Persiapan Ujian Cakim: Administrative Law Exam Questions

Summary

This document contains a list of exam questions related to administrative law (Tata Usaha Negara). Topics covered include the history of administrative courts (PTUN), court management, evidence, legal reasoning, and specific articles of law. The document also includes outlines of relevant regulations and laws.

Full Transcript

LIST DAFTAR PERTANYAAN UJIAN CAKIM 1.​ PUTUSAN YANG DIBUAT OLEH MENTEE a.​ Putusan Nomor Berapa b.​ Para Pihak c.​ Amarnya d.​ Proses mentee sampai membuat putusan dengan amar seperti itu 2.​ SEJARAH TUN Tahun Peristiwa 1945 Indonesia Me...

LIST DAFTAR PERTANYAAN UJIAN CAKIM 1.​ PUTUSAN YANG DIBUAT OLEH MENTEE a.​ Putusan Nomor Berapa b.​ Para Pihak c.​ Amarnya d.​ Proses mentee sampai membuat putusan dengan amar seperti itu 2.​ SEJARAH TUN Tahun Peristiwa 1945 Indonesia Merdeka PTUN belum ada, Sengketa antara rakyat dengan pemerintah umumnya diselesaikan melalui jalur peradilan umum 1986 Lahir PTUN dan UU Peratun berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 1991 PTUN mulai berlaku dan beroperasi 2004 Perubahan kedua UU Peratun, merespons kebutuhan praktik, menambah kejelasan soal objek sengketa dan prosedur. 2009 Perubahan ini memperkuat kelembagaan dan kewenangan PTUN, termasuk penyempurnaan prosedur beracara. 2014 Lahir UU AP ​ Memberi kepastian hukum atas tindakan/keputusan pemerintah ​ Mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) ​ Memperjelas syarat-syarat legalitas keputusan dan tindakan pejabat administratif UU AP memperluas objek sengketa TUN, karena: ​ Tindakan faktual pejabat (bukan hanya keputusan tertulis) bisa diuji legalitasnya ​ Penguatan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) 3.​ MANAJEMEN PERSIDANGAN DAN PERADILAN -​ E-Court Dasar Hukum: Perma 1/2019 jo 7/2022 Fitur: E-Filing, E-Payment, E-Summons, E-Litigation -​ Menerima Perkara sebagai Hakim -​ Dari PP menyerahkan berkas perkara ke Majelis Hakim -​ Cek berkas perkara -​ Serah terima dan TTD Buku Ekspedisi -​ MH musyawarah menentukan hari sidang pertama untuk Pemeriksaan Persiapan -​ Membuat PHS Pempres, perintahkan jurusita melalui PP memanggil P lewat Ecourt, dan T panggilan surat tercatat Menurut SK KMA 363 paling lambat 3 hari sebelum hari sidang Menurut Buku II, Ps 64 (2) UU Peratun tdk boleh kurang dari 6 hari -​ Sidang Pemeriksaan Persiapan -​ setelah Pem Pers selesai, MH Menentukan Hari Sidang Pertama dan Court Calendar di SIPP -​ -​ Alur Perkara Masuk 1)​ Membuat Akun E-Court 2)​ Pendaftaran Gugatan melalui E-Court yang diunggah: -​ Gugatan -​ Surat Kuasa -​ Bukti Awal 3)​ Cek berkas perkara berupa checklist oleh Meja I diteruskan ke Panmud 4)​ Membayar Panjar Biaya Perkara (e-payment) 5)​ Register melalui SIPP 6)​ Panggilan (e-summons) oleh JS 7)​ Dismissal Proses 8)​ Pemeriksaan Persiapan 9)​ Sidang Pembacaan Gugatan 10)​Jawab Jinawab -​ Input penundaan di SIPP oleh PP 11)​Pembuktian -​ Inzage -​ Alat Bukti Dasar Hukum Pasal 100 ayat (1) Bukti Surat (Pasal 101 UU No. Akta Otentik 5/1986) Akta Dibawah tangan Surat lain yang bukan akta Keterangan Ahli (Pasal 102 UU No. Pendapat yang diberikan dibawah 5/1986) sumpah di persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya; Keterangan Saksi (Pasal 104 UU Dianggap alat bukti apabila No. 5/1986) keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri Pengakuan para pihak (Pasal 105 Keterangan dari salah satu pihak UU No. 5/1986) (dimuka persidangan) yang mengakui apa yang dikemukakan pihak lawan baik sebagian atau seluruhnya; Pengetahuan Hakim (Pasal 106 UU Hal yang diketahui oleh Hakim dan No. 5/1986) diyakini kebenarannya Pertanyaan: -​ Bagaimana nilai pembuktian terhadap Bukti Surat yang tidak diperlihatkan aslinya di Persidangan? Bagaimana Penandaan Kode-nya? Jika alat bukti yang diajukan hanya berupa Salinan / Fotokopi, dan tidak ada Asli, maka Majelis Hakim menilai Alat Bukti tersebut sebagai Petunjuk yang nilai pembuktiannya Tidak Sempurna, maka Majelis Hakim akan menggali melalui keterangan dari para pihak, dihubungkan dengan Alat Bukti yang lain. -​ Bagaimana Nilai Pembuktian terhadap Bukti Surat berupa Salinan dan Legalisir? Tidak Sempurna, jika tidak ada dokumen Asli untuk menjadi pembanding, maka Majelis Hakim akan menggali melalui keterangan dari para pihak, dihubungkan dengan Alat Bukti yang lain. -​ Bagaimana Nilai Pembuktian terhadap Bukti Surat yang Ukurannya tidak sama dengan Dokumen Asli? Tidak Sempurna, jika terdapat perbedaan antara dokumen Asli dengan Alat Bukti yang diajukan, contoh dokumen Asli tidak ada coretan, sedangkan yang dijadikan Bukti salah satu pihak ada Coretan, maka Majelis Hakim akan menggali melalui keterangan dari para pihak, dihubungkan dengan Alat Bukti yang lain. -​ Apakah pemeteraian pada Bukti Surat dapat dilakukan di Persidangan? Ada 2 (dua) pendapat, 1)​ Bisa, sepanjang persidangan tidak bisa ditunda lagi, maka dimatikan materainya dengan tanggal dan paraf oleh majelis hakim sebagai ex officio dari Majelis Hakim; 2)​ Tidak bisa, jika sidang masih bisa ditunda untuk tambahan bukti surat dan sesuai UU Bea Materai, maka pemeteraian dilakukan oleh pejabat yang telah ditunjuk; -​ Bagaimana cara bukti Awal dapat diajukan kembali menjadi Alat Bukti pada Pembuktian? Bisa, dengan dimaterai seperti biasa -​ Apakah Hakim dapat menolak Ahli yang diajukan oleh Para Pihak? Bisa, sepanjang Ahli tersebut tidak sesuai / tidak relevan dengan -​ Apakah Keterangan Ahli dapat disampaikan di luar ruang Persidangan? Ada 2 (dua) pendapat; 1)​ Tidak bisa, Keterangan ahli harus disampaikan secara langsung di ruang sidang di hadapan majelis hakim dan para pihak, sesuai prinsip keterbukaan dan asas audi et alteram partem (hak untuk didengar). 2)​ Bisa, jika berupa pendapat tertulis yang dibuat oleh ahli dan diajukan ke pengadilan atau ketika masa covid, Ahli dihadirkan secara teleconference sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Nomor 205/Djmt/SE/4/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Persidangan Secara Teleconference. -​ Apakah hakim terikat dengan keterangan ahli di Persidangan? Tidak. Hanya sebagai pengetahuan Hakim -​ Yang tidak boleh didengar sebagai saksi/ahli Pasal 88 dan Pasal 102 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 -​ Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa; -​ Istri atau suami dari salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai; -​ Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; -​ Orang sakit ingatan -​ Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberi kesaksian Pasal 89 UU No. 5 Tahun 1986 -​ Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak; -​ Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya. -​ Cara Menghitung Derajat Saksi 12)​Kesimpulan -​ tidak perlu diverifikasi karena tidak untuk dipertukarkan hanya untuk pengetahuan hakim saja 13)​Putusan -​ Template Putusan SK KMA 363 -​ Apakah boleh berbeda dengan Template Putusan? -​ Boleh, karena kebebasan Hakim -​ Kerangka Putusan 1)​ Kepala Putusan 2)​ Identitas Para Pihak 3)​ Rangkuman Gugatan 4)​ Rangkuman Jawaban Tergugat 5)​ Pertimbangan Hukum 6)​ Dissenting Opinion & Concurring -​ Dasar Hukum : diatur dalam Buku II? -​ Teknik Dissenting Opinion -​ Ditulis dalam berita acara? -​ Ditulis dalam pertimbangan hukum putusan -​ 7)​ Amar Putusan 8)​ Biaya Perkara -​ Putusan Pengadilan dapat berupa ​ ​ ​ PS. 97 (7) 1)​ Tidak Diterima 2)​ Dikabulkan 3)​ Ditolak 4)​ Gugur ​ ​ ​ Apabila Gugatan dikabulkan ps 97 (8 & 9) -​ Dapat ditetapkan kewajiban berupa a.​ Pencabutan KTUN yang bersangkutan b.​ Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan Penerbitan KTUN yang baru c.​ Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 (Fiktif) Untuk Pemeriksaan Persiapan yang 30 hari tidak diperbaiki, Amar: -​ Tidak Dapat Diterima = untuk Pempers ​ ​ Terkait Amar Putusan, harus memuat: ​ ​ Berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2023 -​ Amar bersifat Deklaratoir (Menyatakan ….) -​ Amar bersifat Condemnatoir (Menghukum Tergugat untuk mencabut… Menghukum…) -​ Teknik Pembuatan Putusan -​ Konstatir: Mengumpulkan Fakta Hukum -​ Kualifisir : Memilah Fakta Hukum dan Peraturan Terkait -​ Konstituir: Menentukan hukum untuk merumuskan Putusan -​ Tahap Upload Putusan di SIPP 1)​ Masuk SIPP menggunakan Akun Ketua Majelis 2)​ Pilih Perkara sesuai Nomor Perkara 3)​ Detail Perkara 4)​ Klik Tambah Putusan 5)​ Mengisi Pertimbangan dan Amar Putusan 6)​ Isi Centang Jenis pelanggaran 7)​ Unggah Dokumen RTF di SIPP 8)​ Kalau ada kendala teknis, KM menunda sidang 60 menit berdasarkan SK KMA 363 9)​ Jika kendala masih berlangsung, pemberitahuan ke para pihak melalui PP/JS dengan wa Kantor. KM menunda sidang patutnya 3 hari -​ Tahap Upload Putusan di ECOURT 1)​ Masuk Ecourt dengan Akun KM 2)​ Pilih nomor perkara 3)​ Upload Dokumen PDF 4)​ Isi Catatan Sidang mengenai Putusan, Upaya Hukum, Sisa Panjar 5)​ Panitera verifikasi dan TTE untuk dapat diunduh oleh para pihak -​ Minutasi Berkas Fisik -​ Putusan di Print untuk di TTD -​ Putusan yang sudah di TTD diberikan ke PP untuk diminutasi dan materai 4.​ SENGKETA KHUSUS TUN, DASAR HUKUMNYA, UPAYA HUKUM DAN TENGGANG WAKTUNYA Sengketa Dasar Hukum Jangka Waktu Waktu Upaya Khusus Pengajuan Penyelesaian Hukum Gugatan KIP UU Nomor 14 14 hari kerja sejak paling lambat 60 Kasasi Ke o.s=putus tahun 2008 dan salinan putusan hari kerja sejak MA an KI Perma Nomor 2 KI diterima oleh Majelis Hakim P=Pemoh Tahun 2011 Pihak ditetapkan on (Pasal 4 ayat (2) (Pasal 9 ayat (1) (Pasal 9 ayat Perma 2/2011) Perma 2/2011) (2) Perma 2/2011) PROSES Perma Nomor 5 5 hari kerja paling lama 21 hari Final dan PEMILU Tahun 2017 setelah dibacakan kerja sejak mengikat putusan Bawaslu gugatan (tidak dapat dinyatakan diajukan lengkap banding, kasasi, PK) (Pasal 3 ayat (1) (Pasal 13 ayat (1) (Pasal 13 Perma 5/2017) Perma 5/2017) ayat (5) Perma 5/2017) ADMINIST Perma Nomor 3 hari setelah Maksimal 15 Hari Kasasi ke MA RASI 11 tahun 2016 dikeluarkannya sejak gugatan PILKADA putusan bawaslu dinyatakan lengkap PUPW UU Nomor 30 Setelah adanya paling lama 21 hari Banding ke Tahun 2014 dan hasil APIP dan kerja sejak sidang PT TUN Perma Nomor 4 sebelum proses pertama Tahun 2015 pidana (Pasal 3 Perma (Pasal 19 Perma (Pasal 20 4/2015) 4/2015) Perma 4/2015) PTKU UU Nomor 2 30 hari kerja sejak paling lama 30 hari Kasasi ke MA Tahun 2012 dan diumumkan kerja sejak Perma Nomor 2 penetapan lokasi diterimanya Tahun 2016 gugatan (Pasal 4 Perma (Pasal 11 ayat (1) (Pasal 17 2/2016) Perma 2/2016) ayat (1) Perma 2/2016) Ciri Acara Khusus dibanding Acara Biasa: 1)​ Pemeriksaan sengketa TUN khusus dilakukan: -​ tanpa adanya Proses Dismissal (Pasal 62 UU PERATUN) -​ tanpa Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU PERATUN); 2)​ Tenggang waktu menggugat (daluwarsa gugatan) biasanya ditentukan kurang dari 90 hari. Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 55 UU PERATUN yakni 90 (Sembilan puluh) hari sejak diterima atau diumumkannya Keputusan TUN 3)​ Jangka waktu pemeriksaan persidangan atau penyelesaian sengketanya terbatas ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya. Biasanya ditentukan singkat hanya dalam hitungan beberapa hari. 4)​ Upaya Hukum, tergantung dengan sengketa khusus Sengketa PNBP yang diatur dalam Pasal 60 UU No. 9 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak dimasukkan dalam acara khusus karena ia tidak memenuhi keempat kriteria tersebut di atas. 5.​ PERBEDAAN PTUN DAN PTTUN PTUN PT TUN Sebagai tingkat Pertama perkara biasa, jika aturan jika aturan dasar dasar mengatur mengenai 6.​ SENGKETA PBJ a.​ Pengertian Pengadaan barang/jasa pemerintahan adalah kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintahan oleh kementerian/lembaga/perangkat daerah yang dibiayai APBN/APBD (mulai dari melakukan identifikasi kebutuhan sampai dengan serah terima hasil pekerjaan) b.​ Dasar Hukum 1.​ Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2.​ Perpress Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 3.​ Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola 4.​ Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia c.​ Pelaku PBJ Pasal 8 Perpres Nomor 12 Tahun 2021: PA (Pengguna Pejabat pemegang kewenangan penggunaan Anggaran) anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Perangkat Daerah. KPA (Kuasa 1.​ Pada pelaksanaan APBN: Pejabat yang Pengguna memperoleh kuasa dari PA untuk Anggaran) melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/ Lembaga yang bersangkutan. 2.​ Pada pelaksanaan APBD: Pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Perangkat Daerah. PPK (Pejabat pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA Pembuat untuk mengambil keputusan dan/atau Komitmen) melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara anggaran belanja daerah. Pejabat pejabat administrasi/pejabat fungsional/personil Pengadaan yang bertugas melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan atau E-purchasing. Pokja Pemilihan Kelompok Kerja Pemilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala UKPBJ untuk mengelola pemilihan Penyedia. Agen Pengadaan UKPBJ (Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa) atau Pelaku Usaha yang melaksanakan sebagian atau seluruh pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa yang diberi kepercayaan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah sebagai pihak pemberi pekerjaan Penyelenggara Tim yang menyelenggarakan kegiatan secara Swakelola Swakelola (cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/ Lembaga/ Perangkat Daerah, Kementerian / Lembaga/ Perangkat Daerah lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat) Penyedia Pelaku Usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak. d.​ Kategori Pengadaan Barang/Jasa Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Pengadaan Barang/Jasa meliputi: 1.​ Barang 2.​ Pekerjaan Konstruksi 3.​ Jasa Konsultasi 4.​ Jasa Lainnya e.​ Aspek Hukum dalam PBJ 1. 2. 3. 4. 5. Perencana Persiapan Penetapan Kontrak Serah an Penyedia Terima Barang/Ja sa Wilayah Hukum Administrasi Wilayah Hukum Perdata Wilayah Hukum Pidana jika ada suap, mark up, fiktif dan kolusi Wilayah Persaingan Usaha jika ada persekongkolan/pengaturan monopoli f.​ Cara Pengadaan Pasal 3 ayat (3) Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Pengadaan Barang/Jasa dilaksanakan dengan cara: 1.​ SWAKELOLA Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 Tujuan dilakukan swakelola: 1.​ Kebutuhan barang/jasa tidak dapat disediakan/tidak diminati pelaku usaha 2.​ meningkatkan efektivitas dan efisiensi 3.​ mengoptimalkan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah 4.​ memenuhi kebutuhan barang/jasa yang bersifat rahasia 5.​ pemberdayaan ormas dan kelompok masyarakat 2.​ PENYEDIA Pasal 38 Perpres Nomor 12 Tahun 2021, Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 Metode pemilihan penyedia barang/jasa melalui: 1)​ E-Purchasing oleh PPK: -​ nilai HPS minimal 200 jt -​ nilai HPS minimal 1M untuk Provinsi Papua dan Papua Barat 2)​ Pengadaan langsung oleh pejabat pengadaan: -​ nilai HPS maksimal 200 jt / jasa konsultasi maksimal 100 jt -​ nilai HPS maksimal 1 M / jasa konsultasi maksimal 200 jt untuk Provinsi Papua dan Papua Barat 3)​ Penunjukan langsung, tender cepat, dan tender oleh POKJA Pemilihan: -​ syarat penunjukan langsung dalam Pasal 38 ayat (4) dan ayat (5), dalam keadaan tertentu meliputi kegiatan mendadak, rahasia, intelijen, perlindungan saksi, pengamanan presiden dan wapres, mantan presiden dan mantan wapres, setingkat kepala negara/kepala pemerintahan, hanya dapat dilakukan satu pelaku usaha pengadaan, untuk ketahanan pangan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, gagal tender ulang. -​ syarat tender cepat, pelaku usaha telah terkualifikasi dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP) dengan membandingkan harga tanpa memerlukan penilaian kualifikasi, evaluasi penawaran administrasi, evaluasi penawaran teknis, sanggah dan sanggah banding. Tender cepat dilakukan untuk pengadaan barang/jasa lainnya dengan kriteria: spesifikasi dan volume pekerjaannya sudah dapat ditentukan secara rinci atau dimungkinkan menyebutkan merek sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b dan c Perpres Nomor 12 Tahun 2021. metode penyampaian penawaran dalam tender cepat menggunakan penyampaian harga berulang (E-reverse Auction). -​ syarat tender, digunakan dalam hal tidak dapat menggunakan E-purchasing, pengadaan langsung, penunjukan langsung, dan tender cepat. g.​ Tipe Swakelola Pasal 5, Pasal 6 Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 Tipe I (penyelenggara swakelola ditetapkan oleh PA/KPA penanggungjawab anggaran) direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh Kementerian / Lembaga / Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran kata kunci: oleh instansi yang sama Tipe II (tim persiapan dan tim pengawas ditetapkan oleh PA/KPA penanggungjawab anggaran, tim pelaksana ditetapkan oleh K/L/Perangkat daerah lain pelaksana swakelola) direncanakan dan diawasi oleh Kementerian/ Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga/Perangkat Daerah lain pelaksana Swakelola kata kunci: oleh K/L/Perangkat Daerah lain Tipe III (tim persiapan dan tim pengawas ditetapkan oleh PA/KPA penanggungjawab anggaran, tim pelaksana ditetapkan oleh pimpinan pelaksana swakelola) direncanakan dan diawasi oleh Kementerian/ Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh Ormas pelaksana Swakelola kata kunci: oleh ormas/kelompok masyarakat Tipe IV (penyelenggaraan swakelola ditetapkan oleh pimpinan kelompok masyarakat pelaksanan swakelola) direncanakan oleh Kementerian/ Lembaga/ Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Kelompok Masyarakat, dan dilaksanakan serta diawasi oleh Kelompok Masyarakat pelaksana Swakelola kata kunci: oleh kelompok masyarakat pelaksana swakelola h.​ Upaya Administratif Penetapan Penyedia Barang/Jasa 1.​ Keberatan 2.​ Sanggah -​ diajukan 5 hari kalender sejak pengumuman penetapan penyedia barang/jasa -​ dijawab dalam 3 hari kalender 3.​ Sanggah Banding -​ hanya khusus untuk jasa konstruksi, yang menjawab harus KPA -​ diajukan 5 hari kalender sejak jawaban sanggah -​ KPA menyampaikan jawaban sanggah banding paling lambat 14 hari kalender i.​ Objek Sengketa umumnya yang menjadi objek adalah “pengumuman penetapan pemenang”. lalu apakah pengumuman penetapan lelang yang tidak memenuhi syarat” dapat menjadi objek sengketa? mengingat hal itu belum final, karena merupakan KTUN berantai yang mana finalnya ada pada pengumuman penetapan pemenang? JAWABAN: Menurut pendapat bapak Andri Mosepa, pengumuman penetapan lelang yang tidak memenuhi syarat” dapat menjadi objek sengketa. Karena jika menunggu sampai adanya pengumuman penetapan pemenang, pihak yang namanya ada di pengumuman penetapan lelang yang tidak memenuhi syarat” akan kehilangan kepentingannya karena tidak dapat menggugat pengumuman penetapan pemenang karena pihak tersebut tidak termasuk dalam daftar anggota yang lolos lelang. Selain itu, bagaimana Majelis Hakim akan menguji prosesnya apabila pihak tersebut tidak masuk/tidak ada dalam proses tersebut (proses hingga ada pengumuman penetapan pemenang, karena sudah gugur terlebih dahulu saat pengumuman penetapan lelang yang tidak memenuhi syarat”). Pengumuman penetapan lelang yang tidak memenuhi syarat” itu dapat diartikan final dalam arti luas dan menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi syarat”, sehingga pihak tersebut dapat menggugat tanpa harus menunggu pengumuman penetapan pemenang. 7.​ TITIK SINGGUNG TUN DENGAN UMUM DALAM SENGKETA PERTANAHAN Sengketa TUN: Fokus pada keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final (Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN). Sengketa Peradilan Umum: Fokus pada hak-hak keperdataan dan perbuatan melawan hukum antar subjek hukum. Isu Pertanahan Sengketa TUN Sengketa Peradilan (Peradilan TUN) Umum 1. Penguasaan Tanah Tanpa Hak ❌ Tidak berwenang – bukan keputusan ✅ Ya – menyangkut perbuatan melawan administrasi hukum secara perdata 2. Batas / Kekeliruan Penunjukan Batas ✅ Ya – jika akibat keputusan pejabat BPN ✅ Ya – jika murni sengketa fisik atau atau administrasi keperdataan antar pihak 3. Berasal dari Warisan ✅ Ya – jika menyangkut ✅ Ya – jika menyangkut penerbitan sertifikat oleh status waris dan hak atas salah satu ahli waris tanah secara perdata secara tidak sah 4. Sertipikat Ganda ✅ Ya – jika kedua sertifikat diterbitkan oleh ✅ Ya – jika untuk menentukan hak keputusan administratif kepemilikan melalui pejabat BPN proses perdata 5. Sertipikat Pengganti ✅ Ya – jika penerbitan pengganti diduga cacat ✅ Ya – jika digunakan sebagai dasar gugatan administrasi kepemilikan atau penguasaan 6. Tumpang Tindih ✅ Ya – jika berasal dari kesalahan administrasi ✅ Ya – jika ada konflik penguasaan, jual beli, penerbitan sertifikat atau hak milik 8.​ KEPPH (Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim): Dasar Hukum: SKB 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim 1. Berperilaku Adil Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. 2. Berperilaku Jujur Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. 3. Berperilaku Arif dan Bijaksana Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun. 4. Bersikap Mandiri Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku 5. Berintegritas Tinggi Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik. 6. Bertanggung Jawab Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut. 7. Menjunjung Tinggi Harga Diri Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan. 8. Berdisiplin Tinggi Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya. 9. Berperilaku Rendah Hati Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas. 10. Bersikap Profesional Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien. No Aturan Perilaku Penerapan 1. Berperilaku Adil -​ Adil dengan tidak membeda-bedakan orang -​ Mendengar kedua belah pihak (memberikan kesempatan yang sama) -​ Tidak berkomunikasi dengan pihak berperkara di luar persidangan kecuali tidak melanggar prinsip perlakuan yang sama 2. Berperilaku Jujur -​ Berani menyatakan yang benar dan salah -​ Jujur dan menghindari perbuatan tercela -​ Tidak meminta / menerima hadiah dan sejenisnya -​ Pencatatan-pelaporan hadiah dan kekayaan 3. Berperilaku Arif dan -​ Bertindak sesuai dengan norma, kebiasaan dan Bijaksana kesusilaan -​ Dilarang mengeluarkan pernyataan yang dapat mempengaruhi proses peradilan -​ Dapat berkegiatan keilmuan selama tidak dimaksudkan untuk membahas perkara -​ Dapat berkegiatan sosial kemasyarakatan sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian -​ Tidak boleh menjadi pengurus atau anggota partai politik atau terlibat dalam kegiatan atau menyatakan dukungan terbuka 4. Bersikap mandiri -​ Bebas dari pengaruh apapun 5. Berintegritas tinggi -​ Menghindari konflik kepentingan yang terdiri dari: a.​ Hubungan pribadi dan kekeluargaan b.​ Hubungan pekerjaan c. ​ Hubungan finansial d.​ Prasangka dan pengetahuan atas fakta e.​ Hubungan dengan pemerintah daerah 6. Bertanggungjawab -​ Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan bertanggungjawab terhadapnya -​ Dilarang menyalahgunakan predikat jabatan -​ Dilarang mengungkapkan atau menggunakan informasi peradilan untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas 7. Menjunjung Tinggi -​ Menjaga martabat dan kehormatan Harga Diri -​ Menjaga martabat di dalam maupun di luar pengadilan -​ Dilarang melakukan aktivitas bisnis -​ Melarang anggota keluarga mengeksploitasi jabatan hakim -​ Dilarang menjadi advokat atau pekerjaan lain terkait perkara sampai dengan 2 tahun setelah pensiun 8. Berdisiplin Tinggi -​ Tertib melaksanakan tugas -​ Mengetahui dan mendalami tugas pokok 9. Berperilaku Rendah -​ Sadar akan keterbatasan kemampuan diri Hati -​ Pengabdian dan tidak mencari popularitas 10 Bersikap -​ Melaksanakan pekerjaan dengan kesungguhan Profesional dan keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas -​ Mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain -​ Wajib menghindari kekeliruan dalam membuat keputusan atau mengabaikan fakta 9.​ BEDANYA FAKTA HUKUM DAN FAKTA BIASA FAKTA HUKUM FAKTA BIASA Pengertian Contoh 10.​ PEMERIKSAAN SETEMPAT a.​ Pengertian Pemeriksaan Setempat merupakan sidang pengadilan yang dilakukan ditempat objek terperkara terletak untuk melihat keadaan atau memeriksa secara langsung objek tersebut (Yahya Harahap) b.​ Dasar Hukum -​ Pasal 96, Pasal 100, Pasal 111 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1986 -​ Buku II c.​ Maksud dan Tujuan dilakukan PS 1.​ Mengetahui dengan jelas dan pasti tentang letak, luas, batas-batas, serta kualitas dan kuantitas objek sengketa 2.​ Mencocokkan bukti atau dalil dari para pihak dengan kondisi senyatanya objek sengketa tersebut berada 3.​ Memberikan keyakinan bagi Majelis Hakim dalam memutus perkara 4.​ Menghindari terjadinya putusan yang non executable (tidak dapat dieksekusi karena objeknya tidak pasti) 5.​ Menjawab eksepsi pihak lawan apabila dijadikan eksepsi d.​ Kapan dilakukan? -​ PS dapat dilakukan pada saat Pemeriksaan Persiapan (Buku II) atau pada saat Pembuktian e.​ Prosedur PS 1.​ Pemohon membuat surat permohonan PS yang ditujukan kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara 2.​ Pemohon menyerahkan surat permohonan kepada petugas PTSP 3.​ Pemohon membayar panjar biaya PS sesuai SK Ketua PTUN yang telah disesuaikan dengan Surat Edaran Dirjenbadimiltun Nomor 2 Tahun 2022 tentang Biaya Perkara Pemeriksaan Setempat dan PMK Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024 Tujuan pemeriksaan setempat di Peradilan TUN antara lain: a.​ Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi fisik, lingkungan, atau objek lokasi yang menjadi lokasi objek sengketa. Misalnya untuk perkara pertanahan pemeriksaan setempat bertujuan untuk mengetahui siapa yang menguasai tanah objek sengketa atau batas-batas tanah. Dalam perkara lingkungan hidup dapat mengetahui kondisi pencemaran dan akibatnya di lokasi pencemaran. b.​ Sebagai verifikasi fakta, mengumpulkan bukti langsung, atau mendapatkan informasi yang sulit diperoleh di dalam persidangan biasa. c.​ Menambah pengetahuan hakim sehingga dapat menjadi tambahan alat bukti Upaya untuk menggali fakta-fakta persidangan seperti untuk menemukan bukti penguasaan fisik Objek Sengketa, batas-batas Objek Sengketa, dan lain sebagainya sehingga mendapatkan kebenaran materiil untuk menjadi pedoman dalam memutus sengketa. 11.​ ALASAN KABUL DAN DITOLAKNYA PENUNDAAN Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan serta tindakan badan atau pejabat TUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU Peratun). Penundaan dapat dilakukan dalam hal: UU Peratun UU Administrasi Pemerintahan (Pasal 67) (Pasal 65) a.​ Penggugat dapat mengajukan a. ​ Keputusan yang sudah ditetapkan permohonan agar pelaksanaan tidak dapat ditunda KTUN itu ditunda sampai ada pelaksanannya kecuali jika putusan pengadilan yang berpotensi menimbulkan kerugian memperoleh kekuatan hukum negara, kerusakan lingkungan tetap. hidup dan/atau konflik sosial. b.​ Permohonan dapat diajukan b. ​ Penundaan dapat dilakukan oleh sekaligus dalam gugatan dan pejabat pemerintahan yang dapat diputus terlebih dahulu dari menetapkan keputusan dan/atau pokok sengketanya. atasan pejabat. c. ​ Permohonan penundaan: c. ​ Penundaan keputusan dapat dilakukan berdasarkan Dapat dikabulkan hanya apabila permintaan pejabat pemerintahan terdapat keadaan yang sangat terkait atau putusan pengadilan. mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika tetap dilaksanakan. Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut. Secara implisit norma yang terkandung dalam Pasal 67 UU Peratun: 1.​ Untuk mencegah kerugian bagi Penggugat dibandingkan dengan manfaat bagi kepentingan yang dilindungi oleh Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara; 2.​ Untuk memberikan perlindungan hukum bagi Penggugat; 3.​ Membandingkan manfaat yang lebih besar apakah kepada kepentingan Penggugat atau kepada Kepentingan Umum. KABUL PENUNDAAN TOLAK PENUNDAAN Pengertian Manakala Hakim mengambil suatu Apabila tidak terpenuhinya sikap untuk mengabulkan ketentuan yang menjadi penundaan pelaksanaan dasar dikabulkannya berlakunya suatu Keputusan Tata penundaan, antara lain: Usaha Negara harus -​ tidak ada dilatarbelakangi oleh hal-hal yang keadaan/alasan yang bersifat mencegah kerugian bagi mendesak yang Penggugat dibandingkan dengan menuntut manfaat bagi kepentingan yang Ketua/MH/Hakim dilindungi oleh pelaksanaan KTUN, untuk segera selain itu harus memperhatikan mengambil sikap bahwa penundaannya tidak ada terhadap permohonan sangkut pautnya dengan penundaan; kepentingan umum, melainkan -​ menyangkut semata-mata terkait dengan kepentingan umum kepentingan individu. dalam rangka Apabila dikabulkan (lihat halaman pembangunan; 51 Buku II)... Contoh 12.​ SENGKETA KEPEGAWAIAN a. Objek sengketa yang masuk PTUN Sengketa atas Keputusan Pejabat atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) selain pemberhentian PNS dan pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK, maka menurut Pasal 3 diselesaikan keberatan kepada PPK. Selanjutnya gugatan dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). b. Objek sengketa yang masuk PTTUN Sengketa pemberhentian PNS dan pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK, diselesaikan dengan Banding Administratif kepada BPASN yang kemudian gugatan diajukan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). 13.​ PENDAPAT MENTEE MENGENAI SEMA NOMOR 2 TAHUN 2024 (MODI) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam pembahasan ini disebut sebagai “Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara”. Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara angka 2 dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2024: Ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 Rumusan Kamar Tata Usaha Negara angka 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Sikap diam Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak memasukkan atau mengabulkan Permohonan Penggugat dalam daftar Minerba One Data Indonesia (Modi), tidak dapat dipandang sebagai tindakan faktual yang bersifat omisi melainkan merupakan tindakan menolak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara angka 4 dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2017: a.​Berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU AP yang mengatur mengenai permohonan fiktif-positif, maka ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai gugatan fiktif-negatif tidak dapat diberlakukan lagi, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum tentang tata cara penyelesaian permasalahan hukum yang harus diterapkan oleh PERATUN. b.​Oleh karena ketentuan Pasal 53 UU AP dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengatur permasalahan hukum yang sama, yaitu tata cara pemberian perlindungan hukum bagi warga masyarakat untuk memperoleh keputusan pejabat pemerintahan, dan juga dalam rangka mendorong kinerja birokrasi agar memberikan pelayanan prima (excellent service), atas dasar prinsip lex posteriori derogat legi priori. Bahwa tentang permohonan fiktif-positif sebagaimana diatur dalam PERMA No. 8 Tahun 2017 sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015. Pendapat Mentee terhadap Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara angka 2 dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2024, yaitu kedua Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara tersebut memang tepat sesuai dengan periode berlaku ketentuan hukum positif yang mendasarinya. Periode tersebut dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: a.​ Pertama, periode wewenang Badan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Keputusan Fiktif Negatif sesuai Ketentuan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. b.​ Kedua, periode wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus Permohonan Penerimaan Permohonan Keputusan Fiktif Positif sesuai Ketentuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. c.​ Ketiga, periode dihapuskannya wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus Permohonan Penerimaan Permohonan Keputusan Fiktif Positif sesuai dengan Perubahan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Periode Pertama Periode Wewenang Badan Peradilan Tata Usaha Negara untuk Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan sengketa Keputusan Fiktif Negatif Pasal 3 ayat (1) s.d. ayat (3) Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara memuat ketentuan yang pada pokoknya Badan/Pejabat TUN secara hukum dianggap telah mengeluarkan suatu Keputusan TUN (fiktif) berupa penolakan permohonan (negatif), apabila dalam jangka waktu yang ditentukan, Badan/Pejabat TUN tersebut tidak melayani permohonan yang diterimanya. Pasal 3 (1)​ Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2)​ Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Penjelasan: Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya. (3)​ Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Prinsip pokok sikap diam Badan/Pejabat TUN yang dianggap sebagai Keputusan Penolakan (Fiktif Negatif) berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut, yaitu: 1)​ Adanya Permohonan penerbitan Keputusan TUN; 2)​ Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon padahal jangka waktu penetapan Keputusan TUN telah lewat; dan 3)​ Badan/Pejabat TUN dianggap mengeluarkan Keputusan TUN Penolakan atas permohonan penerbitan Keputusan TUN. Atas dasar ketentuan bahwa sikap diam Badan/Pejabat TUN terhadap Permohonan Penerbitan Keputusan tersebut dianggap sebagai sebuah Keputusan Tata Usaha Negara, maka Keputusan (fiktif negatif) tersebut berarti juga termasuk dalam Objek Sengketa TUN, karena salah satu unsur Sengketa TUN adalah timbul akibat dikeluarkannya Keputusan TUN sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 1 angka 10 Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena Keputusan Fiktif Negatif tersebut termasuk dalam Objek Sengketa Tata Usaha Negara, maka wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya ada pada badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 47 Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan uraian tersebut, Mentee menyimpulkan bahwa pada periode pertama ini terdapat ketentuan yang menjadi dasar wewenang badan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang ditimbulkan akibat Keputusan TUN Fiktif Negatif. Periode Kedua Periode Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk Memutus Permohonan Penerimaan Permohonan Keputusan Fiktif Positif Pada 17 Oktober 2014 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”). SEMA Nomor 1 Tahun 2017 didasarkan pada Pasal 53 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang memuat ketentuan bahwa apabila Badan/Pejabat AP tidak menetapkan keputusan/melakukan tindakan dalam batas waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan setelah permohonan diterima secara lengkap, maka sikap secara hukum Badan/Pejabat AP tersebut dianggap mengabulkan permohonan (Fiktif Positif), dan Pemohon dapat mengajukan Permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (Tingkat Pertama) untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan penerbitan keputusan/pelaksanaan tindakan AP tersebut. Paradigma yang diterapkan, yaitu sikap diam Badan/Pejabat AP dianggap sebagai keputusan/tindakan (fiktif) yang berupa penerimaan permohonan (positif), dan legitimasi dari keputusan/tindakan tersebut diperoleh dari putusan atas permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 (1)​ Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)​ Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat. (3)​ Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. (4)​ Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5)​ Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. (6)​ Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan. Prinsip pokok sikap diam Badan/Pejabat TUN yang secara hukum dianggap mengabulkan permohonan (Fiktif Positif) berdasarkan Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tersebut, yaitu: 1)​ Adanya Permohonan penerbitan Keputusan/pelaksanaan Tindakan Administrasi Pemerintahan; 2)​ Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan tidak mengeluarkan Keputusan/tidak melakukan Tindakan yang dimohon padahal jangka waktu penetapan Keputusan TUN telah lewat; dan 3)​ Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan secara hukum dianggap mengabulkan permohonan penerbitan Keputusan/pelaksanaan Tindakan. Dengan adanya ketentuan konsep fiktif positif sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tersebut, maka terdapat 2 (dua) konsep keputusan fiktif, yaitu: 1)​ fiktif negatif sesuai Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara; dan 2)​ fiktif positif sesuai Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Adanya kedua konsep keputusan fiktif yang dimaksud, menimbulkan permasalahan, yaitu manakah konsep yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa (apakah fiktif negatif, atau fiktif positif?), dan bagaimana mekanisme awal penyelesaian sengketa tersebut pada Badan Peradilan Tata Usaha Negara (melalui Gugatan sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, atau melalui Permohonan sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan)? Untuk menentukan keberlakuan norma hukum yang bertentangan, khususnya dalam Undang-Undang yang berbeda, maka dapat digunakan prinsip preferensi hukum, dan dalam hal ini yang lebih tepat adalah lex posteriori derogat legi priori (hukum yang kemudian mengenyampingkan hukum yang lebih dahulu). Alasan prinsip lex posteriori derogat legi priori diterapkan sebagai tolok ukur penilaian keberlakuan kedua norma hukum keputusan fiktif, karena: 1)​ baik keputusan fiktif negatif maupun keputusan fiktif positif sama-sama dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang berada dalam hierarki yang sama, yaitu Undang-Undang; dan 2)​ baik norma hukum fiktif negatif dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan norma hukum fiktif positif dalam Undang-Undang Administrasi pemerintahan sama-sama merupakan norma hukum materiil. Berdasarkan prinsip lex posteriori derogat legi priori yang bermakna hukum yang kemudian mengenyampingkan hukum yang lebih dahulu, maka norma hukum keputusan fiktif positif yang dimuat dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (2014) mengenyampingkan norma hukum keputusan fiktif negatif yang dimuat dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (1986), sehingga yang diberlakukan adalah norma hukum keputusan fiktif positif. Demikian juga untuk mekanisme upaya hukum yang diterapkan. Oleh karena Undang-Undang Administrasi Pemerintahan juga memuat ketentuan mengenai bentuk upaya hukum atas sikap diamnya Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan terhadap permohonan melalui permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan (fiktif positif), maka mekanisme pengajuan gugatan atas keputusan fiktif negatif yang didasarkan pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sudah tidak dapat diterapkan. Berdasarkan kedua alasan tersebut, maka disimpulkan bahwa konsep yang berlaku pada periode kedua ini adalah keputusan fiktif positif, dan mekanisme upaya hukum yang dapat ditempuh adalah melalui permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tingkat Pertama). Kemudian tindak lanjut atas adanya konsep keputusan fiktif positif serta upaya hukum yang dapat ditempuh tersebut dilaksanakan dengan diundangkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan. Periode Ketiga Periode Dihapuskannya Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk Memutus Permohonan Penerimaan Permohonan Keputusan Fiktif Positif sesuai dengan Perubahan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja Pada 31 Maret 2023 kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang Cipta Kerja”). Undang-Undang Cipta Kerja tersebut memuat perubahan terkait keputusan fiktif positif sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, khususnya yang terkait dengan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus permohonan sikap diam Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan sebagai penerimaan permohonan. Sebelum adanya perubahan melalui Undang-Undang Cipta Kerja tersebut, dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Pengadilan Tata Usaha Negara diberikan wewenang untuk memutus penerimaan permohonan keputusan (fiktif positif). Namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ketentuan yang memuat wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut sudah tidak eksis lagi. Berikut perbandingan ketentuan yang memuat wewenang penyelesaian upaya hukum atas keputusan fiktif positif: Pasal 53 Undang-Undang Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Administrasi Pemerintahan Setelah Sebelum Perubahan Perubahan melalui Undang-Undang Cipta Kerja Ayat (4) Ayat (5) Pemohon mengajukan permohonan Ketentuan lebih lanjut mengenai kepada Pengadilan untuk bentuk penetapan Keputusan memperoleh putusan penerimaan dan/atau Tindakan yang dianggap permohonan sebagaimana dimaksud dikabulkan secara hukum pada ayat (3). sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden. Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. Tidak adanya ketentuan yang menjadi dasar hukum wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara lagi untuk memutus permohonan fiktif positif setelah Perubahan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, memunculkan permasalahan baru, yaitu: (1)​ Manakah konsep keputusan fiktif yang berlaku? (2)​ Apakah setelah Undang-Undang Cipta Kerja ketentuan yang memuat konsep keputusan fiktif negatif sesuai Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara kembali berlaku dan tidak lagi dikesampingkan? (3)​ Apakah mekanisme upaya hukum atas sikap diam Badan/Pejabat terhadap permohonan Keputusan/permohonan pelaksanaan Tindakan dilakukan melalui mekanisme yang ditentukan dalam Peraturan Presiden saja, atau dapat dilakukan juga melalui gugatan ke Badan Peradilan Tata Usaha Negara yang mendasarkan pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara? Apabila pada periode kedua (sebelum Undang-Undang Cipta Kerja) hanya konsep Keputusan Fiktif Positif saja yang berlaku karena adanya ketentuan yang mendasari wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus permohonan keputusan fiktif serta penerapan prinsip preferensi hukum, maka menurut mentee pada periode ketiga ini, kedua konsep keputusan fiktif tersebut dapat diberlakukan dengan kondisi dan alasan sebagai berikut: (1)​ Konsep keputusan fiktif positif diberlakukan, dengan syarat terdapat mekanisme penyelesaian tindak lanjut atas bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan sesuai amanat Pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja. (2)​ Oleh karena sampai dengan saat ini belum terdapat Peraturan Presiden yang memuat mekanisme penyelesaian tindak lanjut atas bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan, maka demi kepastian hukum bagi warga masyarakat karena belum adanya Peraturan Presiden tersebut, mentee sepaham dengan Mahkamah Agung yang mengakomodir penyelesaian sengketa keputusan fiktif tersebut melalui penegasan bahwa diamnya Badan/Pejabat Pemerintahan yang tidak menanggapi permohonan penerbitan Keputusan/pelaksanaan Tindakan, dipandang sebagai penolakan untuk mengeluarkan Keputusan menurut Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara melalui SEMA Nomor 2 Tahun 2024 dengan mengambil sampel sengketa MODI (Mineral One Data Indonesia). Sikap Diam Badan/Pejabat Pemerintahan terhadap Permohonan Pendaftaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) ke Dalam Mineral One Data Indonesia (MODI) sebagai Keputusan Fiktif Negatif Mineral One Data Indonesia (MODI) merupakan database Izin Usaha Pertambangan (IUP) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, yaitu direktur jenderal yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan dan pengawasan kegiatan Mineral dan Batubara. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Sistem Informasi Pertambangan Mineral dan Batubara 14.​ EKSEPSI PADA PASAL 77 Pasal 77 UU Peratun mengatur mengenai eksepsi, terdapat 3 (tiga) jenis eksepsi, meliputi: a.​ Eksepsi Kompetensi Absolut ​dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya (ex officio) wajib menyatakan bahwa Pangadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. b.​ Eksepsi Kompetensi Relatif diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. c.​ Eksepsi Lainnya hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa. 15.​ PENALARAN HUKUM 16.​ PENEMUAN HUKUM Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lain yang mempunyai tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkret. Penemuan hukum dilakukan oleh hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa. Rechtsvinding hakim diartikan sebagai ijtihad hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa tujuan hukum. Penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim, hakim harus melihat apakah Undang-Undang tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau tidak ada ketentuan yang mengaturnya, jika terjadi demikian maka hakim dapat melakukan penemuan hukum. Latar Belakang Hakim melakukan penemuan hukum: Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomer 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Setiap Undang-Undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang perlu diisi oleh hakim. Hakim mencoba mencari dan menemukan hukumnya sendiri dari sumber-sumber hukum lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Metode Penemuan Hukum: a.​ Metode Interpretasi b.​ Metode Argumentasi c.​ Metode Fiksi Hukum d.​ Metode Konstruksi Hukum 17.​ METODE 3K, IREAC DAN IRFAC METODE 3K 1.​ Tahapan Konstatir contoh: membuat kronologi perkara 2.​ Tahapan Kualifisir contoh: menentukan isu hukum yang timbul dalam perkara ini kemudian memetakan peraturan perundang-undangan serta AUPB yang berkaitan 3.​ Tahapan Konstituir contoh: Berdasarkan isu hukum yang telah ditetapkan, maka dijawab secara satu persatu isu hukum yang muncul IREAC I = Issue R = Regulation E = Evidence A = Analysis C = Conclusion -​ Menentukan isu hukum terlebih dahulu -​ Kemudian mencari aturan hukum yang relevan -​ Selanjutnya dihubungkan dengan bukti -​ Kemudian dilakukan analisis -​ Terakhir menarik kesimpulan dari analisis yang dilakukan (yang menjadi amar) IRFAC I = Issue R = Regulation F = Fact A = Analysis C = Conclusion -​ Menentukan isu hukum terlebih dahulu -​ Kemudian mencari aturan hukum yang relevan -​ Selanjutnya membuat fakta hukum -​ Kemudian dilakukan analisis -​ Terakhir menarik kesimpulan dari analisis yang dilakukan (yang menjadi amar) 18.​ LOGIKA HUKUM 19.​ INTEGRITAS MENTEE SAAT MENJADI HAKIM 20.​ PERBEDAAN TF DAN CLS TINDAKAN FAKTUAL CLS Pengertian Dasar Hukum Contoh 21.​ BUKTI ELEKTRONIK BUKTI ELEKTRONIK Pengertian Data yang tersimpan dan / atau ditransmisikan melalui sebuah perangkat elektronik, jaringan, atau sistem komunikasi, yang dibutuhkan untuk membuktikan suatu perbuatan hukum yang terjadi di persidangan. Alat bukti elektronik merupakan dokumen elektronik berupa alat bukti surat yang telah bermaterai yang kemudian diunggah ke dalam Sistem Informasi Pengadilan (E-Court) sebelum jadwal sidang untuk acara pembuktian. Dasar Hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Contoh Keputusan elektronik bentuk yang pertama dapat dilihat pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham yang meliputi tahapan-tahapan dari mulai log in hingga diterbitkannya keputusan pendirian badan hukum yang dibuat dalam aplikasi digital. Jika dalam tahapan tertentu proses itu tidak berlanjut dan pemohon merasa dirugikan maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke PTUN. 22.​ APAKAH ADA KONDISI HAKIM YANG MENYIMPANGI PERATURAN PER-UU Terdapat kondisi dimana hakim menyimpangi peraturan perundang-undangan, yang disebut dengan contra legem. Contra Legem merupakan putusan Hakim pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal Undang-Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat. Demi terciptanya suatu keadilan, maka hakim dapat bertindak Contra Legem, Hal tersebut diperbolehkan, dengan alasan, Apabila dalam suatu perkara tidak terdapat aturan yang jelas ataupun aturan yang mengatur suatu persoalan hukum, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan contra legem, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 23.​ EKSEKUSI DAN TAHAPANNYA Hanya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan (Pasal 115 UU PERATUN). yang dimaksud putusan BHT (inkracht van gewijsde) ialah: a.​ Putusan PTUN yang tidak diajukan upaya hukum dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, atau memang tidak tersedia upaya hukum; b.​ Putusan PTTUN yang tidak diajukan upaya hukum dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, atau memang tidak tersedia upaya hukum; c.​ Putusan Mahkamah Agung. Pelaksana Putusan Peradilan TUN adalah badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menerbitkan keputusan dan/atau melakukan Tindakan, dengan diawasi oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. Lazimnya, Putusan Peradilan TUN dilaksanakan secara sukarela oleh badan/pejabat administrasi pemerintahan, mengingat badan/pejabat administrasi pemerintahan harus selalu patuh hukum. Meski demikian, masih ada putusan yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh badan/pejabat administrasi pemerintahan. Terhadap hal tersebut, UU PERATUN menyediakan sarana pemaksa agar Putusan PTUN tersebut terlaksana dengan baik. A.​ PROSEDUR PELAKSANAAN PUTUSAN Dasar Hukum: Pasal 97 UU Nomor 5 tahun 1986, beberapa pasal dalam UUAP yaitu pasal 64, 66, serta pasal 72 dan 80 UUAP. Prosedur: 1.​ Salinan putusan BHT dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera atas perintah ketua pengadilanyang mengadiilinya selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari. 2.​ 60 hari kerja setelah salinan putusan dikirimkan kepada Tergugat, dan ternyata Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf a yaitu tidak mencabut KTUN yang bersangkutan, maka ketua pengadilan membuat Penetapan yang menyatakan KTUN yang telah dibatalkan atau dinyatakan tidak sah tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum berlaku. Penetapan tersebut dikirimkan kepada para pihak oleh panutera dengan surat tercatat. 3.​ Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yaitu pencabutan Keputusan/Tindakan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan/tindakan TUN yang baru, kemudian setelah 90 hari kerja ternyata kewajiban terebsut tidak dilaksanakan, Penggugat mengajukan permohonan agar Ketua Pengadilan tk. I memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan putusan Pengadilan. 4.​ Dalam hal Tergugat setelah diperintahkan untuk melaksanakan putusan ternyata tidak bersedia melaksanakannya, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif, serta diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera pengadilan. 5.​ Di samping diumumkan di media massa cetak, Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan dan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. B.​ GANTI RUGI Dasar Hukum: Pasal 97 ayat (10) = gugatan yang dikabulkan dapat ditambah dengan kewajiban bagi Tergugat dan/atau ganti rugi. Prosedur pelaksanaan putusan yang memuat amar ganti rugi diatur dalam Pasal 120 UU PERATUN. Kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan TUN, jo. Kep. Menteri Keuangan No. 1129/KKM.01/1991 tentang tata cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Putusan PTUN. C.​ PEMBAYARAN UANG PAKSA Dasar Hukum: Pasal 116 ayat (4) UU PERATUN, Pasal 116 ayat (7) D.​ SANKSI ADMINISTRATIF Sanksi Administratif berarti sanksi yang dikenakan bagi pejabat pemerintahan yang melakukan pelanggaran administratif. (Pasal 1 angka 5 PP 48 tahun 2016) Dasar Hukum: Ketentuan tentang sanksi administratif secara eksplisit sebagai pelaksanaan putusan sesuai ketentuan pada Pasal 106 ayat (7) belum diterbitkan. Namun, sudah diterbitkan PP Nomor 48 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan. E.​ PENGUMUMAN DI MEDIA MASSA CETAK Dasar Hukum: Pasal 116 ayat (5) UU PERATUN memberikan sarana pengumuman di media massa cetak bagi badan/pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan yang sudah BHT. Pengumuman dilakukan oleh Panitera dan/atau Jurusita Pengadilan atas perintah ketua Pengadilan, dengan biaya dibebankan pada pemohon eksekusi. F.​ PENGAJUAN KEPADA PRESIDEN DAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT Dasar Hukum: Pasal 116 ayat (6) UU PERATUN mengatur bahwa selain mengumumkan di media massa cetak, ketua Pengadilan juga harus mengajukan hal tersebut kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. G.​ PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM SENGKETA KEPEGAWAIAN Dasar Hukum: Pasal 121 UU PERATUN mengatur tentang Rehabilitasi, yaitu pemulihan hak Penggugat dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula. Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan rehabilitasi di bidang kepegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan pasal 97 ayat (11) UU Peradilan TUN, maka salinan putusan yang berisi kewajiban rehabilitasi tersebut dikirimkan pula oleh pengadilan kepada Badan atau Pejabat TUN yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan itu BHT. -​ Apabila Tergugat tidak dapat, atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan pengadilan disebabkan berubahnya keadaan setelah Putusan dijatuhkan/BHT, Tergugat wajib memberitahukan hal tersebut kepada Ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) dan juga kepada Penggugat. -​ Dalam waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar termohon eksekusi dibebankan kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya. -​ Ketua Pengadilan selanjutnya memerintahkan Panitera agar memanggil kedua belah pihak untuk mengupayakan tercapainya kesepakatan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat. -​ Apabila upaya untuk mencapai kesepakatan tidak berhasil, maka ketua pengadilan menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud, dengan penetapan disertai dengan pertimbangan yang cukup. -​ Penetapan Ketua Pengadilan tentang jumlah uang atau kompensasi lain dapat diajukan baik oleh pemohon eksekusi maupun termohon eksekusi kepada MA tentang penetapan kembali jumlah uang atau kompensasi lain, -​ Putusan MA tentang penetapan kembali jumlah uang atau kompensasi wajib ditaati kedua belah pihak. 24.​ TEORI KEADILAN, KEPASTIAN, DAN KEMANFAATAN Bingkai ajaran Gustav Radbruch, hukum adalah seperangkat aturan yang dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum yang memberi kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Implikasinya adalah, Pertama, untuk mewujudkan nilai keadilan, hukum harus dibuat berdasarkan prinsip kesetaraan melalui proses yang demokratis dan menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan hukum, Kedua, untuk mewujudkan kepastian hukum, sebuah peraturan hukum harus disusun secara koheren, jelas, serta tidak menimbulkan penafsiran lain dan dituangkan sebagai peraturan yang mengikat siapapun. Ketiga, hukum harus memuat nilai kemanfaatan, dengan kata lain isi sebuah peraturan hukum disusun untuk ditegakkan sedemikian rupa sehingga memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat bersama yang didasarkan pada kesetaraan. Hukum diproyeksikan untuk menciptakan keadilan, mewujudkan kepastian hukum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hukum harus dinamis dan selalu menyesuaikan perkembangan tatanan sosial maupun persoalan yang tumbuh dalam masyarakat, untuk mencapai tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Mengingat keadilan adalah inti dari hukum, maka apabila seorang hakim dihadapkan pada sebuah peraturan hukum yang dirasakan tidak akan mampu menciptakan keadilan, atau tidak mengedepankan prinsip kesetaraan dan persamaan di depan hukum, hakim harus bisa meninggalkan peraturan itu dan memutus perkara berdasarkan rasa keadilan berdasar prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dengan demikian ajaran ini mengubah stigma bahwa hakim di dalam tradisi civil law hanya berperan sebagai corong undang-undang, karena dalam ajaran Radbruch, hakim berdasarkan kewenangannya harus memutuskan perkara dengan mengedepankan nilai keadilan. Jadi dalam ajaran ini hakim tidak sekadar berperan memastikan keberlakuan peraturan hukum atas perkara yang ditanganinya, tetapi lebih dari itu, ketika dihadapkan pada aturan yang tidak jelas atau berlawanan dengan prinsip equality before the law, hakim harus mengesampingkan peraturan hukum itu dan memutus berdasarkan keadilan berdasarkan nilai-nilai yang luhur yang hidup dalam masyarakat. 25.​ TEORI OPLOSSING 26.​ PERATURAN TERKAIT -​ UU Peratun -​ UU AP -​ Buku II -​ Perma -​ Perma -​ Perma -​ SEMA