Materi Lomba Cepat Tepat Perpajakan SMA/SMK/MA 2024 PDF
Document Details
Uploaded by FavorableLight
2024
Tags
Summary
Materi Lomba Cepat Tepat Perpajakan tahun 2024 se-Jakarta Timur untuk SMA/SMK/MA. Materi meliputi berbagai aspek perpajakan, termasuk definisi, fungsi, dan hukum pajak. Materi ini membantu peserta memahami perpajakan.
Full Transcript
MATERI LOMBA CEPAT TEPAT PERPAJAKAN TINGKAT SMA/SMK/MA SEDERAJAT SE-JAKARTA TIMUR – KANTOR WILAYAH DJP JAKARTA TIMUR – DAFTAR ISI Negara Dan Pemerintah …………………………………………………………………… 4 Pengertian Pajak ……………………………………………………………………………...
MATERI LOMBA CEPAT TEPAT PERPAJAKAN TINGKAT SMA/SMK/MA SEDERAJAT SE-JAKARTA TIMUR – KANTOR WILAYAH DJP JAKARTA TIMUR – DAFTAR ISI Negara Dan Pemerintah …………………………………………………………………… 4 Pengertian Pajak …………………………………………………………………………… 6 Falsafah Pajak ……………………………………………………………………………… 8 Fungsi Pajak ………………………………………………………………………………… 8 Pajak Dan Pancasila ……………………………………………………………………….. 9 Pemungutan Pajak Sebagai Cara Untuk Mencapai Politik Ekonomi Dan Sosial ……... 9 Netralitas Pajak ……………………………………………………………………………... 10 Pembagian Hukum Pajak ………………………………………………………………….. 10 Asas-Asas Pemungutan Pajak ……………………………………………………………. 11 Syarat Pemungutan Pajak …………………………………………………………………. 13 Yurisdiksi Pemungutan Pajak ……………………………………………………………... 13 Reformasi Perpajakan 1983 ………………………………………………………………. 15 Sejarah Hukum Pajak Indonesia ………………………………………………………….. 15 Siklus Pajak …………………………………………………………………………………. 18 Penggolongan Jenis Pajak ………………………………………………………………… 18 Sistem Pemungutan Pajak ………………………………………………………………… 20 Definisi Keuangan Publik ………………………………………………………………….. 21 Pentingnya Sektor Publik ………………………………………………………………….. 21 Karakteristik Kebijakan Publik …………………………………………………………… 22 Ruang Lingkup Keuangan Publik …………………………………………………………. 23 Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Perdata ………………………………………. 23 Pengaruh Hukum Pajak Terhadap Hukum Perdata …………………………………….. 25 Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Pidana ……………………………………….. 26 2 Penemuan Hukum Dan Penafsiran Dalam Hukum Pajak ………………………………. 27 Saat Dimulainya Kewajiban Perpajakan …………………………………………………. 32 Subjek Pajak Dan Bukan Subjek Pajak …………………………………………………... 32 Pembuatan Aturan Dan Kebijakan ………………………………………………………... 36 Hukum Pajak ………………………………………………………………………………... 42 Ketentuan Umum Terkait Pendaftaran NPWP …………………………………………... 43 Sumber-Sumber Penerimaan Negara ……………………………………………………. 48 APBN (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara) …………………………………… 49 Kebijakan Fiskal …………………………………………………………………………….. 51 Tax Ratio …………………………………………………………………………………….. 53 Desentralisasi Pemerintahan ……………………………………………………………… 54 Jenis-Jenis Pajak Daerah ………………………………………………………………….. 57 Pajak Menurut Pendapat Ahli Dan Undang-Undang ……………………………………. 62 Penghasilan Tidak Kena Pajak ……………………………………………………………. 62 Surat Pemberitahuan (SPT) ……………………………………………………………….. 65 Dasar Hukum Lapor SPT Tahunan Orang Pribadi ………………………………………. 70 Pajak Pertambahan Nilai …………………………………………………………………... 71 Perubahan UU PPN Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan ………………….. 80 Pajak Bumi dan Bangunan ………………………………………………………………… 83 Pajak Penghasilan ………………………………………………………………………….. 87 Bea Meterai …………………………………………………………………………………. 92 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ………………………………….. 95 Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan …………………………………….. 96 3 NEGARA DAN PEMERINTAH A. Terbentuknya Negara Menurut pendapat Aristoteles, manusia merupakan makhluk bermasyarakat atau Zoon Politikon. Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri dalam masyarakat tanpa terhubung dengan orang lain dan tetap secara individu terlibat dalam suatu ikatan dengan kelompoknya. Semakin luas dan kompleksnya masing-masing kelompok, maka makin besar dan banyak pula kesulitan yang timbul baik masalah internal antar individu dalam kelompok, maupun masalah dengan pihak eksternal. Interaksi antar kelompok juga memerlukan suatu aturan yang lebih terstruktur daripada sebelumnya. Hal tersebut yang menjadi alasan mendasar perlunya dibentuk suatu organisasi yang lebih teratur dan memiliki kekuasaan yang memadai. Organisasi atau lembaga tersebut sangat diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan hidup agar dapat berjalan secara tertib dan lancar. Organisasi yang memiliki kekuasaan seperti itulah yang kemudian dinamakan Negara. Konsep dan pengertian Negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori oleh J.H.A. Logemaan dalam bukunya yaitu “Over Detheorie Van Een Stelling Staadrecht”, yaitu bahwa keberadaan negara bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi. Agar negara dapat mengatur rakyatnya, maka negara diberi kekuasaan (authority) yang dapat memaksa seluruh anggotanya untuk mematuhi segala peraturan/ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara. Kekuasaan tersebut berhak dimiliki oleh negara, karena secara historis timbulnya negara adalah untuk mengatur kehidupan yang lebih baik. Untuk menghindari adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, di sisi lain Negara juga menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama. B. Fungsi Pemerintah Menurut Miriam Budiardjo (1998), fungsi pemerintah dapat dikelompokkan menjadi: 1. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. 2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dewasa ini, fungsi ini dianggap penting terutama bagi negara-negara baru. 3. Fungsi pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk itu negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan. 4. Fungsi menegakkan keadilan, hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan. 4 Terdapat tiga fungsi pokok ekonomi yang diemban oleh pemerintah, yaitu: a. Tindakan pemerintah yang menyangkut efisiensi berupa segala upaya untuk memperbaiki kesalahan pasar, misalnya monopoli. b. Program pemerintah untuk meningkatkan keadilan. Misalnya pemerataan pendapatan agar mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat, termasuk golongan miskin. c. Kebijaksanaan stabilisasi berusaha mengikis fluktuasi yang tajam dari siklus bisnis dengan cara menekan angka pengangguran dan inflasi, serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Dari fungsi ekonomi pemerintah yang berhubungan dengan pajak adalah fungsi nomor 2 yakni keadilan masyarakat, dimana dengan pajak yang dipungut atas warga negara yang memiliki kemampuan, akan dapat mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat. C. Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak Negara membuat peraturan dan hukum, pasti bertujuan yang baik untuk kelangsungan hidup dan tertatanya suatu negara. Hukum di Indonesia jika diklasifikasikan menurut wujudnya ada 2, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dengan hak dan kewajiban yang sama, setiap orang Indonesia tanpa harus diperintah dapat berperan aktif dalam melaksanakan kewajiban bernegara, diantaranya adalah kewajiban membayar Pajak. Amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 23 A menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang- undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang, berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di DPR. Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut pajak. Selanjutnya UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai “pajak” ini baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai pengertian “pajak” sebagai kontribusi wajib kepada Negara. D. Pendelegasian Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak Undang-Undang Pajak harus dapat menjamin bahwa pengenaan pajak harus didasarkan kepada prinsip keadilan, kepastian, dan kemampuan membayar. Tidak 5 adanya pembatasan kekuasaan dan pendelegasian wewenang yang jelas dan ketat seperti yang termaktub dalam Pasal 23A UUD 1945 kepada Pemerintah, membuat Pemerintah menjadi pemegang kekuasaan besar yang powerful dalam mengenakan pajak dan bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Menurut Buchanan dan Milton Friedman sebagaimana dikutip oleh Philippe Vitu, bahwa dalam suatu negara yang demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas, atau dengan kata lain kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limit on taxing power) melalui undang-undang. Sebagai negara konstitusional pengemban amanat Pasal 23A UUD 1945 dan yang berkeadilan sosial (sila kelima Pancasila), seyogyanyalah DPR sebagai wakil rakyat serta para petinggi dan penegak hukum di negara hukum ini me-review (kaji ulang) pendelegasian wewenang yang telah diberikan kepada pemerintah untuk mengenakan pajak (dalam hal menetapkan tax base dan tax rate) selain yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang, secara selektif dan diawasi secara ketat, sehingga kebijakan-kebijakan perpajakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dan disetujui oleh DPR) mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia khususnya bagi wajib pajak yang menjadi partner pembangunan negara yang kita cintai ini. PENGERTIAN PAJAK Pengertian pajak ada bermacam-macam, yang lain dikemukakan oleh para sarjana, yang oleh Santoso Brotodhardjo, S.H. (1982 : 2) yaitu: a. Definisi Leroy Beaulieu: “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak, yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja Pemerintah”. b. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919): “Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh Badan yang bersifat Umum (Negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak”. c. Definisi Prof Edwin R.A. Seligman: “Tax is a compulsory contribution from the person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred”. Banyak terdengar keberatan atas kalimat “without reference” karena bagaimana juga uang pajak tersebut digunakan untuk produksi barang dan jasa benefit diberikan kepada masyarakat, hanya tidak mudah ditunjukkannya, apabila secara perorangan. 6 d. Philip E Taylor, mengganti “without reference” menjadi “with little reference”. e. Definisi Mr. Dr. N. J. Feldmann: “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada Penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”. f. Definisi Prof. Dr. M J. H. Smeets: “Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terhutang melalui norma- norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran Pemerintah”. g. Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja: “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa- jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. h. Definisi Prof DR. Rochmat Soemitro, S.H.: “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Definisinya yang lain (1974 : 8) menyatakan : “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk Public Saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai Public Investment”. i. Definisi Prof DR. P. J. A. Adriani: “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU KUP: “Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. 7 Secara keseluruhan pengertian pajak baik yang disampaikan oleh ahli pajak maupun perundang- undangan pajak hampir sama, yaitu pajak merupakan iuran wajib warga negara kepada negara yang harus dilaksanakan, bersifat memaksa dan warga negara tersebut tidak mendapat imbalan secara langsung, iuran wajib tersebut digunakan untuk keperluan negara yang digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pajak merupakan bentuk kedaulatan rakyat agar negara tersebut tetap dapat berdaulat. FALSAFAH PAJAK Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat. Negara memerlukan dana untuk mewujudkan tujuan tersebut, sehingga diperlukan dana yang tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan pajak. Kemudian dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang, berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di DPR yang biasa disebut “berdasarkan yuridis”. Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut pajak. Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai “pajak” ini baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai pengertian “pajak” sebagai kontribusi wajib kepada Negara. Ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak tersebut, yaitu: 1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang; 2. Sifatnya dapat dipaksakan; 3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak; 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah; 5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi kepentingan masyarakat umum. FUNGSI PAJAK Dalam dunia perpajakan, sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua, yaitu fungsi budgeter dan regulerend. Namun dalam perkembangannya, fungsi pajak tersebut dapat dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. 8 1. Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. 2. Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. 3. Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. 4. Fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. PAJAK DAN PANCASILA Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional yang menjiwai peraturan Perundang- undangan di bidang perpajakan. Pancasila memiliki kedudukan sebagai alat penguji terhadap sumber hukum tertulis, apakah sudah sesuai atau malah bertentangan dengan Pancasila. Pancasila merupakan tolok ukur untuk menentukan kebenaran substansi hukum yang terkandung dalam setiap Undang-undang Pajak. Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang- undang”. Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang meletakkan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah yang diatur dengan undang-undang atau “No taxation without representation”. Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi “pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”. Terdapat perubahan yang prinsipil karena bukan hanya pajak, melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga harus diatur dengan undang-undang. Hal ini merupakan suatu perkembangan positif agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga negara. PEMUNGUTAN PAJAK SEBAGAI CARA UNTUK MENCAPAI POLITIK EKONOMI DAN SOSIAL Pajak merupakan salah satu alat yang penting bagi pemerintah dalam mencapai tujuan ekonomi, politik, dan sosial yang mengandung sasaran sebagai berikut: 1. Pengakuan sumber dana dari sektor swasta ke sektor pemerintah; 9 2. Pendistribusian beban pemerintah secara adil dalam kelas-kelas penghasilan dan secara merata bagi masyarakat yang berpenghasilan sama; 3. Mendorong pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, dan perluasan kesempatan kerja. NETRALITAS PAJAK Netralitas pajak berarti bahwa pajak tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan alokasi sumber daya. Dengan kata lain, keputusan bisnis didorong oleh fundamental ekonomi, seperti tingkat imbalan, dan bukan pertimbangan pajak. Keputusan semacam ini seharusnya menghasilkan alokasi sumber daya yang optimal. Apabila pajak mempengaruhi alokasi sumber daya, hasilnya mungkin tidak terlalu optimal. Namun demikian, dalam kenyataannya, jarang sekali pajak bersifat netral. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK Pembagian Hukum Pajak ke dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal penting sekali, seperti halnya Hukum Pidana atau Hukum Perdata. Hukum Pidana terbagi ke dalam Hukum Pidana Material dan Hukum Pidana Formal (Hukum Acara Pidana) dan Hukum Perdata ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Di dalam Undang-Undang Pajak yang lama seperti Ordonansi PPd 1944, Ordonasi PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan Material dan Formal ada di dalam Undang-Undang Pajak itu sendiri. Dengan adanya pembaharuan Perundang-undangan perpajakan sejak awal 1984, Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal sebenarnya terpisah dan diatur dalam undang-undang tersendiri, namun ada beberapa hal dalam undang-undang materil sendiri yang mengatur mengenai hukum acaranya (ketentuan formilnya) sehingga tidak seluruhnya dikatakan diatur secara terpisah. 1. Hukum Pajak Material Hukum Pajak Material adalah Hukum Pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Undang-undang pajak yang termasuk dalam Hukum Pajak Material adalah: a. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan; b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan; 10 c. Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994; d. Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. 2. Hukum Pajak Formal Hukum Pajak Formal adalah Hukum Pajak yang memuat peraturan-peraturan mengenai cara-cara Hukum Pajak Material menjadi kenyataan. Hukum ini memuat cara-cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara-cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara-cara penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain. Undang-undang Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formal adalah: a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan; b. UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK Berikut ini merupakan beberapa teori yang berhubungan dengan hak negara untuk memungut pajak, antara lain adalah: 1. Teori Asuransi Teori Asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang harus dilindungi negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya pada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat itu sendiri, maka masyarakat harus membayar “premi” pada negara. Namun istilah premi sebenarnya kurang tepat jika disama artikan dengan pajak, sebab apabila masyarakat membayar premi akan mendapat balas jasa secara langsung sedangkan pajak tidak. Teori ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan untuk menunjukkan hak negara memungut pajak dari warganya, karena tidak semua kerugian warga, misalnya kebanjiran ataupun perampokan, negara memberikan ganti rugi. 2. Teori Kepentingan Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak membayar pajak lebih besar kepada 11 negara untuk melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan. Demikian sebaliknya, warga negara yang memiliki harta benda sedikit membayar pajak yang lebih kecil untuk melindungi kepentingan warga negara tersebut. Namun, pada kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan sedikit mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam perlindungan jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensi, seharusnya ia membayar pajak lebih banyak dan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan. Landasan teori ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan bukan pajak karena berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung. 3. Teori Gaya Pikul Menurut teori ini, pemungutan pajak berlandaskan asas keadilan yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Yang harus diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi, barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks UU Pajak Penghasilan, asas minimum kehidupan di atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila seseorang punya penghasilan di bawah PTKP berarti orang tersebut tidak perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya adalah nihil. Sedangkan jika penghasilannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku. 4. Teori Gaya Beli Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa teori ini menitikberatkan ajarannya pada fungsi pajak sebagai pengatur (regulerend). 5. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak) Berlawanan dengan teori asuransi, teori kepentingan dan teori gaya pikul, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori 12 ini berdasarkan atas paham-paham Organische Staatler yang mengajarkan bahwa sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu (masyarakat) maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak. Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan negara merupakan bakti dari masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya. SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan). Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-perundangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak. b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis). Pajak diatur dalam UU Pajak pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warganya. c. Tidak menganggu perekonomian (Syarat Ekonomi). Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial). Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK Negara, dalam melakukan pemungutan pajak, terikat pada yurisdiksi dari Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang-ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak. 13 1. Berdasarkan Asas Sumber Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan dari sumber atau tempat objek pajak itu berada. Jika objek pajak itu berada di Negara Indonesia, Negara Indonesia berwenang memungut pajak terhadap terhadap orang pribadi atau badan yang memiliki objek pajak tersebut. Misalnya, terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan yang berada di Indonesia, Negara Indonesia memiliki kewenangan untuk mengenakan dan memungut pajak bagi wajib pajak yang memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat atas objek pajak yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. 2. Berdasarkan Asas Kewarganegaraan Menurut asas ini, yurisdiksi pemungutan pajak dikenakan bukan berdasarkan tempat objek pajak, melainkan berdasarkan status atau kedudukan warga Negara dari setiap orang pribadi yang berasal dari Negara yang mengenakan pajak. Walaupun orang pribadi yang bersangkutan tidak bertempat tinggal atau berkedudukan pada Negara yang hendak melakukan pemungutan pajak, tetapi orang pribadi itu merupakan warga negara tersebut, maka tetap dapat dilakukan pemungutan pajak terhadap yang bersangkutan. Misalnya, untuk Indonesia yang juga menganut asas kewarganegaraan, pemungutan pajak bukan hanya dilakukan pada warga negaranya yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia, tetapi termasuk juga yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia. 3. Berdasarkan Asas Tempat Tinggal Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak dilakukan oleh Negara berdasarkan tempat tinggal atau kedudukan dari wajib pajak. Negara berwenang memungut pajak pada wajib pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan pada Negara yang bersangkutan. Segala objek pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan pada Negara yang bersangkutan dikenakan pajak. Misalnya, Warga Negara Australia yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia memperoleh atau mendapat penghasilan di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan. Ketiga jenis asas pemungutan pajak tersebut selama ini diadopsi dalam rangka pemungutan pajak di Indonesia, baik terhadap pajak langsung maupun pajak tidak langsung. Khusus terhadap asas tempat tinggal, UU PPh (UU No. 36 Tahun 2008) menegaskan adanya batasan waktu untuk bertempat tinggal atau berada di Indonesia, yaitu lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut- turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari seseorang berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Untuk asas kewarganegaraan dan asas sumber yaitu bahwa terhadap setiap warga Negara Indonesia di manapun dia berada akan dikenakan pajak oleh Negara Indonesia, demikian pula bila seseorang bukan warga Negara Indonesia namun memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka Negara Indonesia mempunyai hak untuk 14 mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari sumber penghasilan tersebut berada. REFORMASI PERPAJAKAN 1983 UU Perpajakan yang berlaku sebelum tahun 1983 memiliki landasan, pemikiran, jiwa, sasaran, dan, tujuan yang tidak sesuai dengan harkat, martabat, hakikat, dan jiwa bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat. Sebelum Reformasi Setelah Reformasi Hukum Pajak warisan kolonial dengan tujuan Perpajakan sebagai wujud kewajiban menghimpun dana bagi penjajah untuk kenegaraan untuk pembiayaan dan mempertahankan dan memperbesar pembangunan nasional kekuasaan Official Assessment Self Assessment, masyarakat diberikan kepercayaan untuk mendaftar, menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang Tanggung jawab pemungutan pajak terletak Tanggung jawab pelaksanaan kewajiban sepenuhnya pada penguasa pemerintahan perpajakan berada di tangan Wajib Pajak Citra apparat kurang baik sehingga Pemungutan pajak merupakan perwujudan masyarakat berprasangka jelek terhadap pengabdian dan peran serta Wajib Pajak pajak Wajib Pajak kurang mendapatkan pembinaan Fiskus berperan aktif dalam pembinaan dan kewajiban perpajakan dan kurang ikut pengawasan kewajiban perpajakan berperan dalam memikul beban Negara (apatis) Jumlah Wajib Pajak saat itu masih sedikit Kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak lebih diperhatikan SEJARAH HUKUM PAJAK INDONESIA Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya. 15 Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri. Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut: 1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga; 2. Aturan Bea Meterai; 3. Ordonansi Bea Balik Nama; 4. Ordonansi Pajak Kekayaan; 5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor; 6. Ordonansi Pajak Upah; 7. Ordonansi Pajak Potong; 8. Ordonansi Pajak Pendapatan; 9. Undang-undang Pajak Radio; 10. Undang-undang Pajak Pembangunan I; 11. Undang-undang Pajak Peredaran. Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain: 1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968; 2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti; 3. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa; 4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; 5. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs. Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah: 1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); 16 2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); 3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM; 4. UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment); 5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu: 1. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994; 2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994; 3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994; 4. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994. Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu: 1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak; 2. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 3. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; 4. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu: 1. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP; 2. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh; 3. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM; 4. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP; 5. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB; 6. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta 7. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai. Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung, maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997. Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009, serta UU PPN No 42 17 Tahun 2009 yang berlaku mulai tahun 2010. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007. SIKLUS PAJAK Beberapa fase yang akan dilalui oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Fase-fase tersebut antara lain: 1. Fase timbulnya hak dan kewajiban di bidang perpajakan Fase ini dimulai dengan berlakunya Undang-Undang. “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang” (Pasal 23A UUD 1945). 2. Fase self assessment Fase ini dimulai ketika suatu pihak berdasarkan UU Pajak Penghasilan ditentukan sebagai Wajib Pajak mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan kemudian kepadanya diberikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Termasuk dalam fase ini antara lain melakukan pembukuan atau pencatatan, menghitung pajak terutang, melakukan pembayaran dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). 3. Fase pengawasan Fase ini dimulai pada saat SPT yang disampaikan Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan pajak sampai terbitnya ketetapan pajak. 4. Fase sengketa Fase ini dimulai pada saat Wajib Pajak merasa tidak puas dengan keputusan yang diterbitkan oleh DJP. Termasuk dalam fase ini adalah proses pengajuan keberatan atas suatu ketetapan pajak. 5. Fase penyelesaian sengketa Fase ini bermuara ke lembaga yang menangani banding atau gugatan yaitu Pengadilan Pajak. PENGGOLONGAN JENIS PAJAK Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain: 1. Berdasarkan pihak yang menanggung, pajak terdiri dari dua macam pajak yaitu: a. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. 18 Contoh: Pajak Penjualan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM), Bea Materai, dan Cukai. 2. Berdasarkan sifatnya, pajak terdiri dari dua macam, antara lain: a. Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah tanggungan dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. b. Pajak Objektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan atau perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak. 3. Berdasarkan pihak yang memungut pajak, terdiri dari dua macam, antara lain: a. Pajak Pusat, adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak – Kementerian Keuangan. Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: 1) Pajak Penghasilan (PPh); 2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN); 3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); 4) PBB P5L; 5) Bea Meterai. b. Pajak Daerah, adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jenis pajak yang dikelola pemerintah daerah antara lain: 1. Pajak Provinsi a) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB); b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB); c) Pajak Alat Berat (PAB); d) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); e) Pajak Air Permukaan (PAP); f) Pajak Rokok; g) Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Opsen MBLB). 19 2. Pajak Kabupaten/Kota a) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2); b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB); c) Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT); d) Pajak Reklame; e) Pajak Air Tanah (PAT); f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB); g) Pajak Sarang Burung Walet; h) Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (Opsen PKB); i) Opsen Bea Balik nama Kendaraan Bermotor (Opsen BBNKB); SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK Negara menentukan sistem pemungutan pajak yang akan digunakan atau diterapkan dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi Negara dengan tidak mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak dalam berperan serta di bidang pembiayaan pengelolaan Negara. Tata cara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung dari sistem pemungutan pajak yang digunakan. Sistem pemungutan pajak hanya bergantung pada kehendak Negara untuk menerapkannya dalam setiap Undang-Undang Pajak, sepanjang masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukum yang responsif. 1. Sistem Self Assessment Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak boleh diintervensi oleh pejabat pajak. Pejabat pajak hanya bersifat pasif dan wajib pajak bersifat aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang. Pejabat pajak tidak terlibat dalam penentuan jumlah pajak yang terutang sebagai beban yang dipikul oleh wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan cara (memberikan bimbingan) bagaimana wajib pajak memenuhi kewajiban dan menjalankan hak berdasarkan peraturan Perundang-undangan perpajakan agar tidak terjadi pelanggaran hukum. 2. Sistem Official Assessment Dalam sistem official assessment, terdapat campur tangan pejabat pajak dalam penentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak, yaitu berupa keterlibatan pejabat pajak dalam menerbitkan ketetapan pajak yang berisikan utang pajak dan bahkan dapat memuat sanksi hukum. Pajak yang terutang dalam ketetapan pajak merupakan inisiatif dari pejabat pajak berdasarkan objek pajak yang diterima, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak. Undang- Undang PBB merupakan contoh penerapan sistem official assessment di Indonesia, yang memberi kepercayaan kepada pejabat pajak untuk menentukan besarnya pajak yang wajib 20 dibayar lunas oleh wajib pajak terhadap objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkannya. 3. Sistem Withholding Tax Menurut sistem withholding tax atau sistem pemungutan pajak, pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas negara. DEFINISI KEUANGAN PUBLIK Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas finansial pemerintah. Yang termasuk pemerintah di sini adalah seluruh unit pemerintah dan institusi atau organisasi pemegang otoritas publik lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh pemerintah. Keuangan publik menjelaskan belanja publik dan teknik-teknik yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai belanja tersebut. Keuangan publik juga menganalisis pengeluaran publik untuk membantu kita dalam memahami mengapa jasa tertentu harus disediakan oleh negara dan mengapa pemerintah menggantungkannya pada jenis-jenis pajak tertentu. Dalam keuangan publik, sebagai contoh, uraian-uraian mengapa pertahanan nasional harus dikelola oleh negara sedangkan makanan diserahkan kepada swasta dan mengapa suatu negara menggunakan komposisi berbagai jenis pajak - bukan pada pajak tunggal - merupakan hal-hal yang dibahas didalamnya. Keuangan publik mempelajari proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, karena setiap keputusan mempunyai pengaruh pada ekonomi dan keuangan rumah tangga dan swasta. Sehingga, penting untuk mengembangkan model-model ekonomi yang membantu menjelaskan arti alokasi sumber daya yang efisien atau optimal, arti keadilan, dan antisipasi akibat finansial maupun ekonomi atas suatu keputusan publik. Dengan demikian, fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah dan menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, ditribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. PENTINGNYA SEKTOR PUBLIK Pemerintah bertanggung jawab dalam melakukan tiga kegiatan publik utama, yang diantaranya adalah penyediaan pertahanan nasional, keadlian sosial, dan pekerjaan umum. John Stuart Mill (1921), menyampaikan beberapa alasan mengenai perlunya aktivitas publik yang dilakukan oleh pemerintah yang diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Dalam hal pertahanan nasional, campur tangan pemerintah, walaupun harus membatasi kebebasan individu, tetap dibutuhkan dalam memelihara perdamaian dan melindungi masyarakat terhadap serangan yang datang dari luar maupun dari dalam; 21 2. Pemerintah haruslah bersifat inferior dalam melakukan kegiatan industri dan perdagangan, karena usaha seperti itu dapat dijalankan oleh sektor swasta; 3. Individu akan lebih percaya diri apabila mengerjakan sesuatu kepentingannya sendiri sehingga pemerintah hanya bergerak dalam area yang menyangkut kepentingan publik atau umum. Peran pemerintah tetap diperlukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi karena mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan. Di antara kelemahan- kelemahan mekanisme pasar tersebut: 1. Adanya barang publik yang tidak dapat disediakan oleh meklanisme pasar sehingga harus disediakan oleh pemerintah; 2. Adanya perbedaan antara biaya pribadi dan biaya sosial, manfaat pribadi dan manfaat sosial, sehingga pemerintah secara nyata diperlukan dalam pengelolaan biaya dan manfaat sosial karena swata tidak mempunyai keinginan untuk mengelolanya; 3. Adanya risiko yang sangat besar yang tidak mungkin dikelola oleh swasta; 4. Adanya sifat monopoli dalam bidang usaha tertentu yang menyebabkan pemerintah harus campur tangan agar monopoli tidak merugikan para pelaku ekonomi; 5. Adanya inflasi atau deflasi yang tidak dapat diselesaikan secara otomatis oleh mekanisme pasar; 6. Adanya distribusi pendapatan yang tidak merata antar pelaku ekonomi pasar. KARAKTERISTIK KEBIJAKAN PUBLIK Terdapat sejumlah kriteria dalam menilai pentingnya sektor publik. Kriteria pertama adalah komposisi output pengeluaran publik haruslah sesuai dengan keinginan konsumen, kedua adalah adanya preferensi penagmbilan keputusan yang terdesentralisasi, dan ketiga, tidak menyerahkan ekonomi hanya pada kekuatan pasar karena mekanisme pasar tidak dapat melaksanakan semua fungsi ekonomi. Dengan demikian karakteristik kebijakan publik mempunyai sifat mengarahkan, mengoreksi, dan melengkapi peranan mekanisme pasar. Secara lebih terperinci, karakteristik-karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Untuk mencapai efisiensi pasar; 2. Peraturan Pemerintah; 3. Pertukaran barang dan jasa tertentu; 4. Timbulnya masalah eksternalitas yang perlu dipecahkan oleh pemerintah melalui anggaran, subsidi, dan pajak; 5. Perlunya peran sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam mekanisme pasar; 6. Untuk menjamin kesempatan kerja, stabilitas harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi. 22 RUANG LINGKUP KEUANGAN PUBLIK Ruang lingkup keuangan publik menyangkut kondisi-kondisi adanya eksternalitas yang perlu dikendalikan pemerintah, adanya barang publik yang perlu dialokasikan oleh pemerintah, adanya mekanisme pasar yang perlu diintervensi pola distribusinya oleh pemerintah karena berbagai alasan, perlunya pencapaian kondisi stabil dalam ekonomi dimana peran pemerintah sangat dominan, dan sebagainya. Secara lebih terperinci: a. Keuangan publik mencoba memberikan gambaran tentang pilihan publik yang menyangkut aspek intuisi publik, keseimbangan publik yang dicapai melalui proses pemilihan umum. Hasil pemilihan umum ini akan menghasilkan keputusan yang diantaranya menyangkut penyediaan barang dan jasa publik, dan jasa-jasa alokasi dan distribusi sumber daya. b. Keuangan publik akan mencakup masalah-masalah bagaimana pemerintah memperoleh pendapatannya. Sumber pendapatan pemerintah dapat mencakup pajak dan non pajak, dan dalam keuangan publik, sumber-sumber tersebut akan dihubungkan dengan aspek keadilan dan distribusi pendapatan. c. Keuangan publik membahas aspek belanja publik yang merupakan aktivitas utama pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik untuk kesejahteraan masyarakat. Salah satu titik penting pada sisi belanja pemerintah tersebut adalah adanya efek pengganda (multiplier) yang diperankan oleh pemerintah. d. Keuangan publik membahas aspek pembiayaan yang meliputi kegiatan memperoleh pendapatan, kegiatan yang mencakup belanja publik, dan kegiatan yang sering disebut sebagai struktur fiskal. e. Keuangan publik membahas kegiatan analisis hubungan antara kebijakan pemerintah dengan perekonomian yang dikelola oleh rumah tangga dan swasta. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA R. Santoso Brotodihardjo menyatakan bahwa hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang Pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (Wajib Pajak). Rochmat Soemitro menyatakan hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan hukum antara Pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan: 1) siapa yang menjadi Wajib Pajak atau subjek pajak; 2) apa kewajiban mereka terhadap Pemerintah; 23 3) hak-hak Pemerintah; 4) objek-objek yang dikenakan pajak; 5) timbul dan hapusnya hutang pajak; 6) cara penagihan hutang pajak; 7) cara mengajukan keberatan / banding; 8) dan lain-lain. Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pajak adalah termasuk hukum publik (mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang/badan termasuk badan hukum). Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perseorangan yang memilki karakter mengatur dengan tujuan melindungi kepentingan individu (individual interest). Secara yuridis formal, KUHPerdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu: 1. buku I mengatur tentang orang (van Perrsonen) mulai Pasal 1 s/d 498, 2. buku II mengatur tentang benda (van Zaken) mulai Pasal 499 s/d 1232, 3. buku III mengatur tentang perikatan (van Verbintenissen) mulai Pasal 1233 s/d 1864, dan 4. buku IV mengatur tentang pembuktian dan Kadaluwarsa (van Bewijs en Verjaring) mulai Pasal 1865 s/d 1993. Namun berdasarkan sistematika ilmu hukum, sistematika hukum perdata terbagi atas hukum perorangan (personenrecht), bagian kedua tentang hukum keluarga (Familierecht), bagian ketiga tentang hukum harta kekayaan (Vermogenrecht), dan bagian keempat tentang hukum waris (Erfrecht). Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan. Dengan demikian hukum perdata ini mengikat hanya antara orang yang satu dengan orang yang lain yang memiliki hubungan hukum. Hubungan hukum yang umumnya memuat hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian dengan asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian apabila muncul masalah dalam pelaksanaannya maka pihak yang merasa dirugikan dalam perjanjian tersebut dapat melakukan suatu upaya hukum melalui jalur hukum untuk menuntut kembali haknya yang dilanggar oleh pihak lain. Kesimpulan: 1. Hukum pajak mengambil sasaran pada peristiwa, keadaan dan perbuatan yang berada dalam lapangan perdata sebagai odjek pengenaannya. Misalnya pada kepemilikan bumi dan bangunan akan dikenakan pajak bumi dan bangunan. Hubungan bumi dan bangunan dengan pemiliknya adalah merupakan hubungan perdata. 24 2. Hukum pajak mengunakan istilah-istilah dalam hukum perdata, misalnya kompensasi, pembebasan utang, pambayaran, daluwarsa, domisili dan lain-lain. Namun dalam penerapannya harus sudah ditentukan dalam UU. 3. Hubungan antara Hukum Pajak dengan Hukum perdata ada yang berpendapat hubungan antara hukum umum dan hukum khusus. Perdata merupakan hukum umum dan hukum pajak merupakan hukum khusus. Artinya hukum perdata harus dipandang sebagai hukum umum yang berlaku bagi serangkaian hubungan hukum sepanjang tidak ditentukan secara khusus (lex specialis derogat lex generalis). PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari lex specialis derogat lex generale, maka dalam setiap Undang-Undang, penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada di ketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata, antara lain: 1. Hak majikan memotong Pajak. a. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa: “Si majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan”. b. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama maupun yang baru. Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordonansi PPd 1944 menyatakan bahwa “majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak Upah/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji”. Di dalam Pasal 21 UU Pajak Penghasilan dinyatakan pada ayat (1): Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh: a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia, b. dan seterusnya. Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-Undang Pajak sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan wajib membayar gaji kepada si buruh, padahal dalam Undang-Undang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini ketentuan dalam Undang-Undang Pajaknya yang dianut. 25 HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dengan demikian, hukum pidana mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum. Segala peraturan tentang pelanggaran, kejahatan, dan sebagainya diatur dalam undang-undang yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang disingkat KUHP. Hukum Pajak berhubungan dengan hukum pidana karena jika wajib pajak (WP) menghindari pembayaran pajak, membayar dengan pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya, maka dikenakan pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku, dikarenakan ketentuan pidana juga diatur dalam hukum pajak. Sebagaimana diketahui bahwa hukum pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHP tetapi di luar itu juga terdapat ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya yang meliputi bermacam-macam bidang yang salah satunya adalah hukum pajak. Dalam penjelasan Pasal 13A UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan), pengenaan sanksi pidana pajak merupakan upaya terakhir dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Faktor seseorang melakukan pidana khusus dalam hukum pajak sehingga timbul hukum pidana: a. Wajib Pajak mengisi formulir dan keterangan secara palsu atau tidak dengan sebenarnya, maka wajib pajak itu dapat dipidana telah memalsukan keterangan. b. Dalam Pasal 322 KUHPidana diancam terhadap pegawai yang sengaja membuka rahasia, yang seharusnya disimpan secara baik. c. Terhadap orang atau badan yang melakukan usaha menyimpan, menguasai atau membuat laporan keuangan dan harta benda kekayaan pihak ketiga, seperti: Akuntan, Biro Administrasi, Biro Penasehat, wajib memberi keterangan dan memperlihatkan arsip kepada petugas pajak, jika melakukan pelanggaran terhadap hal ini maka dikenakan hukuman pidana. d. Berdasarkan STB 1941 No. 491 terhadap seseorang yang memakai lagi materai tempel yang telah dipakai, merupakan kejahatan Pidana Fisikal dan diancam sesuai pasal 122 ayat 1 Aturan bea materai 1921 dan pasal 260 KUHPidana. e. Sogok atau suap kepada wajib pajak dan sebaliknya. f. Pemerasan terhadap wajib pajak. g. Adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan di bidang perpajakan. 26 Ancaman pidana dalam hukum pajak mengacu pada ketentuan hukum pidana. Pada ketentuan pasal 103 KUHP yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan undang-undang lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.” Misalnya wajib pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam pasal 231 KUHP. Demikian pula halnya jika terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP. Termasuk misalnya dalam hal pembuktian tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHAP. Namun, sesungguhnya pengenaan sanksi pidana pajak sangat kontraproduktif dan tidak sejalan dengan fungsi pajak sebagai penerimaan negara, oleh karena itu pengenaan sanksi pidana hanyalah sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sebagaimana penjelasan Pasal 13A UU KUP. Untuk itu, diatur juga dalam UU KUP tentang ketentuan pembayaran denda sebagai pengganti sanksi pidana. Ultimum remedium merupakan istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Bahkan ultimum remedium tidak hanya suatu istilah, tetapi juga merupakan suatu asas hukum. PENEMUAN HUKUM DAN PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK Dalam ilmu hukum dikenal sumber hukum, yaitu segala apa saja yang menimbulkan aturan- aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, aturan-aturan tersebut kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum terdiri dari: undang-undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie), traktat (treaty), pendapat sarjana hukum (doktrin). Berdasarkan Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (ABWI), keputusan hakim diakui sebagai sumber hukum. Dengan demikian oleh peraturan Perundang- undangan telah diakui bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentukan hukum. Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan Perundang-undangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu hakim turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak maka. Scholten mengatakan bahwa hakim menjalankan “rechtsvinding” (penemuan hukum). 27 Walaupun hakim ikut menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentuk undang- undang, DPR) karena keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan Perundang-undangan. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 21 AB bahwa hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Disamping itu apabila suatu undang-undang isinya tidak jelas, seorang hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum. Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan Perundang-undangan tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang. Hal tersebut bertujuan agar dapat mencapai kehendak pembuat undang- undang dan sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat maka hakim menggunakan beberapa cara penafsiran peraturan Perundang-undangan. Meskipun peraturan Perundang-undangan telah diatur selengkap-lengkapnya namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. Hal ini bisa terjadi mengingat pada saat peraturan Perundang-undangan dibuat ada hal-hal yang belum ada atau belum dikenal seperti listrik. Aliran listrik sekarang telah dianggap sebagai benda, sehingga barangsiapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib termasuk perbuatan yang melanggar hukum yaitu tindak pidana pencurian. Mengingat hukum bersifat dinamis maka hakim sebagai penegak hukum harus berpedoman pada peraturan Perundang-undangan demi mencapai kepastian hukum. Sedangkan di dalam memberikan putusan hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Agar hukum bersifat luwes maka peraturan Perundang-undangan juga harus mengikuti perkembangan zaman. Untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya, hakim harus mengingat pada adat-kebiasaan, jurisprudentie, ilmu pengetahuan dan akhirnya pendapat hakim itu sendiri ikut menentukan, dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum. Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-Undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi. Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui dan memahami arti kaedah-kaedah hukum. Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum: a. Penafsiran tata bahasa (gramatika) 28 Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang, yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Misalnya dalam suatu peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan istlah “kendaraan”. Mengingat kendaraan dapat berupa kendaraan roda dua, roda empat, atau sepeda. Dengan demikian sepatutnya suatu peraturan perundang- perundangan memperjelas kendaraan bermotor jenis apa yang dilarang parkir. Penafsiran menurut tata bahasa merupakan penafsiran yang paling penting dibandingkan dengan penafsiran- penafsiran lainnya, sebab apabila kata-kata dalam kalimat suatu pasal dalam undang- undang telah jelas maksudnya maka tidak boleh lagi dipergunakan cara-cara penafsiran lainnya. b. Penafsiran sahih (resmi, autentik) Penafsiran sahih (resmi, autentik) adalah penafsiran yang pasti terhadap kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Misalnya pengertian “saat terutangnya PPN untuk penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak” sesuai Pasal 11 ayat (2) UU PPN dinyatakan bahwa dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. c. Penafsiran histories Penafsiran histories adalah penafsiran terhadap suatu peraturan Perundang-undangan berdasarkan pada sejarah pembentukan peraturan Perundang-undangan tersebut. Penafsiran histories dibagi 2 (dua) yaitu: 1. Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah secara keseluruhan terjadinya hukum tersebut, misalnya peraturan Perundang-undangan perpajakan dimulai dari zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan saat ini. 2. Sejarah undang-undangnya, penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi di legislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya yang dipelajari adalah maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu, misalnya didenda f 10, sekarang ditafsirkan dengan uang R.I., sebesar Rp10,- 29 d. Penafsiran sistematis (dogmatis) Penafsiran sistematis adalah penafsiran memiliki susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain. Misalnya tanggal jatuh tempo penyetoran dan pelaporan PPN selama ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU KUP yaitu “PPN yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan PPN tersebut disetor paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak sesuai Pasal 3 ayat (3) UU KUP”. Setelah berlakunya UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 pada tanggal 1 April 2010 maka ketentuan tentang tanggal setor dan lapor PPN berubah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15A UU PPN yaitu “penyetoran PPN oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan”. e. Penafsiran sosiologi Penafsiran sosiologi yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang- undang. Hal ini penting karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat berubah dan berkembang sesuai perkembangan masa, sedangkan undang-undang tetap saja. f. Penafsiran ekstensif Penafsiran ekstensif adalah penafsiran dengan memperluas arti, kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimaksudkan dalam ketentuan itu. Misalnya “aliran listrik termasuk benda”. g. Penafsiran restriktif Penafsiran restriktif ialah penafsiran dengan mempersempit arti kata-kata dalam suatu undang-undang, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacat dan lain-lain. h. Penafsiran analogis Penafsiran analogis ialah penafsiran pada suatu hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. i. Penafsiran a contrario Penafsiran a contrario ialah suatu cara penafsiran undang-undang yang didasarkan pada lawan dari ketentuan tersebut. Contoh Pasal 34 BW yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya 30 terdahulu diputuskan. Bagaimana hanya dengan laki-laki? Tidak berlaku karena kata laki-laki tidak disebutkan. Penafsiran sebagaimana diuraikan di atas harus dibatasi dalam menafsirkan peraturan Perundang-undangan perpajakan dan penafsiran yang tidak diperkenankan dalam menafsirkan peraturan Perundang-undangan perpajakan adalah penafsiran analogis dan a contrario. Kedua penafsiran ini sangat berbahaya, misalnya objek yang dikenakan pajak dalam undang-undang dengan interpretasi analogis dapat diperluas, sehingga objek yang tidak disebut dalam undang-undang akhirnya dapat dikenakan pajak. Demikian juga penafsiran a contrario, misalnya objek yang tidak dikenakan pajak sesuai undang-undang dengan interpretasi a contrario menjadi dikenakan pajak. Soemitro (2004 : 22) penjelasan yang diberikan dalam memori penjelasan adalah tidak mengikat, sebab penjelasan bukan merupakan ketentuan undang-undang sehingga masih dapat dipersoalkan di muka pengadilan. Tafsiran yang diberikan oleh pelaksana sangat lemah dan masih dapat dijadikan sengketa dalam pengadilan maka oleh sebab itu jangan diberikan kesempatan kepada pelaksana untuk memberikan penafsiran mengenai suatu ketentuan hukum. Dalam praktek sering pelaksana memberikan tafsiran mengenai sesuatu tetapi menurut hukum ini tidak mengikat walaupun tafsiran itu digunakan olehnya untuk melaksanakan undang-undang yang bersangkutan. Cara-cara penafsiran sebagaimana telah diuraikan terdahulu pada umumnya berlaku dalam Hukum Pajak, namun penafsiran undang-undang pajak sering dilihat dengan kaca mata yang istimewa, sehingga sering para sarjana mengatakan sebagai masalah yang luar biasa. Alasannya banyak orang yang berbuat demikian, karena berdasarkan kenyataan, bahwa corak pemungutan pajak berpengaruh besar atas cara-cara penafsiran itu. Brotodihardjo (1982 : 147), menyatakan bahwa hingga kini yang merupakan titik persengketaan di antara para sarjana adalah penafsiran analogi dalam Hukum Pajak, sekali pun pada gelagatnya pada akhir-akhir ini mereka cenderung kepada pendapat bawa penafsiran semacam ini harus tidak dipergunakan dalam penafsiran Perundang-undangan pajak. Berdasarkan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang. Artinya, bahwa tidaklah sekali-kali diperkenankan memungut pajak selain berdasarkan undang-undang. Maksud dari ketentuan ini agar wajib pajak tidak diperlakukan semena-mena oleh Fiskus. Pemungutan pajak di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi harus berdasarkan undang-undang; hal ini sesuai dengan Pasal 23A ayat (2) Amandemen Ketiga UUD Negara Republik Indonesia 1945 “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. 31 SAAT DIMULAINYA KEWAJIBAN PERPAJAKAN A. DASAR HUKUM UU Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 TAHUN 2023. Saat dimulainya kewajiban perpajakan: a. Saat dimulainya kewajiban perpajakan adalah saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan sehubungan adanya perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. b. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP seharusnya dibaca dan ditafsirkan secara utuh dan satu kesatuan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP. Kewajiban perpajakannya dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, berlaku bagi: 1. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan; atau 2. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan. c. Dalam hal diperoleh data dan informasi atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang menimbulkan adanya pajak yang terutang sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan, apabila Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak atas kewajiban perpajakan tersebut belum melewati daluwarsa penetapan pajak. d. Sesuai prinsip self assessment, Wajib Pajak dapat diberikan kesempatan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melaporkan dalam Surat Pemberitahuan atas kewajiban perpajakan sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan. SUBJEK PAJAK DAN BUKAN SUBJEK PAJAK A. DASAR HUKUM Pasal 2, Pasal 2A, Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 (disebut dengan UU PPh). 32 B. YANG MENJADI SUBJEK PAJAK (Pasal 2 UU PPh) (1) Yang menjadi subjek pajak adalah: a. 1. orang pribadi; dan 2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; b. badan; dan c. bentuk usaha tetap. C. KLASIFIKASI SUBJEK PAJAK, SAAT MULAI DAN BERAKHIRNYA KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri adalah (Pasal 2 ayat 3 UU PPh): 1. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang: a. bertempat tinggal di Indonesia; b. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau c. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama‐lamanya. (Pasal 2A ayat (1) UU PPh). 2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan; b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Kewajiban pajak subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. (Pasal 2A ayat (2) UU PPh). 3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya 33 warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi. Subjek pajak luar negeri adalah (Pasal 2 ayat 4 UU PPh): 1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia; 2. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan: 1. tempat tinggal; 2. pusat kegiatan utama; 3. tempat menjalankan kebiasaan; 4. status subjek pajak; dan/atau 5. persyaratan tertentu lainnya, yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; dan 4. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan computer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan 34 adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ketentuan tambahan: Saat dimulainya kewajiban perpajakan adalah saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan sehubungan adanya perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. 1. Kewajiban perpajakannya dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, berlaku bagi: a. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan; atau b. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan. 2. Dalam hal diperoleh data dan informasi atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang menimbulkan adanya pajak yang terutang sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan, apabila Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak atas kewajiban perpajakan tersebut belum melewati daluwarsa penetapan pajak. 3. Sesuai prinsip self assessment, Wajib Pajak dapat diberikan kesempatan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melaporkan dalam Surat Pemberitahuan atas kewajiban perpajakan sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, sesuai peraturan Perundang-undangan perpajakan. D. BUKAN SUBJEK PAJAK Yang tidak termasuk subjek pajak adalah: (Pasal 3 UU PPh) 1. kantor perwakilan negara asing; 2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; 3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 35 b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat : a. bukan warga negara Indonesia; dan b. tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Organisasi Internasional adalah organisasi, badan, lembaga, asosiasi, perhimpunan, forum antar pemerintah atau non pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas utama atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia. (Pasal 1 PMK 235/PMK.010/2020 tentang Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan). PEMBUATAN ATURAN DAN KEBIJAKAN Pembentukan peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang- undangan. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan Perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan Perundang-undangan. Dalam modul ini akan diuraikan tentang Pengertian, Asas Peraturan Perundang-undangan, Materi Muatan, Pengundangan dan Penyebarluasan, serta Partisipasi Masyarakat. I. Pengertian Peraturan Perundang-undangan a. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. b. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. c. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 36 d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. e. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. f. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. g. Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. h. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. i. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. II. Pancasila Merupakan Sumber Dari Segala Sumber Hukum Negara Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Penempatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya. III. Asas Peraturan Perundang-undangan Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang- 37 undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya. d. Dapat dilaksanakan Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Kejelasan rumusan Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan. IV. Materi Asas Muatan Peraturan Perundang-undangan Materi pemuatan peraturan Perundang-undangan mengandung asas antara lain: a. Pengayoman Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Kemanusiaan Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 38 c. Kebangsaan Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. d. Kekeluargaan Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Kenusantaraan Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Bhinneka Tunggal Ika Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Keadilan Yang dimaksud dengan "asas keadilan"