UTS SHA A(SOY) PDF
Document Details
Uploaded by KidFriendlySugilite5674
IPB University
Tags
Summary
This document outlines topics in forest silviculture, focusing on the structure of forest stands and the application of silvicultural systems. It describes different forest types, management techniques, and the dynamics of forest management in Indonesia. The text includes discussions on commercial forestry, conservation, and the application of natural processes in managing forests.
Full Transcript
Silvikultur Hutan Alam Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Prof. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc FTrop Dr. Adisti Permatasari Putri Hartoyo, SHut MSi IPB University Outline Topik 1 Batasan Ruang L...
Silvikultur Hutan Alam Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Prof. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc FTrop Dr. Adisti Permatasari Putri Hartoyo, SHut MSi IPB University Outline Topik 1 Batasan Ruang Lingkup Dinamika Penerapan Sistem Silvikultur Hutan Alam di Indonesia Batasan dan Ruang Lingkup 1 Silvikultur diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan pembangunan dan pemeliharaan hutan (dealing with the development 2 Silvikultur juga dipahami sebagai terapan dari ekologi hutan (practical application of forest science or forest ecological knowledge). Silvikultur concern dengan bgm and care of forests). memanfaatkan, memelihara, dan mengontrol ekosistem hutan dalam rangka merealisasikan tujuan pengelolan. Dengan demikian, maka silvikultur dapat diaplikasikan baik pada kehutanan komersial (commercial forestry) maupun untuk tujuan konservasi biologi dengan pendekatan natural processes. Commercial Forestry : Hutan alam dan hutan tanaman secara intensif →Intensifikasi pengelolaan hutan (kayu dan jasa lingkungan) melalui penerapan sistem silvikultur dan teknik silvikultur Conservation : Restorasi ekosistem hutan melalui penerapan teknik silvikultur pemeliharaan permudaan alam (accelerated natural regeneration, ANR). Batasan dan Ruang Lingkup Natural forest: A forest composed of indigenous trees and not classified as forest plantation. Forest plantation: A forest established by planting or/and seeding in the process of afforestation or reforestation. It consists of introduced species or, in some cases, indigenous species. (Sumber : Global Forest Resources Assessment 2010) Batasan dan Ruang Lingkup Sistem Silvikultur (Sumber : Nyland, 2002) 1 Sebagai sebuah rencana untuk mengelola hutan 2 Sebagai cerminan konsep silvikulturis dalam mengelola hutan 3 Tindakan yang dirancang secara sistematis dan dipraktekkan secara langsung pada suatu hutan sepanjang siklus hidup. Tindakan itu mencakup regeneration, tending dan harvesting. Batasan dan Ruang Lingkup Teknik Silvikultur (Sumber : Nyland, 2002) 1 Penggunaan berbagai metode atau teknik dalam praktek pengelolaan vegetasi/pepohonan dan 2 Tujuan pengusahaan akan menjadi dasar pertimbangan yang utama dalam menentukan pilihan teknik silvikultur. lingkungannya dalam suatu tegakan, memelihara hutan sehingga struktur, komposisi, dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan pengelolaan. Dinamika Pengelolaan Hutan Exploitive Forestry : Target utama adalah kayu di hutan alam, melalui pemberian konsesi hutan oleh Pemerintah kepada pemegang HPH. Hutan alam yang dikelola adalah Hutan alam dipterocarpa, tipe hutan yang spesifik dan rapuh (fragile ecosystem). Sistem silvikultur yang diterapkan adalah tebang pilih dengan limit diameter. Extensive Forestry : Target utama pengelolaan sudah bergeser, tidak hanya kayu tetapi sudah mempertimbangkan nilai intangible, yaitu air dan habitat. Ditandai dengan mulai diterapkannya Sustainable Forest Management (SFM) atau Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Dinamika Pengelolaan Hutan Intensive Forestry : Dalam era intensifikasi ditandai dengan adanya productivity dimana peningkatan produktivitas hutan melalui input teknologi dan campur tangan manusia sebagai hal yang utama. Kayu sebagai produk konvensional hutan masih diperhitungkan, selain jasa lingkungan. Dinamika Pengelolaan Hutan Thank you Silvikultur Hutan Alam Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Prof. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc Forest Trop Dr. Adisti Permatasari Putri Hartoyo, SHut MSi IPB University Outline Topik 2 Struktur Tegakan Pola Pertumbuhan Gap Opportunist dan Pioneer 1 Struktur Tegakan Kondisi lingkungan fisik hutan tropis: Temperature: > 18 °C/ year Precipitation: Variable Tropical Rain Forest: 0 – 3 months dry Tropical Dry Forest: 5 – 8 months dry Characteristic of Moist Evergreen Forests Trees Evergreen 3 or more strata of trees/multilayered structure Rich in trees species/high species diversity Struktur Vertikal di LoA 1995 dan 2000, Papua Tegakan Dua Strata Tegakan Satu Strata Tegakan Multi Strata Tegakan Multi Strata Forest Harvesting Ecological Consequences Management Technique Timber Stand Improvement Sumber: Dwimajaya, 2018 Struktur Tegakan sebagai 1 Indikasi Proses Dinamika Cara terbaik untuk menilai dinamika adalah melalui pengamatan jangka panjang. Namun seringkali, hal ini tidak memungkinkan maka pengamatan dilakukan pada kondisi aktual. 1. Struktur vertikal Gambaran kelengkapan strata dari suatu tegakan (IUFRO Classification), mulai dari : upper stratum (up) ≥ 2/3 tinggi total, middle stratum (mi) 1/3 - 2/3 tinggi total, dan lower stratum (l0) < 1/3 tinggi total (IUFRO Classification). Lieberman et al (1985) mengelompokkan jenis berdasarkan pertumbuhan daya survivalnya, kebutuhan cahaya dan peluang umur yang meliputi : understorey species, sub-canopy species, canopy species dan pioneer species. 2. Sebaran Frekuensi Diameter tegakan seumur dan tidak seumur Struktur Tegakan Understorey Species: Strata rendah (meskipun sudah dewasa), laju pertumbuhan rendah, mortalitas tinggi, umumnya toleran terhadap cahaya, respon pertumbuhan terbatas dengan berkurangnya cahaya. Sub-Canopy Species: Strata menengah atau intermediate, antara understorey dan canopy. Seringkali dijumpai sebagai jenis toleran, dengan laju mortalitas rendah. Struktur Tegakan Canopy Species: Pohon paling besar pada strata atas, lebih survive, peningkatan laju pertumbuhan besar ketika menerima cahaya cukup. Pioneer Species: Tumbuh cepat, laju kematian tinggi, relatif berumur pendek. Sebaran Diameter Jika kita melihat sebaran diameter, maka pola yang berbeda akan tampak pada, hutan alam (natural tropical rainforest) memiliki pola yang dalam literatur lebih dikenal sebagai D’Liocourt curve atau kurva huruf J terbalik (inverse J shape), hutan tanaman yang dikelola akan berbentuk seperti lonceng atau sebaran normal 120 120 100 90 100 100 80 kerapatan ( N/ha ) 80 70 kerapatan ( N/ha ) kerapatan (N/ha) 80 60 60 60 50 -0.8165x TO : y = 161.11e-0.6328x HP : y = 124.7e-0.5328x TJ 5 : y = 226.04e 40 40 40 30 20 20 20 10 0 90 25 35 45 Diameter 55 > 60 100 0 25 35 45 Diameter 55 > 60 0 25 35 45 Diameter 55 > 60 Sebaran 80 Frekuensi 80 90 70 70 80 kerapatan ( N/ha ) kerapatan ( N/ha ) 60 kerapatan ( N/ha ) 60 70 60 50 -0.4422x 50 TJ 1: y = 154.66e -0.6691x TJ 2 : y = 150.39e -0.5657x TJ 3 : y = 104.1e 50 40 40 40 30 30 20 10 0 25 35 45 55 > 60 30 20 10 0 25 35 45 55 > 60 20 10 0 25 35 45 55 > 60 Diameter pada Diameter Diameter Diameter 90 80 Tegakan tidak 70 Seumur kerapatan ( N/ha ) 60 50 TJ 4 : y = 107.84e-0.5107x 40 30 20 10 0 25 35 45 55 > 60 Diameter Figure. Number Trees Per Ha (N/Ha) in All Plots Struktur Tegakan Merbau, Papua (LoA 1995) Sumber: Pamoengkas, 2017 Struktur Tegakan Merbau, Papua (Undisturbed forest) Sumber: Pamoengkas, 2017 Pertumbuhan Tanaman Silin Pola Jalur (Tanaman Silin meranti tidak dipelihara) Umur 4 Tahun Umur 3 Tahun Tanaman Shorea leprosula Pola Silin Umur 7 Tahun 20 18 16 14 12 frekuensi Kerapatan Normal 10 Gamma Lognormal 8 Weibull 6 Eksponensial 4 2 0 Diameter 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2 Pola Pertumbuhan Functional Species Group (FSG) Dapat diartikan sebagai pengelompokan spesies yang memiliki pola penggunaan sumber daya yang identik, tingkat pertumbuhan, kematian dan regenerasi. (Gitay & Noble, 1997). Melalui pemahaman tentang FSG ini akan menjelaskan kesatuan spesies pohon yang dipilih dalam pemanenan, pemilihan teknik silvikultur dan sistem pengelolaan ekosistem untuk menjelaskan karakteristik keanekaragaman hayati seperti kualitas habitatnya dan proses ekosistem (Pohris, 2009). Identifikasi kelompok fungsional ini dapat membantu memahami dan memprediksi bagaimana komunitas dan ekosistem bisa dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Characteristic Pioneer Climax Light-demander, Shade-bearer, Synonyms Shade-intolerant Shade-tolerant Presence Early secondary forest Primary forest Site plasticity High Low Large, produced in low Small, produced in high numbers annually Seeds numbers not annually Very wide Narrow Dispersal of seeds Long Short Viability of seeds Very often, orthodox Seldom, recalcitrant Dormancy of seeds In full light, open area In shade, below canopy Slow growing during the Germination of seeds Fast growing during the immature phase, immature phase, Early culmination of the current annual Late culmination of the Growth behaviour increament current annual increament 30 m Final tree height Low Variable to high Late beginning of the Wood density Early beginning of the maturity phase, maturuty phase Sumber: Long longevity (>100 yrs) Development Short longevity ( 5 cm sehingga yang tertinggal hanya dipterocarp yang kadang-kadang bercampur dengan jenis pioner. Tahapan MUS : Survey untuk penilaian regenerasi Inventarisasi pohon ditebang Penebangan Penebasan jenis yang tidak diinginkan TSI setelah 6 tahun penebangan 3. Malayan Uniform System (MUS) MUS tidak cocok untuk operasional di hutan dipterocarp perbukitan, maka MUS diganti dengan Selective Management System (SMS), selective mengandung dua pengertian yaitu tebang pilih dan pilihan sistem silvikultur. Alasannya karena dalam MUS pembukaan tajuk dilakukan secara drastis dalam luasan yang besar akan menyebabkan invasi gulma dan pada areal yang topografinya miring akan timbul bahaya erosi. 4. Malayan Regeneration Improvement System (MRIS)/ Shelterwood System Diterapkan di hutan Dipterocarp Malaysia pada akhir tahun 1920-an atau awal 1930 yang dikembangkan oleh rimbawan asal eropa dari British Colonial Service. System ini mirip dengan central european shelterwood system pada kawasan hutan beech (fagus sylvatica). 4. Malayan Regeneration Improvement System (MRIS)/ Shelterwood System Tahapan Kegiatan: Pole felling, hanya diberlakukan terhadap pohon komersial berdiameter minimum 30 cm yang bertujuan untuk menstimulasi NR species komersial. Seeding felling, bertujuan untuk lebih meningkatkan proses regenerasi yang tengah berlangsung. Teknisnya dengan mengcreate gap (artificial gap) berdiameter 5-7 meter sebagai kondisi yang baik bagi masuknya cahaya. 4. Malayan Regeneration Improvement System (MRIS)/ Shelterwood System Dasar pertimbangan sepenuhnya pada aspek silvikultur (bukan ekonomis). Pohon ditebang adalah pohon yang kurang nilai ekonomisnya sehingga regenerasi dipterocarp menjadi lebih baik. Timber stand improvement (TSI), meliputi penebasan jenis yang tidak diinginkan, penebangan semua jenis pohon yang tertinggal dari seeding felling, dan ketika regenerasi jenis komersial sudah berkembang maka semua jenis berdiameter minimum 5 cm harus ditebang. 4. Malayan Regeneration Improvement System (MRIS)/ Shelterwood System Final felling, dilakukan 4-5 tahun setelah seeding felling dengan catatan hasil sampling (sampling regeneration) memenuhi syarat kecukupan 40% bagi regenerasi. TSI, dilakukan 3-4 tahun setelah final felling yang meliputi, penebasan pohon yang tidak diinginkan, dan penjarangan NR yang terlalu rapat. Thank you Questions/ Discussions Silvikultur Hutan Alam Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Prof. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc FTrop Dr. Adisti Permatasari Putri Hartoyo, SHut MSi IPB University Outline Topik 7 dan 8 Tebang Pilih Tanam Indonesia Tebang Pilih Tanam Jalur Tebang Rumpang Tebang Jalur Tanam Indonesia TPI TPTI TPTI TPTI 1972 1989 1993 2009 Perkembangan TAHAPAN KEGIATAN TPTI 1989 PAK (ET-3) ITSP (ET-2) TAHAPAN KEGIATAN TPTI 1993 PAK (ET-3) ITSP (ET-2) TAHAPAN KEGIATAN TPTI 2009 PAK (MAK ET-4) ITSP (SEBELUM USULAN RKTUPHHK) TPTI PWH (ET-1) PWH (ET-1) PWH PENEBANGAN (ET) PENEBANGAN (ET) PEMANENAN (ET) PEMBEBASAN; ITT (ET+1) PERAPIHAN (ET+1) PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN PENGADAAN BIBIT; ITT; PEMBEBASAN I; PENGADAAN PEMBEBASAN POHON BINAAN PENANAMAN/PENGAYAAN (ET+2) BIBIT (ET+2) PEMELIHARAAN (ET+3, 4, 9, 14) PENGAYAAN/REHABILITASI (ET+3) PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN PERLINDUNGAN DAN PENELITIAN PEMELIHARAAN (ET+3,4,5) PEMBEBASAN II (ET+4,6) PENJARANGAN (ET+10,15,20) 1. Tebang Pilih Indonesia Sistem TPI dilaksanakan menurut SK Dirjen Kehutanan No.35/1972. Regulasinya meliputi diameter minimum, pemeliharaan tegakan tinggal, pencegahan terhadap kerusakan tanah dan perlindungan hutan. Limit diameter tebangan : 50 cm Siklus tebang : 35 tahun Min jumlah pohon tinggal per ha : 25 pohon Limit diameter pohon tinggal : >35 cm →>20 cm 1. Tebang Pilih Indonesia Implementasi TPI banyak menghadapi hambatan, diantaranya, yaitu sumber daya manusia yang terampil masih rendah, perencanaan dan organisasi kelembagaan masih belum matang, dan sanksi hukum tidak tegas 2. Tebang Pilih Tanam Indonesia Pada akhir tahun 1989 sistem TPI diganti dengan TPTI. Dalam sistem ini dimasukkan perlakuan silvikultur terhadap pohon potensial dengan tujuan untuk meningkatkan nilai hutan baik kualitas maupun kuantitas tegakan sisa untuk siklus berikutnya. Tindakan silvikultur lainnya adalah penanaman di tempat-tempat terbuka serta penanaman pengayaan pada blok yang rendah stoknya. Deskripsi kegiatan dalam sistem TPTI dilakukan sebelum, selama dan sesudah penebangan. 2. Tebang Pilih Tanam Indonesia Prinsip Pelaksanaan TPTI menurut SK Menhut No.564/1989 : Limit diameter : 50 cm (HPTetap), 60 cm (HPT) Siklus tebang : 35 tahun Jumlah min pohon tinggal per ha : 25 pohon Limit diameter pohon tinggal : 20-49 cm No Kegiatan Tata Waktu 1. Penataan Areal Kerja Et – 3 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Et – 2 3. Penebangan Et – 1 4. Pembukaan Wilayah Hutan Et Tahap-tahap 5. 6. Penebangan Perapihan Et + 1 Et + 1 Pelaksanaan 7. 8. Inventarisasi Tegakan Tinggal Pengadaan Bibit Et + 2 Et + 2 TPTI 9. Penanaman/Pengayaan Et + 3 (1989) 10. Pemeliharaan I Pemeliharaan : Et + 4 - Perapihan Et + 9, 14, 19 11. - Penjarangan Perlindungan dan Penelitian No Kegiatan Tata Waktu 1. Penataan Areal Kerja Et – 3 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Et – 2 Pembukaan Wilayah Hutan Tahap-tahap 4. Penebangan Et – 1 Pelaksanaan 5. Perapihan Et 6. Inventarisasi Tegakan Tinggal Et + 1 TPTI yang 7. Pembebasan Tahap I Et + 2 dimodifikasi 8. Pengadaan Bibit Et + 2 9. Pengayaan/Rehabilitasi Et + 2 (1993) 10. Pemeliharaan Tan. Pengayaan/Rehabilitasi Et + 3 11. Pembebasan Tahap II dan III Et + 3,4,5 12. Penjarangan Tegalkan Tinggal Et + 4, 6 Et + 10,15,20 2. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) (Permenhut P11/2009) Ketentuan menurut Permenhut P11/2009 : Pohon yang ditebang jenis komersial / niagawi berdiameter ≥ 40 cm (HP Tetap), ≥ 50 cm (HP Terbatas) Memelihara: pohon inti (jenis komersial berdiameter 20 – 39 cm ; 25 batang / ha), permudaan : semai, pancang dan tiang Siklus tebang 30 tahun Kegiatan penanaman : enrichment planting (pengayaan) → dilakukan secara sporadis No. Tahap Kegiatan 1 Penataan Areal Kerja (PAK) 2 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) Tata Waktu 3 Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Kegiatan 4 Pemanenan TPTI 5 Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan (2009) 6 Pembebasan Pohon Binaan 7 Perlindungan dan Pengamanan Hutan 2. Tebang Pilih Tanam Indonesia Kelemahan TPTI Harapan yang berlebihan thd permudaan alam Tegakan tinggal memiliki performa rata-rata Sebaran diameter jenis komersial tdk merata Ruang tumbuh tidak optimal Tindakan silvikultur dan input tehnologi minim Irregularly Pengawasan Distributed sulit dan poor Planted site factor Tebang Pilih Gagal Tanam Jalur No. Tahap Kegiatan 1 Penataan Areal Kerja (PAK) 2 Inventarisasi Hutan 3 Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Kegiatan 4 Pengadaan Bibit Tebang Pilih 5 Tebang Naungan Tanam Jalur 6 Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam (TPTJ) 7 Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur (2009) 8 Pembebasan dan Penjarangan 9 Pemanenan 10 Perlindungan dan Pengamanan Hutan 3. Tebang Pilih Tanam Jalur Ketentuan Permenhut P11/2009 : Siklus tebang : 25 tahun Limit diameter : 40 cm pada jalur tanam selebar 3 meter dilakukan tebang habis, dan di jalur antara ditebang pohon berdiameter ≥ 40 cm. 3. Tebang Pilih Tanam Jalur Areal bekas tebangan dengan permudaan alam kurang, kerapatan jarang Kemiringan areal penanaman maksimum 25 %. Drainase baik Aksesibilitas baik Layout of TPTJ Pola TPTJ Contoh Kegiatan Silvikultur Intensif Kegiatan Penanaman Kelompok Meranti Sistim Silvikultur Intensif 1. Pengadaan Bibit Kebutuhan bibit rata-rata 500.000 btg/thn. Pengadaan Bibit : -Metode Generatif : bibit asal biji dan cabutan -Metode vegetatif : stek pucuk dan stek batang Green House Kebun Pangkas Dipterocarpaceae asal biji dan cabutan Pada musim buah, asal bibit berasal dari biji 50%, cabutan 30%, dan stek 20 %, sedangkan pada saat tidak berbuah, cabutan 70% dan sisanya stek. Jenis yang diusahakan pada awalnya ada 10 jenis Shorea. Mulai tahun 2004 bibit yang diadakan lebih dari 90%nya adalah jenis Shorea leprosula, Shorea johorensis, Shorea farvifolia dan Shorea platiclados (jenis-jenis terpilih) Bibit Umur 4 Bulan Prosen jadi rata-rata bibit: Biji 98%, Cabutan 70%, Stek Meranti 64% dan Stek Sungkai 71%. Bibit Sungkai Bakal Stek 2. Penyiapan Lahan ⚫ Penebangan pembukaan tajuk untuk ruang tumbuh. ⚫ Pembuatan jalur bersih lebar 3 meter, jarak antar jalur 20 - 25 meter. Pembuatan jalur bersih dikerjakan secara manual. ⚫ Pemasangan ajir, jarak antar ajir 2,5 meter, ajir dibuat dari kayu keras diameter 5 - 7 Cm. ⚫ Pembuatan lubang tanam, ukuran lubang lebar x panjang x dalam, 30cm x 30cm x 30cm. ⚫ Penimbunan lubang tanam, lubang tanam diisi dengan top soil yang diambil dari sekitar pohon induk yang cukup mengadung mikoriza. ⚫ Pembebasan naungan, kegiatan ini dikerjakan secara semi mekanis dengan menggunakn Chain Saw, yaitu dengan menebang pohon-pohon yang menaungi jalur tanam. ⚫ Dalam penyiapan lahan baik manual maupun semi mekanis apabila didalam jalur bersih ditemukan anakan alam (permudaan jenis) komersil dan pohon yang dilindungi, tetap dipertahankan dan dipelihara 3. Penanaman ⚫ Penanaman Tanaman jalur (Jenis-jenis Meranti) Dilakukan setelah penyiapan lahan selesai, diawali pengangkutan bibit dari persemaian, dilanjutkan pengeceran bibit di setiap lobang tanam, dan setelah itu segera dilakukan penanaman. ⚫ Penanaman di tempat terbuka (jenis Sungkai) Pada areal-areal non produktif, sepanjang kanan – kiri jalan angkutan serta pada tempat- tempat terbuka lainnya, seperti bekas logyard dan bekas TPn, jenis tanaman Sungkai, jarak tanam bervariasi antara 3 m x 3 m dan 5 m x 5 m. 4. Pemeliharaan Tanaman - Tanaman jalur ө Pemeliharaan awal : - Pendangiran, - Penyulaman, - Penyiangan, - Pembebasan naungan ө Pemeliharaan lanjutan : - Pembebasan Vertikal dan Horisontal - Tegakan tinggal dalam jalur antara (tegakan alam) ө Pembebasan Vertikal dan Horisontal untuk mempercepat pertumbuhan pohon-pohon binaan (Bina Pilih) 5. Perlindungan Tanaman - Hama & Penyakit - Kebakaran Untuk pencegahan kebakaran hutan upaya-upaya yang dilakukan diantaranya membuat sekat bakar jalur kuning (jalan sebagai batas petak), membangun menara api, membentuk satuan tugas pengendali yang dilengkapi peralatan pemadam api, memelihara kantong-kantong air, dan melengkapi sistem komunikasi. Advantages of TPTJ To increase of wood production To increase of job opportunity To allow planting of dipterocarp species that can not be planted in open area To establish the image of natural forest management Soil quality and vegetation have no significant change Disadvantages of TPTJ High tending cost Need intensively tending Tanaman Jalur Shorea parvifolia Shorea leprosula Shorea leprosula Tanaman Umur 8 Tt DBH > Tanaman Umur 10 Tt DBH Tanaman Umur 18 Tt DBH 15 cm > 18 cm > 38 cm Sumber: Purnomo (2018) S. johorensis 5 tahun di bawah naungan S. leprosula 8 tahun S. leprosula 9 tahun Umur 11 Tahun > 30 cm Umur 10 Tahun > 25 cm Umur 9 Tahun > 20 cm Umur 8 Tahun > 17 cm (Tahun Tanam 1999) (Tahun Tanam 2000) (Tahun Tanam 2001) (Tahun Tanam 2002) Umur 5 Tahun > 13 cm Umur 3 Tahun > 7 cm Umur 2 Tahun > 3 cm Umur 1 Tahun > 1,4 cm Sumber : Rakor Silin SBK 2011 (Tahun Tanam 2003) (Tahun Tanam 2005) (Tahun Tanam 2006) (Tahun Tanam 2007) Lebar jalur + Rad iasi + cahaya + - Suhu tanah Fotos intesis - - - C-mic N-total C-org an ik - + Bobot Stab. + is i + agregat + + + - Hara Tanah + Kualitas + + tanah + + + Curah hujan Riap diameter + Diameter Diagram umpan balik hubungan lebar jalur, tanah, iklim dan riap diameter tanaman meranti Kendala Pertumbuhan Tanaman SILIN Pola Jalur Umur 4 tahun Umur 3 tahun 50 45 a 40 Diameter (cm) 35 30 25 20 15 10 5 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Waktu (tahun) 2.5 2.0 b Grafik hubungan antara Riap (cm/th) 1.5 1.0 diameter (a), riap diameter 0.5 (b), dan kualitas tanah (c) 0 5 10 15 20 25 Waktu (tahun) 30 35 40 45 50 dengan waktu pada pola 6.5 6.0 c 3-4-6-10 Kualitas tanah 5.5 5.0 4.5 4.0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Waktu (tahun) Thank you Questions/ Discussions