Kesimpulan: Apakah Media Sosial Benar-benar Berdampak? PDF

Summary

Presentasi ini membahas dampak media sosial terhadap partisipasi politik. Penulis menganalisis bagaimana media sosial memfasilitasi pertukaran informasi, dan membentuk efektivitas gerakan politik. Ia membahas teori-teori dan konsep-konsep yang relevan seperti cost-benefit analysis, dan identifikasi sosial serta kemarahan moral dalam konteks partisipasi politik.

Full Transcript

Kesimpulan: Apakah Media Sosial Benar-benar Berdampak? Dr. Fajar Ajie Setiawan Jost, J. T., et al. (2018). How Social Media Facilitates Political Protest: Information, Motivation, and Social Networks. Political Psychology, 39(S1), 85–118. https://doi.org/10.1111/pops.12478 : Bera...

Kesimpulan: Apakah Media Sosial Benar-benar Berdampak? Dr. Fajar Ajie Setiawan Jost, J. T., et al. (2018). How Social Media Facilitates Political Protest: Information, Motivation, and Social Networks. Political Psychology, 39(S1), 85–118. https://doi.org/10.1111/pops.12478 : Beranjak dari sebuah research puzzle: ○ “Apakah klaim bahwa sosial media memiliki pengaruh terhadap partisipasi politik benar terjadi?” Hipotesis dan argumentasi: ○ Platform media sosial memfasilitasi pertukaran informasi. Cost-benefit analysis Memberikan informasi yang berguna bagi aktor ○ Platform media sosial sebagai sarana komunikasi mengkomunikasikan tema-tema yang menggugah emosi dan memotivasi. Sarana moral outrage, identifikasi sosial, dan pembentukan efektivitas gerakan ○ Struktur jaringan media sosial mempunyai implikasi penting namun implisit terhadap komunikasi politik, organisasi, dan mobilisasi Pertumbuhan protes sosial di “periferi” gerakan Sebaran kontekstual dan ideologis dalam struktur jaringan sosial ○ Signifikansi politik dari jaringan “followers” atau “friends” Cost-benefit Analysis Bagi kalangan rasionalis, sosial media diduga juga memiliki permasalahan ‘free-rider’  Tragedy of the commons ○ “Mengapa ada orang yang memilih untuk melakukan protes jika keberhasilan gerakan ini tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya seorang pengunjuk rasa?” Collective actions Permasalahan free-rider ini berangkat dari kerangka pemikiran cost- benefit analysis  ○ Setiap individu punya ‘ambang batas bayangan’ terkait partisipasinya. ○ Jika jumlah orang yang melakukan protes berada di bawah ambang batas tersebut, maka potensi dampak buruk dari protes tersebut (dibandingkan dengan kemungkinan keberhasilannya) akan membuat orang tersebut enggan berpartisipasi. Ketika jumlah pengunjuk rasa lainnya melebihi ambang batas partisipasi individu, maka dia akan bergabung dalam protes tersebut. Dengan demikian, dari perspektif cost-benefit analysis, kemungkinan munculnya hipotesis bahwa: ○ “Penggunaan media sosial kemungkinan besar akan mempengaruhi perilaku politik dengan mengubah kualitas Namun, dan/atau kuantitasdalam kondisi yang informasi tertentu, informasi diterima olehyang disebarkan setiap warga melalui media sosial justru negara.” dapat mengurangi partisipasi dengan meningkatkan persepsi biaya partisipasi (cost). Misalnya: ○ Ancaman kekerasan aparat keamanan ○ Ancaman doxxing, penyusupan provokator, sanksi dari universitas/tempat kerja, dsb. Memberikan informasi yang berguna bagi pelaku Banyak pengamat berpendapat bahwa media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi dasar ○ Bagi pengamat yang skeptis, mereka menunjukkan kurangnya bukti perilaku konkrit yang menunjukkan bahwa keterlibatan warga di dunia maya secara langsung mempengaruhi kejadian di dunia nyata ○ Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan media sosial bukanlah suatu hal yang perlu dan tidak cukup untuk menimbulkan protes  berangkat dari pengalaman Moldova  Bagaimana dengan pengalaman Indonesia? ○ Pengalaman yang sama juga ditemukan di Pemilu 2009 di Iran  Akan tetapi, rezim Iran menggunakan platform jaringan sosial yang sama untuk mengidentifikasi aktivis oposisi dan memobilisasi pendukung rezim  pada konteks Indonesia, fenomena “BuzzerRp” untuk menghambat partisipasi politik dengan mempermudah pemerintah mengganggu aktivitas oposisi Sarana moral outrage, identifikasi sosial, dan pembentukan efektivitas gerakan Model-model analisis psikologi sosial menekankan pada faktor-faktor berikut: ○ kemarahan atas ketidakadilan yang dirasakan ○ identifikasi sosial, yaitu rasa memiliki yang kuat terhadap kelompok dan kepentingan bersama ○ keyakinan tentang efektivitas atau pemberdayaan kelompok—keyakinan bahwa gerakan ini lebih mungkin mencapai berhasil daripada kegagalan. Faktor-faktor psikologis sosial ini—kemarahan moral, identifikasi sosial, dan keberhasilan kelompok— mempengaruhi keinginan atau motivasi individu untuk berpartisipasi dalam protes. The “how”  bagaimana melihat sebuah posting memiliki nilai sentimental ○ van Zomeren dkk. (2012) menggambarkan calon pengunjuk rasa sebagai “passionate economist,” karena mereka didorong oleh faktor emosional (seperti perasaan tidak adil dan marah) serta pertimbangan yang lebih instrumental seperti penghitungan biaya dan manfaat serta persepsi kemanjuran kelompok. Bagaimana Struktur Jaringan Sosial Mempengaruhi Pertukaran Informasi Jurnalis Malcolm Gladwell (2010) berpendapat bahwa jenis jaringan sosial yang difasilitasi oleh Twitter atau Facebook melibatkan ikatan SLACKTIVISM: sosial yang “lemah” (bukan “kuat”) dan oleh karena itu kecil kemungkinannya untuk memotivasi komitmen dan pengorbanan tindakan berpartisipasi dalam yang diperlukan untuk mempertahankan sebuah gerakan protes  aktivitas yang jelas-jelas tidak ada berkaca pada gerakan-gerakan sosial politik di Indonesia seperti gunanya sebagai alternatif #WadasMelawan, #ReformasiDikorupsi, dsb., bagaimana? daripada benar-benar ○ Gladwell menyamakan gerakan di media sosial dengan mengerahkan upaya untuk “Slacktivism”, namun ancaman mereka sangat kecil terhadap memperbaiki suatu masalah rezim politik yang ada  Why, then, government spend budgets for buzzers, misinformations, doxxing practices, etc.? Barbera dkk. (2015) mengeksplorasi kemungkinan bahwa, melalui penggunaan media sosial, anggota gerakan sosial perifer—yang kadang-kadang dicemooh sebagai “slacktivists” ini—memainkan peran penting namun kurang dihargai dalam penyebaran pesan informasi dan motivasi. ○ Barbera dkk. (2015) menyimpulkan bahwa kelompok minoritas di sosial media (periferi) mungkin merupakan “jantung” gerakan protes. Namun demikian, keberhasilan mereka dalam mengamplifikasi pesan protes secara online bergantung pada kemampuan mereka untuk mengaktifkan “pinggiran kritis” ini (kaitan dengan pengguna lain)

Use Quizgecko on...
Browser
Browser