Summary

This document covers the concept of zakat in Islamic law, including various aspects like zakat on land, professions, and products. It delves into the calculation and application of zakat according to Islamic jurisprudence.

Full Transcript

KEGIATAN BELAJAR 1: HUKUM ZAKAT Capaian Pembelajaran Capaian Pembelajaran Menganalisis tentang hukum zakat, pihak yang wajib berzakat dan tata cara penghitungan wajib zakat Sub Capaian Pembelajaran Sub Capaian Pembelaja...

KEGIATAN BELAJAR 1: HUKUM ZAKAT Capaian Pembelajaran Capaian Pembelajaran Menganalisis tentang hukum zakat, pihak yang wajib berzakat dan tata cara penghitungan wajib zakat Sub Capaian Pembelajaran Sub Capaian Pembelajaran Setelah membaca dan memahami materi kegiatan belajar 1 ini diharapkan saudara dapat: 1. Menganalisis konsep zakat tanah yang disewakan 2. Menganalisis konsep zakat hasil usaha (profesi) 3. Menganalisis konsep zakat produktif 4. Menganalisis konsep pembagian zakat untuk pembangunan mesjid POKOK-POKOK MATERI Pokok-Pokok Materi 1. Konsep Zakat tanah yang disewakan 2. Konsep Zakat profesi 3. Konsep Zakat produktif 4. Konsep Pembagian Zakat untuk pembangunan mesjid 1 Daftar Isi Capaian Pembelajaran................................................................................................................ 1 Capaian Pembelajaran................................................................................................................ 1 Sub Capaian Pembelajaran........................................................................................................ 1 Sub Capaian Pembelajaran........................................................................................................ 1 POKOK-POKOK MATERI...................................................................................................... 1 Pokok-Pokok Materi.................................................................................................................. 1 Daftar Isi.................................................................................................................................... 2 Uraian Materi............................................................................................................................. 3 Uraian Materi............................................................................................................................. 3 A. Zakat Hasil Tanah yang Disewakan............................................................................... 3 1. Ketentuan Zakat Tanah yang Disewakan.................................................................. 5 2. Ikhtilaf Ulama Tentang Zakat Tanah yang Disewakan............................................. 7 B. Zakat Profesi (Hasil Jasa)............................................................................................. 10 1. Pengertian dan Hukum Zakat Profesi...................................................................... 10 2. Ikhtilaf Ulama tentang Zakat Profesi...................................................................... 12 3. Cara Mengeluarkan Zakat Profesi........................................................................... 13 C. ZAKAT PRODUKTIF.................................................................................................. 14 1. Gagasan Zakat Produktif......................................................................................... 14 2. Hukum Zakat Produktif........................................................................................... 15 D. PENYALURAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MESJID............................... 18 1. Ketentuan Mustahiq Zakat...................................................................................... 19 2. Kebolehan Zakat untuk Pembangunan Mesjid........................................................ 20 Refleksi.................................................................................................................................... 22 Refleksi.................................................................................................................................... 22 Contoh Soal.............................................................................................................................. 23 Tindak Lanjut Belajar.............................................................................................................. 24 Glosarium................................................................................................................................. 24 Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 25 2 Uraian Uraian Materi Materi Saudara sekalian, pada kegiatan belajar I ini akan dibahas empat materi pokok tentang zakat yang diperselisihkan hukumnya. Pertama, konsep zakat tanah yang disewakan. Kedua, konsep zakat profesi. Ketiga konsep zakat produktif dan keempat pembagian zakat untuk pembangunan mesjid. Kepada saudara, diharapkan membaca dan memahami materi kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya agar tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai secara optimal. Beberapa persoalan yang difokuskan pada adakah kewajiban zakat profesi? Adakah zakat bagi tanah yang disewakan, dan bagaimana dana zakat digunakan atau dimanfaatkan untuk hal- hal yang produktif dan untuk pembangungan masjid? Empat persoalan ini sangat penting untuk diketahui oleh para guru PAI professional. A. Zakat Hasil Tanah yang Disewakan Kata zakat ) ٌ‫ ) زَ كَاة‬berasal dari bahasa Arab, secara bahasa artinya suci, tumbuh berkembang dan berkah. Makna zakat secara bahasa ini mencerminkan sifat zakat yang dapat mensucikan harta dan jiwa serta mengandung nilai positif yang dapat dikembangkan berupa kebaikan bagi si muzakki dan kemashlahatan ekonomi bagi para mustahiq. Sebagaimana firman Allah swt: ٌَ َ‫قَدٌ أَفل‬ ‫ح َمنٌ زَ َّكاهَا‬ Artinya: “Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya.” (QS. al-Syams: 9) Menurut syara’, para ulama mendefinisikannya dengan “Harta tertentu yang wajib dikeluarkan sebagiannya kepada para mustahiq.” Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan, “Zakat adalah suatu nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh manusia kepada fuqara.” Selanjutnya Sabiq menambahkan, “Dinamakan zakat karena mengharap berkah, pensucian diri, dan bertambahnya kebaikan.” Hal ini sejalan dengan firman Allah swt: 3 َ ٌ‫ُخذٌ ِمنٌ أَم َوا ِل ِهم‬ َ ُ ‫صدَقَةٌ ت‬ ٌ ‫ط ِه ُر ُهمٌ َوتُزَ ِكي ِهمٌ ِب َها‬ Artinya: “Ambilah dari harta mereka shadaqah yang dapat membersihkan harta dan mensucikan jiwa mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Dari dua macam pengertian zakat seperti diungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa zakat adalah kewajiban seseorang untuk mengeluarkan sebagian harta miliknya yang sudah memenuhi syarat untuk dizakati kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Zakat sering juga disebut shadaqah ( ‫ ٌ) ٌصدقة‬karena tindakan itu adalah tindakan yang benar (shidq). Istilah zakat dalam al-Qur'an sering sekali penyebutannya digandengkan dengan kata sholat, ditemukan sebanyak 82 ayat. Penyelarasan ini menunjukkan bahwa zakat merupakan rukun Islam yang sangat penting setelah perkara sholat. Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan suatu tindakan pemindahan harta kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin (mustahik). Transfer kekayaan berarti juga transfer sumber-sumber ekonomi. Rahardjo (1987) menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan ekonomi, zakat bisa berkembang menjadi konsep kemasyarakatan (muamalah), yaitu konsep tentang bagaimana cara manusia melakukan kehidupan bermasyarakat termasuk di dalamnya bentuk ekonomi. Oleh karena itu ada dua konsep yang selalu dikemukakan dalam pembahasan mengenai sosial ekonomi Islam yang saling berkaitan yaitu pelarangan riba dan perintah membayar zakat (Q.S al-Baqarah : 276). Mencermati judul di atas setidaknya terdapat pertanyaan dalam benak saudara, siapa yang wajib mengeluarkan zakat dari tanah yang disewakan, apakah si pemilik tanah atau pihak penyewa tanah. Sepintas jawabannya sudah dapat ditentukan dari judul itu yaitu orang yang menyewa tanah karena dialah orang yang mendapatkan secara langsung dari hasil tanah tersebut. Namun demikian, ditemukan pendapat bahwa si pemilik tanahlah yang terkena kewajiban zakatnya karena tanpa tanah tidak mungkin didapati hasil tanaman. Terdapat juga pendapat 4 yang mengatakan bahwa hukumnya dikembalikan kepada kesepakatan antara dua belah pihak sebelum transaksi dilakukan, berikut bahasannya. 1. Ketentuan Zakat Tanah yang Disewakan Setelah memahami pengertian zakat, maka perlu juga memahami pengertian sewa-menyewa atau ijarah. Sewa-menyewa adalah memanfaatkan suatu barang baik barang milik sendiri atau barang orang lain. Istilah ini dikenal dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah ijarah yang berasal dari kata al-ajru yang mengandung arti upah atau menjual manfaat. Zuhaily yang dikutip oleh Ismail Nawawi dalam bukunya yang berjudul Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer mengatakan bahwa “Transaksi sewa (ijarah) identik dengan jual beli, tetapi dalam sewa pemilikan dibatasi dengan waktu tertentu. Akad ijarah dianggap sah jika memenuhi rukun-rukunya yang meliputi pertama, Mujir dan musta’jir, yaitu pihak-pihak yang melakukan akad sewa. Mujir yakni orang yang menyewa, mustajir yakni orang yang memberi sewa. Kedua, Sighat, ijab qabul antara mujir dan mustajir. Ketiga, Ajr atau upah yang dibayarkan dan keempat, Barang yang disewakan. Dengan demikian, pengertian zakat tanah yang disewakan adalah zakat yang dikeluarkan dari tanah yang disewakan. Zakat tanah yang disewakan harus memenuhi beberapa komponen dalam transaksi zakat hasil tanah yang disewakan sebagai berikut: ٌُ ‫( ٌأ َ ألَر‬ a. Sebidang tanah yang disewakan )ُ ‫ض ال ُمست َأ َج َر ٌة‬ ٌ ِ ‫احبٌ أَألَر‬ b. Pemilik tanah )‫ض‬ ِ ‫ص‬َ (: Orang yang menyewakan tanahnya kepada orang lain. c. Penyewa tanah )‫ (أَل ُمست َأ ِج ٌُر‬sekaligus penggarap tanah yang disewakan. d. Ajru (upah) yang dibayarkan oleh penyewa kepada pemilik tanah. Berdasar kepada beberapa ketentuan di atas, dalam penyewaan tanah, sedikitnya terdapat dua pihak yang terlibat dalam transaksi penyewaan tanah yaitu pemilik tanah dan penyewa, yang keduanya bersepakat mengadakan transaksi. 5 ٌ ِ ‫ (زَ كَا ٌة ُ االَر‬dapat Dengan kata lain, zakat hasil tanah yang disewakan )ُ ‫ض ال ُمست َأ َج َر ٌة‬ diartikan sebagai zakat hasil tanah yang langsung dihasilkan oleh tanah tersebut berupa tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah. Hasil dimaksud bisa berupa makanan pokok, seperti padi, korma, gandum atau buah-buahan, seperti, jeruk, anggur, semangka, atau berupa sayur-sayuran, seperti ketimun, kacang, bawang, dan lain sebagainya. Kewajiban untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan didasari oleh ayat berikut ini: َّ ‫ع ُمخت َ ِلفا أ ُ ُكلُ ٌهُ َو‬ ٌَ‫الزيتُون‬ َّ ‫ل َو‬ ٌَ ‫الزر‬ ٌَ ‫وشَاتٌ َوالنَّخ‬ ََ ‫وشَاتٌ َوغَي ٌَر َمع ُر‬ ََ ‫شٌَأ َ َجنَّاتٌ َمع ُر‬ ََ ‫َو ُه ٌَو الَّذِي أَن‬ ‫ال تُس ٌِرفُوا‬ َ ‫الر َّمانٌَ ُمتَشََ ا ِبها َوغَي ٌَر ُمتَشَا ِبهٌ ُكلُوا ِمنٌ ث َ َم ِر ٌِه ِإذَا أَث َم ٌَر َو َءاتُوا َحقَّ ٌهُ يَو ٌَم َح‬ ٌ َ ‫صا ِد ٌِه َو‬ ُّ ‫َو‬ ٌَ‫ال ي ُِحبٌُّ ال ُمس ِرفِين‬ ٌ َ ُ‫إِنَّ ٌه‬ Artinya: “Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun dan delima yang serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah buah- buah tersebut jika panen dan keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen. Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih- lebihan.” (QS. al-An’am: 141) Sedangkan dasar dari Hadits mengenai wajibnya zakat hasil tanah: ٌُ ُ‫ف الع‬ ٌ‫ش ِر‬ ٌُ ‫سانِيَ ٌِة نِص‬ َّ ‫ي ِبال‬ ٌَ ‫س ِق‬ ُ ‫شو ٌُر ِفي َما‬ ُ ‫ت االَن َه‬ ُ ُ‫ار َوالغَي ٌُم الع‬ ٌِ ٌَ‫سق‬ َ ‫فِي َما‬ )‫(رواه احمد ومسلم‬ Artinya: “Tanaman yang tumbuh diari oleh air yang menggunakan alat, zakatnya sebanyak lima persen. Sedangkan tanaman yang diairi oleh air hujan sebanyak sepuluh persen.” Jika dicermati, mengapa hasil tanah yang diairi oleh alat lebih kecil dari pada yang diairi oleh air hujan? Hal ini karena yang memakai alat itu membutuhkan biaya, sedangkan yang memakai air hujan tidak membutuhkan biaya. Dengan demikian, terdapat keadilan di dalamnya. Zakat hasil tanah wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen, tidak berlaku untuknya haul (genap satu tahun) di dalamnya. Jika satu tahun itu dua kali panen, maka zakatnya pun dua kali. Sedangkan ketentuan nisabnya menurut M. Syaltut, baik sedikit atau banyak hasil panennya tetap dizakatkan karena menurutnya agar tumbuh selalu sikap solidaritas sosial sebagai hikmah diwajibkannya zakat. 6 Berdasarkan pemahaman di atas, zakat tanah yang disewakan untuk pertanian, maka penyewa wajib membayarkan zakatnya karena diqiyaskan dengan zakat pertanian dan wajib mengeluarkannya dapat 5% atau 10%. Sedangkan zakat harta tanah yang disewakan bukan untuk pertanian maka tidak ada kewajiban zakat pada harta tersebut kecuali tanah yang disewakan tersebut menghasilkan seperti disewakan kepada perusahaan maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% setelah berlalunya waktu satu tahun (haul) dari waktu al- qabdhu (serah terima). Ketentuan tersebut diqiyaskan dengan zakat perdagangan yang memiliki syarat nishab dan haul. (Wahbah Zuhaili dalam Majma’ al-Faqih al- Islam). 2. Ikhtilaf Ulama Tentang Zakat Tanah yang Disewakan. Ketentuan bahwa zakat hasil tanah yang disewakan oleh pemiliknya kepada perusahaan siapakah yang wajib mengeluarkan zakatnya? Untuk menjawab kasus hukum ini tidak terdapat kata sepakat di kalangan para ulama mereka berselisih dalam menetapkan hukumnya seperti diuraikan berikut ini. Pertama, menurut Jumhur ulama, bahwa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan adalah pihak penyewa (perusahaan). Mereka beralasan karena yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil tanahnya (perusahaan yang menghasilkan) bukan tanahnya. Perusahaan dianggap menggarap tanah sewa untuk pertanian. Karena itu, ketentuan zakat sewa tersebut diqiyaskan dengan zakat pertanian. hal ini diperkuat oleh pendapat Mahmud Syaltut. ٌ‫ي‬ َ ‫عِ َو ِه‬ ٌ ‫الزر‬ َّ ‫ق‬ َّ ‫ع َو‬ ٌُّ ‫الز َكا ٌة ُ َح‬ ٌَ ‫الزر‬ َّ ‫علَى ال ُمستَأ ِج ٌِر الَّذِى يُبَا ِش ٌُر‬ َ َ ‫ى الَّذِى نَعت َ ِمد ٌُهُ اِن َّهٌا‬ َّ َ‫ف‬ ٌُ ‫الرا‬ ‫ك َكانٌَ ال ُمستَأ ِج ٌُر ُه ٌَو‬ ٌَ ‫سالَ َم ِت ٌِه َو ِبذَا ِل‬ َ ‫عِ َو‬ َّ ‫ت‬ ٌ ‫الزر‬ ٌِ ‫علَى ِنع َم ٌِة اِن َبا‬ َ ‫شك ٌِر‬ ُّ ‫َبع ٌدَ نَوعٌ ِمنٌَ ال‬ ‫ج َر ٌِة‬ٌَ ‫ض ال ُمستَأ‬ ٌ ِ ‫اجِ زَ َكاةٌِ األَر‬ ٌ ‫ب ِباِخ َر‬ ٌُ َ‫طاٌل‬ َ ‫ال ُم‬ Artinya:“Pendapat yang kami pegang bahwasanya kewajiban zakat ada pada pihak penyewa yang langsung menggarap pertanian. Dan zakat merupakan hak pertanian sebagai rasa syukur atas ni’mat berhasilnya pertanian. Dengan demikian penyewalah yang dibebani untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan.” Kedua, menurut pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya bahwa pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena dari sebab tanah itulah ada hasil yang diperoleh., tanpa tanah tak akan dapat dihasilkan apa-apa. Perusahaan tidak 7 akan menghasilkan apa-apa tanpa tanah tersebut. Karena itu pemilik tanah wajib mengeluarkan zakat tanah sewanya. Ketiga, Imam Malik, Syafi’i, Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ibnu Abu Tsaur berpendapat, penyewa tanahlah yang wajib membayar zakat, pendapat ini sejalan dengan pendapat point pertama. Mencermati perselisihan pendapat tentang zakat hasil tanah yang disewakan sebagaimana tersebut di atas dapat dikelompokkan perbedaannya menjadi dua kelompok dengan alasannya masing-masing. Pendapat pertama adalah ulama yang menetapkan bahwa si penyewa dalam hal ini orang yang menggarap tanah yang wajib mengeluarkan zakat karena dialah yang secara langsung memperoleh hasil dari tanah tersebut. Sedangkan pendapat kedua menetapkan bahwa si pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena si pemilik tanah tersebut mendapatkan uang sewa. Jika diperbandingkan alasan dari kedua kelompok tersebut, maka pendapat pertama memiliki argumentasi yang lebih kuat karena hal ini diperkuat oleh firman Allah swt dalam surat al-An’am ayat 141 seperti tersebut di atas yang menyebutkan bahwa hasil tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan tanahnya. Berdasarkan kepada dalil tersebut, fuqaha telah sepakat bahwa yang dizakatkan adalah hasil tanah atau tanah yang menghasilkan keuntungan dari suatu perusahaan. Dengan demikian, tanah yang disewakan jika dilihat dari hasilnya itu adalah milik sempurna pihak si penyewa. Maka tidaklah tepat alasan yang diajukan oleh kelompok kedua yang berpendapat bahwa penyewalah yang wajib mengeluarkan zakatnya. Kedua perbedaan tersebut merupakan hasil ijtihad para ulama yang memungkinkan benar keduanya, sebagai sikap moderat, kita dapat mengkompromikan kedua pendapat di atas, penyewa dapat membayar zakatnya jika mendapatkan keuntungan dari tanah yang disewanya, dan pemiliki tanah juga dapat memberikan zakatnya jika ada kelebihan pembayaran dari uang sewanya. Karena harta pada hakikatnya adalah titipan. Siapa pun yang diberikan titipannya harus sadar darimana harta tersebut berasal dan kemana harus digunakan titipan tersebut. 8 Terkait dengan status tanah yang disewakan itu tetap milik orang yang menyewakan dan di sisi lain terdapat kewajiban untuk mengeluarkan kewajiban pajak. Jika berpegang kepada pendapat pertama seperti dijelaskan di atas maka sebenarnya dengan status tersebut terjadi pembagian kewajiban yang cukup merata karena kedua belah pihak memiliki andil, yakni si penyewa wajib membayar zakat dan di sisi lain si pemilik tanah membayar pajak tanah, maka pendapat pertama ini dipandang lebih adil dan tidak memberatkan kedua-belah pihak. Solusi lain yang juga dapat dipandang bijak dalam pemerataan pengeluaran zakat adalah pendapat yang ditawarkan oleh Abu Zahra. Menurutnya, kedua-duanya baik si pemilik tanah maupun si penyewa sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Hal ini demi memenuhi keadilan dalam pemungutan zakat, dengan ketentuan pihak penyewa mengeluarkan zakat tanaman setelah dikurangi harga sewa yang ia bayar kepada pemilik tanah. Dan si pemilik tanah mengeluarkan zakat atas dasar harga sewa yang ia terima dari si penyewa yang berarti ia mengeluarkan zakat uang, dengan demikian kedua-duanya terkena beban untuk mengeluarkan zakat. Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah jika memang kedua belah pihak sebelum transaksi telah bersepakat untuk mengeluarkan zakatnya patungan dengan tujuan agar keduanya tidak terlalu terbebani, maka zakat itu dapat dilakukan secara patungan antara kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan itu. Adapun ketentuan zakat tanah yang disewakan untuk kegiatan usaha tersebut diqiyaskan pada zakat perdagangan. Besaran nishabnya setara nishab emas dan perak senilai 85 gram emas murni, zakatnya sebesar 2,5 %. Cara menghitung zakat perdagangan yakni jumlah total harta dikurangi total biaya yang telah dikeluarkan, kemudian dikalikan dengan 2,5 %. Ketentuan di atas mensyaratkan syarat-syarat sebagai berikut: pertama, ada niat yang diikuti usaha berdagang atau mengelola tanah. Kedua, mencapai waktu satu tahun (haul) dihitung dari waktu usaha berdagang. Ketiga, mencapai nishab. Keempat, harta dagang telah menjadi hak milik sempurna, telah dibeli secara tunai. Kelima, tidak terkait hutang dengan pihak lain. 9 Ketentuan lain juga dapat diqiyaskan dengan zakat pertanian, jika tanah yang disewakan khusus untuk pertanian, maka ketentuan zakatnya adalah setiap kali panen. Adapun kewajiban zakatnya adalah 5 % atau 10 %. Dengan demikian sangat tergantung dengan tujuan penggunaan tanah sewaan, jika untuk perdagangan makan zakatnya seperti perdagangan dan jika tanah sewaannya untuk pertanian maka kewajiban zakatnya adalah pertanian. B. Zakat Profesi (Hasil Jasa) Terhadap hukum zakat profesi, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Hal ini antara lain dikarenakan dasar hukum tentang zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha tersebut masih bersifat zhan (dugaan), berikut bahasannya. 1. Pengertian dan Hukum Zakat Profesi Dalam terminologi Arab, zakat penghasilan dan profesi lebih populer disebut dengan istilah zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah ( ‫)زكاةٌكسبٌالعملٌوالمهنٌالحرة‬, atau zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas. Istilah itu digunakan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitab Fiqhuz Zakah dan juga oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Kata profesi menurut kamus besar Bahasa Indonesia mengandung arti sebidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian berupa ketrampilan dan kejuruan tertentu. Profesi secara istilah berarti suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan, keahlian, dan kepintaran. Yusuf al-Qardhawi lebih jelas mengemukakan bahwa profesi adalah pekerjaan atau usaha yang menghasilkan uang atau kekayaan baik pekerjaan atau usaha itu dilakukan sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain, maupun dengan bergantung kepada orang lain, seperti pemerintah, perusahaan swasta, maupun dengan perorangan dengan memperoleh upah, gaji, atau honorium. Berdasar pengertian profesi di atas, maka zakat profesi dapat dimaknai sebagai zakat pekerjaan yang sudah menjadi keahlian seseorang yang diperoleh melalui proses pendidikan seperti dokter, dosen, pengacara, pilot, dan guru, semua contoh 10 pekerjaan ini dapat dikatakan profesi karena keahliannya diperoleh melalui proses pendidikan yang cukup lama. Gagasan zakat profesi ini adalah Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az Zakah, yang cetakan pertamanya terbit tahun 1969. Namun tampaknya Yusuf Qardhawi dalam hal ini mendapat pengaruh dari dua ulama lainnya, yaitu Syeikh Abdul Wahhab Khallaf dan Syeikh Abu Zahrah. Dalil keumuman ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi zakat profesi yaitu QS. al-Baqarah. 267, nampaknya pekerjaan yang termasuk profesi itu bersifat umum, tidak terbatas oleh keahlian yang dipeoleh dari pendidikan tapi semua jenis pekerjaan yang baik, ayat tersebut berbunyi: ٌ ٌ‫سبتُم‬ َ ‫ت َما َك‬ َ ٌ‫َياأَيُّ َها الَّذِينٌَ َءا َمنُوا أَن ِفقُوا ِمن‬ ٌِ ‫ط ِي َبا‬ Artinya: “Nafkahkanlah dari hasil usahamu yang baik.” (QS. al-Baqarah: 267) Dilihat dari ketergantungannya, profesi bisa dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, pekerja ahli yang berdiri sendiri, tidak terikat oleh pemerintah, seperti dokter swasta, insinyur, pengacara, penjahit, tukang batu, guru, dosen, wartawan dan konsultan. Kedua, profesi yang terkait dengan pemerintah atau yayasan atau badan usaha yang menerima gaji setiap bulan. Menurut sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Muawiyah, kedua kelompok profesi di atas, baik yang wiraswasta atau pegawai yang terikat oleh suatu instansi, mereka dapat terkena kewajiban mengeluarkan zakat profesinya ketika menerima upah/gaji sebesar seperempat puluhnya. Jika rutinitas itu dilakukan maka tidak ada lagi baginya kewajiban untuk mengeluarkan zakat pada akhir tahun. Dilihat dari aspek penerimaannya, macam-macam profesi seperti tersebut di atas dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, hasil usaha yang teratur dan pasti setiap bulannya, yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini seperti upah pekerja dan gaji pegawai. Kedua, hasil yang tidak tetap dan dapat dipastikan seperti kontraktor, pengacara, roylti pengarang, konsultan, dan artis. Dengan demikian, zakat profesi meliputi semua pekerjaan yang halal dan baik, zakatnya dapat dikeluarkan sesuai dengan waktu perolehannya setelah diambil terlebih dahulu untuk kewajiban biaya terhadap keluarga dan biaya operasional. Seseorang dengan profesinya yang berpenghasilan pas-pasan bahkan kurang untuk 11 memenuhi kebutuhan hidupnya bukanlah termasuk profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya, bahkan mereka tergolong orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), seperti tukang becak. Zakat profesi merupakan zakat wajib yang harus dikeluarkan umat islam, apabila sudah memenuhi syarat untuk menjadi muzakki. Indikator pengeluaran zakat profesi merupakan penghasilan yang diperoleh telah melebihi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya. Semakin besar penghasilan, maka semakin besar juga zakat yang harus dikeluarkan. Karena itu, ulama menetapkan nishab zakat profesi paling sedikitnya adalah 85 %. Adapun syarat-syarat lain yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: pertama, harta pemilikan penuh, yakni harta profesi benar-benar milik sendiri, kedua, penghasilan sudah memenuhi kebutuhan pokok. Ketiga, telah mencapai nishab, yaitu berdasarkan fatwa MUI 85%, Abu Zahra, 930 liter atau 653 kg. sedangkan jumhur ulama yang dikutip oleh Sulaiman Rasyid adalah 93, 6 gram. Dan keempat, bebas dari hutang. Yakni bahwa muzakki benar-benar bebas dari hutang. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan bahwa penghasilan yang dimaksud ialah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain- lainnya yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai BUMN, pegawai swasta, PNS, karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. 2. Ikhtilaf Ulama tentang Zakat Profesi Berikut ini akan dijelaskan secara singkat cara mengeluarkan zakat profesi seperti dokter, pengacara, pilot, dosen, artis dan sebagainya. Semua pekerja ini dapat mengeluarkan zakat profesinya dengan cara ta’jil, yaitu mempercepat ketika mereka menerima honor atau gaji. Berapa nisab (batas minimal) dan prosentase yang harus dikeluarkan? Terjadi perbedaan pendapat para ulama terhadap penetapan nisabnya: a. Abdurrahman Hasan, Imam Abu Zahra, dan Abdul Wahab Khallaf, mereka berpendapat bahwa nisab zakat profesi sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha sekitar 930 liter atau 653 Kg. sehingga prosentase zakatnya disamakan 12 (diqiyaskan) dengan zakat pertanian yang pengairannya menggunakan alat (mesin), yaitu sebesar 5 % setiap mendapatkan gaji atau honor. b. Jumhur ulama berijtihad bahwa nisab zakat profesi adalah seharga emas 93,6 gram emas murni yang diambil dari penghasilan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya hidup. Kelebihan inilah yang dihitung selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 % setiap bulan. Prosenatase ini diqiyaskan dengan zakat mata uang yang telah ditetapkan oleh Hadits. c. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi disamakan dengan zakat rikaz (barang temuan) maka tidak ada syarat nisab dan prosentasenya 20 persen pada saat menerimanya. d. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa MUI No 3 tanggal 7 Juni tahun 2003 menyebutkan bahwa semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram dalam setahun. Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. Jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab. 3. Cara Mengeluarkan Zakat Profesi Ali adalah seorang pendidik golongan IV/a dengan masa kerja selama 20 tahun. Ia memiliki seorang istri dan tiga anak. Penghasilannya tiap bulan pada tahun 2021 sebagai berikut: a. Gaji dari Negara Rp. 4.300.000 c. Honor dari beberapa PTS Rp. 2.500.000 d. Honor dari yang lain Rp. 2.000.000 Pengeluaran setiap bulan: a. Keperluan keluarga Rp. 3.000.000 b. Angsuran kredit rumah Rp. 1.250.000 c. Dan lain-lain Rp. 1.500.000 Kalkulasi Penerimaan Rp. 8.800.000 13 Pengeluaran Rp. 5.750.000 Sisa Rp. 3.050.000 Jika sisa di atas dikalikan setahun, maka berjumlah Rp. 36.600.000. Maka perhitungan zakatnya ialah 2,5 % x 36.600.000 = Rp. 915.000. Ternyata zakatnya setahun sangat ringan, jika ia ingin mengeluarkan setiap bulan, maka 915.000 : 12 = + Rp. 76.250 zakat yang ia harus keluarkan setiap bulannya. Uraian di atas merupakan konsep zakat profesi bagi yang mendukung adanya zakat profesi. Namun, terdapat juga ulama yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada dengan alasan karena sulit menentukan jenis profesi dan nisabnya. Mereka yang menolak zakat profesi tersebut karena mereka memasukkan zakat profesi kepada zakat harta yang harus dibayar jika sudah sempurna satu tahun (haul). Terdapat dua pandangan yang berbeda tersebut dapat disikapi secara prinsip sikap moderat yakni keteladanan (qudwah), keteladanan dalam menggunakan harta yang dititipkan kepadanya untuk digunakan dengan baik sesuai hak-hak yang ada para harta tersebut. (wa fi amwalihim haqqun ma’lum lis saili wal marhum). C. Zakat Produktif Kemunculan istilah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk “kritik” terhadap penyaluran zakat kepada mustahiq yang pada umumnya bersifat konsumtif. Zakat yang diterima oleh mustahiq tersebut biasanya bersifat konvensional yaitu sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya “menghabiskan”. Namun di sisi lain terdapat mustahiq yang keberadaannya masih produktif baik dari tenaga, ilmu dan ketrampilan. Maka untuk kriteria mustahiq yang terakhir ini zakat dapat diarahkan menjadi modal usaha untuk pengembangan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahannya yang kemudian muncul bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal usaha, berikut bahasannya. 1. Gagasan Zakat Produktif Zakat merupakan ibadah maal (materi) yang memiliki fungsi strategis untuk membangun perekonomian ummat Islam. Kedukukannya sebagai salah satu rukun Islam mengharuskan ummat Islam untuk mengimani dan melaksanakannya, sesekali orang yang menganggap zakat bukan rukun Islam, maka ia dapat dianggap kafir dan 14 orang yang tidak berzakat padahal telah diwajibkan maka ia telah melakukan perbuatan dosa karena telah menolak perintah Allah dan telah mengabaikan hak para mustahiq. Oleh karena itu, penunaian zakat bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban tapi berdampak positif kepada kehidupan sosial karena keberadaannya dapat mensejahterkan kehidupan bagi orang yang tidak mampu. Ide untuk mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika fokus perhatian dilakukan secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya orang-orang yang memiliki keterbatasan kekuatan fisik namun di antara mereka terdapat banyak yang memiliki kesehatan fisik dan keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak memiliki modal, sehingga keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa dijadikan sebagai modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus mengembangkan keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan dalam zakat produktif ini adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat sebagai modal yang terus dikembangkan. 2. Hukum Zakat Produktif Hukum zakat untuk produktif adalah boleh berdasarkan maslahah mursalah kepentingan umum yang lebih maslahah. Sebab zakat untuk modal usaha produktif memiliki peluang yang cerah untuk peningkatan ekonomi mustahik jika pengelolaannya dilakukan secara baik dan profesional. Pengelolaan itu dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya mustahiq yang potensial yang jumlahnya cukup banyak. Lain halnya ketika menghadapi mustahiq zakat yang konsumtif, yaitu yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk mengembangkan zakat seperti orang jompo, anak yatim yang masih kecil, orang dewasa yang cacat atau sakit berat maka zakat untuk mereka ini hanya untuk membantu kelangsungan hidup mereka karena mereka lebih banyak bersifat pasif. Bagi mustahiq zakat yang produktif atau disebut mustahiq aktif, mereka masih berumur produktif dan memiliki badan yang sehat maka selayaknya bagi mereka zakat dapat disalurkan secara produktif yaitu dengan menjadikan zakat sebagai 15 modal usaha. Oleh karena itu diperlukan sikap pro-aktif dari mustahiq untuk mencurahkan kemampuannya dalam pengembangan modal dari zakat itu. Menurut hemat penulis, usaha pengembangan zakat menjadi modal usaha memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cukup handal, oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia) mustahiq dengan mengadakan pelatihan atau training yang dapat dilakukan oleh badan/amil seperti bazis atau pemerintah, sehingga mereka benar-benar memiliki keahlian yang mapan untuk dapat mengembangkan modal usaha yang didapat dari zakat tersebut. Selain itu di masyarakat terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang tergolong mustahiq yang tampaknya diperoleh tanpa melalui latihan khusus seperti pedagang kaki lima, sopir, pengrajin tangan, tukang kuli batu, dan lain sebagainya. Jika penyaluran zakat dilakukan dengan baik serta penggunaannya terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan mereka tidak bergantung kepada zakat. Untuk mereka, zakat hanya modal pertama saja selanjutnya mereka tidak lagi sebagai mustahiq zakat, tapi menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki). Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan zakat produktif itu dapat dibenarkan, pemberian modal kepada mustahiq zakat sebagai modal usaha berarti memberikan perhatian kepada para mustahiq untuk hidup lebih layak, hal ini merupakan ajaran Islam seperti diperkuat oleh al-Qur’an: ٌ‫سَََبُ ُه ٌُم ال َجا ِه ُل‬ ٌ ِ ‫ضَََربا فِي األَر‬ َ ‫ض يَح‬ َ ٌَ‫ال يَسَََت َ ِطيعُون‬ٌ َ ِ‫ّللا‬ ٌَّ ‫ل‬ ٌِ ‫سَََبِي‬ َ ‫صَََ ُروا فِي‬ ِ ‫اء الَّذِينٌَ أُح‬ ٌِ ‫ِللفُقَ َر‬ ٌَّ ‫ن‬ ‫ّللاَ ِب ٌِه‬ ٌَ َّ‫ال َيس َأَلُونٌَ الن‬ ٌَّ ِ ‫اس ِإل َحافا َو َما تُن ِفقُوا ِمنٌ خَيرٌ فٌَِإ‬ ٌ َ ٌ‫ف تَع ِرفُ ُهمٌ ِب ِس َي َما ُهم‬ٌِ ُّ‫أَغ ِن َيا ٌَء ِمنٌَ الت َّ َعف‬ ٌ‫ع ِليم‬ َ Artinya: “Berinfaklah untuk orang-orang faqir yang terikat oleh jihad di jalan Allah, mereka tidak mampu berusaha di bumi. Orang yang tidak tahu, menyangka mereka adalah orang yang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu melihat mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara medesak. Dan apa yang kamu nafkahkan di jalan Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 273) Arif Mufraini dalam Buku Akuntansi dan Manajemen Zakat (2006:147) telah mengemas bentuk inovasi pendistribusian zakat yang dikategorikan dalam empat bentuk: Pertama, distribusi bersifat “konsumtif tradisional,” yaitu zakat dibagikan 16 kepada mustahik untuk dimanfaatkan secara langsung, seperti zakat fitrah, atau zakat mal yang dibagikan kepada para korban bencana alam. Kedua, distribusi bersifat “konsumtif kreatif.” yaitu zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan dalam bentuk alat-alat sekolah atau beasiswa. Ketiga, distribusi bersifat “produktif tradisional,” yaitu zakat diberikan dalam bentuk barang-barang yang produktif seperti kambing, sapi, dan lain sebagainya. Pemberian dalam bentuk ini dapat menciptakan usaha yang membuka lapangan kerja bagi fakir miskin. Keempat, distribusi dalam bentuk “produktif kreatif,” yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk permodalan baik untuk menambah modal pedagang pengusaha kecil ataupun membangun proyek sosial dan proyek ekonomis. Penjelasan tersebut dapat dilihat dari bagan di bawah ini: Tabel 1.1 Inovasi Distribusi Harta Zakat No Kriteria Distribusi Uraian Zakat Produktif 1 Konsumtif Tradisional Harta zakat dibagikan kepada mustahik untuk dimanfaatkan secara langsung. 2 Konsumtif kreatif Harta zakat diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan dalam bentuk alat-alat sekolah atau beasiswa. 3 Produktif Tradisional zakat diberikan dalam bentuk barang-barang yang produktif seperti kambing, sapi, dan lain sebagainya. 4 Produktif Kreatif distribusi dalam bentuk “produktif kreatif,” yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk permodalan baik untuk menambah modal pedagang pengusaha kecil ataupun membangun proyek sosial dan proyek ekonomi. 17 Dengan demikian, zakat produktif adalah zakat yang didistribusikan kepada mustahik dengan dikelola dan dikembangkan melalui perilaku-perilaku bisnis. Indikasinya adalah harta tersebut dimanfaatkan sebagai modal yang diharapkan dapat meningkatkan taraf ekonomi mustahik. Termasuk juga dalam pengertian zakat produktif jika harta zakat dikelola dan dikembangkan oleh amil yang hasilnya disalurkan kepada mustahik secara berkala. Lebih tegasnya zakat produktif adalah zakat yang disalurkan kepada mustahik dengan cara yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan syariat dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat. Hikmah yang dapat dipetik dari praktek zakat produktif di antaranya agar terjadi komunikasi yang dapat menghilangkan menara gading antara si miskin dengan si kaya. Efek yang ditimbulkannya menjadikan si muzakki (pemberi zakat) akan merasa puas dan senang karena zakatnya bisa berkembang, di sisi lain menjadikan mustahiq tidak menjadi mental pengemis dan tersalurkan kemampuannya. Dengan demikian terjadi hubungan yang signifikan antara keberadaan zakat produktif dengan peningkatan sumber daya manusia. Dan yang terpenting lagi, dengan zakat produktif tidak terjadi sikap pembiaran terhadap fakir miskin dan telah menyelamatkan bahaya dari kefakiran yang dapat menjadikan seorang menjadi kafir, sebagaimana diperkuat oleh Hadits Nabi: ‫َكا ٌدَ الفَق ٌُر أَنٌ َي ُكونٌَ ُكفرا‬ Artinya: “Kefakiran (kemiskinan) berakibat kepada kekafiran.” Dengan demikian, zakat produktif ini memiliki hikmah syar’i yang serupa dengan hikmah zakat yaitu mensejahterakan kehidupan mustahiq. Dengan zakat produktif, mustahiq akan berubah menjadi muzakki dengan potensi yang dimilikinya, mampu memberdayakan dana zakat yang diterimanya sebagai modal usaha yang pada akhirnya, ia pun akan menjadi pengusaha yang sukses. D. Penyaluran Zakat untuk Pembangunan Mesjid Penjelasan tentang kelompok orang yang berhak menerima sudah cukup jelas diinformasikan oleh al-Qur’an. Secara tekstual istilah mesjid tidak terdapat dalam 18 kelompok yang delapan tersebut, inilah yang menimbulkan permasalahan apakah zakat dapat disalurkan untuk pembangunan dan pemugaran mesjid. Uraian berikut mencoba untuk menjelaskan hukum penyaluran kepada sesuatu yang diluar asnaf (kelompok mustahiq zakat tersebut). 1. Ketentuan Mustahiq Zakat Jumhur ulama sepakat bahwa kelompok mustahiq zakat itu terdiri delapan asnaf. Kesepakatan tersebut didasari oleh ayat al-Qur’an surat al-Taubat ayat 60 sebagai berikut: ٌَ‫َار ِمين‬ ِ ‫ب ٌَوالغ‬ ِ ‫علَي َها َوال ُم ٌَؤلَّفَ ٌِة قُلُوبُ ُهمٌ َوفِي‬ ٌِ ‫الرقَا‬ َ ٌَ‫ام ِلين‬ ِ ‫ين َوال َع‬ ٌِ ‫سا ِك‬ َ ‫اء َوال َم‬ ٌِ ‫الصَدَقَاتٌُ ِللفُقَ َر‬ َّ ‫ِإنَّ َما‬ ٌ‫ع ِليمٌ َح ِكيم‬ ٌَّ ‫ّللاِ َو‬ َ ُ‫ّللا‬ ٌَّ ٌَ‫ضةٌ ِمن‬ َ ‫ل فَ ِري‬ ٌِ ‫سبِي‬ َّ ‫ن ال‬ ٌَّ ‫ل‬ ٌِ ‫ّللاِ َواِب‬ ٌِ ‫سبِي‬ َ ‫َوفِي‬ Artinya: “Shadaqah adalah hak untuk faqir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang yang terlilit hutang, di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan (musafir). Sebagai kewajiban yang datang dari Allah dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 60) Delapan kelompok (mustahiq) zakat sebagaimana tercantum dalam ayat di atas, penjelasannya sebagai berikut. Fuqara, yaitu Orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang yang termasuk kelompok ini tidak memiliki suami (isteri), ayah, ibu, dan anak yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Masakin, yaitu Orang yang memiliki pekerjaan, tapi hasilnya tidak dapat memenuhi kebutuhannya, Amilin yaitu Yaitu orang yang bekerja memungut zakat (panitia zakat). Muallaf, pengertiannya dapat berarti orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih lemah, maka untuk menguatkannya perlu diyakinkan dengan zakat. Atau orang kafir yang berniat untuk masuk Islam, tapi masih tipis keimanannya, maka ia dapat diberi zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat. Budak, yaitu orang yang hidupnya tidak merdeka, dikuasai oleh tuannya. Orang yang terlilit hutang, yaitu oraang yang memiliki tunggakan hutang kepada orang lain baik hutang tersebut untuk kepentingan pribadinya atau hutang karena untuk biaya kebajikan. Orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu para tentara yang berperang melawan serangan orang kafir. Orang yang sedang dalam perjalanan. Yaitu orang yang sedang melakukan sebuah perjalanan dengan tujuan 19 yang baik bukan untuk kemaksiatan, seperti pelajar atau mahasiswa yang belajar di luar negeri. 2. Kebolehan Zakat untuk Pembangunan Mesjid Seperti terungkap di muka, permasalahan yang muncul adalah, apa hukum zakat untuk pembangunan mesjid? Sebab dalam surat at-Taubah ayat 60, sebagaimana dijelaskan di atas, pembangunan dan pemugaran mesjid tidak termasuk ke dalam mustahiq zakat. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan ijtihad yang dapat menentukan pintu masuk kepada kelompok mana zakat untuk pembangunan mesjid itu? Di antara ke-delapan macam mustahiq zakat seperti tersebut di atas, terdapat mustahiq yang disebut sabilillah yang secara bahasa artinya jalan Allah. Para ulama dalam memahami kata sabilillah tidak hanya terbatas pada makna hakiki yaitu para pejuang yang berperang menegakkan agama Allah tapi memahami juga dari makna majazinya yang bersifat umum. Terkait dengan makna yang terakhir ini, para ulama memiliki penafsiran yang beraneka ragam. Menurut Mahmud Syaltut, istilah sabilillah memiliki arti kemaslahatan ummat yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin seperti pembangunan mesjid, rumah sakit, perlengkapan pendidikan, dan sebagainya. Memperkuat pendapatnya, Syaltut mengutip pendapat Imam Al-Razi yang mengatakan bahwa kata sabilillah tidak terbatas pada arti tentara. Syaltut juga mengutip pendapat al-Qaffal yang berpendapat bahwa boleh menyalurkan zakat ke semua bentuk kebaikan seperti untuk mengurus mayat, membangun benteng, dan pembangunan mesjid. Tetapi Syaltut memberikan catatan bahwa zakat yang diperbolehkan untuk pembangunan mesjid dengan syarat mesjid itu hanya satu-satunya di suatu desa, atau untuk pembangunan mesjid baru karena mesjid yang tersedia tidak cukup lagi untuk menampung jamaah. Menurut Syaltut, arti sabilillah dapat disimpulkan menyangkut pemeliharaan posisi materi dan spritual suatu bangsa termasuk di dalamnya mesjid. Menurut al-Maraghi, istilah sabilillah adalah semua perkara yang berhubungan dengan kemaslahatan ummat dapat dimasukkan ke dalam sabilillah, seperti perkara yang menyangkut masalah agama dan pemerintahan, seperti masalah pelayanan haji. 20 M. Rasyid Ridha berpendapat bahwa, istilah sabilillah mencakup semua kepentingan syariah secara umum yang berkenaan dengan masalah agama dan negara dan yang terpenting, untuk persiapan kepentingan perang dengan membeli persenjataan. Menurut Yusuf Qardhawi, istilah sabilillah memiliki arti yang lentur, yaitu semua sarana yang dapat dipergunakan untuk memperjuangkan kemajuan ummat Islam dan melawan semua bentuk serangan orang-orang kafir, semuanya termasuk sabilillah. Lebih rinci, beliau menyebutkan usaha pembebasan Islam dari kekuasaan dengan memerangi kaum kafir, sarana pendidikan dan pengajaran serta lembaga da’wah, surat kabar islami, penerbitan buku-buku islami dan para da’i, semua yang disebutkan di atas dapat dimasukkan ke dalam cakupan makna sabilillah. Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa istilah sabilillah adalah semua jalan yang dapat menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu atau amal. Mencermati pendapat-pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian sabilillah secara umum (mazaj) dapat mencakup semua jalan kebaikan yang manfaatnya kembali kepada ummat Islam termasuk di dalamya adalah masjid, penyebutan sarana ibadah yang disebutkan terakhir ini secara jelas disebut oleh Mahmud Syaltut pada point pertama. Pengertian mazaj semacam ini dalam hukum Islam dapat ditolelir selama tidak bertentangan dengan kaidah agama. Keberadaan mesjid dalam masyarakat memiliki peranan strategis, fungsinya bukan hanya sebagai tempat sholat, tapi dapat dijadikan pusat pendidikan, da’wah, serta sosial kemasyarakatan dalam rangka menegakkan agama Allah swt. Dengan demikian, zakat boleh disalurkan untuk pembangunan mesjid karena mesjid termasuk sabilillah yang mengandung manfaat bagi umat Islam. Selanjutnya menurut penulis, skala prioritas harus diutamakan. Terlebih sekarang ini, keberadaan mesjid di masyarakat begitu banyak dan pesat, sehingga jarak mesjid sangat berdekatan dan relatif jamaahnya di beberapa mesjid ditemukan sangat sedikit. Mengingat hal itu, penulis sejalan dengan Mahmud Syaltut yang berpendapat bahwa penyaluran zakat untuk mesjid itu harus diutamakan untuk mesjid baru yang dibangun karena mesjid yang berdekatan sudah tidak mampu lagi 21 untuk menampung jamaah atau untuk agenda perluasan mesjid karena daya tampungnya tidak lagi mencukupi untuk menampung jamaah. Pandangan ini menunjukan sikap moderat untuk seimbang dalam penyaluran zakat kepada semua mustahiq. Tidak semua diperuntukkan untuk pembangunan masjid. Bolehnya harta zakat untuk pembangunan masjid didukung oleh fatwa MUI Nomor 001 Tahun 2015 tentang pendayagunaan dana zakat, infaq, shadaqah dan wakaf untuk pengadaan sarana yang bermanfaat dan mendesak untuk kemasalahatan masyarakat seperti sarana air bersih dan sanitasi. Fatwa tersebut merupakan produk hukum baru terkait pendistribusian dana zakat. Hal ini berlandaskan pengambilan maslahah demi kepentingan umat dan menghindari kemudharatan yang telah terjadi di berbagai daerah. Tujuan utama kehadiran hukum syari’ agar dijadikan pedoman utama dalam kehidupannya tidak lain agar manusia meraih kebaikan (mashlahah), atau dengan kata lain untuk mewujudkan kemashlahahatan umat. Refleksi Refleksi Ada Sebagian orang yang mencari kekayaan dan melalaikan kewajiban kepada Tuhannya, harta dikumpul-kumpulkan, ditumpuk-tumpuk dan dihitung-hitung, dikumpulkan dengan berbagai asset yang dimilikinya, tetapi ia lupa, bahwa harta adalah titipan dan harus digunakan sesuai kehendak pemilikinya. Dia juga lupa dengan kehidupan orang-orang di sekitarnya, yang membutuhkan bantuannya. Orang-orang yang menumpukkan harta ini tidak peduli dengan saudaranya yang kesusahan, orang-orang seperti ini jelas menunjukkan tidak moderat, yakni tidak mencerminkan nilai-nilai moderat seperti nilai keteladanan (qudwah) dan cinta tanah air (muwathanah). Nilai qudwah adalah nilai keteladanan yang harus dimiliki oleh jiwa seorang moderat, seorang yang memiliki harta yang qudwah, ia tahu bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap hartanya, ia tahu bahwa harta suatu saat akan binasa, hilang dan lenyap darinya, ia akan sering berbagi untuk kepentingan orang-orang yang membutuhkan, ia akan gunakan untuk suatu yang produktif dan hasilnya dirasakan oleh masyarakat umum, ia juga tahu hak-hak pada hartanya, ia terus berusaha dan bersyukur terhadap harta yang diperolehnya dengan cara banyak berbagi, berinvestasi untuk akhirat, memberikan modal untuk orang-orang yang membutuhkan, memberikan pinjaman tanpa bunga. Ia lakukan semua itu, karena keyakinan yang tinggi bahwa pada hartanya ada hak-hak mereka. 22 Nilai muwathanah adalah nilai cinta tanah air, cinta tanah air menjadi indikator dari sikap moderasi beragama, cinta tanah air pada materi zakat adalah bahwa harta yang dimilikinya tidak pernah ia lupakan untuk membangun kemaslahatan umum, kemaslahatan bangsa dan negaranya, ia tidak melupakan kewajibannya sebagai warga negara untuk membayar pajak atau melalaikan pajak, sebab ia yakin, dana pajak yang dibayarnya untuk membangun negeri dan bangsanya. Selain itu, sebagai warga negara yang baik, ia juga tidak melalaikan uang iuran yang diwajibkan oleh ketua RT atau RW setempat, atau iuran-iuran lain yang diwajibkan di masyarakatnya bahkan ia menjadi donator setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat sekitar. Selanjutnya, temukan nilai-nilai moderasi dari materi zakat ini, seperti nilai keseimbangan (tawassuth), alla ‘unf (anti kekerasan) dan nilai keadilan (i’tidal). Lakukan Analisa Saudara terhadap tiga nilai moderasi tersebut. ContohSoal Contoh Soal Zakat profesi merupakan zakat yang diwajibkan kepada umat islam. Sebab Islam mengajarkan kepada umat manusia akan kesadaran bahwa harta ini hanya titipan dan karunia dari Allah swt. Berikut ini pernyataan yang mendukung kewajiban zakat profesi adalah… 1. Zaman dahulu profesi hanya terbatas pada profesi perdagangan, pertanian, emas dan perak, sehingga kewajiban harta terbatas pada profesi-profesi tersebut, sedangkan zaman modern hari ini, pertanian sudah banyak ditinggalkan, orang lebih banyak berprofesi sebagai pegawai dengan keahlian masing-masing. Ada yang insinyur, dokter, guru dan lain sebaigainya. Mereka pun mendapatkan rizqi dari profesi yang dilakukannya, maka mereka pun tetap punya kewajiban terhadap harta tersebut. 2. Pertanian, perdagangan, emas, perak merupakan profesi yang bernilai tinggi, sedangkan profesi yang berkembang hari ini, hanya profesi yang bernilai rendah, bahkan penghasilan profesinya banyak penipuan yang dilakukannya, sehingga tidak ada kewajiban untuk membayarkan zakatnya. 3. Zakat itu untuk membersihkan jiwa dan harta, darimana pun harta yang kita hasilkan hakikatnya adalah dari Allah swt, maka untuk bisa membersihkan 23 jiwa dan harta ini, maka cara yang diajarkan oleh agama adalah mengeluarkan zakatnya. 4. Harta yang dikeluarkan untuk zakat haruslah yang bersih dan halal, sebab ia akan menjadi pembersih, jika kotor yang digunakannya maka akan menjadi kotor badan dan hartanya. Profesi di dunia modern ini banyak kotornya, dia banyak menipu orang, banyak kezaliman kepada orang jadi tidak perlu ada kewajiban zakat profesi. 5. Manusia tidak pernah luput dari dosa dan kotoran. Harta sudah dipastikan mengandung kotoran, karena ribuan tangan berkali-kali menyentuhnya, karena itu perlu pembersihan terhadap harta. Harta yang diperoleh dari apapun itu, tetap punya kewajiban dikeluarkan zakatnya apalagi niatnya untuk membersihkan jiwa dan harta tersebut. Diantara pernyataan yang mendukung kewajiban zakat profesi adalah… A. 1, 2 dan 3 D. 1, 3 dan 5 B. 2, 3 dan 4 E. 2, 4 dan 5 C. 3, 4 dan 5 Tindak Lanjut Belajar Tindak Lanjut Belajar 1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video pada LMS Program PPG. Baca artikel kemudian lakukan analisis berdasarka isi artikel! 2. Kaitkan isi artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses pembelajarannya di sekolah/madrasah! 3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program PPG. Glosarium Glosarium Zakat al-Musta’jarah : Zakat tanah yang disewakan 24 Al-ajru : upah sewa Zakat al-kasbi : zakat usaha atau profesi. Zakat produkti : Dana zakat untuk hal-hal yang produktif. al-qabdhu : Serah Terima haul : masa satu tahun kepemilikan harta Nishab : Ukuran minimal harta yang dimiliki. Mustahiq : golongan yang berhak menerima zakat. Muzakki : orang yang mengeluarkan zakat. Ibnu sabil : orang yang sedang dalam perjalanan ketaatan. Fi sabilillah : orang yang sedang berjihad di medan perang. Daftar Pustaka Daftar Pustaka Gus Arifin, Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, infak, Sedekah, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011 Hadi, Muhammad. Problematika Zakat Profesi & Solusinya: Sebuah Tinjauan Sosioligi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, cet. Ke-7, 2011, Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: Rosda. 2013. Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, cet. I, 2012. Kurnia et al, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: Qultum Media, 2008. Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011 Wahab Al Juhairi. Zakat Kajian Berbagai Madzhab. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 1995. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu. Jilid 7. Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattanie, Jakarta: Gemaa Insani. 2007. Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Terj: Salman Harun et al, Cet 7, Jakarta:PT. Pustaka Lentera Antar Nusa, 1999. 25 26

Use Quizgecko on...
Browser
Browser