Koagulasi Dan Flokulasi PDF
Document Details
Uploaded by RationalTsilaisite9538
Universitas Sumatera Utara
Tags
Summary
This document discusses coagulation and flocculation, and clarifies the concepts of colloid dispersions and the classification of colloids based on the phase dispersed and the dispersion medium in water and wastewater treatment.
Full Transcript
Koagulasi Dan Flokulasi Koagulasi dan flokulasi terdiri dari penambahan reagen kimia pembentuk flok ke air atau air limbah untuk memerangkap atau menggabungkan par kel koloid yang dak dapat mengendap dan par kel tersuspensi yang lambat mengendap untuk menghasilkan flok yan...
Koagulasi Dan Flokulasi Koagulasi dan flokulasi terdiri dari penambahan reagen kimia pembentuk flok ke air atau air limbah untuk memerangkap atau menggabungkan par kel koloid yang dak dapat mengendap dan par kel tersuspensi yang lambat mengendap untuk menghasilkan flok yang cepat mengendap. Flok tersebut kemudian umumnya dihilangkan melalui sedimentasi. Koagulasi adalah penambahan dan pencampuran cepat koagulan, yang mengakibatkan destabilisasi koloid dan par kel tersuspensi halus, serta agregasi awal par kel yang telah destabilisasi. Flokulasi adalah pengadukan lambat atau agitasi lembut untuk mengagregasi par kel yang telah destabilisasi dan membentuk flok yang cepat mengendap Dalam pengolahan air, penggunaan utama koagulasi dan flokulasi adalah untuk mengaglomerasi padatan sebelum sedimentasi dan penyaringan pasir cepat. Dalam pengolahan air limbah komunal, koagulasi dan flokulasi digunakan untuk mengaglomerasi padatan dalam pengolahan fisik-kimia air limbah mentah dan efluen primer atau sekunder. Dalam pengolahan limbah industri, koagulasi digunakan untuk menyatukan padatan dalam air limbah yang memiliki kandungan padatan tersuspensi yang cukup. Dalam pengolahan air, koagulan utama yang digunakan adalah garam aluminium dan besi, meskipun polielektrolit juga digunakan sampai batas tertentu. Dalam pengolahan air limbah, digunakan garam aluminium dan besi, kapur, dan polielektrolit. Presipitasi kimia, yang erat kaitannya dengan koagulasi kimia, terdiri dari presipitasi ion yang dak diinginkan dari air atau air limbah. Dalam koagulasi air limbah komunal, dak hanya terjadi koagulasi padatan, tetapi juga presipitasi kimia dari sebagian besar ion fosfat. Dispersi koloid dalam konteks pengolahan air dan air limbah, dengan fokus pada klasifikasi koloid berdasarkan fase terdispersi dan medium dispersinya. Berikut ini penjelasan lebih mendalam tentang konsep-konsep yang disampaikan: Klasifikasi Dispersi Koloid Dispersi koloid diklasifikasikan berdasarkan dua komponen utama: 1. Fase Terdispersi: Ini adalah material yang tersebar dalam medium, yang bisa berupa padat atau cair. 2. Medium Dispersi: Ini adalah medium tempat fase terdispersi tersebar, biasanya cairan seper air. Dua sistem utama yang terlibat dalam pengolahan air dan air limbah adalah: Sols: Padatan yang terdispersi dalam cairan, seper par kel organik atau anorganik (misalnya mikroba atau tanah liat) yang tersuspensi dalam air. Emulsi: Cairan yang terdispersi dalam cairan lain, contoh klasiknya adalah minyak yang terdispersi dalam air. Karakteris k Koloid Padat dalam Air Koloid padat yang terdispersi dalam air memiliki ciri khas utama yaitu par kelnya dak mengendap di bawah pengaruh gravitasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa sistem tersebut stabil. Ini terjadi karena par kel koloid memiliki area permukaan yang sangat besar rela f terhadap volume mereka, yang disebut area permukaan spesifik. Area permukaan yang besar ini memungkinkan koloid untuk menyerap molekul air dan ion dari sekitarnya, serta seringkali memiliki muatan elektrosta k yang rela f terhadap air di sekitarnya. Klasifikasi Berdasarkan Afinitas terhadap Air Koloid dalam air dapat diklasifikasikan menjadi dua pe berdasarkan afinitas mereka terhadap air: Hidrofilik: Koloid ini memiliki afinitas kuat terhadap air karena adanya gugus yang larut dalam air pada permukaan koloid, seper amino, karboksil, sulfonik, dan hidroksil. Gugus- gugus ini mempromosikan hidrasi, menyebabkan lapisan atau film air terbentuk mengelilingi koloid hidrofilik. Lapisan air ini sering disebut sebagai air hidrasi atau air terikat. Koloid organik, seper protein dan produk degradasi mereka, biasanya hidrofilik. Hidrofobik: Koloid ini memiliki sedikit atau tanpa afinitas terhadap air, sehingga dak memiliki lapisan air signifikan atau air hidrasi. Koloid anorganik, seper tanah liat, umumnya hidrofobik. Pemahaman tentang sifat-sifat ini sangat pen ng dalam pengolahan air dan air limbah karena mempengaruhi bagaimana par kel dapat dihilangkan dari air melalui berbagai proses pengolahan. Misalnya, koloid hidrofilik mungkin lebih mudah dihilangkan melalui proses koagulasi dan flokulasi karena afinitasnya terhadap air, sedangkan koloid hidrofobik mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda. Bagaimana par kel koloid memperoleh dan mempertahankan muatan listrik pada permukaannya, serta bagaimana muatan ini berperan dalam menjaga stabilitas dispersi koloid dalam larutan ?. Berikut adalah penjelasan lebih detail: Pemberian Muatan pada Par kel Koloid 1. Ionisasi Grup Permukaan: Par kel koloid sering mendapatkan muatan listrik melalui ionisasi grup kimia yang ada di permukaannya. Misalnya, pada koloid seper protein dan mikroba, grup seper amino (-NH3) dan karboksil (-COOH) dapat terionisasi. Proses ionisasi ini sangat dipengaruhi oleh pH lingkungan: o Di Bawah Ti k Isoelektrik: Grup karboksil (-COOH) dak terionisasi, sementara grup amino (-NH3) terionisasi, menghasilkan muatan posi f pada koloid. o Di Atas Ti k Isoelektrik: Grup amino kehilangan hidrogen, menjadi netral (-NH2), dan grup karboksil terionisasi (-COO-), memberikan muatan nega f pada koloid. o Pada Ti k Isoelektrik: Muatan keseluruhan menjadi nol karena jumlah muatan posi f dan nega f seimbang. 2. Adsorpsi Ion dari Solusi: Par kel koloid juga dapat memperoleh muatan melalui proses adsorpsi ion dari larutan sekitarnya. Misalnya, tetesan minyak dan zat inert kimia lainnya cenderung mengadsorpsi ion nega f, terutama ion hidroksil, dari larutan mereka, sehingga menjadi bermuatan nega f. Karakteris k Mineral Koloid Mineral koloid seper tanah liat memiliki muatan listrik karena defisit ionik dalam struktur kristalinnya. Struktur ini biasanya memiliki lebih banyak atom non-logam daripada logam, menghasilkan muatan nega f ne o. Pengaruh pH Pada umumnya, koloid hidrofilik yang terjadi secara alami, seper materi protein dan mikroba, memiliki muatan nega f jika pH lingkungan sama dengan atau lebih nggi dari netral. Stabilitas Koloid Koloid cenderung stabil dalam suspensi karena adanya gaya elektrosta k yang mereka hasilkan sendiri. Sebagian besar koloid alami memiliki muatan nega f, dan karena muatan yang sama saling tolak menolak, koloid ini tetap terdispersi dalam larutan. Gaya tolak menolak ini mencegah koloid dari menggumpal dan mengendap, sehingga mempertahankan dispersi koloid. Secara keseluruhan, pemahaman tentang cara par kel koloid memperoleh muatan dan bagaimana muatan ini mempengaruhi interaksi antar par kel adalah kunci untuk memanipulasi dan mengendalikan perilaku koloid dalam berbagai aplikasi, terutama dalam pengolahan air dan limbah. Sebuah suspensi koloid dikatakan stabil jika par kel-par kelnya tetap dalam suspensi dan dak menggumpal. Stabilitas koloid tergantung pada besarnya gaya tarik rela f terhadap gaya tolak. Gaya tarik disebabkan oleh gaya van der Waals, yang hanya efek f di lingkungan sekitar langsung par kel koloid. Gaya tolak disebabkan oleh gaya elektrosta k dari dispersi koloid. Besarnya gaya-gaya ini diukur oleh potensial zeta, yang merupakan: Dengan demikian, potensial zeta mengukur muatan par kel koloid, dan itu tergantung pada jarak di mana muatan tersebut efek f. Ini berar bahwa semakin besar potensial zeta, semakin besar gaya tolakan antar koloid, dan oleh karena itu, semakin stabil suspensi koloid tersebut. Selain itu, keberadaan lapisan air terikat dan ketebalannya mempengaruhi stabilitas koloid, karena lapisan ini mencegah par kel-par kel dari kontak yang dekat. Koloid hidrofilik memiliki permukaan geser di batas luar lapisan air terikat. Koloid hidrofobik memiliki permukaan geser dekat batas luar lapisan tetap. Koagulasi Koloid (Destabilisasi) Proses koagulasi dalam pengolahan air dan air limbah menggunakan garam koagulan. Berikut adalah pemahaman yang lebih terperinci mengenai proses tersebut: 1. Destabilisasi Koloid: Ke ka garam koagulan seper garam aluminium atau besi ditambahkan ke dalam air, garam tersebut terdisosiasi menjadi ion-ionnya. Ion logam dari garam ini mengalami hidrolisis dan membentuk kompleks ion hidroksometalik bermuatan posi f. Kompleks-kompleks ini, karena bersifat polivalen dan memiliki muatan posi f nggi, diadsorpsi pada permukaan koloid bermuatan nega f di dalam air. Adsorpsi ini mengakibatkan penurunan potensial zeta koloid, yaitu pengurangan muatan permukaan koloid, yang membuat koloid menjadi dak stabil. 2. Pembentukan Polimer: Kompleks hidroksometalik yang terbentuk cenderung mempolimerisasi menjadi struktur yang lebih besar seper Al6(OH)15 atau Fe2(OH)5. Polimerisasi ini membantu dalam proses koagulasi dengan memfasilitasi agregasi par kel. 3. Agregasi Par kel: Par kel-par kel yang telah destabilisasi oleh penurunan potensial zeta mereka kemudian mengalami agregasi. Proses agregasi ini terjadi melalui dua mekanisme utama: o Tarikan Van der Waals: Gaya tarik antara par kel yang terjadi karena dekatnya jarak antarpar kel yang disebabkan oleh agitasi air. Agitasi ini membantu par kel yang dak stabil untuk mendekat satu sama lain, meningkatkan peluang mereka untuk bertabrakan dan bersatu. o Jembatan Antarpar kel: Pembentukan jembatan kimia antara kelompok reak f pada permukaan par kel yang dak stabil. Ini melibatkan interaksi kimia langsung yang mengikat par kel-par kel bersama, selain efek fisik dari gaya van der Waals. 4. Pen ngnya Agitasi: Agitasi dalam air, baik itu lembut atau lebih intens, sangat pen ng dalam proses koagulasi. Agitasi memas kan bahwa par kel yang destabilisasi dapat bergerak dan bertabrakan, yang pen ng untuk efek vitas agregasi baik melalui tarikan van der Waals maupun jembatan kimia. Secara keseluruhan, proses ini sangat pen ng dalam pengolahan air dan air limbah untuk mengurangi kekeruhan dan menghilangkan kontaminan koloidal, memungkinkan par kel yang lebih besar dan lebih berat untuk diendapkan dan dihilangkan dari air. Proses koagulasi dalam pengolahan air dan air limbah, khususnya mengenai mekanisme pembentukan dan fungsi kompleks hidroksometalik dalam proses tersebut serta beberapa variasi dan strategi dalam koagulasi. 1. Proses Koagulasi Menggunakan Garam Koagulan: - Pembentukan Kompleks Hidroksometalik: Ke ka garam koagulan seper aluminium atau besi ditambahkan ke dalam air, mereka terdisosiasi dan ion-ion logamnya mengalami hidrolisis, membentuk kompleks hidroksometalik yang bermuatan posi f. Ini pen ng karena kompleks ini berperan dalam menetralkan muatan nega f koloid. - Pembentukan Hidroksida Logam: Kompleks yang berlebih akan terus mempolimerisasi hingga membentuk hidroksida logam yang dak larut, seper Al(OH)3 atau Fe(OH)3. Ini menciptakan kondisi kejenuhan dalam larutan dan memungkinkan perangkapan koloid nega f dengan endapan hidroksida yang terbentuk, sebuah proses yang dikenal sebagai koagulasi endapan atau sapu. 2. Koagulasi dalam Suspensi Koloid yang Encer: - Manajemen Konsentrasi Koloid: Dalam suspensi koloid yang encer, kontak antarpar kel yang kurang menyebabkan koagulasi berlangsung lambat. Untuk mengatasi ini, beberapa fasilitas pengolahan air melakukan daur ulang lumpur yang telah mengendap untuk menjaga konsentrasi koloid pada level yang memadai untuk koagulasi dan flokulasi yang efisien. - Resiko Restabilisasi: Dosis koagulan yang nggi dapat menyebabkan restabilisasi koloid, di mana koloid bermuatan nega f menjadi bermuatan posi f karena adanya situs reak f bermuatan posi f pada permukaan koloid. 3. Koagulasi oleh Polimer Organik: - Interaksi Kimia dan Pembentukan Jembatan: Koagulasi juga bisa dilakukan dengan polimer organik yang memiliki kelompok-kelompok yang dapat diionisasi seper karboksil, amino, dan sulfonik. Kelompok ini bisa berikatan dengan situs reak f pada permukaan koloid, mengikat beberapa koloid pada satu molekul polimer untuk membentuk struktur jembatan. 4. Jenis Koagulasi Berdasarkan Mekanisme: - Koagulasi Elektrokine k, Perikine k, dan Ortokine k: Koagulasi elektrokine k terkait dengan penurunan potensial zeta, perikine k dengan kontak antarpar kel akibat gerakan Brownian, dan ortokine k akibat gerakan fluida yang disebabkan oleh agitasi. 5. Pen ngnya Koagulasi dan Flokulasi dalam Pengendapan: - Efek pada Kecepatan Pengendapan: Proses koagulasi dan flokulasi yang efek f sangat pen ng untuk pengendapan yang efisien karena kecepatan pengendapan adalah proporsional dengan kuadrat dari diameter par kel, yang berar bahwa pembentukan par kel flok yang lebih besar dapat secara signifikan mempercepat pengendapan. Secara keseluruhan, pemahaman ini menjelaskan pen ngnya proses koagulasi dalam pengolahan air, yang dak hanya mengop malkan penghilangan kontaminan tetapi juga meningkatkan efisiensi operasional pengolahan air dan limbah. Koagulan Koagulan utama yang digunakan dalam pengolahan air adalah aluminium sulfat (dikenal juga sebagai alum filter) dan garam besi. Aluminium sulfat lebih sering digunakan daripada garam besi terutama karena harganya yang lebih murah, meskipun garam besi menawarkan keunggulan efek f dalam rentang pH yang lebih luas. Dalam proses pelunakan lime-soda, kapur berfungsi sebagai koagulan, menghasilkan flokulan atau endapan berat yang terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium hidroksida, yang juga memiliki sifat koagulasi. Dalam pengolahan air limbah, koagulan yang paling umum digunakan adalah alum filter dan kapur. Bantuan koagulan seper lumpur daur ulang atau polielektrolit mungkin diperlukan untuk menghasilkan flokulan yang cepat mengendap. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi mencakup kekeruhan, padatan tersuspensi, suhu, pH, komposisi dan konsentrasi ion ka on dan anion, durasi dan intensitas agitasi selama proses, dosis dan jenis koagulan, dan jika diperlukan, bantuan koagulan. Memilih koagulan yang tepat untuk air atau air limbah tertentu memerlukan studi laboratorium atau pilot plant, karena perlakuan yang berbeda mungkin memberikan hasil terbaik dengan koagulan tertentu. Uji jar biasanya cukup untuk memilih koagulan untuk instalasi pengolahan air, sedangkan studi laboratorium dan pilot sering kali diperlukan untuk pengolahan air limbah. Kimia koagulasi adalah kompleks, dan persamaan kimia teore s yang memprediksi jumlah hidroksida logam yang dihasilkan hanya memberikan hasil yang mendeka. Secara keseluruhan, diskusi dalam bagian ini mencakup koagulan umum, reaksi mereka dengan alkalinitas, dan karakteris k mereka. Aluminium Sulfat Kehadiran alkalinitas yang cukup di dalam air diperlukan untuk bereaksi dengan aluminium sulfat agar menghasilkan flok hidroksida. Biasanya, untuk rentang pH yang terlibat, alkalinitas berada dalam bentuk ion bikarbonat. Reaksi kimia yang disederhanakan untuk menghasilkan flok adalah: Al2(SO4)3⋅14H2O+3Ca(HCO3)2→2Al(OH)3+3CaSO4+6CO2+14H2O Beberapa air mungkin dak memiliki alkalinitas yang cukup untuk bereaksi dengan alum, sehingga alkalinitas harus ditambahkan. Biasanya alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida ditambahkan dengan penambahan kalsium hidroksida (kapur padam atau kapur terhidrasi). Reaksi koagulasi dengan kalsium hidroksida adalah: Al2(SO4)3⋅14H2O+3Ca(OH)2→2Al(OH)3+3CaSO4+14H2O Alkalinitas juga dapat ditambahkan dalam bentuk ion karbonat dengan penambahan natrium karbonat (soda abu). Sebagian besar air memiliki alkalinitas yang cukup, sehingga dak perlu menambahkan bahan kimia lain selain aluminium sulfat. Rentang pH op mal untuk alum adalah sekitar 5 hingga 8.0, karena aluminium hidroksida rela f dak larut dalam rentang tersebut, seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.5. Juga ditunjukkan dalam gambar ini adalah rentang biasa konsentrasi aluminium hidroksida untuk dosis yang digunakan dalam pengolahan air. Ini biasanya menghasilkan larutan aluminium hidroksida yang jenuh berlebih. Aluminium sulfat tersedia dalam bentuk kering atau cair; namun, bentuk kering lebih umum. Bahan kimia kering bisa berupa granular, bubuk, atau gumpalan, dengan granular paling banyak digunakan. Granul, yang mengandung sekitar 15 hingga 22% Al2O3, mengandung sekitar 14 air kristalisasi, berbobot dari 60 hingga 63 lb/ ^3 (960 hingga 1010 kg/m^3), dan bisa diberi makan kering. Bahan kimia kering dapat dikirim dalam kantong, barel, atau massal (muatan kereta). Bentuk cairnya adalah 50% alum dan dikirim dengan kereta tangki atau truk tangki. Ferro Sulfat Ferrous sulfate memerlukan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida untuk menghasilkan reaksi yang cepat. Akibatnya, kapur padam atau kapur terhidrasi, Ca(OH)2, biasanya ditambahkan untuk meningkatkan pH ke ngkat di mana ion ferrous mengendap sebagai ferik hidroksida. Reaksi ini adalah reaksi oksidasi-reduksi yang memerlukan beberapa oksigen terlarut dalam air. Dalam reaksi koagulasi, oksigen direduksi dan ion ferrous dioksidasi menjadi keadaan ferik, di mana ia mengendap sebagai ferik hidroksida. Reaksi kimia yang disederhanakan adalah: 2FeSO4⋅7H2O+2Ca(OH)2+O2→ 2Fe(OH)3+2CaSO4+13H2O2 Untuk terjadinya reaksi ini, pH harus di ngkatkan menjadi sekitar 9.5, dan terkadang stabilisasi diperlukan untuk kapur berlebih yang digunakan. Koagulasi ferrous sulfate dan kapur biasanya lebih mahal daripada alum. Secara umum, endapan yang terbentuk, ferik hidroksida, adalah flok yang padat dan cepat mengendap. Ferrous sulfate tersedia dalam bentuk kering atau cair; namun, bentuk kering lebih umum. Bahan kimia tersebut bisa berupa granul atau gumpalan, dengan granul lebih banyak digunakan. Granul, yang mengandung 55% FeSO4, mengandung tujuh air kristalisasi, beratnya dari 63 hingga 66 lb/ ³ (1010 hingga 1060 kg/m³), dan biasanya diberi makan kering. Bahan kimia kering dapat dikirim dalam kantong, barel, atau massal. Penggunaan tembaga klorinasi sebagai pengobatan adalah metode lain untuk menggunakan ferrous sulfate. Dalam proses ini, ferrous sulfate bereaksi dengan klorin, dan ion ferrous dioksidasi menjadi ion ferik sebagai berikut: Reaksi ini terjadi pada pH yang rendah, sekitar 4.0. Produk-produknya, ferik sulfat dan ferik klorida, adalah koagulan yang sangat efek f, dan akan dibahas dalam dua bagian berikutnya. Ferrisulfat Reaksi yang disederhanakan dari ferik sulfat dengan alkalinitas bikarbonat alami untuk membentuk ferik hidroksida adalah: Fe2(SO4)3+3Ca(HCO3)2→ 2Fe(OH)3+3CaSO4+6CO2\ Reaksi ini biasanya menghasilkan flok yang padat dan cepat mengendap. Jika alkalinitas alami dak cukup untuk reaksi, kapur padam dapat digunakan sebagai penggan. Rentang pH op mal untuk ferik sulfat adalah sekitar 4 hingga 12, karena ferik hidroksida rela f dak larut dalam rentang ini, seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.6. Juga ditunjukkan dalam Gambar 8.6 adalah rentang biasa konsentrasi ferik hidroksida untuk dosis yang digunakan dalam pengolahan air; ini biasanya menghasilkan solusi ferik hidroksida yang jenuh berlebih. Ferik sulfat tersedia dalam bentuk kering sebagai granul atau bubuk, dengan granul lebih umum digunakan. Granul ini mengandung 90 hingga 94% Fe2(SO4)3, memiliki sembilan air kristalisasi, dan beratnya antara 70 hingga 72 lb/ ³ (1120 hingga 1155 kg/m³). Bahan kimia ini biasanya diberikan dalam bentuk kering. Bahan kimia kering dapat dikirim dalam kantong atau barel. Pembantu Koagulan Dalam pengolahan air dan air limbah, bantuan koagulan kadang-kadang digunakan untuk menghasilkan flok yang cepat terbentuk, padat, dan cepat mengendap serta untuk memas kan koagulasi op mal. Penambahan alkalinitas diperlukan untuk membantu koagulasi jika alkalinitas alami dak cukup untuk menghasilkan flok yang baik. Kapur biasanya digunakan dan dapat diberikan sebagai kapur padam (susu kapur) atau kapur terhidrasi. Soda abu (natrium karbonat) digunakan dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan kapur karena harganya lebih mahal dari kapur cepat. Soda abu tersedia dalam bentuk bubuk dan dapat diberikan secara kering. Bubuk ini memiliki kandungan 99.4% Na2CO3 dan tersedia dalam ga berat spesifik: 23, 35, dan 65 lb/ ³ (369, 560, dan 1040 kg/m³). Soda abu datang dalam kantong, barel, atau massal. Polyelektrolit juga digunakan untuk mendapatkan koagulasi op mal, dan bantuan ini dapat diklasifikasikan menurut karakteris k ioniknya. Ada polyelektrolit anionik (bermuatan nega f), ka onik (bermuatan posi f), dan poliamfolit, yang memiliki kelompok bermuatan posi f dan nega f. Polyelektrolit dapat berasal dari alam seper pa atau gusi polisakarida, atau bisa juga sinte s. Kebanyakan polyelektrolit yang digunakan dalam pengolahan air dan air limbah adalah bahan kimia organik sinte s. Ke ka digunakan sebagai bantuan koagulan, mereka membantu koagulasi, terutama melalui pembentukan jembatan kimia atau interaksi antara kelompok reak f pada polyelektrolit dan flok. Dalam beberapa kasus, polyelektrolit dapat digunakan sebagai koagulan tunggal, tanpa memerlukan bahan kimia lain. Polyelektrolit seringkali dalam bentuk bubuk dan mungkin memerlukan prosedur khusus untuk menyiapkan larutan air untuk pemberian. Biasanya dosisnya kurang dari sekitar 0.3 mg/l. Silika ak f adalah polyelektrolit anionik anorganik yang dibuat dari natrium silikat. Ini telah digunakan dalam beberapa ngkat sebagai bantuan koagulan. Penambahan kekeruhan, seper mendaur ulang beberapa lumpur yang mengendap secara kimia di depan bak pencampuran atau flokulasi, kadang-kadang diperlukan untuk menyediakan konsentrasi par kel yang cukup untuk koagulasi cepat. Konsentrasi par kel yang memadai menyediakan cukup tumbukan antarpar kel untuk menghasilkan koagulasi op mal. Tanah liat terkadang digunakan untuk penambahan kekeruhan sebagai penggan lumpur yang didaur ulang. Pengaturan pH diperlukan jika pH air yang dikoagulasi dak berada dalam rentang pH untuk kelarutan minimum hidroksida logam. Meningkatkan pH biasanya dilakukan dengan penambahan kapur; penurunan pH biasanya dilakukan dengan penambahan asam mineral, seper asam sulfat. Jar Test Teknik laboratorium yang disebut uji jar biasanya digunakan untuk menentukan koagulan yang tepat dan bantuan koagulan jika diperlukan, serta dosis kimia yang diperlukan untuk koagulasi air tertentu. Dalam tes ini, sampel air dituangkan ke dalam serangkaian gelas beaker, dan berbagai dosis koagulan serta bantuan koagulan ditambahkan ke dalam beaker tersebut. Isinya diaduk cepat untuk mensimulasikan pencampuran cepat kemudian diaduk pelan untuk mensimulasikan flokulasi. Setelah waktu tertentu, pengadukan dihen kan dan flok yang terbentuk dibiarkan mengendap. Aspek-aspek pen ng yang perlu diperha kan adalah waktu pembentukan flok, ukuran flok, karakteris k pengendapannya, persentase kekeruhan dan warna yang dihilangkan, serta pH akhir dari air yang telah dikoagulasi dan mengendap. Dosis kimia yang ditentukan dari prosedur ini memberikan es masi dosis yang diperlukan untuk instalasi pengolahan. Rincian prosedur untuk uji jar dapat ditemukan dalam banyak publikasi (Black et al., 1957; Black et al., 1969; Camp, 1968, 1952). Camp (1968) mengembangkan modifikasi dari uji jar yang memberikan parameter G dan GT yang diperlukan untuk desain bak pencampuran cepat dan flokulasi. PENCAMPURAN CEPAT DAN FLOKULASI Di dalam bak pencampuran cepat, agitasi atau pengadukan intensif diperlukan untuk menyebarkan bahan kimia secara merata di seluruh bak dan memungkinkan kontak yang memadai antara koagulan dan par kel tersuspensi. Pada saat air meninggalkan bak pencampuran cepat, proses koagulasi telah cukup berkembang untuk membentuk mikroflok. Di dalam bak flokulasi, mikroflok yang halus mulai teraglomerasi menjadi par kel flok yang lebih besar. Proses agregasi ini (flokulasi) bergantung pada durasi dan jumlah agitasi lembut yang diterapkan pada air. Pada saat air meninggalkan bak flokulasi, flok telah teraglomerasi menjadi par kel flok yang besar, padat, dan cepat mengendap. Jenis perangkat yang biasanya digunakan untuk memberikan agitasi yang diperlukan baik dalam pencampuran cepat maupun flokulasi umumnya dapat diklasifikasikan sebagai (1) agitator mekanik, seper dayung, (2) agitator pneuma k, dan (3) bak penghalang. Tipe mekanik adalah yang paling umum. Pendekatan rasional untuk mengevaluasi pencampuran dan untuk mendesain bak yang menggunakan pencampuran telah dikembangkan oleh T.R. Camp (1955). Camp menyadari bahwa pencampuran cepat dan flokulasi pada dasarnya adalah operasi pencampuran dan, karenanya, diatur oleh prinsip yang sama dan memerlukan parameter desain yang serupa. Menurut peneli annya, ngkat pencampuran didasarkan pada daya yang diberikan ke air, yang ia ukur dengan gradien kecepatan. Gradien kecepatan dari dua par kel cairan yang berjarak 0,05 kaki (0,01524 m) dan memiliki kecepatan rela f satu sama lain sebesar 2,0 fps (kaki per de k) (0,6096 m/de k) adalah 2,0 dibagi dengan 0,05, atau 40 fps. (0,6096 m/de k dibagi 0,01524 m = 40 m/de k.m). Persamaan untuk gradien kecepatan untuk agitasi mekanik atau pneuma k adalah. di mana G = gradien kecepatan, fps/ atau s^-1 (mps/m atau s^-1) W = daya yang diberikan ke air per unit volume bak, -lb.sec/ ^3 (N-m/s-m^3) P = daya yang diberikan ke air, -lb/sec (N-m/s) V = volume bak, ^3 (m^3) μ = viskositas absolut air, lb-force-sec/ ^2 (pada 50°F, μ = 0.000073 lb-sec/ ^2) (pada 10°C, μ = 0.00131 N-s/m^2) Gradien kecepatan untuk bak penghalang (baffle basins) diberikan oleh: ρ = berat jenis air hL = kehilangan headakibat gesekan, turbulensi, dan sebagainya T = waktu nggal Laju tumbukan par kulat berbanding lurus dengan gradien kecepatan, G; oleh karena itu, gradien harus cukup untuk menyediakan laju tumbukan par kulat yang diinginkan. Gradien kecepatan juga terkait dengan gaya geser dalam air; sehingga, gradien kecepatan yang besar menghasilkan gaya Commented [HP1]: Pahami gaya geser geser yang signifikan. Jika gradien kecepatan terlalu besar, gaya geser yang berlebihan akan terjadi dan mencegah pembentukan flok yang diinginkan. Jumlah total tumbukan par kel berbanding lurus dengan produk dari gradien kecepatan, G, dan waktu nggal, T. Oleh karena itu, nilai GT pen ng dalam desain. Gambar 8.8 menggambarkan hubungan antara gradien kecepatan, suhu air, dan daya yang diberikan ke air per unit volume. Camp (1968) mengembangkan prosedur uji jar menggunakan beaker dengan dan tanpa sekat dalam. Dari pengujian pencampuran dan flokulasi menggunakan tekniknya, dimungkinkan untuk menentukan nilai G dan T yang op mal untuk koagulan tertentu dan air atau air limbah yang diberikan. Grafik ini menggambarkan hubungan antara gradien kecepatan dan daya per unit volume dalam konteks pengolahan air, dengan variabel suhu air sebagai parameter tambahan. Grafik ini berjudul "Mixing Power Requirements" dan diadaptasi dari "Water Treatment Plant Design." Berikut ini adalah detail dari grafik tersebut: 1. Sumbu X: Menampilkan "Power / Unit Volume" dengan dua satuan yang berbeda: o Bagian bawah sumbu X: W ⋅ -lb/sec( ³) o Bagian atas sumbu X: W ⋅ N-m/(s)(m³) Skala sumbu X bergerak secara logaritmik dari 0.01 hingga 50 untuk satuan W ⋅ -lb/sec( ³) dan 1 hingga 1000 untuk satuan W ⋅ N-m/(s)(m³). 2. Sumbu Y: Menampilkan "Velocity Gradient, G, sec⁻¹", yang juga menggunakan skala logaritmik dari 0.1 hingga 1000. 3. Kurva: Ada ga garis pada grafik yang mewakili suhu berbeda (4°C, 10°C, dan 20°C). Se ap garis menunjukkan bagaimana gradien kecepatan meningkat dengan peningkatan daya per unit volume pada suhu yang diberikan. 4. Interpretasi: Garis yang lebih nggi menunjukkan efek dari suhu yang lebih nggi pada gradien kecepatan untuk se ap daya yang diberikan. Misalnya, pada suhu yang lebih nggi (20°C), gradien kecepatan yang lebih nggi dicapai dengan daya yang sama dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah (4°C dan 10°C). Ini menunjukkan bahwa viskositas air yang lebih rendah pada suhu yang lebih nggi mungkin mempengaruhi dinamika pencampuran. 5. Penerapan: Grafik ini berguna dalam merancang dan mengoperasikan fasilitas pengolahan air, khususnya dalam menentukan kebutuhan daya untuk pencampuran efek f berdasarkan suhu air dan hasil yang diinginkan dalam hal gradien kecepatan untuk proses koagulasi dan flokulasi. Pengaduk Cepat Meskipun daya untuk pencampuran cepat dapat diberikan ke air melalui agitasi mekanik, agitasi pneuma k, dan bak penghalang, daya yang diperlukan untuk se ap metode harus sama jika pencampuran ingin memiliki intensitas yang sama. Agitasi mekanik adalah metode yang paling umum untuk pencampuran cepat karena dapat diandalkan, sangat efek f, dan sangat fleksibel dalam operasi. Biasanya, pencampuran cepat menggunakan perangkat pencampuran rotary dengan poros ver kal seper impeler turbin, impeler dayung, atau, dalam beberapa kasus, baling-baling. Semua perangkat pencampuran rotary ini memberikan gerakan pada air selain turbulensi. Jenis ruang atau bak pencampuran cepat ditunjukkan di Gambar 8.9 (a)-(f). Mixer inline adalah metode yang paling kompak dan semakin populer. Karena gradien kecepatan op mum dapat bervariasi seiring waktu, diinginkan untuk memiliki peralatan dengan penggerak kecepatan variabel. Variasi kecepatan 1:4 umum digunakan. Banyak perangkat penggerak variabel tersedia secara komersial. Jika hanya satu bahan kimia yang ditambahkan, bak pencampuran dengan hanya satu kompartemen dapat digunakan. Namun, jika lebih dari satu bahan kimia diperlukan, aplikasi dan dispersi berurutan dari se ap bahan kimia diinginkan, yang memerlukan beberapa kompartemen. Bak pencampuran mekanik dak terpengaruh secara signifikan oleh variasi laju alir dan memiliki kerugian headyang rendah. Bak pencampuran cepat biasanya memiliki waktu nggal dan gradien kecepatan seper yang ditunjukkan di Tabel 8.1 (AWWA, 1969). Waktu nggal dari 20 hingga 60 de k umumnya digunakan, meskipun beberapa bak pencampuran memiliki waktu nggal serendah 10 de k atau selama 2 hingga 5 menit. Untuk mendapatkan gradien kecepatan yang nggi, seper 700 hingga 1000 fps/ (700 hingga 1000 mps/m), diperlukan ngkat daya pencampuran yang rela f nggi. Bak pencampuran satu kompartemen biasanya berbentuk lingkaran atau persegi dalam tampilan rencana, dan kedalaman cairannya 1,0 hingga 1,25 kali diameter atau lebar bak. Tangki dapat memiliki penghalang atau dak; namun, penghalang kecil diinginkan karena mereka meminimalkan pembentukan pusaran dan aliran rotasi. Meskipun daya untuk pencampuran cepat dapat diberikan ke air melalui agitasi mekanik, agitasi pneuma k, dan bak penghalang, daya yang diperlukan untuk se ap metode harus sama jika pencampuran ingin memiliki intensitas yang sama. Agitasi mekanik adalah metode yang paling umum untuk pencampuran cepat karena dapat diandalkan, sangat efek f, dan sangat fleksibel dalam operasi. Biasanya, pencampuran cepat menggunakan perangkat pencampuran rotary dengan poros ver kal seper impeler turbin, impeler dayung, atau, dalam beberapa kasus, baling-baling. Semua perangkat pencampuran rotary ini memberikan gerakan pada air selain turbulensi. Jenis ruang atau bak pencampuran cepat ditunjukkan di Gambar 8.9 (a)-(f). Mixer inline adalah metode yang paling kompak dan semakin populer. Karena gradien kecepatan op mum dapat bervariasi seiring waktu, diinginkan untuk memiliki peralatan dengan penggerak kecepatan variabel. Variasi kecepatan 1:4 umum digunakan. Banyak perangkat penggerak variabel tersedia secara komersial. Jika hanya satu bahan kimia yang ditambahkan, bak pencampuran dengan hanya satu kompartemen dapat digunakan. Namun, jika lebih dari satu bahan kimia diperlukan, aplikasi dan dispersi berurutan dari se ap bahan kimia diinginkan, yang memerlukan beberapa kompartemen. Bak pencampuran mekanik dak terpengaruh secara signifikan oleh variasi laju alir dan memiliki kerugian headyang rendah. Bak pencampuran cepat biasanya memiliki waktu nggal dan gradien kecepatan seper yang ditunjukkan di Tabel 8.1 (AWWA, 1969). Waktu nggal dari 20 hingga 60 de k umumnya digunakan, meskipun beberapa bak pencampuran memiliki waktu nggal serendah 10 de k atau selama 2 hingga 5 menit. Untuk mendapatkan gradien kecepatan yang nggi, seper 700 hingga 1000 fps/ (700 hingga 1000 mps/m), diperlukan ngkat daya pencampuran yang rela f nggi. Bak pencampuran satu kompartemen biasanya berbentuk lingkaran atau persegi dalam tampilan rencana, dan kedalaman cairannya 1,0 hingga 1,25 kali diameter atau lebar bak. Tangki dapat memiliki penghalang atau dak; namun, penghalang kecil diinginkan karena mereka meminimalkan pembentukan pusaran dan aliran rotasi. Alat pencampur rotari dapat diklasifikasikan sebagai turbin, pengaduk baling-baling, atau propeler menurut McCabe dan Smith (1976). Jenis impeler turbin, seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.10, adalah baling-baling lurus, cakram bersirip, baling-baling melengkung, dan baling-baling melengkung tertutup dengan diffuser stasioner, dengan cakram bersirip yang paling banyak digunakan. Sirip stasioner dari turbin tertutup mencegah aliran rotasi. Baling-baling impeler dapat miring atau ver kal, tetapi yang ver kal adalah yang paling umum. Diameter impeler biasanya 30 hingga 50% dari diameter atau lebar tangki, dan impeler biasanya dipasang satu diameter impeler di atas dasar tangki. Kecepatan berkisar dari 10 hingga 150 rpm, dan alirannya secara radial keluar dari turbin. Aliran ini terbagi di dinding tangki, memberikan pola aliran seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.1Ha). Baffle kecil yang menjorok ke dalam tangki sejauh 0,10 kali lebar atau diameter tangki akan meminimalkan pembentukan pusaran dan aliran rotasi dan; akibatnya, menyebabkan lebih banyak daya yang diberikan kepada cairan. Ini menghasilkan turbulensi yang lebih besar, yang diinginkan untuk pengadukan. Turbin adalah yang paling efek f dari semua alat pengadukan atau pencampuran mekanik karena mereka menghasilkan geseran nggi, turbulensi, dan gradien kecepatan. Pengaduk baling-baling biasanya memiliki dua atau empat bilah. Bilah tersebut dapat miring atau ver kal, dengan pe ver kal yang lebih umum. Diameter pengaduk baling-baling biasanya dari 50 hingga 80% dari diameter atau lebar tangki, dan lebar baling-baling biasanya ¼ hingga ½ dari diameter. Baling-baling biasanya dipasang setengah diameter baling-baling di atas dasar tangki, seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.-12(a). Rezim aliran untuk baling-baling dua bilah, yang serupa dengan impeler turbin, digambarkan pada Gambar 8.13. Kecepatan baling-baling berkisar dari 20 hingga 150 rpm, dan perlu adanya penghalang untuk meminimalkan pembentukan pusaran dan aliran rotasi kecuali pada kecepatan yang sangat lambat. Baling-baling dak seefisien pe turbin karena dak menghasilkan turbulensi dan gaya geser sebanyak itu. Impeler baling-baling, seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.14, dapat memiliki dua atau ga bilah, dan bilah-bilah tersebut dimiringkan untuk memberikan aliran aksial pada cairan. Rotasi baling- baling membentuk heliks dalam cairan, dan kemiringan didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cairan secara aksial selama satu putaran, dibagi dengan diameter baling-baling. Biasanya, kemiringan adalah 1,0 atau 2,0, dan diameter baling-baling maksimum sekitar 18 inci. Aliran aksial, seper yang digambarkan pada Gambar 8.15(a), mengenai dasar tangki dan membagi serta memberikan rezim aliran seper yang ditunjukkan. Untuk tangki yang dalam, dua baling-baling dapat dipasang pada poros yang sama dan dapat menghasilkan gerakan cairan ke arah yang sama atau berlawanan. Kecepatan baling-baling biasanya dari 400 hingga 1750 rpm, dan perlu penghalang pada tangki besar untuk meminimalkan pembentukan pusaran dan aliran rotasi. Pada tangki kecil, baling-baling dapat dipasang dak di tengah untuk menghindari aliran rotasi. Pengaduk baling-baling sangat efek f di tangki besar karena kecepatan nggi yang diberikan kepada cairan. Daya yang diberikan kepada cairan oleh berbagai impeler dapat ditentukan menggunakan hubungan yang dikembangkan oleh Rushton (Rushton, 1952; Rushton et al., 1947; Rushton et al., 1950; Rushton dan Oldshue, 1953; Rushton dan Mahoney, 1954) untuk impeler yang digunakan dalam industri proses kimia. Untuk aliran turbulen (NR.: > 10.000), daya yang diberikan oleh sebuah impeler dalam tangki dengan penghalang diberikan oleh persamaan berikut: Dimana: P = daya, -lb/de k (Nvm/s) KT = konstanta impeler untuk aliran turbulen n = kecepatan rotasi, putaran per de k Di = diameter impeler, kaki (m) ρ = densitas cairan, ρ = γ/g γ = berat jenis cairan, lb/ ³ (N/m³) Kc = percepatan akibat gravitasi, 32.17 /de k² (9.806 m/de k²) Jika alirannya laminar (NRc < 10 sampai 20), daya yang diberikan oleh impeller di tangki yang diberi sekat atau dak diberi sekat diberikan oleh: di mana KL = konstanta impeler untuk aliran laminar μ = viskositas absolut cairan, lb-force-sec/ ² (N-s/m²) Nomor Reynolds untuk impeler diberikan oleh rumus berikut: di mana: Re = Nomor Reynolds, tanpa dimensi Untuk aliran laminar, daya yang diberikan dalam tangki dak terpengaruh oleh keberadaan baffle. Namun, dalam aliran turbulen, daya yang diberikan dalam tangki tanpa baffle bisa serendah satu perenam daya yang diberikan dalam tangki yang sama dengan baffle. Nilai-nilai konstanta impeler, KT dan KL, untuk berbagai jenis impeler, diberikan dalam Tabel 8.2 untuk tangki bulat yang memiliki empat baffle. Untuk aliran turbulen, telah ditemukan bahwa daya yang diperlukan untuk pengadukan dalam tangki persegi ver kal dengan baffle sama dengan tangki bulat ver kal dengan baffle yang memiliki diameter sama dengan lebar tangki persegi. Dalam tangki persegi tanpa baffle, daya yang diberikan sekitar 75% dari yang diberikan dalam tangki persegi dengan baffle atau tangki bulat dengan baffle. Selain itu, dua turbin baling-baling lurus yang dipasang satu diameter turbin terpisah pada poros yang sama memberikan sekitar 1,9 kali lebih banyak daya daripada satu turbin saja. Hampir dalam semua kasus pencampuran cepat untuk koagulasi, rezim aliran berada dalam kisaran turbulen. Bak pencampur pneuma k menggunakan tangki dan alat aerasi yang agak serupa dengan yang digunakan dalam proses lumpur ak f, seper yang digambarkan pada Gambar 8.16. Waktu nggal dan gradien kecepatan memiliki magnitudo dan rentang yang sama seper yang digunakan untuk pencampuran mekanis cepat. Variasi gradien kecepatan dapat diperoleh dengan mengubah laju aliran udara. Pencampuran pneuma k dak terpengaruh secara signifikan oleh variasi laju aliran influen, dan kerugian headhidraulik rela f kecil. Dengan memilih gradien kecepatan desain, G, dimungkinkan untuk menentukan daya yang diperlukan dengan Persamaan (8.9) atau Gambar 8.8. Volume bak, V, dapat ditentukan dari laju aliran dan waktu nggal, T. Laju aliran udara untuk memberikan daya yang diinginkan ke air kemudian dapat ditentukan dengan persamaan. di mana: P = daya, -lb/de k (N-m/s) C1=81.5 untuk satuan USCS dan 3904 untuk satuan SI G′d = laju aliran udara pada suhu dan tekanan operasional, cfm (m³/menit) h = kedalaman ke diffuser, kaki (m) C2= 34 untuk unit USCS dan 10.4 untuk unit SI Bak pencampuran pe baffle, seper yang digambarkan pada Gambar 8.17, bergantung pada turbulensi hidrolik untuk menghasilkan gradien kecepatan yang diinginkan. Gradien kecepatan yang diberikan pada air ditentukan oleh Persamaan (8.10), dan volumenya ditentukan dari laju aliran dan waktu nggal, T. Kehilangan tekanan biasanya bervariasi antara 1 hingga 3 kaki (0,3 hingga 0,9 meter), dan bak ini memiliki sangat sedikit arus pintas. Bak pe baffle dak cocok digunakan ke ka terdapat variasi besar dalam laju aliran, dan dak mungkin untuk memvariasikan gradien kecepatan secara signifikan. Karena kelemahan-kelemahan ini, bak pe baffle saat ini dak banyak digunakan. Baik pada pencampuran mekanik maupun pneuma k, memvariasikan daya yang diberikan akan menghasilkan variasi pada gradien kecepatan. Contoh Soal: Sebuah bak pencampuran cepat berbentuk persegi dengan kedalaman air sama dengan 1,5 kali lebar dirancang untuk aliran sebesar 7570 m³/d. Gradien kecepatan adalah 790 m/s², waktu nggal adalah 40 de k, suhu operasi adalah 10°C, dan kecepatan poros turbin adalah 100 rpm. Tentukan: 1. Dimensi bak. 2. Daya yang dibutuhkan. 3. Diameter impeller jika digunakan impeller pe vane-disc dengan enam bilah datar, dan tangki memiliki empat baffle ver kal (satu di se ap dinding tangki). Diameter impeller harus 30 hingga 50% dari lebar tangki. 4. Diameter impeller jika dak ada baffle ver kal yang digunakan. 5. Udara yang dibutuhkan jika pencampuran pneuma k digunakan dan diffuser berada 0,15 m di atas dasar tangki. Penyelesaian: Diberikan: Laju aliran (Q): 7570 m³/d Gradien kecepatan (G): 790 s⁻¹ Waktu tahan (t): 40 s Suhu operasi: 10°C Kecepatan poros turbin (N): 100 rpm Kedalaman air (H): 1.25 × Lebar (W) Diameter impeller (dengan baffle): 30% hingga 50% dari lebar tangki Ke nggian diffuser (untuk pencampuran pneuma k): 0.15 m di atas dasar tangki 1. Dimensi Bak Kita perlu menemukan dimensi bak, dimulai dengan volume air. Langkah 1: Konversi laju aliran ke m³/s. FLOKULASI Daya yang diperlukan untuk pengadukan lembut selama proses flokulasi dapat diberikan melalui pengadukan mekanis atau pneuma k, dengan pengadukan mekanis sebagai metode yang paling umum. Sebelumnya, bak dengan baffle digunakan untuk flokulasi, tetapi karena keterbatasan nilai G dan GT, metode ini sudah jarang digunakan. Sebagian besar pengaduk mekanis menggunakan roda dayung, meskipun turbin dan baling-baling juga digunakan. Keberhasilan proses flokulasi bergantung pada kemudahan dan kecepatan agregasi mikroflok menjadi par kel flok yang lebih besar serta jumlah tumbukan par kel selama flokulasi. Oleh karena itu, keberhasilan flokulasi dipengaruhi oleh karakteris k flok, gradien kecepatan (G), dan nilai GT. Nilai GT yang nggi menunjukkan banyaknya tumbukan selama proses agregasi. Parameter yang lebih akurat adalah GCT, di mana C adalah rasio volume flok terhadap total volume air yang di- flokulasi. Jika gradien kecepatan terlalu nggi, gaya geser akan mencegah pembentukan flok besar. Namun, jika gradien kecepatan terlalu rendah, tumbukan antarpar kel dak akan memadai sehingga flok dak terbentuk dengan baik. Untuk air yang sulit dikoagulasi, flok akan rapuh dan gradien kecepatan akhir yang rendah diperlukan. Sebaliknya, jika air mudah dikoagulasi, flok yang kuat akan terbentuk dan gradien kecepatan akhir bisa lebih nggi. Bak flokulasi sering dirancang untuk memberikan flokulasi bertahap, di mana aliran air secara bertahap mengalami penurunan nilai G. Hal ini menghasilkan pembentukan flok kecil yang cepat, yang kemudian mengagregasi menjadi flok yang lebih besar pada nilai G yang lebih rendah. Sebagai contoh, rangkaian nilai G bisa berkisar dari 50, 20, hingga 10 fps/. Banyak bak dirancang tanpa flokulasi bertahap, tetapi metode ini biasanya menghasilkan flokulasi yang op mal. Tata letak pengaduk dengan roda dayung pada poros horizontal ditunjukkan pada Gambar 8.19 dan 8.20. Dalam pola aliran silang (Gambar 8.19a), poros roda dayung dipasang tegak lurus terhadap aliran air. Dalam pola aliran aksial (Gambar 8.20a), poros roda dayung sejajar dengan aliran air. Minimal ga kompartemen berturut-turut diperlukan untuk meminimalkan sirkuit pendek. Sekat antar kompartemen biasanya berupa pagar baffle kayu atau dinding beton dengan orifice. Pagar baffle kayu lebih fleksibel karena jarak antar papan bisa diubah. Untuk pola aliran silang, flokulasi bertahap dapat dicapai dengan mengubah ukuran roda dayung, jumlah dayung, dan diameter roda dayung di berbagai poros. Selain itu, kecepatan putaran poros dapat diubah. Untuk pola aliran aksial, flokulasi bertahap dapat diperoleh dengan mengubah ukuran dan jumlah dayung pada se ap roda dayung yang memiliki poros horizontal yang sama. Semua perangkat flokulasi mekanis harus dilengkapi dengan penggerak kecepatan variabel dengan rasio hingga 1:4 untuk menyesuaikan dengan variasi kualitas air baku. Jika kompartemen dipisahkan oleh dinding beton dengan orifice, orifice tersebut harus dilengkapi dengan pelat deflektor di hulu dan hilir untuk meminimalkan sirkuit pendek. Gradien kecepatan melalui se ap orifice dak boleh melebihi gradien di kompartemen sebelumnya. Gradien kecepatan dapat diperkirakan menggunakan persamaan orifice dan persamaan kecepatan. Ringkasan Gambar: Gambar 8.18: Ilustrasi pengaduk mekanis, biasanya menggunakan roda dayung. Gambar 8.19a: Pola aliran silang dengan poros roda dayung tegak lurus terhadap aliran air. Gambar 8.20a: Pola aliran aksial dengan poros roda dayung sejajar dengan aliran air. Perangkat dengan poros ver kal, seper roda dayung yang ditunjukkan pada Gambar 8.21(a) dan (b), kadang-kadang digunakan. Tata letak flokulator yang menggunakan unit ini ditunjukkan pada Gambar 8.21(c). Dari tata letak tersebut, terlihat bahwa kompartemen diatur secara seri untuk meminimalkan sirkuit pendek dan juga untuk memfasilitasi desain flokulasi bertahap. Daya yang diberikan ke air oleh roda dayung dapat ditentukan menggunakan hukum Newton untuk gaya hambat yang diberikan oleh objek yang terendam dan bergerak dalam cairan. Gaya hambat untuk bilah roda dayung diberikan oleh: Dimana: FD = gaya hambat dari roda dayung, lb (N) CD = koefisien hambat A = luas bilah roda dayung tegak lurus dengan arah gerakan, ² (m²) ρ = densitas air, ρ = γ/gc v = kecepatan bilah roda dayung rela f terhadap air, fps (mps) Karena daya sama dengan gaya dikalikan kecepatan, daya yang diperlukan diberikan oleh: Dimana P adalah daya, FD adalah gaya hambat, dan vvv adalah kecepatan bilah roda dayung. Koefisien hambat (CD) pada dasarnya bergantung pada bentuk geometris dari bilah roda dayung. Nilai untuk berbagai dimensi bilah roda dayung dapat ditemukan pada Tabel 8.3. Tabel tersebut berisi nilai-nilai CD yang berbeda tergantung pada ukuran dan bentuk bilah roda dayung, yang membantu dalam menentukan gaya hambat dan daya yang dibutuhkan untuk pengadukan. Prak k menunjukkan bahwa kecepatan periferal bilah roda dayung harus berkisar antara 0,3 hingga 3,0 fps (0,09 hingga 0,91 mps), dan kecepatan bilah roda dayung rela f terhadap air kira-kira ga perempat dari kecepatan periferal bilah. Selain itu, luas total bilah roda dayung pada poros horizontal dak boleh melebihi 15 hingga 20% dari luas penampang melintang total bak. Luas bilah harus se daknya 15% untuk memas kan pencampuran yang memadai dan dak lebih dari 20% untuk menghindari aliran rotasi yang berlebihan. Dalam desain flokulator roda dayung dengan poros horizontal, biasanya gradien kecepatan desain (G) dan waktu tahan (T) ditentukan dari studi laboratorium atau pabrik percontohan. Nilai GT kemudian dihitung untuk memas kan bahwa berada dalam rentang GT yang dapat diterima. Setelah itu, laju aliran dan waktu tahan digunakan untuk menghitung volume bak (V). Dimensi bak dihitung dengan mengetahui volume bak dan jumlah poros horizontal yang dipilih. Jika digunakan flokulasi bertahap, nilai G untuk se ap kompartemen harus ditentukan dari studi laboratorium atau pabrik percontohan. Desain roda dayung diasumsikan, dan kecepatan periferal roda dayung dihitung untuk memberikan daya yang diinginkan. Jika kecepatan periferal yang dihasilkan terlalu nggi, bilah yang lebih besar atau jumlah bilah yang lebih banyak diasumsikan, dan kecepatan periferal dihitung ulang untuk memas kan apakah hasilnya memadai. Pengaduk mekanis lainnya, seper flokulator "walking-beam", turbin, dan baling-baling, kadang- kadang digunakan; namun, roda dayung sejauh ini yang paling banyak digunakan. Flokulasi pneuma k juga pernah digunakan sebagai penggan pengadukan mekanis. Ke ka nilai desain G diketahui, daya yang diperlukan per satuan volume bak (P/V) dapat ditentukan dari Persamaan (8.9). Nilai desain GT digunakan untuk menghitung waktu tahan (T), dan volume bak dihitung dari laju aliran. Laju aliran udara (Ga) yang diperlukan untuk menghasilkan daya yang diinginkan dapat ditentukan menggunakan Persamaan (8.15). Kecepatan air yang di-flokulasi dalam orifice, port pada pagar baffle, dan saluran (jika digunakan) yang mengalir dari flokulator, dak boleh lebih dari 0,5 hingga 1,0 fps (0,15 hingga 0,30 mps) untuk menghindari pecahnya flok. Contoh Soal: Sebuah bak flokulasi pe aliran silang, dengan poros horizontal, dan roda dayung akan dirancang untuk aliran sebesar 25.000 m³/hari, gradien kecepatan rata-rata sebesar 26,7 s⁻¹ (pada 10°C), dan waktu tahan selama 45 menit. Nilai GT harus berada dalam rentang 50.000 hingga 100.000. Flokulasi bertahap akan digunakan, dan ga kompartemen dengan kedalaman yang sama secara seri akan digunakan, seper ditunjukkan pada Gambar 8.19(b). Nilai G yang diperoleh dari uji laboratorium untuk ga kompartemen tersebut adalah G₁ = 50 s⁻¹, G₂ = 20 s⁻¹, dan G₃ = 10 s⁻¹. Nilai-nilai ini memberikan rata-rata G sebesar 26,7 s⁻¹. Kompartemen akan dipisahkan oleh pagar baffle kayu redwood beralur, dan lantai bak akan rata. Bak tersebut harus memiliki lebar 15,0 m untuk menyatu dengan bak pengendapan. Kecepatan bilah dayung rela f terhadap air adalah ga perempat dari kecepatan periferal bilah dayung. Tentukan: 1. Nilai GT. 2. Dimensi bak. 3. Desain roda dayung. 4. Daya yang diberikan ke air di se ap kompartemen. 5. Kecepatan rotasi se ap poros horizontal dalam rpm. 6. Rentang kecepatan rotasi jika digunakan penggerak dengan kecepatan variabel 1:4. 7. Kecepatan periferal bilah dayung luar dalam m/s. Dari perhitungan diatas telah diperoleh P = 214 Nm/s Unit Kontak Padatan Unit kontak padatan, seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.22(a) dan (b), sering disebut sebagai klarifikasi aliran atas (upflow clarifiers). Unit ini menggabungkan pencampuran, flokulasi, dan sedimentasi dalam satu struktur. Mereka dirancang untuk mempertahankan volume besar padatan terflokulasi di dalam sistem, yang meningkatkan penyisihan padatan yang masuk karena lebih banyak tumbukan antarpar kel. Volume padatan di zona kontak dapat bervariasi dari 5 hingga 50% dari volume zona tersebut, tergantung pada penggunaannya. Volume padatan diukur sebagai persentase volume setelah pengendapan selama 30 menit dalam tabung uji. Unit kontak padatan terdiri dari dua desain dasar: 1. Tipe sirkulasi bubur (slurry-recircula on), seper yang terlihat pada Gambar 8.22(a), di mana massa flok besar dipertahankan dengan mendaur ulang sebagian besar flok melalui kompartemen tengah menggunakan impeler bilah miring. Pencampuran dan flokulasi dilakukan di kompartemen yang mengelilingi pusat daur ulang. Air terflokulasi melewa bagian bawah menuju zona klarifikasi, tetapi hanya melalui bagian atas selimut lumpur. Setelah melalui zona klarifikasi, air keluar melalui saluran efluen. 2. Tipe penyaringan selimut lumpur (sludge-blanket filtra on), seper yang ditunjukkan pada Gambar 8.22(b), pencampuran dan flokulasi terjadi di kompartemen tengah. Pengadukan yang dibutuhkan disediakan oleh impeler bilah miring. Air terflokulasi setelah meninggalkan bagian flokulasi melewa selimut lumpur untuk menyaring padatan melalui kontak dengan padatan terflokulasi di dalam selimut. Air kemudian terus mengalir ke atas melalui zona klarifikasi menuju saluran efluen. Keuntungan utama dari unit kontak padatan dibandingkan dengan unit pencampuran, flokulasi, dan klarifikasi konvensional adalah ukurannya yang lebih kecil. Oleh karena itu, unit ini lebih kompak dan membutuhkan lebih sedikit lahan. Unit ini paling cocok untuk mengolah air baku dengan kualitas yang rela f konstan. Karena waktu tahan untuk pencampuran, flokulasi, dan klarifikasi yang singkat, sulit untuk mengolah air baku dengan variasi kualitas yang besar. Unit ini sering digunakan untuk menggumpalkan air danau serta melunakkan air sumur. Pelunakan Kapur Soda Kesadahan didefinisikan sebagai kemampuan air untuk mengonsumsi sejumlah besar sabun sebelum membentuk busa dan menghasilkan kerak pada pemanas air, boiler, atau unit lain di mana suhu air meningkat secara signifikan. Ini disebabkan oleh adanya ion logam polyvalen, terutama kalsium dan magnesium. Ion kalsium dan magnesium bereaksi dengan sabun membentuk garam organik yang dak larut, yang muncul sebagai buih di permukaan air. Setelah semua ion kalsium dan magnesium mengendap, busa dapat terbentuk. Ion kalsium dan magnesium dapat dihilangkan melalui proses pelunakan kapur-soda, di mana ion yang dak diinginkan diendapkan dengan menambahkan kapur tohor dan soda abu. Reagen-reagen ini menghasilkan endapan volumetrik berupa kalsium karbonat dan magnesium hidroksida, yang bekerja dengan koagulasi sapuan, sehingga mengikat par kel tersuspensi saat endapan terbentuk. Terkadang koagulan seper ferrous sulfate ditambahkan bersama kapur tohor dan soda abu untuk membantu proses koagulasi dan flokulasi. Kesadahan total (TH) adalah jumlah konsentrasi ion kalsium dan magnesium, biasanya dinyatakan sebagai meq/L atau mg/L setara dengan CaCO₃. Alkalinitas disebabkan oleh konsentrasi ion bikarbonat, karbonat, dan hidroksil. Untuk air alami dengan pH di bawah 9, alkalinitas (Alk) terdiri dari alkalinitas bikarbonat dan karbonat, karena konsentrasi ion hidroksil dapat diabaikan pada pH ini. Alkalinitas juga dinyatakan sebagai meq/L atau mg/L setara CaCO₃. Kesadahan karbonat (CH) adalah bagian dari kesadahan total yang setara dengan alkalinitas bikarbonat dan karbonat, sedangkan kesadahan non-karbonat (NCH) sama dengan kesadahan total dikurangi kesadahan karbonat. Jumlah kapur dan soda abu yang diperlukan untuk pelunakan tergantung pada konsentrasi kesadahan total (TH), kesadahan karbonat (CH), kesadahan non-karbonat (NCH), ion magnesium, dan karbon dioksida. Jika kesadahan total (TH) lebih besar dari alkalinitas (Alk) ke ka diukur sebagai meq/L atau mg/L CaCO₃, maka: Kesadahan karbonat (CH) = alkalinitas (Alk) Kesadahan non-karbonat (NCH) = kesadahan total (TH) - kesadahan karbonat (CH) Jika kesadahan total (TH) lebih kecil dari alkalinitas (Alk), maka: Kesadahan karbonat (CH) = kesadahan total (TH) Kesadahan non-karbonat (NCH) = 0 Untuk kisaran pH yang terjadi di air alami, alkalinitas biasanya dalam bentuk ion bikarbonat (HCO₃⁻). Pada pH 7.5 atau lebih rendah, ion bikarbonat merupakan seluruh alkalinitas. Untuk mengendapkan kalsium karbonat, diperlukan pH sekitar 9,5; dan untuk mengendapkan magnesium hidroksida, diperlukan pH sekitar 10,8. Hal ini memerlukan penambahan sekitar 1,25 meq/L kapur berlebih untuk menaikkan pH. Dari penjelasan sebelumnya, jumlah kapur yang dibutuhkan dalam meq/L adalah jumlah dari karbon dioksida, kesadahan karbonat, dan konsentrasi ion magnesium (dinyatakan dalam meq/L), ditambah 1,25 meq/L kapur berlebih untuk menaikkan pH. Jumlah soda abu yang dibutuhkan dalam meq/L adalah sama dengan kesadahan non-karbonat yang dinyatakan dalam meq/L. Setelah air dilunakkan, air tersebut masih mengandung kapur berlebih, magnesium hidroksida, dan kalsium karbonat yang dak mengendap atau mengendap dengan buruk. Kapur berlebih dan magnesium hidroksida distabilkan oleh karbon dioksida, yang menurunkan pH menjadi sekitar 9,5, melalui reaksi berikut: