Summary

Dokumen ini membahas perilaku yang membahayakan kesehatan, termasuk kecanduan, ketergantungan, alkoholisme, dampak, dan penyalahgunaan obat-obatan. Materi ini juga memberikan informasi mengenai harapan, reinforcement, dan efek negatif.

Full Transcript

PERILAKU YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN 1. Kecanduan dan Ketergantungan a. Kecanduan → kondisi dimana seseorang secara berulang mengkonsumsi zat psikoaktif yang bersifat alami maupun sintentik. Tindakan tersebut menyebabkan seseorang tergantung secara fisik maupun psiko...

PERILAKU YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN 1. Kecanduan dan Ketergantungan a. Kecanduan → kondisi dimana seseorang secara berulang mengkonsumsi zat psikoaktif yang bersifat alami maupun sintentik. Tindakan tersebut menyebabkan seseorang tergantung secara fisik maupun psikologis terhadap zat tersebut. b. Ketergantungan secara fisik terjadi ketika tubuh melakukan penyesuaian terhadap suatu zat sehingga jaringan tubuh menerimanya sebagai fungsi normal. c. Toleran → proses dimana tubuh meningkatkan adaptasi terhadap zat sehingga membutuhkan dosis yang lebih besar untuk dapat mencapai efek yang sama. d. Penarikan atau penghentian → gejala ketidaknyamanan fisik dan psikologis yang dirasakan oleh seseorang ketika penggunaan zat yang menyebabkan ia tergantung terputus atau berkurang. e. Reinforcement i. Reinforcement positif: kejadian atau item yang menyebabkan seseorang memperoleh kenikmatan setelah melakukan suatu tindakan (misal: setelah mengisap rokok orang merasakan kegirangan) ii. Reinforcement negatif: berkurang atau hilangnya perasaan tidak nyaman setelah suatu tindakan (misal: setelah minum alkohol stres hilang sementara) f. Menghindari/keadaan withdrawal i. Individu yang telah menggunakan zat dalam jangka waktu lama cenderung mencegah withdrawal. ii. Perilaku: Perilaku yang berkaitan dengan zat dapat menimbulkan tindakan untuk memperoleh zat tersebut (prinsip classical conditioning). iii. Genetik: Penelitian menunjukkan anak kembar indentik menunjukkan perilaku yang sama dalam hal merokok (ketergantungan terhadap tembakau). g. Harapan Individu mengembangkan harapan tentang hasil dari suatu tingkah laku berdasarkan pengalaman pribadi atau melihat orang lain. Contoh: remaja melihat orang-orang minum miras nampak mudah bergaul dan sudah dewasa sehingga ingin seperti mereka. Ada indikasi beberapa perilaku normal bermasalah: insecure, FOMO, rejected child syndrome. 2. Perilaku Merokok Perilaku merokok → penyakit kecanduan akibat zat (International Classification of Disorder 10 dan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder V). a. Rokok: zat adiktif menyebabkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan); termasuk golongan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, Alkohol, dan Zat Adiktif). b. Alasan i. Mengatasi Zoom Fatigue ii. Mencoba cita rasa (menthol, cappucino, dsb) yang diiklankan iii. Ingin tampil macho, gaul, dianggap dewasa iv. Setia kawan (toxic friendship) v. Persepsi rokok dapat menghilangkan stres vi. Atribusi sosial (bersosialisasi saat berada di komunitas yang sedang merokok) vii. Mengusir rasa sepi, jenuh, galau c. Efek negatif i. Kesehatan: bahan kimia (nikotin, CO, tar) merangsang kerja sistem saraf pusat dan detak jantung menjadi cepat, stimulus kanker, dan berbagai penyakit lain. ii. Ekonomi: membakar uang remaja yang tidak memiliki penghasilan sendiri. iii. Sosial: asap rokok menganggu orang di sekitar. iv. Psikologis: ketergantungan yang membuat cemas ketika tidak merokok. 3. Drinking Problem (Alkoholisme) Konsumsi alkohol berefek memabukkan yang ditandai dengan perubahan mental dan perilaku dan hilangnya keseimbangan. Kadar alkohol yang terlalu tinggi dapat menyebabkan koma atau kematian. Alkoholisme DSM-5 → kategori gangguan penggunaan zat (substance use disorder). Alkoholisme ICD-10 → intoksikasi alkohol akut, penggunaan yang merugikan (harmful use), gangguan ketergantungan alkohol, keadaan putus zat, serta kondisi medis dan neuropsikiatri yang terkait dengan penggunaan zat Ciri-ciri dari alkoholisme: a. Menghabiskan waktu untuk mencari, menggunakan alkohol, dan memulihkan diri dari konsumsi alkohol secara berlebihan. b. Kesulitan mengurangi atau mengendalikan penggunaan alkohol meskipun ingin melakukannya. c. Mengonsumsi alkohol melampaui jumlah yang ingin dikonsumsi. d. Kesulitan memenuhi peran yang diharapkan. e. Terus mengonsumsi alkohol meskipun menyebabkan masalah sosial, interpersonal, psikologis, medis, dst. 4. Penyalahgunaan Obat Terlarang (Drug) a. Pecandu: seseorang yang hidupnya dikendalikan oleh NAPZA. b. Penyalahgunaan dan ketergantungan zat → Substance Use Disorder (penggunaan zat yang membahayakan diri dan menghasilkan distres atau hambatan keberfungsian, mulai tingkat penggunaan ringan hingga parah). c. Resiko i. Kesehatan → kemungkinan overdosis, komplikasi medis, tertular HIV, hepatitis B/C (terutama suntikan dan penasun), kemunduran fungsi kongnitif, terganggu fungsi mental (perasaan negatif; rendah diri). ii. Psikososial → perilaku agresif/menarik diri, terganggu hubungan interpersonal, tidak mampu memenuhi peran, terlibat kriminalitas. MENJAGA KESEHATAN MENTAL MELALUI OLAHRAGA Kesehatan Mental: keadaan sejahtera secara mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan atau stres, menyadari kemampuannya, dapat belajar dengan baik, bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya (WHO). Tanda-tanda gangguan mental: gangguan tidur dan makan, mudah lelah, sedih berkepanjangan, gelisah, kehilangan minat pada apapun, sulit konsentrasi, menarik diri, dan ingin melukai diri. Normal bermasalah: individu memiliki keberfungsian sehari-hari yang adaptif, tetapi ada rasa ketidaknyamanan psikologis sehingga kurang produktif. Problem psikologis normal bermasalah → burnout, mood swings, loneliness, baby blues, and syndromes. Manfaat olahraga terhadap kesehatan mental → 87% berdampak positif bagi kesehatan mental: 1. Dampak positif pada suasana hati → lebih tenang dan bersemangat. 2. Meredakan gejala yang berhubungan dengan depresi (joging 15 menit/hari atau berkebun lama), kecemasan, stres, ADHD, PTSD/trauma → mengurangi jumlah hormon stres 3. Otak → membantu sel-sel otak baru beregenerasi. 4. Meningkatkan fungsi kognitif → mencegah pikun 5. Perasaan sejahtera → release endorphins and others neurotransmitters 6. Mekanisme penanggulangan → displacement (mengalihkan semua pikiran negatif yang ada di kepala) 7. Meningkatkan energi 8. Kepercayaan diri → menetapkan dan memenuhi sasaran latihan serta menjadi bugar dapat membantu individu merasa lebih positif terhadap diri mereka sendiri. 9. Minimalisasi risiko diabetes → menurunkan resistensi insulin (jalan cepat 30 menit 5 hari) 10. Meningkatkan kebugaran kardiorespirasi Yang terjadi saat olahraga: 1. Denyut jantung → membantu membawa lebih banyak oksigen ke otak: peningkatan energi. 2. Koneksi di area otak yang mengatur emosi dan perspektif dunia sekitar. 3. Tingkat neurotransmitter (serotonin, dopamin, endorfin) membantu meningkatkan kebahagiaan dan motivasi. Dampak negatif kurang olahraga: risiko diabetes tipe 2, jantung koroner, meningkatkan perasaan cemas, dan depresi. Jenis Exercise: 1. Berjalan ukuran sedang → jalan kaki 10 menit = latihan (gym) 45 menit. Mengaktifkan hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), yang bertanggung jawab atas respons stres dan karenanya membantu mengurangi stres; mengembangkan strategi koping. 2. Berlari → meningkatkan kadar endocannabinoid dalam aliran darah (neuromodulator peningkat suasana hati; efek psikoaktif jangka pendek seperti mengurangi kecemasan dan perasaan tenang); meningkatkan kadar norepinefrin (membantu meredakan stres). 3. Berenang → suasana hati membaik, mengurangi kecemasan fibromyalgia, membantu individu depresi mayor dan kecemasan (berhenti minum obat). 4. Bersepeda → kekencangan otot, menurunkan BB, kesehatan kardiovaskular, pemulihan perhatian, dan emosi positif. Bermanfaat bagi penderita penyakit Parkinson → meningkatkan fungsi motorik, suasana hati, fungsi kognitif secara keseluruhan, serta mengurangi tremor dan kekakuan. 5. Aerobik intensitas tinggi dan latihan ketahanan. PAIN (NYERI) ➧ What is pain? Pain: pengalaman ketidaknyamanan bersifat sensoris dan emosional yang biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan atau iritasi yang tampak atau mengancam (Ogden, 2004). Dua dimensi kondisi painful: 1. Organic pain → tekanan/kerusakan jaringan. Contoh: luka terbuka karena terbakar. 2. Psychogenic pain → tanpa ada kerusakan jaringan yang terlihat mungkin sebagai hasil proses psikologis. Pain ditinjau dari jangka waktu: 1. Acute pain → kurang dari beberapa bulan. Individu yang mengalami kemunculan pain memiliki tingkat kecemasan tinggi dan akan turun ketika kondisi pain berkurang. 2. Chronic pain → beberapa bulan. Individu mengalami kecemasan dan takut yang tinggi, cenderung hopeless and helpless. Pain ini memengaruhi aktivitas sehari-hari, rencana, tujuan, dan ritme tidur individu. Pain (nyeri): 1. Sinyal tubuh → memungkinkan penyesuaian individu dengan cara duduk/tidur 2. Perilaku protektif → menghindari bergerak dalam cara tertentu atau mengangkat benda berat 3. Alasan mengunjungi dokter 4. Konsekuensi psikologis → menimbulkan ketakutan/kecemasan ➧ Early pain theories – pain as a sensation Teori awal: menggambarkan nyeri dalam kerangka biomedis sebagai mekanisme otomatis respon terhadap faktor eksternal. 1. Descrates → nyeri: respon terhadap stimulus nyeri, digambarkan jalur langsung dari sumber nyeri (misal jari yang terbakar) ke area otak yang mendeteksi sensasi nyeri. 2. Von Frey (1895) → specificity theory of pain 3. Goldschneider (1920) → pattern theory Ketiga teori di atas menggambarkan nyeri sebagai berikut: 1. Kerusakan jaringan menyebabkan sensasi nyeri. 2. Psikologi terlibat dalam model nyeri hanya sebagai konsekuensi dari nyeri (ex: kecemasan, ketakutan, depresi). Psikologi tidak memiliki pengaruh kausal. 3. Nyeri: respon otomatis terhadap stimulus eksternal. 4. Sensasi nyeri hanya memiliki satu penyebab. Psikologi dalam Teori Nyeri: Peran penting psikologi dalam memahami nyeri sepanjang abad kedua puluh didasarkan pada beberapa observasi: 1. Perawatan medis untuk nyeri (ex: obat, bedah) hanya berguna untuk nyeri akut 2. Perawatan tidak efektif untuk mengobati nyeri kronis → pasti ada hal lain yang terlibat dalam sensasi nyeri yang tidak termasuk dalam model respon stimulus sederhana Contoh: phantom limb pain → mayoritas orang yang diamputasi cenderung merasa nyeri pada anggota tubuh yang tidak ada. Terkadang nyeri bisa terasa seperti menyebar. Phantom limb pain tidak memiliki dasar fisik perifer karena tungkai jelas hilang. Selain itu, tidak semua orang merasakan nyeri tersebut. Individu yang dilahirkan dengan anggota badan yang hilang kadang-kadang melaporkan PLP. Observasi ini menunjukkan peran psikologi pada nyeri. The Gate-Control Theory of Pain (Ronald Melzack & Patrick Wall) Integrasi konsep penting dari teori sebelumnya. Menjelaskan mekanisme fisiologis yang mana faktor psikologis dapat memengaruhi pengalaman individu tentang sakit. Neural ‘gate’ yang dapat dibuka/ditutup pada berbagai tingkatan. Gating mechanism terdapat pada spinal cord. ○ ‘Gate’ terbuka ketika kondisi fisik luka melebar; kondisi emosi cemas/depresi ○ ‘Gate’ tertutup ketika kondisi fisik dalam pengobatan; kondisi emosi positif, relaks, istirahat. Perbedaan The Gate-Control Theory of Pain dengan Model Sebelumnya Nyeri sebagai persepsi: nyeri digambarkan melibatkan interpretasi aktif dari rangsangan nyeri. Individu berperan aktif bukan aktif: individu tidak lagi hanya merespon secara pasif terhadap rangsangan yang menyakitkan, tetapi secara aktif menafsirkan dan menilai rangsangan yang menyakitkan. Peran variabilitas individu: variabilitas individu tidak lagi menjadi masalah dalam memahami nyeri, tetapi merupakan pusat GCT. Peran berbagai penyebab: banyak faktor yang terlibat dalam persepsi, bukan hanya penyebab fisik tunggal. Nyeri sebagai kombinasi dari fisik dan psikologis. Nyeri vs dualisme: GCT mencoba menyimpang dari model dualistic tradisional tubuh dan menunjukkan interaksi antara pikiran dan tubuh. ➧ The role of psychosocial factors in pain perception The role of learning 1. Classical conditioning Berefek pada persepsi nyeri seperti yang dijelaskan oleh teori pembelajaran asosiatif, individu dapat mengasosiasikan lingkungan tertentu dengan pengalaman nyeri. Misal: jika seseorang mengasosiasikan dokter gigi dengan nyeri karena pengalaman masa lalu, persepsi nyeri mungkin meningkat ketika menghadiri dokter gigi karena hubungan antara dua faktor ini, individu mengalami peningkatan kecemasan saat mengunjungi dokter gigi, sehingga meningkatkan rasa nyeri. 2. Operant conditioning Ada peran OC dalam persepsi nyeri. Individu dapat merespon nyeri dengan menunjukkan perilaku nyeri (ex: istirahat, meringis, pincang, tidak masuk kerja). Perilaku dapat diperkuat secara positif (ex: simpati, perhatian, cuti kerja) yang dengan sendirinya dapat meningkatkan persepsi nyeri. The role of affect 1. Anxiety/kecemasan Eccleston et al. (2001) meneliti 34 pasien nyeri kronis pira dan wanita selama tujuh hari. Hasilnya pasien yang khawatir dengan rasa nyeri dengan khawatir yang tidak terkait rasa nyeri berbeda secara kualitatif. Kekhawatiran tentang rasa nyeri kronis sulit diabaikan, lebih menganggu, membutuhkan perhatian, menyusahkan, dan kurang menyenangkan daripada kekhawatiran yang tidak berhubungan dengan nyeri. 2. Fear Pasien dengan pengalaman nyeri memiliki ketakutkan yang luas akan peningkatan nyeri atau nyeri muncul kembali sehingga mengakibatkan penghindaran berbagai macam aktivitas yang dianggap berisiko tinggi. Misalnya, pasien dapat menghindari bergerak secara khusus hanya sampat batas tertentu. The role of cognition 1. Catastrophizing Dikaitkan dengan timbulnya nyeri dan perkembangan masalah nyeri jangka panjang (Sullivan et al., 2001). Berfungsi sebagai pelarian dari nyeri dengan mengkomunikasikan kesusahan kepada orang lain (Crombez et al., 2003). Keefe et al. (2000) → catastrophising melibatkan tiga komponen: a. rumination/perenungan: fokus pada informasi internal/eksternal yang mengancam, ex: saya bisa merasakan leher saya klik setiap kali bergerak b. magnification/pembesaran: melebih-lebihkan tingkat ancaman, ex: tulang-tulangnya remuk dan saya akan lumpuh c. helplessness/ketidakberdayaan: meremehkan sumber daya pribadi dan sumber daya lebih luas yang dapat mengurangi bahaya dan konsekuensi bencana, ex: tidak ada yang mengerti bagaimana memperbaiki masalah dan saya tidak bisa menahan nyeri lagi. 2. Meaning/arti Awalnya nyeri hanya memberikan arti negatif. Penelitian menunjukkan nyeri dapat memiliki arti bagi orang yang berbeda. Misalnya, nyeri melahirkan meski sakit, tetapi memiliki penyebab dan konsekuensi yang sangat jelas. Jika nyeri yang sama terjadi di luar persalinan maka akan memiliki arti yang berbeda. Nyeri dapat berarti positif, misalnya sebagai alasan untuk istirahat. 3. Efikasi diri Turki et al. (1983) → peningkatan rasa sakit efikasi diri mungkin menjadi faktor penting dalam menentukan derajat persepsi nyeri. Konsep lokus nyeri kontrol telah dikembangkan untuk menekankan peran kognisi indiviu dalam persepsi nyeri. ➧ Measuring pain Mengapa rasa sakit perlu diukur? 1. Untuk memeriksa penyebab atau konsekuensi rasa sakit 2. Untuk mengevaluasi keefektifan pengobatan rasa sakit Pertanyaan dan masalah pengukuran pain 1. Pengalaman rasa sakit individu 2. Penyangkalan citra diri 3. Penilaian objektif rasa sakit 4. Dasar fisiologis sakit Keempat pembahasan tersebut menghasilkan tiga perspektif pengukuran nyeri: 1. Laporan diri (self report) Skala rasa sakit self report bergantung pada pandangan subjektif individu (memungkinkan bias individu yang kesakitan) tentang tingkat rasa sakit mereka. Beberapa self report juga mengukur dampak rasa sakit yang dialami pada tingkat keberfungsian individu “apakah rasa sakit memengaruhi kemampuan individu untuk melakukan tugas sehari-hari seperti berjalan, duduk, dan menaiki tangga?” a. Skala berupa analog visual → seberapa parah rasa sakit anda? Dinilai dari ‘tidak sama sekali’ (0) hingga ‘sangat’ (100). b. Skala verbal → jelaskan rasa sakit anda: tidak ada rasa sakit, ringan nyeri, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri terparah, dsb. c. Kuesioner deskriptif (McGill Pain Quessinonare) → eksplor rasa sakit yang lebih kompleks dan meminta individu untuk menilai rasa sakit dalam tiga hal: i. Dimensi sensorik (ex: berkedip, berdenyut, memukul) ii. Afektif (ex: menghukum, kejam, membunuh) iii. Evaluatif (ex: menjengkelkan, menyedihkan, intens) 2. Penilaian observasional Lebih objektif dan digunakan ketika self report dari pasien dianggap tidak dapat diandalkan atau ketika pasien tidak dapat menyediakannya. Namun, dapat tetap menimbulkan bias observer. Dapat digunakan untuk anak-anak, penderita stroke, pasien sakit parah. Validasi objektif dari pengukuran self report, perilaku nyeri (ex: pincang, meringis, dan ketegangan otot) dan waktu yang dihabiskan untuk tidur/istirahat. 3. Penilaian/tindakan fisiologis Indeks intensitas nyeri dengan melakukan penilaian peradangan dan pengukuran keringat, detak jantung, dan suhu kulit. Social processes and pain Perhatian, perawatan, afeksi yang diberikan keluarga dan teman-teman merupakan penguatan sosial (social reinforcement) untuk perilaku sakit. Tingkat pain tergantung pada dua faktor: 1. Apakah pasangan atau pegawai RS sedang mengamati, 2. Apakah pasien berpikir bahwa pasangannya mencemaskannya. Pasien yg merasa pasangannya cemas, melaporkan lebih sakit ketika pasangannya memperhatikannya daripada ketika diamati pegawai RS. Kebalikannya, pasien yg merasa pasangannya tidak mencemaskannya, melaporkan sedikit sakit ketika pasangannya melihatnya dibandingkan dengan ketika pegawai RS melihatnya. Tingginya tingkat kecemasan yang ditunjukkan pasangan berhubungan dengan pasien yang semakin menunjukkan perilaku sakit & aktivitas yang berkurang. Gender, sociocultural factor, and pain Laki-laki dan perempuan berbeda dalam tipe pain dan reaksi terhadap pain. Perempuan melaporkan lebih banyak mengalami pain daripada laki-laki, bisanya laki-laki hanya back pain/cardiac pain. Pain perempuan lebih sering memengaruhi aktivitas sehari-hari. Negara sosial ekonomi rendah lebih sering mengalami pain daripada sosial ekonomi tinggi. Emotions, coping processes, and pain Individu yang sakit kronis biasanya mengalami emosi marah, takut, sedih yang tergolong tinggi. PERILAKU MENCARI BANTUAN & KONSULTASI Perilaku mencari bantuan profesional Pengertian: proses mengatasi masalah (coping) adaptif yang merupakan upaya individu untuk mendapatkan bantuan eksternal untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan kesehatan mental (Rickwood et al., 2012). Sumber bantuan: 1. Informal: bersifat personal, dari relasi sosial (teman/keluarga) 2. Formal: profesinal kesehatan atau bukan (guru, pendeta, komunitas, pekerja sosial, dsb) Proses perilaku mencari bantuan 1. Theory of planned behavior (perceived behavioral control, attitude towards behavior, subjective norm → intention → behavior) 2. Perilaku mencari pertolongan sebagai transaksi sosial: proses aktif mencari dan menggunakan hubungan sosial secara formal/informal untuk mengatasi masalah pribadi. Ini merupakan proses personal yang menjadi semakin interpersonal. Dimulai dengan kesadaran adanya gejala dan menilai bahwa masalah yang dihadapi membutuhkan intervensi/kata-kata yang dapat dipahami. Mengukur perilaku mencari bantuan Rickwood et al., (2012) → aspek/elemen mengukur perilaku mencari bantuan: proses, waktu (time frame), sumber bantuan, jenis bantuan, jenis kesehatan mental yang menjadi perhatian. Faktor perilaku mencari bantuan 1. Faktor penghambat a. Lack of emotional competence: cenderung mencari bantuan karena tidak mampu untuk mengatasi sendiri emosi yang dimiliki dan cenderung tidak mencari bantuan karena tidak memiliki keterampilan untuk melakukannya secara efektif. b. Help negation: enggan memanfaat bantuan yang ada ketika dibutuhkan. Penolakan bantuan terjadi pada individu yang memiliki pemikiran bunuh diri. c. Negative attitudes and beliefs related to seeking professional help: keyakinan bahwa profesional tidak menolong dan dapat membuat masalah menjadi lebih parah. 2. Faktor pendukung a. Emotional competence: kemampuan menyadari diri dan memiliki bahasa yang dapat digunakan untuk mengekpresikan pada orang lain dan merasa nyaman saat melakukan pengekspresian tersebut. b. Positive attitudes, past experience, and mental health literacy: yakin pada bantuan orang lain. Pengalaman di masa lalu positif dapat memengaruhi sikap dalam mencari bantuan di masa depan. c. Social influences on help-seeking: pengaruh sosial (keluarga, teman, institusi, dsb). Sosialisasi pencegahan bunuh diri untuk mengurangi stigma masalah kesehatan mental. Delay of help seeking a. Appraisal delay: Waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan bahwa gejala tersebut serius b. Illness delay: Jarak waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui bahwa gejala tersebut merupakan gejala penyakit dan keputusan mencari pengobatan c. Utilization delay: Waktu antara keputusan untuk mencari pengobatan dan pelaksanaannya Kepuasan konsultasi Interaksi pasien dengan tenaga kesehatan → menentukan hasil konsultasi medis, seperti rasa puas pasien, ketaatan aturan medis, dan akhirnya dengan hasil kesehatannya. Nakes dan pasien mencoba mendapatkan konsensus mengenai rasa sakit/penyakit dan pengobatan. Konsultasi media/psikologis dianggap sebagai proses negosiasi yang melibatkan banyak pihak (nakes, ahli medis, lingkungan sosial), semua pihak memainkan peranan penting dalam negosiasi. Dokter mengumpulkan informasi tentang faktor yang mendasari proses penyakit. Perubahan bentuk diagnosis subjektif → objektif. Contoh: tes darah, swab, radiografi CT scan. ○ Tradisional: mendengarkan gejala pasien dan bagaimana mereka mengembangkan dan kemudian mencari tanda fisik yang objektif. ○ Modern: menggunakan teknologi untuk menentukan diagnosis dengan cara mengumpulkan dan mengukur fakta klinis. Ketidakpuasan dalam komunikasi Faktor kepuasan konsultasi adalah komunikasi. Keluhan ketidakpuasan terbesar adalah jumlah dan jenis informasi yang diterima. Kepuasan komunikasi sangat berhubungan dengan kepuasan pada aspek lain. Informasi saja tidak cukup, pasien perlu diberi paham mengenai cara. Alasan ketidakpuasan komunikasi dengan sumber bantuan a. Ciri-ciri dokter: tidak mendengarkan pasien (doctor centered), menggunakan banyak istilah sulit, tidak menanggapi pasien secara serius. b. Ciri-ciri pasien: kecemasan, inteligensi, pengalaman terhadap penyakit, mengacuhkan dokter, meminta dengan tegas intervensi tertentu, mengkritik dokter c. Ciri-ciri interaksi antara keduanya: terjadi komunikasi dua arah yang buruk Pengertian pasien Pengertian pasien tentang apa yang dikatakan dokter juga merupakan variable penting. Kondisi ini tergantung pada keseganan untuk mengajukan pertanyaan, pengertian istilah medis, dan pengetahuannya. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa : a. Pasien sering tidak tahu apa arti kata-kata yang digunakan b. Pasien mempunyai gagasan sendiri c. Pasien sering gagal untuk mengerti apa yang diberitahukan kepada mereka d. Pasien enggan bertanya meskipun ingin sekali memperolehnya Memory pasien Pasien sering lupa sebagian hal yg diberitahukan Waktu yang terlalu lama antara pemberian petunjuk dan pengingatan informasi Tidak ada hubungan antara umur dan kemampuan mengingat seorang pasien Kesulitan interaksi nakes – pasien: kurang arus balik, dokter jarang mengetahui apakah informasi diterima oleh pasien atau tidak, pasien mungkin sembuh, meninggal, atau berpindah dokter. Ketidakpuasan konsultasi menyebabkan pasien menghindari pelayanan medis dan ketidaktaatan. Kepatuhan: tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain. Ketidaktaatan: masalah medis berat yang memiliki konsekuensi berbahaya yang bisa timbul bila kontrol penyakit buruk. Ongkos medis tambahan karena ketidaktaatan sangat tinggi. Ketidaktaatan kreatif: Ketika pasien mengubah dan menambah cara pengobatan yang dianjurkan dokter. Faktor ketidakpatuhan a. Ciri-ciri rasa sakit dan ciri-ciri pengobatan b. Komunikasi antara pasien dan dokter c. Persepsi dan pengharapan para pasien d. Variabel-variable sosial e. Ciri-ciri individual Meningkatkan kepatuhan a. Memperbaiki komunikasi dokter – pasien. Dominasi dokter dapat menanamkan ketaatan. b. Dukungan sosial, jika dokter mampu menjalin komunikasi dengan keluarga pasien c. Pendekatan perilaku: i. Pengelolaan diri ii. Pengingat iii. Penguatan iv. Pengawasan v. Meningkatkan keterlibatan orang tua HIV, AIDS, CANCER DAN KONSEKUENSI PSIKOLOGIS KANKER Human Immunodeficiency Virus (HIV): virus yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh dan dapat menurunkan/merusak fungsi tubuh pasien yang terinfeksi (Sarafino, 2017). HIV rapuh hanya dapat bertahan dalam kondisi yang terbatas. Infeksi bersifat progresif → sistem kekebalan tubuh tidak dapat lagi mengatasi infeksi, semakin hari semakin berkembang memicu berbagai penyakit sebagai akibat infeksi oportunistik karena lemahnya kekebalan tubuh. Memiliki empat tahapan yang memunculkan gejala berbeda pada individu terinfeksi. Tahap akhir = AIDS (kemampuan tubuh untuk melawan virus sudah hilang). Tingkat lanjut infeksi HIV → sejumlah sindrom yang disebut Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS): salah satu penyakit kategori kronis yang muncul setelah HIV masuk dan menguasai tubuh pasien (Sarafino, 2017). Dampak 1. Dampak fisik: mudah lelah, batuk berkepanjangan, muncul pembengkakan kelenjar getah bening, dan beberapa jenis kanker, tbc, hepatitis. Badan pasien jadi kurus. 2. Dampak psikologis: - Ketika menerima informasi dirinya terinfeksi HIV → perasaan tertekan yang kuat dalam diri, yang dapat saja ditampilkan dalam bentuk denial, menolak atau menyangkal bahwa ia telah terinfeksi HIV sekalipun ada data-data pemeriksaan fisik dari dokter. - Rasa takut tidak dapat sembuh. Kemungkinan kematian sebagai akibat dari kerja virus membuat pasien menjadi terokupasi pada sakit/penyakit yang ia alami sehingga kondisi tertekan atau stres ini menjadi terus meningkat dari hari ke hari dan berujung pada terhambatnya keberfungsian sehari-hari. - Perasaan tertekan atau stress ini melemahkan daya tahan tubuh. - Stres dalam diri pasien kemudian akan semakin meningkat ketika pasien mendapat stigma negatif dan pengucilan dari pihak keluarga maupun masyarakat sekitar (Sarafino, 2017). - Gangguan kecemasan → terlebih pasien tanpa dukungan sosial significant others - Merasa sendiri → stigma HIV kutukan akibat dosa Penularan HIV dapat mengenai siapa saja, tetapi penularan tidak demikian mudah. HIV ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh (melalui selaput lendir) dari orang yang terinfeksi, seperti dari mulut, darah, ASI (Air Susu Ibu), semen, dan cairan vagina. Ditularkan oleh ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan. Tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan, atau air (WHO, 2021). Tidak dapat masuk ke tubuh jika kulit masih utuh, tetapi dapat mudah masuk melalui luka terbuka. Tranmisi AIDS Diantara pengguna drugs dengan berbagi/berganti memakai alat yang sama. Diantara homoseksual dengan praktek hubungan seksual apalagi melalui anal, tanpa kondom. Diantara populasi heteroseksual, via vaginal intercourse, dimana perempuan lebih berisiko daripada laki-laki. Sexual partner yang lebih dari satu dan atau dengan pasangan seksual yg sudah menyandang AIDS. Intervensi pengurangan penyebaran AIDS Education: pada target populasi yang berisiko, memberikan informasi tentang AIDS dan model-model transmisinya. Targeting Sexual Activity: hal ini menyangkut aspek pribadi seseorang sehingga pengetahuan tentang bagaimana menerapkan safe sex cukup penting. Keterampilan negosiasi seksual. Kanker Penyebab kematian kedua di dunia. Satu dari tiga meninggal akibat kanker disebabkan oleh kebiasaan hidup yang tidak sehat (konsumsi tembakau, obesitas, alkholisme, rendahnya asupan buah dan sayur dan rendahnya aktivitas fisik). Kementerian Kesehatan RI (2005) kanker → penyakit yang timbul akibat pertumbuhan abnormal sel di dalam jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pada pasien kanker terdapat kesalahan sistem pembelahan sel sehingga terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dengan tingkat pertumbuhan yang terus menerus, tidak terkontrol, dapat berubah bentuk serta menyebar ke organ lainnya atau disebut metastase (Otto, 2015). Nafsu Makan Seseorang yang divonis kanker biasanya akan mengalami ketakutan, kecemasan, dan stres sehingga merangsang tubuh menghasilkan hormon katekolami, yaitu hormon yang dapat menyebabkan penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan → menyebabkan penurunan berat badan secara drastis yang berujung pada kejadian kaheksia, yakni ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh (Uripi, 2002). Makanan mempunyai peran penting sejak pasien kanker didiagnosis, pelaksanaan pengobatan, sampai penyembuhan. Pada pasien kanker, kebutuhan gizi meningkat akibat proses kegananasan sel kanker. Selain itu, pengobatan dengan pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi akan lebih berguna jika pasien dalam status gizi yang baik (Uripi, 2002) Tekanan psikologis Tekanan psikologis sangat erat kaitannya dengan pasien kanker. Beberapa penelitian menemukan peningkatan resiko depresi dan kecemasan akan dialami oleh pasien dengan diagnosa kanker daripada pasien diagnosa nonkanker. Menyebabkan terjadinya peningkatan penggunaan obat psikotropika pada pasien kanker. Beragam emosional yang muncul saat pasien didiagnosis kanker, perasaan terkejut dan tidak percaya, takut, cemas, marah, putus asa, perubahan mood tidak stabil, merasa bersalah, dan menarik diri Penanganan psikologis kanker Individual psychotherapy: ○ Kecemasan, depresi, pikiran bunuh diri, disfungsi sistem saraf pusat sehingga mereka kesulitan konsentrasi ○ Masalah khusus yang muncul sebagai konsekuensi penyakit mereka, seperti dinamika keluarga, masalah psikologis lainnya yang telah ada sebelumnya dan telah berbaur dengan kondisi kanker. Family Therapy: dukungan emosional dari keluarga Group Intervention: penting untuk memberikan informasi & konseling pada pasien. Support Group: self-help group for emotional cancer Mengukur status kesehatan: alat ukur mengeksplorasi perasaan/pikiran/perilaku subjek. Proses ini melibatkan keyakinan yang sangat besar bahwa alat ukur ini benar-benar mengukur sesuatu. Pengukuran (bagaimana mengetahui hal ini?) → apa yang diukur ‘hanya’ skor dari hasil alat ukur. Misalnya, skala depresi tidak menilai ‘depresi’ tetapi hanya skor pada skala. Alat ukur kualitas hidup → skala kualitas hidup tidak menilai kualitas hidup tetapi hanya bagaimana seseorang mengisi kuesioner. WHOQOL-BREF: pertanyaan menyangkut perasaan terhadap kualitas hidup, kesehatan dan hal-hal lain dalam hidup. Integrasi individu dengan konteks sosial Psikologi secara tradisional → studi tentang individu. Sosiologi secara tradisional → studi dari konteks sosial. Psikologi kesehatan bergerak untuk mengintegrasikan individu dengan dunia sosialnya → beralih ke epidemiologi sosial (ex: ekplorasi kelas, gender, etnis). Psikologi sosial (yaitu beralih ke norma subjektif) atau konstruksionisme sosial (yaitu beralih ke metode kualitatif). Data dikumpulkan untuk mengembangkan teori → psikolog kesehatan mengumpulkan data dan mengembangkan teori tentang individu. Misalnya, teori tentang merokok, makan, stres dan nyeri. Asumsi dalam psikologi kesehatan Ada banyak asumsi yang mendasari disiplin ilmu psikologi kesehatan. Memahami asumsi-asumsi ini memberikan dasar yang lebih perspektif kritis pada penelitian. Temuan dari penelitian tidak diterima begitu saja dan teori dapat dilihat dalam keterbatasan inheren mereka. Asumsi-asumsi ini memberikan dasar untuk penelitian-penelitian tentang bagaimana suatu disiplin ilmu berubah. Penelitian dapat memberikan wawasan tentang bagaimana fokus bahwa disiplin (individu) juga telah berubah.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser