Mengenal Keragaman Agama Buddha PDF

Summary

Artikel ini membahas ajaran agama Buddha, menekankan pentingnya menghargai keragaman agama, serta nilai-nilai humanisme. Artikel juga membahas perkembangan ajaran Buddha di berbagai belahan dunia, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia.

Full Transcript

A. Menghargai Keragaman Agama Buddha Pada dasarnya, agama lahir sebagai fenomena sosial yang menyangkut persoalan kemanusiaan. Sebelum manusia mengenal agama, manusia meyakini adanya alam dan fenomena. Dorongan keyakinan tersebut karena adanya kekuatan yang dianggap paling tinggi daripada kekuat...

A. Menghargai Keragaman Agama Buddha Pada dasarnya, agama lahir sebagai fenomena sosial yang menyangkut persoalan kemanusiaan. Sebelum manusia mengenal agama, manusia meyakini adanya alam dan fenomena. Dorongan keyakinan tersebut karena adanya kekuatan yang dianggap paling tinggi daripada kekuatan yang ada pada diri manusia. Dalam perkembangannya, manusia menghormati kekuatan gaib pada benda-benda tertentu (dinamisme) dan menghormati roh atau jiwa yang terdapat pada benda-benda (animisme). Perubahan kepercayaan animisme menjadi agama membuat banyak bermunculan agama-agama yang menawarkan ajaran yang berbeda. Pada intinya, agama-agama tersebut mengajarkan keselamatan serta kebahagiaan duniawi dan surgawi. Agama Buddha sebagai agama yang berdasarkan kebenaran ditemukan oleh petapa Gotama setelah mencapai pencerahan. Buddha mengajarkan ajaran kepada para siswa agar terbebas dari penderitaan (dukkha) selama 45 tahun. Buddha tidak menunjuk seorang penerus pun untuk menggantikan-Nya. Ia berkata bahwa pemahaman dan penegakan Dharma sebagai guru sudah cukup untuk menolong seseorang dalam menjalankan kehidupan suci (Dhammananda, 2005:217). Sebagaimana halnya dengan agama-agama lain, pada agama Buddha pun, timbul beberapa aliran di kalangan para pengikutnya. Setelah Buddha Mahaparinibbana, terjadi perpecahan menjadi beberapa aliran/sekte di kalangan pengikut-Nya. Aliran dalam agama Buddha berkembang karena ajaran Buddha yang menyebar ke berbagai negara mengalami akulturasi atau bercampur dengan budaya setempat. Dari segi esensi ajaran, berbagai sekte dengan kemasan budaya yang beragam dapat dipandang bersifat partikular. Dharma hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa kebebasan (Udana. 56, Khuddhaka Nikāya, Sutta Pitaka). Semua tradisi Buddhis mengajarkan dan menjalankan ajaran Buddha sehingga tidak ada tradisi yang lebih baik dan buruk. Semua sama, melaksanakan ajaran kebenaran (Dharma) sehingga antar aliran harus saling toleransi dan menghargai perbedaan. Sedangkan perkembangan tradisi ajaran Buddha setelah Buddha Maha Parinibbana, muncullah 2 golongan atau kelompok besar, yaitu Sthaviravada dan Mahasanghika. Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan penyajian yang berbeda karena manusia mempunyai kemampuan, kebiasaan, dan minat yang berbeda-beda. Dharma telah ditunjukkan dalam penyajian yang berbeda. Setelah Dharma ditunjukkan dalam penyajian yang berbeda diharapkan para siswa mau mengakui, menyetujui, dan menerima apa yang telah dinyatakan dengan baik bahwa mereka akan berdiam dalam kerukunan sebagai kawan dan tidak berselisih, bagai susu dan air, memandang satu sama lain dengan tatapan ramah (Bahuvedaniya Sutta, Majjhimma Nikāya, Sutta Pitaka). Buddha tidak pernah mengharapkan semua cocok dengan satu bentuk sehingga ajaran-Nya pun disajikan atau diajarkan dalam banyak cara dan beragam teknik melatih diri. Buddha mengajarkan ajaran kepada para siswa yang berbeda, pada tempat, dan pokok ajaran berbeda serta penyajian yang berbeda. Dengan demikian, tiap orang dapat menemukan sesuatu, yang sesuai dengan tingkat kesadaran dan kepribadiannya. Perbedaan aliran atau pandangan yang ditemui di dalam kehidupan seharihari akan mengajarkan sikap saling menghargai dan menerima perbedaan itu. Akibatnya, perbedaan yang ditemui tidak menimbulkan konflik beragama. Perbedaan aliran yang ditemui di lingkungan sekitar tidak dijadikan alasan untuk memusuhi orang lain. Akan tetapi, mampu hidup berdampingan di antara perbedaan yang ada tersebut dengan menerapkan sikap saling menghargai dan menghormati kepercayaan yang dianut orang lain. Nilai-nilai humanisme dijadikan sebagai alat bantu untuk mencapai harmoni bersama aliran-aliran. Prinsip-prinsip harmoni bersama aliran-aliran agar umat manusia dapat mencapai level perdamaian dan harmoni di antara hubungan sesama manusia. Adapun prinsip-prinsip humanis yang meliputi, saling menghargai hak-hak dan kewajiban setiap individu, menghilangkan religious egoism, tetap menghargai semua manusia. B. Menghargai Keragaman Agama Buddha di Dunia Ajaran Buddha memiliki suatu keunikan yang bersifat universal di mana mampu senantiasa berkembang sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan setempat. Sehingga kini terdapat berbagai sekte dan aliran yang terkadang kelihatannya sangat berbeda, namun pada intinya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai pembebasan (nibbana). Ajaran Buddha yang dikenal sebagai ajaran berdasarkan cinta kasih dan kasih sayang, telah tersebar di seluruh Asia, Amerika, dan Eropa. 1. Keragaman Agama Buddha Dunia Ajaran Buddha saat ini telah berkembang ke seluruh pelosok dunia, menjadi pegangan bagi manusia dari berbagai negara, ras, etnis, di antara kalangan umat beragama. Abad ke-21 menjadi saksi berbagai perubahan cepat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ditandai dengan kreativitas pikiran manusia modern. Hal inilah yang tampaknya sedikit banyak memberikan peluang Buddhis berkembang, karena ajaran Buddha sangat menitikberatkan pada masalah pikiran. Selain itu, kompleksitas yang lahir sebagai produk manusia sendiri, tanpa disadari telah semakin menjauhkan manusia dari hakikat diri yang sesungguhnya. Penderitaan semakin dapat dirasakan oleh setiap manusia dalam kehidupan, ajaran ajaran Buddha memberikan solusi yang dapat langsung dirasakan. Perkembangan agama Buddha di negara-negara Eropa, Amerika, Australia, Afrika hingga Timur Tengah beberapa tahun belakangan ini menunjukkan perkembangan dengan semakin dipahaminya ajaran Buddha secara benar, dan penerapannya. Meditasi telah menjadi kebutuhan atau cara untuk mengatasi masalah dalam kehidupannya, bahkan menjadi tren karena telah merasakan sendiri manfaat meditasi, praktik meditasi sudah mulai dilakukan di sekolah-sekolah di negara-negara barat sebagian telah menjadikan meditasi sebagai salah satu praktik sebelum mulai aktivitas atau kerja. Pusat-pusat Buddhis juga terus berkembang, sebagian oleh imigran dari negara-negara Buddhis tradisional seperti Tibet, Thailand, Taiwan, Sri Lanka, dan lain-lain. Hal yang menyebabkan masyarakat Barat tertarik ajaran Buddha yaitu sebagai berikut. a. Ada kesesuaian filsafat Buddha dengan cara pemikiran Barat. Ajaran agama Buddha berdasarkan filosofi yang mudah dimengerti untuk dunia Barat karena berpikir kritis, berpandangan, bertanya secara bebas, dan berdiskusi secara terbuka sesuai dengan status personal. b. Meditasi adalah inti, sentral dasar agama Buddha, jalan untuk menuju pencerahan utama (enlightenment). Manfaat meditasi sudah mulai dirasakan umat di Eropa dan di seluruh dunia sudah diakui. Praktik meditasi cara Buddha dijalankan di banyak negara sehingga secara langsung atau tidak langsung ajaran Buddha masuk ke insan masyarakat Barat. c. Buddha menjauhi segala bentuk kekerasan. Buddha tidak membenarkan segala bentuk kekerasan seperti menyiksa, membunuh, menyakiti seluruh makhluk hidup. Pembunuhan yang berbentuk apapun tidak dibenarkan, peperangan yang mempergunakan nama agama dalam agama Buddha tidak ada. Dasar pandangan ini yang masuk ke hati masyarakat Barat karena masyarakat di Eropa tidak suka dengan segala bentuk kekerasan. d. Diri sendiri yang menentukan kebahagiaan dan penderitaan kelihatannya sesuai dengan pemikiran masyarakat di dunia Barat zaman sekarang ini. Segala perbuatan manusia akan ada akibatnya. Manusia sendiri yang akan menentukan segala kebahagian dan penderitaan (sukkha dukkha) yaitu tergantung dengan perbuatannya (sebab dan akibat hukum karma). 2. Sebaran Buddhisme di beberapa Negara Ajaran Buddha telah tersebar ke beberapa negara. Berikut ini kita akan melihat perkembagan ajaran Buddha di Vietnam, Thailand, dan Cina. a. Vietnam Dalam kajian agama Buddha, Buddhisme di Vietnam mendapatkan sedikit perhatian dari dunia akademisi di Eropa-Amerika. Sebagian karena prasangka akademis yang mendukung ajaran Buddhisme yang mengacu pada naskah daripada yang bersumber dari ritual ajaran agama Buddha sehari-hari. Budaya berdasarkan naskah agama Buddha di Vietnam belum berkembang pada tingkatan yang sama dengan agama Buddha di beberapa tempat lain. Sehubungan dengan sub-bahasan tertentu dalam Buddhisme dan peranannya dalam sejarah Vietnam, Woodside (1976), Mc. Hale (2004), dan DeVido (2007, 2009) telah menjelaskan mengenai kebangkitan agama Buddha pada abad ke- 20 di Vietnam. Kebangkitan ini berusaha untuk memperkuat dan mengubah Buddhisme di Vietnam dan membawanya kembali ke zaman keemasan ketika Buddhisme berada dalam kejayaan. Perwujudan masyarakat Vietnam ini adalah berusaha membangun identitas nasional yang lebih kuat dengan melibatkan pendukung perubahan Buddhisme yang kuat dan modern. Pergerakan Buddhisme modern kebangkitan ini berusaha untuk memperbaiki dan menghilangkan ritual yang tidak terdapat dalam kitab agama Buddha seperti pemujaan, pembakaran uang-uangan, dan praktik tahayul. Naskah-naskah agama Buddha yang baru dan lama diterjemahkan dan dianggap dapat memberikan keselamatan sehingga para penganutnya dianjurkan untuk membaca, belajar dan memahami naskah-naskah tesebut daripada menghafalkan tanpa mengetahui isinya. Pendukung kebangkitan Vietnam menitikberatkan pada keterlibatannya dalam masyarakat, seperti mendirikan sekolah, klinik, organisasi dan kegiatan sosial. Pergerakan kebangkitan ini menghasilkan Buddhisme yang modern dan aktif kegiatan sosial kemanusiaan disebut oleh Thích Nhat Hanh sebagai “engaged Buddhism” (kepedulian buddhism). b. Thailand Agama Buddha di Thailand sebagian besar berasal dari aliran Theravada, yang diikuti oleh 95 persen populasi. Thailand memiliki populasi Buddha terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan Jepang. Agama Buddha di Thailand juga telah terintegrasi dengan agama rakyat serta agama-agama Tionghoa dari populasi Tionghoa Thai yang besar. Vihara-vihara Buddha di Thailand dicirikan dengan stupa emas yang tinggi, dan arsitektur Buddha di Thailand serupa dengan yang ada di negara-negara Asia Tenggara lainnya, terutama Kamboja dan Laos, dengan Thailand berbagi warisan budaya dan sejarah. Sejarah perkembangan agama Buddha di Thailand sejak 250 SM, pada masa Kaisar India Ashoka. Sejak itu, agama Buddha telah memainkan peran penting dalam budaya dan masyarakat Thailand. Agama Buddha dan monarki Thailand sering kali terjalin, dengan raja-raja Thailand yang secara historis dipandang sebagai pelindung utama agama Buddha. Meskipun politik dan agama pada umumnya terpisah untuk sebagian besar sejarah Thailand, hubungan agama Buddha dengan negara Thailand akan meningkat di pertengahan abad ke-19 setelah reformasi Raja Mongkut, yang akan mengarah pada perkembangan sekte-sekte agama Buddha yang didukung oleh kerajaan. Tiga kekuatan utama telah mempengaruhi perkembangan agama Buddha di Thailand. Pertama pengaruh yang paling terlihat adalah aliran Buddhisme Theravada, yang didatangkan dari Srilanka. Pengaruh besar kedua pada Buddhisme Thailand adalah kepercayaan Hindu yang diterima dari Kamboja, khususnya selama Kerajaan Sukhothai. Hinduisme memainkan peran yang kuat dalam institusi kerajaan Thailand awal, seperti yang terjadi di Kamboja, dan memberikan pengaruh dalam penciptaan hukum dan ketertiban bagi masyarakat Thailand serta agama Thailand. Sedangkan pengaruh ketiga yang lebih kecil dapat diamati yang berasal dari kontak dengan aliran Mahayana. c. Cina Agama Buddha berkembang ke Cina sekitar abad kedua sebelum Masehi melalui Asia Tengah serta mulai berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). Sejak Dinasti Han (25-220M) pengaruh agama Buddha mulai menjadi perhatian dan persoalan. Kira-kira pada masa itulah Mo Tzu menyusun bukunya Li-huo-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai apologia (pembelaan) agama Buddha. Perkembangan agama Buddha di Cina disebabkan oleh banyak tokoh pergi ke India atau Sri Lanka untuk belajar melalui kitab-kitab dan filsafat agama Buddha di India atau Sri Lanka. Di India maupun Sri Lanka para pelajar tersebut belajar dengan guru yang berbeda-beda. Sehingga pelajaran tentang agama Buddha yang didapat juga berbeda-beda. Setelah kembali ke negaranya, pengetahuan yang telah didapatkan itu kemudian diajarkan kepada masyarakat sehingga ajaran agama Buddha menyebar. Para terpelajar mempunyai banyak pengikut dan mendirikan aliran tersendiri yang sendiri sesuai dengan ajarannya masing-masing. Di samping mengajarkan tentang agama Buddha para pelajar juga menerjemahkan kitab Agama Buddha ke dalam bahasa Cina. Ketika agama Buddha masuk ke Cina, pada dasarnya tidak mau menerima karena masyarakat berangapan bahwa agama Buddha merupakan agama mistik. Karena pada saat itu di Cina terdapat aliran Konghucu dan Tao sehingga masyarakat belum dapat menerima kedatangan agama Buddha. Masyarakat di Cina menerima agama Buddha dan memandang serta menerima Buddha Sakyamuni sesuai dengan pandangan Mahayana, di mana Buddha Sakyamuni diterima sebagai perwujudan Dharmakaya. Masyarakat di Cina juga memberikan perhatian kepada para Bodhisattva yang menyempurnakan kebajikan (paramita) dan bertekad menolong manusia. (Tim Penyusun, 2003:73) C. Sikap-Sikap dalam Keberagaman Agama Buddha Sikap keberagaman memiliki peran penting dalam pembentukan perilaku keberagaman. Sikap keberagaman yang baik akan berdampak positif pada perilaku keberagaman yang baik. Sikap keberagaman yang kurang baik akan menimbukan perilaku keberagaman yang kurang baik. Untuk membentuk perilaku keberagaman individu harus dimulai dari pembentukan sikap keberagamaan. Sikap keberagaman adalah kondisi internal yang masih ada dalam diri manusia. Keadaan internal menyebabkan munculnya kesiapan untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya. Sikap keberagaman terbentuk karena adanya integrasi secara kompleks antara keyakinan yang kuat pada ajaran agama, perasaan senang pada agama dan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Sikap keberagamaan dapat mendorong untuk bergerak dan berusaha untuk mencapai suatu tujuan. Sikap keberagaman berupa pengetahuan yang diikuti dengan kesediaan dan kecenderungan untuk berprilaku sesuai pengetahuannya. Dalam konteks kemajemukan agama dan keyakinan kerukunan umat beragama perlu dijaga dan dipelihara dalam bingkai kehidupan bernegara. Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan dunia. Kemajemukan yang dimiliki bangsa merupakan pendorong lahirnya saling pengertian, toleransi, kerjasama dalam bermasyarakat dan bernegara. Kondisi tersebut mendorong dinamika saling berinteraksi, dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agama-agama mempunyai pandangan yang sama mengenai dunia yang harmonis yang akan terwujud dengan sikap toleransi. Pada hakikat toleransi pada intinya usaha kebaikan, khususnya pada kemajemukan agama yang memiliki tujuan luhur tercapainya kerukunan intern agama maupun antar agama. Bersikap toleran adalah salah satu jalan yang harus ditempuh oleh umat beragama dalam usahanya untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama. Menjadi toleran dalam beragama adalah dengan membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri sendiri, menghargai orang lain, menghargai asal usul dan latar belakang keyakinan yang berbeda-beda. Dalam menjalani kehidupan internal ada beberapa sikap yang seharusnya kita kembangkan yaitu inklusivisme, pluralisme, dan universalisme. Dengan sikap ini maka kerukunan, toleransi dan saling menghormati serta saling menghargai bisa terwujud. Inklusivisme maksudnya menerima kebenaran tradisi sendiri tanpa menyangkal kebenaran yang beraneka ragam. Seseorang menjalankan agamanya sendiri tanpa mencela yang lain dan tidak menganggap ajaran yang dianutnya lebih mulia dibanding yang lain. Sikap ini membuat seseorang tidak hanya berdamai pada dirinya sendiri tetapi juga dengan yang lain. Inklusivisme merupakan paham yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada kelompok sendiri, melainkan juga ada pada kelompok lain. Dalam inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain yang mana selalu ada dimensi kesamaan substansi nilai. Harus dipahami bahwa kebenaran dan keselamatan tidak lagi dimonopoli agama atau aliran tertentu. Pluralisme merupakan sikap mengakui dan menerima adanya perbedaan dan tidak mempertentangkannya perbedaan tersebut. Sikap pluralisme membangun rasa persatuan, kerja sama dan pengertian antar tradisi yang majemuk. Dengan sikap pluralisme maka toleransi, kerukunan dan saling menghargai diantara tradisi Buddhis akan terwujud. Sedangkan universalisme adalah paham yang meliputi segala-galanya. Universalisme sebagai suatu cara pandang bahwa kebenaran itu bersifat umum, berlaku untuk siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Dengan menganut universalisme memandang bahwa setiap individu seharusnya berupaya mencapai tujuan mencapai keabadian atau pembebasan bersama. Akibat jika tidak mempunyai wawasan inklusivisme, pluralisme, dan universalisme antara lain sebagai berikut. 1. Sering terjadi konflik atau perpecahan. 2. Mengembangkan sikap fanatik. 3. Menebarkan kebencian. 4. Membawa pada kemerosotan batin. 5. Menimbulkan kesombongan bahwa “aliranku yang paling baik”. 6. Mengikis sikap toleransi. Upaya membangun kerukunan antaraliran dalam agama Buddha dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme. Mekanisme internal dilakukan dengan tiga cara. 1. Melakukan interpretasi terhadap teks kitab suci dalam semangat perdamaian, mengedepankan hal asasi manusia, toleransi, rekonsiliasi, kebebasan beragama, dan menghormati orang yang berbeda agama dan keyakinan. 2. Melakukan dialog internal, mengingat bahwa setiap agama memiliki berbagai denominasi dan aliran. Dialog internal bukan untuk menyamakan melainkan untuk memahami, menerima dan menghormati terhadap perbedaan. 3. Optimalisasi peran para pemimpin agama agar dapat mengembangkan kepemimpinan yang positif untuk mengimbangi kepemimpinan yang negatif. Kerukunan umat beragama merupakan kondisi dimana antar umat beragama dapat saling menerima, saling menghormati keyakinan masing-masing, saling tolong menolong, dan bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Nilai-nilai luhur saling menghormati, berbagi, saling menolong perlu kita kembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengembangan nilai-nilai luhur dapat dilakukan secara bertahap. Bertekad untuk mengembangkan: 1. cinta kasih dalam pikiran; 2. cinta kasih dalam ucapan; 3. cinta kasih dalam perbuatan jasmani; 4. perilaku baik; 5. kemurahan hati; dan 6. kebijaksanaan. (Kosambiya Sutta, Majjhima Nikāya, Sutta Pitaka). 1. Keteladanan Bhikkhu Bodhi Bhikkhu Bodhi merupakan seorang bhikkhu dari New York, Amerika lahir pada tahun 1944. Ia memperoleh gelar BA dalam bidang filsafat dari Brooklyn College dan gelar Ph.D dalam bidang filsafat dari Claremont Graduate School. Setelah menyelesaikan studi universitasnya dia pergi ke Sri Lanka, di mana dia menerima pentahbisan pemula pada tahun 1972 dan pentahbisan penuh pada tahun 1973, keduanya di bawah biksu terkemuka Sri Lanka, YM. Balangoda Ananda Maitreya (1896-1998). Beliau sebagai editor untuk Buddhist Publication Society di Kandy, di mana dia tinggal selama sepuluh tahun dengan biksu senior Jerman, YM. Nyanaponika Thera (1901-1994). Bhikkhu Bodhi memiliki banyak publikasi penting, baik sebagai penulis, penerjemah, atau editor. Bhikkhu Bodhi juga seorang penulis dari beberapa karya penting mengenai Ajaran Buddha dan juga selama beberapa waktu memegang tanggung jawab sebagai ketua, peninjau, pengamat (editor) dari Buddhist Publication Society (BPS), yang telah banyak sekali menerbitkan baik berupa buklet ataupun bukubuku mengenai Buddhisme dengan berbagai topik dari berbagai pengarang yang telah memiliki pengalaman Dharma, menyampaiakan dhamma 18 dan dipelajari sejak 2546 tahun yang lalu hingga sekarang. Bhikkhu Bodhi mendirikan Buddhist Global Relief, sebuah organisasi nirlaba yang mendukung penanggulangan kelaparan, pertanian berkelanjutan, dan pendidikan di negara-negara yang menderita kemiskinan kronis dan kekurangan gizi. Yang Mulia Bhikkhu Bodhi menyerukan solidaritas, cinta, kasih sayang, dan keadilan sebagai penangkal krisis jaman yang ditimbulkan oleh keserakahan. Beliau menunjuk pada masalah sosial, lingkungan, dan ekonomi saat ini yang didorong oleh pencarian untuk memperluas keuntungan, untuk keuntungan yang lebih tinggi bagi pemegang saham, untuk pengembalian yang lebih tinggi atas investasi keuangan, untuk peningkatan akumulasi modal, yang akan dicapai dengan menekan upah dan tunjangan bagi pekerja, dengan kerja kontrak tidak tetap. Nasihat Bhikkhu Bodhi “Kebahagiaan sejati tidak datang dari memaksimalkan kepentingan pribadi seseorang tetapi, kebahagiaan bergantung pada hubungan manusia yang bermakna, memuaskan, dan persahabatan, kerja sama dengan orang lain dalam meningkatkan kebaikan”. Beliau juga bergerak dalam bidang kemanusian seperti mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi, dan mempromosikan pendidikan serta memerangi kemiskinan. 2. Keteladanan Master Cheng Yen Master Cheng Yen terlahir dengan nama Wang Jinyun pada tahun 1937 di desa Chingshui, Kabupaten Taichung, Taiwan. Pamannya tidak memiliki anak, sehingga Wang Jinyun diberikan untuk dibesarkan oleh paman dan bibinya. Dia mengalami langsung penderitaan selama Perang Dunia II karena dia dibesarkan di Taiwan yang dikuasai oleh Jepang. Pengalaman inilah yang mengajarkan dia mengenai konsep ketidak-kekalan di dunia. Beliau benar-benar sosok teladan dalam menebarkan cinta kasih, sebuah cinta dan kasih universal kepada semua umat dan makhluk tanpa memandang perbedaan apa pun itu, ketulusan, kepercayaan dan kebijaksanaannya telah membuat sebuah dunia yang indah, dunia yang memang seharusnya seperti ini, dunia yang satu keluarga. Dari perjuangan dan tekad besar serta keteguhannya menghadapi dan melewati berbagai rintangan berat membuat Master Cheng Yen mampu mendirikan Tzu Chi hingga saat ini. Perjuangan yang dilandasi cinta kasih universal dan semangat pantang menyerahnya Master Cheng Yen pantas diteladani. Waktu terus berjalan, kegigihannya pun terbukti menjadi hal yang indah, bersama dengan ibu-ibu rumah tangga setiap hari menabung sebesar 5 sen untuk menolong orang yang kesusahan. Pada suatu saat master mengunjungi sebuah Rumah Sakit dan melihat bekas darah, ia lekas bertanya kepada suster noda darah apakah itu, dan suster pun mengatakan itu adalah bekas darah seorang ibu (berasal dari tempat/daerah yang jauh) yang ingin melahirkan namun tak punya biaya sehingga ia tidak jadi melahirkan dan pergi. Master pun tertegun dan sedih bagaimana nasibnya setelah itu, apakah ia baik-baik saja, mengapa hanya karena uang ia tak bisa melahirkan di sana. Master bertekad untuk membangun sebuah rumah sakit besar dengan fasilitas yang lengkap. Pembangunan rumah sakit ini bukan hal yang mudah, walaupun banyak kerikil dan batu besar yang menghambat, mereka tetap tidak menyerah dan terus berusaha agar rumah sakit ini dapat berdiri.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser