Revisi Taksonomi Bloom: Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik PDF
Document Details
Uploaded by MeticulousMystery764
Universitas Pancasakti Tegal
2021
Dewi Amaliah Nafiati
Tags
Summary
Artikel ini membahas revisi taksonomi Bloom, dengan fokus pada perubahan aplikasi di bidang penyusunan kurikulum, instruksi pengajaran, dan penilaian. Di dalam revisi ini, terminologi lebih spesifik dan kata kunci operasional bergeser dari kata benda ke kata kerja. Artikel ini juga mengulas domain kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam konteks pendidikan.
Full Transcript
Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, ISSN: 1412-1271 (p); 2579-4248 (e). Vol. 21. No. 2. (2021). pp. 151-172 doi: 10.21831/hum.v21i2.29252. 151-172 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik Dewi Amaliah Nafiati Universitas Pancasakti Tegal, Indonesia Emai...
Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, ISSN: 1412-1271 (p); 2579-4248 (e). Vol. 21. No. 2. (2021). pp. 151-172 doi: 10.21831/hum.v21i2.29252. 151-172 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik Dewi Amaliah Nafiati Universitas Pancasakti Tegal, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Revisi taksonomi Bloom menitikberatkan pada (1) perubahan aplikasi yang terdiri dari tiga bidang yaitu aplikasi bidang penyusunan kurikulum, aplikasi bidang instruksi pengajaran, aplikasi bidang assesment/ penilaian; dan (2) perubahan terminologi yang menekankan pada sub kategori sehingga penilaian menjadi lebih spesifik, mudah dalam menyusun penilaian pada kurikulum, serta mudah dalam menyusun instruksi pengajaran. Revisi taksonomi Bloom juga mengubah kata kunci operasional dari kata benda menjadi kata kerja dari level terendah sampai dengan level tertinggi.Terdapat perubahan yang sangat signifikan pada revisi taksonomi Bloom di domain kognitif yang terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Dimensi pengetahuan berubah menjadi faktual, konseptual, prosedural, metakognisi. dimensi proses kognitif baru menjadi mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Domain afektif meliputi rasa, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap tercermin pada perilaku/ attitude sehari-hari pada proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Domain psikomotorik dirumuskan sebagai serangkaian kemampuan yang bersifat kongkrit dan abstrak. Keywords: Bloom, Kurikulum, Penilaian 151 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Abstract Bloom’s taxonomic revision focuses on (1) application changes that consist of three fields, namely the application of curriculum development. application of teaching instruction area, application of assessment/ assessment field; and (2) changes in the terminology emphasizing sub-categories so that assessment becomes more specific, it is easy to arrange assessments in the curriculum, and easy to arrange instructions teaching. Revised Bloom’s taxonomy also changed the operational keywords from words to verbs from the lowest level to the highest level. There is a very significant change in Bloom’s revised taxonomy in the cognitive domain which consists of two dimensions, namely the dimension of knowledge and the dimension of cognitive processes. The dimension of knowledge changes into factual, conceptual, procedural metacognition. the dimension of the new cognitive process becomes remembering, understanding apply. analyze, evaluate and create. Affective domain includes taste, value, appreciation, enthusiasm, motivation. and attitudes are reflected in behavior everyday in the learning process both in the classroom and outside the classroom. Domain psychomotor formulated as a series of abilities that are concrete and abstract. Keywords: Bloom, Curriculum, Assessment Pendahuluan Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor utama berkembang dan majunya sebuah negara dan bangsa. Sumber daya manusia juga menjadi fokus utama dalam era revolusi industri 4.0. berbagai macan upaya dilakukan oleh pemerintah dalam ranga pemenuhan sumber daya yang berkualitas sebagai jawaban atas tantangan revolusi industri 4.0. melalui kementeriannya, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam proses pendidikan baik formal (sekolah) maupun non formal (komunitas-komunitas, pelatihan-pelatihan, pemagangan-pemagangan dan sertifikasi kompetensi atau keahlian yang diakui oleh pemerintah). Terkait dengan pendidikan, merupakan investasi yang sangat penting dalam rangka menghadapi dunia yang semakin kompleks dan berkembang secara sangat signifikan. Berdasarkan teori human capital “Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia yang banyak memberikan manfaat, seperti: diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, efisiensi produksi, peningkatan kesejahteraan dan tambahan pendapatan seseorang apabila mampu 152 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) menyelesaikan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya (Gaol, 2014). Salah satu respon pemerintah dalam rangka memenuhi sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing dengan dunia global adalah dengan menetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) ditetapkan oleh Pemerintah sebagai sebuah rumusan kemampuan kerja atau kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan (knowledge/ kognitif), keterampilan (skil/ psikomotor), dan sikap kerja (attitude/ afektif) yang sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dari tugas atau pekerjaan dan syarat dari jabatan yang akan didudukinya. Selain itu, pendidikan berbasis karakter juga menjadi ruh dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Pendidikan formal di Indonesia ditetapkan secara berjenjang, yang dimulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (UU Sisdiknas, 2003). Masing-masing jenjang pendidikan tersebut didasarkan pada tingkat perkembangan peserta didik, tujuan pendidikan yang ingin dicapai, dan kemampuan apa yang ingin dikembangkan. Proses pendidikan yang bermutu dan berkualitas tersebut akan tercapai manakala terjadi hubungan yang sinergis antara seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan. Sebuah pertanyaan muncul, siapakah komponen pendidikan tersebut? Soetarno (2003) menyampaikan bahwa komponen dalam sistem pendidikan formal terdiri dari tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, metode pendidikan, isi pendidikan/ materi pendidikan, lingkungan pendidikan, alat dan fasilitas pendidikan. Pada pendidikan formal dari sekian komponen yang terlibat, faktor guru menjadi sangat penting. Guru menurut UU no. 14 tahun 2005 “adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Guru layaknya seorang aktor yang berperan mengelola segala aktifitas pembelajaran hingga tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran ekonomi pada Sekolah Menengah Atas (SMA) harus diawali dengan penyusuna serangkaian perangkat pembelajaran yang baik. Perangkat pembelajaran ekonomi SMA diawali dengan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan baik yang didasarkan pada kurikulum 2013 (kompetensi inti dan kompetensi dasar). RPP menjadi sangat penting karena RPP menjadi rambu-rambu guru dalam melaksanakan 153 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 serangkaian perannya pada setiap kegiatan belajar mengajar. RPP yang dirancang berisi skenario yang memuat tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada setiap pertemuan pembelajaran. Walaupun demikian, sebaik-baik RPP disusun, tetap harus diuji tingkat ketercapaian tujuan pembelajarannya melalui penilaian. Penilaian dapat dilakukan dengan memberikan tes kepada siswa terkait dengan tujuan pembelajaran yang tertuang pada setiap RPP yang disusun. Penilaian ini menjadi sangat penting sebagai bahan masukan, koreksi, perbaikan bagi guru akan kualitas RPP yang dibuat. Tes yang disusun untuk dikerjakan oleh siswa dan dikoreksi oleh guru harus berdasarkan konsep dan materi ekonomi yang diajarkan kepada siswa. Ini menjadi salah satu tolak ukur apakah materi yang disamaikan oleh guru telah dikuasai dengan baik oleh siswa. Persentase Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan sekolah menjadi indikator yang ketercapaian tujuan pembelajaran yang tertuang dalam RPP guru. Tes yang dibuat oleh guru menjadi instrumen penting dalam menilai ketuntasan pembelajaran siswa. Dalam penyusunan tes, banyak terlibat serngkaian kata kerja sebagai pengukuran ketercapaian tujuan pembelajaran. Taksonomi Bloom merumuskan taksonomi tujuan pendidikan dalam tiga buku, pertama domain kognitif; kedua, tahun 1964 tentang domain afektif; dan ketiga tahun 1964 tentang ”Stabilitas dan Perubahan Karakteristik Manusia” yang memicu minat pada anak-anak dan pembelajaran yang pada akhirnya secara langsung mengarah pada pembentukan program Head Start di Amerika (Zhou & Brown, 2017) Hasil dan Pembahasan Konsep Taksonomi Bloom Taksonomi merupakan sistem klasifikasi (Yaumi, Muhammad: 2013) yang berasal dari bahasa Yunani dan mengandung dua arti yaitu “Taxis/ pengaturan” dan “Nomos/ ilmu pengetahuan” (Wibowo, Tri: 2007). Taksonomi Bloom berangkat dari pemikiran seorang psikolog pendidikan yaitu Dr. Benjamin Boom (1956) yang membentuk pemikiran pendidikan pada level yang lebih tinggi, yaitu menganalisis dan mengevaluasi konsep, proses, prosedur, dan prinsip, bukan hanya mengingat fakta/hafalan (Zhou & Brown, 2017). Pada tahun 1956, Bloom menerbitkan karyanya yang berjudul “Taxonomy of Educational Objective Cognitive Domain”, dilanjutkan pada tahun 1964 dengan karyanya “Taxonomy of Educataional Objectives, Affective Domain”. Produktifitas Bloom tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1971, Bloom berkarya kembali 154 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) dengan mempublikasikan karyanya yang berjudul “Handbook on Formative and Summatie Evaluation of Student Learning”, serta di tahun 1985 keluar kembali karya Bloom yang berjudul “Developing Talent in Young People” (Winkel, 2007). Taksonomi Bloom banyak diterapkan ketika merencanakan tujuan belajar dan pembelajaran dan berbagai aktifitas pembelajaran. Pada awal penyusunan taksonominya, Bloom merumuskan dua domain pembelajaran yaitu domain kognitif: keterampilan mental (pengetahuan), dan domain afektif: pertumbuhan perasaan atau bidang emosional (sikap). Pada tahun 1966, Simpson merumuskan satu domain untuk melengkapi taksonomi yang dicetuskan oleh Bloom, yaitu domain psikomotor: keterampilan manual atau fisik (keterampilan). Simpson memperkenalkan “The Classification of Educational Objectives in the Pyschomotor Domain” dan Dave (1967) memperkenalkan “Psychomotor Domain”. Revisi Taksonomi Bloom Krathwohl (2002) menyampaikan bahwa Bloom menyampaikan pemikirannya tentang taksonomi kognitif terutama dalam rangka penyusunan soal/ tes ujian untuk siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Krathwohl yang merupakan sahabat dari Bloom bersama dengan ahli psikologi bidang pendidikan bekerja keras untuk mervisi taksonomi tersebut dan mempublikasikannya (Anderson et al., 2001). Terdapat perubahan yang mendasar dari revisi taksonomi Bloom, yaitu: 1. Revisi taksonomi Bloom menfokuskan pada perubahan aplikasi yang terdiri dari tiga bidang yaitu aplikasi bidang penyusunan kurikulum, aplikasi bidang instruksi pengajaran, aplikasi bidang assesment/ penilaian. Pada taksonomi Bloom yang lama, penyusunan taksonomi ditujukan untuk mempermudah penyusunan penilian untuk tingkat perguruan tinggi secara nasional. 2. Revisi taksonomi Bloom fokus pada perubahan terminologi, dimana revisi taksonomi Bloom menekankan pada sub kategori yang mengakibatkan penilaian menjadi lebih spesifik, mudah dalam menyusun penilaian pada kurikulum, serta mudah dalam menyusun instruksi pengajaran. Selain itu revisi taksonomi Bloom terdapat perubahan knowledge/ pengetahuan sebagai kategori menjadi sebuah ukuran yang harus dicapai. Revisi taksonomi Bloom juga mengubah kata kunci operasional dari kata benda menjadi kata kerja dari level terndah sampai dengan level tertinggi. 155 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Domain Kognitif Domain pengetahuan/ kognitif dalam Taksonomi Bloom berkaitan dengan ingatan, berpikir dan proses-proses penalaran. Berikut revisi taksonomi Bloom pada domain kognitif yang disampaikan oleh Anderson et al. (2001). Tabel 1. Revisi Taksonomi Bloom Domain Kognitif Taksonomi Bloom Lama Taksonomi Bloom Baru C1 (Pengetahuan) (Mengingat) C2 (Pemahaman) (Memahami) C3 (Aplikasi) (Mengaplikasikan) C4 (Analisis) (Menganalisis) C5 (Sintesis) (Mengevaluasi) C6 (Evaluasi) (Mencipta) Versi baru Taxonormy Blooms dengan contoh dan kata kunci ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Revisi Taksonomi Bloom dan Kata Kuncinya Domain Kognitif Tua (Asli) Domain Kognitif Baru (Revisi) Level Contoh, Kata Kunci (Kata Level Contoh, Kata Kunci (Verb), Kerja), dan Pembelajaran dan Kegiatan Belajar dan Membagi dan Teknologi Teknologi Pengeta- Contoh: Ucapkan sebuah Mengingat: Contoh: Ucapkan sebuah ke- huan: Ingat kebijakan. Mengutip harga dari Ingat atau bijakan. Mengutip harga dari data atau memori ke pelanggan. Ketahui ambil dipela- memori ke pelanggan. informasi. aturan keamanannya. jari sebelum- Bacalah aturan keselamatan. Tentukan suatu istilah nya Kata Kunci: mendefinisikan, Kata Kunci: mengatur, mendefi- informasi menjelaskan, mengidentifika- nisikan, si, mengetahui, label, daftar, menggambarkan, identitas, kecocokan, nama, garis besar, tahu, label, daftar, kecocokan, penarikan kembali, Menga- nama, menguraikan, mengingat, kui, mereproduksi, memilih, mengenali, menyatakan mereproduksi, memilih, menya- Teknologi: penandaan buku, takan flash kartu, belajar hafalan Teknologi: bookmark, berdasarkan pengulangan, kartu flash, pencarian internet, membaca bacaan 156 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) Domain Kognitif Tua (Asli) Domain Kognitif Baru (Revisi) Pemahaman: Contoh: Menulis ulang Memahami: Contoh: Tulis ulang Memahami prinsip penulisan ujian, Jelaskan Memahami prinsip-prinsip tes menulis, berarti dengan kata-kata sendiri lang- artinya, Jelaskan sendiri langkah terjemahan, kah-langkah untuk mengalami terjemahan, untuk melakukan tugas yang interpolasi, tugas yang kompleks. Mener- interpolasi, kompleks. Terjemahkan & jemahkan equaton menjadi dan inter- persamaan ke dalam interpretasi Spreadsheet komputer pretasi dari spreadsheet komputer. dari instruksi Kata Kunci: memahami, instruksi dan Kata Kunci: memahami, dan masalah. mengubah, diagram, membela, masalah. bertobat, membela, Sebutkan membedakan, memperkirakan, Sebutkan membedakan, masalah menjelaskan, meluas, menya- masalah memperkirakan, dalam diri maratakan, memberi dalam diri menjelaskan, memperluas, seseorang contoh, menyimpulkan, seseorang menggeneralisasikan, memberi kata-kata menafsirkan, parafrase, prediksi, kata-kata sebuah contoh, sendiri. penulisan ulang, sendiri. menyimpulkan, menafsirkan, merangkum, menerjemahkan parafrase, prediksi, penulisan Teknologi: buat analogi, ulang, berpartisipasi dalam koperasi merangkum, menerjemahkan belajar, membuat catatan, cerita Teknologi: buat analogi, pemberitaan berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif, membuat catatan, mendongeng, cari di Intermet Aplikasi: Contoh: Gunakan manual Aplikasi: Contoh: Gunakan manual un- Gunakan untuk menghitung waktu Gunakan tuk menghitung waktu liburan konsep baru liburan karyawan. Menerapkan konsep baru karyawan. Menerapkan situasi atau undang-undang statistik untuk situasi atau hukum statistik untuk penggu- mengevaluasi keandalan suatu penggunaan mengevaluasi keandalan tes naan tanpa Tes tertulis. abstraksi tertulis. kompromi Kata Kunci: berlaku, peruba- tanpa kom- Kata Kunci: berlaku, pe- dari sebuah han, Menghitung, konstruk, promi. rubahan, hitung, konstruk, abstraksi. menunjukkan, menemukan, Terapkan apa pertunjukkan, menemukan, Terapkan apa memanipulasi, memodifikasi, itu dipelajari memanipulasi, memodifikasi, itu belajar mengoperasikan, memprediksi, dalam kelas mengoperasikan, mempredik- di kelas ke menyiapkan, memproduksi, menjadi si, menyiapkan, menghasilkan, dalam situasi menghubungkan, menunjukkan, situasi baru menceritakan, menunjukkan, maya di In- memecahkan, menggunakan di tempat memecahkan, menggunakan ternet Teknologi: kolaborasi pembe- kerja. Teknologi: pembelajaran tempat kerja. lajaran, membuat proses, blog, kolaboratif, buat proses, blog, praktek praktik 157 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Domain Kognitif Tua (Asli) Domain Kognitif Baru (Revisi) Analisis: Contoh: Memecahkan masalah Menganalisa: Contoh: Pecahkan masalah Pisahkan peralatan dengan menggunakan Bahan yg peralatan dengan menggu- bahan atau logika deduksi. Kenali logis terpisah nakan deduksi logis. konsep fallacy in reasoning. Gathers atau konsep Kenali kesalahan logis dalam menjadi informasi dari departemen menjadi alasan, informasi Gathcrs dari komponen memilih tugas yang diperlukan bagian dari departemen dan memilih yang bagian seh- untuk membedakan, men- komponen diperlukantugas-tugas untuk ingga gidentifikasi, mengilustrasikan, organisasi pelatihan organisasi menyimpulkan, menguraikan, agar dimen- Kata-kata Kunci: analisis, struktur menghubungkan, pelatihan. gerti. penguraian, Membandingkan, mungkin Kata Kunci: analisis, istirahat Membedakan kontras, diagram, dimengerti. turun, bandingkan, kontras, antara fakta mendekonstruksi, membeda- Bedakan diagram, mendekonstruksi, dan kan, antara fakta membedakan, memisahkan, kesimpulan. membedakan, membedakan, dan kesim- memilih, memisahkan mengidentifikasi, mengilus- pulan Teknologi: fishbowls, trasikan, menyimpulkan, berdebat, mempertanyakan apa menguraikan, terjadi, jalankan tes menghubungkan, memilih, memisahkan Teknologi: fishbowls, debat- ing, mempertanyakan apa yang terjadi, jalankan sebuah tes Sintesis: Ban- Contoh: Tulis perusahaan Mengeval- Contoh: Pilih larutan yang gun struktur operasi atau proses manual. uasi: Buat paling efektif. Sewa yang pal- atau pola Desain mesin untuk melakukan Penilaian ing berkualitas. Jelaskan dan dari beragam tugas spesifik. Pelatihan terpadu tentang nilai gunakan anggaran yang baru. elemen. Pas- dari beberapa sumber untuk gagasan Kata Kunci: menilai, mem- ang bagian menyelesaikan masalah. Merevisi atau bahan. bandingkan, bersama dan memproses untuk tingkat- menyetujui, mempertentang- untuk kan hasilnya. kan, mengkritik, mengkritik, membentuk Kata Kunci: mengkategorikan, membela, menjelaskan, secara utuh, menggabungkan, menyusun, mendiskriminasi, mengevalua- dengan menyusun, menciptakan, meran- si, menjelaskan, penekanan cang, mendesain, menafsirkan, membenarkan, pada mem- menjelaskan, menghasilkan, menceritakan, merangkum, buat arti/ memodifikasi, mengorganisir, mendukung struktur yang merencanakan, mengatur ulang, Teknologi: survei, blog baru. merekonstruksi, menghubung- kan, menata ulang, merevisi, menulis ulang, meringkas, memberitahu, menulis Teknologi: esai, jejaring 158 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) Domain Kognitif Tua (Asli) Domain Kognitif Baru (Revisi) Evalua- Contoh: Pilih yang paling Mencip- Contoh: Tulis operasi peru- si: Buat banyak solusi efektif. Pilih paling takan: Mem- sahaan atau proses manual. penilaian banyak kandidat yang memenuhi bangun Desain mesin untuk melaku- tentang ide syarat. Jelaskan dan struktur atau kan tugas tertentu. atau bahan. membenarkan anggaran baru. pola dari Integrasikan pelatihan dari Kata Kunci: menilai, memband- beragam beberapa sumber untuk me- ingkan, elemen. mecahkan masalah. Merevisi menyimpulkan, kontras, Pasang bagian dan proses untuk meningkat- mengkritik, kritik, membela, bersama kan hasilnya. menjelaskan, mendiskriminasi, untuk mem- Kata Kunci: mengkategori- mengevaluasi, menjelaskan, bentuk secara kan, menggabungkan, menafsirkan, membenarkan, utuh, dengan mengkompilasi, menyusun, menceritakan, merangkum, penekanan membuat, merancang, mendukung pada mem- mendesain, menjelaskan, Teknologi: survei, blogging buat arti/ menghasilkan, memodifikasi, struktur yang mengorganisir, merencanakan, baru mengatur ulang, merekon- struksi, menghubungkan, me- nata ulang, merevisi, menulis ulang, merangkum, memberi tahu, Menulis Teknologi: buat model baru, Menulis esai, berjejaring den- gan orang lain (Anderson et al., 2001) Dimensi Pengetahuan pada taksonomi Bloom juga mengalami perubahan (revisi). Adapun perubahan yang disampaikan oleh Anderson et al. (2001) dapat dijabarkan pada tabel 3. 159 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Tabel 3. Revisi Taksonomi Bloom Dimensi Pengetahuan Dimensi Pengetahuan Lama Dimensi Pengetahuan Baru (Revisi) 1. Pengetahuan Faktual 1. Pengetahuan Faktual a. Pengetahuan tentang a. Pengetahuan tentang terminologi (label, simbol terminologi verbal dan non verbal b. Pengetahuan tentang bagian b. Pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-unsurnya detail dan unsur-unsurnya 2. Pengetahuan Konseptual (peristiwa, tempat, orang, a. Pengetahuan tentang tanggal, hari, sumber klasifikasi dan kategori informasi) b. Pengetahuan tentang prinsip 2. Pengetahuan Konseptual dan generalisasi a. Pengetahuan tentang c. Pengetahuan tentang teori, klasifikasi dan kategori (Jenis, model, dan struktur tipe, pola, macam) 3. Pengetahuan Prosedural b. Pengetahuan tentang prinsip a. Pengetahuan tentang dan generalisasi keterampilan khusus yang c. Pengetahuan tentang teori berhubungan dengan (definisi, pengertian), model, suatu bidang tertentu dan dan struktur pengetahuan algoritma 3. Pengetahuan Prinsip b. Pengetahuan tentang teknik Pengetahuan tentang hukum, dan metode kaidah, rumus, aturan. c. Pengetahuan tentang kriteria 4. Pengetahuan Prosedural penggunaan suatu prosedur a. Pengetahuan cara melakukan 4. Pengetahuan Metakognitif sesuatu c. Pengetahuan strategik b. Pengetahuan tentang d. Pengetahuan tentang operasi rangkaian langkah yang harus kognitif diikuti (mekanisme, tahapan, e. Pengetahuan tentang diri prosedur) sendiri Dimensi pengetahuan mencakup spesifikasi domain, pengalaman, konteks sosial dalam proses membangun dan mengembangkan sebuah pengetahuan. Empat jenis pengetahuan tersebut membantu guru dalam merancang dam memutuskan materi apa yang akan disampaikan pada siswa. Berdasarkan tabel di atas, kita bisa analisis terdapat perubahan pada dimensi pengetahuan/ empat jenis pengetahuan yang disampaikan oleh Anderson et al. 160 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) (2001), yaitu: 1. Dimensi pengetahuan secara berurutan mengalami perubahan yaitu dari dimensi pengetahuan lama yang terdiri dari dimensi faktual, konseptual, prinsip, dan prosedural berubah secara berurutan menjadi faktual, konseptual, prosedural, metakognisi. 2. Tipe pengetahuan prinsip digabungkan dengan tipe pengetahuan konseptual. dimana dimensi pengetahuan yang baru ditambahkan yaitu tipe pengetahuan metakognisi sebagai tipe pengetahuan keempat. Taksonomi baru ini atau revisi taksonomi Bloom ini mencerminkan bentuk pemikiran yang lebih aktif dan lebih akurat. Selain dimensi pengetahuan yang mengalami perubahan, dimensi proses kognitif juga mengalami perubahan juga. Dimensi proses kognitif merupakan klasifikasi proses-proses kognitif siswa secara komprehensif yang terdapat dalam tujuan-tujuan bidang pendidikan. Berikut dijelaskan perubahan dimensi proses kognitif oleh Anderson et al. (2001). Tabel 4. Revisi Taksonomi Bloom Dimensi Proses Kognitif Dimensi Proses Kognitif Lama Dimensi Proses Kognitif Baru A. Pengetahuan A. Pengetahuan Kemampuan menghafal verbal atau Mengingat dan mengenali kembali mengingat kembali materi pembelajaran pengetahuan, fakta, dan konsep, dari yang sudah dipelajari dari guru, buku, yang sudah dipelajari. Sub kategori proses atau sumber lain tanpa melakukan mengingat dapat berupa menentukan, perubahan tentang pengetahuan hafalan mengetahui, memberi label, mendaftar, berupa fakta, konsep, prinsip, dan menjodohkan, mencantumkan, prosedur. mencocokkan, memberi nama, mengenali, memilih, mencari. B. Pemahaman B. Memahami Kemampuan mengolah pengetahuan Membangun makna atau memaknai yang dipelajari menjadi sesuatu yang pesan pembelajaran, termasuk dari baru, seperti mengganti kata dengan apa yang diucapkan, dituliskan, sinonim, menulis kembali sesuatu dan digambar”. Sub kategori proses dengan gaya sendiri, mengubah bentuk dari memahami adalah menafsirkan, komunikasi dari tulisan ke tabel atau mencontohkan, mendeskripsikan, visual, memberi tafsir terhadap sesuatu merangkum, menyimpulkan, hal. membandingkan, dan menjelaskan. 161 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Dimensi Proses Kognitif Lama Dimensi Proses Kognitif Baru C. Aplikasi C. Mengaplikasikan Kemampuan untuk menggunakan materi Menggunakan ide dan konsep yang yang telah dipelajari pada situasi atau telah dipelajari untuk memecahkan kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini masalah pada situasi atau kondisi real dapat diartikan sebagai penerapan atau (sebenarnya). Aplikasi disini dapat penggunaan hukum-hukum, rumus, diartikan sebagai penerapan atau metode dan prinsip dalam konteks atau penggunaan hukum-hukum, rumus, situasi yang lain. metode dan prinsip dalam konteks atau situasi yang lain. Sub kategori proses mengaplikasikan adalah menerapkan, menghitung, mendramatisasi, memecahkan, menemukan, memanipulasi, memodifikasi, mengoperasikan, memprediksi, mengimplementasikan, memecahkan. D. Analisis D. Menganalisis Kemampuan menggunakan informasi Menggunakan informasi untuk untuk mengklasifikasi, mengelompokkan, mengklasifikasi, mengelompokkan, menentukan hubungan suatu informasi menentukan hubungan suatu informasi dengan informasi lain, antara fakta dan dengan informasi lain, antara fakta dan konsep, argumentasi dan kesimpulan. konsep, argumentasi dan kesimpulan. Sub kategori proses menganalisis adalah mengedit, mengkategorikan, membandingkan, membedakan, menggolongkan, memerinci, mendeteksi, menguraikan suatu objek, mendiagnosis, merelasikan, menelaah. E. Sintesis E. Mengevaluasi Kemampuan untuk meletakkan atau Menilai suatu objek, suatu benda, atau menghubungkan bagian-bagian di dalam informasi dengan kriteria tertentu. suatu bentuk keseluruhan yang baru; Sub kategori untuk mengevaluasi Kemampuan untuk menyusun formulasi adalah membuktikan, memvalidasi, baru dari formulasi-formulasi yang memproyeksi, mereview, mengetes, ada. Misalnya dapat menyusun, dapat meresensi, memeriksa, mengritik. merencanakan, dapat meringkaskan dan dapat menyesuiakan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada 162 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) Dimensi Proses Kognitif Lama Dimensi Proses Kognitif Baru F. Evaluasi F. Mencipta Kemampuan menilai suatu objek, suatu Meletakkan atau menghubungkan benda, atau informasi dengan kriteria bagian-bagian di dalam suatu bentuk tertentu. keseluruhan yang baru; menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Sub kategori untuk mencipta adalah menghasilkan, merencanakan, menyusun, mengembangkan, menciptakan, membangun, memproduksi, menyusun, merancang, membuat. Ada dua hal yang diubah dalam dimensi proses kognitif. Pertama, perubahan urutan tingkatan proses kognitif sintesis dan evaluasi, dan perubahan penamaan tingkatan sintesis. Kedua, simbolisasi dari penamaan proses kognitif dari nomina menjadi verb. Anderson et al. (2001) mengusulkan dimensi proses kognitif baru menjadi: mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Proses kognitif sintesis menjadi mencipta dan ditempatkan sebagai urutan yang tertinggi dalam proses kognitif. Dari perubahan atau revisi yang telah disampaikan baik perubahan dimensi pengetahuan dan perubahan dimensi proses kognitif, maka diperoleh ada hubungan atau interaksi di antara kedua dimensi tersebut. Anderson et al. (2001) merumuskan interaksi antara dimensi pengetahuan dan perubahan dimensi proses kognitif sebagai berikut: Tabel 5. Interaksi Revisi Dimensi Pengetahuan dengan Dimensi Proses Kognitif Dimensi Proses Kognitif C1 C2 C3 C4 C5 C6 Mengingat Memahami Menerapkan Menganalisis Mengevaluasi Mencipta Pengetahuan C1 C2 C3 C4 C5 C6 Faktual Faktual Faktual Faktual Faktual Faktual Faktual Pengetahuan C1 C2 C3 C4 C5 C6 Konseptual Konseptual Konseptual Konseptual Konseptual Konseptual Konseptual Pengetahuan C1 C2 C3 C4 C5 C6 Prosedural Prosedural Prosedural Prosedural Prosedural Prosedural Prosedural 163 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Dimensi Proses Kognitif C1 C2 C3 C4 C5 C6 Mengingat Memahami Menerapkan Menganalisis Mengevaluasi Mencipta Pengetahuan C1 C2 C3 C4 C5 C6 Metakognitif Metakognitif Metakognitif Metakognitif Metakognitif Metakognitif Metakog- nitif Tabel 6. Daftar contoh kata kerja operasional yang dapat dipakai untuk domain Kognitif Mengetahui Memahami Mengaplikasikan Menganalisis Mengevaluasi Membuat/Create Mengutip Memperkirakan Menugaskan Menganalisis Membandingkn Mengabstraksi Menyebutkan Menjelaskan Mengurutkan Mengaudit Menyimpulkan Mengatur Menjelaskan Mengk ategori- Menentukan Memecahkan Menilai Manganimasi Menggambar kan Menerapkan Menegaskan Mengarahkan Mengumpulkan Membilang Mencirikan Menyesuaikan Mendeteksi Mengkritik Mengategorikan Mengidentifikasi Merinci Mengkalkulasi Mendiagnosis Menimbang Mengkode Mendaftar Mengasosiasikan Memodifikasi Menyeleksi Memutuskan Mengombinasikan Menunjukkan Membandingkan Mengklasifiksi Memerinci Memisahkan Menyusun Memberi label Menghitung Membangun Menominasikan Memprediksi Mengarang Memberi indeks Mengkontraskan Mengurutkan Mendiagram- Memperjelas Membangun Memasangkan Mengubah Membiasakan kan Menugaskan Menaggulangi Menamai Mempertahank- Mencegah Mengkorelasikn Menafsirkan Menghubungkan Manandai an Menggambarkan Merasionalkan Mempertahakn Menciptakan Membaca Menguraikan Menggunakan Menguji Memerinci Mengkreasikan Menyadari Menjalin Menilai Mencerahkan Mengukur Mengkoreksi Menghafal Membedakan Melatih Menjelajah Merangkum Merancang Meniru Mendiskusikan Menggali Membagankan Membuktikan Merencanakan Mencatat Menggali Mengemukakan Menyimpulkan Memvalidasi Mendikte Mengulang Mencontohkan Mengadaptasi Menemukan Mengetes Meningkatkan Mereproduksi Menerangkan Menyelidiki Menelaah Mendukung Memperjelas Meninjau Mengemukakan Mengoperasikan Memaksilmalkn Memilih Memfasilitasi Memilih Mempolakan Mempersoalkan Memerintahkan memproyeksikn Membentuk Menyatakan Memperluas Mengkonsepkan Mengedit Merumuskan Mempelajari Menyimpulkan Melaksanakan Mengaitkan Menggeneralisasi Mentabulasi Meramalkan Meramalkan Memilih Menggabungkan Memberi kode Merangkum Memproduksi Mengukur Memadukan Menelusuri Menjabarkan Memproses Melatih Membatas Menulis Mentransfer Mereparasi Berdasarkan tabel interaksi dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif, maka guru dapat mengukur capaian pembelajaran yang akan ditetapkan pada proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Dalam rangka 164 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) mengoperasionalkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada domain kognitif, maka ada beberapa contoh kata kerja operasional yang dapat digunakan oleh guru (Anderson et al., 2010). Domain Afektif Krathwohl et al., (1964) menyatakan bahwa domain afektif merupakan domain yang meliputi rasa, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap. Kompetensi siswa yang mencerminkan afeksi yang baik dapat terlihat dari sikap kedewasaan yang sesuai dengan usia dan perkembangan siswa dan tercermin pada perilaku/ attitude sehari-hari pada proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Ada beberapa contoh perilaku yang mencerminkan sikap/afeksi yang baik dari siswa, seperti disiplin dalam menjalankan semua kewajibannya terkait proses pembelajaran, bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, semangat dan antusias dalam mengikuti pembelajaran, menghormati serta menghargai guru dan teman sebaya, dan sebagainya. Domain kognitif dalam kurikulum 2013 muncul secara eksplisit pada kompetensi sikap spiritual dan sosial. Sikap spiritual ini diwujudkan agar siswa memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, dan bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan untuk sikap sosial pada kurikulum 2013 ditunjukkan dengan pembentukan pribadi siswa yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (Kemendikbud, 2014). Kemampuan afektif, khususnya sikap, dari mahasiswa dapat diketahui kecenderungan, perubahan, dan perkembangannya dengan mendasarkan pada jenis-jenis kategori domain afektif, seperti yang dikemukakan oleh Krathwohl et al., (1964) berikut ini. 1. Tingkat Menerima Tingkat di mana mahasiswa memiliki keinginan menerima atau memperhatikan (Reciving atau Attending) suatu rangsangan atau stimulus yang diberikan dalam bentuk persoalan, situasi, fenomena, dan sebagainya. Contoh kemampuan dalam tingkat menerima adalah mahasiswa bersedia untuk mendengarkan temannya yang berbicara dengan respek. 2. Tingkat Menanggapi Tingkat di mana mahasiswa mereaksi atau menanggapi (Responding) suatu rangsangan atau stimulus yang diberikan dalam bentuk persoalan, situasi, fenomena, dan sebagainya. Contoh kemampuan dalam tingkat menanggapi adalah mahasiswa aktif berpartisipasi dalam diskusi kelompok, seperti memberikan penjelasan dan menanggapi pendapat dari teman. 165 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 3. Tingkat Menghargai Tingkat di mana mahasiswa menunjukkan kesediaan menerima dan menghargai (valuing) suatu nilai-nilai yang disodorkan kepadanya. Contoh kemampuan dalam tingkat menghargai adalah mengajukan rencana untuk perbaikan kehidupan masyarakat. 4. Tingkat Menghayati Tingkat di mana mahasiswa menjadikan nilai-nilai yang disodorkan itu sebagai bagian internal dalam dirinya, menjadikan nilai-nilai itu prioritas dalam dirinya (Organization). Contoh kemampuan dalam tingkat menginternalisasi adalah memprioritaskan waktu untuk belajar, membantu teman, dan sebagainya. 5. Tingkat Mengamalkan Tingkat di mana mahasiswa menjadikan nilai-nilai itu sebagai pengendali perilakunya dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi gaya hidup (Characterization). Contoh kemampuan dalam tingkat mengamalkan adalah menunjukkan sikap mandiri ketika bekerja. Krathwohl et al., (1964), menyampaikan tentang Level Domain Afektif sebagai berikut: Bagan 1: Level Domain Afektif Selain itu, Gaol & Jimmy (2014) juga mengoperasionalkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada domain afektif, sehingga ada beberapa contoh kata kerja operasional yang dapat digunakan oleh guru. 166 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) Tabel 7. Level Domain Afektif dengan Contoh dan Kata Kunci Level Contoh dan Kata Kuci Menerima fenomena: Kesediaan Contoh: Dengarkan orang lain dengan kesadaran untuk mendengar, memilih hormat. Dengarkan dan ingat nama perhatian orang-orang yang baru diperkenalkan. Kata kunci: Pengetahuan, Tanya, ikuti, memberi, mendengarkan, memahami Menanggapi fenomena: Partisipasi Contoh: berpartisipasi dalam diskusi aktif dari pihak peserta didik. hadir dan kelas. Berikan sebuah presentasi. bereaksi terhadap fenomena tertentu. Mempertanyakan model konsep cita-cita Hasil belajar dapat menekankan baru, dll agar dapat sepenuhnya dipahami. kepatuhan dalam merespons, kemauan Tahu aturan dan praktik keselamatan itu. untuk merespons, atau kepuasan dalam Kata kunci: Jawaban, assist, kepatuhan, merespons (motivasi) diskusi, salam, bantuan, label, kinerja, hadiah, memberi tahu. Valuing: Nilai atau nilai seseorang Contoh: Tunjukkan keyakinan pada yang melekat pada objek, fenomena, proses demokrasi. Sensitif terhadap atau perilaku tertentu. Ini berkisar dari perbedaan individu dan budaya penerimaan yang sederhana hingga (keragaman nilai). Menunjukkan komitmen yang lebih kompleks. Menilai kemampuan untuk menyelesaikan besaran berdasarkan internalisasi masalah. Mengusulkan rencana seperangkat nilai-nilai tertentu, perbaikan sosial dan menindaklanjutinya sementara petunjuk untuk nilai-nilai ini dengan komitmen. Menginformasikan diekspresikan dalam perilaku terbuka manajemen tentang hal-hal yang sangat pelajar dan sering dapat diidentifikasi. dirasakan seseorang. Kata-kata tajam: menghargai, harta, mendemonstrasikan, memulai, mengundang, bergabung, membenarkan, mengusulkan, menghormati, berbagi Pengorganisasian: Pengorganisasian Contoh: Mengenali kebutuhan nilai-nilai menjadi prioritas dengan keseimbangan antara kebebasan dan membandingkan nilai-nilai yang perilaku yang bertanggung jawab. berbeda, menyelesaikan konflik di Menjelaskan peran perencanaan sistematis antara itu, dan menciptakan sistem nilai dalam memecahkan masalah. Menerima yang unik. Penekanannya adalah pada standar etika profesional. Membuat membandingkan, menghubungkan, dan rencana kehidupan yang selaras dengan mensintesis nilai-nilai. kemampuan, minat, dan kepercayaan. Memprioritaskan waktu secara efektif untuk memenuhi kebutuhan organisasi, keluarga, dan diri. Kata kunci: membandingkan, menghubungkan, mensintesis 167 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Level Contoh dan Kata Kuci Nilai internalisasi (karakterisasi). Contoh: Tunjukkan kemandirian saat Memiliki sistem nilai yang mengontrol bekerja tanpa batas. bekerja sama dalam perilaku mereka. Tingkah lakunya kegiatan kelompok (menampilkan kerja meresap, konsisten, dapat diprediksi, dan tim). Gunakan pendekatan objektif yang paling penting adalah pembelajar. dalam pemecahan masalah. menampilkan Tujuan instruksional berkaitan dengan komitmen profesional untuk praktik pola umum siswa penyesuaian (pribadi, etis setiap hari. Merevisi penilaian dan sosial, emosional) mengubah perilaku dalam terang bukti baru. Nilai orang untuk apa mereka, bukan bagaimana mereka terlihat. Kata-kata kunci: tindakan, diskriminasi, tampilan, pengaruh, modifikasi, kinerja, kualifikasi, pertanyaan, revisi, servis, penyelesaian, virifies. Domain Psokomotorik Taksonomi Bloom yang dituangkan pada buku I dan II tidak menyebut tentang doman psikomotorik. Domain psikomotorik tercetus oleh pemikiran Simpson (1966) yang menyatakan bahwa kemampuan psikomotorik berkaitan fisik, koordinasi, dan penggunaan bidang keterampilan motorik yang harus dilatih secara terus menerus dan diukur dari segi kecepatan, presisi, jarak, prosedur, atau teknik dalam eksekusinya. Simpson mendefinisikan kemampuan psikomotik tersebut didasarkan pada penelitian di bidang pendidikan industrial, pertanian, ekonomi rumah tangga, pendidikan bisnis, musik, seni, dan olah raga. Simpson (1972) menyampaikan terdapat tujuh aktifitas untuk mengkategorikan kemampuan psikomotorik yang dimulai dari yang paling sederhana meningkat menjadi ke hal yang rumit. Kategori tersebut terdiri dari (1) persepsi, (2) kesiapan, (3) meniru, (4) membiasakan, (5) mahir, (6) alami, dan (7) orisinal. Tokoh lain yang mengkaji tentang kemampuan psikomotik yaitu Dave (1967) yang membagi kemampuan psikomotik dalam 5 tingkatan, yaitu (1) meniru, (2) memanipulasi, (3) presisi, (4) artikulasi, dan (5) naturalisasi. Kategori kemampuan psikomotorik yang disampaikan oleh dua tokoh di atas, saat ini dipergunakan untuk mengukur kegiatan pembelajaran yang melibatkan fisik, motorik, dan kinestetik, seperti olah raga, seni musik, seni rupa, seni tari, drama, percobaan dalam sains. Ada beberapa contoh kegiatan yang termasuk ke dalam kategori domain 168 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) psikomotorik seperti: (1) mendemonstrasikan (2) memerankan (3) melakukan (4) menggunakan alat (5) mempresentasikan (6) membuat produk dua atau tiga dimensi (7) merangkai dan (8) memodifikasi. Simpson dan Dave merumuskan kemampuan psikomotorik lebih kepada kemampuan kongkrit. Sedangkan jika cermati, ada beberapa kemampuan yang sifatnya abstrak tetapi masuk ke dalam domain psikomotorik. Kemampuan psikomotorik yang bersifat abstrak seperti: menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang dalam bidang bahasa, sosial, dan agama, yang kurang melibatkan fisik, motorik, dan kinestetik, serta lebih banyak melibatkan abstraksi, inovasi, dan kreativitas (Dyer. Et al., 2011). Taksonomi Dyer, dkk terdiri dari: (1) mengamati, (2) menanya, (3) mencoba, (4) menalar, dan (5) mengkomunikasikan yang tertuang dalam konsep The five key “discovery skills” yang meliputi Associating, Questioning, Observing, experimenting, dan Networking. Simpson (1972), Dave (1967), dan Dyer. Et al., (2011) mengoperasionalkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada domain psikomotorik, sehingga ada beberapa contoh kata kerja operasional yang dapat digunakan oleh guru. Tabel 8. Kata Kerja Operasional untuk Domain Psikomotorik Kongkret Tingkat Psikomotorik Kata Kerja Operasional Meniru mencoba, menyalin, mengikuti (gerakan), menduplikasi, meniru. Membiasakan merakit, membuat, mengkalibrasi, membangun, membongkar, menampilkan, membedah, mengencangkan, memperbaiki, menggiling, memanaskan, memanipulasi, mengukur, memperbaiki, mencampur, mengatur, membuat sketsa Mahir merakit, membangun, mengkalibrasi, membangun, membongkar, menampilkan, mengikat, memperbaiki, menggiling, memanaskan, memanipulasi, mengukur, memperbaiki, mencampur, mengatur, membuat sketsa (bedanya dengan tingkat membiasakan, tingkat ini menunjukkan bahwa kinerjanya lebih cepat, lebih baik, lebih akurat, dll. Alami menyesuaikan, mengubah, mengubah, mengatur ulang, mereorganisasi, merevisi, bervariasi 169 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 Tingkat Psikomotorik Kata Kerja Operasional Tindakan Orisinal menyusun, membangun, menggabungkan, membuat, membuat, merancang, memulai, membuat, berasal Tabel 8. Kata Kerja Operasional untuk Domain Psikomotorik Abstrak Tingkat Psikomotorik Kata Kerja Operasional Mengamati melihat, mendengar, membaca, menyimak, merasakan, mencermati, dan mengidentifikasi, Menanya menanyakan (secara lisan), menuliskan pertanyaan, mendiskusikan, bertanya jawab. Mencoba melakukan percobaan, mencari informasi, membaca, melakukan wawancara Menalar menyimpulkan, menghubungkan, mengasosiasi, mengklasifikasikan, mencari hubungan sebab akibat. Mengkomunikasikan mempresentasikan, menulis (laporan), memamer- kan. Simpulan Revisi taksonomi Bloom muncul diakibatkan adanya tuntutan perkembangan dunia pendidikan yang bergerak sangat cepat dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Revisi taksonomi Bloom berusaha membantu dunia pendidikan melalui penyusunan perangkat pembelajaran berupa RPP yang sarat akan instruksi ketercapaian tujuan pembelajaran melalui penggunaan kata kerja yang tepat. Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui era revolusi industri 4.0 menuntuk siswa tidak hanya sampai pada tahap evaluasi, akan tetapi di dorong agar siswa mampu sampai ke level creating (mencipta) pada domain kognitif, mampu memiliki sikap dan perilaku yang baik saat pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas secara jujur (domain afeksi), dan memiliki fisik yang tangguh dan kuat (domain psikomotik) agar tujuan pembelajaran tercapai.. 170 Revisi taksonomi Bloom: Kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dewi Amaliah Nafiati) Daftar Pustaka Anderson, L.W., Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educatioanl Objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Dave, R. (1967). Psychomotor domain. International Conference of Educational Testing. Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen. Depdiknas. Depdiknas. (2003). Undang-undang RI No.20 tahun 2003.tentang sistem pendidikan nasional. Dimyati & Mudjiono. (2015) Belajar dan pembelajaran. Rineka Cipta Gaol, CHR. Jimmy L. (2014). A to Z Human Capital (Manajemen Sumber Daya Manusia) Konsep, Teori, dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik dan Bisnis, PT. Gramedia Widiasarana. Kemendikbud. (2014). Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Krathwohl, B.S. Bloom, B.B Masia. (1964). Taxonomy of Educational Objectives. The Classification of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain. David McKay Company, Inc. Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom’s Taxonomy: An Overview. Theory Into Practice, 41(4) Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (2010). Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran dan asesmen Revisi Taksonomi Bloom. Pustaka, Belajar: Yogyakarta. Simpson, E.J. (1966). The classification of educational objectives in the psychomotor domain. The Psychomotor Domain. 3:43-56. Gryphon House. Simpson, E.J. (1972). The classification of educational objectives in the psychomotor domain. The Psychomotor Domain. 3:43-56. Gryphon House. Zhou, Molly. Brown, David. (2017). Educational Learning Theories: 2nd Edition. Galileo, University System of Georgia. Galileo Open Learning Materials. Winkel, W.S. (2007). Psikologi pengajaran. Media Abadi. 171 Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, Vol. 21. No. 2. (2021), 151-172 172 TAHAPAN PERKEMBANGAN ANAK DAN PEMILIHAN BACAAN SASTRA ANAK Oleh: Burhan Nurgiyantoro FBS Universitas Negeri Yogyakarta Abstract Universally, various psychological aspects of children develop through certain stages according to their age level. They go through stages of intel- lectual, moral and emotional developments, stages of personality and language developments, and stages in the growth of their concept about stories. Each type of development is divided into specific stages. Piaget divides children’s intellectual development, for example, into four stages: the sensory-motor, pre-operational, concrete operational, and formal operational stages. These stages come in accordance with their age development. Each stage has characteristics distinguishing it from anya other stage. The difference in characteristics logically implies in turn a difference in their response to reading matter. Consequently, in selecting reading matter for children, one should consider their age in order to make the selection match their psychological development of children of a certain age level would make the reading matter become uncommunicative because it is too difficult for them or make it uninteresting and boring for them because it is too easy or too simple. Key words: psychological development, intellectual development, selection of reading matter Pendahuluan S ebagaimana halnya manusia dewasa, anak juga memiliki rasa ingin tahu untuk mengenal dunia di sekelilingnya. Pemuasan rasa ingin tahu seorang anak dapat dipenuhi lewat berbagai cara, dan salah satunya adalah lewat bacaan. Bacaan anak itu sendiri amat beragam Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 yang membentang mulai cerita lucu, berbagai cerita tradisional, fiksi, puisi, komik, dan lain-lain sampai dengan bacaan yang berbicara tentang berbagai informasi faktual. Misalnya, bacaan tentang tokoh-tokoh ter- kenal, olahraga, kehidupan binatang, dan lain-lain yang isinya memang ada dan dapat dibuktikan secara empirik. Hal itu tidak berbeda halnya dengan kebutuhan informasi oleh orang dewasa yang juga dapat diperoleh lewat berbagai bacaan yang berisi tentang berbagai hal. Orang dewasa tinggal memilih bacaan apa dan atau informasi apa yang diinginkannya. Baik orang dewasa maupun anak sama-sama membutuhkan informasi yang memperkaya pengalaman jiwanya, sedang yang membedakan adalah buku apa atau infor- masi apa yang dibutuhkan itu. Anak belum dapat memilih bacaan sastra yang baik untuk dirinya sendiri. Anak akan membaca apa saja bacaan yang ditemui tak peduli cocok atau tidak untuknya karena memang belum tahu. Agar anak dapat memperoleh bacaan yang sesuai dengan perkembangan kediriannya, kita harus peduli dengan bacaan sastra yang dikonsumsikan kepadanya. Bacaan sastra yang tepat akan berperan menunjang pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek kedirian anak. Pemilihan bacaan juga haruslah mempertimbangkan faktor budaya karena anak dibesarkan dan belajar tidak dalam kevakuman budaya (Edwards, 2004:89). Budaya yang melingkupi anak adalah berbagai adat kebiasaan, perilaku verbal dan nonverbal, dan lain-lain sebagaimana yang didemonstrasikan secara konkret oleh dan di lingkungan keluarganya. Untuk itu, pemilihan bacaan harus dilakukan dengan hati-hati. Secara universal perkembangan berbagai aspek kejiwaan anak sesuai dengan tingkat usianya akan melewati tahap-tahap tertentu. Menurut Brady (dalam Saxby & Winch, 1991:26) para peneliti telah mengidentifi- kasikan umur serta tahapan dan karakteristik perkembangan kejiwaan anak yang meliputi aspek berpikir, bahasa, personalitas, moral, dan pertanyaan- pertanyaan terkait yang dapat membantu dalam seleksi bacaan sastra. Di pihak lain, menurut Huck dkk. (1987:52), di samping aspek-aspek yang dikemukakan Brady, perkembangan itu juga melibatkan aspek fisik dan per- tumbuhan konsep cerita. Brady (dalam Saxby & Winch, 1991:26–27) mengemukakan bahwa terdapat hal-hal tertentu yang yang menjadi dasar pemikiran dalam 198 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak pengujian tahapan perkembangan anak, yaitu sebagai berikut. Pertama, pertimbangan ketertarikan anak terhadap suatu bacaan harus dilihat se- bagai kriteria seleksi yang lebih penting daripada anggapan kecocokan yang dilakukan oleh kacamata dewasa. Kedua, pemahaman terhadap perkembangan anak secara umum dan terhadap tahapan perkembang- an secara khusus akan memberikan informasi yang berharga dalam pemilihan bacaan anak. Ketiga, pemahaman terhadap tahapan perkem- bangan anak akan membantu dalam seleksi bacaan, tetapi itu bukanlah sesuatu yang kaku, bukan sebuah harga mati. Konsep tahapan tersebut mempunyai derajat prediksi dalam suasana budaya yang stabil, tetapi belum memperhitungkan adanya perubahan budaya, waktu, dan geografi, dan karenanya diperlukan penelitian lebih lanjut yang memperhitungkan aspek-aspek itu. Dengan kata lain, sebenarnya masih terdapat problema validitas jika teori tahapan tersebut di- jadikan dasar yang “sempurna” dalam seleksi bacaan sastra anak. Keempat, pemahaman keses uaian dalam pemilihan bacaan dengan tahapan perkembangan anak perlu diperluas dengan mencakup kontribusi tiap tahapan itu. Tahapan Perkembangan Kejiwaan Anak dan Seleksi Bacaan Sastra Anak Setiap tahapan perkembangan kejiwaan anak memiliki karakteristik yang berbeda, dan itu berarti harus berbeda pula tanggapan anak terhadap buku bacaan yang dihadapi. Pembicaraan di bawah mencoba mengemuka- kan tahapan-tahapan perkembangan kedirian siswa yang meliputi perkem- bangan intelektual, moral, personal dan moral, bahasa, dan pertumbuhan konsep cerita (Brady, 1991:28–37; Huck dkk, 1987:52–63). Tiap tahapan mempunyai karakteristik yang berbeda, walau tidak dalam pengertian berten tangan, sejalan dengan perkembangan tingkat kematangan anak. Hal itu akan membawa konsekuensi logis pada adanya karakteristik yang juga berbeda dengan bacaan yang dinyatakan sesuai (matching) dengan tiap tahapan yang dimaksud. Kesemuanya itu merupakan informasi yang berharga dan penting untuk diketahui dalam rangka pemilihan buku bacaan sastra buat si buah hati tersayang. 199 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 Perkembangan Intelektual Berbicara masalah pertumbuhan dan perkembangan intelektual (kognitif) anak, pada umumnya orang merujuk teori Jean Piaget yang mengemukakan bahwa perkembangan intelektual merupakan hasil interaksi dengan lingkung- an dan kematangan anak. Semua anak melewati tahapan intelektual dalam proses yang sama walau tidak harus dalam umur yang sama. Tiap tahapan yang lebih awal kemudian tergabung dalam tahapan berikutnya yang sebagai struktur berpikir baru yang sedang tahap perkembangan. Jadi, tiap tahapan kognitif yang kemudian merupakan kumulasi gabungan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Piaget membedakan perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan. Tiap tahapan mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan tahapan yang lain, dan hal itu berkaitan dengan respon anak terha- dap bacaan. Sebagai konsekuensinya hal itu pun mempunyai implikasi logis dalam pemilihan bahan bacaan anak. Tahapan perkembangan intelektual yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama: tahap sensori-motor (the sensory-motor period, 0–2 tahun). Tahap ini merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif anak. Tahap ini disebut sebagai tahap sensori-motor karena perkembangan terjadi berdasarkan informasi dari indera (senses) dan bodi (motor). Karakteristik utama dalam tahap ini adalah bahwa anak belajar lewat koordinasi persepsi indera dan aktivitas motor serta mengembangkan pemahaman sebab akibat atau hubungan-hubungan berdasarkan sesuatu yang dapat diraih atau dapat berkontak langsung. Anak mulai dapat memahami hubungannya dengan orang lain, mengembangkan pemahaman objek secara permanen. Dalam usia 1,6─2 tahun anak akan menyukai aktivitas atau permainan bunyi yang mengandung perulangan-perulangan yang ritmis. Anak menyukai bunyi-bunyian yang bersajak dan berirama. Permainan bunyi yang dimaksud dapat berupa nyanyian, kata-kata yang dinyanyikan, atau kata-kata biasa dalam perkataan yang tidak dilagukan. Bunyi-bunyian ritmis akan memicu tumbuhnya rasa keindahan pada diri anak. Hal dapat dijumpai dan atau perlu dilakukan oleh ibu yang mengendong, menyanyikan, atau meninabobokan si buah hati. Kesenangan anak terhadap hal-hal tersebut dapat juga dipahami bahwa anak mempunyai bakat keindahan dan menyenangi hal-hal yang terasa 200 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak indah di inderanya. Permainan bunyi yang berwujud repetisi dan keritmisan merupakan dasar penting bagi bangunan sebuah sajak. Kedua: tahap praoperasional (the preoperational period, 2–7 tahun). Dalam tahap ini anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang sudah mencerminkan aktivitas mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik. Karakteristik dalam tahap ini aantara lain adalah bahwa (i) anak mulai belajar mengaktualis asikan dirinya lewat bahasa, ber- main, dan menggambar (corat-coret). (ii) Jalan pikiran anak masih bersifat egosentris, menempatk an dirinya sbagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera dan pengalaman langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang lain. Anak tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. (iii) Anak mem- pergunakan simbol dengan cara elementer yang pada awalnya lewat gerakan-gerakan tertentu dan kemudian lewat bahasa dalam pembicaraan. Perkembangan kognitif pada saat ini yang secara luar biasa adalah perkem- bangan bahasa dan konsep formasi. (iv) Pada masa ini anak mengalami proses asimilasi di mana anak mengasimilasikan sesuatu yang didengar, dilihat, dan dirasakan dengan cara menerima ide-ide tersebut ke dalam suatu bentuk skema di dalam kognisinya. Kemungkinan implikasi terhadap buku bacaan sastra yang sesuai dengan karakteristik pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lain adalah (i) buku-buku yang menampilkan gambar-gambar sederhana sebagai ilustrasi yang menarik, (ii) buku-buku bergambar yang memberi kesem- patan anak untuk memanipulasikannya, (iii) buku-buku yang memberi ke- sempatan anak untuk mengenali objek-objek dan situasi tertentu yang bermakna baginya, dan (iv) buku-buku cerita yang menampilkan tokoh dan alur yang mencerminkan tingkah laku dan perasaan anak. Menurut Donaldson (via Huck dkk. 1987:55) anak usia 3 atau 4 tahun sudah dapat mendemonstrasikan kemampuannya jika objek dan situasi yang dihadap- kan kepadanya konkret dan bermakna. Sifat egosentris pada anak akan membawanya untuk dapat menanggapi cerita dengan mengidentifikasikan dirinya terhadap tokoh utama cerita, dan karenanya anak akan meng- alami proses asimilasi dengan melihat diri dan dunianya dengan pandangan yang baru. 201 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 Ketiga: tahap operasional konkret (the concrete operational, 7–11 tahun). Pada tahap ini anak mulai dapat memahami logika secara stabil. Karakteristik anak pada tahap ini antara lain adalah (i) anak dapat membuat klasifikasi sederhana, mengklasifikasikan objek berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi warna, klasifikasi karakter tertentu. (ii) Anak dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, menurutkan abjat, angka, besar- kecil, dan lain-lain. (iii) Anak mulai dapat mengembangkan imajinasinya ke masa lalu dan masa depan; adanya perkembangan dari pola berpikir yang egosentris menjadi lebih mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. (iv) Anak mulai dapat berpikir argumentaif dan memecahkan masalah sederhana, ada kecenderungan memperoleh ide- ide sebagaimana yang dilakukan oleh dewasa, namun belum dapat berpikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan berpikirnya masih terbatas pada situasi yang konkret. Kemungkinan implikasi terhadap buku bacaan sastra yang sesuai dengan karakt eristik pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lain adalah buku-buku bacaan yang memiliki karakteristik sebagai berikut. (i) Buku-buku bacaan narasi atau eksplanasi yang mengandung urutan logis dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. (ii) Buku-buku bacaan yang menampilkan cerita yang sederhana baik yang menyangkut masalah yang dikisahkan, cara pengisahan, maupun jumlah tokoh yang dilibatkan. (iii) Buku-buku bacaan yang menampilkan berbagai objek gambar secara bervariasi, bahkan mungkin yang dalam bentuk diagram dan model sederhana. (iv) Buku-buku bacaan narasi yang menampilkan narator yang mengisah- kan cerita, atau cerita yang dapat membawa anak untuk memproyeksikan dirinya ke waktu atau tempat lain. Dalam masa ini anak sudah dapat terlibat memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi tokoh protagonis atau memprediksikan kelanjutan cerita. Keempat: tahap operasi formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun ke atas). Pada tahap ini, tahap awal adolesen, anak sudah mampu berpikir abstrak. Karakt eristik penting dalam tahap ini an- tara lain adalah (i) anak sudah mampu berpikir “secara ilmiah”, berpikir teoretis, beragumentasi dan menguji hipotesis yang mengutam akan kemampuan berpikir. (ii) Anak sudah mampu memecahkan masalah 202 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak secara logis dengan melibatkan berbagai masalah yang terkait. Implikasi terhadap pemilihan buku bacaan sastra anak adalah (i) buku-buku bacaan cerita yang menampilkan masalah yang membawa anak untuk mencari dan menemukan hubungan sebab akibat serta implikasi terhadap karakter tokoh; (ii) buku-buku bacaan cerita yang menampilkan alur cerita ganda, alur cerita yang mengandung plot dan subplot, yang dapat membawa anak untuk me- mahami hubungan antarsubplot tersebut, serta yang menampilkan persoalan (atau konflik) dan karakter yang lebih kompleks. Selain itu, perlu dicatat bahwa belum tentu semua anak yang ma- suk ke tingkat sekolah menengah pertama sudah mencapai tingkat berpikir formal di atas. Sebagian anak mungk in belum mencapai tingkat itu, tetapi sebagian yang lain justru sudah mampu menunjukkan kemampuan berpikir analitis, misalnya sebagaimana yang terlihat ketika memberikan komentar terhadap buku cerita yang dibacanya. Pema- haman terhadap tahapan intelektual dapat membantu memilih buku-buku bacaan yang sesuai dengan posisi usia dan perkembangan kognitif anak, tetapi bagaimanapun ia bukan merupakan sesuatu yang mutlak. Perkembangan Moral Selain mempelajari perkembangan kognitif ana, Piaget juga men- dalami hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan moral. Menu- rut Piaget perbedaan nyata antara anak dan dewasa adalah bahwa anak memiliki “dua moral”. Piaget dan Kohlberg (ahli lain yang mengembangkan teori Piaget lebih lanjut), mengemukakan bagaimana anak mungkin saja mengubah interpretasinya terhadap dilema konflik dan moral dalam cerita. Penilaian anak terhadap moral bergerak dari keter- ikatannya pada dewasa ke keterpengaruhannya pada kelompok dan berpikir bebasnya. Perubahan-perubahan penilaian moral anak yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut (i) Penilaian anak kecil terhadap masalah atau tindakan baik dan buruk berdasarkan kemungkinan adanya hukuman dan hadiah yang diperoleh dari dewasa; artinya, anak masih terkendala oleh aturan yang dibuat oleh dewasa. Pada usia anak yang lebih lanjut terdapat standar penilaian 203 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 tentang baik dan buruk tersebut dari kelompoknya, maka kemudian anak mulai secara sadar memahami situasi kapan dapat membuat aturan sendiri. (ii) Penilaian tingkah laku dalam kacamata anak kecil hanya dapat dibedakan ke dalam baik dan buruk, tidak ada alternatif lain. Pada usia anak yang lebih kemudian terdapat kemauan untuk mempertimbangkan lingkungan dan situasi yang membuat legitimasi adaanya perbedaan pendapat. (iii) Penilaian anak kecil terhadap suatu tindakan cenderung didasar- kan pada konsekuensi yang terjadi kemudian tanpa memperhatikan pelakunya. Namun, dalam usia selanjutnya sebagian anak mulai mengubahnya dengan memperhatikan aspek motivasi daripada sekadar konsekuensi untuk menentukan kelayakan tingkat kesalahan. (iv) Pandangan anak kecil terhadap tingkah laku buruk dengan hukuman berjalan bersama, semakin besar kesalahan akan semakin berat hukumannya. Namun, bagi anak dalam usia yang lebih kemudian, mereka tidak akan begitu saja menerima keadaan itu. Anak mulai ter- tarik untuk mencari hukuman yang lebih fair berdasarkan aturan yang ada di dalam kelompok. Kohlberg (via Brady, 1991:30–1) mengidentifkasi perkembangan moral anak ke dalam enam tahapan. Keenam tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Tahap 1: penghormatan tanpa pemertanyaan terhadap kekuatan yang di luar jangkauan; masalah baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, ditentukan oleh konsekuensi fisik yang diterima terhadap suatu tindakan yang dilakukan. Tahap 2: hubungan dipandang dalam pemahaman “marketplace” daripada loyalitas, keadilan, atau rasa terima kasih. Anak berprinsip bahwa “jika anda mencubit saya, saya pun akan mencubit anda”. Tahap 3: berorientasi pada anak baik, pada tingkah laku anak yang baik; anak mengkonfirmasikan gam- baran stereotip dari tingkah laku orang pada umumnya. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang mendapat persetujuan, demikian pula yang sebaliknya. Tahap 4: orientasi sampai ke pemilik otoritas, aturan yang pasti, dan konvensi sosial. Tingkah laku yang baik kini juga dipahami sebagai berupa melakukan tugas dan kewajiban, hormat kepada orang lain, dan tunduk pada aturan sosial. Tahap 5: kriteria tingkah laku yang benar kini dipahami atau didasarkan dalam kaitannya dengan aturan umum yang standar dan yang 204 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak disetujui oleh atau telah menjadi konvensi masyarakat. Tahap 6: keputusan- keputusan individual kini didasarkan pada kata hati, hati nurani, dan etika yang berlaku secara konsisten dan universal. Pembedaan perkembangan moral ke dalam enam kategori di atas harus dipahami sebagai sesuatu yang tidak bersifat mutlak. Tiap tahap berisi berbagai pengalaman moral-sosial yang lebih kompleks dari yang diperkirakan. Walau seorang anak sedang berada dalam satu tahap perkembangan moral tertentu, dalam kesempatan yang berbeda mungkin saja ia mengoperasikan tahap yang lain. Selain itu, juga perlu dicatat, dan ini merupakan hal yang harus digaris bawahi, bahwa tidak mudah menghubungkan antartahapan tersebut dengan usia anak, dan Kohlberg pun mengemukakan bahwa dewasa yang berada dalam tahap 5 dan 6 hanya dalam jumlah persentase yang kecil. Kemungkinan implikasinya bagi seleksi bacaan sastra anak antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut. (i) Pahami dengan baik karakteristik perkembangan moral anak tiap tahap kemudian pilih bacaan yang sesuai. Misalnya, anak usia tiga tahun baik untuk dipilihkan bacaan yang melukiskan persetujuan orang tua yang berupa tingkah laku, tindakan, dan kata-kata yang baik. Anak usia empat tahun baik untuk dipilihkan bacaan yang dapat melatih anak untuk bertanggung jawab dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan aturan sosial. (ii) Pilih buku bacaan yang mengandung dan menawarkan unsur moral, alasan pemilihan moral tertentu oleh tokoh anak, atau yang mengand- ung nasihat-nasihat tentang moral sebagai “model” bertingkah laku. Dengan tidak jelasnya tingkatan usia anak dalam tahapan di atas kita dituntut untuk mempertimbangkan bacaan sastra mana yang terbaik untuk usia anak tertentu. Sebagai bahan pertimbangan kita dapat menghubungkan tahapan perkembangan intelektual (Piaget) dengan tahapan perkembangan moral (Kohlberg). Kohlberg mengemukakan bahwa seorang anak yang berada dalam tahap operasional konkret, ia akan berada dan terbatas pada tahap 1 dan 2 dalam perkembangan moral; seorang anak yang berada dalam tahap oprasional formal sebagian, ia akan berada dan terbatas pada tahap 3 dan 4; sementara seseorang yang berada dalam perkembangan moral tahap 5 dan 6, ia mesti sudah berada dalam tahap operasi formal. Perkembangan Emosional dan Personal 205 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 Sebagai seorang manusia di dalam kedirian anak terdapat berbagai aspek yang sama-sama mengalami pertumbuhan dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain adalah kognitif, afektif atau respon emosional, hubungan sosial, dan orientasi nilai-nilai, akan sama-sama terlibat dalam peristiwa pembelajaran. Hal tersebut dapat diibaratkan sebagai sebuah matriks dalam perkembangan personalitas, dan proses perkembangan itu sungguh amat kompleks. Agar dapat berproses untuk secara penuh ber- fungsi sebagai person (“fully functioning”), atau agar dapat menjadi person yang dapat mengaktualisasikan diri (“becoming”), berbagai kebutuhan dasar anak harus terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan dasar itu antara lain adalah kesadaran bahwa dirinya merasa dicintai dan dapat mencintai, dimengerti, aman dan selamat, diakui sebagai anggota kelompok, dan merasa memiliki kebebasan untuk tumbuh dan berkembang. Usaha pencarian aktualisasi diri tersebut dapat saja membutuhkan waktu sepanjang hayat, atau bahkan tidak pernah dapat tercapai. Tetapi, konsep untuk secara terus-menerus menjadi, “becoming”, dipahami sebagai sesuatu yang lebih positif daripada konsep sekadar adanya perubahan dalam diri manusia. Manusia memiliki sifat untuk selalu berusaha mencari dan menemukan sesuatu yang berguna dalam hidupnya, untuk beraktualisasi diri, dan hal-hal itulah yang semakin menegaskan sifat-sifat personalitasnya. Maslow (via Huck dkk, 1987:60; Brady, 1991:31) lewat penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan personalitas melewati sebuah hierarkhi kebutuhan, yaitu dari kebutuhan dasar untuk survival ke kebutuhan kemanu- siaan yang lebih tinggi dan unik. Urutan kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan psikologis (psychological needs), keselamatan (safety needs), cinta dan kasih sayang, kepemilikan terhadap seseorang, (love and affection, belongingness needs), penghargaan (esteem needs), aktualisasi diri (self-actu- alization needs), kebutuhan untuk tahu dan paham (needs to know and under- stand), dan estetis (aesthetic needs). Kebutuhan hidup yang semakin tinggi, misalnya kebutuhan estetika, belum tentu dapat dicapai oleh semua orang. Namun, begitu seseorang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yang bersangkutan justru akan merasa semakin membutuhkan dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan selanjutnya. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa kita tidak dapat menghubungkan usia dengan urutan kebutuhan itu 206 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak karena pencapaian suatu kebutuhan sering tidak lengkap dan bervariasi. Berkaitan dengan perkembangan personalitas dan emosional, Er- ickson (via Brady, 1991:32; Huck dkk, 1987:61) mengemukakan bahwa proses “becoming” terkait dengan periode kritis dalam perkem- bangan kemanusiaan. Ia mengidentifikasikan adanya delapan tahap dalam perkembangan personalitas dan emosional dan sekaligus dengan perkiraan usia. Kedelapan tahapan yang dimaksud adalah: (i) keper cayaan versus ketidakpercayaan (trust vs mistrust, tahun pertama), (ii) kemandirian versus rasa malu dan ragu (autonomy vs shame & doubt, tahun ketiga), (iii) prakarsa versus kesalahan (initiative vs guilt, usia prasekolah, 3-6 tahun), (iv) kerajinan dan kepandaian versus perasaan rendah diri (industry vs inferiority, 6-12 tahun), (v) identitas versus kebingungan (identity vs confusion, adolesen), (vi) keintiman versus isolasi (intimacy vs isolation, awal dewasa), (vii) generativitas versus stagnasi (generativity vs stagnation, dewasa), (viii) integritas versus keputusasaan (integrity vs despair, dewasa, tua). Implikasi untuk lima tahap yang pertama adalah sebagai berikut. Pertama, pada tahap kepercayaan (trust) anak membutuhkan makanan dan perawatan. Anak mulai mengenali dirinya yang terpisah dari orang lain atau objek, dan pemahaman terhadap realitas ini membuat aspek trust menjadi penting. Tahap ini sejalan dengan tahap sensori-mo- tor dalam tahapan perk embangan intelektual menurut Piaget. Kedua, pada tahap kemandirian (autonomy) anak belajar kemandirian dengan mencoba melakukan sesuatu secara bebas, atau justru memperoleh pengalaman keragu-raguan jika ternyata inderanya tidak dapat mengelola dunia sekeliling. Tahap ini masih sejalan dengan tahap sensori-motor. Ketiga, pada tahap prakarsa versus kesalahan, anak belajar berinisiatif mengeksplorasi dunianya, atau jika tidak dapat melakukannya, mengembangkan rasa ketida- kmampuan. Tahap ini sejalan dengan tahap praoperasional. Keempat, pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri, anak berusaha mengembangkan rasa gembira dan bangga jika dapat melakukan sesuatu atau menghasilkan sesuatu dari aktivitasnya, atau justru sikap sebaliknya jika tidak mampu sehingga merasa rendah diri. Tahap ini sejalan dengan tahap operasional konkret. Kelima, pada tahap identitas versus kebingungan, anak mencari dan mengembangkan identitas personal, berusaha mencari dan menemukan 207 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 identitas dirinya, atau justru merasa ambivalen terhadap identitasnya. Tahap ini sejalan dengan tahap operasional formal. Kemungkinan implikasi tahapan di atas dalam hal seleksi buku-buku bacaan sastra adalah bahwa pemilihan bacaan haruslah mempertimbangkan masalah-masalah yang terkandung di dalamnya mampu memberikan kepuasan kepada anak yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Sebagai contoh, anak usia prasekolah akan lebih suka menanggapi bacaan yang menggambarkan kemampuan versus ketidakmampuan seorang anak untuk melakukan sesuatu secara sukses dan menggembirakan. Anak pada usia adolesen lebih menyukai bacaan yang berisi kesuksesan seorang anak atau sekelompok anak dalam pe- tualangan pencarian dan penemuan sesuatu, atau cerita tentang penemuan identitas seseorang dalam kehidupan sosial yang pluralistik. Anak pada tahap ‘kepandaian versus perasaan rendah diri’ lebih menyukai cerita yang berkisah tentang kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, tentang pertumbuhan kepribadian sesorang sebagai hasil pengalaman meng- hadapi berbagai cobaan, dan lain-lain. Hal itu berlaku untuk tokoh-tokoh protagonis yang didentifikasikannya, dan tentu saja tokoh-tokoh itu menjadi “hebat” karena interaksinya dengan tokoh-tokoh antagonis. Perkembangan Bahasa Anak yang berstatus bayi mulai belajar bahasa lewat bunyi dan uca- pan-ucapan yang didengarnya dari sekelilingnya. Pada mulanya anak tidak dapat membedakan bunyi-suara manusia dengan bunyi-bunyian yang lain, tetapi lama-kelamaan mampu membedakannya. Kenyataan bahwa seorang bayi berada dalam kondisi yang amat rentan dan tidak berdaya, bahkan terhadap kelangsungan hidupnya sendiri, tidak dapat berbuata apa pun tanpa bantuan orang lain, tetapi dapat belajar berbahasa sungguh merupakan sebuah keajaiban. Apalagi dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya be- berapa tahun, anak sudah mampu berbahasa, mampu ‘menguasai’ bahasanya sendiri, suatu hal yang hampir mustahil terjadi pada diri orang dewasa. Oleh karena itu, orang kemudian mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi dalam diri anak yang dapat diibaratkan sebagai sebuah kotak hitam ‘black box’ itu, yaitu sesuatu yang menunjukkan adanya unsur ketidakter- pahaman tentang apa yang terjadi. Maka, disusunlah teori(-teori) 208 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak akuisisi bahasa yang berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana itu terjadi di dalam diri anak itu dalam proses pemer olehan bahasa tersebut. Noam Chomsky, yang seorang linguis ‘penemu’ teori tatabahasa generatif transformasi itu, berkeyakinan bahwa dalam diri anak ter- dapat semacam “alat” yang dipergunakan sebagai sarana memperoleh bahasa. Sejak dilahirkan anak sudah memiliki pembawaan, bakat (innate capacity), yang berupa Language Acquisition Devices (LAD, alat pemerolehan bahasa) untuk memperoleh bahasa secara alami. Adanya innate capacity atau LAD tersebut menurut Chomsky dapat dipergunakan untuk menerangkan apa yang terjadi di dalam diri anak yang secara ajaib dapat belajar bahasa secara cepat. Namun demikian, semua orang sependapat bahwa dalam proses akui- sisi bahasa anak juga melewati tahap-tahap tertentu untuk “belajar” bahasa karena kemampuan sensori-motor yang masih terbatas. Pola bahasa, kata-kata, pertama anak yang dapat disuarakan adalah berupa bentuk-bentuk perulan- gan silabik vokal dan konsonan untuk akhirnya menjadi kata-kata tunggal. Misalnya, ucapan “ma-ma, ba-ba, pa-pa” yang pada umumnya berakhir dengan vokal dan kata-kata itu familiar yang sering didengarnya baik dari orang maupun benda atau binatang. Setelah berumur 18 bulan atau 2 tahun anak mulai mampu mempergunakan dua-tiga kata sebagai “kalimat” untuk mengekspresikan maksud dan tindakan, seperti “mama maem, dada papa, dada mama”. Dalam usia tiga tahun anak dapat memahami bahasa secara luar biasa. Proses internalisasi input struktur yang semakin kompleks dan kosakata yang semakin luas itu terus berlangsung sampai anak masuk sekolah, dan pada saat ini anak sudah ‘menguasai” bahasanya. Di sekolah anak tidak hanya belajar bagaimana mengatakan, tetapi juga belajar apa yang tidak boleh dikatakan dalam kaitannya dengan fungsi sosial bahasa (Brown, 2000:21). Maka, sekali lagi, bagaimana kita akan menjelaskan “perjalanan fantastik” ’fantastic jour- ney’ anak dalam proses pemerolehan bahasa yang begitu cepat itu. Hal itulah yang memicu lahirnya teori-teori akuisisi bahasa pada anak. Dalam proses akuisisi bahasa secara alami, anak memperoleh bahasa dengan menirukan, melihat dan menirukan orang berbicara, namun sebena- rnya anak tidak semata-mata sebagai peniru belaka. Ada bukti-bukti yang 209 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 kuat bahwa anak jauh lebih banyak memahami bahasa daripada yang dapat diproduksi, dan hal itu sungguh di luar dugaan. (Hal ini pun juga terjadi dan berimbas pada dewasa: kita lebih banyak membaca daripada menulis). Dalam usia dua tahun anak sudah mampu “menemukan” struktur bahasa dan hal itu berlangsung terus-menerus dalam usia selanjutnya. Anak tampaknya mengkonstruksikan bahasa sistemnya sendiri untuk membuat diri paham. Di dalam diri anak terdapat hubungan yang erat antara perkembangan pemahaman secara kognitif dan kemampuan berbahasa sebagaimana anak mempergunakan bahasa sebagai sarana untuk mengorganisasikan dan menerangkan dunia. Apa implikasi pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa anak tersebut bagi pemilihan buku bacaan sastra? Satu hal yang pasti adalah bahwa pemilihan bacaan itu mesti didasarkan pada materi yang dapat dipahami anak, yang dituliskan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dan dipahami anak, dengan mempertimbangkan keserdahanaan (atau komplek- sitas) kosakata dan struktur namun, sekaligus juga berfungsi meningkatkan kekayaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak. Dalam rangka pemahaman dan atau apresiasi suatu bacaan, ada beberapa hal yang terlibatkan, yaitu aspek intelektual, emosional, kemampuan berbahasa anak, dan struktur organisasi isi bacaan. Keempat hal tersebut harus mendapat perhatian dalam rangka seleksi bacaan anak. Oleh karena itu, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu untuk menilai suatu bacaan yang akan dipilih. Misalnya: Apakah secara intelektual anak dapat memahami materi bacaan cerita itu?; Apakah secara emosional anak sudah siap untuk menerima isi bacaan itu?; Apakah secara kebahasaan anak sudah mampu memahami isi bacaan itu?; Apakah struktur organisasi isi cerita itu sudah dapat dijangkau oleh anak?; dan lain-lain yang relevan. Sebagai bahan pertimbangan di bawah ini dikemukakan beberapa karak- teristik anak pada kelompok usia tertentu sebagai salah satu kriteria pemilihan buku bacaan sastra anak (Brady, 1991:35–37). Namun demikian, kehati-ha- tian dan sikap kritis kita harus tetap diutamakan karena harus diakui adanya perbedaan tingkat kecepatan kematangan anak akibat kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat. Anak usia 3-5 tahun: (i) pemfungsian tahap praoperasional (Piaget); (ii) pengalaman pada tahap prakarsa versus kesalahan (Erickson); 210 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak (iii) penafsiran baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, berdasarkan konsekue- nsi fisik dan hadiah atau hukuman; (iv) perkembangan bahasa berlangsung amat cepat, dan pada usia lima tahun sudah mampu berbicara dalam kalimat kompleks; (v) perkembangan kemampuan perseptual seperti membedakan warna dan mengenali atribut yang berbeda pada objek yang mirip; (vi) cara berpikir dan bertingkah laku egosentris; (vii) belajar lewat pengalaman tan- gan-pertama; (viii) mulai menyatakan sesuatu secara bebas; (ix) belajar lewat permainan imaginatif; (x) membutuhkan pujian dan persetujuan dari dewasa; (xi) kurang memperhatikan masalah waktu; dan (xii) mengembangkan rasa tertarik dalam aktivitas kelompok. Anak usia 6 dan 7 tahun: (i) beralih ke cara berpikir tahap operasional konkret (Piaget), mulai berpkir beda, menentang, dan bersikap hati-hati; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan konsep benar (baik) berdasarkan hadiah dan persetujuan; (iv) melanjutkan perkembangan pemerolehan bahasa; (v) mulai memisahkan fan- tasi dari realitas; (vi) belajar berangkat dari persepsi dan pengalaman langsung; (vii) mulai berpikir abstrak tetapi belajar lebih banyak terjadi berdasarkan pengalaman konkret; (viii) lebih membutuhkan pujian dan persetujuan dari dewasa; (ix) menunjukkan sensitivitas rasa dan sikap terhadap anak lain dan dewasa; (x) berpartisipasi dalam kelompok sebagai anggota; (xi) mulai tum- buh rasa keadilan dan ingin bebas dari dewasa; (xii) menunjukkan perilaku egosentris dan sering menuntut. Anak usia 8 dan 9 tahun: (i) pemfungsian tahap berpikir op- erasional konkret (Piaget), berpikir kini lebih fleksibel dan hati-hati; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan konsep benar berdasarkan aturan; (iv) adanya perhatian dan penghormatan dari kelompok kini lebih penting; (v) mulai melihat dengan sudut pandang orang lain dan sema- kin berkurangnya sifat egosentris; (vi) mengembangkan konsep dan hubungan spasial; (vii) menghargai petualangan imaginatif; (viii) menunjuk- kan minat dan keterampilan yang berbeda dengan kelompoknya; (ix) mem punyai ketertarikan pada hobi dan koleksi yang bervariasi; (x) menunjukkan peningkatan kemampuan mengutarakan ide ke dalam kata-kata; (xi) mem- bentuk persahabatan yang khusus. 211 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 Anak usia 10–12 tahun: (i) pemfungsian tahap operasional konkret (Piaget), dapat melihat hubungan yang lebih abstrak; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan ma- salah benar berdasarkan kefairan; (iv) memiliki ketertarikan yang kuat dalam aktivitas sosial, (v) meningkatnya minat pada kelompok, mencari kekariban dalam kelompok; (vi) mulai mengadopsi model kepada orang lain daripada ke orang tua; (vii) menunjukkan minatnya pada aktivitas khusus; (viii) men- cari persetujuan dan ingin mengesankan; (ix) menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk melihat sudut pandang orang lain; (x) pencarian nilai-nilai; (xi) menunjukkan adanya perbedaan di antara individu; (xii) mempunyai citarasa keadilan dan peduli kepada orang lain; (xiii) pemahaman dan penerimaan terhadap adanya aturan berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Anak usia 13 dan adolesen: (i) pemfungsian tahap operasional formal (Piaget), kemampuan untuk memprediksi, menginferensi, berhipotesis tanpa referensi; (ii) pengalaman tahap identitas versus kebingungan (Erickson); (iii) mungkin beralih ke tahap otonomi moral (tahap 5 dan 6 menurut Kohlberg); (iv) menunjukkan kebebasannya dari keluarga sebagai langkah menuju ke awal kedewasaan; (v) mengidentifikasikan diri dengan dewasa yang dikagumi; (vi) menunjukkan ketertarikannya pada isu-isu filosofis, etis, dan religius; (vii) pencarian sesuatu yang idealistis. Pertumbuhan Konsep Cerita Kini timbul pemertanyaan, bagaimana dan kapan pertumbuhan konsep cerita pada anak, atau secara lebih konkret kapan anak mulai butuh cerita. Pemahaman terhadap pola pertumbuhan ini merupakan hal yang penting bagi kita untuk membawa anak ke bacaan sastra. Sebagaimana dikemukakan berb- agai aktivitas yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan bahasa anak seperti nyanyian, permainan perulangan bunyi, tembang-tembang ninabobo, dan lain-lain dapat dikategorikan sebagai tahap awal pengenalan sastra kepada anak, pengenalan dan pemicu bakat dan apresiasi keindahan kepada anak. Pada tahap selanjutnya tetapi masih dalam usia dini kepada anak mulai diberi cerita, cerita tentang apa saja yang mungkin diberikan sesuai dengan dunia anak. Secara teknis dalam hal ini, cerita atau sastra dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah sistem konstruk untuk me- 212 Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak lihat dunia, sebagai suatu sarana bagaimana dan dari sudut mana kita melihat dunia. Jika sastra itu adalah sastra anak, ia dapat dipahami sebagai sebuah sarana bagaimana dan dari sudut mana anak dibawa untuk melihat dunia, atau bagaimana dunia itu disampaikan kepada anak. Sastra dapat dipahami sebagai sebuah kerangka dari jalinan gagasan tentang apa yang terjadi dan bagaimana kejadian itu diceritakan. Jadi, sastra dipakai sebagai salah satu cara untuk memahamkan dunia sekeliling kepada anak, tidak saja menyangkut masalah apa yang dipahamkan (isi, gagasan, “dunia” itu sendiri) melainkan juga bagaimana cara memahamkannya (bentuk). Perkembangan kebahasaan anak sejalan dengan perkembangan intelek- tual dan aspek-aspek personalitas yang lain. Kenyataan ini dapat dipergu- nakan sebagai pijakan pemahaman bahwa dalam usia setelah anak mulai dapat memahami dan memproduksi bahasa, anak mulai dapat menerima dan mengembangkan pemahaman tentang dunia. Salah satu sarana untuk maksud itu adalah cerita. Bersamaan dengan proses itu tumbuh pula konsep cerita pada anak. Keadaan ini tidak mudah dibuktikan karena anak tidak dapat diuji atau ditanyai untuk maksud tersebut. Namun, lewat studi longitudinal dapat dilihat kapan dan bagaimana anak mulai tertarik pada cerita. Pada usia tiga tahun, atau bahkan lebih awal lagi, anak sudah dapat diberi cerita, dan bahkan sering minta untuk diceritai. Pada usia prasekolah, 3 sampai 4 tahun, anak sering terlihat “membaca buku”, atau minta untuk dibacakan buku cerita. Aktivitas anak tersebut memang sekadar imitasi dari dewasa yang sering dilihat melakukannya, tetapi bagaimanapun lewat cara itu pada diri anak mulai tertanam kesadaran akan kebutuhan cerita, kebutuhan untuk melihat dunia, dan itu dapat diperoleh lewat buku bacaan. Perkembangan pemahaman struktur cerita. Untuk mengetahui pertum- buhan konsep strruktur cerita pada anak, Applebee (via Huck dkk. 1987:62–63) melakukan penelitian terhadap anak usia 2 sampai 5 tahun. Penelitian itu dilakukan untuk mengetahui perkembangan pemahaman anak terhadap pola struktur cerita. Pola-pola itu menunjukkan adanya peningkatan kemampuan anak untuk mengaitkan berbagai peristiwa secara bersama. Struktur yang berhasil diidentifikasi oleh Applebee tersebut dalam urutan yang semakin meningkat adalah sebagai berikut. Kumpulan (heap): kumpulan item yang tak terhubungkan. 213 Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2 Urutan (sequence): penghubungan secara arbitrer terhadap peristiwa yang mirip. Cerita sederhana (primitive narrative): penghubungan peristiwa ber- dasarkan sebab, efek, atau sifat komplementer lain. Penghubungan tak terfokus (unfocus chain): penghubungan lewat atribut umum yang berupa pemindahan peristiwa-peristiwa. Penghubungan memfokus (focused chain): penghubungan berbagai peristiwa yang berkaitan ke dalam