🎧 New: AI-Generated Podcasts Turn your study notes into engaging audio conversations. Learn more

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

Full Transcript

RAGAM DAN LARAS BAHASA INDONESIA Ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-ciri linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh ciri-ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa yang juga ditandai oleh ciri-ciri non...

RAGAM DAN LARAS BAHASA INDONESIA Ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-ciri linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh ciri-ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa yang juga ditandai oleh ciri-ciri nonlinguistik, misalnya lokasi atau tempat penggunaannya, lingkungan sosial pemakaiannya, dan lingkungan keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan. Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakainya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing berbagi teras atau inti sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, dan tata makna umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita dapat mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya. A. Ragam Bahasa Berdasarkan Media Bila ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa dibagi menjadi: (1) ragam bahasa lisan; (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi, dalam ragam bahasa lisan kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis kita berurusan dengan tata cara penulisan atau ejaan. Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjadi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar walau ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing- masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain. Contoh: Ragam bahasa lisan. Zahra sedang baca surat kabar. Aqis mau nulis Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu. Mereka tinggal di Mampang Prapatan. Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Saya akan tanyakan soal itu. Ragam bahasa tulis. Zahra sedang membaca surat kabar. Aqis mau menulis Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu. Mereka bertempat tinggal di Mampang Prapatan. Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Akan saya tanyakan soal itu. Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis dapat dilihat pada berikut ini. Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis no Ragam Bahasa Lisan Ragam Bahasa Tulisan 1 Tidak Baku Ragam ini menekankan penggunaan ragam bahasa baku, ejaan yang baku (sesuai PUEBI) 2 Kosakata lebih menekankan pilihan kata yang Kosakata menekankan pilihan kata baku. tidak baku. Contoh: Contoh: a. Istri Pak Camat membina ibu-ibu a. Bini Pak Camat bina ibu-ibu bikin kerajinan memproduksi kerajinan tangan dari bambu. dari bambu. b. Fadhil sedang membuat skripsi. b. Fadhil sedang bikin skripsi. 3 Bentuk kata bahasa lisan cenderung tidak Bentuk kata bahasa tulis berimbuhan. menggunakan imbuhan (awalan, akhiran). Contoh: Contoh: a. Fadhil sedang menulis skripsi. a. Fadhil sedang tulis skripsi. b. Zahra sedang memasak nasi. b. Zahra sedang masak nasi. 4 Kalimat cenderung tanpa unsur yang lengkap Kalimat dalam ragam bahasa tulis lengkap (tanpa subjek, predikat, atau objek). Kejelasan secara gramatikal. kalimat dipengaruhi oleh unsur-unsur situasi Contoh: ketika kalimat tersebut diucapkan. Isi kalimat a. Dalam seminar ini kita akan mengkaji dapat dimengerti tetapi struktur kalimatnya pertumbuhan ekonomi 2019. salah. Misalnya, berupa anak kalimat, b. TKI yang dikirim ke luar negeri harus gabungan anak kalimat, tanpa subjek, dan memiliki paspor. tanpa predikat (objek). c. Jakarta memiliki Pusat Bahasa Contoh: a. Di sini akan membicarakan pertumbuhan ekonomi 2019. b. Untuk TKI yang akan dikirim ke luar negeri harus memiliki paspor. c. Di Jakarta memiliki Pusat Bahasa. Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan yang nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya. Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku- buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis nonstandar dalam majalah remaja, iklan, atau poster. B. Ragam Bahasa Berdasarkan Latar Belakang Penutur Berdasarkan latar belakang penutur, kita mengenal ragam daerah atau dialek yang berkaitan dengan asal penutur, ragam terpelajar dan tak terpelajar yang berkaitan dengan tingkat pendidikan penutur, serta ragam resmi dan tak resmi berkaitan dengan sikap penutur. 1) Ragam Dialek atau Ragam Daerah Ragam dialek atau ragam daerah akan mencerminkan asal penutur. Beberapa kelompok suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan berujar. Orang Batak biasanya memiliki kesulitan untuk mengujarkan bunyi e pepet atau [∂]. Mereka melafalkan bunyi e pepet atau [∂] menjadi bunyi e taling atau [ӗ]. Contoh: kata /b∂b∂rapa/ dilafalkan menjadi /bӗbӗrapa/, kata /b∂k∂rja/ dilafalkan menjadi /bӗkӗrja/. Lain halnya dengan orang Jawa, mereka sering mengucapkan kata yang berawalan “b” seperti Bandung, Bali, dan Bantul akan dilafalkan dengan penambahan bunyi sengau “m” sehingga terdengar di telinga ucapan /mBandung/, /mBali/, dan /mBantul/. Bunyi-bunyi berat seperti bunyi [b], [d], dan [j] akan terdengar diucapkan /bh/, /dh/, dan /jh/. Contoh: /bhawa/, /dhudhuk/, dan /jhadhi/. Ragam dialek juga dapat dikenali melalui penambahan kata tertentu yang biasa dikenal dalam bahasa asal mereka. Penambahan kata “orang” atau “sendiri” pada satu ujaran, misalnya “Orang saya lagi kerja diganggu”, “Orang dia baru datang”. Penambahan kata “orang” pada ujaran itu alih-alih kata “wong” dalam bahasa Jawa. Gejala ini memang tampak pada bahasa Indonesia dialek Jawa. 2) Ragam Terpelajar dan Tak Terpelajar Ragam terpelajar dan tak terpelajar didasarkan pada tingkat pendidikan penutur. Ragam terpelajar dibedakan dengan ragam tak terpelajar. Penutur yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi relatif akan lebih terlatih dalam berbahasa dibandingkan dengan penutur yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Hal ini disebabkan besarnya peluang penutur pendidikan lebih tinggi untuk belajar dan berlatih bahasa. Terpelajar tidaknya penutur itu tampak dalam ujaran dan strukturnya. Ragam terpelajar, antara lain dapat dilihat dari terpenuhinya kaidah pemakaian bahasa baik yang menyangkut struktur yang benar maupun ujaran atau lafal yang benar. Ragam terpelajar, misalnya tampak pada cara ujaran yang mencerminkan kelengkapan bunyi bahasa yang didaftarkan dalam tata bunyi sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan. Cara Pelafalan Kata antara Ragam Terpelajar dan Ragam Tak Terpelajar No Ragam Terpelajar Ragam Tak Terpelajar 1 /mufakat/ /Mupakat/ 2 /tafsir/ /tapsir/ 3 /fasilitas/ /pasilitas/ 4 /vokal /pokal/ 5 /pabrik/ /tabrik/ 6 /fungsi/ /pungsi/ 7 /kompleks/ /komplek/ 8 /vitamin ce/ /pitamin se/ Dari contoh di atas dapat dilihat perbedaan, bahwa ragam terpelajar lebih terpelihara dalam hal kaidah, sedangkan ragam tak terpelajar kurang memperhatikan kaidah, baik menyangkut pilihan kata dan bentuk kata, maupun kelengkapan kalimat dan kelengkapan pelafalannya. Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat. 3) Ragam Resmi dan Ragam Tak Resmi Ragam resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, seperti pertemuan- pertemuan, peraturan-peraturan, dan undangan-undangan. Ciri-ciri ragam bahasa resmi: 1) menggunakan unsur gramatikal secara eksplisit dan konsisten; 2) menggunakan imbuhan secara lengkap; 3) menggunakan kata ganti resmi; 4) menggunakan kata baku; 5) menggunakan EYD/EBI; dan 6) menghindari unsur kedaerahan. Ragam tak resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi tak resmi, seperti dalam pergaulan, dan percakapan pribadi, seperti dalam pergaulan, dan percakapan pribadi (Keraf, 1991: 6). Ciri- ciri ragam bahasa tidak resmi kebalikan dari ragam bahasa resmi. Ragam bahasa tidak resmi ini digunakan ketika kita berada dalam situasi yang tidak normal. Ragam bahasa resmi atau tak resmi ditentukan oleh tingkat keformalan bahasa yang digunakan. Semakin tinggi tingkat kebakuan suatu bahasa, berarti semakin resmi bahas yang digunakan. Sebaliknya semakin rendah pula tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan (Sugono, 1998:12-13). Contoh: Bahasa yang digunakan oleh bawahan kepada atasan adalah bahas resmi sedangkan bahasa yang digunakan oleh anak muda adalah ragam bahasa santai/tak resmi. 4) Ragam Bahasa Standar, Semi Standar, dan Nonstandard Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosa kata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modern (Alwi, 1998: 14). Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan: (a) topik yang sedang dibahas; (b) hubungan antarpembicara; (c) medium yang digunakan; (d) lingkungan; atau (e) situasi saat pembicaraan terjadi. Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar adalah: (a) penggunaan kata sapaan dan kata ganti; (b) penggunaan kata tertentu; (c) penggunaan imbuhan; (d) penggunaan kata sambung (konjungsi); dan (e) penggunaan fungsi yang lengkap. Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue. Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar, kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti. Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat. Contoh: (1a). Ayah mengatakan, kita akan pergi besok. (1b). Ayah mengatakan bahwa kita akan pergi besok. Pada contoh (1a) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (1b) merupakan ragam standar. Contoh: (2a). Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu. (2b). Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Pada contoh (2) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (2a) merupakan ragam standar. Kalimat (1) kehilangan kata sambung bahwa, sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan untuk. Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar. Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, “Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “tau” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Pembedaan lain yang juga muncul tetapi tidak disebutkan di atas adalah intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis. C. Laras Bahasa Laras bahasa adalah ragam bahasa yang digunakan untuk suatu tujuan atau pada konteks sosial tertentu. Banyak sekali laras bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa batasan yang jelas. Definisi laras bahasa menurut beberapa ahli linguistik, diantaranya Ure dan Ellis (1977) menganggap laras bahasa sebagai pola bahasa yang lazim digunakan mengikuti keadaan tertentu. Hal ini bermakna, sesuatu situasi akan menentukan bentuk bahasa yang digunakan oleh pengguna bahasa itu dan pemilihannya berdasarkan konvensi sosial masing-masing. Menurut Reid (1956) menyatakan seorang penutur dalam situasi berbeda-beda akan menggunakan laras mengikut situasi sosial yang berlainan yaitu istilah teknik untuk menyatakan perlakuan bahasa (linguistic behavior) seseorang individu. Halliday (1968) menyebut bahwa laras sebagai variasi bahasa yang berlainan berdasarkan fungsi. Laras akan senantiasa berubah mengikut situasi. Dia telah membuat penjenisan laras kepada tiga kategori yaitu: (1) tajuk wacana (field of discourse), (2) cara penyampaian wacana (mode of discourse); dan (3) gaya wacana (style of discourse). Sedang Joos (1961) membagi lima laras bahasa menurut derajat keformalannya, yaitu: Frozen (beku). Ragam beku digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan. Formal (resmi). Ragam resmi digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato resmi, rapat resmi, dan jurnal ilmiah. Consultative (konsultatif). Ragam konsultatif digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar. Casual (santai). Ragam santai digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab. Intimate (akrab). Ragam akrab digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang sangat akrab dan intim. Menurut Nik Safiah Karim (1989), kajian terhadap laras bahasa perlu mempertimbangkan dua factor, yaitu: (1) ciri keperihalan peristiwa bahasa; dan (2) ciri linguistik yang wujud. Ciri keperihalan pula dibagidua aspek, yaitu situasi luaran dan situasi persekitaran. Situasi luaran adalah latar belakang sosial dan kebudayaan sesuatu masyarakat bahasa yang merangkumi struktur sosial dan keseluruhan cara hidup yang menentukan perlakuan setiap anggota masyarakat. Contohnya, apabila kita mengkaji laras bahasa masyarakat Melayu lama, kita perlu mengaitkan dengan situasi istana, stratifikasi sosial, tradisi sastra lisan dan aspek-aspek lain anggota masyarakat zaman itu. Situasi persekitaran pula meliputi aspek-aspek yang terlibat secara langsung dalam penggunaan bahasa. Terdapat empat situasi persekitaran yang menyebabkan wujudnya bahasa yang berlainan atau laras. Situasi yang dimaksudkan ialah cara penyampaian, perhubungan sosial dan peribadi, bahan yang diperkatakan, dan fungsi-fungsi sosial perlakuan bahasa. Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah populer, laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya. Setiap laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau nonstandar. Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras ilmiah. a) Laras llmiah Dalam uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan laras ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar. Sebuah karya tulis ilmiah merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa, gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1). Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan. Realistis berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar- benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378). Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya. Laras bahasa terkait langsung dengan selingkung bidang (home style) dan keilmuan, sehingga dikenallah laras bahasa ilmiah dengan bagian sub-sublarasnya. Pembedaan di antara sub-sublaras bahasa seperti dalam laras ilmiah itu dapat diamati dari: (1) Penggunaan kosakata dan bentukan kata; (2) Penyusunan frasa, klausa, dan kalimat; (3) Penggunaan istilah; (4) Pembentukan paragraf; (5) Penampilan hal teknis; (6) Penampilan kekhasan dalam wacana. Berdasarkan konsepsi laras bahasa tersebut, laras bahasa ekonomi mempunyai sub- sublaras bahasa manajemen, sublaras akuntansi, sublaras asuransi, sublaras perpajakan, dll. Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik; Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam pengertian, jujur atau terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas; Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara terkendali, konseptual, dan procedural; Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan. Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian berdasarkan suatu hipotesis; Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif; Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi spesifik itu, dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah memiliki tiga ciri, yaitu: (1) harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna; (2) harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan; dan (3) harus singkat, berlandaskan ekonomi bahasa. Di samping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang dalam International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997: 10). Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997: 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan, 1997: 38). b) Ragam Bahasa Keilmuan Menurut Sunaryo, (1994: 1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah- kaidah berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai dengan konteks situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik lisan maupun tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-bentuk bahasa yang kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu memperhatikan siapa pembaca tulisan kita , apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan itu, dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu mendapat perhatian tersebut merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu berkomunikasi meliputi: partisipan, topik, latar, tujuan, dan saluran (lisan atau tulis). Partisipan tutur ini berupa P1 yaitu pembicara/penulis dan P2 yaitu pembaca atau pendengar tutur. Agar pesan yang disampaikan dapat terkomunikasikan dengan baikmaka pembicara atau penulis perlu; (a) mengetahui latar belakang pembaca/pendengar, dan (b) memperhatikan hubungan antarpembicara/penulis dengan pendengar/pembaca. Hal itu perlu diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang digunakan tepat, di samping agar pesannya dapat tersampaikan, agar tidak menyinggung perasaan, menyepelekan, merendahkan dan sejenisnya. Topik tutur berkenaan dengan masalah apa yang disampaikan penutur ke penanggap penutur. Penyampaian topik tutur dapat dilakukan secara: (a) naratif (peristiwa, perbuatan, cerita); (b) deskriptif (hal-hal faktual: keadaan, tempat barang, dsb.); (c) ekspositoris; dan (d) argumentatif dan persuasif. Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri: (1) cendekia yaitu bahasa Indonesia keilmuan itu mampu digunakan untuk mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat; (2) lugas dan jelas yaitu bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan gagasan ilmiah secara jelas dan tepat; (3) gagasan sebagai pangkal tolak yaitu bahasa Indonesia keilmuan digunakan dengan orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis; dan (4) formal dan objektif yaitu komunikasi ilmiah melalui teks ilmiah merupakan komunikasi formal. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau resmi. Pada lapis kosakata dapat ditemukan kata-kata yang berciri formal dan kata-kata yang berciri informal (Syafi’ie, 1992: 8-9). Contoh kata berciri formal dan informal Kata Berciri Formal Kata Berciri Informal Korps Korp Berkata Bilang Karena Lantaran Suku Cadang Onderdil c) Laras Ilmiah Populer Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi diungkapkan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer tidak selalu merupakan hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk teknis, pengalaman dan pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika karya ilmiah harus selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya ilmiah popular dapat disajikan dalam ragam standar, semi standar dan nonstandar. Penyusun karya ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan pengarang, karena proses penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan karya ilmiah. Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya. Seperti diuraikan di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku pula bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula persoalan lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang sedang populer di tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya dengan karya ilmiah populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media surat kabar dan majalah, biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku dalam laras jurnalistik. Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu kemudian dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi, argumentasi, atau deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan gagasannya dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan masalah, pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut pandang. Daftar Pustaka Widyaningrum, Heny Kusuma dan Cerianing Putri Pratiwi. 2019. Ragam Bahasa.Madiun: UNIPMA Press

Use Quizgecko on...
Browser
Browser