KEL 5_HUKUM KEPAILITAN PDF
Document Details
Uploaded by FancyEpiphany5021
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
2024
Tags
Summary
This document is a research paper on bankruptcy law. It discusses the definition, history, principles, and functions of bankruptcy law in Indonesia. The document is aimed at university students majoring in economics or business.
Full Transcript
HUKUM KEPAILITAN Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Moch. Wahyudi, S.E., M.M. Disusun Oleh : Kelompok 5 1. Elsha Fatmawati Nur Aini (21401099)...
HUKUM KEPAILITAN Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Moch. Wahyudi, S.E., M.M. Disusun Oleh : Kelompok 5 1. Elsha Fatmawati Nur Aini (21401099) 2. Fatma Dwi Puspitasari (21401100) 3. Febylya Diah Anggreini (21401104) 4. Vicky Wahyu Meilani (22401115) PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI 2024 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah Aspek Hukum Dalam Bisnis dengan judul “Hukum Kepailitan”. Makalah ini akan membahas mengenai Definisi Hukum Kepailitan, Sejarah Hukum Kepailitan, Dasar – dasar Hukum Kepailitan, Manfaat Hukum Kepailitan, Tujuan Kepailitan, Perkembangan Hukum Kepailitan, Prinsip – prinsip, Syarat – syarat serta Pihak – pihak dalam Kepailitan. Hal tersebut kami bahas supaya menambah wawasan mengenai Hukum Kepailitan. Selain itu, makalah ini juga kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis pada semester 7 Prodi Ekonomi Syari’ah di Institut Agama Islam Negeri Kediri. Kami menyadari jika masih terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami mohon agar pembaca berkenan memberi kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki dan menyusun makalah yang lebih baik lagi selanjutnya. Kami juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusun makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin. Kediri, 13 September 2024 Penyusun ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................................. ii DAFTAR ISI.............................................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................... 1 A. Latar Belakang............................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah.......................................................................................................... 2 C. Tujuan Pembahasan....................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................ 3 A. Definisi Hukum Kepailitan............................................................................................ 3 B. Sejarah Hukum Kepailitan............................................................................................. 4 C. Dasar Hukum Kepailitan............................................................................................... 6 D. Asas – asas Hukum Kepailitan....................................................................................... 6 E. Manfaat Hukum Kepailiatan.......................................................................................... 7 F. Tujuan Hukum Kepailitan.............................................................................................. 8 G. Perkembangan Hukum Kepailitan................................................................................. 9 H. Prinsip Hukum Kepailitan............................................................................................ 10 I. Syarat- syarat dalam Kepailitan................................................................................... 13 J. Pihak pihak dalam Kepailitan...................................................................................... 14 BAB III PENUTUP.................................................................................................................. 15 A. Kesimpulan............................................................................................................. 15 B. Saran....................................................................................................................... 15 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 16 iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia bisnis dan ekonomi, ketidakpastian dan risiko adalah hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu bentuk risiko tersebut adalah kemungkinan terjadinya kepailitan atau kebangkrutan. Kepailitan adalah kondisi di mana suatu entitas, baik itu individu maupun badan hukum, tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya kepada para kreditor.1 Fenomena ini tidak hanya memengaruhi pihak yang mengalami kepailitan tetapi juga dapat memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian secara keseluruhan. Kepailitan merupakan isu penting dalam dunia hukum yang berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang atau badan usaha untuk membayar utang-utangnya saat jatuh tempo. Dalam konteks perekonomian modern, kepailitan menjadi instrumen yang digunakan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dari kegagalan dalam pengelolaan keuangan baik oleh individu maupun perusahaan. Proses kepailitan memberikan jalan keluar yang terstruktur bagi pihak yang terlibat untuk menyelesaikan kewajiban finansial secara adil, baik bagi debitur maupun kreditur. Di Indonesia, hukum kepailitan diatur oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Undang- undang ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin bahwa hak- hak kreditur terlindungi, sembari memberi peluang bagi debitur untuk merestrukturisasi utangnya melalui penundaan kewajiban pembayaran.2 Dalam perkembangan globalisasi dan perubahan kondisi ekonomi, regulasi ini menjadi semakin relevan, terutama dalam menghadapi gejolak ekonomi yang dapat memicu peningkatan jumlah perusahaan yang gagal memenuhi kewajibannya. Namun, implementasi hukum kepailitan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, seperti inkonsistensi dalam putusan pengadilan, lamanya proses kepailitan, hingga masalah transparansi dalam pengelolaan aset pailit.3 Hal ini 1 Guslan Omardani Hadibroto dan Mardalena Hanifah, “UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN” 3, no. 4 (2023). 2 Herry Anto Simanjuntak, “PRINSIP PRINSIP DALAM HUKUM KEPAILITAN DALAM PENYELESAIAN UTANG DEBITUR KEPADA KREDITUR,” no. 02 (t.t.). 3 DR Niru Anita Sinaga, “HUKUM KEPAILITAN DAN PERMASALAHANNYA DI INDONESIA” 7, no. 1 (2016). 1 menimbulkan kekhawatiran tentang efektivitas hukum kepailitan dalam menciptakan keadilan bagi semua pihak. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas secara mendalam tentang hukum kepailitan di Indonesia, termasuk mekanisme, prinsip-prinsip hukum yang berlaku, serta tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan lebih lanjut mengenai peran hukum kepailitan dalam menjaga stabilitas ekonomi serta perlindungan hukum bagi para pelaku usaha di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Apa Definisi dari Hukum Kepailitan ? 2. Bagaimana Sejarah dari Hukum Kepailitan? 3. Apa saja Dasar Hukum Kepailitan? 4. Apa Asas – asas dari Hukum Kepailitan? 5. Bagaimana Manfaat Hukum Kepailiatan? 6. Apa Tujuan dari Hukum Kepailitan? 7. Bagaimana Perkembangan Hukum Kepailitan? 8. Bagaimana Prinsip dalam Kepailitan? 9. Apa saja Syarat- syarat dalam Kepailitan? 10. Bagaiman Pihak pihak yang ada dalam Kepailitan? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Definisi dari Hukum Kepailitan. 2. Untuk mengetahui Sejarah dari Hukum Kepailitan. 3. Untuk mengetahui Dasar Hukum Kepailitan. 4. Untuk mengetahui Asas – asas dari Hukum Kepailitan. 5. Untuk mengetahui Manfaat Hukum Kepailiatan. 6. Untuk mengetahui Tujuan dari Hukum Kepailitan. 7. Untuk mengetahui perkembangan dari Hukum Kepailitan. 8. Untuk mengetahui Prinsip dalam Kepailitan. 9. Untuk mengetahui Syarat- syarat dalam Kepailitan. 10. Untuk mengetahui Pihak pihak yang ada dalam Kepailitan. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Hukum Kepailitan Istilah kepailitan secara itimologi, berasal dari kata “pailit”. Selanjutnya istilah “pailit” berasal dari kata Belanda failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis Le faili. Kata kerja failir artinya gagal. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail dengan arti yang sama, dan dalam bahasa latin disebut failure. Kemudian istilah kepailitan dalam pengertian hukum, istilah faillet menandung unsur – unsur tersendiri yang dibatasi secara tajam, namun definisi mengenai pengertian itu tidak ada dalam undang – undang. Selanjutnya istilah pailit itu dalam bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula sementara orang yang menerjemahkannya sebagai palyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara – negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.4 Hukum kepailitan pada prinsipnya merupakan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari dengan tujuan utamanya adalah menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor. Hukum kepailtan merupakan salah satu bidang hukum bisnis yang terus mengalami perkembangan yang sangat pesat dewasa ini khususnya dari sisi praktik hukum.5 Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan definisi bahwa kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang -Undang ini. 4 “Artikel-Kepailitan-1-oleh-Hirmawan-Susilo-dan-Rahmat-Basmalah,” t.t. 5 Muhammad Ridduwan, “KAJIAN HUKUM TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA” 22 (2024). 3 B. Sejarah Hukum Kepailitan Dilihat dari kacamata Sejarah, secara embrional suatu pranata yang Bernama hukum kepailitan atau dikenal pula dengan nama hukum kebangkrutan, pada mulanya berkembang pada masa Romawi. Eksistensi hukum Romawi terhadap perkembangan hukum kepailitan modern yang berkembang kini adalah sebagai bukti bahwa hukum kepailitan modern itu dibangun diatas prinsipprinsip hukum Romawi kuno sebagai pancangannya. Secara etimologish istilah kepailitan berasal dari kata banco rotto yang pertama kali dipakai di Italia, yaitu saat terjadinya peristiwa pedagang yang memperjualbelikan valuta tak lagi mempunyai uang tunai untuk membayar para kreditornya. Pada masa itu berlaku tradisi jika peristiwa tersebut terjadi sang pedagang akan memecahkan atau membawa pergi meja tempat dia memperdagangkan uangnya sebagai simbol bahwa dia telah bangkrut. Kemudian pranata hukum kepailitan ini berkembang pula dibeberapa negara di Eropa seperti Perancis, Inggris, Amerika, Belanda, dan Indonesia. Di Perancis, istilah banqueroutte dilekatkan pada kondisi seseorang pihak berutang yang tak mampu lagi membayar utangnya, dimana orang tersebut meletakkan suatu barang jaminan pada bank untuk melunasi utangnya dan kemudian menyembunyikan dirinya dari pandangan publik. Perkembangan hukum kepailitan di Inggris dimana dikenal dengan nama bankruptcy law diawali pada tahun 1985. Pada mulanya bankruptcy scheme ini hanya dipakai untuk kepailitan orang perseorangan. Pada tahun 1985 hukum kepailitan yang berlaku secara individual yang insolven serta winding up untuk Lembaga korporasi dijumpai dalam aturan normatif yang berbeda yakni bankruptcy act dan companies act.6 The staatue bankrupst of 1570 yang berlaku diinggris merupakan hukum kepailitan yang berlaku selama masa kolonial di Amerika Sarikat. Undang-undang kepailitan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah federal adalah bankruptcy act of 1800.7 Perkembangan hukum kepailitan di Belanda dan Indonesia diawali dengan terbitnya verordening op het failissements en de surseance van betaling de europeanenin nederlandse indie atau yang lebih akrab dengan sebutan failissement 6 Ridduwan. 7 Irawan Fakhrudin Mahali Zikri, “ASPEK MASALAH KEPAILITAN DALAM TATARAN TEORI DAN PROBLEMATIKANYA YANG BERLAKU DI INDONESIA,” t.t. 4 verordening disingkat Fv Stb 1905 no 217 jo Stb 1906 no 348. Aturan ini merupakan aturan buatan pemerintah colonial Belanda dan memiliki masa keberlakuan yang sangat lama yakni 92 tahun. Aturan failissement verordening tersebut kemudian diperbarui dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) No 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan menjadi undangundang No 4 Tahun 1998. Adapun yang menjadi latar belakang pembaharuan hukum terhadap undangundang kepailitan tahun 1998 adalah karena banyaknya putusan Pengadilan Niaga yang kontroversial seperti putusan terhadap kasus kepailitan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Prudential Life Assurance dan lain sebagainya maka timbul niat dari para law makers untuk merevisi undangundang itu, dan sebagai hasil dari niat luhur tersebut lahirlah undang-undang no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Adrian Sutedi, memberi penjelasan rinci tentang kepailitan, memaparkan jika kepailitan termasuk “penyitaan serta eksekusi semua harta kekayaan debitur/pailit pada kepentingan setiap krediturnya” Si pailit termasuk debitur dengan memperoleh dua orang ataupun banyak kreditor serta belum sanggup melunasi satu ataupun banyak utangnya yang sudah tenggat serta bisa diminta pelunasannya. Selain itu, R. Subekti serta Tjitro Soedibio mempergunakan istilah pailit pada halaman berikutnya dengan mempergunakan istilah “failiet” yang dalam leksikon hukumnya berarti debitur yang berhenti menjalankan pembayaran atas kewajibannya. Pertama kali di tahun1905, Pemerintah Belanda menerbitkan Faillisements- Verordening, Staatsblad 1905-216 jo. Staatsblad 1906-348 yang menetapkan peraturan dasar tentang kepailitan di Indonesia. Sesudah merdeka, peraturan itu berkembang dengan dikeluarkannya PP No 1 tahun 1998serta UU No 4 tahun 1998 yang selanjutnyamengalami revisi, serta saat ini masih berlaku dengan UU No 37 tahun 2004. Proses pembaruan hukum ini memberi dorongan penting terhadap penguatan supremasi hukum di Indonesia.8 Lebih lanjut, ketentuan mengenai kepailitan juga tercantum di pasal 1131-1134 Kitab UU Hukum Perdata.Pada tanggal 22 April 1998 pemerintahan telah menetapkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan (Lembaran Negara RI Tahun 1998 No. 87. Perpu 8 Listyowati Sumanto, “Implikasi Hukum Kepailitan terhadap Koperasi SimpanPinjam Gagal Bayar” 1, no. 6 (2024). 5 tersebut kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang, yaitu menjadi UU No. 4 Tahun 1998 tentang penetapan peraturan pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan menjadi undang-undang tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara RI Tahun 1998 No. 135). C. DASAR HUKUM KEPAILITAN Sebagai dasar umum atau peraturan umum ddari Lembaga kepailitan adalah kitab hukum perdata (KUH-Perdata), khususnya pasal 1131 dan 1132. Sedangkan dasar hukum yang khusus mengatur hukum kepailitan di Indonesia saat ini di atur dalam UU no 4 tahun 1998. 9 D. ASA ASAS KEPAILITAN 1. Asas keseimbangan Sesuai asas keseimbangan tersebut, maka UUKPKPU harus mampu mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan baik oleh debitor yang tidak jujur maupun kreditor yang tidak beriktikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Asas ini memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. Tujuan utama adalah untuk mempertahankan keberlangsungan bisnis yang masih memiliki potensi, sehingga tidak semua perusahaan harus ditutup. 3. Asas Keadilan Asas keadilan dalam hukum kepailitan bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Ini berarti bahwa ketentuan kepailitan harus dapat mencegah kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing tanpa mempedulikan kreditur lainnya. 4. Asas Integrasi Asas integrasi mengintegrasikan sistem hukum formal dan hukum materiil menjadi satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Ini memastikan bahwa hukum kepailitan diintegrasikan dengan hukum lainnya untuk menciptakan kestabilan dan konsistensi dalam penyelesaian sengketa kebangkrutan. 9 Undang-undang dassar tentang hukum dasar kepailitan 6 5. Asas Mendorong Investasi dan Bisnis: Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU 37/2004, asas ini dapat diartikan sebagai tujuan untuk mendorong investasi dan bisnis melalui proses kepailitan yang efektif dan efisien. Hal ini dapat membantu memulihkan keuangan perusahaan dan memfasilitasi kreditur untuk mendapatkan pembayaran yang adil. 6. Asas Memberikan Manfaat dan Keadilan: Asas ini terkait dengan asas keadilan dan bertujuan untuk memberikan manfaat dan keadilan kepada semua pihak yang terlibat dalam proses kepailitan. Hal ini mencakup perlindungan harta pailit dan kreditur lainnya dari penyalahgunaan.10 E. Fungsi Hukum Kepailitan Berbicara mengenai fungsi hukum kepailitan, sebenarnya fungsi hukum kepailitan adalah guna melindungi kepentingan dari kreditor agar piutangnya terhadap debitor segera mendapatkan pelunasan. Selain kepentingan kreditor, hukum kepailitan juga berguna untuk devbitor yakni dengan cara mengajukan upaya perdamaian, upaya hukum, dan lain-lain. Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang bahwa didalam penjelasan umum juga dijelaskan terkait fungsi dari hukum kepailitan adalah guna melindungi kepentingan dari para pihak. Yang dimaksud para pihak disini adalah kreditor selaku yang mempunyai piutang dan debitor selaku yang mempunyai utang. Adapun perlindungan disini adalah harus seimbang, tidak berat sebelah terhadap debitor apalagi kreditor yang haknya harus dipenuhi oleh debitor. Apabila kita berandai-andai dari sudut pandang kreditor, kehadiran Undang- Undang kepailitan ini seharusnya menjadi jaminan dan perlindungan terhadap kreditor karena perlindungannya sudah diatur oleh Undang-Undang ini. Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh debitor atau para kreditor lainnya yang curang bisa dapat dicegah. Sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh seorang ahli hukum yaitu Mochtar Kusumaatmadja ia berpendapat bahwa instrument hukum harusnya menjadi sebuah sarana pembaharuan serta pembangunan masyarakat. Kemudian 10 R. soeroso pengangtar ilmu hukum (Jakarta, sinar grafika, 2011) hal 158 7 harapannya jika kita kaitkan dengan Undang-Undang kepailitan ini berperan guna pembaharuan di masyarakat guna menyelesaikan masalah utang piutang.11 F. Tujuan Hukum Kepailitan Tujuan dari hukum kepailitan yang diciptakan oleh pemerintah sebenarnya sudah cukup baik atau memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk menciptakan rasa keadilan bagi para pihak. Adapun tujuan hukum kepailitan yakni: 1. Supaya debitor membayar utang-utangnya dengan tidak secara sukarela walaupun telah ada putusan pengadilan yang menghukumnya harus menbayar utangnya atau apabila debitor tidak mampu membayar utangnya secara keseluruhan maka harta debitor seluruhnya akan dilakukan pengurusan dan pemberesan dengan cara disita dan dijual yang kemudian hasil dari pemberesan tersebut diserahkan kepada semua kreditor tanpa terkecuali berdasarkan piutangnya masing-masing, kecuali ada ketentuan yang menurut undang-undang harus dilakukan terlebih dahulu pembayarannya. 2. Guna menghindari kreditor pada waktu yang sama untuk meminta kembali pembayaran piutangnya kepada debitor. 3. Menghindari adanya kreditor yang berusaha mendapatkan hak istimewa guna menuntut hak-haknya dengan cara melakukan pemberesan secara mandiri atau menjual harta debitor tanpa memperhtikan para kreditor lainnya. 4. Selain menghindari kecurangan dari kreditor. Hukum kepailitan juga mempunyai tujuan untuk menghindari kecurangan yang dilakukan oleh debitor. Kecurangan tersebut adalah ketika si debitor melarikan atau bahkan menghilangkan semua harta kekayaannya demi menghindari tanggung jawabmya terhadap para kreditor. Artinya tindakan debitor disini adalah menyembunyikan semua harta kekayaannya, lantas para kreditor dalam pemberesan tidak mendapatkan apa- apa. 5. Tujuan berikutnya adalah untuk menghukum pengurus dalam hal ini adalah pengurus dari perusahaan yang karena kelalaiannya menyebabkan finansial perusahaan buruk sehingga perusahaan mengalami insolvensi. Insolvensi adalah keadaan dimana debitor tidak mampu untuk membayar kewajibannya (utang). 11 Hendra Atmajaya, “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Kepailitan” 1997 (2018): 207–26. 8 Maka dengan adanya beberapa tujuan hukum kepailitan diatas dapat disimpulkan bahwasannya tujuan dari hukum kepailitan adalah bentuk perlindungan yang diberikan oleh kreditor guna mendapatkan kembali piutangnya yang telah jatuh tempo dan hasil dari pemberesan harta debitor pailit dibagi secara adil dan proporsional.12 Adapun tujuan hukum kepailitan sebagaimana diungkapkan oleh Louis E. Levinthal yaitu, tujuan hukum kepailitan tidak hanya terbatas pada perlindungan kreditor untuk mendapatkan pembayaran piutang mereka, tetapi juga menetapkan batasan dan perlindungan untuk debitor agar tidak dieksploitasi atau disalahgunakan oleh para kreditur selama proses kepailitan.13 Menurut Sutan Remy, tujuan hukum kepailitan adalah untuk melindungi hak-hak kreditur konkuren sehubungan dengan penerapan prinsip jaminan bahwa semua barang bergerak dan tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru di kemudian hari, dapat digunakan sebagai jaminan kesepakatan bagi debitur yaitu dengan memberikan fasilitas dan tata cara pelunasan tagihan kepada debitur.14 Menurut Michael Murray dan Harris Jonson, tujuan hukum kepailitan didasari oleh prinsip pari pasu (equal sharing) sebagai prinsip hukum terutama dalam kepailitan. Berdasarkan prinsip pari pasu, tujuan dari kepailitan di desain untuk mengatur prosedur pembayaran utang debitur yang tidak mampu membayar utangnya yang dilakukan secara adil, berimbang dan tertib serta menjamin bahwa para kreditor akan menerima pembagian yang berimbang dan layak dari aset debitor.15 G. Perkembangan Hukum Kepailitan Sejak lahirnya undang-undang no 37 tahun 2004 sampai dengan tahun 2023 telah banyak perkembangan yang terjadi dalam bidang hukum kepailitan. Perkembangan hukum terhadap penyelesaian perkara kepailitan terkait dengan sisa utang debitor pailit yakni terdapat pada Undang-Undang kepailitan yang dipakai sebagai acuan dalam menangani sengketa kebangkrutan di Indonesia menganut 12 Atmajaya. 13 Seftyana Wahyu Murwani Frygyta Dwi Sulistyany, “Insolvency Test sebagai Metode guna Mengatasi Permasalahan Terkait Manipulasi Kepailitan oleh Kreditor yang Beriktikad Buruk,” Jurnal Yurisprudensi, Hukum dan Peradilan 2 (2024): 22–32. 14 Wayan Karya, “Rekonstruksi Pembuktian Secara Sumir dalam Hukum Acara Kepailitan Terkait dengan Bukti Elektronik di Indonesia,” Pendidikan Tambusai 6, no. 2 (2022): 16404–17. 15 Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan (Bumi Aksara, 2018). 9 beberapa asas-asas hukum kepailitan diantaranya adalah asas paritas creditorium yang menentukan bahwa terdapat kesamaan kedudukan bagi semua kreditor kecuali ditentukan lain berdasarkan sifat piutang para kreditor itu sendiri. Selanjutnya asas pari pasu prorate parte yang menentukan bahwa keseluruhan aset debitor pailit menjadi agunan terhadap semua kewajiban finansial yang dipunyainya. Lalu terdapat pula asas structured creditors yang mengklasifikasikan pihak berpiutang menjadi tiga golongan yaitu pihak berpiutang konkuren, pihak berpiutang preference, serta pihak berpiutang separatis. Selain asas-asas tersebut diatas, ada satu lagi asas yang menjadi pengikat bagi pihak debitor yang mengharuskan utang-utang pihak debitor dibayar hingga lunas yaitu asas debt collection, yang mana sistem hukum kepailitan Belanda begitu menekankan asas ini. Namun demikian kini penerapan asas ini sudah lama ditinggalkan. Dutch bankruptcy act yang kini dipakai sebagai norma hukum dalam penanganan sengketa kebangkrutan telah banyak mengalami perkembangan. Asas debt collection yang pada zaman dahulu diterapkan pada dutch bankruptcy act kini sudah tak digunakan lagi dan digantikan oleh asas debt forgiveness. Asas debt forgiveness ini sendiri bermakna bahwa kepailitan bukan hanya sebagai langkah penistaan bagi debitor yang tak mampu melunasi hutangnya. Melainkan sebaliknya dijadikan alat untuk mempermudah beban yang dipikul oleh debitur sebagai bentuk pertanggungjawaban yang disebabkan oleh financial problem yang menjadi alasan debitur tidak bisa menjalankan prestasinya yang sudah dijanjikan sebelumnya. Bahkan, dibuka kemungkinan adanya pengampunan utang yang diberikan kepada debitur berdasarkan asas ini sehingga dimungkinkan pula utang yang dipikul debitur menjadi hapus sama sekali.16 H. Prinsip- prinsip Kepailitan 1. Prinsip Paritas Creditorium Prinsip paritas creditorium menegaskan bahwa semua kreditor memiliki hak yang sama terhadap seluruh harta kekayaan debitor. Ketika debitor tidak mampu melunasi utangnya, maka semua asetnya, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, menjadi jaminan pelunasan utang kepada kreditor. Jika debitor 16 Muhammad Ridduwan dan R. Sondang L. Tobing, “Kajian Hukum Terhadap Perkembangan Hukum Kepailitan Di Indonesia,” Solusi 22, no. 1 (2024): 16–23. 10 hanya memiliki satu kreditor, penyelesaian dapat dilakukan melalui pengadilan, di mana semua harta debitor digunakan untuk membayar utang. Namun, jika terdapat banyak kreditor dan aset debitor tidak mencukupi, kreditor akan bersaing untuk mendapatkan pembayaran terlebih dahulu, sehingga kreditor yang datang belakangan bisa tidak mendapat pelunasan. Untuk menghindari ketidakadilan ini, hukum kepailitan hadir untuk mengatur tata cara yang lebih adil bagi para kreditor. Filosofi dari prinsip ini adalah bahwa tidak adil jika debitor memiliki aset, namun masih memiliki utang yang belum terbayarkan. Berdasarkan hukum, harta kekayaan debitor menjadi jaminan umum untuk semua utangnya, meskipun harta tersebut tidak berkaitan langsung dengan utang. Prinsip ini juga menegaskan bahwa yang dijadikan jaminan hanyalah harta debitor, bukan aspek lain seperti status pribadi atau hak-hak yang tidak berkaitan dengan aset tersebut. Namun, penerapan prinsip ini secara ketat juga bisa menimbulkan ketidakadilan. Prinsip ini menyamaratakan posisi semua kreditor, tanpa memandang jumlah piutang atau apakah kreditor tersebut memegang jaminan. Hal ini dianggap tidak adil karena kreditor dengan piutang besar atau yang memiliki jaminan diperlakukan sama dengan kreditor yang memiliki piutang kecil atau tidak memiliki jaminan. 2. Prinsip Pari Passu Prorata Parte Prinsip pari passu prorata parte menyatakan bahwa aset debitor yang bangkrut menjadi jaminan bersama bagi kreditor, dan hasil penjualannya harus dibagi secara proporsional. Kreditor yang memiliki hak khusus menurut undang- undang dapat didahulukan. Prinsip ini menekankan pada pembagian yang adil berdasarkan besar kecilnya piutang masing-masing kreditor, bukan pembagian merata. Jika prinsip paritas creditorium menyamaratakan hak semua kreditor tanpa melihat besar kecilnya piutang, pari passu prorata parte lebih berfokus pada keadilan proporsional, di mana kreditor dengan piutang lebih besar akan mendapatkan porsi pembayaran yang lebih besar. Penerapan prinsip paritas creditorium bisa dianggap tidak adil jika aset debitor lebih kecil dari total utangnya, karena semua kreditor akan mendapatkan porsi yang sama tanpa memperhatikan jumlah piutang. 11 Sebaliknya, jika aset debitor lebih besar dari utangnya, penerapan prinsip pari passu prorata parte kurang relevan. Hukum kepailitan pada dasarnya diterapkan ketika aset debitor lebih kecil daripada kewajiban utangnya, dan bertujuan untuk melindungi kreditor yang lebih lemah dari kreditor yang lebih kuat dalam perebutan aset debitor. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi bagian penting dalam konteks kepailitan. 3. Prinsip Structured Creditor Prinsip structured creditor mengklasifikasikan kreditor ke dalam tiga kelompok berdasarkan status mereka dalam kepailitan, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kelemahan dalam prinsip paritas creditorium dan pari passu prorata parte, terutama karena beberapa kreditor memiliki jaminan kebendaan atau hak preferensi yang diberikan oleh undang-undang, yang tidak diperlakukan sama dengan kreditor lainnya. Dalam kepailitan, kreditor dibagi sebagai berikut: a. Kreditor Separatis: Kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan, seperti pemegang hipotek atau gadai. Mereka bisa mengeksekusi jaminan seolah- olah tidak ada kepailitan, tetapi jika jaminan tersebut tidak cukup untuk melunasi piutang, mereka masih berhak menagih sisa utangnya. b. Kreditor Preferen: Kreditor yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayarannya, seperti pemegang hak istimewa atau hak retensi. c. Kreditor Konkuren: Kreditor yang tidak memiliki jaminan atau hak preferensi khusus. Prinsip ini berbeda dari hukum perdata umum, di mana kreditor hanya dibedakan menjadi kreditor preferen dan konkuren. Dalam hukum kepailitan, kreditor preferen hanya merujuk pada mereka yang memiliki hak istimewa menurut undang-undang, sementara kreditor dengan jaminan kebendaan dikategorikan sebagai kreditor separatis. Prinsip structured creditor sangat penting dalam kepailitan untuk memastikan proses likuidasi aset debitor berlangsung adil. Tanpa prinsip ini, kreditor akan bersaing, baik secara sah maupun tidak sah, untuk mendapatkan bagian aset debitor, yang dapat menimbulkan ketidakadilan bagi kreditor yang datang belakangan. Meskipun kreditor separatis memiliki jaminan kebendaan, 12 mereka juga masih memiliki kepentingan terhadap sisa utang yang belum dilunasi serta keberlangsungan usaha debitor.17 I. Syarat- syarat Kepailitan Undang-Undang Kepailitan No. 37 tahun 2004 pasal 2 mengatur syarat-syarat kepailitan sebagai berikut: 1. Debitur dengan minimal dua kreditur yang tidak melunasi setidaknya satu utang yang telah jatuh tempo dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, baik atas permintaan sendiri atau kreditur. 2. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum. 3. Untuk debitur bank, hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pailit. 4. Badan Pengawas Pasar Modal adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit untuk debitur perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian. 5. Menteri Keuangan memiliki wewenang eksklusif untuk mengajukan permohonan pailit bagi debitur perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Berdasarkan ketentuan tersebut, syarat-syarat yuridis kepailitan dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Adanya minimal dua kreditur. b. Pernyataan pailit dikeluarkan oleh pengadilan niaga. c. Permohonan pailit diajukan oleh pihak berwenang, yaitu: 1) Debitur 2) Satu atau lebih kreditur 3) Jaksa (untuk kepentingan umum) 4) Bank Indonesia (untuk debitur bank) 5) Badan Pengawas Pasar Modal (untuk debitur terkait pasar modal) 6) Menteri Keuangan (untuk debitur asuransi, reasuransi, dana pensiun, atau BUMN kepentingan publik) 7) Memenuhi syarat-syarat yuridis lain dalam undang-undang kepailitan. 17 Tami Rusli, Hukum Kepailitan di Indonesia, (Bandar Lampung : Universitas Bandar Lampung Press, 2019), h. 41-46. 13 8) Jika syarat terpenuhi, hakim wajib menyatakan pailit tanpa pertimbangan lebih lanjut.18 J. Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Kepailitan Berikut adalah pihak- pihak yang dapat dinyatakan pailit dan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit: 1. Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit: a. Orang perseorangan, baik laki-laki maupun perempuan, yang sudah menikah atau belum. Jika sudah menikah, pengajuan pailit memerlukan persetujuan pasangan, kecuali tidak ada percampuran harta. b. Perserikatan atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, seperti firma, dengan menyebutkan nama dan alamat pesero yang terikat tanggung renteng untuk utang firma. c. Perseroan, perkumpulan, koperasi, atau yayasan berbadan hukum sesuai dengan kewenangan dalam anggaran dasarnya. d. Harta peninggalan. 2. Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit (berdasarkan Pasal 2 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004): a. Debitor sendiri: Debitor dapat mengajukan pailit atas dirinya sendiri dengan persetujuan suami atau istri. b. Kreditor: Kreditor (baik konkuren, preferen, maupun separatis) dapat mengajukan pailit terhadap debitor. c. Kejaksaan: Atas nama kepentingan umum, Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit, misalnya jika debitor melarikan diri atau berutang kepada BUMN. d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Sejak berlakunya UU OJK, permohonan pailit untuk sektor perbankan, pasar modal, dan lembaga jasa keuangan lainnya harus diajukan oleh OJK. Dalam Hukum Islam pihak yang memberi utang dapat mengajukan permohonan pailit kepada hakim, dengan bukti bahwa utang melebihi harta yang dimiliki debitor dan telah jatuh tempo. Harta debitor akan digunakan untuk membayar utang sesuai proporsi hutang masing-masing kreditor.19 Munif Rochmawanto, “Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan”, Jurnal Independent 3(2), 2015, h. 28. 18 Doni Dharmawan, “ Judicial Review terhadap Kewenangan Kurator dalam Mengurus dan Membereskan 19 Harta Pailit”, Fakultas Hukum, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2016), h. 27-30. 14 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Istilah "pailit" berasal dari kata Belanda *failliet* yang berarti ketidakmampuan membayar utang. Dalam hukum, kepailitan didefinisikan sebagai proses penyitaan seluruh kekayaan debitur untuk membayar utang kepada kreditor secara proporsional. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan menyatakan bahwa kepailitan adalah penyitaan umum yang diurus oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Hukum kepailitan memiliki akar di masa Romawi dan berkembang di Eropa seperti Perancis, Inggris, dan Belanda. Di Indonesia, hukum kepailitan diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui *Faillisements-Verordening* tahun 1905. Setelah kemerdekaan, hukum ini terus berkembang hingga diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 yang masih berlaku hingga saat ini. Hukum kepailitan berfungsi melindungi hak kreditor agar piutang mereka dapat dilunasi melalui penjualan aset debitor. Selain itu, juga memberikan peluang bagi debitor untuk mengajukan perdamaian dan penyelesaian utang. Tujuan utama hukum kepailitan adalah melindungi kreditor dan debitor, menciptakan keadilan dalam proses pembayaran utang, mencegah kreditor bertindak curang, dan melindungi hak-hak debitor. Sejak berlakunya UU No. 37 Tahun 2004, terjadi banyak perkembangan dalam penanganan kasus kepailitan, seperti penerapan asas pari passu dan structured creditors, serta penerapan prinsip-prinsip baru seperti debt forgiveness. Prinsip-Prinsip Kepailitan yakni Paritas Creditorium yaitu semua kreditor memiliki hak yang sama terhadap harta debitor, Pari Passu Prorata Parte yaitu Pembagian hasil penjualan aset debitor secara proporsional, Structured Creditor yaitu Kreditor diklasifikasikan menjadi separatis, preferen, dan konkuren. Selain itu syarat – syarat dari kepailitan yakni berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004, syarat-syarat kepailitan meliputi adanya lebih dari satu kreditor dan utang yang sudah jatuh tempo yang belum dilunasi. B. Saran Dari penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca memahami materi yang telah diuaraikan, dengan berbagai keterbatasan sumber dan bahan yang dikumpulkan, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan. Sebagai pertimbangan, penulis menyarankan agar pembaca dapat mencari berbagai literatur lain demi melengkapi materi yang belum secara sempurna dibahas dalam makalah ini. 15 DAFTAR PUSTAKA “Artikel-Kepailitan-1-oleh-Hirmawan-Susilo-dan-Rahmat-Basmalah,” t.t. Atmajaya, Hendra. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Kepailitan” 1997 (2018): 207–26. Frygyta Dwi Sulistyany, Seftyana Wahyu Murwani. “Insolvency Test sebagai Metode guna Mengatasi Permasalahan Terkait Manipulasi Kepailitan oleh Kreditor yang Beriktikad Buruk.” Jurnal Yurisprudensi, Hukum dan Peradilan 2 (2024): 22–32. Ginting, Elyta Ras. Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan. Bumi Aksara, 2018. Hadibroto, Guslan Omardani, dan Mardalena Hanifah. “UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN” 3, no. 4 (2023). Karya, Wayan. “Rekonstruksi Pembuktian Secara Sumir dalam Hukum Acara Kepailitan Terkait dengan Bukti Elektronik di Indonesia.” Pendidikan Tambusai 6, no. 2 (2022): 16404–17. Ridduwan, Muhammad. “KAJIAN HUKUM TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA” 22 (2024). Ridduwan, Muhammad, dan R. Sondang L. Tobing. “Kajian Hukum Terhadap Perkembangan Hukum Kepailitan Di Indonesia.” Solusi 22, no. 1 (2024): 16–23. Simanjuntak, Herry Anto. “PRINSIP PRINSIP DALAM HUKUM KEPAILITAN DALAM PENYELESAIAN UTANG DEBITUR KEPADA KREDITUR,” no. 02 (t.t.). Sinaga, DR Niru Anita. “HUKUM KEPAILITAN DAN PERMASALAHANNYA DI INDONESIA” 7, no. 1 (2016). Sumanto, Listyowati. “Implikasi Hukum Kepailitan terhadap Koperasi SimpanPinjam Gagal Bayar” 1, no. 6 (2024). Zikri, Irawan Fakhrudin Mahali. “ASPEK MASALAH KEPAILITAN DALAM TATARAN TEORI DAN PROBLEMATIKANYA YANG BERLAKU DI INDONESIA,” t.t. 16