KASUS GAGAL BAYAR KLAIM NASABAH PT ASURANSI JIWASRAYA PDF
Document Details
Uploaded by HottestDrama
STIE Perbanas
Tags
Summary
This document details the case of failed claims by customers of PT Asuransi Jiwasraya in 2019. The company's financial problems stem from mismanaged investments and the underlying financial problems that the business faced. The investigation further into this issue suggests major vulnerabilities in investment structure.
Full Transcript
KASUS GAGAL BAYAR KLAIM NASABAH PT ASURANSI JIWASRAYA Gonjang-ganjing PT Asuransi Jiwasraya kembali mencuat pada awal Februari 2019. Perusahaan yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda dan memiliki sekitar tujuh juta nasabah ini harus menunda pembayaran klaim asuransi dari nasabah JS Saving Plan...
KASUS GAGAL BAYAR KLAIM NASABAH PT ASURANSI JIWASRAYA Gonjang-ganjing PT Asuransi Jiwasraya kembali mencuat pada awal Februari 2019. Perusahaan yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda dan memiliki sekitar tujuh juta nasabah ini harus menunda pembayaran klaim asuransi dari nasabah JS Saving Plan mereka senilai Rp 802 miliar. JS Saving Plan yang diluncurkan lima tahun lalu merupakan produk asuransi PT Asuransi Jiwasraya yang dibalut dengan investasi. Nasabah cukup membayar Rp 100 juta di awal dan bisa menarik imbal hasil dengan persentase tinggi setelah investasi mengendap satu tahun, serta langsung memperoleh perlindungan asuransi selama lima tahun penuh. Sebanyak 17 ribu nasabah ikut dalam program JS Saving Plan. Premi asuransi yang diperoleh perusahaan melejit dalam waktu singkat, tapi menimbulkan permasalahan besar ketika klaim-nya mulai jatuh tempo di bulan Oktober 2018. Lampu kuning sebetulnya sudah dinyalakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lewat laporan hasil pemeriksaan 2016. Saat itu, BPK telah mendeteksi investasi yang tak wajar, yakni pembelian saham PT Trikomsel Oke Rp 449, 5 miliar, PT Sugih Energy Rp 318,1 miliar, dan PT Eureka Prima Jakarta Rp 118 miliar. BPK menilai pembelian saham-saham ini kurang cermat karena fundamental perusahaan itu sebetulnya kurang bagus. Selain itu, perusahaan juga berinvestasi hingga Rp 6,3 triliun untuk saham PT Inti Agri Resources lewat reksa dana. BPK memberikan catatan: investasi pada satu saham dengan nilai cukup besar ini bisa menimbulkan potensi gelembung (bubble). Kisruh PT Asuransi Jiwasraya pun terungkap ke publik karena laporan keuangan perusahaan unaudited tahun 2017 yang awalnya mencatat laba bersih Rp 2,4 triliun harus direvisi. Dalam hal ini, kantor akuntan publik Pricewaterhouse Coopers (PwC) merevisi auditnya, sehingga laba bersih perusahaan menciut menjadi Rp 360 miliar saja. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Tiga tahun lalu, BPK telah mengungkap potensi terjadinya hal di atas. Dalam laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan, dan biaya operasional 2014 - 2015, terdapat banyak temuan, antara lain: pengelolaan dan pengawasan properti investasi PT Asuransi Jiwasraya tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak memberikan kontribusi pendapatan yang optimal; pengelolaan dan pengawasan atas aset lain pun dinilai tidak mengikuti kaidah; kerja sama sewa lahan tahun 2001 yang belum memperhitungkan penyerahan lahan fasilitas sosial dan umum serta kurang memadai; adanya denda yang belum dipungut sebesar Rp 211 juta lebih. Pada saat yang sama, BPK telah menyalakan sinyal lampu kuning dan menyebutkan bahwa PT Asuransi Jiwasraya berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas transaksi investasi pembelian surat utang jangka menengah atau medium term note (MTN) PT Hanson International. BPK mempertanyakan kebijakan manajemen yang menjadikan perusahaan sebagai investor terbesar yaitu 97,14 persen di instrumen investasi tersebut dengan melakukan penempatan saham sebesar Rp 680 miliar. Padahal BPK menilai bahwa PT Hanson International merupakan perusahaan yang tidak berkinerja baik. Berdasarkan laporan laba-rugi perusahaan, pendapatan dan laba bersih perusahaan relatif tidak besar, bahkan merugi cukup besar pada tahun 2013. Achsanul Qosasi (Majalah Berita Mingguan TEMPO 17 Februari 2019), anggota BPK yang saat itu membawahkan audit tersebut, mengatakan temuan BPK tersebut sudah sangat tegas. "Kami minta Jiwasraya mengganti investasinya ke saham-saham bermutu, yakni ke LQ45. Sudah dipindahkan Rp 1,5 triliun" ujar Achsanul Dalam kesempatan terpisah, Audit BPK yang dirilis pada Juli 2016 menemukan 16 masalah yang terkait dengan pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan, dan biaya operasional PT Asuransi Jiwasraya sepanjang 2014-2015. BPK menyebutkan nilai pendapatan dari penyewaan aset properti milik PT Asuransi Jiwasraya tidak signifikan dibandingkan dengan nilai asetnya. Setidaknya 471 penyewa pernah menunggak pembayaran. Nilai sewanya tidak wajar bila dibandingkan dengan nilai aset dan harga sewa setempat. Sikap OJK. OJK mengirimkan sinyal senada dengan BPK. Menurut Anton Prabowo (MBM TEMPO 17 Februari 2019), pengawas IKNB (Industri Keuangan Non Bank) OJK, lembaganya memperketat pengawasan dengan memperpendek periode pelaporan. Laporan yang sebelumnya disampaikan lima tahunan menjadi dua tahunan, ditambah laporan operasional bulanan. Dari situ, ditemukan indikasi produk investasi PT Asuransi Jiwasraya berpotensi bermasalah karena menawarkan imbal hasil yang tinggi. Saat itu, belum muncul kasus gagal bayar klaim karena pembayaran masih bisa ditutup dari setoran premi nasabah baru. Tapi, menurut Anto Prabowo, OJK sudah memberikan peringatan. Jiwasraya harus segera menyelesaikan masalah produknya. "Karena tinggal menunggu waktu bila tidak ditangani dengan baik." Dalam laporan pengawasan, OJK juga menemukan penempatan dana ke perusahaan yang merugi, seperti PT Inti Agri Resources Tbk sebesar Rp 546 miliar dan PT Trada Maritime Tbk sebesar Rp 363 miliar. Sikap Direksi PT Asuransi Jiwasraya. Hasil audit PwC keluar setelah tiga anggota direksi sebelumnya, yakni Direktur Utama Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Hary Prasetyo, serta Direktur Investasi dan Teknologi De Yong Adrian lengser per akhir Januari 2018. Trio ini menjabat dua periode sejak 2008. Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya sekarang, Hexana Tri Sasongko, menerima bom waktu. Ia baru diangkat OJK Oktober 2018 menggantikan Asmawi Syam yang belum sampai setahun memimpin PT Asuransi Jiwasraya. Saat peralihan manajemen, kabar mengenai keuangan PT Asuransi Jiwasraya belum merebak. Baru setelah Asmawi dan Hexana menerima laporan PwC, kejanggalan laba perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan perusahaan 2017 mulai terkuak. Laba yang tadinya Rp 2,7 triliun menciut menjadi Rp 328,44 miliar karena ada kenaikan cadangan premi. Menurut Hexana, perubahan laba itu terjadi karena portofolio keuangan manajemen lama dikelola dengan risiko tinggi untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi. Sedangkan aset perusahaan yang besar belum tentu menjanjikan profitabilitas tinggi. "Sehingga dia akan memompa risiko," ujar Hexana. Hexana tidak menampik adanya temuan BPK dan OJK serta semua permasalahan PT Asuransi Jiwasraya yang terungkap. Namun, beliau enggan berkomentar dengan alasan masalah itu sedang dalam proses audit investigatif BPK. "Lebih baik menunggu hasil audit," ujar beliau. Saat ini, Hexana tengah sibuk menata kembali Jiwasraya, memilih berkonsentrasi ke depan sembari menyelesaikan permasalahan yang dihadapi perusahaan. Beliau memutar ulang strategi perusahaan, merestrukturisasi pertumbuhan organik dengan mengubah model bisnis, dan memperbaiki transformasi bisnis korporasi hingga keagenan. "Perusahaan ini perlu penyesuaian yang fundamental supaya solusinya berkelanjutan," katanya. Ke depan, Hexana berencana memangkas jumlah properti yang terserak sporadis di mana-mana. Saat ini, perusahaan harus membayar pajak lebih mahal karena ada penilaian ulang terhadap aset properti perusahaan beberapa tahun lalu. Akibatnya, nilai aset-aset tersebut menjadi lebih tinggi. Di satu sisi, hal itu mempercantik laporan keuangan, tapi di sisi lain perusahaan harus menanggung beban pajak yang lebih mahal. Karena itu, nantinya perusahaan akan lebih mempertahankan aset yang komersial. "Mungkin akan kami kurangi propertinya, karena setelah revaluasi, pembayaran PBB naik semua." Sikap direksi periode sebelumnya. Direksi sebelumnya yang dipimpin oleh Direktur Utama Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Hary Prasetyo, serta Direktur Investasi dan Teknologi De Yong Adrian lengser per akhir Januari 2018. Trio ini dikenal sebagai "The Legend" dan menjabat dua periode sejak 2008. Dua dari tiga "The Legend" tersebut, yaitu Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo memberikan penjelasan banyak hal kepada majalah tempo (sekitar 8 Februari 2019). Mereka datang ke kantor MBM TEMPO tetapi menolak dikutip panjang-lebar. Secara singkat, mereka memastikan bahwa kekeliruan investasi bukan penyebab limbungnya PT Asuransi Jiwasraya. Manajemen lama menyebutkan perusahaan goyah karena tak mampu lagi berjualan produk. Sejak dinyatakan sehat pada 2013 oleh Menteri BUMN saat itu Dahlan Iskan, direksi lama sebetulnya menyimpan diagnosis penyakit jangka panjang perusahaan. Sejak krisis 2008, manajemen lama memprediksi PT Asuransi Jiwasraya - yang ketika itu membutuhkan dana Rp 6,7 triliun - baru betul-betul sehat 17 tahun kemudian. Agar bisa bangkit, manajemen lama memakai aneka "jurus silat". Makanya PT Asuransi Jiwasraya tidak bisa dilihat sepotongsepotong," ujar Hendrisman. "Harus diberi obat berkesinambungan". (MBM TEMPO 17 Februari 2018). Sikap wakil pemegang saham. Sebagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara), sikap dan pernyataan wakil pemegang saham diberikan oleh Deputi Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Jasa Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo yang mengatakan bahwa tidak berdisplinnya manajemen dalam investasi mengakibatkan PT Asuransi Jiwasraya limbung dan kembali jatuh sakit. Walhasil, produk JS Saving Plan, yang memiliki jangka waktu tempo polis per tahun tapi dengan proteksi jiwa selama lima tahun, harus dihentikan. Menurut Gatot (MBM TEMPO tanggal 17 Februari 2019), manajemen terbiasa mengasumsikan semua nasabah akan memperpanjang polis. Sedangkan dana besar itu tidak diinvestasikan pada produk-produk yang cair. "Selisih antara cost of fund dan imbal hasilnya sangat dalam," ucap Gatot. Pemilik saham sudah lama menyoroti pengelolaan investasi perusahaan yang tak wajar. Jika menilik laporan keuangan, tak terlihat Jiwasraya menyimpan demam sejak dahulu. Setiap kali akan ada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), kata Gatot, manajemen memoles laporan keuangan dengan menempatkan saham yang tiba-tiba harganya tinggi di akhir bulan. "Semestinya yang dipakai adalah harga saham berdasarkan fair market value, bukan harga pasar saja.". Pembelajaran. Sementara beberapa pandangan meyakini bahwa prahara yang menghantam Jiwasraya murni akibat risiko investasi, beberapa pandangan lain meyakini bahwa ada kemungkinan Praktik curang atau tata Kelola yang buruk di balik investasi saham berisiko tinggi yang kemudian mencekik perusahaan itu. Bila menilik kasus ini, dapat dilihat bahwa kemungkinan besar penerapan manajemen risiko di PT Asuransi Jiwasraya belum efektif. Tindakan pencegahan dini tidak terjadi walau sudah ada indikasi risiko tinggi lewat audit BPK dan pengawasan OJK. Pemegang saham juga terlambat bertindak karena mengandalkan laporan direksi saja dalam melakukan pemantauan. Dalam hal ini, mereka memahami konsep 'fair market value' tetapi tidak meminta direksi menyajikan laporan berdasarkan konsep tersebut. Walhasil pemantauan kinerja direksi didasarkan pada catatan laporan keuangan yang berbasis harga pasar saham-saham investasi yang sering kali tiba-tiba melonjak harga pasarnya pada saat tanggal tutup buku. Terkait dengan pernyataan Gatot di atas, di bawah ini adalah kutipan yang relevan dan merupakan bagian artikel di MBM TEMPO tanggal 17 Februari 2019 halaman 80: "Seorang petinggi Jiwasraya yang menjabat sejak 2016 membenarkan ini. Dalam setiap RUPS, kata dia, direksi menutup-nutupi penempatan investasi dan profil jatuh tempo polis. "Saya lihat labanya besar, tapi kok arus kasnya tidak ada," ujarnya. Sebelumnya, ia juga berulang kali menerima informasi yang menceritakan adanya pengaturan harga saham di emiten-emiten 'tier 3' atau dengan harga saham rendah." Saat ini audit investigatif BPK masih berlanjut untuk memastikan akar permasalahan utama dari krisis yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya dan penetapan status kasus tersebut lebih lanjut. Sementara itu, praktisi manajemen risiko dapat mengambil pembelajaran, salah satunya adalah bahwa 'krisis dapat timbul bagi suatu organisasi bila risiko fatal dan strategis organisasi tidak ditangani secara dini, sehingga merembet pada risiko lainnya, misal operasional, pelaporan, dan investasi yang berujung menjadi prahara bagi organisasi tersebut. Oleh karena itu, penerapan manajemen risiko tidak dapat sepotong-sepotong dan perlu dibangun secara sistematis dan terintegrasi mulai dari budaya pengelolaan risiko yang sehat, sistem yang efektif, dan sumber daya manusia yang kompeten dan berintegritas di setiap tingkatan organisasi.