Makalah PKN Kelompok 3 (2024) PDF
Document Details
Uploaded by EntertainingPyramidsOfGiza
Universitas Kristen Indonesia
2024
Tags
Summary
This document is a student research paper on a topic related to Indonesian Studies and nationalism. The paper is for a Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) class at Universitas Kristen Indonesia Maliku for the year 2024. It includes discussion of the meaning of nationalism, and the paper analyses relevant theories.
Full Transcript
**MAKALAH** **PENDIDIKAN KEWARNEGARAAN** **DOSEN PENGAMPU: ROULI RETTA TRIFENA SINAGA** **DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 (B):** 1. **ANGEL SAHERTIAN 12175201240021** 2. **GRACIANO TANAMAL 12175201240068** 3. **JUNIKA KOLATLEN 12175201240100** 4. **LIFRENSIA SELSILY 12175201240113** 5. **MERVIN...
**MAKALAH** **PENDIDIKAN KEWARNEGARAAN** **DOSEN PENGAMPU: ROULI RETTA TRIFENA SINAGA** **DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 (B):** 1. **ANGEL SAHERTIAN 12175201240021** 2. **GRACIANO TANAMAL 12175201240068** 3. **JUNIKA KOLATLEN 12175201240100** 4. **LIFRENSIA SELSILY 12175201240113** 5. **MERVIN NGOSIEM 12175201240127** 6. **PUTRICYA KALAIPUPIN 12175201240142** 7. **RAHEL HALAMURY 12175201240145** 8. **VENNY MAKAILIPESSY 12175201240173** 9. **VICARIO TOMASOA 12175201240174** **FAKULTAS TEOLOGI** **PRODI TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN** **UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALIKU** **2024** **DAFTAR ISI** **BAB I PENDAHULUAN..........................................................** A. **Latar Belakang......................................................\...** B. **Tujuan Penelitian...................................................\...** C. **Manfaat Penelitian...................................................** D. **Rumusan Masalah....................................................** E. **Metodeologi Penelitian..............................................** **BAB II PEMBAHASAN............................................................** A. **Pengertian Nasionalisme............................................** B. **Teori-Teori Pkn........................................................** C. **Teori-Teori Teologi...................................................** **BAB III PENUTUP....................................................................** A. **Kesimpulan............................................................\...** B. **Saran......................................................................** **DAFTAR PUSTAKA...................................................................** **BAB I** **PENDAHULUAN** 1. **Latar Belakang Masalah** Indonesia dengan keberagaman budaya dan agamanya yang kaya, memiliki sejarah panjang dalam membentuk identitas nasional. Nasionalisme, sebagai suatu ideologi yang mengutamakan loyalitas terhadap bangsa dan negara, telah menjadi topik kajian yang menarik, yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman, terutama dalam konteks keberagaman masyarakat Indonesia. Maluku sebagai salah satu provinsi dengan sejarah panjang dan kaya akan budaya, menjadi contoh yang menarik untuk mengkaji bagaimana nasionalisme terbentuk dan berkembang dalam konteks lokal. Maka dari itu, sejarah Kaibobo, yang merupakan sebuah negeri di Maluku, memberikan perspektif unik tentang dinamika nasionalisme dalam konteks sejarah, budaya, dan agama. 2. **Tujuan Penelitian** Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi pengertian Nasionalisme. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis teori-teori dalam Pkn yang relavan dengan konsep nasionalisme. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara teori-teori Teologi dalam memahami dan mengembangkan konsep nasionalme. 4. Memberikan contoh konkrit yang berhubungan dengan teori-teori Pkn dan Teologi dalam konsep nasionalisme. 3. **Manfaat Penelitian** 1. Memperkaya warisan budaya ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sosial, politik, dan agama. 2. Memberikan kontribusi dalam pengembangan Pkn dan Teologi yang lebih relavan dan mendalam dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme. 3. Menjadi bahan pertimbangan bagu para pembuat kebajikan dalam merumuskan program-program yang bertujuan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan negara. 4. **Rumusan Masalah** 1. Apa itu nasionalisme? 2. Teori-teori apa saja dalam Pkn yang relavan dengan konsep nasionalisme? 3. Teori-teori Teologi apa saja yang memahami dan mengembangkan konsep nasionalisme? 4. Apa saja contoh konkrit yang berhubungan dengan teori-teori Pkn dan Teologi dalam konsep nasionalisme. **BAB II** **PEMBAHASAN** **2.1 Pengertian Nasionalisme** Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Kata nation atau bangsa mempunyai arti sosiologis, antropologis dan politik yang tidak sama. Dalam pengertian sosiologis, nation berarti suatu kelompok teritorial dengan hak-hak kewarganegaraan yang sama, yang mempunyai karakteristik sama yang membedakannya dengan kelompok-kelompok lain yang sama. Nation dalam pengertian antropologis merupakan suatu kolektif manusia dengan solidaritas ditujukan kepada suatu identitas negara yang berdaulat. Selain itu juga nation mempunyai arti kolektif manusia, biasanya terikat karena kesatuan bahasa, dan kebudayaan dalam arti umum dan mempunyai wilayah tertentu. Nation pada pengertian politik berbeda dengan bangsa, kata bangsa mempunyai arti kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan saudaranya serta memiliki pemerintah sendiri. Nation dalam masyarakat yang memiliki wilayah, bahasa, dan kebudayaan sama dengan pemerintahan yang tidak menghidupkan praktik sistem dinasti. Menurtu Kohn (1961) nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa adalah sumber dari pada semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi. Nasionalisme mempunyai prinsip kesatuan, kebebasan, kesamarataan. Semua warga mempunyai hak yang sama, tidak ada diskriminasi, kepribadian nasional, dan prestasi. Dengan demikian, kesetiaan terhadap bangsa dan negara harus lebih dikedepankan daripada kesetiaan terhadap kelompok dan golongan, sebagai- mana yang diajarkan oleh para pejuang Indonesia terdahulu.[^1^](#fn1){#fnref1.footnote-ref} Nasionalisme sering juga digunakan untuk menunjukan adanya semangat kejuangan seseorang terhadap kebesaran dan kemajuan negara dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-hari, seperti mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan lokal (daerah), mengutamakan kepentingan masyarakat luas (publik) daripada kepentingan individu/kelompok.[^2^](#fn2){#fnref2.footnote-ref} **2.2 Teori-Teori PKN** 2.2.1. Teori Modernisasi Nasionalisme dalam teori ini dimaknai sebagai sebuah gerakan perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuatan kolonial. Hak asasai manusia (HAM) menjadi landasan utama dalam teori ini dalam perjuangan nasional. Kemerdekaan dianggap sebagai syarat mutlak untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat bagi seluruh rakyat. Teori modernisasi juga secara tegas menolak suatu pemahaman *chauvinisme* atau nasionalisme ekstrem yang mengagung-agungkan satu bangsa di atas bangsa lain dan seringkali berujung pada diskriminasi dan kekerasan. Nasionalisme tidak hanya sekedar perjuangan politik, tetapi juga merupakan proses tranformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beradab.[^3^](#fn3){#fnref3.footnote-ref} Adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakatnya serta adanya persamaan kepentingan ekonomi, sehingga selanjutnya nasionalisme telah memainkan peranan yang sangat penting dan positif di dalam menopang tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Dalam perkembangan abad modern dan global ini, perlu reinterpretasi kembali mengenai konsep nasionalisme. Nasionalisme tidak hanya berkaitan dengan proliferasi kelompok-kelompok sosial politik dan ekonomi yang berwawasan parokial dan eksklusif saja, melainkan juga berkaitan dengan tantangan global neo-liberalisme. Dengan mengutip pendapat Lance Castles, Moeljarto Tjokrowinoto (1998: 42-43) membedakan antara nasionalisme sempit dan nasionalisme yang terpadu dengan nilai internasionalisme atau universalisme. Menurutnya, bentuk nasionalisme yang kedua inilah yang akan memainkan peranan positif di dalam abad-abad mendatang dan era globalisasi karena perkembangan peradaban manusia akan melahirkan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dalam batas-batas negara. Masalah-masalah perdagangan internasional, genocide, kerusakan lingkungan, terorisme, HAM, narkotika telah menjadi kepedulian bersama masyarakat dunia dan penyelesaiannya sering kali menuntut upaya bersama masyarakat internasional.[^4^](#fn4){#fnref4.footnote-ref} 2.2.3. Teori Kulturalisme Identitas nasional Indonesia yang berbasis pada masyarakat multikultur sangat relevan bagi penegasan kembali identitas nasional bangsa Indonesia yang inklusif dan toleran dengan tetap mengakar pada identitasnya yang ma- jemuk sebagaimana terefleksi dalam konsep dasar negara Pancasila. Konsep masyarakat multikultural dapat menjadi wadah pengembangan demokrasi dan masyarakat madani serta bisa menjadi modal sosial (social capital) bagi pengembangan model masyarakat multikultural Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan keku- atan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasional. Multikultural pada intinya adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Multikulturalisme memberi penegasan seseorang atau kelompok bahwa dengan segala perbedaannya diakui dan sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara.[^5^](#fn5){#fnref5.footnote-ref} Contoh: Terdapat tiga bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat kaibobo, yakni; - Kawin minta, akan terlaksana apabila sudah terjadi kesepakatan atau persetujuan antara keluarga laki-laki dan perempuan - Kawin lari, alasan lainnya yakni: apabila orang tua laki-laki mengalami kesulitan mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk perkawinan, maka mereka akan menganjurkan anaknya untuk melakukan kawin lari - Kawin menua, kawin menua terjadi bila setelah perkawinan suami mengikuti istri dan tinggal di rumahnya. **2.3 Teori Teologi** 2.3.1. Teologi Politik Calvinisme Calvin mengutamakan keagungan dan kuasa Allah yang tidak terikat kepada barang apapun. Di hadapan kebesaran dan kekudusan Allah itu, manusia yang hina dan cemar, dengan keberatan-keberatan akal budinya dan dengan amalan dan jasanya yang tak berharga, hanya dapat berdiam diri dengan malu dan gentar. Oleh karena itu Calvin selalu mengemukakan \"kehormatan Allah\", atau barangkali lebih tegas lagi kemuliaan Allah. Allah adalah raja bagi yang diciptakanNya. Maksud dan tujuan segala sesuatu yang ada itu bukanlah manusia dan keselamatan manusia atau kebebasan dunia, melainkan kemuliaan Allah sendiri saja. Pokok predestinasi, penebusan dan pengudusan umat pilihan Tuhan, pada hakekatnya tidak lain daripada jalan untuk mewujudkan pula kehormatan Allah di dalam surga dan di bumi. Hanya Allah saja yang menjadi satu-satunya pusat iman dan ilmu theologia. Hal itu tentulah tidak disangkal oleh Luther, tetapi Calvin lah yang tak jemu mengemukakannya.[^6^](#fn6){#fnref6.footnote-ref} Pertama-tama, predestinasi memberi kepadanya satu-satunya keterangan yang sungguh memuaskan tentang kenyataan di dunia ini, bahwa ada dua jenis manusia yang menerima Firman rahmat Tuhan dan yang menolaknya. Di belakang keputusan manusia itu terdapatlah keputusan Allah sendiri, yang memilih atau membuang. Tetapi di samping itu predestinasi dipandang Calvin selaku dasar yang mesti ada untuk ajaran pembenaran. Bukankah ajaran ini menjelaskan bahwa orang berdosa itu tidak sanggup menyumbangkan apa-apa, biar sedikitpun, kepada keselamatannya, melainkan keselamatan itu adalah semata-mata rahmat Tuhan saja? Jikalau begitu, memang kepercayaan kepada pembenaran itu juga bukanlah amalan orang yang berdosa itu sendiri, seperti yang diajarkan oleh orang Pelagian. Kepercayaan itu juga tidak lain daripada pemberian Allah saja. Keyakinan akan hal itu mengaruniakan suatu penghiburan yang tak terperi kepada hati yang bimbang. Sekarang kita mengerti bahwa keselamatan kita tidak bergantung kepada iman kita yang tentu kurang murni dan tetap, tetapi berdasar teguh-teguh kepada kesetiaan Tuhan yang kekal dan yang tidak dapat berubah. Tidak seorangpun yang merebut milik Nya dari tanganNya yang mahakuasa. Oleh karena itu kita percaya kepada ketekunan orang-orang kudus. Tiada sesuatupun dari kami, semuanya dari Dia saja! Sebab itu baiklah kita menerima pembenaran kita dari tangan Mukhalis dengan iman yang sejati; hanya dengan jalan itu dapat- lah kita beroleh kepastian tentang hal, apakah kita terpilih atau tidak. Calvin menuntut kebebasan Gereja sepenuh-penuhnya dari negara, berdasarkan hubungan mutlak antara Gereja dengan Tuhannya. Tetapi justru karena ia tahu me misahkan kuasa Gereja dari kuasa negara, ia juga dapat menghubungkannya. Sebab pemerintah pun wajib takluk kepada pemerintahan Allah, yang diberi takan oleh Gereja. Bukankah taurat Tuhan mau menguasai segenap hidup masyarakat? Hal itu tidak berarti bahwa Gereja harus memerintah negara, tetapi pemerintah negeri wajib juga melindungi dan memajukan Gereja yang benar, sambil mencegah dan memerangi agama yang palsu. Di samping an dengan Gereja harus berhati-hati supaya ia jangan terlanjur dalam tuntutannya ter- kall sikap mat itu pemerintah harus melakukan tugasnya di lapangannya sendiri dengan menjalankan keadilan dan menjamin kehidupan yang aman dan makmur bagi semua penduduk negeri. Dengan demikian dalam praktek pemerintah bagi kali menjadi pelayan Gereja, seperti di Jerman pada masa Calvin. Natur hadap negara, karena soal \"negara-Gereja\" juga tidak cocok dengan theokrasi yang sebenarnya. Oleh sebab keyakinannya bahwa pemerintahpun wajib tunduk kepada Firman Allah, maka Calvinisme terhindar dari sikap-membudak Gereja Lutheran terhadap pemerintah-pemerintah dunia. Calvin dan para pengikut-nya menyadari batas kuasa pemerintah, seperti ternyata dari Sabda Alkitab: \"Kita harus lebih baik kepada Allah daripada kepada manusia\" (Kis 5:29). Bilamana pemerintah melawan atau mencegah penyiaran Injil, rakyat boleh bangkit melawan pemerintah itu, asal pemberontakan itu dipimpin oleh badan-badan perwakilan rakyat atau oleh raja-raja yang sah. Keyakinan dan pendirian Calvinis itu menjadi salah satu dasar dan sebab bagi pemberontakan orang Belanda terhadap raja Spanyol. Tetapi di negara-negara Eropa yang lain pun semangat dan sikap Calvinis itu berpengaruh besar, sehingga bukan Lutheranisme, melainkan Calvinisme lah yang menjadi kuasa Protestan yang dapat menahan dan menolak serangan-serangan dari Kontra-reformasi pada waktu yang berikutnya.[^7^](#fn7){#fnref7.footnote-ref} Kepemimpinan selalu mengacu pada pola-pola prakarsa dan pengaruh yang berkembang dalam kelompok. Dengan demikian kepemimpinan lebih merupakan unsur dari organisasi daripada atribut seorang individu. Pribadi yang ditunjuk sebagai pemimpin, kendati sangat menentukan, hanyalah merupakan bagian dari pola-pola kekuasaan sosial yang muncul dalam kelompok. Kesadaran akan konteks yang lebih luas ini, yang merupakan wadah dari perilaku kepemimpinan personal, mengantar kelompok kepada harapan-harapan yang lebih realistis, dan seringkali lebih wajar terhadap pemimpin yang ditunjuk. kehidupan kelompok. Pada tingkat mana pun kehidupan kelompok berada, sikap-sikap dan perilaku pemimpin yang ditunjukan sangat menentukan efektivitas pola prakarsa dan pengaruh yang sangat besar. Pemimpin yang ditunjuk dapat mendorong atau menghambat perkembangan kelompok dan munculnya kepemimpinan yang lebih dewasa dalam kelompok sebagai keseluruhan. Dalam banyak hal kelompok-kelompok keagamaan mirip dengan kelompok-kelompok lain. Dengan demikian banyak wawasan tentang pengembangan pola organisasi bisa diterapkan dalam lingkup-lingkup keagamaan. Namun kelompok-kelompok keagamaan memiliki orientasi yang paradoksal dan unik terhadap kekuasaan; dan hal ini mempengaruhi harapan serta pengalaman kepemimpinan, baik yang ditunjuk maupun yang tidak. Beberapa ketegangan struktural muncul dari ambivalensi religius terhadap kekuasaan; dan dapat diperkirakan bahwa hal ini akan tetap ber lanjut sebagai bagian dari pengalaman kepemimpinan dalam komunitas umat beriman. Ketegangan ini mencakup: ketegangan antara pola-pola yang mengamankan kekuasaan Allah sebagaimana terungkap melalui kehidupan lembaga religius yang ter- organisasi, dan pola-pola yang mengamankan kekuasaan Allah sebagaimana terungkap melalui kelompok lokal dan pengalam an iman pribadi; ketegangan antara tanggung jawab pemimpin yang ditunjuk kepada kelompok yang dipimpin dan kepada lem- baga keagamaan yang lebih besar, ketegangan antara pelaksanaan kekuasaan khusus oleh pemimpin yang ditunjuk dan oleh orang- orang lain dalam kelompok atau oleh kelompok sebagai satu keseluruhan, ketegangan antara ketegasan personal dan ketrampilan mengkoordinasi dalam penampilan pribadi si pemimpin.[^8^](#fn8){#fnref8.footnote-ref} Gambaran dualistis tentang komunitas kristen yang terdiri dari para murid dan Tuhan mengandung bahaya-bahaya khusus dalam Gereja dewasa ini. Warisan hirarkis cenderung membuat pembedaan antara orang kristen awam (para murid) dan klerus (orang yang memimpin jemaah atas nama Kristus). Bahayanya adalah bahwa klerus terdorong untuk mengambil fungsi Tuhan, sementara kaum awam cenderung mengambil peran eksklusif se- bagai para murid dan pengikut. Seperti halnya dengan dikotomi apa pun, pertumbuhan para murid menjadi terhambat, dan perkembangan para pemimpin terbatas pada cara-cara yang sempit dan kuno. Kepemimpinan akhirnya digambarkan sebagai suatu kekuasaan atau pemilikan oleh seseorang, bukan sebagai satu segi dari kehidupan kelompok. Dalam Gereja dewasa ini muncul gairah yang besar untuk mendorong munculnya para pemimpin dari dalam jemaah ber- iman sendiri. Perkembangan internal dari pemimpin-pemimpin semacam itu memungkinkan kita menemukan kembali kepemimpinan yang bersifat komunal. Salah satu cara untuk menelusuri perkembangan yang penuh harapan ini adalah dengan meng- amati bagaimana beberapa murid menjadi para pemimpin. Kita akan melukiskan perkembangan dari murid menjadi pengurus. Walaupun tetap sebagai pengikut, beberapa murid dalam jemaah ternyata berbakat dan terpanggil untuk mengamalkan peran-peran kepemimpinan. Kuasa Allah, yang dialami secara beragam dalam berbagai karunia yang mewarnai jemaah kristen, \"disahkan\" atau \"dikukuhkan\" dalam jabatan-jabatan kepemimpinan. Untuk menjaga tata tertib dalam jemaah dan menjamin kesinambungan dengan masa lampau, beberapa karunia pelayanan harus dilembagakan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan. Bagaimana- kah umat krioleh ditu mengatasi ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh distribusi kekuasaan yang tidak merata dalam jemaah? Hampir dalam semua kebudayaan peran kepemimpinan telah dilukiskan dalam gambaran-gambaran yang berkaitan dengan ketinggian. Karena duduk di takhta rajawi atau berdiri pada altar keimaman yang tinggi, pemimpin dibuat menjadi \"superior\" terhadap warga jemaah lainnya. Yesus menghimbau para murid-Nya agar menentang model kepemimpinan semacam ini. Dalam tindak-tanduk Nya sendiri la menunjukkan suatu gaya kepemimpinan yang lebih merendah dan bersifat kebersamaan, yang pada akhir- nya tunduk pada peninggian paradoksal di kayu salib. Injil Matius menceritakan Yesus yang mendesak agar para pengikut-Nya menolak gambaran kepemimpinan yang mengandaikan status khusus serta superioritas: \"Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabbi; karena hanya satu Rabbimu dan kamu semua adalah saudara\" (Mat 23: 8). Lalu Yesus melanjutkan: \"Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan\" (Mat 23:9-12). Pasal yang penuh daya ini menegaskan kebersamaan sebagai ideal kehidupan bersama, dan pelayanan sebagai gaya kepemimpinan. Gelar-gelar kehormatan seperti bapa dan pemimpin tidak cocok dengan pola kepemimpinan yang harus diterapkan oleh para murid Kristus.[^9^](#fn9){#fnref9.footnote-ref} **BAB III** **PENUTUP** A. **Kesimpulan** Wilayah perbatasan Indonesia, baik wilayah darat maupun laut, mengalami perkembangan geoekonomi dan politik yang meningkat tajam. Khususnya wilayah Nunukan, Kalimatan Utara, perkembangan pembangunan yang ada dapat berpengaruh pada kondisi kerentanan keamanan negara. Kondisi perkembangan pembangunan pesat yang disertai peningkatan kerentanan bagi keamanan negara menjadi semakin perlu diperhatikan. Di sisi lain, kewaspadaan yang tinggi perlu diimbangi kemampuan yang memadai untuk mengelola kemungkinan konflik yang terjadi di wilayah perbatasan, baik yang terkait ruang atau pertanahan, ataupun permasalahan sosial yang mungkin timbul. Dinamika Geo-Ekonomi Politik semacam ini perlu dikelola oleh SDM di segala bidang yang tidak hanya andal dalam pekerjaannya secara spesifik, namun juga cinta terhadap tanah air. Oleh sebab itu, dalam strategi pembangunan wilayah perbatasan, perencanaan yang matang dalam perspektif geo-ekonomi politik, dan penataan ruang, perlu pula memperhatikan kondisi potensi dan kemampuan bela negara yang ada di wilayah tersebut. Secara keseluruhan, buku-buku teologi dan PKN memberikan wawasan yang kaya mengenai hubungan antara nasionalisme dengan nilai-nilai spiritual dan kewarganegaraan. Memahami kedua aspek ini secara bersamaan sangat penting untuk membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadilan. B. **Saran** Pengembangan Nasionalisme Untuk memperkuat rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia, disarankan agar:Integrasi Nilai-Nilai Agama dalam Pendidikan: Kurikulum pendidikan harus memasukkan nilai-nilai agama yang mendukung semangat kebangsaan. Dialog Antar Agama: Mendorong dialog antar pemeluk agama untuk meningkatkan toleransi dan saling pengertian. Kegiatan Sosial Berskala Besar: Mengadakan kegiatan sosial yang melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk memperkuat solidaritas sosial. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan nasionalisme di Indonesia dapat tumbuh subur tanpa mengorbankan kekayaan budaya dan agama. Pendidikan PKN perlu lebih menekankan pada pengembangan karakter yang mencerminkan rasa cinta tanah air, rasa hormat terhadap keragaman, serta pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Para pelajar dan masyarakat diharapkan tidak hanya memahami teori nasionalisme, tetapi juga mengimplementasikannya dalam tindakan nyata, seperti berpartisipasi dalam kegiatan sosial, menghargai perbedaan, dan menjaga kerukunan. **DAFTAR PUSTAKA** **Asyari, A. (2018). Sikap nasionalisme dalam pembelajaran PKN.** **Lombok: Elhikam Press.** **Berkhof, H. (2001). Sejarah gereja. Jakarta: Gunung Mulia.** **Cowan, A. M. (1994). Kepemimpinan dalam jemaah. Yogyakarta: Kansius.** **Juliantara, D. (1998). Meretas jalan demokrasi. Yogyakarta: Kansius.** **Karsadi, (Ed.). (2002). Pendidikan kewarnegaraan di perguruan tinggi.** **Saimima J.R, DKK. (2024). Mendengarkan Suara TUHAN Melangkah Dengan IMAN 371 TAHUN JEMAAT GPM KAIBOBO BERKARYA BAGI KEMULIAANNYA. Yogyakarta: Grafika Indah.** ::: {.section.footnotes} ------------------------------------------------------------------------ 1. ::: {#fn1} Asyari Akhmad, *Sikap Nasionalisme* *dalam Pmbelajaran* *PKN* (Lombok: Elhikam Press, 2018), hlm. 14-16.[↩](#fnref1){.footnote-back} ::: 2. ::: {#fn2} Karsadi (2002), *Pendidikan Kewarnegaraan di Perguruan Tinggi,* hlm. 59.[↩](#fnref2){.footnote-back} ::: 3. ::: {#fn3} Juliantara Dadang, *Meretas Jalan Demokras*i (Yogyakarta: Kansius, 1998), hlm. 135-136.[↩](#fnref3){.footnote-back} ::: 4. ::: {#fn4} Karsadi (2002), Pendidikan Kewarnegaraan di Perguruan Tinggi, hlm. 60.[↩](#fnref4){.footnote-back} ::: 5. ::: {#fn5} Juliantara Dadang, *Meretas Jalan Demokrasi* (Yogyakarta: Kansius, 1998), hlm. 27-32.[↩](#fnref5){.footnote-back} ::: 6. ::: {#fn6} Berkhof. H, *Sejarah Gereja* (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), hlm. 172.[↩](#fnref6){.footnote-back} ::: 7. ::: {#fn7} *Ibid.*, hlm. 176-177.[↩](#fnref7){.footnote-back} ::: 8. ::: {#fn8} Cowan. A. Michael, *Kepemimpinan dalam Jemaah* (Yogyakarta: Kansius, 1994), hlm. 91-92.[↩](#fnref8){.footnote-back} ::: 9. ::: {#fn9} Ibid., hlm 96-97.[↩](#fnref9){.footnote-back} ::: :::