Pola Pemidanaan Hukum Pidana Indonesia PDF
Document Details
Uploaded by MatchlessSpinel9130
Universitas Islam Riau
Tags
Summary
This document discusses the concept of sentencing patterns in Indonesian criminal law. It explains the guidelines and principles used by lawmakers in creating laws with penalties and their importance in the Indonesian legal system. It also delves deeper into the theoretical underpinnings of punative policies and the implications it has on the Indonesian populace.
Full Transcript
Pola Pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia merujuk pada pedoman atau acuan yang digunakan oleh pembuat undang-undang dalam membuat atau menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah ini sering disebut sebagai “pedoman legislatif” atau “pedoman formulatif.” Definisiny...
Pola Pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia merujuk pada pedoman atau acuan yang digunakan oleh pembuat undang-undang dalam membuat atau menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah ini sering disebut sebagai “pedoman legislatif” atau “pedoman formulatif.” Definisinya : Merupakan acuan bagi pembuat undang-undang dalam membuat atau menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Fungsi dan Pentingnya Sebelum Perundang-Undangan: seharusnya ada lebih dahulu sebelum UU dibuat, bahkan sebelum KUHP nasional dibuat. Strategis dalam Penyusunan Hukum: Garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legislatif merupakan landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana pidana (aparat eksekutif/administratif). Implementasi dalam Praktek KUHP dan Pola Pemidanaan: menggunakan pola umum dan ideal. Disparitas dalam Penghukuman: Untuk menghindarinya beberapa teknik digunakan. Dengan demikian, pola pemidanaan sangat penting dalam struktur hukum pidana Indonesia karena ia bertindak sebagai acuan utama dalam penyusunan dan implementasi peraturan-peraturan yang terkait dengan sanksi pidana. Keseimbangan antara nilai kepastian hukum dan ketertiban sosial harus segera diwujudkan dalam suatu perubahan paradigma baru. Hukum diciptakan bukan untuk memberikan penderitaan pada manusia, melainkan diciptakan untuk kebaikan/ kemaslahatan umat manusia. Pemikiran kaum abolisionis dapat dijadikan dasar perubahan paradigma dalam pemberian sanksi pidana/sistem pemidanaan, dari model pemidanaan yang bersifat fisik menuju kepada model pemidanaan yang bersifat psikis. Dalam hukum pidana Indonesia dikenal pidana penjara sebagai salah satu hukuman yang paling menjerakan dalam menerapkan sanksi pidana. Dalam bekerjanya hukum pidana, pemberian pidana bukanlah tujuan akhir, karena hanya sebagai sarana belaka untuk mewujudkan sistem pidana itu sendiri. Lembaga pemasyarakatan merupakan institusi terakhir dalam Sistem Peradilan Pidana yang berperan dalam mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana. Menurut Marjono Reksodiputro, tujuan sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Tinjauan pola pemidanaan dari kacamata kriminalogi melibatkan analisis teoretis dan empiris pemidanaan dalam sistem hukum. 1. Teori-Teorinya Teori Absolut/Pembalasan Teori Relatif/Tujuan Teori Gabungan/Moderen Teori Just Deserts Teori Integratif 2. Aliran-Aliran Teoritis Aliran Klasik Aliran Modern/Deterministis Aliran Neo-Klasik 3. Implikasi Empiris 4. Perdebatan Kontemporer Pola pemidanaan di Indonesia dari segi kriminologi mencerminkan interaksi antara hukum pidana, kebijakan pemidanaan, dan realitas sosial yang kompleks. 1. Dasar Hukum dan Struktur Pemidanaan 2. Teori Kriminologi dalam Pemidanaan 3. Politik Hukum dan Kebijakan Pemidanaan 4. Keterkaitan antara Kriminologi dan Hukum Pidana 5. Tantangan dalam Implementasi SEJARAH Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 setelah Tahun 1958, lahir peraturan perundang-undangan di luar KUHP memuat bidang hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil yang menyimpang dari yang ada dalam Buku I KUHP dan hukum acara pidana (HIR). Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden. Setelah pergeseran Orde Lama ke Orde Baru, Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden ini diadakan legislative review. Materi undang-undang yang bersumber dari Penetapan Presiden ini kemudian masuk sebagai hukum pidana positif nasional yang dikategorikan sebagai hukum pidana khusus. Perkembangan hukum pidana internasional pesat dan dibentuk pengadilan pidana internasional PIDANA KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku Sistem ini tidak memberi keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positivis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas legalitas formil). Pertanggungjawaban pidana : asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. Hal ini melahirkan sistem formulasi pengancaman pidana dalam hukum pidana yang menjadi tidak konsisten. Menurut KUHP ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut: 1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Penjara Kurungan 4. Pidana Denda Deskripsi penormaan hukum pidana dan pengancaman sanksi pidana dalam KUHP: 1. Pengaturan sistem pengancaman pidana dalam KUHP diatur dalam pedoman umum pengancaman pidana dimuat dalam Buku I tentang Ketentuan Umum: a. Jenis pidana b. Cara pengancaman pidana c. Penjatuhan pidana perbarengan d. Pemberatan dan pemeringan pidana 2. Formulasi pengaturan pengancaman pidana dalam Buku II KUHP: a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 123 kali b. Pidana kurungan diterapkan sebanyak 37 kali c. Pidana mati dipergunakan sebagai ancaman sanksi pidana sebanyak 10 kali d. Pidana Penjara dipergunakan sebagai ancaman pidana sebanyak 485 kali e. Perumusan sanksi pidana penjara dalam Buku II 3. Pengaturan pengancaman pidana dalam Buku III KUHP: a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 84 kali b. Pidana kurungan dipergunakan sebanyak 55 kali Tentang Ancaman Pidana Telah menjadi kesepakatan istilah ”straf” diartikan ”pidana”. Istilah ”hukuman”, masih bersifat umum, karena dapat meliputi ”hukuman perdata” maupun ”hukuman administrasi negara”. Hukuman dalam arti khusus di bidang hukum pidana adalah ”pidana”. Selain itu, dalam hukum pidana juga dikenal sanksi lain yang disebut ”tindakan” (maatregeel). Pidana adalah reaksi atas tindak pidana, yang berujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana tersebut. tiga unsur utama ”pidana” : (1) merupakan re-aksi atas suatu aksi (2) yang berujud nestapa; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana (daader) oleh negara. Antara ”perbuatan yang dilarang” atau strafbaar dan ”ancaman pidana” atau strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Selain itu, ancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana selalu ditujukan kepada orang yang melakukan. Pengancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana, mengikuti model: (1) satu jenis pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal (2) satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana yang lain; (3) satu jenis pidana diancamkan secara komulatif dengan jenis pidana yang lain; dan (4) pidana diancamkan dengan kombinasi alternatifkumulatif. NOMENKLATUR ANCAMAN PIDANA para ahli menggunakan istilah ”pidana”, tetapi tidak selalu digunakan dalam undang- undang. - istilah ”hukuman”. Misalnya, UU 51 Prp/1960 UU 38/1999 - istilah ”hukuman penjara” dan ”kurungan” disebut dengan ”hukuman kurungan”. - Pasal 6 UU 15/2002, didepan kata ”penjara” tidak digunakan kata ”pidana”, sehingga tertulis: ”...dipidana dengan penjara....” - berbagai UU mengunakan istilah ”pidana” di depan istilah ”denda”. Misal UU 5/1983 gunakan idiom ”pidana denda”. - UU 42/1999 gunakan istilah ”paling lama” untuk pidana penjara dan ”paling sedikit” dan ”paling banyak” untuk denda. - UU 15/2006 gunakan istilah ”paling singkat” untuk pidana penjara. - UU 24/1999 gunakan istilah ”sekurang-kurangnya” dan ”paling banyak” untuk pidana denda - UU 5/1999 gunakan istilah ”serendah-rendahnya” dan ”setinggi- tingginya” untuk pidana denda. - UU 51 Prp/1960 gunakan istilah ”selamalamanya”. - UU 31/1999 gunakan istilah ”sebanyak-banyaknya” untuk pidana tambahan pembayaran uang penggati yang dapat dijatuhkan. PENGKAJIAN POLA PEMIDANAAN Pengkajian dari segi kriminologi melalui beberapa aspek: 1. Kepastian Hukum dan Disparitas Sanksi 2. Pendekatan Struktural dalam Pemidanaan 3. Politik Hukum dan Kebijakan Pemidanaan 4. Peran Kriminologi dalam Reformasi Hukum Pidana Kesimpulan Dengan demikian, pola pemidanaan sangat penting dalam struktur hukum pidana Indonesia karena ia bertindak sebagai acuan utama dalam penyusunan dan implementasi peraturan-peraturan yang terkait dengan sanksi pidana. Secara keseluruhan, pola pemidanaan di Indonesia masih memiliki banyak tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai efektivitas yang lebih baik. Meskipun terdapat upaya untuk menerapkan pendekatan struktural dan memperbaiki disparitas sanksi, ketidakpastian hukum dan kesenjangan antara teori dan praktik masih menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemidanaan serta kolaborasi antara kriminologi dan hukum pidana untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan efektif bagi masyarakat.