumsi imbuhan pakan bebas terbatas manusia diatur ditetapkan dan obat bebas dengan dengan Peraturan Peraturan Menteri Menteri OBAT HEWAN Sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmasetika, premiks, dan sediaan alami. Sediaan B i o l o g i k Sediaan F a r m a s e t i k Obat hewan yang dihasilkan melalui proses Obat hewan yang dihasilkan melalui Proses biologik pada Hewan atau jaringan Hewan nonbiologik, antara lain: vitamin, hormon, untuk menimbulkan kekebalan, mendiagnosis enzim, antibiotik, kemoterapetik lainnya, suatu penyakit atau menyembuhkan penyakit antihistamin, antipiretik & anestetik yang melalui proses imunologik antara lain berupa dipakai berdasarkan daya kerja farmakologi. vaksin, sera (antisera) & hasil rekayasa genetika, dan bahan diagnostika biologik. OBAT HEWAN Sediaan P r e m i k s Sediaan O b a t Alami Sediaan yang mengandung bahan obat Bahan atau ramuan bahan alami yang hewan yang diolah menjadi Imbuhan Pakan berupa bahan tumbuhan, bahan Hewan, (Feed Additive) atau Pelengkap Pakan (Feed bahan mineral, sediaan galenik atau Supplement) Hewan yang pemberiannya campuran dari bahan-bahan tersebut. dicampurkan ke dalam pakan atau air minum Hewan. Anthelmentika Farmasetika Antibiotik Vaksin Biologik Sera Kit Pengujian Feed Additive Premiks Feed supplement Jamu Bahan Alami Herbal Ekstrak 5 Resistensi Antibiotik Adalah kemampuan sebuah mikroorganisme untuk bertahan hidup dan berkembang biak dengan keberagaman agen antimikroba yang dalam keadaan normal seharusnya menghalangi atau mematikan organisme jenis ini Antibiotik tidak mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan ✓ Penggunaan antibiotik yang semakin meningkat ✓ Antibiotik digunakan tanpa resep ✓ Obat diperjualbelikan tanpa supervisi medis (dokter/dokter hewan) ✓ Penggunaan antimikroba untuk tujuan pencegahan (Prophylactic ) ✓ Antibiotik digunakan pada infeksi virus ✓ Lemahnya penerapan biosekuriti dan higiene sanitasi ✓ Penggunaan antimikroba yang tidak tepat (indikasi & dosis) ✓ Antibiotik digunakan untuk pemacu pertumbuhan (Growth Promotion) Rute Pemberian Obat 1. Parenteral : Intravena, Intramuskular, Subcutan 2. Peroral 3. Rektal 4. Topikal 5. Inhalasi 6. Tetes Mata 7. Tetes Hidung STRATEGI BUDIDAYA UNGGAS PASCA PELARANGAN AGP Penggunaan feed additive lain yang dapat meningkatkan FCR dan kesehatan unggas seperti probiotik prebiotik, acidifier, enzim, dll Penggunaan feed supplement yang berkualitas Penerapan Biosecurity 3 zona Peningkatan kualitas pakan Pemilihan DOC yang sehat dan berkualitas PERMENTAN NO.14/2017 Klasifikasi Obat Hewan Pasal 15 Pelarangan Penggunaan Obat Hewan Terhadap Ternak Yang Produknya Untuk Konsumsi Manusia - mencegah terjadinya residu Obat Hewan pada ternak - mencegah gangguan kesehatan manusia yang mengonsumsi produk ternak - karena sulit didegradasi dari tubuh Hewan target - karena menyebabkan efek hipersensitif, karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik pada Hewan dan/atau manusia; - mencegah penggunaan pengobatan alternatif bagi manusia - mencegah timbulnya resistensi mikroba patogenkarena tidak ramah lingkungan Pasal 16 Obat Hewan yang dilarang berdasarkan cara penggunaan berupa Antibiotik imbuhan pakan (feed additive) terdiri atas: produk jadi sebagai Imbuhan Pakan (Feed Additive) atau - bahan baku Obat Hewan yang dicampurkan ke dalam pakan Pasal 17 Untuk keperluan terapi, Antibiotik dapat dicampur dalam pakan dengan dosis terapi dan lama pemakaian paling lama 7 (tujuh) hari Pencampuran harus sesuai petunjuk dan di bawah pengawasan dokter Hewan PERMENTAN NO. 14 TAHUN 2017 TENTANG KLASIFIKASI OBAT HEWAN Obat Keras Obat Bebas Terbatas Obat Bebas Penggunaan Untuk pengamanan penyakit Hewan Untuk pengobatan jenis Digunakan untuk Hewan dan/atau pengobatan Hewan sakit Hewan tertentu secara bebas Perolehan Dengan resep dokter Hewan Dengan resep dokter Tanpa resep dokter hewan Hewan. Pemakaian Wajib dilakukan oleh dokter Hewan atau tenaga kesehatan Bebas Hewan di bawah pengawasan dokter Hewan. Penyediaan Produsen, Importir, Distributor, Depo, Petshop, Poultryshop, Produsen, Importir, Apotek Veteriner Obat Hewan Distributor, Depo, Petshop, Poultryshop, Apotek Veteriner Obat Hewan, Toko Obat Hewan PERIZINAN BERUSAHA OBAT HEWAN Izin Usaha 1. Produsen 2. Eksportir 3. Importir 4. Distributir 5. Apotek Veteriner 6. Depo 7. Petshop 8. Poultry Shop 9. Toko IZIN USAHA OBAT HEWAN NO KEGIATAN USAHA KBLI 2020 1 Industri Produk Farmasi untuk Hewan 21013 2 Industri Bahan Farmasi Untuk Hewan 21014 3 Industri Bahan Baku Obat Tradisional Untuk Hewan 21024 4 Industri Produk Obat Tradisional Untuk Hewan 21023 5 Industri Kosmetik Untuk Hewan 20233 6 Perdagangan Besar Obat Farmasi untuk Hewan 46444 7 Perdagangan Besar Obat Tradisional untuk Hewan 46445 8 Perdagangan Besar kosmetik untuk Hewan 46446 9 Perdagangan Besar Bahan Farmasi Untuk Manusia Dan Hewan 46447 10 Perdagangan Besar Bahan Baku Obat Tradisional Untuk Manusia DanHewan 46448 11 Perdagangan Besar Alat Laboratorium,Alat Farmasi Dan Alat Kedokteran Untuk Hewan 46692 12 Perdagangan Eceran Barang Dan Obat Farmasi Untuk Hewan Di Apotik Dan Bukan DiApotik 47726 13 Perdagangan Eceran Obat Tradisional Untuk Hewan 47727 14 Perdagangan Eceran Kosmetik Untuk Hewan 47728 13 Perdagangan Eceran Khusus Barang Dan Obat Farmasi, Alat Kedokteran, Parfum Dan Kosmetik Lainnya 47729 KBLI Obat Hewan KBLI Bersama Obat Hewan & Obat Manusia IZIN USAHA OBAT HEWAN 1. PP 26/2021 2. Permentan 15/2021 Persyaratan Umum: Persyaratan Khusus 1. Pernyataan menerapkan CPOHB&memperoleh sertifikat CPOHBmax 1 tahun setelah nomor 1. Memiliki PJTOH (bukanASN & pimpinan perusahaan pendaftaran obat hewan pertama kali diterbitkan 2. Memiliki layout/rancangan bangunandan fasilitas (Produsen) produksi/ataupenyimpanan 2. Memiliki struktur organisasi 3. Memiliki atau menguasai tempat penyimpanan & sarana/peralatanuntuk melakukankegiatanusahanya 3. Memiliki jalur layanan pengaduan konsumen 4. Memiliki kumpulanperaturan perundang-undangan 4. Memiliki rancangan sistem pengelolaanlimbah Bagi di bidangobat hewan Produsen 5. Memiliki SOP Obat hewan dengan klasifikasi obat keras DILARANG diperjualbelikan melalui sistem daring PENANGGUNGJAWAB TEKNIS OBAT HEWAN Permentan (PJTOH) 15/2021 PJTOH adalah tenaga teknis berkewarganegaraan Indonesia yang berlatar belakang pendidikan dokter hewan yang memiliki SIP terintegrasi, apoteker yang memiliki SIK (SIPA), paramedik veteriner yang memiliki SIPP terintegrasi, asisten apoteker yang memiliki SIKTTK, yang bertanggungjawab dalam kegiatan pembuatan/ pengeluaran/pemasukan pendistribusian/penjualan obat hewan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada suatu unit usaha obat hewan 1. Produsen & Apotek Veteriner : dokter hewan & apoteker yang bekerja tetap 2. Importir, Eksportir & Distributor : dokter hewan atau apoteker yang bekerja tetap 3. Depo, Petshop, Poultry Shop : dokter hewan atau apoteker yang bekerja tidak tetap dan paramedik veteriner yang bekerja tetap atau asisten apoteker yang bekerja tetap 4. Toko: paramedik veteriner atau asisten apoteker yang bekerja tidak tetap SKALAPRIORITAS REGISTRASI Dalam rangka mendukung program Pemerintah, telah diberlakukan antrian registrasi obat hewan dengan memperhatikan skala prioritas sebagai berikut: 1. Pengendalian wabah 2. Orientasi ekspor 3. Produksi dalam negeri 4. Reguler REVISI LAMPIRAN III PERMENTAN 14/2017 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 9736/PI.500/F/09/2020 tentang Perubahan Atas Lampiran III Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Lampiran III Kepmentan Lampiran III Kepmentan Lampiran III 9736/2020 9736/2020 Permentan14/2017 (Perubahan Pelarangan) (Tambahan Pelarangan) Amphetamine. Amphetamine dan turunannya. Golongan beta 1 –adrenergic Colistin. agonist. Golongan beta–adrenergic agonist. Golongan beta 2 –adrenergic agonist. Karbadoks dan turunannya. Ephedrindanturunannya. Karbadoks. Antibiotik yang dibuat dalam satu formula dengan sediaan biologik, Antibiotik yang dicampur dengan farmasetika, premiks dan obat vitamin,mineral,asamamino,dan hewanalami. obat hewanalami. Parasetamol yang tidak Obat hewan alami yang dicampur Obat hewan alami berupa jamu berupa sediaantunggal. obat hewansintetik. yang dicampur obat hewansintetik. PEMBATASAN KOMBINASI ANTIBIOTIK PADA PENDAFTARAN OBAT HEWAN Dalam rangka pengendalian laju resistensi antimikroba, yang merupakan issue gobal dimana WHO 2006 mengatakan bila tidak dikendalikan maka akan menjadi pembunuh nomor satu yaitu kematian sebanyak 10 juta di tahun 2050. Untuk menekan laju resistensi tersebut Pemerintah merumuskan Rencana Aksi Nasional-Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-AMR) penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggungjawab. Salah satunya adalah batasan-batasan kombinasi antibiotik untuk pendaftaran obat hewan berdasarkan hasil kajian Komisi Obat Hewan (KOH) dan Penilai Pendaftaran Obat Hewan (PPOH) 14 Desember 2020 sebagai berikut: 1. Sediaan antibiotik direkomendasikan disediakan dan didaftarkan dalam bentuk tunggal. 2. Dalam penggunaannya di lapangan kombinasi antibiotik tidak bisa dihindarkan, pemilihan jenis antibiotik dalam penggunaan kombinasi di lapangan harus berdasarkan pertimbangan dan tanggungjawab dokter hewan. 3. Penyediaan antibiotik dalam bentuk sediaan kombinasi diperlukan pertimbangan lebih mendalam misalnya peta penyakit dan berdasarkan kajian ilmiah. 4. Sediaan kombinasi antibiotik dapat didaftarkan dengan memenuhi minimal persyaratan yaitu indikasi spesifik, data farmakokinetik dan farmakodinamik, data equivalen farmasetik dan equivalen terapeutik, data praklinik dan klinik, memperlambat resistensi; dan mengurangi lamanya pemakaian. KAJIAN LAPANG (ONSITE REVIEW) Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2021, Pasal 203, pemasukan obat hewan harus dilakukan kajian lapang (On-site review), dalam hal: ▰Pemasukan pertama kali dari pabrik ObatHewan; ▰Pemasukan merupakan Obat Hewan baru; ▰ Unit usaha pembuatan Obat hewan merupakan unit usaha baru atau penambahan; dan/atau ▰ Adanya dugaan penyimpangan keamanan, khasiat, dan mutu Obat Hewan dari negara asal. Berdasarkan PP No. 5 Tahun 2021, Lampiran II, dipersyaratkan penilaian kesesuaian penerapan GMP (On-site review) untuk obat hewan: ▰ yang didaftarkan untuk pertama kali merupakan obat hewan dengan ruang lingkup sediaan baru, dan/atau ▰berasal dari produsen/pabrik yang belum pernah melakukan pemasukan untuk sediaan yang akan didaftarkan PENGAWASAN OBAT HEWAN PENGAWAS OBAT HEWAN ASN berijazah drh yang diberi tugas & kewenangan untuk melakukan pengawasan Obat Hewan 1. Pengawas Obat Hewan Pusat PERSYARATAN: 2. Pengawas Obat Hewan Provinsi 1. Drh berstatus ASN 3. Pengawas Obat Hewan Kab/Kota 2. Bertugas pada instansi yang menyelenggarakan kesehatan hewan 3. Telah mengikuti & memperoleh sertifikat pelatihan pengawas obat hewan 4. Tidak berafiliasi atau memiliki konflik kepentingan dengan kegiatan usaha di bidang obat hewan. KEWENANGAN PENGAWAS OBAT HEWAN ✓ Pemeriksaan pemenuhan ketentuan perizinan usaha ✓ Pemeriksaan pemenuhan/penerapan CPOHB ✓ Pemeriksaan obat hewan, unit usaha, alat & cara pengangkutan ✓ Pemeriksaan terhadap penggunaan obat hewan ✓ Pengambilan sampel untuk pengujian ✓ Pemeriksaan terhadap pemenuhan pendaftaran obat hewan ✓ Melakukan kajian lapang terhadap produsen asal luar negeri ✓ Memasuki lokasi unit usaha PENGAWASAN OBAT HEWAN PENGAWASAN RUTIN PENGAWASAN INSIDENTAL Laporan dan/atau pengaduan masyarakat terhadap adanya dugaan pelanggaran atau penyalahgunaan WAJIB disampaikan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan Penyampaian laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat dilakukan secara: 1. langsung kepada Direktur Jenderal, gubernur atau bupati/wali kota 2. tidak langsung yang disampaikan secara a. Tertulis kepada: - Direktur Jenderal melalui Sistem Aplikasi Obat Hewan; - Gubernur atau Bupati/Wali Kota melalui sistem aplikasi daring b. Elektronik melalui Sistem OSS atau saluran pengaduan yang disediakan Dapat dilakukan melalui inspeksi lapangan atau secara virtual SANKSI Sanksi Administratif: a. Peringatan tertulis Denda b. Penghentian sementara dari Administratif kegiatan, produksi, dan/atau peredaran Rp 600.000.000,00 sd c. Penarikan dari peredaran Rp 1.800.000.000,00 d. Denda administratif e. Pencabutan perizinan berusaha obat hewan PELANGGARAN PELANGGARAN 1. Pemegang Izin Pemasukan / 1. tidak diterbitkan Perizinan Pengeluaran: pemasu kan/pengeluara n ->Tidak Melaporkan Realisasi untuk periode berikutnya Peringatan 2. Pemegang Izin Sertifikasi CPOHB tertulis 3 2. Pencabutan Sertifikat CPOHB -> Pembuatan OH tdk sesuai kali CPOHB berturut- turut dengan 3. Pemegang Izin Nomor Pendaftaran jangka OH, tidak menjamin obat hewan 3. Penarikan dari peredaran waktu max max 3 Bulan yang beredar sesuai dengan: 10 hari -> standar keamanan khasiat kerja & mutu Apabila tidak menyesuaikan -> masa berlaku no. Pendaftaran dengan persyaratan maka -> isi/kandungan saat pendaftaran dicabut izin pendaftaran obat -> label & tanda saat pendaftaran hewan DENDA ADMINISTRATIF Dikenakan terhadap pemegang Perizinan Berusaha kegiatan usaha Obat Hewan yang ditetapkan oleh Menteri Ditetapkan dalam bentuk surat tagihan yang ditandatangani Direktur Jenderal atas nama Menteri dan disampaikan kepada pelaku usaha Pelaku usaha atau kuasanya yang berkeberatan terhadap surat tagihan dapat mengajukan permohonan banding administratif, yang diajukan secara tertulis melalui daring atau luring paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya surat tagihan Permohonan banding administratif diajukan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala PVTPP Permohonan banding administratif diputuskan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri paling lama 14 hari kerja berupa menerima atau menolak keberatan Keputusan tersebut bersifat final dan mengikat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PP 95 th 2012 VS PP 22 th 1983 Menimbang: Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 65 dan untuk memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai kesejahteraan a.bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan Pasal 67 peranan penting dalam mencegah penularan zoonosa dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan pengamanan produksi bahan makanan asal hewan dan dan Kesehatan Hewan, perlu menetapkan Peraturan bahan asal hewan lainnya, untuk kepentingan kesehatan Pemerintah tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan masyarakat; Kesejahteraan Hewan. b.bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 dan Pasal 21 Mengingat: Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 dipandang perlu 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik mengatur kesehatan masyarakat veteriner dengan Indonesia Tahun 1945; Peraturan Pemerintah; 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Mengingat Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan :1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015). 2.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824); 3.Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 4.Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1973 tentang Pembuatan, Persediaan, Peredaran dan Pemakaian Vaksinasi, Sera dan Bahan-bahan Diagnostika Biologis untuk Hewan (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 23); 5.Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3101); 6.Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3102); Terdiri dari : BAB I KETENTUAN UMUM BAB I KETENTUAN UMUM – Psl 1– Psl 2 – Psl 1 BAB II KESEHATAN MASYARAKAT BAB II PENGAWASAN KESEHATAN VETERINER MASYARAKAT VETERINER – Psl 3 - 82 – Psl 2 - 15 BAB III KESEJAHTERAAN HEWAN BAB III PENGUJIAN – Psl 83 - 99 – Psl 16 - 20 BAB IV PENANGANAN HEWAN BAB IV PEMBERANTASAN RABIES AKIBAT BENCANA ALAM – Psl 21 - 25 – Psl 100 - 107 BAB V PENGAWASAN DAN BAB V KETENTUAN PERALIHAN PENGENDALIAN ZOONOSA LAINNYA – Psl 108 - 109 – Psl 26 - 28 BAB VI KETENTUAN PENUTUP BAB VI KETENTUAN PIDANA – Psl 110 - 112 – Psl 28 BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN – Psl 29 BAB VIII KETENTUAN PENUTUP `Psl 30 Pasal 64 Pemerintah dan pemerintah daerah mengantisipasi ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh hewan dan/atau perubahan lingkungan sebagai dampak bencana alam yang memerlukan kesiagaan dan cara penanggulangan terhadap zoonosis, masalah higiene, dan sanitasi lingkungan. Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, dan sertifikasi produk hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tata cara pemasukan produk hewan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b, penetapan negara dan/atau zona, unit usaha produk hewan, dan tata cara pemasukan produk hewan segar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), serta kesiagaan dan cara penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 66 Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan. Pasal 67 Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat. PP 95 thn 2012 Mengatur 3 hal : a. Kesehatan Masyarakat Veteriner; b. Kesejahteraan Hewan; dan c. penanganan Hewan akibat Bencana Alam. PP 95 thn 2012 terdiri dari : BAB I : Ketentuan Umum ( psl 1 – 2) – Psl 1. Definisi –definisi – Psl 2. Mengatur 3 hal : Kesmavet, Kesrawan dan BAB II : KESMAVET ( psl 3 – 82 ) BAB III : KESRAWAN (Psl 83 – 99) BAB IV : PENANGANAN HEWAN AKIBAT BENCANA ALAM (Psl 100 – 107) BAB V : KETENTUAN PERALIHAN (Psl108-109) BAB VI : PENUTUP ( Psl 110 – 112) BAB II KESMAVET Bagian 1 : Umum ( psl 3 : 3 ayat) (1) Kesehatan Masyarakat Veteriner meliputi: a. penjaminan Higiene dan Sanitasi; b. penjaminan produk Hewan; dan c. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis. (2) Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. produk pangan asal Hewan; b. produk Hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko Zoonosis secara langsung kepada manusia; dan c. produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan dan lingkungan. (3) Produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan dan lingkungan sebagaimanandimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Produk pangan asal Hewan” adalah daging, susu, telur dan hasil turunannya, serta semua bahan yang berasal dari Hewan yang dimanfaatkan untuk konsumsi manusia misalnya madu, sarang burung walet, dan gelatin. Produk Hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko Zoonosis secara langsung kepada manusia” antara lain produk Hewan yang digunakan untuk pakan hewan kesayangan, farmasetik, kosmetik, dan industri nonpangan. “rantai produksi produk Hewan” adalah hubungan saling terkait antara tiap tahapan proses produksi produk Hewan mulai dari tempat budidaya, tempat produksi pangan asal Hewan dalam bentuk segar dan turunannya, tempat produksi produk Hewan nonpangan segar dan Produk turunan pangan asal Hewan, rumah potong Hewan (RPH), tempat pengumpulan dan penjualan, serta dalam pengangkutan produk Hewan. “Produk turunan pangan asal Hewan” tersebut di atas adalah Pangan Olahan Asal Hewan yang masih mengandung bahan dasar daging, susu, dan telur yang berpotensi membawa risiko menularkan agen Zoonosis. “cara yang baik” merupakan program persyaratan dasar dalam jaminan keamanan dan mutu produk Hewan, antara lain meliputi praktik Higiene dan Sanitasi yang baik, praktik Veteriner yang baik, dan praktik biosekuriti (biosecurity practices). Bagian 2 : Penjaminan Higiene dan Sanitasi Psl 4 – psl 25, 8 Paragraf Paragraf 1 Pasal 4 : (1). Penjaminan Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilaksanakandengan menerapkan cara yang baik pada rantai produksi produk Hewan. (2). Cara baik pada rantai produksi produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi cara yang baik : a. di tempat budidaya (psl 5/par. 2); b. Cara yang Baik di Tempat Produksi Pangan Asal Hewan (psl 6/par 3); c. Cara yang Baik di Tempat Produksi Produk Hewan Non pangan (psl 7/par4), d. Cara yang Baik di Rumah Potong Hewan (psl 8 - 17/par 5), e. Cara yang Baik di Tempat Pengumpulan dan Penjualan ( psl 18/ par 6), f. Cara yang Baik Dalam Pengangkutan (psl – 22/par. 7), NKV ( psl 23 – 25 / par 8) Bagian 3. Penjaminan produk hewan Psl 26 – 58, 8 peragraf Paragraf 1 Umum ( psl 26): Penjaminan produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilakukan melalui: a. pengaturan Peredaran Produk Hewan ( Par 2 : psl 27 – 36) b. Pengawasan Unit Usaha produk Hewan ( par 3 : psl 37 – 44) c. Pengawasan produk Hewan ( Par 4 : psl 45 – 49) d. pemeriksaan dan Pengujian produk Hewan (Par 5 : psl 50 – 52) e. Standardisasi produk Hewan (Par 6 : psl 53 ) f. Sertifikasi Produk Hewan ( Par 7 : psl 54 – 56) g. Par 8. Registrasi produk hewan ( psl 57 – 58). Bagian 4. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis Pasal 59 – 82, 6 paragraf Paragraf 1. Umum : pasal 59 : Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan melalui: a. penetapan Zoonosis prioritas; ( Par 2 : psl 60 – 67 ) b. manajemen risiko (Par 3 : psl 68 – 73 ) c. kesiagaan darurat ( Par 4 : psl 74 – 75) d. Pemberantasan Zoonosis ( Par 5 : psl76 – 79) e. partisipasi masyarakat. ( Par 6 : psl 80 -82 ) Psl 67 “daerah wabah” adalah tempat berjangkitnya suat Zoonosis pada populasi Hewan dan/atau masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu atau munculnya kasus Zoonosis baru di daerah bebas. “daerah tertular” adalah daerah yang ditemukan kasus Zoonosis tertentu pada populasi Hewan rentan dan/atau manusia berdasarkan pengamatan. “daerah penyangga (buffer zone)” adalah daerah di sekitar dan berbatasan langsung dengan daerah tertular atau daerah wabah dalam radius tertentu yang ditetapkan berdasarkan jenis penyakitnya yang akan dilakukan tindakan pengendalian untuk mencegahpenyebaran penyakit lebih lanjut ke daerah bebas. Daerah bebas dalam ketentuan ini dapat dibedakan menjadi daerah bebas secara historis dan daerah bebas setelah dilakukan berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan.Daerah bebas secara historis adalah daerah yang tidak pernah diketemukan kasus atau agen Zoonosis. Daerah bebas setelah dilakukan berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan adalah daerah yang semula terdapat kasus atau agen Zoonosis tetapi berdasarkan pengamatan dalam waktu tertentu sudah tidak lagi ditemukan kasus atau agen Zoonosis. BAB III. Kesejahteraan Hewan td 9 bagian, psl 83 - 99 Bag 1 Umum psl 83 - 85 (1) Kesejahteraan Hewan diterapkan terhadap setiap jenis Hewan yang kelangsungan hidupnya tergantung pada manusia yang meliputi Hewan bertulang belakang dan Hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit. (2) Kesejahteraan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan Hewan yang meliputi bebas: a. dari rasa lapar dan haus; b. dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;c. dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; d. dari rasa takut dan tertekan; dan e. untuk mengekspresikan perilaku alaminya. (3) Prinsip kebebasan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan pada kegiatan: a. penangkapan dan penanganan; b. penempatan dan pengandangan; c. pemeliharaan dan perawatan; d. pengangkutan; e. penggunaan dan pemanfaatan; f. perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan; g. pemotongan dan pembunuhan; dan h. praktik kedokteran perbandingan. (4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi di bidang Kesejahteraan Hewan. Pasal 84 (1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 wajib dilakukan oleh: a. pemilik Hewan; b. orang yang menangani Hewan sebagai bagian dari pekerjaannya; dan c. pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan. (2) Pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh bupati/walikota. (3) Menteri menetapkan jenis dan kriteria fasilitas pemeliharaan Hewan yang memerlukan izin usaha. Pasal 85 `Pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan yang tidak menerapkan prinsip kebebasan Hewan pada kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) dikenai sanksi pencabutan izin usahanya oleh bupati/walikota. Bagian 2. Penangkapan dan penanganan Pasal 86 Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penangkapan dan penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf a paling sedikit harus dilakukan dengan: a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres; dan b. menggunakan sarana dan peralatan yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres. Bagian 3. Penempatan dan Pengandangan Pasal 87 Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penempatan dan pengandangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf b paling sedikit harus dilakukan dengan: a. cara yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres; b. menggunakan sarana dan peralatan yang tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres; c. memisahkan antara Hewan yang bersifat superior dari yang bersifat inferior; d. menggunakan kandang yang bersih dan memungkinkan Hewan leluasa bergerak, dapat melindungi Hewan dari predator dan Hewan pengganggu, serta melindungi dari panas matahari dan hujan; dan e. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis Hewan. Bag. 4 Pemeliharaan dan Perawatan ( Psl 88) isi sama Bag. 5 Pengangkutan Pasal 89 (1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf d paling sedikit harus dilakukan dengan: a. cara yang tidak menyakiti, melukai, dan/atau mengakibatkan stres; b. menggunakan alat angkut yang layak, bersih, sesuai dengan kapasitas alat angkut, tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres; dan c. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis Hewan. (2) Dalam hal pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kandang, kandang harus memungkinkan Hewan dapat bergerak leluasa, bebas dari predator dan Hewan pengganggu, sertaterlindung dari panas matahari dan hujan. (3) Pengangkutan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan di bawah penyeliaan dan/atau setelah mendapat rekomendasi dari Dokter Hewan Berwenang. Bag. 6. Penggunaan dan pemanfaatan Pasal 90 Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada penggunaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf e paling sedikit harus dilakukan dengan: a. cara yang tidak menyakiti dan tidak mengakibatkan stres; dan b. menyediakan sarana dan peralatan yang bersih. Pasal 91 Penggunaan bagian tubuh dan organ dalam Hewan untuk tujuan medis harus dilakukan oleh Dokter Hewan yang memiliki izin layanan. Pasal 92 Setiap orang dilarang untuk: a. menggunakan dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan kematian Hewan; b. memberikan bahan pemacu atau perangsang fungsi kerja organ Hewan di luar batas fisiologis normal yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan kematian Hewan; c. menerapkan bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau produk Hewan transgenik yang membahayakan kelestarian sumber daya Hewan, keselamatan dan ketenteraman bathin masyarakat, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup; d. memanfaatkan kekuatan fisik Hewan di luar bata kemampuannya; dan e. memanfaatkan bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis. Bag. 7 Perlakuan dan Pengayoman yang Wajar Terhadap Hewan Pasal 93 Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf f paling sedikit harus dilakukan dengan: a. cara yang tidak menyakiti, tidak mengakibatkan stres, dan/atau mati; dan b. menggunakan sarana, prasarana, dan peralatan yang bersih. Pasal 94 (1) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pembinaan perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan kepada pemilik Hewan, orang yang menangani Hewan sebagai bagian dari pekerjaannya, dan pemilik serta pengelola fasilitas pemeliharaan Hewan. (2) Pembinaan perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan sarana, sosialisasi, dan edukasi. Bag. 8 Pemotongan dan Pembunuhan Pasal 95 (1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pemotongan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf g paling sedikit harus dilakukan dengan: – a. cara yang tidak menyakiti, tidak mengakibatka ketakutan, dan stres pada saat penanganan Hewan sebelum dipotong atau dibunuh; – b. cara yang tidak mengakibatkan ketakutan dan stres, serta dapat mengakhiri penderitaan Hewan sesegera mungkin pada saat pemotongan atau pembunuhan; – c. menggunakan sarana dan peralatan yang bersih; dan – d. memastikan Hewan mati sempurna sebelum penanganan selanjutnya. (2) Dalam hal pemotongan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan pemingsanan, dilarang menggunakan cara yang mengakibatkan Hewan menderita, stres, dan/atau mati. Pasal 96 Dalam hal pemotongan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilakukan untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan menular dan Zoonosis atau mengurangi penderitaan Hewan yang tidak mungkin diselamatkan jiwanya, pemotongan dan pembunuhan Hewan harus berdasarkan pertimbangan medis dari Dokter Hewan. Bag. 9 Praktik Kedokteran Perbandingan Pasal 97 (1) Praktik kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf h dilakukan terhadap Hewan laboratorium. (2) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada praktik kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilakukan dengan: a. mengutamakan cara yang tidak menyakiti dan tidak mengakibatkan stres; b. menggunakan sarana, prasarana, dan peralatan yang bersih, tidak menyakiti, dan tidak mengakibatkan stres; dan c. memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis Hewan. Pasal 98 (1) Praktik kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 harus dilakukan oleh atau di bawah penyeliaan Dokter Hewan. (2) Dokter Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mematuhi kode etik profesi Dokter Hewan. Pasal 99 (1) Setiap orang dilarang: a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu terjadi bagi Hewan; b. memutilasi tubuh Hewan; c. memberi bahan yang mengakibatkan keracunan, cacat, cidera, dan/atau kematian pada Hewan; dan d. mengadu Hewan yang mengakibatkan Hewan mengalami ketakutan, kesakitan, cacat permanen, dan/atau kematian. (2) Untuk membuktikan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan uji forensik oleh Dokter Hewan. BAB IV PENANGANAN HEWAN AKIBAT BENCANA ALAM Pasal 100 Dalam hal terjadi Bencana Alam, penanganan Hewan dilakukan melalui: a. evakuasi Hewan; b. penanganan Hewan mati; c. penampungan sementara; d. pemotongan dan pembunuhan Hewan; dan/atau e. pengendalian Hewan sumber penyakit dan vektor. Pasal 101 (1) Evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a dilakukan terhadap Hewan sehat dan Hewan sakit yang masih mungkin disembuhkan yang berada pada lokasi Bencana Alam yang tidak memungkinkan untuk kelangsungan hidup Hewan. (2) Pelaksanaan evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan prinsip kebebasan Hewan. (3) Hewan dievakuasi ke tempat penampungan sementara yang ditetapkan oleh bupati/walikota. (4) Evakuasi Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah Pengawasan Dokter Hewan atau orang yang memiliki kompetensi di bidang Kesejahteraan Hewan. Pasal 102 (1) Penanganan Hewan mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b dilakukan dengan penguburan atau pembakaran. (2) Penanganan Hewan mati akibat Bencana Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah Pengawasan Dokter Hewan. Pasal 103 (1) Penampungan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf c dilakukan dengan memperhatikan prinsip kebebasan Hewan. (2) Tempat penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. di lokasi yang aman; b. tersedia fasilitas air bersih, pakan, dan obat-obatan; c. tersedia tempat penampungan untuk Hewan sehat yang terpisah dari Hewan sakit atau cidera; dan d. mudah diakses oleh tenaga relawan dan tenaga kesehatan Hewan. 1) Pemotongan dan pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf d dilakukan terhadap Hewan yang: a. tidak mungkin diselamatkan jiwanya; dan b. perlu dihentikan penderitaannya. (2) Pemotongan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Hewan yang dagingnya dapat dimanfaatkan untuk konsumsi manusia. (3) Pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Hewan yang dagingnya tidak dikonsumsi. (4) Pemotongan dan pembunuhan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah Pengawasan Dokter Hewan. Pasal 105 (1) Pengendalian Hewan sumber penyakit dan vektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf e harus dilakukan di lokasi Bencana Alam dan wilayah sekitar yang terkena dampak. (2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. penerapan sanitasi lingkungan; dan b. pemusnahan vektor. Pasal 106 Penanganan Hewan akibat Bencana Alam dilakukan oleh Menteri, menteri atau kepala lembaga pemerintahan non kementerian, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 107 Ketentuan lebihKetentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Hewan akibat Bencana Alam diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 108 Dalam hal Laboratorium Veteriner terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) belum tersedia, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menunjuk laboratorium untuk melakukan pemeriksaan dan Pengujian dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun. Pasal 109 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan yang belum memilikiizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) wajib memiliki izin usaha paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 110 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 111 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 112 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SERTIFIKASI NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) Peraturan Menteri Pertanian No. 11/2020 tentang Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner Unit Usaha Produk Hewan Permentan 15 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Dan Standar Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pertanian Sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai jaminan keamanan produk hewan pada unit usaha produk hewan. Nomor Kontrol Veteriner diberikan dalam bentuk sertifikat oleh pejabat Otoritas Veteriner Provinsi. NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) Mewujudkan jaminan keamanan produk TUJUAN hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan Unit Usaha Unit Usaha Pangan Asal Hewan Unit Usaha Produk Hewan Nonpangan Pengolahan Distribusi Budidaya Rumah Potong Ritel Pentingnya Nomor Kontrol Veteriner 1 Penjaminan keamanan Produk Hewan oleh Pemerintah Meningkatkan daya saing produk → perluasan 2 pasar dan ekspor 03 Ketelusuran produk (Traceability) JENIS USAHA WAJIB NKV Distribusi (Cold Storage; Kios daging; Ritel; Rumah Potong Hewan Budidaya Gudang kering; Pengumpulan, (Ruminanisa, Babi dan (Unggas Petelur dan Sapi Pengemasan, dan Pelabelan Telur Unggas Perah) Konsumsi; Penampung Susu, Penanganan Madu) Sarang Burung Walet Pengolahan (Rumah, Pencucian, Pengolahan Produk Pangan Asal Hewan Non Pengumpulan dan Hewan (Daging, Susu, Telur, Pangan Pengolahan Madu dan produk panga lain) PERSYARTATAN SERTIFIKASI NKV TEKNIS ADMINISTRASI 1. Prasarana dan sarana memenuhi persyaratan teknis, penerapan Higiene dan Sanitasi, Higiene 1. Surat permohonan Personal, Biosekuriti, dan Kesejahteraan Hewan 2. Kartu Tanda Penduduk (KTP); 2. Memiliki pekerja teknis dengan kompetensi di 3. Surat kuasa bermeterai (bila diwakilkan oleh pihak lain) bidang Higiene dan Sanitasi atau kesejahteraan 4. Nomor Induk Berusaha (NIB) hewan bagi yang dipersyaratkan 5. Surat Rekomendasi Dinas Daerah Kabupaten/Kota 3. Mempunyai dokter hewan yang tidak berstatus 6. Bukti perjanjian pengelolaan usaha bagi Pelaku Usaha aparatur sipil negara sebagai penanggung jawab yang melakukan kegiatan di tempat usaha milik orang teknis bagi Unit Usaha yang dipersyaratkan lain; (RPHR, RPHU, RPHB, Budidaya Farm Petelur, 7. Surat pernyataan bermeterai yang menerangkan bahwa Budidaya Sapi Perah dan Gudang Berpendingin dokumen yang disampaikan benar dan sah; bagi unit usaha produk hewan) Aspek Audit NKV A. Data Umum B. Data Khusus C. Audit Kelayakan Dasar – Cara Praktik yang Baik 1. Praktik Veteriner yang Baik 2. Biosekuriti 3. Kesejahteraan Hewan 4. Bangunan, Fasilitas, dan Peralatan 5. Penanganan Produk 6. Higiene Personal 7. Higiene Sanitasi 8. Pengujian oleh Pihak Eksternal Terakreditasi Unit Usaha Auditor NKV Provinsi, Ditetapkan Harmonisasi oleh Tim Ekspor dengan SK Tim Auditor Pusat Auditor Unit Usaha Gubernur/ Auditor NKV Provinsi Non-ekspor Ditjen PKH Berdasarkan Berjumlah Paling sedikit terdiri dari 1 Penugasan Kepala Keanggotaan ganjil orang ketua dan 2 anggota Dinas Daerah Provinsi Tingkatan NKV Berdasarkan jumlah temuan ketidaksesuaian persyaratan teknis dengan keadaan di lokasi dan kondisi setiap jenis Unit Usaha Produk Hewan. Menentukan waktu surveilans Tingkat 1 (sangat baik) Tingkat 2 (baik) Tingkat 3 (cukup) SURVEILANS NKV Tujuan: Menilai kesesuaian penerapan cara yang baik di unit usaha yang sudah memiliki NKV Level 2 1 Merekomendasikan 1 tahun 4 bulan perubahan NKV sekali 6 bulan sekali sekali Level 1 Level 3 2 Merekomendasikan pencabutan NKV Kewajiban Pencantuman NKV Telur & Daging & Olahannya Olahannya Susu & PAH lain dan *stempel *stempel pada Olahannya Olahannya pada daging kerabang dan *label pada *label pada dan atau kemasannya kemasannya atau label label pada pada kemasannya kemasannya Pencantuman NKV tidak dilakukan pada label dan kemasan Produk Hewan Nonpangan PEMBINAAN UNIT USAHA PRODUK HEWAN Ditjen PKH UNIT USAHA BER NKV Provinsi UNIT USAHA BELUM Kab/Kota MEMILIKI NKV Pembinaan dalam rangka Pemenuhan Persyaratan teknis dan perbaikan terhadap temuan hasil Audit Pembinaan dalam rangka pemenuhan persyaratan ekspor Batas waktu pembinaan 5 tahun Bagaimana kalau tidak ber NKV? Unit Usaha yang tidak Dinas Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan memenuhi persyaratan 5 tahun rekomendasi kepada bupati/wali kota untuk MENCABUT IZIN USAHA. teknis SANKSI ADMINISTRASI: Unit Usaha yang tidak (1) Peringatan Tertulis I ; mengajukan permohonan (2) Peringatan Tertulis II, 3 bulan setelah peringatan I; sertifikasi NKV (3) Penghentian sementara dari kegiatan produksi, 3 bulan setelah peringatan II. Pencabutan Izin Usaha (6 bulan setelah penghentian sementara) Aspek Audit NKV 1. Praktik Veteriner yang Baik Hewan yang dipotong disertai SKKH Pencataan kesehatan ternak Pemeriksaan antemortem dan postmortem dan didokumentasikan 2. Biosekuriti Hewan yang datang dipisahkan dengan hewan yg sudah ada di kandang penampungan RPH-R harus berpagar dan dipisahkan antara pintu masuk hewan dan pintu keluar kkarkas Kebersihan harus dijaga Aspek Audit NKV 3. Kesejahteraan Hewan Fasilitas penurunan hewan Kapasitas kandang penampungan sementara (1,5 kali jumlah pemotongan per hari) dan terbuat dari bahan yang tidak menyebabkan cidera, lantai terbuat dari bahan kuat dan kedap air, terdapat saluran pembuangan dan dilengkapi dengan atap. Tersedia tempat pakan dan minum Pakan tersedia cukup dan minum ad libitum Tersedia gangway Aspek Audit NKV 3. Bangunan, fasilitas, peralatan Bangunan permanen, kuat dan dijaga kebersihannya RPH-R minimal terdiri bangunan utama, kandang penampungan, area loading, pemusnahan bangkai Bangunan utama terdiri daerah kotor (perebahan, pemotongan, pengeluaran darah dan penyelesaian penyembelihan) dan bersih (pemeriksaan post mortem, penimbangan karkas, loading) Dinding kedap air, tidak korosif, mudah dibersihkan minimal 3 meter Lantai kedap air, rata. tidak korosif, tidak licin, mudah dibersihkan dan landai ke saluran pembuangan Sudut pertemuan dinding dan dinding serta dinding dan lantai lengkung Langit-langit kedap air dan mudah dibersihkan Lampu berpelindung (intensitas cahaya area post mortem minimal 540 luks dan area produksi 220 luks) Aspek Audit NKV 3. Bangunan, fasilitas, peralatan Desain bangunan dapat mencegah masuknya serangga dan rodensia Kusen pintu dan jendela terbuat dari bahan kedap air, tidak korosif dan mudah dibersihkan Tersedia air bersih dan listrik yg memadai Lubang ke saluran pembuangan diberi penyaring Pintu kamar mandi tidak berhubungan langsung dgn ruang produksi Terdapat ruang ganti pakaian karyawan Terdapat foot dip dan tempat pembersihan sepatu boot Terdapat fasilitas cuci tangan Wadah peralatan terbuat dari bahan kedap air, tidak korosif dan mudah dibersihkan Peralatan logam yang kontak dengan daging terbuat dari bahan tidak korosif, tidak di cat dan mudah dibersihkan Aspek Audit NKV 4. Penanganan produk Penyembelihan dilakukan oleh Juleha dengan prosedur penyembelihan halal Pisau yang digunakan tajam dan ukuran sesuai Proses penyelesaian penyembelihan setelah hewan mati sempurna (pemeriksaan refleks kornea) RPHR dilengkapi fasilitas pendingin 5. Higiene personal Kesehatan pekerja diperiksa minimal 1 x tiap tahun Pekerja mendapatkan pelatihan hygiene sanitasi Pekerja menjaga kebersihan diri, pakian dan perlengkapan lainnya Menggunkan perlengkapan minimal apron, penutup kepala dan sepatu boot Pekerja dilarang makan minum merokok meludah dan Tindakan lain yang menyebabkan kontaminasi selama bekerja Aspek Audit NKV 6. Higiene sanitasi Tersedia fasilitas penanganan limbah dan kotoran dan didesain limbah mengalir lancar, mudah diawasi, tidak menecemari, tidak bau dan tidak menjadi tempat bersarang rodensia Tersedia SOP pembersihan dan desinfeksi Bahan kimia dan pembersih yang digunakan diizinkan sesuai aturan perundangan, disimpan ditempat khusus dan diberi tanda Memiliki program tertulis pengendalian serangga dan rodensia 5. Pengujian oleh Pihak Eksternal Terakreditasi Pengujian keamanan pangan minimal 1 x tiap tahun pada lab eksternal terakreditasi Pemeriksaan kualitas air bersih minimal 1 x tiap tahun pada lab eksternal terakreditasi Pengujian lab untuk mengetahui efektifitas program sanitasi minimal 1 x tiap tahun pada lab eksternal terakreditasi Kalibrasi alat pengukur suhu minimal sekali setahun FOOD MICROBIOLOGY S1 Department of KESMAVET Faculty of Veterinary Medicine Universitas Gadjah Mada What, Who, How 1658 – Athanasius Kircher : saw living worms in putrid milk and meat using microscope 1664 – Robert Hooke : mold structure 1676-1683 - Anthony van Leeuwenhoek : ‘animacules’ 19th century – improvement in the technology of microscope 1838 – Ehrenberg : ‘bacteria’ & proposed 16 species in 4 genera 1875 – Ferdinand Cohn : bacteria classification ‘Spontaneous Generation’ Renaissance period : ‘the generation of form of life from nonliving objects’ 1665 – Fransisco Redi : maggots emerge only when flies contaminated dead bodies/spoilage meats Redi’s advocate raised Q: if animacules could not regenerate themselves (biogenesis) BUT their present is only by spontaneous generations (abiogenesis) 1749 – Turbevill Needham : animacule present in boiled meat then stored in covered container within a short time 1765 – Lazzaro Spallanzani : boiling meat broth which immediately stored in sealing flask prevent animacule Antoine Laurent Lavoisier : the need of O2 for life ‘Bacteria prevented from growing in boiled meat infusion in the presence of air’ – 1830 – Schulze : passing air through acid – 1838 - Theodore Schwann : passing air through red-hot tubes – 1854 – Schröeder : passing air through cotton 1861 - Louis Pasteur proof that : bacteria grow in boiled infusion only if contaminated with bacteria carried by dust particles in air able to reproduce (biogenesis) life could not originate by spontaneous generation 1870 - John Tyndall : boiled infusion could be stored in dust-free air in a box without microbial growth. Early Food Microbiology (Before 1900 A.D.) ± 8,000 BC : agriculture and animal husbandry adopted 8,000 – 10,000 BC : food preservation by drying, cooking, baking, smoking, salting, sugaring (with honey), low-temperature storage (in ice), storage without air (in pits), fermentation (with fruits, grains, and milk), pickling, and spicing to avoid spoilage 1870 – Louis Pasteur : possible role of mos with scientific proof What the - - is about? “Food Microbiology (FM) is a study of microorganisms’ role in food” Beneficial Spoilage MO MO Diseases Cause MO Is used for fermenting food to produce such products i.e. cheese, tempeh, oncom, beer, tape (singkong, ketan), yoghurt, acar/pickles, BENEFICIAL MOs roti/bread, etc Lactobacillus acidophilus/rhamnosus/ lactis, Pediococccus acidilactici, Rhizopus oligosporus/oryzae, Neurospora intermedia var oncomensis, Bacillus megaterium/ amyloliquifaciens/ subtillis SPOILAGE MOs Growing mos in food which change the appearance, flavor, odor and texture of food to become unsuitable and inedible for human consumption Beneficial mos over growth Result of failed cold chain, unsterile food processing Brocothrix, Lactobacillus, Bacillus, Pseudomonas spp., molds DISEASES CAUSING MOs Known as foodborne pathogen Hard to detect as may not alter the food appearance Require multiple test to asses food safety Responsible for : – food intoxication (S.aureus, C. botulinum) – toxicoinfection (C.perfringens, ETEC, V.cholerae) Bakteri dgn toksinnya – foodborne infection (S. jejuni, Cuma bakteri L.monocytogenes, viruses, parasites) List of Foodborne Pathogen (Bhunia, A.K., 2008) Bacterial Viral Parasitic Aeromonas hydrophilia Astrovirus Cryptosporidium parvum Bacillus antrhacis Hepatitis A virus Entamoeba histolytica Bacillus cereus/subtilis/ lichniformis Hepatitis E virus Cyclospora cayatanensis Brucella/abortus/melitensis/suis Norovirus Giardia intestinalis Campylobacter jejuni/coli Rotavirus Isopspora belli Escherichia coli Taenia solium/saginata Clostridium botulinum Clostridium perfringens Enterobacter sakazakii Toxoplasma gondii Listeria monocytogenes Trichinella spiralis Mycobacterium paratuberculosis Salmonella enterica Shigella spp. Staphylococcus aureus Vibrio cholerae V. cholerae non-01 V. parahemolyticus V. vulnificus V. fluvialis Yersinia enterocolitica Foodborne persistence in inanimate surface (Bhunia, AK., 2008) ORGANISM DURATION OF SURVIVAL Bacterial pathogens Campylobacter jejuni Up to 6 days Escherichia coli Ada di kulit 1.5 h–16 months Listeria species 24 h–several months Salmonella serovar Typhi 6 h–4 weeks Salmonella serovar Typhimurium 10 days–4.2 years Shigella species 2 days–5 months Staphylococcus aureus 7 days–7 months Stretococcus pyogenes 3 days–6.5 months Vibrio cholerae 1–7 days Viral pathogens Astrovirus 7–90 days Adenovirus 7 days–3 months Norovirus 8 h–7 days Influenza virus 1 day–2 days Rotavirus 6 days–60 days Hepatitis A virus 2 h–60 days Emerging & Re-Emerging Foodborne Diseases “emerging infectious diseases” infections that newly appear in a population or have existed but are rapidly increasing in incidence or spreading in geographic range (Morse 1995 ) WHO : changes in mos, change in the human population and lifestyle, globalization of food supply, inadvertent introduction of pathogens into new geographic areas, and exposure to unfamiliar foodborne hazards while abroad Mos known to produce disease to humans: 1,415 species (60% zoonotic & 72% originates in wildlife) Approx 175 pathogenic species are emerging, approx 54% of emerging infectious diseases are caused by bacteria or rickettsia Bacteria Evolution Bacteria propagate/divide by …................? To keep the DNA quality of their progeny: mutations within DNA mismatch repair system Acquisition foreign DNA for diversity (called …..........?) refers to the occurrences of mutation and DNA horizontal transfer Involve mechanisms: genetic transformation, bacteriophage transduction, or conjugation Limitation: only half gene with biological function and half is species-specific Increase or decrease pathogenicity is still unknown Bacteria Evolution http://www.bio.fsu.edu/~stevet/DeepEvol.html Source of Foodborne Pathogen PLANTS (Fruit and Vegetables) The inside part usually sterile except porous veg (i.e onions) or leafy veg (i.e. spinach) Type and level of mos depends on: water quality, air quality, soil type, fertilizer Molds, yeasts, lactic acid bacteria, and bacteria (Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococcus, Erwinia, Bacillus, Clostridium, and Enterobacter) Number of mos: diseases of plant, surface damage, long delay between harvesting and cleaning, storage condition & transportation FOOD ANIMALS (Animals, Fish, Birds, Shellfish) Source: digestive/urogenital/respiratory tract, teat cannal, hooves, skin, hair, feather Laying birds: asymptomatically carrier for Salmonella enteritidies in ovary then contaminated yolkPenularan dari induk Some carrier harbor Escherichia coli, Campylobacter jejuni, Yersinia enterolitica, and Listeria monocytogenes show asymptomatic E coli patogen dari feses Sapi Fish & shellfish: Source: scales, skin, digestive tract Cause: water quality, feeding habit, diseases FOOD ANIMALS (Animals, Fish, Birds, Shellfish) Vibrio parahaemolyticus, Vib. vulnificus, and Vib.cholerae Source of contamination (production/processing) in milk: udder surface; egg shell: faeces during laying; meat: intestine content during slaughtering; fish: intestine content during processing Skin, hair, feather: Staphylococcus aureus, Micrococcus spp., Propionibacterium spp., Corynebacterium spp., and molds and yeasts Ground meat contains high fat which favors growth of aerobic mos, also not properly clean/sanitised equipment FOOD ANIMALS (Animals, Fish, Birds, Shellfish) Preventing contamination, i.e: Good animal housing Uncontaminated source of feed and water Testing animals for pathogens Culling pathogen carrier Good quality water to wash carcases Hair & feather removal Careful removal of organs without contaminating meat Proper sanitation of tools and worker during process Caught fish from uncontaminated water and store in appropriate temperature AIR Dust & moisture droplets Level of mo depends on: humidity, size & level of particles, air velocity & drying resistance Low level: dry air, low dust, high T Predominant mo: spores of Bacillus spp., Clostridium spp., molds, some Gram (+), bacteria (e.g., Micrococcus spp. and Sarcina spp.), yeasts Reduced by: air filter, (+) air pressure, reduce humidity level, UV light SOIL & SEWAGE SOIL Source of molds, yeast & general bacteria (Enterobacter, Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Enterococcus, Bacillus, and Clostridium) from animal fecal which contains enteric pathogenic bacteria & viruses SEWAGE Fertiliser crops: pathogenic bacteria, parasites WATER & FOOD INGREDIENTS WATER Used in all food processing, high-chlorine treated (drinking/potable) water should be use particularly if water as main ingredients May contain Pseudomonas, Alcaligenes, and Flavobacterium E.coli FOOD INGREDIENTS Ingredients & additives may contain pathogens Spores of thermophilic bacteria (flour, starch, sugar, spices), mold (spices) http://www.roboticstomorrow.com/content.php?post_type=1851 HUMAN Improperly cleaned hands, lack of aesthetic sense and personal hygiene, dirty clothes and hair Sta. aureus, Salmonella serovars, Shigella spp., pathogenic E. coli, hepatitis A EQUIPMENT & MISC EQUIPMENT Can start at low level, multiply then contaminate food depends on environment ‘Dead Spot’ inaccessible part of equipment, source of continuous contaminants when improperly cleaned/sanitised MISC packaging & wrapping materials, containers, rodents, pest, birds FOODBORNE DISEASES Kadar daya ikat air dan kadar Protein faktor intrinsik foodborne disease Suhu, higiene personal ENVIRONMENT Manipulated Extrinsic Factors Intrinsic Factors Preserve Food ECOSYSTEMS “The Ecology Of Zero Growth” Intrinsic Factors of Microbial Growth Supporting and non-supporting food composition to microbial growth : carbohydrates, lipid, protein, mineral & vitamins Growth Factors o Natural GF in tomatoes stimulates growth of some Lactobacillus Preservatives o Natural inhibitors: lysosime in egg, aglutinin in milk, eugenol in clove o Lantibiotics (The University of Minesota, 2011) – a peptide produced by harmless bacteria to kill harmful bacteria o Lantibiotics from Geobacillus thermodenitrificans Intrinsic Factors of Microbial Growth Oxidation-reduction potential o the potential difference in a system generated by a coupled reaction in which one substance is oxidized and a second substance is reduced simultaneously o In food is influence by its chemical composition, storage, specific treatment o RedOx potential designated as Eh in milivolt (mV) o aerobes = +500 to +300 mV o facultative anaerobes = +300 to +100 mV o anaerobes = +100 to –250 mV or lower Intrinsic Factors of Microbial Growth Water activity o Aw is available water for biological functions & present in food in free form (0.1 – 0.99) o Important for control because mo has different Aw to support growth i.e. mold 0.8, xerophylic mold 0.6, most yeast 0.85, G+ 0.9, G- 0.93, S. aureus 0.85, halophilic bacteria 0.75 o Reduced (desorption) by freezing, drying, adding solutes, ions, hydrophilic coloids or increased (adsorption) Type of Product Aw Fresh Meat and Fish 0.99 Bread 0.95 Aged cheddar 0.85 Jams and jellies 0.8 Plum pudding 0.8 Dried fruit 0.6 Biscuits 0.3 Milk powder 0.2 Instant coffee 0.2 http://pmp.errc.ars.usda.gov/WaterActivity.aspx Intrinsic Factors of Microbial Growth pH o High-acid food (4.6) o High acidity in food can present naturally (fruit), produced during fermentation, added (salad dressing) o Mold & yeast mostly can grow at lower pH compare to bacteria o G- more sensitive to low pH than G+ o Low pH cause lower growth and may cause cell loose viability --> weak acid with higher pK --> dissociated/undissociated molecules i.e acetic acid > lactic acid Extrinsic Factors of Microbial Growth Temperature Gas composition 1…...? 2…...? Microbial Spoilage – Muscle Food Muscle food: meat, poultry, seafood Spoiled: identified by consumer sensory i.e appearance, flavor, texture As subjective judgment of consumer based on cultural and economic background as well as individual sensory sensitivity & intensity of food transformation Associated with: muscle type, product composition, storage environment Microbial Growth Support Components in Muscle Tissue Muscle components Major: water, protein and fat Minor : carbohydrates s.a glycogen and intermediate glycolitic products (glucose, glucose-6-phosphate, lactate) Energy sources for microbial: Glucose, Lactate, Amino Acids Microbial Growth Support Components in Muscle Tissue Enzymatic activity during rigor mortis : Ceased of muscle end of ATP synthesis glycolisis = lactic acid & pH. Final pH depends on initial muscle glycogen (glycogen = pH). Low glycogen low glucose. Decrease pH & accumulation of metabolites protein denaturation proteolytic enzyme (cathepsin) soluble low-MW compounds Spoilage: existing of soluble low-MW compouds and at aqueous phase Meat Defects & Causal Bacteria DEFECT MEAT ORGANISM Slime Meats Pseudomonas, Lactobacillus, Enterococcus, Weissella, Brochothrix H2O2 greening Meats Weisella, Leuconostoc, Enterococcus, Lactobacillus H2S greening Vacuum packaged meats Shewanella H2S Production Cured meats Vibrio, Enterobactericeae Sulfide Odor Vacuum packaged meats Clostridium, Hafnia Cabbage Odor Bacon Providencia Meat Defects & Causal Bacteria DEFECT MEAT ORGANISMS Potato Odor Ham Burkholderia. Pseudomonas Putrefication Ham Enterobactericeae, Proteus Bone taint Whole meats Clostridium, Enterococcus Bone taint Bacon Proteus, Vibrio Pocket taint Bacon Vibrio, Alcaligenes, Proteus Internal taint Ham Providencia Souring Ham Lactic acid bacteria, Enterococcus, Micrococcus, Bacillus, Clostridium Examples of Bacterial Meat Spoilage Causal Organism Time ingest Reservoir Symptoms to Onset Salmonella 8-72H Gut of animals Abdominal pain; diarrhoea; nausea; pyrexia; prostration Staphylococcus 1-6H often Skin, nose cut Abdominal pain; diarrhoea; 2-4H in man & nausea; pyrexia; prostration; animals salivation; vomiting sub-normal temperature Enterococcus 2-18H Gut of animals Abdominal cramp; diarrhoea; Cl. Welchii no vomiting or prostration Cl. Perfrigens Strep Faecalis Cl. botulinum 2H-18D Soil Difficulty in swallowing; double often 2-48H vision; no pyrexia; respiratory paralysis The buzz about edible bugs: Can they replace beef? October 26, 2016 American Chemical Society Microbial Spoilage – Milk & Dairy Milk provide microbial: carbon, nitrogen, minerals and micronutrients Milk’s natural antimicrobial: – Lactoferin : binding iron – Lactoperoxidase : consists of lactoperoxidase, thiocyanate & hydrogen peroxidase which inhibit lactic acid bacteria, coliforms and some other pathogens Fluid Milk Microbial Defects DEFECT MO ENZYME METABOLIC TYPE PRODUCT Bitter flavor Psychotropic bacteria, Protease, Bitter peptides Bacillus peptidase Rancid flavor Psychotropic bacteria Lipase Free fatty acids Fruity flavor Psychotropic bacteria Esterase Ethyl esters Coagulation Bacillus spp Protease Casein destabilisation Sour flavor Lactid acid bacteria Glycolytic Lactic, Acetic acids Malty flavor Lactid acid bacteria Oxidase 3-Methylbutanal Ropy texture Lactid acid bacteria Polymerase Exopolysacharides Defect in Cheese Open texture by lactobacilli Off flavor Gassy defect in cheddar by Lactobacili & coliform bacteria Pink discoloration in Swiss-type by propionic bacteria Fruity flavor in cheddar by Lactococcus spp (esterase) FERMENTED FOOD Involved many kinds of flora Fermentation process: – Natural fermentation : raw material is set into favor condition to support grow of mo – Black slopping : successful fermented material added into starting material – Controlled fermentation : inoculated with pure starting cultures (106 cell/ml or more) Mos Used in Fermentation Characters: Mo or or their by-products or cellular components have to be safe, food grade, and approved by regulatory agencies When consumed live with the food (as in yogurt) they and their metabolites have no detrimental effect on the health of the consumers When a by-product (such as an amino acid) or a cellular component (such as an enzyme) is used in a food, have to be regulated and approved and safe. If a food-grade microorganism is GMO its use in food has to be approved, especially if the genetic material used is obtained from a different source or is synthesized. Mos Used in Fermentation Lactic Acid starters : Carbs fermentation Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, Lactobacillus, Enterococcus, Aerococcus, Vagococcus, Tetragenococcus, Carnobacterium, Weissella, and Oenococcus Other : similar to LA Bifidobacterium, Propionibacterium, Brevibacterium, Acetobacterium Mos Used in Fermentation Yeast : Fermentation of foods and alcohol, production of enzymes for use in food, production of SCPs, and as additives to impart desirable flavor in some foods Saccharomyces cerevisiae, Candida utilis, Kluyveromyces marxianus and Klu. marxianus var. lactis Molds: Produce additives & enzymes to use in foods genera Aspergillus and Penicillium, Rhizopus and Mucor Ray, B., 2005 YOGHURT Semisolid coagulated milk by starting culture Microbial problems: – concentrations of acetaldehyde ( low : chalky and sour flavor, high : green flavor) – too much diacetyl : buttery aroma. – Too much acid production during storage causes a sour taste – Proteolysis and accumulation of bitter peptides during storage : bitter flavor – Production of exopolysaccharides by the starter can give a viscous and ropy texture – Growth of yeasts during : a fruity flavor, especially in yogurt containing fruits and nuts – During long storage, molds can grow on the surface CHEESE Coagulation of casein milk by LA bacteria with/out enzyme rennin Type: – Unripped Cheese (soft: mozzarella, cottage) – Ripped Cheese (soft: brie; semihard: gouda; hard: cheddar, swiss) Microbial problems: – Cheddar : bitter flavor – Swiss : contamination of Clostridium tyrobutyricum, cause rancidity and gas blowing – Cottage : spoilage by Pseudomonas spp, flavor loss FERMENTED MEAT By first mixing meat, fat, salt, sugar, curing agents, and spices; filling in a casing; and fermenting it either naturally or by adding (during mixing) selected starter-culture bacteria Spoilage can be reduced by smoked or heated Microbial problems: – Fast grow starter: no flavor – Gas formation during fermentation & storage by Leuconostoc spp – Grow of acid-resistant bacteria – During curing or long storage, production of biogenic amine and mycotoxin-mold can grow Poop Coffee? MOs in Ready To Eat (RTE) Foods Milk: inactivated by high-temperature- short time pasteurisation (71°C for 15s) Cheeses: survive during manufacture and ripening process RTE Foods properly fermented sausage does not support growth Multiply at pH 6 in meat’s surface RTE meat processes by heat then cooling by brine Meat and poultry provide conductive products: environment unreheated frankfruters and poultry support turkey meat identified as growth > other meats source US outbreak in 1998, 2000 and 2022 RTE Foods Seafoods Isolated from fresh and frozen fish and molluscans bio-Preservatives Available : Addition of viable lactic-acid bacteria (mesophilic Lactococcus lactis, some Lactobacillus species & Pediococcus) : spoilage & refrigerated food/storage at