DASAR-DASAR KONSELING KELOMPOK PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
UKRIDA
Dr. Yasinta Astin Sokang, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Dr. Stefanus Soejanto Sandjaja
Tags
Summary
This document details the fundamentals of group counseling, including clinical and non-clinical interventions. It covers topics such as promoting mental health, early intervention, short-term and long-term treatment, and referral procedures.
Full Transcript
DASAR-DASAR KONSELING KELOMPOK PS1WP085 Dr.Yasinta Astin Sokang, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Dr. Stefanus Soejanto Sandjaja, S.Pd., M.Si, Kons. Materi pertemuan 1 Intervensi Klinis dan non-Klinis PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok...
DASAR-DASAR KONSELING KELOMPOK PS1WP085 Dr.Yasinta Astin Sokang, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Dr. Stefanus Soejanto Sandjaja, S.Pd., M.Si, Kons. Materi pertemuan 1 Intervensi Klinis dan non-Klinis PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis I. Intervensi klinis dan non-Klinis Intervensi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok orang atau masyarakat yang menuju kepada perbaikan atau mencegah memburuknya suatu keadaan atau sebagai usaha preventif maupun kuratif. Intervensi dapat diberikan oleh ilmuwan psikologi jika permasalahan bersifat non-klinis; intervensi yang diberikan bersifat preventif atau kuratif dalam bentuk psikoedukasi, misalnya pelatihan. Intervensi untuk permasalahan yang bersifat klinis hanya dapat diberikan oleh psikolog yang memiliki izin praktik sebagai psikolog klinis. Intervensi klinis dilakukan melalui usaha kuratif berupa psikoterapi. Kasus klinis dikaji dan diintervensi oleh psikolog klinis dengan diagnosis yang ditegakkan sesuai dengan ketentuan DSM- 5 dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). II. Batasan layanan klinis dan non-klinis a. Layanan non-klinis 1) Mempromosikan kesehatan mental yang baik dan membantu mencegah masalah kesehatan mental masyarakat. 2) Layanan pencegahan dan intervensi dini. 3) Kegiatan-kegiatan seperti perawatan jangka pendek, dukungan sebaya, dan lain-lain. 4) Intervensi dan de-eskalasi krisis jangka pendek. 5) Memfasilitasi rujukan ke layanan klinis yang lebih intensif sesuai kebutuhan. 1 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis b. Layanan klinis Layanan perawatan khusus atau jangka panjang untuk klien dengan kebutuhan kesehatan mental yang kompleks dan berintensitas lebih tinggi. Pelayanan non klinis Layanan Klinis Penyaringan, evaluasi tindakan Asesmen klinis, diagnosis terbaik klinis psikologis/psikiatrik Perawatan jangka pendek Perawatan jangka panjang atau intensitas tinggi Intervensi dan dukungan krisis, Pengobatan: konsultasi, untuk individu atau kelompok, terapi, follow-up, dll seperti peer support, group counseling, dll. Diskusi mengenai layanan dan intervensi klinis dan non-klinis tidak akan terlepas dari diskusi mengenai rujukan. Topik selanjutnya akan berfokus pada rujukan. Refleksi diri dan kesadaran diri sangat penting dalam mengenali kapan suatu masalah berada di luar jangkauan dan kompetensi. III. Peraturan mengenai rujukan di Indonesia a. Kode etik HIMPSI 1) Pasal 79: Penghentian Sementara Konseling Psikologi/Psikoterapi Psikolog saat menyepakati kontrak terapi dengan orang yang menjalani pemeriksaan psikologi sehingga terjadi hubungan profesional yang bersifat terapeutik, maka psikolog tersebut senantiasa berusaha menyiapkan langkah-langkah demi kesejahteraan orang yang menjalani terapi termasuk apabila terjadi hal-hal yang terpaksa mengakibatkan terjadinya penghentian terapi dan/atau pengalihan kepada sejawat psikolog lain sebagai rujukan. 2 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis 2) Pasal 22: Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan. (1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena: a) Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau meninggal. b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain. c) Keterbatasan pengetahuan atau kompe-tensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi. d) Keterbatasan pemberian imbalan dari pe-nerima jasa layanan psikologi. (2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmu-wan Psikologi harus menghentikan layanan psikologi apabila: a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan psikologi yang telah dilakukan. b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah satu atau kedua belah pihak. 3 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis b. Undang-Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi Pasal 42: Psikolog dalam memberikan Layanan Psikologi berkewajiban: e. merujuk Klien kepada Psikolog lain yang memiliki keahlian atau kemampuan yang lebih kompeten apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau penanganan psikologis; IV. Kapan harus merujuk klien ke profesional yang lain? Menurut hasil penelitian Stavrou, Cape, & Barker (2009), ada beberapa kondisi yang membuat seorang psikolog merujuk kliennya: Tidak Alasan Dirujuk dirujuk 1. Permintaan pasien untuk dirujuk vs pasien tidak tertarik untuk dirujuk Meminta rujukan/bantuan √ Tidak tertarik dengan rujukan √ 2. Pasien cenderung mendapat manfaat dari terapi psikologis vs pasien tidak mendapat manfaat Cocok untuk terapi psikologis/psikoterapi √ Tidak berpikiran psikologis/kurang wawasan √ Masalah klinis spesifik yang dapat diatasi dengan terapi √ psikologis Tidak ada manfaat yang didapat dari rujukan √ Pasien tepat janji untuk konseling √ Pasien tidak tepat janji untuk konseling √ 3. Tidak memiliki kapasitas untuk membantu vs memiliki kapasitas untuk membantu klien Tidak memiliki keahlian/waktu/keterampilan √ Mampu merawat klien/memiliki keterampilan √ Tingkat keparahan masalah √ Beberapa masalah kecil √ Klien tidak membaik √ Klien membaik √ 4 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis Waktu adalah kunci. Jika belum melakukan konseling, pastikan kondisi klien sejak awal sehingga konselor/psikolog tidak memberikan intervensi yang tidak sesuai. Hal yang sering terjadi adalah konselor/psikolog harus merujuk klien ketika konseling sudah berjalan, baik karena perubahan keadaan atau karena ada informasi baru. Konselor/psikolog harus mengevaluasi efektivitas intervensinya secara teratur untuk memastikan bahwa intervensi tersebut masih cocok. V. Konselor/psikolog harus merujuk klien jika: a. Klien membutuhkan bantuan khusus di luar kompetensi konselor/psikolog Tidak mungkin konselor/psikolog memiliki semua keahlian untuk menangani setiap kondisi psikologis. Konselor/psikolog sangat mungkin bertemu dengan klien yang membutuhkan bantuan di luar kompetensinya. b. Hubungan terapeutik tidak sehat atau tidak aman Konselor/psikolog bisa saja berhadapan dengan perilaku klien yang tidak pantas selama sesi konseling dilakukan. Jika menghadapi hal ini, tidak berarti sesi konseling harus dihentikan saat itu juga. Pada aliran psikologis tertentu, "transferensi", yaitu ketika pasien "mentransfer" perasaan yang kuat kepada konselor/psikolog, adalah bagian berharga dari proses terapeutik. Di sisi lain, jika dinamika tersebut memengaruhi kemampuan konselor/psikolog untuk memberikan konseling, maka konselor/psikolog perlu menghentikan intervensi dan merujuk klien ke profesional lain. Contoh hubungan terapeutik yang tidak sehat atau tidak aman adalah ketika klien menjadi tergantung kepada konselor/psikolog, ketika muncul perasaan romantis, ketika terjadi kekerasan, dll. 5 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis c. Interaksi dengan klien memengaruhi kesehatan mental konselor/psikolog Ketika memberikan konseling, konselor/psikolog terkadang berhadapan dengan masalah dan pengalaman yang dapat memicu ketidaknyamanan atau memicu ingatan pribadi konselor/psikolog. Konselor/psikolog bisa saja sudah memiliki strategi tertentu dan dapat tetap terpusat, objektif, dan profesional di ruang terapi. Tetapi, terkadang konselor/psikolog berhadapan dengan masalah yang sangat menantang karena mencerminkan masalah konselor/psikolog sendiri. Jika konselor/psikolog merasa tidak dapat bersikap objektif dan tidak dapat profesional, maka sudah saatnya untuk merujuk klien kepada orang lain. d. Konselor/psikolog tidak dapat memberikan sesi yang dibutuhkan klien Terkadang, keputusan untuk merujuk klien dilakukan karena alasan praktis, yaitu tidak ada waktu untuk memberikan sesi konseling yang dibutuhkan oleh klien. Contoh yang lain adalah konselor/psikolog pindah, pensiun, atau sakit atau cuti, dll. Semua konselor/psikolog harus menyusun rencana untuk merujuk klien sehingga konseling dapat diakhiri tanpa mengabaikan tugas konselor/psikolog. VI. Cara merujuk klien a. Atur proses rujukan dengan hati-hati Sangat penting untuk mengambil pendekatan yang sensitif saat mendiskusikan rujukan dengan klien. Jika konseling sudah berlangsung lama, klien bisa saja merasa ditinggalkan. Itulah sebabnya konselor/psikolog harus merasa yakin bahwa orang yang dirujuk adalah ahli dan dapat diandalkan. 6 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis Lakukan diskusi dengan jujur dan penuh hormat dengan klien. Konselor/psikolog perlu memberi tahu kepada klien dengan ramah, tetapi tegas, bahwa konselor/psikolog tidak dapat melanjutkan sesi konselinga, dan jelaskan alasannya. Berilah waktu kepada klien untuk memproses hal tersebut dan pastikan bahwa mereka dapat menanggapi dan berdiskusi. Konselor/psikolog juga perlu menjelaskan prosedur rujukan yang praktis dan konselor/psikolog akan membantu klien dalam proses tersebut. b. Libatkan klien dalam memilih orang yang dirujuk Berikan setidaknya tiga rujukan kepada klien dan jelaskan kepada klien mengapa ke-3 pilihan tersebut cocok. Lalu, biarkan klien memilih. Konselor/psikolog perlu terbuka untuk mendengarkan masukan klien tentang kebutuhan terapinya. Diskusikan pilihan rujukan terbaik bersama- sama dan membuat rencana yang berpusat pada kebutuhan klien. c. Gunakan informasi dari internet Jika konselor/psikolog tidak punya pilihan rujukan, gunakan informasi online untuk mencari informasi profesional yang sesuai dengan kebutuhan klien. Konselor/psikolog dapat melihat daftar tersebut bersama klien dan berdiskusi mengenai jenis terapi yang menurut konselor/psikolog paling cocok untuk klien, sehingga meskipun klien tidak memilih opsi rujukan dari konselor/psikolog, klien tahu apa yang harus dicari di masa depan. d. Sediakan daftar professional yang dapat menjadi referensi Konselor/psikolog dapat membuat daftar mengenai profesional yang sekiranya dapat dikasikan referensi rujukan. 7 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 1: Intervensi Klinis dan non-Klinis VII. Referensi 1. Jacobs, E., Masson, R. L., Harvill, R. L, Schimmel, C.J. (2012). Group Counseling, Strategies and Skills. Belmont, CA: Brooks/ Cole. 2. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2022 Tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi. 3. Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik Psikologi.Jakarta: HIMPSI. 4. Stavrou S, Cape J, Barker C. Decisions about referrals for psychological therapies: a matched-patient qualitative study. Br J Gen Pract. 2009 Sep;59(566): e289-98. doi: 10.3399/bjgp09X454089. 5. Hullinger, A. M. and DiGirolamo, J. A. (2018). Referring a client to therapy: A set of guidelines. Retrieved from International Coach Federation website: https://coachfederation.org/app/uploads/2018/05/Whitepaper-Client- Referral.pdf. 6. Natwick, J. (2017). On the ethics of ending: Terminations and referrals. Counseling Today, 59(5), 18-20. 7. Martz, E., & Kaplan, D. (2014). New responsibilities when making referrals. Counseling Today. Retrieved from https://www.counseling.org/docs/default-source/ethics/ethics_ocober- 2014.pdf?sfvrsn=2 8 SEBELAS FAKTOR – FAKTOR KURATIF DAN FAKTOR EKSISTENSIAL DALAM KONSELING KELOMPOK Stefanus Soejanto Sandjaja Pendekatan kelompok cocok untuk kondisi Indonesia yang sering dikenal dengan dunia Timur yang terkenal sebagai masyarakat kolektif. Salah satu pendekatan kelompok adalah konseling kelompok. Keberhasilan konseling kelompok dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : A. Faktor konselor. Konselor bersikap humanis (tulus, jujur, hangat, penuh penerimaan, selaras pikiran dan perbuatannya) sehingga mampu berempati secara tepat kepada klien; dan keterpercayaan konselor (karismatik, pendidikan tinggi dan berpengalaman) B. Metode yang digunakan, yaitu kesesuaian metode dengan gejala dan permasalahan klien. C. Karakteristik klien yang dihadapi, seperti motivasi tinggi untuk berubah dan keyakinan klien terhadap konselornya. Sejak tahun 1975, Yalom berpendapat ada sebelas faktor kuratif dalam konseling kelompok ditambah dengan faktor eksistensial. Dua belas faktor kuratif tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain dan dibahas di bawah ini. 1. Pembinaan harapan adalah tugas konselor untuk terus menerus membina dan memelihara kepercayaan klien bahwa ada harapan untuk berubah secara lebih memuaskan sehingga membuat klien tetap berada dalam kelompok dan antar anggota saling mendukung agar semuanya tetap berada dalam kelompok sampai konseling selesai. Caranya adalah dengan mengungkapkan kesaksian anggota tentang bertambah baiknya cara penyesuaian dirinya atau perubahan positif yang dialaminya kepada seluruh anggota. Cara kedua adalah konselor menunjukkan sikap optimis, yaitu konselor yakin terhadap efektifitas konseling kelompok kepada semua anggota. 2. Universalitas adalah faktor kuratif yang sangat spesifik dalam pendekatan kelompok mengenai kesamaan dalam masalah beserta dengan kekhawatiran yang timbul dan penerimaan penuh dari seluruh anggota yang disertai dengan kelegaan emosional. Perasaan senasib ini akan meningkatkan rasa persatuan dalam kelompok dan meningkatkan kepercayaan terhadap kelompok. 3. Penerangan adalah faktor pengingkat dalam kelompok sampai faktor – faktor kuratif yang lain berjalan. Penerangan dapat bersifat didaktis, misal cara belajar, cara menumbuhkan kepercayaan diri, cara meningkatkan kesehatan mental, gangguan mental dan cara mengatasinya. Penerangan juga dapat berupa nasehat, saran – saran atau bimbingan langsung untuk menghadapi dan mengatasi masalah – masalah kehidupan. Instruksi didaktis dapat digunakan untuk memberikan informasi, menyusun kelompok maupun membentuk norma kelompok. Penerangan dapat dilakukan di awal pertemuan maupun selama pertemuan berlangsung. Misal konselor menjelaskan suatu gejala yang dialami oleh anggota kelompok dengan menggunakan pengetahuannya mengenai psikopatologi dan dinamika kelompok. 4. Altruisme adalah faktor kuratif khusus yang ada dalam pendekatan kelompok dimana antar anggota kelompok akan saling menolong dengan cara menawarkan dukungan, memberikan keyakinan, saran – saran, pencerahan dan saling berbagi masalah serupa. Kebahagiaan dalam memberi akan membuat anggota kelompok lebih menghargai dirinya sendiri dan dapat menumbuhkan keyakinan dirinya. Bahkan seorang anggota yang telah tercapai 1 tujuannya dalam kelompok memutuskan untuk tetap berada di dalam kelompok demi anggota – anggota yang lainnya. 5. Pengulangan korektif keluarga asal adalah anggapan klien terhadap konselor maupun ko – konselor sebagai orangtuanya dan anggota lain sebagai saudara – saudaranya yang terjadi tanpa disadari oleh klien, terutama klien yang mengalami kekecewaan mendalam terhadap keluarga asalnya. Selain itu terjadi pula rasa persaingan di antara anggota kelompok untuk memperoleh perhatian konselor dan anggota kelompok yang mendominasi pembicaraan sehingga membuat anggota kelompok yang lain menjadi sebal. 6. Pengembangan teknik sosialisasi adalah tugas konselor untuk meningkatkan kemampuan anggota dalam berinteraksi dengan orang lain seperti belajar berhubungan baik dengan orang lain, menerima umpan balik dari orang lain untuk memperbaiki dan mengubah sikap negative, peka pada proses kelompok dan belajar memberikan tanggapan kepada anggota lain, belajar menyelesaikan konflik dan kemampuan untuk mengerti dan memahami masalah orang lain serta mengaktifkan anggota yang diam tanpa mau berperan serta dalam kegiatan kelompok untuk didorong lebih menikmati kegiatan kelompok. 7. Peniruan tingkah laku adalah klien meniru tingkah laku konselor dan antar anggota kelompok saling meniru tingkah laku mereka untuk mengatasi masalah yang serupa dengan dirinya. Peniruan tingkah laku bila cocok untuk mengatasi masalah klien, maka terus diperlihatkan; bila tidak cocok maka klien akan meninggalkannya. Hal ini adalah pengaruh proses kelompok yang mantap, yaitu klien menemukan dan memilah apa yang tidak dipunyai dan apa yang dipunyai sehingga dapat melakukan perbaikan. 8. Belajar berhubungan dengan pribadi lain adalah cara seseorang berhubungan dengan orang lain dalam kelompok yang mencerminkan caranya berhubungan dengan orang lain di luar kelompok. Bila seseorang dapat mengubah cara berinteraksinya di dalam kelompok, maka diharapkan dia akan berubah juga di luar kelompok. Klien akan memperoleh pengalaman emosi terkoreksi Ketika mereka mencoba mengekspresikan perasaanya yang positif maupun negatif. Beberapa komponen dalam pengalaman emosi terkoreksi adalah : a) ekspresi emosi kuat yang ditujukan kepada orang lain dan hal ini merupakan pengambilan resiko bagi klien, b) kelompok mendukung dan mengijinkan pengambilan resiko ini, c) menilai kenyataan dengan cara klien menguji peristiwa itu dengan bantuan validasi kompak seluruh anggota, d) pengenalan perasaan yang tidak pada tempatnya dan tingkah laku antar pribadi yang biasa dihindari, e) kesempatan bagi klien untuk berinteraksi secara lebih mendalam dan jujur. 9. Rasa kebersamaan atau kekohesifan atau rasa Bersatu adalah rasa tertarik anggota kepada kelompok dan pada anggota lainnya sehingga antar anggota kelompok lebih mau menerima satu sama lainnya, saling mendukung dan membentuk hubungan yang bermakna. Cara untuk antar anggota dapat menerima dan mengerti adalah dengan antar anggota mengekspresikan diri dan menggali aspek – aspek dalam dirinya yang tidak dapat diterimanya, kemudian menyadari aspek – aspek tersebut dan dapat berhubungan lebih dalam dengan orang lain. Kelompok yang rasa bersatunya tinggi adalah kelompok yang stabil, artinya kehadiran anggota ajeg dan sedikit pergantian anggota. Pembukaan diri mengenai topik – topik yang intim dapat meningkatkan rasa kebersamaan asalkan kelompok sudah mapan atau stabil. 10. Katarsis atau penjernihan adalah klien dengan penuh gejolak emosi mengekspresikannya dengan bantuan konselor maupun anggota yang lain sehingga klien merasa lega dan sembuh. Klien merasa diterima, didukung dan dimengerti oleh seluruh anggota kelompok. 11. Faktor eksistensi adalah tanggung jawab klien untuk menghadapi masalah dasar seperti hidup dan mati dengan penuh penghayatan dan kejujuran serta mengurangi mengurus hal – 2 hal yang kurang penting. Topik eksistensi perlu mendapat tanggapan dan dukungan dari anggota lain agar klien dapat sangat banyak tertolong. 12. Pengertian diri adalah hasil konseling kelompok yang diperoleh melalui interaksi antar anggota di dalam kelompok, umpan balik yang diberikan oleh konselor maupun anggota kelompok, melalui observasi diri klien dapat mengenal aspek – aspek signifikan dalam perilaku antar pribadinya, kekuatan dan keterbatasannya, pelencengan dan perilaku yang malasuai; sehingga klien dapat merubah perilakunya dalam berhubungan dengan orang lain, lebih jujur pada diri sendiri dan orang lain dan pada gilirannya klien lebih dapat menikmati hidup secara efektif. Evaluasi Hasil Refleksi Personal Mengenai Pra Konseling kelompok No. Faktor kuratif dalam konseling kelompok Ya Tidak 1. Harapan untuk berubah secara lebih memuaskan di dalam kelompok 2. Ada kesamaan dalam masalah dengan anggota kelompok yang lain 3. Mentor memberikan nasehat, saran – saran atau bimbingan langsung untuk menghadapi dan mengatasi masalah – masalah yang dialami oleh anggota kelompok. 4. Antar anggota kelompok saling menolong dengan cara menawarkan dukungan, memberikan keyakinan, saran – saran, pencerahan dan saling berbagi masalah serupa. 5. Muncul anggapan bahwa konselor maupun ko – konselor / mentor sebagai orangtua kandung dan anggota lain sebagai saudara – saudara kandung yang terjadi tanpa disadari oleh anggota kelompok. 6. Terjadi peningkatan kemampuan anggota dalam berinteraksi dengan orang lain. 7. Anggota meniru tingkah laku konselor dan antar anggota kelompok saling meniru tingkah laku mereka untuk mengatasi masalah yang serupa dengan dirinya. 8. Ada penemuan bahwa cara seseorang berhubungan dengan orang lain dalam kelompok adalah mencerminkan caranya berhubungan dengan orang lain di luar kelompok 9. Muncul rasa tertarik anggota kepada kelompok dan pada anggota lainnya sehingga antar anggota kelompok lebih mau menerima satu sama lainnya, saling mendukung dan membentuk hubungan yang bermakna 10. Ada anggota kelompok dengan penuh gejolak emosi mengekspresikannya di dalam kelompok sehingga dia merasa lega dan sembuh. 11. Muncul anggota kelompok bertanggung jawab untuk menghadapi masalah dasar seperti hidup dan mati dengan penuh penghayatan dan kejujuran serta mengurangi mengurus hal – hal yang kurang penting. 12. Anggota kelompok lebih mengerti dirinya. 3 Buku Sumber: Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga. 4 DASAR-DASAR KONSELING KELOMPOK PS1WP085 Dr.Yasinta Astin Sokang, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Dr. Stefanus Soejanto Sandjaja, S.Pd., M.Si, Kons. Materi pertemuan 3 Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok I. Pengantar Orang yang ingin menjadi pemandu konseling kelompok harus memerhatikan standar etika dan menyadari tingkat kompetensinya. Hal ini penting diperhatikan agar proses konseling kelompok tidak menyalahi kode etik dan menjadi tindakan malpraktik. II. Hak peserta konseling kelompok Hak setiap peserta harus disadari baik oleh pemandu, maupun oleh peserta konseling kelompok. Sayangnya, hal ini seringkali terlupakan dan terabaikan karena dianggap tidak penting, karena sudah saling mengenal, atau karena alasan lain. Sebagai calon pemandu konseling kelompok, kamu memegang tanggung jawab yang besar agar setiap anggota kelompok memahami hak dan tanggung jawab mereka dalam konseling kelompok. 1. Hak dasar dan utama: informed consent Informasi dasar yang diberikan di awal sesi oleh pemandu kelompok dapat membantu anggota memahami arah dan tujuan setiap sesi konseling kelompok. Pemahaman ini dapat membantu anggota untuk dapat terlibat aktif dalam proses konseling kelompok. Keterbukaan, kejujuran, dan rasa hormat terhadap anggota kelompok sangat penting dalam konseling kelompok. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan anggota kelompok. Langkah awal yang dapat dilakukan oleh pemandu untuk terbuka dan jujur adalah dengan menyediakan informed consent. a. Informed consent Informed consent adalah proses menyediakan informasi dasar mengenai tindakan konseling kelompok yang akan dilakukan kepada anggota konseling kelompok. Informasi ini dapat membantu anggota untuk mengambil keputusan secara tepat, apakah ingin terlibat atau tidak, dan cara untuk terlibat. Informasi dasar ini adalah hak setiap calon peserta. Oleh karena itu, informed consent harus terbuka untuk didiskusikan, bahkan lebih dari 1 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok satu kali. Pemandu dan anggota konseling kelompok perlu memahami bahwa informed consent adalah proses yang berkelanjutan sejak awal, selama proses, bahkan hingga akhir kegiatan. Contoh informed consent konseling kelompok dapat dilihat di sini dan di sini. b. Penjelasan pre-group Berikut adalah daftar hal yang harus dijelaskan kepada anggota sebelum mereka memutuskan untuk bergabung dalam konseling kelompok: 1) Pernyataan tujuan konseling kelompok yang jelas. 2) Penjelasan tentang format konseling kelompok, prosedur, dan aturan dasarnya. 3) Wawancara awal untuk menentukan apakah tujuan konseling kelompok dengan pemandu yang sudah ditentukan sesuai dengan kebutuhan individua tau tidak. 4) Kesempatan untuk mencari informasi tentang kelompok, mengajukan pertanyaan, dan mengeksplorasi masalah. 5) Diskusi tentang ada tidaknya kemungkinan bahwa selama proses konseling kelompok terjadi kondisi yang tidak kongruen dengan keyakinan budaya dan nilai-nilai individu. 6) Surat pernyataan yang menjelaskan tentang pendidikan, pelatihan, dan kualifikasi pemandu kelompok. 7) Informasi mengenai biaya dan pengeluaran termasuk biaya untuk sesi lanjutan, jika ada; termasuk informasi tentang frekuensi dan durasi pertemuan, dan teknik yang digunakan. 8) Informasi tentang risiko psikologis yang mungkin akan dirasakan dengan terlibat dalam konseling kelompok. 9) Informasi dan pengetahuan tentang keadaan/kondisi yang membuat kerahasiaan harus dilanggar karena alasan hukum, etika, atau professional. 10) Klarifikasi tentang layanan apa yang dapat dan tidak dapat diberikan dalam grup. 11) Bantuan dari pemandu kelompok dalam mengembangkan tujuan pribadi individu. 12) Pemahaman yang jelas tentang pembagian tanggung jawab antara pemandu dan anggota konseling kelompok. 13) Diskusi tentang hak dan kewajiban anggota konseling kelompok. 2 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok c. Hak selama proses berjalan Berikut adalah daftar hak anggota selama konseling kelompok berlangsung: 1) Bimbingan dan informasi mengenai apa yang diharapkan dari anggota kelompok. 2) Menyampaikan informasi jika konseling kelompok dijadikan penelitian dan ada rekaman audio atau video yang diambil selama sesi konseling kelompok. 3) Pendampingan dari pemandu kelompok untuk menerjemahkan pembelajaran selama konseling kelompok menjadi tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. 4) Diberi kesempatan untuk mendiskusikan hal yang sudah dipelajari dan menutup konseling kelompok dengan baik sehingga anggota tidak dibiarkan begitu saja dengan urusan yang belum selesai. 5) Kesempatan untuk berkonsultasi dengan pemandu kelompok jika muncul krisis tertentu yang menjadi akibat partisipasi dalam konseling kelompok, atau kesempatan untuk mendapat rujukan ke sumber bantuan lain, jika diperlukan. 6) Menerapkan pengamanan bagi pemandu untuk meminimalkan potensi risiko selama konseling kelompok; menghormati privasi anggota terkait dengan informasi yang diungkapkan dalam konseling kelompok. 7) Menjaga kerahasiaan baik bagi pemandu kelompok maupun anggota kelompok lain. 8) Bebas dari paksaan terhadap nilai, keyakinan, atau sudut pandang baik oleh pemandu maupun anggota kelompok lain. 9) Hak untuk diperlakukan sebagai individu dan diberikan martabat dan hormat. Selain hak, pemandu kelompok perlu menekankan tanggung jawab anggota, seperti hadir secara teratur, terbuka, mau mengambil risiko, bersedia berbicara tentang diri sendiri, memberikan umpan balik kepada orang lain, menjaga kerahasiaan, dan menentukan tujuan pribadi , dll. 3 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok 2. Isu-isu dalam konseling kelompok yang diwajibkan Ketika partisipasi dalam konseling kelompok diwajibkan, maka bisa muncul isu tertentu, seperti anggota tidak mau terlibat secara aktif. Meski demikian, informed consent tetap menjadi hal utama dan mendasar. Informed consent tetap harus menjelaskan tujuan, prosedur, hak dan tanggung jawab, batasan kerahasiaan, dll. Selain itu, perlu juga dijelaskan mengenai konsekuensi jika mereka tidak terlibat dalam konseling kelompok. Penjelasan ini dapat dilakukan dengan berdiskusi dengan anggota kelompok tentang alasan mereka harus terlibat dalam konseling kelompok. Alternatif yang lain adalah menentukan minimal kehadiran yang dibutuhkan dalam konseling kelompok. Hal ini dapat membantu anggota yang wajib hadir untuk mengetahui proses konseling kelompok. Selanjutnya mereka dapat memutuskan apakah akan melanjutkan partisipasinya atau tidak. Pemandu konseling kelompok perlu menyadari dan mendiskusikan ini dalam memandu konseling kelompok. 3. Kebebasan/hak untuk meninggalkan kelompok Selain harus menjelaskan tentang kehadiran dan komitmen untuk mengikuti sejumlah sesi yang sudah ditentukan, pemandu juga harus menjelaskan ketentuan jika anggota tidak ingin mengikuti sesi tertentu.Ketentuan ini harus dijelaskan secara detail dan dipahami oleh pemandu dan anggota kelompok sejak awal. Hal ini penting dilakukan karena dapat mengurangi atau merusak kepercayaan yang sudah terbangun dalam kelompok. Jika seseorang ingin meninggalkan sesi atau konseling kelompok maka ia bertanggung jawab untuk menjelaskan kepada kelompok mengapa ia meninggalkan sesi atau kelompok. 4 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok 4. Kebebasan dari paksaan dan tekanan yang tidak perlu Anggota konseling kelompok dapat berharap untuk dihormati dan tidak mengalami paksaan atau tekanan kelompok yang tidak semestinya. Namun, pada situasi tertentu, tekanan kelompok tidak dapat dihindari dan bahkan bersifat terapeutik. Beberapa calon anggota konseling kelompok mungkin tidak menyadari kemungkinan tekanan-tekanan ini karena ‘ingin ikut saja’ atau ‘ingin mendengarkan saja’. Beberapa tekanan yang seringkali dihadapi dalam konseling kelompok: 1) Didorong untuk mengenali pikiran dan perilaku yang merugikan diri sendiri. 2) Ditantang untuk mengevaluasi pikiran dan perilaku tersebut. 3) Didorong untuk menentukan apakah ingin tetap seperti apa adanya atau berubah. 4) Tekanan berbicara, untuk membuka diri, untuk mengambil risiko, untuk jujur dengan kelompok, dll. Pemandu kelompok perlu membedakan antara tekanan destruktif dan tekanan terapeutik sehingga dapat memandu konseling kelompok untuk memberi tekanan yang terapeutik. Orang terkadang membutuhkan tekanan untuk menantang mereka mengambil risiko agar dapat terjadi perubahan. 5. Hak atas kerahasiaan Kerahasiaan adalah masalah etika yang utama dalam konseling kelompok, dan merupakan aspek penting agar konseling kelompok dapat berproses secara efektif. Melindungi kerahasiaan anggota kelompok adalah tindakan etis yang wajib diberikan. Oleh karena itu, pemandu harus secara detail menjelaskan pentingnya kerahasiaan dan patokan/ukuran kerahasiaan yang dimaksud sesuai dengan kondisi kelompok. Pemandu dan seluruh anggota juga perlu sadar dan peka akan makna kerahasiaan dan privasi 5 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok bagi setiap orang yang terlibat dalam konseling kelompok. Meskipun pemandu terikat secara etis dan hukum untuk menjaga kerahasiaan, namun anggota konseling kelompok cenderung tidak menghadapi konsekuensi hukum. Oleh karena itu, pemandu perlu secara rutin mengingatkan anggota konseling kelompok untuk menjaga kerahasiaan dan privasi anggota dan proses konseling kelompok. a. Pengecualian dalam menjaga kerahasiaan Pemandu kelompok memiliki tanggung jawab etis untuk menginformasikan batas kerahasiaan dalam konteks konseling kelompok. Anggota konseling kelompok didorong agar dapat mengungkapkan kekhawatiran mereka yang berkaitan dengan isu kerahasiaan ini. Contoh kondisi yang dapat menjadi pengecualian dalam menjaga kerahasiaan adalah informasi diperlukan untuk melindungi klien atau menginformasikan kepada orang lain mengenai bahaya serius dan dapat diperkirakan terjadinya, atau ketika persyaratan hukum tertentu menuntut bahwa informasi rahasia tersebut harus diungkapkan. Pemandu kelompok dapat berkonsultasi dengan orang yang lebih profesional jika ragu-ragu mengenai kondisi pengecualian yang dihadapinya. Kondisi pengecualian/batasan kerahasiaan dapat dituliskan secara jelas, diterangkan, dan didiskusikan kepada seluruh anggota konseling kelompok. Keterbukaan sejak awal dapat menumbuhkan kepercayaan. Karena alasan tersebut, pemandu kelompok juga harus mempelajari aturan hukum negara yang berkaitan dengan profesinya. b. Kerahasiaan dengan anak di bawah umur Ketika konseling kelompok dilakukan di lingkungan sekolah dengan anggota berusia anak-anak, maka pemandu harus memastikan bahwa anggota kelompok tidak membicarakan hal yang terjadi dalam konseling kelompok dengan temannya yang lain, misalnya di kelas atau 6 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok ketika bermain. Anak-anak juga membutuhkan rasa aman untuk bercerita, sama seperti remaja dan orang dewasa. Di sisi yang lain, usia perkembangan anak di bawah umur membuat mereka -mungkin- belum sepenuhnya memahami makna kerahasiaan. Oleh karena itu, pemandu perlu memerhatikan topik yang diangkat dalam konseling kelompok. Selain itu, pemandu juga dapat berdiskusi dengan orang tua mengenai topik yang diangkat. Hal lain yang juga perlu didiskusikan dengan orang tua adalah sejauh mana hak orang tua untuk mengetahui informasi yang disampaikan anaknya dalam konseling kelompok. Penetapan aturan konseling kelompok untuk anak di bawah umur perlu ditulis dengan jelas dengan pertimbangan hukum, etika dan professional. Aturan tersebut perlu diterangkan kepada anak dan orang tua serta meminta izin tertulis dari orang tua untuk keterlibatan anaknya dalam konseling kelompok. Setelah sesi selesai, orang tua perlu diundang kembali agar pemandu dapat memberi umpan balik kepada orang tua berdasarkan hasil konseling kelompok. Ketika umpan balik ini diberikan, anak harus hadir sehingga mendengar pemaparan pemandu kepada orang tuanya. Hal ini dapat memberi kepastian pada anak bahwa informasi yang diberikan kepada orang tua adalah informasi yang ia izinkan untuk dibagi. c. Penggunaan media sosial: kerahasiaan dan privasi Saat ini, media sosial telah banyak digunakan sebagai sarana komunikasi, bahkan oleh anggota kelompok dan pemandu kelompok. Aturan dan batasan kerahasiaan pun perlu didiskusikan karena risiko pelanggaran akan meningkan ketika anggota kelompok konseling menggunakan media sosial. Pemandu perlu memberi batasan perilaku online, misalnya: komitmen untuk tidak memposting gambar, komentar, atau segala jenis informasi tentang anggota lain secara online, tidak merekam diskusi, tidak menunjukkan dokumentasi konseling kelompok 7 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok dalam bentuk apapun kepada siapapun di luar kelompok. Batasan perilaku online perlu didiskusikan dan dimasukkan ke dalam informed consent serta menjadi bagian dari kesepakatan bersama. III. Isu resiko psikologis dalam kelompok Konseling kelompok dapat menjadi pendorong yang kuat untuk terjadinya perubahan dalam diri anggota kelompok. Meski demikian, konseling kelompok dapat menimbulkan beberapa risiko psikologis bagi anggota kelompok. Pemandu perlu menjelaskan potensi risiko tersebut sebelum anggota kelompok terlibat dalam konseling kelompok. Tidak realistis untuk berharap bahwa konseling kelompok tidak menimbulkan risiko karena semua proses pembelajaran dalam hidup merupakan tantangan. Oleh karena itu, pemandu perlu membantu anggota kelompok untuk mengeksplorasi kesiapannya menghadapi perubahan, termasuk keuntungan dan kerugian, ketakutan dan keraguan anggota kelompok. Beberapa masalah yang dapat muncul dan dapat diminimalisir: 1. Partisipasi dapat mengganggu kehidupan anggota karena dinamika selama konseling dapat menimbulkan gejolak, misalnya perubahan positif yang dilakukan anak bisa saja menimbulkan reaksi negatif dari orang tua sehingga menimbulkan ketegangan dalam relasi mereka. 2. Terkadang anggota kelompok lain menyalahkan atau mengkambinghitamkan salah satu anggota karena isu yang terjadi dalam proses konseling kelompok. Pemandu kelompok harus mengambil tindakan tegas untuk menghadapi situasi seperti ini. 3. Konfrontasi adalah alat yang berharga dan kuat dalam kelompok mana pun namun dapat disalahgunakan. Konfrontasi justru dapat memberi hasil negatif jika digunakan untuk menyerang, mengganggu jalannya konseling, terlalu konfrontatif atau memaksa. Pemandu dan anggota konseling kelompok harus waspada dengan perilaku-perilaku tersebut. Pemandu perlu menunjukkan jenis konfrontatif yang terapeutik/menyembuhkan, misalnya dengan berfokus pada reaksi dirinya sendiri. 4. Jika dinamika konseling kelompok tidak aman, anggota yang menjadi sasaran ketidakadilan justru dapat semakin disalahkan ketika mereka mengeksplorasi pengalaman tersebut dalam konseling kelompok. Salah satu cara untuk meminimalkan risiko psikologis dalam konseling 8 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok kelompok adalah menggunakan kontrak yang dapat ditentukan oleh pemandu; tanggung jawab dan komitmen ditentukan oleh anggota kelompok. Perlindungan lain yang dapat dilakukan adalah kemampuan pemandu untuk mengenali batas kompetensi dan membatasi dirinya untuk bekerja dengan kelompok-kelompok yang sesuai dengan persiapan dan kompetensi pemandu. Hal ini penting disadari karena pemandu bertanggung jawab untuk meminimalkan risiko psikologis dalam konseling kelompok. IV. Etika tindakan pemandu kelompok Menjadi pemandu kelompok menuntut kepekaan terhadap kebutuhan anggota kelompok, dan menyadari dampak dari nilai dan teknik yang dimiliki oleh pemandu terhadap anggota kelompok. Pemandu juga perlu menyadari dan mempelajari standar praktik di masyarakat, kebijakan lembaga tempat konseling kelompok dilakukan, dan undang-undang yang mengatur konseling kelompok. Hampir semua organisasi profesi memiliki aturan dan standar tertentu yang mengatur etika profesi. Beberapa hal yang biasanya menjadi standar adalah tidak akan merusak kepercayaan klien/anggota kelompok, dan menghindari relasi ganda dengan klien/anggota kelompok, misalnya menjalin relasi romantis, atau rekan bisnis. Pemandu kelompok harus berhati-hati agar tidak menyalahgunakan peran dan kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan pribadi pemandu serta mengorbankan klien/anggota kelompok. Melakukan hal tersebut berarti melakukan pelanggaran etika. Peran pemimpin adalah membantu anggota mencapai tujuan mereka, bukan untuk berteman dengan klien. V. Interaksi anggota dalam kelompok Hal lain yang perlu diperhatikan terkait dengan isu etis profesi adalah interaksi atau sosialisasi yang terjadi antar anggota di dalam konseling kelompok. Pemandu perlu melihat apakah interaksi antara anggota kelompok dapat 9 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok memfasilitasi atau justru menghalangi proses kelompok. Jika anggota membentuk sub-kelompok/cliques, atau bergosip tentang anggota yang lain maka kemajuan kelompok akan berhenti dan anggota tidak mendapatkan manfaat positif dari konseling kelompok. Jika anggota kelompok berinteraksi di luar konseling kelompok, mereka perlu menyampaikan informasi tersebut ketika sesi konseling kelompok dilakukan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari anggota mendiskusikan isu yang relevan dengan proses konseling kelompok tetapi menolak membicarakannya dalam sesi. Tentu saja tidak semua interaksi di luar sesi harus dihentikan karena, dalam beberapa kasus, interaksu di luar kelompok justru dapat bermanfaat. Namun setiap jenis interaksi di luar kelompok yang mengganggu fungsi konseling kelompok harus dihentikan. Cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah interaksi yang destruktif/merusak adalah dengan mengangkat isu tersebut ke permukaan, didiskusikan bersama, dan ditangani. VI. Dampak nilai pemandu terhadap dinamika konseling kelompok Nilai-nilai yang dimiliki pemandu memiliki peran sentral dalam masalah yang berkaitan dengan proses kelompok. Kesadaran pemandu tentang nilai-nilai personalnya dapat memengaruhi caranya memandu kelompok sehingga menjadi topik dalam kode etis profesi. Isu yang dipenuhi dengan nilai personal dan seringkali dibawa dalam konseling kelompok antara lain, agama, spiritualitas, aborsi, perceraian, peran gender dalam hubungan, dan relasi keluarga, dll. Tujuan konseling kelompok adalah untuk membantu anggota memperjelas keyakinan dirinya dan mengevaluasi pilihan yang paling sesuai dengan nilai yang dianggapnya penting. Pemandu membantu anggota dalam mengeksplorasi nilai budaya dan kepercayaannya sendiri, BUKAN untuk memaksakan nilai personal pemandu. Oleh karena itu, pemandu harus dapat menjaga nilai-nilai pribadinya agar terpisah dari perannya sebagai pemandu konseling kelompok (ethical bracketing). Jika pemandu menyadari adanya 10 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok konflik nilai, maka pemandu perlu berkonsultasi dengan senior atau pengawasnya. VII. Nilai religius dan spiritual dalam konseling kelompok Membicarakan nilai agama dan spiritual dalam konseling kelompok masih menjadi diskusi yang terus berlangsung. Beberapa konselor mendukung, namun konselor lain merasa bahwa agama dan spiritual tidak perlu dibicarakan dalam sesi konseling kelompok. Cara yang tepat menyikapi isu ini adalah mendiskusikan topik spiritual dan agama jika anggota kelompok mengangkat topik tersebut, tetapi pemandu tidak mengangkat atau bertanya tentang latar belakang dan keyakinan spiritual atau agama anggota kelompok. Pembahasan mengenai agama dan spiritual dapat menimbulkan masalah, terutama jika anggota berasal dari berbagai latar belakang, termasuk latar belakang nilai dan keyakinan pribadi mengenai agama. Beberapa cara berikut dapat dilakukan oleh pemandu: 1. Diskusi agama dan spiritual adalah topik diskusi yang tepat untuk kelompok yang tepat. 2. Intervensi spiritual lebih tepat daripada intervensi agama; intervensi spiritual lebih tepat digunakan. 3. Ketika klien mengemukakan masalah agama atau spiritual, intervensi dasar dapat digunakan daripada intervensi spiritual atau agama tertentu. VIII. Isu etika dalam konseling kelompok multikultural 1. Menyadari nilai budaya pribadi Pemandu harus siap menghadapi perbedaan yang kompleks di antara anggota kelompok seperti ras, budaya, etnis, orientasi seksual, status disabilitas, agama, status sosial ekonomi, jenis kelamin, usia, dll. Anggota konseling kelompok biasanya membawa nilai-nilai, kepercayaan, dan 11 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok stereotipe tertentu. Jika tidak difasilitasi, hal ini dapat menimbulkan prasangka buruk mengenai anggota lain yang berasal dari latar belakang berbeda. Dalam konseling kelompok dengan anggota yang multikultural, pemandu perlu meningkatkan komunikasi antar anggota agar terjadi peningkatan pemahaman, penerimaan, dan kepercayaan di antara anggota konseling kelompok. 2. Keluar dari ‘kotak’ budaya Selain menyadari nilai budaya pribadi yang dimilikinya, pemandu juga perlu keluar dari ‘kotak’ budaya. ‘Kotak’ budaya yang dimaksud adalah ide bahwa nilai budaya tertentu lebih tinggi, lebih baik, atau lebih bermakna dari nilai budaya lain. ‘Kotak’ budaya dapat membuat pemandu keliru mengartikan pola perilaku anggota yang berbeda dari budaya pemandu. Penafsiran yang keliru dapat membuat proses konseling dapat terhambat. Sebaliknya, jika pemandu menghargai perbedaan budaya dan tidak menghubungkan perbedaan tersebut dengan superioritas atau inferioritas, pemandu dapat berpikir dengan jernih dan mendampingi kelompok secara netral. IX. Penggunaan dan penyalahgunaan teknik kelompok Teknik-teknik dalam konseling dapat menggali pengalaman yang tidak menyenangkan atau menggugah perasaan mendalam bagi anggota kelompok. Tidak jarang, muncul reaksi emosional yang kuat dari anggota kelompok sehingga pemandu harus siap. Itulah sebabnya, pemandu harus memiliki alasan dan dasar yang jelas untuk setiap teknik yang digunakan. Teknik yang diberikan pada sesi konseling kelompok merupakan sarana untuk meningkatkan kesadaran, untuk mencapai perubahan, atau untuk meningkatkan interaksi. Teknik-teknik konseling dapat digunakan secara etis dan terapeutik, namun juga dapat disalahgunakan. Beberapa contoh penyalahgunaan teknik konseling, misalnya menggunakan teknik yang tidak dikuasai, menggunakan teknik secara tidak tepat, 12 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok menggunakan teknik untuk mendapatkan kepentingan pribadi, atau menggunakan teknik untuk menekan anggota. Contoh yang lain, ada pemandu yang menghindari teknik-teknik yang dapat menggali perasaan anggota dan membuat kemajuan anggota menjadi terhambat. Namun ada juga pemandu yang mengukur keberhasilannya dari kuatnya reaksi emosional anggota. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa pemandu tidak siap menggunakan teknik-teknik konseling tersebut. X. Kompetensi pemandu kelompok Lalu, bagaimana menentukan apakah pemandu sudah memiliki kompetensi untuk menggunakan teknik konseling tertentu? 1. Menentukan tingkat kompetensi sendiri Pemandu perlu menyadari pemahaman dan pengalaman yang dimilikinya dalam menggunakan teknik tertentu. Pemahaman dan pengalaman yang dimaksud adalah mengerti teori dan dasar ilmiah penggunaan teknik, mendapat pelatihan yang memadai untuk menggunakan teknik, pernah mengalami teknik tersebut sebagai klien, dan pernah menggunakan teknik tersebut di bawah pengawasan. Beberapa pertanyaan berikut dapat digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan kompetensi diri: Apakah saya memenuhi persyaratan pendidikan dan pelatihan untuk memandu kelompok ini? Kriteria apa yang dapat saya gunakan untuk menentukan tingkat kompetensi saya? Bagaimana saya bisa mengenali batas-batas kompetensi saya? Jika saya tidak kompeten seperti yang saya inginkan, apa tindakan spesifik yang dapat saya lakukan? Bagaimana saya dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saya? Teknik apa yang dapat saya terapkan secara efektif? Dengan klien seperti apa saya bisa bekerja paling baik? Dengan klien seperti apa saya bekerja paling tidak baik, dan mengapa? 13 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok Kapan dan bagaimana saya harus merujuk klien? Kapan saya perlu berkonsultasi dengan profesional lain? Tidak ada jawaban sederhana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas karena kelompok yang berbeda akan membutuhkan kualitas pemandu yang berbeda pula. Berikut beberapa saran umum untuk meningkatkan tingkat kompetensi personal sebagai pemandu kelompok: Terus mengikuti perkembangan terbaru dan tingkatkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan diri, misalnya dengan melanjutkan pendidikan, berpraktik di bawah pengawasan profesional, dan partisipasi dalam kegiatan pengembangan pribadi dan profesional. Memanfaatkan konsultasi dan/atau pengawasan untuk menemukan praktik yang efektif dalam menangani masalah etika yang dapat mengganggu fungsi sebagai pemandu konseling kelompok. Bersikap terbuka untuk mendapatkan bantuan profesional agar dapat mengatasi masalah pribadi atau konflik pribadi sehingga tidak mengganggu penilaian atau pekerjaan profesional sebagai pemandu kelompok. 2. Standar pelatihan profesional untuk konselor kelompok Standar kualifikasi dan kompetensi konseloor di Indonesia mengikuti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Berikut adalah ringkasannya: a. Kualifikasi Akademik Konselor Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan 14 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Sedangkan bagi individu yang menerima pelayanan profesi bimbingan dan konseling disebut konseli, dan pelayanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dan nonformal diselenggarakan oleh konselor. Kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah: 1. Sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling. 2. Berpendidikan profesi konselor. b. Kompetensi Konselor Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Namun bila ditata ke dalam empat kompetensi pendidik sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005, maka rumusan kompetensi akademik dan profesional konselor dapat dipetakan dan dirumuskan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional sebagai berikut: (yang tertera di sini adalah kompetensi inti, sedangkan kompetensi detail dapat dibaca pada PerMendiknas RI No 27 tahun 2008) A. Kompetensi pedagogik 1. Menguasai teori dan praksis pendidikan 2. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli 3. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan B. Kompetensi kepribadian 4. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 5. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih 6. Menunjukkan integritasdan stabilitas kepribadian yang kuat 7. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi C. Kompetensi sosial 8. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja 9. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling 10. Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi 15 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok D. Kompetensi profesional 11. Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli 12. Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling 13. Merancang program Bimbingan dan Konseling 14. Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling yang komprehensif 15. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling. 16. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional 17. Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling 3. Isu-Isu etika dalam pelatihan konselor kelompok Saat ini ada berbagai pelatihan yang diberikan namun tidak selalu didasari oleh kompetensi dan keahlian yang memadai dari pelatih. Tidak jarang, pelatihan diberikan dalam metode seminar dan tanpa praktik. Pelatihan yang dianjurkan untuk diikuti adalah pelatihan yang menggabungkan teori dengan praktik dan pengalaman langsung. Selain itu, ikutilah pelatihan yang diberikan oleh institusi yang terpercaya, misalnya asosiasi profesi seperti http://www.konselor.or.id/ , https://himpsi.or.id/, atau asosiasi profesi resmi lainnya. XI. Kewajiban dan malpraktek Topik mengenai tanggung jawab profesional dan malpraktik adalah dimensi hukum serta merupakan implikasi yang harus dipahami oleh pemandu kelompok. Jika anggota kelompok dapat membuktikan adanya cedera pribadi atau kerugian psikologis akibat kelalaian atau ketidaktahuan pemandu maka pemandu terbuka untuk menerima gugatan malpraktik. Cara terbaik untuk menghindari gugatan malpraktik adalah mempertahankan praktik yang wajar, biasa, dan bijaksana. XII. Rangkuman 16 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok Berikut rangkuman standar etika dan praktik profesional: Bersedia mencurahkan waktu untuk menyaring, memilih, dan mempersiapkan anggota kelompok. Mengembangkan prosedur informed concern yang jelas dan tertulis di awal kelompok. Memberi informasi yang jelas bagi calon anggota untuk membuat pilihan mengenai partisipasinya dalam konseling kelompok. Memberikan suasana yang menghormati keragaman dalam kelompok. Menyadari hukum lokal dan negara yang membatasi praktik, serta peraturan lembaga tempat pemandu bekerja. Informasikan kepada anggota mengenai kebijakan ini dan tentang batasan hukum (seperti pengecualian kerahasiaan, wajib lapor, dan sejenisnya). Menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan kelompok dimulai sejak awal hingga selama proses konseling kelompok. Jika media sosial atau internet menjadi bagian dari proses konseling kelompok, maka jelaskan pentingnya menjaga batasan, kerahasiaan, dan privasi orang lain dalam kelompok. Batasi praktik pada populasi klien yang sesuai dengan pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Waspada terhadap gejala psikologis yang mungkin membuat partisipasi anggota harus dihentikan. Pemandu perlu merujuk klien pada rujukan yang tepat. Jangan menjanjikan apa pun yang tidak dapat diberikan kepada anggota kelompok. Bantu anggota untuk menyadari bahwa upaya dan komitmen merekalah yang menjadi kunci keberhasilan konseling kelompok. Untuk anggota anak di bawah umur, dapatkan izin tertulis dari orang tua, bahkan jika tidak ada kewajiban hukum. Berkonsultasi dengan rekan kerja atau supervisor setiap kali ada keraguan akan penerapan etika atau hukum. Dokumentasikan konsultasi tersebut. Buatlah evaluasi untuk menilai kemajuan kelompok, dan ajarkan anggota cara mengevaluasi kemajuan pribadi mereka; simpanlah catatan klinis yang memadai tentang kemajuan tersebut. Pelajari cara menilai dan mengintervensi jika klien menjadi ancaman bagi dirinya sendiri atau orang lain. Hindari hubungan ganda (hubungan profesional dengan hubungan sosial). Hindari hubungan romantis/seksual dengan anggota kelompok. Tetap waspada terhadap reaksi pribadi yang dapat menghambat proses kelompok. Hindari menggunakan kelompok sebagai tempat untuk 17 PS1WP085; Dasar-dasar Konseling Kelompok Materi pertemuan 3: Kode etik dan profesionalitas konselor dalam konseling kelompok menyelesaikan masalah pribadi pemandu. Terus membaca penelitian dan pengetahuan terbaru, dan gunakan intervensi dan teknik intervensi yang didukung hasil penelitian. Gunakan orientasi teoretis sebagai panduan ketika melakukan praktik konseling kelompok. Sebagai pemandu kelompok yang bertanggung jawab, seseorang ditantang untuk terus mengklarifikasi pemikiran tentang masalah etika dan profesional. Meskipun pemandu diwajibkan untuk memahami, dan terikat oleh kode etik organisasi profesional, namun pemandu juga perlu belajar bagaimana membuat keputusan etis dalam situasi praktis di lapangan. Kode etik menyediakan kerangka kerja umum, tetapi pemandu harus mampu menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kasus konkret. XIII. Referensi 1. Corey, G. (2012). Theory & Practice of Group Counseling (8th Ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole. 2. Jacobs, E., Masson, R. L., Harvill, R. L, Schimmel, C.J. (2012). Group Counseling, Strategies and Skills. Belmont, CA: Brooks/ Cole. 3. Yalom, I. D., & Leszcz, M. (2005). Theory and Practice of Group Psychotherapy, Fifth Edition. http://www.amazon.com/dp/B001C310YY 18 TUGAS PEMANDU KELOMPOK STEFANUS S SANDJAJA TIGA TUGAS PEMANDU KELOMPOK Membuat dan mempertahankan kelompok, yaitu menciptakan system social. Membentuk Budaya. Artinya membentuk kelompok menjadi system social yang terapeutik atau bersifat menyembuhkan. Membentuk Norma berdasar harapan anggota terhadap kelompok maupun pengarahan langsung dan tidak langsung dari konselor. MEMBUAT DAN MEMPERTAHANKAN KELOMPOK 1. Wawancara dengan calon anggota 2. Melakukan seleksi calon anggota dengan tepat 3. Menjadi penjaga gawang, artinya mempertahankan supaya anggota tetap hadir dan mengikuti pertemuan kelompok. 4. Mengenal hal – hal yang dapat mempengaruhi kohesivitas atau kesatuan kelompok, seperti kelambatan, absen, subgrouping dan pengkambinghitaman. DUA TUGAS UTAMA DALAM MEMBENTUK BUDAYA A. Menumbuhkan norma – norma yang dipakai sebagai pedoman interaksi kelompok B. Membawa kelompok dari satu factor kuratif ke factor kuratif lainnya MEMBENTUK BUDAYA SECARA RINCI 1. Kebebasan setiap anggota untuk mengemukakan apa yang dipikirkan ataupun dirasakan 2. Kejujuran dan spontanitas 3. Peran serta aktif seluruh anggota 4. Menerima anggota yang lain tanpa penilaian 5. Membuka diri pada tingkat tinggi 6. Ketidakpuasan anggota dengan pola perilaku saat ini 7. Keinginan besar untuk berubah MEMBENTUK NORMA (KONSELOR SEBAGAI PAKAR TEKNIS) Konselor sebagai Pakar Teknis dapat memberi petunjuk secara verbal maupun non verbal (mengangguk – angguk, tersenyum, mengernyitkan dahi, dll) 1. Memberi instruksi langsung untuk kelompok 2. Memberi petunjuk – petunjuk bagi anggota untuk berinteraksi satu sama lain 3. Memberi reinforcemen social untuk mendukung perilaku anggota yang telah banyak berubah MEMBENTUK NORMA (KONSELOR SBG PESERTA PENETAP-MODEL) Perilaku konselor dipakai sebagai contoh / model dalam kelompok 1. Penerimaan tanpa penilaian 2. Ketulusan dalam kesediaan menolong 3. Empati yang akurat 4. Spontanitas dalam bereaksi 5. Memberi komentar proses 6. Keterusterangan konselor terhadap anggota kelompok 7. Kepekaan waktu dalam mengenal suasana emosi kelompok dan pemberian komentar proses TAHAP – TAHAP DALAM KONSELING KELOMPOK Stefanus Soejanto Sandjaja Ada empat tahap utama dalam konseling kelompok, yaitu tahap persiapan, tahap transisi, tahap kerja kelompok dan terminasi. A. Tahap Persiapan Konselor perlu mempersiapkan terbentuknya kelompok. 1. Konselor menerangkan kepada calon klien tentang konseling kelompok, terutama tentang tanggung jawab konselor dan tanggung jawab klien. 2. Pemimpin atau konselor menjelaskan mengenai proses kelompok, yaitu konselor perlu mendorong klien untuk menerima tanggung jawab untuk berperan serta secara aktif di dalam kelompok. 3. Konselor melakukan pembinaan harapan, yaitu dipupuk harapan bahwa kelompok dapat menolong calon klien. 4. Jelaskan jumlah anggota yang diperkirakan akan bergabung serta sifat kelompoknya tertutup(anggotanya tetap selama proses konseling kelompok berlangsung) atau terbuka (setiap saat kelompok dapat menerima anggota baru). 5. Konselor menjelaskan mengenai seleksi anggota kelompok, yaitu apakah bedasarkan umur, jenis kelamin, atau masalah yang sama. 6. Jelaskan tentang waktu pertemuan, yaitu hari apa, mulai dan selesai pukul berapa, lamanya pertemuan serta tempat pertemuan. Lamanya waktu untuk proses konseling dapat dirundingkan Bersama antara konselor dengan anggota. Setelah kelompok terbentuk, konselor dapat melanjutkan ke langkah selanjutnya; yaitu perkenalan, agenda, norma kelompok serta penggalian ide dan perasaan. a. Perkenalan, yaitu konselor memperkenalkan setiap anggota 1. Konselor meminta masing – masing anggota menyebutkan nama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hobby dll. 2. Alternatif lain, konselor menyebutkan nama masing – masing anggota kelompok. 3. Cara lain adalah peserta diminta untuk menanyakan identitas anggota lain di sebelah kanannya, kemudian yang bertanya tadi memperkenalkan anggota di sebelah kanannya tadi. 4. Berkenalan perpasangan, yaitu anggota A dan B berpasangan; kemudian A memperkenalkan B dan sebaliknya B memperkenalkan A. b. Agenda adalah tujuan yang akan dicapai di dalam kelompok. Konselor minta kepada setiap anggota untuk menceritakan ketidakpuasan yang selama ini dialami dalam perilaku yang nyata dan perubahan nyata yang ingin dicapai setelah kelompok berakhir. Ketidakpuasan dapat dinyatakan dalam bentuk skala, misal 1 s/d 9; 1 artinya tidak puas dan 9 artinya sangat puas serta 5 cukup puas. Selain itu ada agenda jangka pendek (tujuan untuk setiap pertemuan) dan agenda jangka panjang (tujuan yang ingin dicapai setelah kelompok selesai). c. Norma Kelompok yaitu azas dan aturan – aturan dalam konseling kelompok. 1. Konselor mengemukakan azas kerahasiaan 2. Kehadiran dan absensi, yaitu diharapkan semua anggota hadir dalam setiap pertemuan. Bila tidak hadir untuk memberitahu konselor. 3. Konselor membina suasana positif dalam kelompok, misal aturan main dalam memberikan umpan balik demi kepentingan anggota lain, bukan untuk kepuasan diri sendiri (memberi kritik untuk memenuhi dorongan agresivitas diri sendiri) dan mementingkan pemberian penghargaan kepada apa yang telah dilakukan oleh anggota lain. RUBRIK PENILAIAN MICRO SKILL KONSELING KELOMPOK Nama Mahasiswa : _____________________ NIM : __________________ Nama Supervisor : _____________________ Tanggal : __________________ No. Aspek Yang Dinilai Baik Cukup Kurang A. TAHAP PERSIAPAN A. I Mempersiapkan terbentuknya kelompok 1. Menerangkan apa itu konseling kelompok, tujuan dan manfaanya serta tanggungjawab konselor dan klien. 2. Menjelaskan agar klien menerima tanggung jawabnya untuk berperan serta secara aktif di dalam kelompok. 3. Konselor melakukan pembinaan harapan, yaitu memupuk harapan bahwa kelompok dapat menolong calon klien. 4. Menjelaskan jumlah anggota yang diperkirakan akan bergabung serta sifat kelompoknya tertutup atau terbuka. 5. Konselor menjelaskan mengenai dasar seleksi anggota kelompok 6. Menjelaskan mengenai waktu dan lamanya pertemuan A. II Keterampilan konselor memimpin perkenalan anggota A. III Keterampilan konselor menetapkan agenda 1. Keterampilan untuk meminta klien menceritakan ketidakpuasan yang selama ini dialami dalam perilaku yang nyata dan perubahan nyata yang ingin dicapai setelah kelompok berakhir. 2. Keterampilan menyatakan ketidakpuasan dalam bentuk skala 3. Keterampilan menetapkan agenda jangka pendek maupun jangka Panjang A. IV Keterampilan membangun norma kelompok 1. Keterampilan konselor mengemukakan azas kerahasiaan 2. Keterampilan menjelaskan mengenai kehadiran, absensi dan peraturannya 3. Keterampilan konselor membina suasana positif dalam kelompok (cara memberi umpan balik dan lebih mementingkan memberikan penghargaan) TAHAP – TAHAP DALAM KONSELING KELOMPOK Stefanus Soejanto Sandjaja Ada empat tahap utama dalam konseling kelompok, yaitu tahap persiapan, tahap transisi, tahap kerja kelompok dan terminasi. A. Penggalian ide dan perasaan adalah tugas konselor untuk menggali ide – ide maupun perasaan – perasaan yang muncul dalam diri anggota sebelum pertemuan pertama berakhir. Untuk menjaga rasa positif anggota terhadap kelompok, konselor perlu memberi kesempatan kepada anggota untuk mengekspresikan perasaan yang masih mengganjal. RUBRIK PENILAIAN MICRO SKILL KONSELING KELOMPOK Nama Mahasiswa : _____________________ NIM : __________________ Nama Supervisor : _____________________ Tanggal : __________________ No. Aspek Yang Dinilai Baik Cukup Kurang A. TAHAP PERSIAPAN A. V Keterampilan konselor menggali ide dan perasaan 1. Keterampilan konselor untuk menggali ide – ide / gagasan dari peserta konseling kelompok 2. Keterampilan konselor untuk memberi kesempatan kepada anggota agar mengekspresikan perasaan yang masih mengganjal. TAHAP – TAHAP DALAM KONSELING KELOMPOK Stefanus Soejanto Sandjaja Ada empat tahap utama dalam konseling kelompok, yaitu tahap persiapan, tahap transisi, tahap kerja kelompok dan terminasi. A. Tahap Transisi artinya adalah peralihan antara awal konseling dengan konseling sesungguhnya. Ada tanda – tanda klien menjadi tegang dan mengalami resistensi atau rasa enggan untuk harus membuka diri. Ada tiga keterampilan konselor yang dibutuhkan dalam menghadapi tahap transisi dengan lancar dan efektif. Ketiga keterampilan ini sangat perlu dikuasai oleh konselor agar kelompok tidak bubar sebelum konseling kelompok yang sesungguhnya dimulai dan untuk menjaga kohesivitas kelompok serta mencegah klien melakukan resistensi pasif seperti sering tidak hadir atau kalau hadir, klien diam saja. 1. Kepekaan waktu, yaitu sensitivitas konselor terhadap ketepatan antara intervensi dengan waktu. Konselor harus peka kapan melakukan konfrontasi terhadap anggota dan kapan harus memberikan dukungan. Konselor perlu peka terhadap kebutuhan anggota atau klien saat itu. Bila terjadi ketegangan dalam kelompok, konselor perlu mengkomunikasikan hasil observasinya ini pada saat yang tepat. 2. Observasi pola perilaku, yaitu konselor memerhatikan dengan cermat dan akurat pola perilaku klien atau anggota di dalam kelompok. Beberapa pola perilaku tersebut adalah klien yang selalu menyita waktu, klien yang sangat pasif, klien yang selalu mencela, klien yang selalu merasa bersalah, dll. Konselor perlu mengkomunikasikan hasil observasinya dengan akurat disertai data kongkret agar klien merasakan manfaat yang besar. 3. Pengenalan suasana emosi, yaitu konselor mengenal suasana emosi klien di dalam kelompok melalui reaksi konselor terhadap suasana kelompok. Jadi reaksi emosi konselor dapat menjadi indicator suasana emosi kelompok. RUBRIK PENILAIAN MICRO SKILL KONSELING KELOMPOK Nama Mahasiswa : _____________________ NIM : __________________ Nama Supervisor : _____________________ Tanggal : __________________ No. Aspek Yang Dinilai Baik Cukup Kurang A. TAHAP PERSIAPAN A. TAHAP TRANSISI 1. Kepekaan waktu, yaitu sensitivitas konselor terhadap ketepatan antara intervensi dengan waktu. 1.a. Kepekaan konselor dalam melakukan konfrontasi terhadap anggota atau kapan harus memberikan dukungan. 2.a. Keterampilan konselor dalam mengkomunikasikan hasil observasinya saat terjadi ketegangan dalam kelompok pada saat yang tepat. 2. Observasi pola perilaku, yaitu konselor memerhatikan dengan cermat dan akurat pola perilaku klien atau anggota di dalam kelompok (missal klien yang selalu menyita waktu, klien yang sangat pasif, klien yang selalu mencela, klien yang selalu merasa bersalah, dll.) Keterampilan konselor dalam mengkomunikasikan hasil observasinya dengan akurat disertai data kongkret agar klien merasakan manfaat yang besar. 3. Pengenalan suasana emosi, yaitu konselor mengenal suasana emosi klien di dalam kelompok. Keterampilan konselor mengekspresikan reaksi emosinya terhadap suasana kelompok.