Summary Catholicism Grade 12 PDF 2024/2025
Document Details
2024
Tags
Summary
This document is a summary of Catholicism for Grade 12 students, covering family life, the roles of husbands and wives, and responsibilities of children. It discusses various perspectives on marriage within a Catholic context and offers insights into the responsibilities and dynamics within families.
Full Transcript
Summary Catholicism Grade 12 Semester 1 Tahun Ajaran 2024/2025 PANGGILAN HIDUP BERKELUARGA Keluarga dibentuk oleh perkawinan antara laki-laki dan pe...
Summary Catholicism Grade 12 Semester 1 Tahun Ajaran 2024/2025 PANGGILAN HIDUP BERKELUARGA Keluarga dibentuk oleh perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan KGK 1656, Konsili Vatikan II menamakan keluarga sebagai Ecclesia Domestica yang berarti bahwa keluarga-keluarga Kristiani merupakan pusat iman yang hidup, tempat pertama iman akan Kristus diwartakan, dan sekolah pertama tentang doa, kebajikan-kebajikan dan cinta kasih Katolik. Hal tersebut tercantum dalam dokumen Gereja Katolik “Familiaris Consortio”. Berdasarkan Gaudium et Spes no. 52, keluarga adalah sekolah kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi, supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat menguntungkan pembinaan anak-anak, perawatan ibu di rumah juga dibutuhkan anak-anak, dan seterusnya. Sifat-sifat keluarga menurut Matius 19:1-6 adalah tidak tidak dapat diceraikan oleh sebab apapun, kecuali maut. Tugas dan tanggung jawab seorang suami/bapak o Suami sebagai Kepala Keluarga Sebagai kepala keluarga, suami harus bisa memberi nafkah lahir batin kepada istri dan keluarganya. Mencari nafkah adalah salah satu tugas pokok seorang suami, sedapatnya tidak terlalu dibebankan kepada istri dan anak-anak. o Suami sebagai Partner Istri Perkawinan modern menuntut pola hidup partnership. Suami hendaknya menjadi mitra dari istrinya. o Suami sebagai Pendidik Anak-anak tetap memerlukan sosok ayah dalam pertumbuhan diri dan pribadi mereka. Tugas dan tanggung jawab seorang istri/ibu o Istri sebagai Hati dalam Keluarga Suami adalah kepala keluarga, maka istri adalah ibu keluarga yang berperan sebagai hati dalam keluarga. Sebagai hati, istri menciptakan suasana kasih sayang, ketentraman, keindahan, dan keharmonisan dalam keluarga. o Istri sebagai Partner dari Suami Sebagai partner, istri dapat membantu suami dalam tugas dan karirnya. Bantuan yang dimaksudkan di sini lebih dalam arti memberi sumbang saran, dan dukungan moral. Hal pertama lebih bersifat rasional, dan yang kedua lebih bersifat afektif. Dukungan moral yang bersifat afektif lebih berarti bagi suami. o Istri sebagai Pendidik Istri/ibu merupakan pendidik yang pertama dan utama dari anak-anaknya. Ungkapan “Surga berada di bawah telapak kaki ibu” dapat berarti bahwa ibu adalah seorang pendidik yang ulung. Kewajiban anak-anak terhadap orang tua Kewajiban-kewajiban anak terhadap orang tuanya tidak statis dan tidak selalu sama, melainkan dipengaruhi baik oleh perkembangan maupun oleh situasi dan kondisi. Semakin hari, anak hendaknya semakin mandiri. Orang tua makin lama makin tua membutuhkan anak-anaknya. Beberapa hal dasar yang menjadi kewajiban anak terhadap orang tua adalah: mengasihi orang tua, bersikap dan berperilaku syukur, serta bersikap dan berperilaku hormat kepada orang tua. Membina hubungan kakak-adik PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK Makna perkawinan. o Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. o Pandangan tradisional : perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu “ikatan”, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya. o Pandangan hukum (Yuridis) : perkawinan sering dipandang sebagai suatu “perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah. o Pandangan sosiologi : perkawinan merupakan suatu “persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu. o Pandangan antroplogis: perkawinan dilihat sebagai suatu “persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta. Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) o KHK 1055 : Perkawinan sebagai perjanjian (foedus), gagasan perkawinan sebagai perjanjian ini bersumber pada Konsili Vatikan II (Gaudium et Spes no. 48), yang menimba aspirasi dari Kitab Suci. o Perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita; Kebersamaan seluruh hidup tidak hanya dilihat secara kualitatif (lamanya waktu) tetapi juga kualitatif (intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam segala aspeknya, apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih. o Perkawinan sebagai Sakramen; Hal ini merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Perkawinan menurut Ajaran Konsili Vatikan II Dalam Gaudium et Spes no. 48, dijelaskan bahwa “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat.” Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa perkawinan Katolik adalah Sakramen, sehingga setiap pasangan suami istri harus menjaga kesucian perkawinan. Tujuan perkawinan ialah o Kesejahteraan lahir batin suami istri Saling menyejahterakan suami dan istri secara bersama-sama (hakikat sosial perkawinan) dan bukan kesejahteraan pribadi salah satu pasangan. o Keturunan Tujuan penerusan keturunan atau kelahiran anak menjadi suatu yang hakiki dalam perkawinan Katolik. Hadirnya anak akan menjadi sarana agar cinta kasih Allah Tritunggal atau cinta berdimensi triniter dapat dihayati secara lengkap dalam keluarga. o Pendidikan anak-anak Anak-anak, menurut pandangan Gereja adalah “anugerah perkawinan yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orang tua”. Dalam tanggungjawab menyejahterakan anak, terkandung pula kewajiban untuk mendidik anak-anak. Dari kodratnya, perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “consortium”, con=bersama, sors=nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae=seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat. Sifat kodrati keterarahan kepada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum). Sifat perkawinan Katolik yang hakiki adalah monogami dan tak terceraikan, kecuali oleh maut. Hal tersebut tertulis pada Kitab Matius 19:6 yang berbunyi, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Untuk menikah dalam Gereja Katolik, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai sahnya perkawinan, yakni: o Terbebas dari halangan perkawinan o Adanya konsensus o Forma Canonica : peneguhan (melalui sakramen) Sebuah perkawinan Katolik akan dianggap sah apabila terbebas dari 12 halangan kanonik berikut ini. o Belum mencapai umur kanonik (Kan. 1083) o Impotensi (Kan. 1084) o Ligamen/Ikatan perkawinan terdahulu (Kan. 1085) o Perkawinan beda agama/disparitas cultus (Kan. 1086) o Tahbisan suci (Kan. 1087) o Kaul kemurnian publik dan kekal (Kan. 1088) o Penculikan (Kan. 1089) o Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090) o Hubungan darah/konsanguinitas (Kan. 1091) o Hubungan semenda/affinitas (Kan. 1092) o Kelayakan publik (Kan. 1093) o Hubungan adopsi (Kan. 1094) TANTANGAN DAN PELUANG UNTUK MEMBANGUN KELUARGA YANG DICITA-CITAKAN Tantangan yang paling dirasakan dalam keluarga-keluarga saat ini adalah komunikasi. Keluarga yang sejahtera adalah harapan sekaligus perjuangan Gereja. Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostoliknya “Familiaris Consortio” melihat keluarga sejahtera dalam kesetiaan pada rencana Allah sebagai sebuah perkawinan. Keluarga, menurut Paus, adalah suatu komunitas pribadi-pribadi yang membentuk masyarakat dan Gereja. Gereja merasa mempunyai tanggung awab untuk mendukung dan melaksanakan program Keluarga Berencana (KB) pada masa ini. Secara khusus, Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya menegaskan: “Bukan hanya pemerintah yang bertugas menyelesaikan persoalan ini. Gereja merasa terlibat juga dan ikut bertanggung jawab untuk mengusahakan pemecahan... “ Pimpinan Gereja di Indonesia sepakat menyatakan perlunya pengaturan kelahiran demi kesejahteraan keluarga dan karena itu merasa penting membina sikap bertanggung jawab di bidang ini. Alasan utama mengapa KB harus dilaksanakan adalah kesejahteraan keluarga sebagai sel yang paling kecil dari masyarakat. o Dengan KB, kesehatan ibu bisa agak dijamin. o Dengan KB, relasi suami-istri bisa semakin kaya. o Dengan KB, taraf hidup yang lebih pantas dapat dibangun. o Dengan KB, pendidikan anak dapat lebih dijamin. o Dengan KB, tidak hanya menjamin kesejahteraan keluarga, tetapi juga kesejahteraan masyarakat dan umat manusia. Gereja sangat menganjurkan metode KB alamiah seperti: o Metode kalender; o Metode pengukuran suhu basal; o Metode ovulasi Billings; dan o Metode simptotermal (gabungan) Metode yang dilarang Gereja karena bersifat abortif, antara lain: o Abortus provocatus: pengguguran dengan sengaja; o Spiral o Pil mini