🎧 New: AI-Generated Podcasts Turn your study notes into engaging audio conversations. Learn more

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

Full Transcript

BAB I PENDAHULUAN Tes psikologi telah menjadi salah satu alat yang penting dalam memahami berbagai aspek dari kepribadian, kemampuan serta kondisi mental individu. Seiring dengan perkembangan ilmu psikologi, t...

BAB I PENDAHULUAN Tes psikologi telah menjadi salah satu alat yang penting dalam memahami berbagai aspek dari kepribadian, kemampuan serta kondisi mental individu. Seiring dengan perkembangan ilmu psikologi, tes psikologi digunakan hampir dalam semua konteks baik klinis, pendidikan, organisasi dan penelitian. Pengantar administrasi tes psikologi merupakan bagian dari psikodiagnostik. Buku ini disusun sebagai panduan dasar bagi mahasiswa psikologi dan praktisi pemula yang terdiri dari 5 bab sebagai pengantar untuk memahami proses administrasi tes psikologi, termasuk prinsip- prinsip dasar, prosedur standar, serta teknik-teknik yang penting untuk dipahami dalam pelaksanaan tes. Didalam buku ini akan diperkenalkan berbagai jenis tes psikologi yang umumnya digunakan, seperti tes intelegensi, kesiapan sekolah dan bagaimana cara mengadministrasikannya dengan tepat. Dengan adanya panduan yang jelas mengenai prosedur administrasi, buku ini bertujuan untuk membantu mahasiswa psikologi dan praktisi pemula memperoleh keterampilan praktis yang diperlukan dalam administrasi tes psikologi, menumbuhkan kesadaran akan pentingnya etika profesional dalam setiap langkah pengadministrasiannya, serta pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengadministrasikan berbagai jenis tes psikologi secara efektif dan etis. Didalam buku ini, akan diberikan pengetahuan terkait dengan konsep dasar psikodiagnostik, prinsip-prinsip psikodiagnostik serta keterampilan praktis dalam melakukan prosedur tes yang sesuai dengan Kode Etik Psikologi. Administrasi yang tepat bukan hanya soal teknis, tetapi juga melibatkan pemahaman etika profesional dan sensitivitas terhadap keberagaman individu yang diuji. BAB II KONSEP DASAR DAN PRINSIP PSIKODIAGNOSTIKA A. Sejarah Psikodiagnostika Awal penggunaan psikodiagnostika dilakukan untuk seleksi oleh raja Cina, dengan menguji rakyat sipil untuk menjadi pegawai berdasarkan pengetahuan menulis klasik, persoalan administratif dan manajerial. pada jaman dinasti Han (200 SM sampai 200 M) ujian tulis digunakan pada seleksi bidang legislatif, militer, pertanian, perpajakan dan geografi. Sistem ujian telah disusun dan berisi aktivitas yang berbeda, seperti tinggal dalam sehari semalam dalam kabin untuk menulis artikel atau puisi, hanya 1 % sampai dengan 7% yang diijinkan ikut ambil bagian pada ujian tahap kedua yang berakhir dalam tiga hari tiga malam. Menurut Gregory (2000), seleksi ini keras namun dapat memilih orang yang mewakili karakter orang Cina yang kompleks. Pada abad ke-19 psikodiagnostika modern dimulai, Galton adalah orang pertama yang mengembangkan tes dimana tujuan utamanya bukan tentang practical problem. Ia mendemonstrasikan bagaimana mengukur kemampuan berpikir secara objektif. Galton tertarik dengan teori-teori Charles Darwin dan memfokuskan pada karakteristik manusia yang merupakan kapasitas mental. Kapasitas mental diukur menggunakan suatu konsep waktu dan usia. Selanjutnya, Wundt merupakan psikolog pertama yang menggunakan laboratorium dengan penelitiannya mengukur kecepatan berpikir. Wundt mengembangkan sebuah alat untuk menilai perbedaan dalam kecepatan berpikir. Pada tahun 1890, Cattle menemukan tes mental yang pertama. Cattel mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan tes psikologi. Pada dasarnya tes mental temuan Cattel ini hampir sama dengan temuan Galton. Menurut Cattel, tes mental tidak mungkin dibedakan antara energi mental dan energi jasmani. Tokoh lainnya yang juga memiliki andil adalah Alfred Binet. Ia merupakan tokoh pertama yang menciptakan tes intelegensi. Tahun 1904, Binet dan Simon membuat instrumen pengukur intelegensi dengan skala pengukuran level umum pada soal-soal mengenai kehidupan sehari-hari. Tahun 1905, Binet dan Simon mengembangkan penggunaan tes intelegensi di Paris, dengan 30 aitem yang berfungsi mengidentifikasi kemampuan sekolah anak. Tahun 1908, Binet dan Simon mengadakan revisi, selanjutnya tahun 1911. Tahun 1912, Stres membagi mental age dengan chronological age sehingga muncul konsep IQ. B. Definisi Psikodiagnostika Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia. Manusia adalah kesatuan sistem jasmani dan sistem jiwa. Sistem jasmani merupakan sistem organ tubuh manusia yang fungsinya diatur oleh sistem syaraf. Sedangkan sistem jiwa adalah fungsi-fungsi jiwa (psikologis), misalnya cipta, rasa, karsa dan karya. Dari beberapa buku menyebutkan psikodiagnostika merupakan bagian dari ilmu psikologi. Padahal psikodiagnostika bukan merupakan bagian dari ilmu psikologi, melainkan alat dalam memahami, menganalisis dan menilai karakteristik individu. Psikodiagnostika pertama kali digunakan oleh Hermann Rorschach pada tahun 1921 sebagai sutau metode atau cara untuk menegakkan diagnosa (istilah di bidang kedokteran). Psikodiagnostika disebut juga dengan “personality assessment”. Psikodiagnostika berasal dari kata “psiko” yang berarti jiwa dan “diagnosa” yang berarti proses identifikasi, penentuan atau analisa. Dengan demikian, psikodiagnostika diartikan sebagai metode atau prosedur yang digunakan untuk menilai, mendiagnosis dan memahami kondisi psikologis seseorang. Dalam perkembangannya, pengertian psikodiagnostika bukan lagi terbatas pada menegakkan diagnosa, tetapi menjadi lebih luas dan umum sebagai proses logis yang bertahap dan sistematik dalam pemeriksaan psikologi untuk tujuan memahami kepribadian seseorang yang diperiksa. Bukan hanya berarti mengklasifikasikan gangguan tingkah laku atau kepribadian yang ada, tetapi lebih luas dari membuat deskripsi tentang kepribadian individu, baik dari segi struktur maupun dinamikanya. Psikodiagnostik dalam konteks psikologi merujuk pada proses penilaian dan evaluasi psikologis yang bertujuan untuk memahami kondisi psikologis individu secara mendalam dalam berbagai bidang, baik konteks klinis, pendidikan, forensik dan evaluasi. Misalnya dalam psikologi klinis, psikodiagnostik digunakan untuk menilai gangguan mental atau emosional yang dialami individu. Di bidang pendidikan, alat-alat psikodiagnostik dapat digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus siswa, seperti kesulitan belajar sehingga intervensi yang tepat dapat dirancang. Dalam konteks forensik, psikodiagnostik membantu dalam evaluasi psikologis individu yang terlibat kasus hukum, misalnya untuk menentukan kompetensi mental dalam menghadapi pengadilan. Berikut ini beberapa definisi psikodiagnostika menurut para ahli: 1. Kisker (dalam Anastasi 1982) Psikodiagnostik adalah suatu teknik khusus dalam metode psikologi untuk mengungkapkan sifat dan luasnya kerusakan psikis. Disini terlihat bahwa istilah diagnostik dikaitkan dengan bidang kedokteran, yang menentukan jenis gangguan. 2. Stern (Marnat, 1999) Psikodiagnostik adalah keseluruhan cara, metode, dan teknik untuk menentukan ciri atau struktur psikis individu atau kelompok individu. Tugas psikodiagnostik adalah mengembangkan pengetahuan tentang variasi atau perbedaan-perbedaan psikis, serta mengembangkan metode penelitian yang dapat dipercaya 3. Jager dan Petermann Psikodiagnostik adalah sebuah disiplin ilmiah yang diterapkan dan mengembangkan langkah-langkah untuk menilai karakteristik yang relevan dari orang, situasi, lembaga, dan bahkan benda-benda. Informasi tersebut harus diintegrasikan dalam penilaian atau saran. 4. Walsh dan Betz (Purna, dkk., 2020) a. Diagnostik adalah proses yang membantu seseorang untuk menjawab pertanyaan atau menyelesaikan suatu permasalahan. b. Secara umum, terdapat 4 hal penting yang perlu diingat dalam proses diagnostik, yakni: i. Pengumpulan informasi ii. Pemahaman terhadap informasi diperoleh iii. Integrasi dari informasi yang didapatkan iv. Rancangan intervensi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Secara keseluruhan, psikodiagnostik adalah alat yang sangat penting dalam psikologi untuk membantu dalam diagnosis, pemahaman, intervensi terhadap berbagai masalah psikologis, memberikan rekomendasi berdasarkan temuan yang didapatkan serta penggunaan berbagai alat, metode dan teknik seperti wawancara, tes psikologis, observasi dan penilaian klinis untuk mengidentifikasi karakteristik kepribadian, kemampuan intelektual, fungsi emosional dan gangguan mental. C. Kegunaan Psikodiagnostika Psikodiagnostika berguna untuk mengukur perbedaan-perbedaan individu, karena jika individu itu sama maka tidak perlu ada pengukuran psikologis. Sehingga psikodiagnostika berguna untuk: 1. Penjabaran dan pemanfaatan tes psikologis 2. Penyeleksian kualitas tingkah laku dan kepribadian 3. Pengembangan kepribadian klien selanjutnya Sedangkan penggunaannya terdapat dalam setting berikut ini: 1. Clinical setting. Fokus penggunaannya adalah pada usaha mendeteksi gangguan psikis yang dialami individu (klien) serta mengukur kemampuan/kekuatan pribadi yang dimiliki individu sehingga dapat ditetapkan pola terapi/ treatment yang efektif baginya, misalnya di rumah sakit, pusat kesehatan mental atau klinik-klinik konsultasi psikologis. 2. Legal setting, misalnya di pengadilan, rumah permasyarakatan dan tempat rehabilitasi lainnya berhubungan dengan masalah kriminal dan kejahatan seperti pusat rehabilitasi penderita narkoba, rehabilitasi anak-anak nakal dan lain-lain. 3. Educational dan Vocational Guidance. Fokus pemeriksaannya lebih ditujukan pada advis di bidang pengembangan studi dan kerja, misalnya sekolah, universitas dan pusat pelatihan, pusat bimbingan karir. 4. Educational dan vocational selection, untuk penentuan bidang studi (jurusan yang dipilih) dan sebagainya, misalnya untuk rekrutmen di perusahaan/organisasi atau bidang kerja lainnya. 5. Research Setting. Fokus untuk kepentingan pengembangan ilmu dan pengembangan teknik serta metode psikodiagnostik. Biasanya dalam lingkup akademis perguruan tinggi. D. Tujuan Psikodiagnostika Tujuan dari pemeriksaan psikologis atau psikodiagnostika pada dasarnya adalah untuk mengungkapkan aspek-aspek psikologi tertentu dari individu yang diperiksa. Selanjutnya, aspek-aspek psikologis perlu ditetapkan kualitasnya. Artinya, normal, supernormal, atau subnormal. Atau scara umum, mendasar dan rinci, tujuan psikodiagnostika adalah untuk mengadakan klasifikasi, deskripsi, interpretasi dan prediksi. 1. Klasifikasi bertujuan untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan: a. Pendidikan, menyangkut masalah intelegensi, bakat, kesukaran belajar, penyesuaian diri, bimbingan dan sebagainya; b. Perkembangan anak menyangkut hambatan-hambatan perkembangan psikis maupun sosial; c. Klinis, berhubungan dengan individu-individu yang mengalami gangguan psikis, baik yang ringan maupun yang berat; d. Industri, berhubungan seleksi karyawan, promosi, dan permasalahan personalia. 2. Deskripsi (penggambaran, pemaparan). Alat-alat tes tidak hanya digunakan untuk klasifikasi gangguan-gangguan psikis atau diagnosa, tetapi lebih tertuju pada pendeskripsian dan pemahaman yang lebih intensif (mendalam) dari subjek karena tingkah laku individu (kepribadiannya) dipandang sebagai produk dari aspek-aspek biologis, psikologis dan social (sosiobiopsikologi), maka pemeriksaan psikologis bertujuan untuk memperoleh deskripsi keseluruhan mengenai individu dan ketiga aspek tersebut. Ada empat hal dari gambaran kepribadian yang perlu dipertimbangkan untuk diuraikan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan psikologi : a. Deskripsi atau gambaran yg komunikatif dan informatif ttg struktur kepribadian individu (kecerdasan/kognitif; dorongan, impuls dan motivasi; emosi, kepekaan dan ekspresinya; relasi sosial, kepekaan, penampilan, keterampilan sosial, dan sebagainya. b. Perkembangan kepribadian individu. c. Dinamika kepribadiannya. d. Faktor-faktor determinan yang berperan pada kepribadiannya. 3. Prediksi, menjadi tujuan ketiga dari pemeriksaan psikologis yakni untuk meramalkan atau memprediksikan perkembangan klien selanjutnya. Dalam bidang klinis, hal ini disebut sebagai prognosis. Data yang dihasilkan dari pengukuran psikodiagnostik akan memberikan gambaran yang semakin jelas tentang kondisi klien. Data ini akan dijadikan sebagai acuan untuk menentukan Langkah-langkah dan tindak lanjut dari permasalahan klien. Misalnya, untuk lanjut studi, pemilihan bidang pekerjaan (dalam penempatan karyawan/pegawai), ataupun memberikan treatmen kepada klien yang mengalami gangguan-gangguan psikis. E. Sasaran Psikodiagnostika Sasaran psikodiagnostika adalah individu yang secara umum mencakup kepribadiannya. Wujud nyata dari kepribadian adalah tingkah lakunya. Kepribadian memiliki banyak aspek seperti kecerdasan atau intelegensi, bakat, minat yang disebut aspek kognitif. Selain itu, terdapat aspek non- kognitif, seperti emosi, sikap dan tempramen. Secara umum yang menjadi sasaran psikodiagnostika adalah kepribadian individu dengan bagian- bagiannya antara lain: 1. Kecerdasan dan intelegensi; 2. Bakat atau kemampuan khusus yang istimewa; 3. Minat dan perhatian; 4. Sikap-sikapnya; 5. Motif-motifnya; 6. Keterampilan berbuat; 7. Emosi-emosi: kematangan dan kestabilan; 8. Cita-cita dan fantasi; 9. Sosial dan hubungan interpersonal; 10. Keakuannya; 11. Inisiatif dan kreatifitas; 12. Daya tahan; 13. Daya analisis; 14. Pengambilan keputusan; 15. Rasa tanggung jawab; 16. Kerjasama 17. Ketelitian kerja; 18. Sistematika kerja; 19. Ketahanan kerja; 20. Seksualitas, dll. Semua aspek psikologis dan keterampilan geraknya dapat diperiksa dan didiagnosa dengan menggunakan asesmen psikologis diagnostik. F. Prinsip-prinsip Psikodiagnostika Psikodiagnostika memiliki beberapa prinsip, antara lain: 1. Memberikan perlakuan yang sama pada semua individu yang akan di tes, meliputi: a. Interaksi yang sama antara klien dan psikolog. Psikolog harus memperlakukan klien secara setara tanpa memperhatikan latar belakangnya seperti jenis kelamin, latar belakang pendidikan, agama, suku, budaya dan lain-lainnya. Psikolog harus berusaha untuk bersikap netral. b. Situasi pengetesan yang sama (administrasi dan penyediaan lingkungan). Misalnya, ada suatu pengalaman, klien yang dites memakai kemeja hasilnya berbeda dengan yang tidak memakai kemeja (lebih rendah). Pemberian perlakuan yang sama itu untuk memperoleh hasil skor dari tiap individu dapat dibandingkan, dan individu menjadi variabel bebas dalam situasi pengetesan. Pemeriksa juga harus menyediakan lingkungan yang nyaman bagi klien untuk melakukan pemeriksaan untuk meminimalisir distraksi saat tes berlangsung. Beberapa hal yang perlu diperhatikan misalnya, suhu ruangan, tingkat kebisingan, pengaturan tempat duduk, dan lain-lain. Pengaturan situasi pengetesan ini akan mengurangi variabel bebas lain yang mungkin berpengaruh terhadap hasil tes sehingga hasil tes yang ditunjukkan benar-benar menggambarkan individu. 2. Individu memiliki kesadaran untuk menjalani psikodiagnostika. Karena jika tidak ada kesadaran, tentu hasilnya tidak sesuai dengan tujuannya; 3. Tersedianya sarana dan prasarana untuk pemeriksaan psikologis, misalnya ada macam-macam tes yang diperlukan, ruang pemeriksaan yang memadai, kecocokan waktu dan ketercukupan; 4. Biaya pemeriksaan terjangkau oleh klien; 5. Keprofesionalan psikolog untuk tugasnya dan merahasiakan data klien. G. Strategi Psikodiagnostika Dalam psikodiagnostika, tujuan akan berbeda dengan strategi pemeriksaan dan cara serta metode pemeriksaannya. Strategi psikodiagnostika adalah mencari cara dan teknik untuk mendapatkan data klien secara tepat guna. Berhubung data klien menyangkut kepribadian, maka biasanya bersifat kompleks dan abstrak sehingga perlu teknik-teknik pendekatan tertentu untuk mendapatkan hasil yang tepat guna. Terdapat dua pendekatan dalam psikodiagnostika, yaitu: 1. Pendekatan informal, pendekatan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yaitu ketika seorang melakukan penilaian terhadap orang melalui kesan-kesan yang diperoleh tentang seseorang, terutama pada pertemuan pertama kali. Empati dan subjektifitas emosi memegang peran penting dalam hal ini sehingga kadang-kadang impresi tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai secara objektif karena lebih banyak unsur subjektifitasnya. Sumber-sumber kesalahan penilaian seseorang itu diantaranya adalah sebagai berikut: a. Sumber dari diri penilai. Beberapa kesalahan yang berasal dari diri penilai terjadi karena beberapa hal, seperti adanya desas desus atau hearsay, terjadinya halo efek, adanya stereotype atau pandangan- pandangan statis tentang suatu atribut, efek toleransi, faktor suasana hati atau mood, proyeksi, konsep diri, mekanisme pertahanan diri. b. Sumber pada klien yang sukar dikenal, terjadi karena karakteristik orang yang sukar dinilai, kecenderungan (tendensi) menunjukkan penampilan yang baik, sikap pura-pura (facking good). 2. Pendekatan formal atau objektif, digunakan mengukur kemampuan individu dengan lebih objektif. Psikometri, statistika dan perhitungan kuantitatif mulai memegang peranan penting pada pendekatan ini. Penyusunan suatu materi tes objektif memerlukan validitas, standarisasi, penentuan norma dan kriterium. Hal ini berhubungan dengan konstruksi psikologis. Misalnya, tes kecerdasan, inventori diri, inventori kepribadian. Prosedur formal dapat menegakkan suatu patokan pe-meriksaan yang objektif. Setelah didapatkan gambaran tentang subjek yang akan diperiksa dengan tujuan tertentu, kemudian ditetapkan metode serta teknik yang efektif untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Data dan informasi yang diperoleh kemudian dapat dilakukan analisis mengenai kepribadian subjek yang disesuaikan dengan tujuan pemeriksaan. Selain itu, strategi psikodiagnostik harus mempertimbangkan beberapa aspek, seperti: 1. Harus tepat guna; 2. Ekonomis dan praktis, mudah, mengena, tidak berlarut-larut, dapat menyelesaikan masalahnya; 3. Diusahakan agar klien tidak tergantung pada psikolog; 4. Klien diberi motivasi agar dapat menentukan sikapnya sendiri, sehingga tidak selalu minta pertimbangan kepada psikolog; 5. Pelaksanaan psikodiagnostik memerlukan kebijaksanaan, artinya pemeriksaan psikologis sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pe- meriksaan tersebut. Misalnya, cara dan alat pemeriksaan dipilihkan yang praktis dan ekonomis. Sikap awal yang harus diambil adalah: a. Menentukan apakah suatu masalah membutuhkan pemeriksaan psikologis; b. Perlu menentukan metode yang cocok; c. Pemeriksaan individual atau kelompok; d. Perlu menentukan alat bantu untuk mengumpulkan data yang diperlukan. BAB III ASESMEN PSIKOLOGIS A. Definisi Asesmen Psikologis Istilah asesmen sering kali digunakan dalam berbagai bidang karena lebih bersifat menyeluruh. Asesmen sendiri memiliki makna menilai atau menaksir dan dapat dianggap sepadan dengan istilah diagnostik. Definisi asesmen psikologi memiliki arti lebih luas daripada diagnostik dan tidak hanya dikaitkan dengan kegiatan penggunaan tes saja, tetapi juga dengan metode lain, seperti wawancara dan observasi. Cronbach (1960) membagi asesmen dalam dua cara, yaitu analisis klinis dan prediksi kerja. Analisis klinis misalnya dari satu tes saja dibuat interpretasi dengan teori psikoanalisis. Sedangkan prediksi kerja (performance) orang-orang yang normal atau superior yang diberikan tugas-tugas yang memerlukan tanggung jawab besar. Ini berlawanan dengan pengukuran psikometris yang didasarkan atas angka rata-rata tes kuantitatif. Menurut Vernon (dalam Anastasia, 2007), personality asesmen adalah kegiatan mengenali, mengerti dan memahami orang lain dengan menggunakan metode- metode ilmiah untuk digunakan dalam keperluan-keperluan seleksi, konseling, bimbingan dan penelitian. Shea (dalam Putra, 2020) membedakan antara pemberian tes dan asesmen terhadap seorang klien. Pemberian tes adalah salah satu segmen dalam proses asesmen yang terdiridari serangkaian kegiatan yang dimulai dari membahas referral question, memilih prosedur pemeriksaan yang tepat guna dan tepat sasaran, melaksanakan dan memberi skor pada tes, menginterpretasi tiap tes dan mensintesis keseluruhan hasil tes dan temuan lain serta mengomunikasikan hasil dengan baik kepada yang tepat (klien yang bersangkutan, dokter atau profesional lainnya, dan sebagainya). Ten Haye (dalam Putra, 2020) menjelaskan adanya intelegensi, bakat dan sifat yang merupakan disposisi. Disposisi ini tidak dapat ditangkap secara langsung, namun ditampilkan dalam gejala-gejala. Gejala sendiri ada yang dapat diukur dan ada juga yang tidak dapat diukur. Gejala yang dapat diukur umumnya dapat dilakukan melalui tes, sedangkan gejala yang tidak dapat diukur dapat melalui observasi dan wawancara. Kemudian ketiganya diintegrasikan menjadi satu keseluruhan gambaran mengenai klien. B. Keterampilan Dasar Pemeriksa Psikologis Dalam melakukan pemeriksaan psikologis atau asesmen psikologis, asesor atau pemeriksa harus memiliki beberapa keterampilan agar proses pemeriksaan atau asesmen berjalan dengan lancar dan mendapatkan hasil yang maksimal. Keterampilan-keterampilan tersebut, seperti: 1. Keterampilan dalam melakukan administrasi pemeriksaan (process skill) Keterampilan ini adalah kemahiran untuk menjalin relasi dan berkomunikasi dengan subjek ketika mengadministrasikan pemeriksaan psikologi melalui keurutan prosedur yang baku dan teratur, sesuai dengan tuntutan dari tujuan pemeriksaan itu dengan mempertimbangkan isi pemeriksaan: a. Apa yang diharapkan sebagai hasil akhir dari pemeriksaan psikologi. Ini berkaitan dengan tujuan dari pemeriksaan apakah untuk kepentingan pemilihan jurusan, rekrutmen atau klasifikasi jabatan, konseling perkawinan, kesulitan belajar, dsb. Setiap tujuan itu memiliki konsep pemeriksaannya sendiri, dan sebagai konsekuensinya juga memiliki cara dan tekniknya sendiri; b. Bagaimana hasil itu dapat dicapai melalui perangkat diagnostik yang tersedia. Setelah tujuan pemeriksaan ditetapkan, selanjutnya pemeriksa harus menentukan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan. Prosedur ini meliputi teknik dan strategi diagnostik yang akan dilakukan. Pemeriksa harus menyesuaikan teknik yang dipilih dengan tujuan pemeriksaan. Misalnya, orang tua datang ke klinik psikologi dengan keluhan mengenai perilaku agresi yang dilakukan oleh anaknya. Berdasarkan keluhan tersebut, pemeriksa dapat menyusun teknik diagnostik yang bisa dilakukan seperti wawancara kepada orang tua terkait perilaku anak di rumah serta menggali anamnesa, observasi perilaku anak di berbagai setting, serta melakukan tes psikologi jika diperlukan; c. Siapa yang berkompeten melakukannya. Setiap pemeriksaan psikologi memiliki kekuatan dan keterbatasannya yang menuntut pula syarat tertentu dalam pelaksanaannya agar kekuatan itu dapat muncul maksimal, atau keterbatasannya dapat ditekan seminimal mungkin pengaruhnya. Oleh karena itu terdapat kategori dari jenis pemeriksaan psikologi, yang mempersyarati kompetensi si pemeriksa, dan dibatasi pula oleh kode etik psikolog. Kemahiran ini memberikan hasil pemeriksaan yang dapat dipercaya, sahih dan reliabel. Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang benar dari data dan informasi subjek yang diperiksa. 2. Keterampilan mengkaji aspek kepribadian yang diukur (content skill) Keterampilan ini meliputi kemahiran pemeriksa untuk memahami isi informasi yang ingin diperoleh pada setiap pemeriksaan psikologi, ditinjau dari segi aspek apa yang akan digali dari subjek pada setiap pertemuan sehingga berdasarkan agenda itu dapat pula ditetapkan alat diagnostik yang akan digunakan. Pemeriksaan melalui tes misalnya, memiliki ruang lingkup bahasan aspek yang digali dan diukur. Setiap aspek memiliki indikator- indikator dalam ukurannya yang konkrit maupun simbolik. Untuk dapat memahami nilai ukur itu, misalnya angka tertentu dalam skala, maka diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang arti tentang arti setiap nilai tersebut, dan sekaligus kaitannya dengan nilai lain dalam materi tes yang sama, atau nilai lain dari materi tes yang berbeda. Syarat utama untuk memahami arti nilai atau angka hasil tes itu adalah tidak memperlakukan angka itu dengan single sign approach, tetapi hanya sebagai hipotesis yang akan diuji kebenarannya dengan melihat, membandingkan, atau mempertimbangkan hasil tes atau pemeriksaannya lainnya. Melalui verifikasi inilah diturunkan kesimpulan dari gambaran kepribadian subjek. Content dari aspek yang harus digali meliputi riwayat hidup subjek, keluhan atau problemnya termasuk riwayat sakit (bila untuk pemeriksaan aplikasi klinis), latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, latar belakang pekerjaan, status perkawinan, premorbid personality, asesmen tentang potensi dan kelemahan subjek. 3. Keterampilan menganalisis data pemeriksaan (cognitive skill) Keterampilan ini meliputi kemahiran pemeriksa mengolah, menganalisis, menalar, mengintegrasikan dan mengabstraksikan hasil integrasi pemeriksaan psikologi yang beragam itu menjadi satu gambaran kepribadian subjek. Keterampilan ini juga meliputi kepekaan pemeriksa dalam membaca hasil tes psikologis. Misalnya, untuk menggali aspek kecemasan, pemeriksa bisa melakukan integrase dari beberapa alat tes baik alat tes grafis, observasi selama pengetesan berlangsung serta pendalaman pada subtes-subtes tes intelegensi. Hal inilah yang memunculkan sisi seni dari psikodiagnostik, dimana pemeriksa harus mampu mengintegrasikan berbagai data yang diperoleh sehingga didapatkan sebuah rumusan hipotesis ataupun diagnosis dari permasalahan yang dihadapi klien. Kemahiran ini berhubungan dengan dan ditunjang oleh integritas diri pemeriksa, sehingga melalui integritasnya itu ia dapat membedakan dan memilah pendekatan yang bernilai seni, dengan yang bernada subjektifitas penilaian diri terhadap kasus yang diperiksanya. Keterampilan ini dicapai bila pemeriksa memiliki keluasan pandangan dan konsep-konsep mengenai psikologi, yang mencakup pengetahuan, baik yang teoritik-konseptual (kepribadian, perkembangan, abnormal, psikologi sosial, dan lain-lain) maupun praktis terapan (diagnostik tes, observasi, interview/anamnesa, konseling, dan lain-lain). Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk dapat membentuk suatu kemahiran yang andal dalam proses psikodiagnostik dibutuhkan pembiasaan yang terus menerus dan tidak terputus sehingga semakin lama semakin diperoleh ketajaman penghayatan dan pengkajian atas kepribadian individu. C. Langkah-langkah Dalam Melakukan Asesmen Terdapat tujuh langkah yang dilakukan dalam proses asesmen psikologi, yaitu: 1. Persiapan Tahapan persiapan merupakan langkah awal yang harus diperhatikan oleh pemeriksa karena akan menyangkut kelancaran proses tes yang akan dilaksanakan. Pemeriksa perlu mempersiapkan hal-hal yang diperlukan pada saat pengetesan baik dari segi kesiapan mental pemeriksa ataupun materi yang akan digunakan pada saat tes. a. Persiapan mental. Adanya keyakinan yakni pemeriksa harus memiliki keyakinan diri bahwa ia mampu melakukan proses asesmen dengan tepat dan lancar; b. Siap antisipasi reaksi. Asesmen dilakukan kepada manusia yang mungkin saja memunculkan respon berbeda-beda. Pemeriksa harus mempersiapkan diri untuk menangani situasi-situasi yang tidak terduga saat asesmen berlangsung agar asesmen tetap berjalan dengan kondusif; c. Persiapan materi jenis tes, yakni sebelum asesmen dilakukan pemeriksa harus menentukan terlebih dahulu metode apa yang akan dilakukan sehingga dapat mempersiapkan materi yang sesuai. Jenis tes disesuaikan dengan tujuan asesmen; d. Layout. Pemeriksa juga harus menyiapkan lay out ruangan yang nyaman bagi klien. Hal ini meliputi penyusunan tempat duduk, posisi tempat duduk tester dan testee ataupun posisi tempat duduk interviewer dan interviewee; e. Pengawas. Proses asesmen harus diawasi agar sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan sejak awal berapa jumlah pengawas yang dibutuhkan saat asesmen berlangsung; f. Alat tes. Sebelum melakukan asesmen, pemeriksa perlu menyiapkan alat tes yang akan digunakan saat proses asesmen. Alat tes ditentukan berdasarkan tujuan dari pengetesan. Pemeriksa jua harus memeriksa kelengkapan dari alat tes yang akan digunakan sebelum asesmen dimulai. Hal yang perlu diperiksa meliputi buku soal, lembar jawaban, alat tulis, stopwatch, dan materi lain yang diperlukan. 2. Rapport Seorang tester harus mampu menciptakan hubungan yang baik antara dirinya dan testee agar proses asesmen berjalan dengan lancar. Hal yang perlu diperhatikan, yaitu testee tidak dalam kondisi tegang, merasa aman dan selalu termotivasi serta tidak boleh memberikan petunjuk yang mengarahkan pada jawaban yang benar. 3. Pelaksanaan tes, yaitu: a. Patuhi prosedur standard, dimana pemeriksa harus memahami prosedur asesmen terlebih dahulu. Seperti memahami buku manual tes sebelum melakukan pengetesan. Masing-masing alat tes memiliki prosedur yang berbeda, pastikan bahwa pemeriksa sudah memahami prosedur tersebut terlebih dahulu sehingga proses pengetesan berjalan dengan lancar dan data yang dihasilkan valid; b. Waktu, dimana masing-masing tes biasanya memiliki waktu yang berbeda. Ada alat tes yang terbatas waktu sedangkan yang lainnya tidak terbatas. Pemeriksa harus memahami hal ini terlebih dahulu; c. Urutan pengetesan; terkadang pemeriksa membutuhkan beberapa tes dalam satu kegiatan. Perlu diperhatikan urutan pengerjaan tes dan diselingi dengan istirahat agar klien tidak mengalami kelelahan. 4. Skoring Setelah tes selesai dilaksanakan, maka tahapan selanjutnya adalah pemeriksa melakukan skoring dan penilaian terhadap hasil tes. Setiap tes memiliki panduan skoring yang berbeda sehingga pemeriksa perlu memahami panduan atau manual dari masing-masing alat tes agar dapat melakukan penilaian dengan tepat dan akurat. Saat ini sudah banyak software yang dibuat untuk memudahkan proses skoring alat tes. Terdapat dua jenis tes, yaitu: a. Tes objektif. Pemeriksa perlu memperhatikan prosedur skoring karena setiap tes memiliki prosedur penilaian yang berbeda. Ada tes yang memiliki penilaian “benar” dan “salah” seperti tes intelegensi, namun ada juga tes yang membutuhkan penilaian secara kualitatif saja. Pemeriksa harus memahami prosedur ini agar dapat melakukan skoring dengan tepat. b. Tes non-objektif, membutuhkan keahlian yang lebih tinggi bagi pemeriksa dalam melakukan skoring karena tes ini tidak memiliki panduan baku dalam proses skoring. Pemeriksa harus peka dalam menangkap gejala yang muncul baik pada hasil tes maupun saat pengetesan berlangsung. Pemeriksaan menggunakan tes ini membutuhkan keahlian dari tester atau pemeriksa. 5. Interpretasi merupakan pemberian makna terhadap hasil skoring yang sudah dilakukan. Interpretasi hasil tes harus dilakukan oleh psikolog yang sudah memiliki kompetensi untuk melakukan hal tersebut. Hasil interpretasi inilah yang akan disusun dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan psikologis. a. Tes objektif. Memberikan makna dari skor yang diperoleh menggunakan tabel norma. Pemberian makna atau interpretasi terhadap tes objektif cenderung lebih mudah dibandingkan tes non objektif. Hal ini dikarenakan tes objektif memiliki panduan skoring dan tabel norma yang dapat membantu pemeriksa dalam menginterpretasikan hasil tes. b. Tes non-objektif. Sama halnya dengan proses skoring, interpretasi tes non objektif membutuhkan kepekaan dan keahlian dari pemeriksa dalam menangkap data yang dihasilkan oleh pengukuran yang sudah dilakukan. Pengalaman memegang peranan penting dalam meningkatkan keahlian pemeriksa untuk menginterpretasi hasil tes ini. 6. Mengomunikasikan hasil. Setelah proses asesmen dilakukan testee atau orang yang dites berhak untuk mendapatkan informasi mengenai asesmen hasil tes yang sudah dilakukan. Orang-orang yang dapat mengakses hasil tes ini biasanya terbatas sesuai aturan kode etik psikologi. Hal ini dikarenakan hasil tes psikologi bersifat rahasia sehingga harus dikomunikasikan kepada orang yang berhak saja. Misalnya, instansi yang meminta untuk dilakukan psikotes, testee dan orang lain yang berhak sesuai dengan kode etik psikologi. Secara umum, beberapa hal yang perlu dikomunikasikan mencakup penjelasan mengenai hasil tes, kesimpulan rekomendasi (jika diperlukan), dan saran untuk pengembangan diri klien ke depannya 7. Evaluasi. Tahapan ini dilakukan untuk mengevaluasi proses pengetesan secara keseluruhan. Pemeriksa dapat mengevaluasi hambatan yang mugkin dihadapi pada saat pengetesan sehingga dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan untuk pengetesan selanjutnya. BAB IV TESTING DALAM PSIKOLOGI A. Sejarah Tes Psikologi Raja-raja zaman dahulu mempunyai cara untuk menyeleksi tentara, yang dibiarkan berada dalam keadaan haus, dibawa ke suatu telaga, kemudian diobservasi bagaimana caranya mereka minum, yang minum langsung tanpa mengambil air di tangannya itulah yang dianggap paling cocok untuk perang. Cara- cara penilaian ini menggunakan observasi dan tata tingkah laku yang telah diketahui orang-orang yang akan dipilih. Dilakukan juga wawancara untuk memastikan apakah orang itu berminat untuk menjadi sekretaris, bendahara, dan sebagainya. Cara-cara observasi, melihat data nyata, dan wawancara terhadap orang untuk melakukan penilaian kesesuaian seseorang untuk suatu tugas merupakan “metode asesmen/psikodiagnostik” yang penting. Dengan berkembangnya ilmu, maka diciptakanlah berbagai alat yang lebih canggih untuk melakukan penilain terhadap orang lain, sebagai contoh adalah berkembang pesatnya tes-tes psikologis dan tes- tes lainnya. Beberapa bentuk instrumen pemeriksaan psikologis digunakan untuk membantu mengambil keputusan mengenai orang atau membantu dalam membuat pilihan yang menyinggung status pendidikan di masa depan, pekerjaan dan status lain. Instrumen psikologis digunakan secara luas di sekolah, klinik, bisnis dan industri, serta pelayanan masyarakat dan militer. Instrumen ini digunakan untuk tujuan evaluasi diagnostik, seleksi, penempatan dan promosi. Selain untuk aplikasi pembuatan keputusan praktis, tes juga digunakan secara luas dalam penelitian. Penyataan bahwa masing-masing individu memiliki perbedaan dalam bidang kemampuan kognitif, keterampilan motorik dan kepribadian serta perbedaan ini dapat dievaluasi dengan beberapa cara telah diketahui sejak awal sejarah manusia. Plato dan Aristotles menulis tentang perbedaan individu mengenai kemampuan dan temperamen hampir 2.500 tahun lalu, bahkan didahului dengan sistem ujian yang digunakan di Cina kuno. Sejak 2.200 BC, sistem ujian untuk menjadi pegawai negeri telah dilaksanakan oleh kerajaan Cina dalam menentukan para pejabat pemerintah yang layak melaksanakan tugasnya. Para kaisar Cina menggunakan sitem ujian tertulis yang sangat melelahkan untuk menyeleksi penjabat-pejabat pelayanan sipil. Sistem ini mengharuskan pada pejabat diuji setiap 3 tahun untuk mengetahui kecakapan mereka dalam musik, memanah, berkuda, menulis, aritmatika, ritual, upacara umum dan pribadi, terus dilanjutkan oleh para penguasa Cina berikutnya, dengan menambahkan hukum sipil, masalah militer, pertanian, penghasilan, geografi, komposisi karangan dan puisi. Selama abad ke-19, pemerintah Inggris, Perancis, Jerman mengikuti cara ujian pegawai negeri yang dilakukan oleh Cina. Psikolog-psikolog eksperimental awal dari abad ke-19 umumnya tidak peduli dengan pengukuran perbedaan-perbedaan individu. Tujuan utama para psikolog pada masa itu adalah perumusan deskripsi umum tentang perilaku manusia. Fokus perhatian mereka adalah keseragaman. Bukannya perbedaan-perbedaan perilaku. Para ilmuwan selama awal abad ke-19 umumnya memandang perbedaan individu dalam kemampuan mental dan sensorimotor lebih sebagai gangguan atau sumber kesalahan daripada alasan lain. Sebelum penemuan instrumen yang tepat dan otomatis untuk pengukuran dan pencatatan peristiwa fisik, ketepatan pengukuran ilmiah dalam bidang waktu, jarak dan variabel fisik lainnya tergantung pada luasnya kemampuan persepsi dan motorik para observer (pemeriksa psikologi). Pada tahun 1879 Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama di Leipzig, Jerman. Termasuk di antara penelitian-penelitian awalnya adalah upayanya pada tahun 1862 untuk mengukur kecepatan pikiran dengan pengukur pikiran, yaitu pendulum yang diberi ukuran dengan jarum-jarum yang ditusukkan menonjol pada tiap sisi. Selain itu, banyak psikolog di Eropa dan Amerika Serikat memainkan peran penting pada tahap dipeloporinya pengukuran mental. Tokoh yang berperan penting selama akhir 1800an adalah Francis Galton, J. McKeen Cattel dan Alfred Binet. Referensi pertama untuk tes mental muncul pada tahun 1890 dalam sebuah makalah klasik oleh James McKeen Cattel, seorang psikolog Amerika yang pernah belajar bersama Galton. J. McKeen Cattel mencoba menghubungkan skor pada pengukuran dan waktu bereaksi dan diskriminasi sensor dan nilai sekolah. Cattell mengembangkan tes berkaitan dengan fungsi faal dan baterai tes antara lain terdiri dari tes kekuatan genggaman, tes ambang 2 titik, waktu reaksi atas bunyi, kecepatan menyebutkan nama warna, dan rentang ingatan tentang kata. Pada 1904 menteri pengajaran publik di Paris, Perancis meminta Alfred Binet dan rekannya Theodore Simon untuk mengembangkan prosedur untuk mengidentifikasi anak yang tidak dapat memahami pelajaran di kelas reguler di sekolah. Untuk tujuan ini, Binet dan Simon menyusun tes yang dilakukan secara individu, meliputi 30 problem, disusun dengan tingkat kesulitan semakin meningkat secara berurutan. Masalah pada tes kecerdasan (intelligent test) praktis pertama yang dipublikasikan pada tahun 1905, menekankan pada kemampuan untuk menilai, memahami, dan menalar. Revisi tes dilakukan yang meliputi sebagian besar subtes yang dikelompokkan berdasarkan tingkat usia dari 3-13 tahun, dipublikasikan pada tahun 1906. Dalam pemberian skor Skala Kecerdasan Biner-Simon edisi revisi 1908, konsep usia mental (mental age) diperkenalkan sebagai cara menghitung keseluruhan kinerja seseorang pada tes itu. Revisi skala Binet-Simon lebih lanjut, yang dipublikasikan setelah kematian Binet tahun 1911, diperluas menjadi tes untuk tingkat dewasa. Pada tahun 1912, Stern mengajukan pembagian umur mental dengan umur kronologis untuk mendapatkan suatu hasil pembagian intelegensi. Pada tahun 1916, Terman mengusulkan untuk mengalikan hasil pembagian intelegensi dengan 100 demi menghilangkan pecahan, maka lahirlah konsep IQ. B. Klasifikasi Tes Psikologi Tes psikologi yang berkembang dan digunakan saat ini sudah sangat beragam. Masing-masing alat tes memiliki fungsi yang berbeda serta kelebihan dan kekurangannya. Pemeriksa perlu memahami karakteristik dari alat tes yang digunakan agar dapat mengungkap aspek psikologis dengan tepat dan lengkap. Tidak jarang pemeriksa menggunakan beberapa alat tes sekaligus untuk mengungkap aspek psikologis yang dibutuhkan. Agar lebih mudah dipahami, berikut ini merupakan klasifikasi dari alat tes psikologi berdasarkan beberapa kategori. 1. Berdasarkan jumlah peserta a. Tes individual, tester pada tes ini hanya menghadapi satu testee dalam satu waktu. Alat tes seperti TAT, Rorschach, Weschler, dan Stanford Binet umumnya disajikan secara individual. Kelebihan dari metode ini adalah tester dapat mengamati dan mendapatkan data yang lebih mendalam dari testee selama proses pengetesan berlangsung. b. Tes klasikal, tes ini biasanya dilakukan secara berkelompok dimana 1 orang tester menghadapi 2 orang atau lebih testee. Tes yang bisa dilakukan menggunakan metode ini seperti IST, Pauli, TIKI, dan lain- lain. Kelebihan dari tes ini adalah efisiensi dari segi waktu, tenaga dan biaya. 2. Berdasarkan isi tes dan waktu yang disediakan, tes psikologi dibedakan menjadi: a. Speed test. Tes ini mengutamakan kecepatan dan ketepatan kerja. Umumnya pengerjaan tes ini dibatasi oleh waktu tertentu dan testee hanya boleh mengerjakan tes selama waktu tersebut saja. Contohnya, tes Kraeplin dan Pauli. b. Power test. Tes ini mengutamakan kemampuan bukan kecepatan sehingga waktu pengerjaannya tidak dibatasi. Contohnya seperti tes Grafis, TAT, Stanford Binet, dan lain-lain. 3. Berdasarkan aspek yang diukur, dibedakan menjadi: a. Tes intelegensi, awalnya dirancang untuk membuat sampel beragam keterampilan dengan maksud memperkirakan tingkat kecerdasan umum seseorang. Secara umum merujuk pada tes yang menghasilkan skor rangkuman keseluruhan berdasarkan hasil-hasil dari sampel beragam unsur. Nilai tes intelegensi seringkali dikaitkan dengan umur dan menghasilkan IQ untuk mengetahui bagaimana kedudukan relative seseorang dengan kelompok orang sebayanya (Nur’aeni, 2012). Hasil tes ini biasanya digunakan sebagai dasar pengembangan diri seseorang melalui pendidikan dan pelatihan lebih lanjut. b. Tes bakat, umumnya mengukur satu atau lebih segmen kemampuan yang didefinisikan secara jelas dan relatif homogen. Tes semacam ini memiliki dua variasi; tes bakat tunggal dan rangkaian tes bakat berganda. Tes bakat tunggal mengukur sudah pasti hanya satu kemampuan, sedangkan rangkaian tes bakat berganda menghasilkan profil skor untuk sejumlah bakat. Tes bakat sering digunakan untuk memprediksi keberhasilan dalam suatu pekerjaan, kursus pelatihan atau pendidikan. c. Tes prestasi, mengukur tingkat belajar, keberhasilan, atau persepsi seseorang dalam suatu materi subjek. tujuan tes ini adalah untuk menentukan seberapa banyak materi yang telah diserap atau dikuasai subjek. Umumnya tes prestasi memiliki beberapa subtes, seperti membaca, matematika, bahasa, sains, dan ilmu-ilmu sosial. d. Tes kreativitas, menilai kemampuan klien dalam menghasilkan ide-ide, pemikiran atau kreasi artistik baru yang diakui memiliki nilai sosial, estetik, atau ilmiah. Pengukuran kreativitas menitikberatkan pada kebaruan dan orisinilitas solusi atau masalah yang kurang jelas atau pembuatan karya-karya artistik. e. Tes kepribadian, mengukur sifat, ciri-ciri atau perilaku yang menentukan individualitas seseorang. Informasi ini memprediksi perilaku di masa depan. Tes-tes ini muncul dalam beberapa variasi yang berbeda, termasuk daftar periksa, inventori, dan teknik-teknik proyeksi seperti penyelesaian kalimat dan bercak tinta. Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) membagi tes kedalam empat kategori, yaitu: 1. Kategori A 2. Kategori B 3. Kategori C 4. Kategori D C. Syarat Tes yang Baik Sebuah tes sebagai pengukuran perilaku akan dianggap baik jika tes tersebut mencakup dan benar-benar mengukur perilaku yang dimaksud. Hal ini sangat bergantung pada apakah jumlah dan sifat item tes merupakan contoh yang baik dari keseluruhan perilaku yang ingin diukur. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih sebuah tes, yaitu: 1. Standarisasi Sebuah tes harus memiliki prosedur yang seragam dalam administrasi dan penyekorannya. Hal ini harus dipenuhi karena tes dimaksudkan untuk membandingkan hasil yang didapat dari orang-orang yang berbeda. Sebuah tes yang baik memiliki instruksi yang jelas dan detail. Tes standar biasanya juga memiliki norma yang sudah dibuat berdasarkan data dari sampel sesuai target populasi dari tes tersebut. 2. Objektifitas Instruksi, penyekoran, dan norma dapat membuat sebuah tes lebih objektif karena terstandarisasi. Selain itu, tes juga harus objektif dan memiliki tingkat kesulitan yang sesuai dengan target populasi. Item-item yang digunakan dalam tes tersebut harus diuji secara empirik dan dipilih yang memiliki tingkat kesulitan sesuai dengan tujuan tes. Peserta tes manapun harus secara teoritis memperoleh skor yang sama pada tes terlepas dari siapa yang kebetulan menjadi pengujinya. Tentu saja, tidak selalu demikian situasinya karena standarisasi dan objektivitas yang sempurna tidak didapatkan dalam praktik. Akan tetapi setidaknya, objektivitas semacam ini merupakan sasaran penyusunan tes dan telah dicapai sampai tingkat yang cukup tinggi pada kebanyakan tes. 3. Reliabilitas Tidak ada instrumen psikometri yang dapat bernilai kecuali jika instrumen tersebut merupakan ukuran konsisten, atau dapat diandalkan (reliable). Sehingga, tes yang baru disusun dapat diandalkan untuk mengukur apa yang dirancang untuk diukur. Dalam menentukan reliabilitas, diasumsikan bahwa tes mengukur karakteristik yang relatif stabil, dalam menentukan seperti ketidakstabilan unreliabilitas merupakan hasil kesalahan pengukuran yang terjadi karena keadaan internal sementara, seperti motivasi rendah, keengganan, atau kondisi eksternal seperti lingkunga tes yang tidak nyaman. Sebuah tes psikologi dianggap baik bila memiliki konsistensi dalam mengukur perilaku. Sebuah tes diharapkan menghasilkan skor yang relatif sama bila diukur pada saat yang berbeda pada individu yang sama. Ada beberapa cara untuk menentukan nilai atau koefisien reliabilitas disertai tipe dan metode perhitungan reliabilitasnya, juga jumlah dan ciri sampel yang harus digunakan untuk mengukurnya. Salah satu ciri instrumen ukur yang berkualitas baik adalah reliabel, yaitu mampu menghasilkan skor yang cermat dengan eror pengukuran yang kecil. 4. Validitas Validitas merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh sebuah tes. Sebuah tes psikologi diharapkan dapat benar-benar mengukur suatu perilaku tertentu sesuai tujuan tes. Validitas biasanya ditentukan dengan kriteria tertentu yang ada di luar tes. Ada beberapa prosedur validitas yang digunakan sesuai jenis dan tujuan tes. Saat memilih sebuah tes yang digunakan maka tujuan dari tes tersebut harus sesuai dengan fungsi dan tujuan dari tes yang kita pilih. Saat ini, ada banyak tes psikologi yang tersedia. Ada sejumlah tes untuk mengukur beberapa kemampuan, namun ada pula tes yang secara spesifik mengukur perilaku tertentu. 5. Tes harus komprehensif Tes dapat mengungkapkan banyak hal, terutama dalam tes prestasi. Bila kita akan menyelediki prestasi seorang anak atas suatu bahan ajaran tertentu, maka tes yang digunakan harus dapat mengungkapkan pengetahuan subjek tentang segala hal yang harus dipelajari. 6. Tes harus diskriminatif Tes harus mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan mengenai sifat/faktor tertentun pada individu yang satu dengan yang lain. Indeks untuk menunjukkan perbedaan itu disebut daya pembeda (discrimination power). Bila suatu tes pada sekelompok subjek menunjukkan hasil yang sama, maka tes tersebut dikatakan memiliki discrimination power yang rendah. 7. Tes haru smudah digunakan dan murah Bila tes yang telah dikonstruksi ternyata sukar dalam penyelenggaraannya, maka tes tersebut tetap mempunyai kelemahan. Nilai dari suatu tes terletak pada kegunaannya, jadi jika sukar digunakan, tes tersebut menjadi rendah nilainya.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser