Summary

This document covers learning theories and their implications in teaching. It discusses behavioristic, cognitive, constructivist, and humanistic learning theories in detail. The material is presented in a module format, likely for educational purposes.

Full Transcript

MODUL 1 KEGIATAN BELAJAR 3 TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN 82 KEGIATAN BELAJAR 3: TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN PENDAHULUAN S audara Mahasiswa, bagaimana kabar Anda saat ini? Semoga Anda selalu sehat dan tetap semangat dalam mempelajari modul 1 ini. Ki...

MODUL 1 KEGIATAN BELAJAR 3 TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN 82 KEGIATAN BELAJAR 3: TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN PENDAHULUAN S audara Mahasiswa, bagaimana kabar Anda saat ini? Semoga Anda selalu sehat dan tetap semangat dalam mempelajari modul 1 ini. Kini Anda berada pada Kegiatan Belajar 3 Modul 1 mata kuliah Pedagogik. Dalam Kegiatan Belajar 3, Anda akan mempelajari tentang Teori Belajar dan Implikasinya dalam Pembelajaran. Saudara mahasiswa dalam rangka meningkatkan profesionalisme sebagai seorang pendidik, salah satu kemampuan yang dituntut untuk dikuasai oleh seorang guru adalah memahami bagaimana peserta didik kita belajar. Serangkaian pertanyaan terkait apakah perilaku yang menandakan bahwa belajar telah berlangsung dalam diri peserta didik? Bagaimana informasi yang diperoleh dari lingkungan diproses dalam pikiran peserta didik sehingga menjadi milik mereka yang kemudian dikembangkan? Sampai kepada pertanyaan, bagaimana seharusnya suatu informasi itu disajikan agar dapat diterima dengan baik oleh peserta didik? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya dapat dijawab apabila seorang guru memiliki pemahaman yang baik terkait teori-teori belajar yang melandasai dalam praktik pembelajaran. Penerapan dari berbagai teori belajar sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran, dimana guru dapat memahami bagaimana peserta didik belajar, membantu dalam membuat perencanaan suatu proses pembelajaran agar lebih efektif, efisien, menantang dan menyenangkan bagi peserta didik. Tidak hanya itu dengan menguasai beragam teori belajar dan implikasinya dalam pembelajaran akan memandu guru dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada peserta didik sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal. 83 Modul ini dapat membantu guru memantapkan dirinya dalam menjalankan profesinya sebagai seorang pendidik. Materi ini bertujuan untuk menghimpun segala pemikiran yang telah diberikan para ahli terhadap belajar dan pembelajaran dengan harapan dapat dijadikan bekal bagi para guru agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Saudara mahasiswa, agar Anda dapat menguasai materi modul 1 Kegiatan Belajar 3 dengan baik dan mencapai capaian pembelajaran yang telah dirumuskan, maka Anda perlu ikuti petunjuk belajar berikut ini : a. Pahami dengan baik kompetensi yang harus Anda kuasai, dan pelajari Kegiatan Belajar 3 dengan sepenuh hati dan tanggungjawab. b. Bacalah materi kegiatan Belajar 3 dengan cermat dan seksama, serta tambahkan catatan-catatan seperlunya untuk membantu ingatan Anda. c. Cermati dan kerjakan tugas yang diberikan dengan sungguh-sungguh. Jangan lupa, gunakan pengetahuan dan pengalaman yang telah Anda miliki sebelumnya. d. Kerjakan tes formatif yang diberikan dan gunakan rambu-rambu jawaban untuk mengetahui ketuntasan belajar Anda. e. Jangan lupa membuat catatan khusus yang Anda pandang penting selama mempelajari isi modul. Selamat belajar dan semoga Anda berhasil dengan baik……! 84 INTI 1. Capaian Pembelajaran Saudara mahasiswa, setelah mempelajari keseluruhan materi pada Kegiatan Belajar 3 Modul 1 ini, Anda diharapkan dapat menerapkan teori belajar dalam pembelajaran untuk mendukung tugas keprofesian dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang mendidik agar membangun sikap (karakter Indonesia), pengetahuan dan keterampilan peserta didik. 2. Sub Capaian Pembelajaran Setelah mempelajari materi dalam kegiatan belajar 3 modul 1 ini, Saudara mahasiswa dapat : a. Menjelaskan teori belajar behavioristik b. Menerapkan implikasi teori belajar behavioristik dalam pembelajaran c. Menjelaskan teori belajar kognitif d. Menerapkan implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran e. Menjelaskan teori belajar konstruktivistik f. Menerapkan implikasi teori belajar konstruktivistik dalam pembelajaran g. Menjelaskan teori belajar humanistik h. Menerapkan implikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran 3. Pokok-pokok materi Adapun pokok-pokok materi yang akan disajikan untuk mendukung capaian pembelajaran di atas adalah sebagai berikut : a. Teori belajar Behavioristik dan implikasinya dalam pembelajaran b. Teori belajar Kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran c. Teori belajar Konstruktivistik dan implikasinya dalam pembelajaran d. Teori belajar Humanistik dan implikasinya dalam pembelajaran 85 4. Uraian materi a. Teori belajar Behavioristik dan implikasinya dalam pembelajaran 1) Pandangan Teori Belajar Behavioristik Saudara mahasiswa, Anda sudah tidak asing lagi dengan teori belajar behavioristik bukan? Mungkin saja teori ini sudah sangat sering kita terapkan dalam praktik pendidikan yang kita laksanakan. Tahukah Anda, istilah apakah yang sering digunakan untuk menyebut teori belajar behavioristik? Ya, tepat sekali. Teori belajar behavioristik dikenal juga dengan teori belajar perilaku, karena analisis yang dilakukan pada perilaku yang tampak, dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Belajar merupakan perubahan perilaku manusia yang disebabkan karena pengaruh lingkungannya. Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku individu yang belajar dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan, artinya lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Teori ini memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungannya (Schunk, 1986). Pengalaman dan pemeliharaan akan pengalaman tersebut akan membentuk perilaku individu yang belajar. Dari hal ini, munculah konsep “manusia mesin” atau Homo mechanicus (Ertmer & Newby, 1993). Behavioristik memandang bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antar stimulus dan respon (Robert, 2014). Sehingga, dapat kita pahami bahwa belajar merupakan bentuk dari suatu perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Peserta didik dianggap telah melakukan belajar jika dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contohnya, peserta didik dapat dikatakan bisa membaca jika ia mampu menunjukkan kemampuan membacanya dengan baik. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati hanyalah stimulus dan 86 respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru merupakan stimulus, dan apa saja yang dihasilkan peserta didik merupakan respon, semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Behavioristik mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R (Stimulus – Respon) psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Pendidik yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkah laku peserta didik merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar. Behaviorisme, pertama kali didefinisikan dengan jelas oleh Watson seorang ahli bidang psikologi yang fokus pada peran pengalaman dalam mengatur perilaku (Robert, 2014), dalam kajian ini akan dibahas beberapa tokoh behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita kaji bersama paparan para tokoh berikut : 87 a) Edward Lee Thorndike (1871-1949) Saudara mahasiswa, mari kita memulai kajian tentang teori belajar yang dikemukakan oleh ahli teori belajar terbesar sepanjang masa Edward Lee Thorndike. Dia bukan hanya merintis karya besarnya dalam teori belajar tetapi juga dalam bidang psikologi pendidikan, dan yang menarik beliau memulai proyek risetnya saat sudah berusia lebih dari 60 tahun (Hergenhahn & Olson, 2001). Thorndike dikenal dengan percobaannya dengan menggunakan kucing dan kotak puzzle (Robert, 2014). Dalam percobaannya, Thorndike menempatkan kucing dalam kotak yang dilengkapi dengan peralatan (tuas, pedal dan knob) yang akan memungkinkan kucing tersebut keluar dari kotak dan mendapatkan makanan yang ditempatkan tepat di luar pintu. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif terkait teori Thorndike, Anda dapat belajar pada link berikut : http://bit.ly/2JCtFwT Dari hasil eksperimennya Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus (S) dan respon (R). dari pengertian tersebut didapatkan bahwa wujud tingkah laku tersebut bisa saja diamati atau tidak dapat diamati (Robert, 2014). Teori belajar Thorndike disebut sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism). Menurut Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba (trial and error), dimana proses mencoba-coba dilakukan bila seseorang tidak tau bagaimana harus memberikan respon atas sesuatu karena 88 kemungkinan akan ditemukan respon yang tepat berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Thorndike juga mengemukakan beberapa hukum tentang belajar (Gredler & Margaret, 2009). 1. Hukum kesiapan (Law of Readiness) 2. Hukum latihan (Law of Excercise) 3. Hukum akibat (Law of Effect) b) Jhon Broades Watson (1878-1958) Saudara mahasiswa, Watson dikenal sebagai pendiri aliran Behaviorisme di Amerika Serikat berkat karyanya yang begitu dikenal “Psychology as the behaviorist view it” (Ertmer & Newby, 1993). Belajar menurut Watson adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Artinya, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak peserta didik itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati. Teori yang dikembangkan oleh Watson ialah Conditioning. Teori conditioning berkesimpulan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Ia percaya dengan memberikan kondisi tertentu dalam proses pembelajaran maka akan dapat membuat peserta didik memiliki sifat-sifat tertentu. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan (perangsang) yang berupa pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Watson juga percaya bahwa kepribadian manusia yang terbentuk melalui berbagai macam conditioning dan berbagai macam refleks. 89 Beberapa pandangan Watson yang dihasilkan dari serangkaian eksperimennya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Belajar adalah hasil dari adanya Stimulus dan Respon (S – R). Stimulus merupakan objek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Sedangkan respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban dari stimulus, respon mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat yang tinggi. 2. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Hal ini dikarenakan Watson tidak mempercayai unsur keturunan (herediter) sebagai penentu perilaku. 3. Kebiasaan atau habits merupakan dasar perilaku yang ditentukan oleh 2 hukum utama yaitu kebaruan (recency) dan frequency. 4. Pandangannya tentang ingatan atau memory, menurutnya apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan atau dilakukan dan factor yang menentukan adalah kebutuhan. Pandangan-pandangan tersebut semakin meyakinkan bahwa para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahanperubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting. Untuk mempelajari lebih dalam tentang teori ini, dapat diakses melalui link berikut: http://bit.ly/2qZk8cS 90 c) Edwin Ray Guthrie (1886-1959) Saudara mahasiswa, seperti halnya tokoh behavioristik Guthrie juga lainnya menggunakan Edwin variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun Guthrie mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis semata. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Guthrie mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Coba kita simak contoh berikut; seorang anak laki-laki yang setiap kali pulang dari sekolah selalu meletakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantung topi dan bajunya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. 91 d) Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990) Saudara mahasiswa, tahu kah Anda bahwa Skinner behavioristik merupakan yang paling tokoh banyak diperbincangkan dibandingkan dengan tokoh lainnya? Penyebabnya adalah bahwa konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensikonsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Asumsi dasar dalam toeri belajar menurut Skinner, yaitu belajar merupakan perilaku dan perubahan-perubahan perilaku yang 92 tercermin dalam kekerapan respon yang merupakan fungsi dari kejadian dalam lingkungan kondisi. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan programprogram pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus– respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner. Teori Skinner dikenal dengan “operant conditioning”, dengan enam konsepnya, yaitu: penguatan positif dan negatif, shapping, pendekatan suksetif, extinction, chaianing of respon, dan jadwal penguatan. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Menurut Skinner, hukuman bukan merupakan teknik yang bisa diandalkan untuk mengontrol perilaku di samping juga cenderung menghasilkan efek samping yang merugikan (Hill, 2009). Lebih baik tidak menggunakan hukuman jika ada alternatif yang efektif dan menyenangkan (misalnya penguatan perilaku yang dikehendaki). Saudara mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang pendapat Skinner terkait dengan hukuman Anda dapat mengakses link berikut: http://bit.ly/31ZRZzg 2) Impliaksi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran Saudara mahasiswa, setelah mengkaji tentang teori behavioristik maka kita ketahui bahwa istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau peserta didik pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting. Teori ini hingga sekarang masih mendominasi praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, bahkan Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara pembiasaan (drill) 93 disertai dengan hukuman atau reinforcement masih sering dilakukan. Mari kita kaji bersama bagaimanakah implikasi dari teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran? Implikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik peserta didik, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau peserta didik. Peserta didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pendidik atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka peserta didik atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Peserta didik atau peserta didik adalah obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri peserta didik. 94 Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan peran yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, yaitu: 1. Membentuk kebiasaan peserta didik. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk dengan sendirinya. 2. Berhati-hati jangan sampai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah, karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit. 3. Jangan membentuk kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan. 4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual. Salah satu contoh pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran terprogram (PI/Programmed Instruction), dimana pembelajaran terprogram 95 ini merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning yang di bawa oleh Skinner. Schunk (2012) menyatakan bahwa pembelajaran terprogram melibatkan beberapa prinsip pembelajaran. Dalam pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame secara berurutan yang setiap frame memberikan informasi dalam potongan kecil dan dilengkapi dengan test yang akan direspon oleh peserta didik. Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada pembelajaran dengan powerpoint dan multimedia. Pembelajaran dengan powerpoint, cenderung terjadi satu arah. Materi yang disampaikan dalam bentuk powerpoint disusun secara rinci dan bagian-bagian kecil. Sementara itu pada pembelajaran dengan multimedia, peserta didik diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat dengan urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu jawaban benar. Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012). Skinner mengembangkan model pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang memberikan feedback kepada peserta didik bila memberikan jawaban benar dalam setiap tahapan dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback pada akhir test. Saudara mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang penerapan implikasi toeri belajar behavioristik dalam proses pembelajaran, Anda dapat mempelajari link berikut: http://bit.ly/33rAGsa b. Teori belajar Kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran 1) Pandangan Teori Belajar Kognitif Saudara mahasiswa, sekarang kita akan mengkaji tentang teori belajar kognitif, setelah sebelumnya kita telah membahas tentang teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif tentu berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan 96 bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Jika teori belajar behavioristik mempelajari proses belajar sebagai hubungan stimulus-respon, teori belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Teori belajar kognitif memandang bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung dan menyeluruh ( Siregar & Hartini, 2010). Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai usaha untuk mangerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh peserta didik. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempratekkan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Para psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan keberhasilan mempelajari informasi/pengetahuan yang baru. Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisahpisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori 97 kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan dari tokoh-tokoh tersebut: a) Jean Piaget (1896-1980) Saudara mahasiswa, tentunya Anda sudah tidak asing lagi dengan tokoh ini bukan? Pemikirannya banyak sekali mewarnai praktik pendidikan yang biasa kita laksanakan. Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Collin, dkk (2012) menggambarkan pemikiran Piaget sebagai berikut: 98 Menurut Piaget, proses belajar terdiri dari 3 tahap, yakni asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam siatuasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi (Siregar dan Nara, 2010). Pada umumnya, Apabila seseorang memperoleh kecakapan intelektual, maka akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur kognitif. Untuk lebih jelasnya coba Anda perhatikan contoh berikut : dalam pembelajaran matematika seorang anak jika sudah memahami prinsip pengurangan maka ketika mempelajari prinsip pembagian akan terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal 99 pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik. Bagaimana apakah Anda sudah memiliki pemahaman tentang konsep asimilasi? Coba renungkan contoh lain sesuai dengan materi yang Anda ajarkan di kelas. Bagaimana, semakin jelaskah dengan pemaparan dalam kajian ini? Mari kita lanjutkan pembahasan materi ini. Saudara mahasiswa, agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan atau ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif. Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu, tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun), tahap praoperasional (umur 2-7/8 tahun), tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal. Singkatnya empat tahap tersebut terdapat di skema berikut: 100 Tabel 1. Skema Empat Tahap Perkembangan Kognitif Piaget Tahap Umur Ciri Pokok Perkembangan Sensorimotor 0-2 tahun  Berdasarkan tindakan  Langkah demi langkah Properasional  Penggunaan simbol/bahasa tanda 2-7/8 tahun  Konsep intuitif Operasional 7/8-11/12 tahun  Revesibel dan kekekalan konkrit Operasional  Pakai aturan jelas/logis 11/12-18 tahun  Hipotesis  Abstrak formal  Deduktif dan induktif  Logis dan probabilitas Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif terkait teori Thorndike, Anda dapat belajar pada link berikut: http://bit.ly/2qZgFuQ b) Jerome Bruner (1915-2016) Saudara mahasiswa, tokoh selanjutnya dalam teori kognitif adalah Jerome Bruner. Beliau adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut: 1. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi rangsangan. 2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realis. 3. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain memalui kata-kata atau 101 lambang tentang apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri. 4. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya. 5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memhami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain. 6. Perkembangan kognitif ditandai dnegan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi. Bruner mengembangkan toerinya yang disebut free discovery learning. Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, toeri, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Peserta didik dibimbig secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum. Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi (Dahar, 2008), asumsi pertama ialah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interkatif. Bruner percaya bahwa orang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu sendiri. Asumsi kedua ialah orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan sebelumnya. Bruner menyatakan untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif peserta didik. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic (Lestari, 2014). 102 1) Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. 2) Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). 3) Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasangagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar. c) David Ausubel (1918-2008) Saudara mahasiswa, salah satu pakar yang mengemukakan teori belajar kognitif adalah David Paulus Ausubel. Beliau adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang memberi penekanan pada belajar bermakna dan juga terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Struktur kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi 103 pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. Yang paling awal mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel. Menurut Ausubel, peserta didik akan belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional content) sebelumnya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada peserta didik (advance orginizer). Dengan demikian, mempengaruhi pengaturan kemajuan belajar peserta didik. Advance orginizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik. Advance orginizer dapat memberikan tiga macam manfaat, yaitu menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari, dan dapat membantu peserta didik untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu, pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang sedang diajarkan. Guru harus memiliki logika berpikir yang baik, agar dapat memilah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami (Siregar & Nara, 2010). Ausubel mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi, yaitu: dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah ada (Dahar, 2006). Informasi yang dikomunikasikan pada peserta didik dalam bentuk belajar penerimaa yang menyejikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri materi yang akan diajarkan. Dan pada tingkatan kedua, peserta didik mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang dimilikinya, hal inilah yang dinamakan dengan belajar bermakna. 104 2) Implikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran Teori kognitif menekankan pada proses perkembangan peserta didik. Meskipun proses perkembangan peserta didik mengikuti urutan yang sama, namun kecepatan dan pertumbuhan dalam proses perkembangan itu berbeda. Dalam proses pembelajaran, perbedaan kecepatan perkembangan mempengaruhi kecepatan belajar peserta didik, oleh sebab itu interaksi dalam bentuk diskusi tidak dapat dihindarkan. Pertukaan gagasan menjadi tanda bagi perkembangan penalaran peserta didik. Perlu disadari bahwa penalaran bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun perkembangannya dapat disimulasikan. Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi peserta didik. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsipprinsip sebagai berikut: a) Peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya b) Anak usia para sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkrit. c) Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan peserta didik maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. d) Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si belajar. 105 e) Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. f) Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui peserta didik. g) Adanya perbedaan individual pada diri peserta didik perlu diperhatiakan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam teori belajar yang dikembangkan oleh bruner melalui 3 tahap, yaitu tahap enaktif, tahap ikonik dan tahap simbolik. Ketiga tahapan ini dilakukan pada kegiatan inti pembelajaran. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014) menerapan teori Bruner untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada pembelajaran simetri lipat, menerapkan 3 tahapan kegiatan pembelajaran, yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Strategi ini dipilih karena dipandang dapat mengoptimalisasikan interaksi semua unsur pembelajaran. Penerapan teori Bruner dalam pembelajaran dapat menjadikan peserta didik lebih mudah dibimbing dan diarahkan. Adapun tahapan dalam teori Bruner sebagai berikut: 1) tahap enaktif; pada tahap ini pengetahuan dipelajari secara aktif dengan menggunakan bendabenda konkret atau dengan menggunakan situasi nyata, 2) tahap ikonik; pada tahapa ini pengetahuan dipresentasikan dalam bentuk bayangan visual atau gambar yang menggambarkan kegiatan konkret yang terdapat pada tahap enaktif, dan 3) tahap simbolik; pada tahap ini pengetahuan dipresentasikan dalam bentuk simbol-simbol. Kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan intelekstual peserta didik 106 sangat menetukan untuk dapat tidaknya suatu konsep dipelejari dan dipahami peserta didik. Terdapat dua fase dalam menerapkan teori belajar Ausubel (Sulaiman, 1988), yaitu: 1) Fase perencanaan a) Menetapkan Tujuan Pembelajaran, tahapan pertama dalam kegiatan perencanaan adalah menetapkan tujuan pembelajaran. Model Ausubel ini dapat digunakan untuk mengajarkan hubungan antara konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi. Model Ausubel tidak dirancang untuk mengajarkan konsep atau generalisasi, melainkan untuk mengajarkan “Organized bodies of content” yang memuat bermacam konsep dan generalisasi. b) Mendiagnosis latar belakang pengetahuan peserta didik, model Ausubel ini meskipun dirancang untuk mengajarkan hubungan antar konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi dan tidak untuk mengajarkan bentuk materi pengajaran itu sendiri, tetapi cukup fleksibel untuk dipakai mengajarkan konsep dan generalisasi, dengan syarat guru harus menyadari latar belakang pengetahuan peserta didik, Efektivitas penggunaan model ini akan sangat tergantung pada sensitivitas guru terhadap latar belakang pengetahuan peserta didik, pengalaman peserta didik dan struktur pengetahuan peserta didik. Latar belakang pengetahuan peserta didik dapat diketahui melalui pretes, diskusi atau pertanyaan. c) Membuat struktur materi, membuat struktur materi secara hierarkis merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif dari teori Ausubel. d) Memformulasikan Advance Organizer. Advance organizer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) mengkaitkan atau menghubungkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan 107 peserta didik. 2) mengorganisasikan materi yang dipelajari peserta didik 2) Fase pelaksanaan Setelah fase perencanaan, guru menyiapkan pelaksanaan dari model Ausubel ini. Untuk menjaga agar peserta didik tidak pasif miaka guru harus dapat mempertahankan adanya interaksi dengan peserta didik melalui tanya jawab, memberi contoh perbandingan dan sebaginya berkaitan dengan ide yang disampaikan saat itu Guru hendaknya mulai dengan advance organizer dan menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai pedoman untuk mengembangkan bahan pengajaran. Langkah berikutnya adalah menguraikan pokokpokok bahan menjadi lebih terperinci melalui diferensiasi progresif. Setelah guru yakin bahwa peserta didik mengerti akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan langkah berikutnya yaitu: 1) Menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi integrative dan 2) Melanjutkan dengan difernsiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas. Untuk mempelajari lebih dalam tentang implikasi teori kognitif dalam pembelajaran anda dapat mengakses link: http://bit.ly/36Jzwu3 c. Teori belajar Konstruktivistik dan implikasinya dalam pembelajaran 1) Pengertian Belajar Menurut Pandangan Konstruktivistik Saudara mahasiswa, teori belajar konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui (Schunk, 1986). Dengan kata lain, karena pembentukan pengetahuan adalah peserta didik itu sendiri, peserta didik harus aktif selama kegiatan pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri. Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses 108 pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar. Ciri-ciri belajar konstruktivisme yang dikemukakan oleh Driver dan Oldhan (1994) adalah sebagai berikut: a) Orientasi, yaitu peserta didik diberik kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan melakukan observasi. b) Elitasi, yaitu peserta didik mengungkapkan idenya denegan jalan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. c) Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru. d) Penggunaan ide baru dalam setiap situasi, yaitu ide atau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi. e) Review, yaitu dalam mengapliasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah Paradigma konstruktivistik memandang peserta didik sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. Peranan kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi; 1) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk megambil keputusan dan bertindak. 109 2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik. 3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar peserta didik mempunyai peluang optimal untuk berlatih. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual. Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa peserta didik akan dapat menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu peserta didik mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya? Evaluasi belajar pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi 110 informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar peserta didik. Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Beberapa hal penting tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistik (Siregar & Nara, 2010), yaitu: diarahkan pada tugastugas autentik, mengkonstruksikan pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi, mengkonstruksi pengalaman peserta didik, dan mengarhkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif. a) Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934). Saudara merupakan mahasiswa, tokoh konstruktivistik yang Lev dari Vygotsky teori menekankan belajar bahwa manusia secara aktif menyusun pengetahuan dan memiliki fungsi-fungsi mental serta memiliki koneksi social. Beliau berpendapat bahwa manusia mengembangkan konsep yang sistematis, logis dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang yang dianggap ahli disekitarnya. Jadi dalam teori ini orang lain (social) dan bahasa memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif manusia. Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang di pelopori oleh Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut sebagai teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan 111 bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri). Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Inti dari teori belajar konstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Dengan kata lain bahwa peserta didik itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lag. Teori belajar ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar ini meliputi tiga konsep utama, yaitu 1) hukum genetik tentang perkembangan, 2) Zona perkembangan proksimal dan 3) mediasi. Untuk lebih memahami tentang kajian tersebut mari kita kaji satu persatu. 1) Hukum Genetik tentang Perkembangan Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran sosial dan tataran psikologis. Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang bersangkutan. Teori ini menenpatkan 112 lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, lingkungan sosial dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya. 2) Zona Perkembangan Proksimal Saudara mahasiswa, zona Perkembangan Proksimal atau Zona Proximal Development (ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar kokonstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai ‘level perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran (Schunk, 1986), yaitu : 113 Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain. Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri. Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi. Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk berfikir abstrak. Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut. 3) Mediasi Saudara mahasiswa, mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan; (2) Scafholding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan. Berdasarkan teori Vygotsky dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu : a) Dalam kegiatan memperoleh pembelajaran kesempatan 114 hendaknya yang luas anak untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. b) Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya. c) Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya. d) Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah e) Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi Dalam teori belajar kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar konstruktivistik yang banyak digunakan dalam pendidikan adalah; a) pengetahun dibangun oleh peserta didik secara aktif, b) tekanan proses belajar mengajar terletak pada peserta didik, c) mengajar adalah membantu peserta didik, d) tekanan dalam proses belajar dan bukan pada hasil belajar, e) kurikulum menekankan pada partisipasi peserta didik dan f) guru adalah fasilitator. Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar konstruktivistik, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih 115 baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi. 2) Implikasi Teori Belajar konstruktivistik dalam Pembelajaran Saudara mahasiswa dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa implikasi teori konstruktivistik jika dikaitkan dengan pembelajaran proses pembelajaran modern adalah berkembangnya pembelajaran dengan web (web learning) dan pembelajaran melalui social media (social media learning). Smaldino, dkk (2012) menyatakan bahwa pembelajaran pada abad ke 21 telah banyak mengalami perubahan, intergrasi internet dan social media memberikan perspektif baru dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan social media memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi, berkolaborasi, berbagi informasi dan pemikiran secara bersama. Sama halnya dengan pembelajaran melalui social media,pembelajaran melalui web juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melengkapi satu atau lebih tugas melalui jaringan internet. Selain itu juga dapat melakukan pembelajaran kelompok dengan menggunakan fasilitas internet seperti google share. Model pembelajaran melalui web maupun social media ini sejalan dengan teori konstruktivistik, dimana peserta didik adalah pembelajar yang bebas yang dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya. Beberapa implikasi teori konstruktivistik dalam pembelajaran adalah sebagai berikut : a. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagianbagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas 116 b. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide peserta didik c. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumbersumber data primer dan manipulasi bahan d. Peserta didik dipandang sebagai pemikir-peikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya. e. Pengukuran proses dan hasil belajar peserta didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati halhal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas pekerjaan f. Peserta didik-peserta didik banya belajar dan beerja di dalam group proses g. Memandang pengetahuan adalah non objektif, berifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu h. Belajar adalah penyusunan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali

Use Quizgecko on...
Browser
Browser