Pengaruh Media Sosial Terhadap Partisipasi Politik

Analisis cost-benefit merupakan kerangka pemikiran yang mempertimbangkan apakah potensi bahaya atau keuntungan dari sebuah tindakan lebih besar dalam menentukan pilihan seseorang.

Fenomena 'Tragedy of the Commons' terjadi ketika sumber daya bersama (misalnya media sosial) digunakan secara berlebihan oleh individu demi kepentingannya sendiri, sehingga akhirnya merugikan semua orang.

Permasalahan 'free-rider' terjadi ketika seseorang mendapatkan keuntungan dari aksi kolektif tanpa memberikan kontribusi apa pun. Misalnya, bergabung dalam protes tapi tidak ikut turun ke jalan.

Ambang batas bayangan adalah batas toleransi seseorang untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif. Orang akan berpartisipasi jika jumlah orang yang berpartisipasi sudah cukup tinggi dan melampaui ambang batas mereka.

Sosial media seperti 'Facebook' dan 'Twitter' memfasilitasi pertukaran informasi yang cepat dan efisien, yang membantu individu memahami isu dan membangun opini.

Sosial media dapat mengkomunikasikan isu-isu emosional dalam bentuk pesan atau konten yang mampu memicu kemarahan, empati, dan solidaritas.

Struktur jaringan sosial media memiliki pengaruh terhadap komunikasi politik, gerakan sosial, dan mobilisasi massa. Misalnya, jaringan 'followers' atau 'friends' dapat meningkatkan jangkauan pesan.

Pertumbuhan protes sosial di 'periferi' gerakan menunjukkan bahwa media sosial dapat membantu memperluas jangkauan dan keberhasilan gerakan sosial.

Analisis cost-benefit dalam konteks media sosial meneliti bagaimana efektivitas media sosial ditimbang dengan risiko yang dihadapi pengguna, terutama terkait partisipasi politik.

Media sosial dapat menyebarkan informasi yang dapat meningkatkan kesadaran politik dan mobilisasi warga. Namun, disinformasi dan ancaman di media sosial dapat meningkatkan persepsi biaya partisipasi.

Ketakutan terhadap kekerasan, doxing, penyusupan, dan sanksi dari institusi dapat mengurangi partisipasi politik di media sosial karena persepsi biaya yang tinggi.

Pengalaman di Moldova dan Iran menunjukkan bahwa media sosial tidak selalu berdampak besar pada demonstrasi. Namun, dapat digunakan oleh rezim untuk mengidentifikasi dan melawan aktivis.

Fenomena

Ketidakadilan yang dirasakan, rasa memiliki terhadap kelompok, dan keyakinan dalam efektivitas gerakan merupakan faktor psikologis yang mendorong partisipasi dalam protes.

Kemarahan moral, identifikasi sosial, dan keyakinan tentang efektivitas gerakan mempengaruhi motivasi seseorang untuk berpartisipasi dalam protes.

Identifikasi sosial merujuk pada rasa kuat terhadap kelompok dan tujuan bersama yang dapat mendorong partisipasi dalam protes.

Para aktivis yang didorong oleh perasaan ketidakadilan dan marah, tetapi juga mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari tindakan mereka, seperti dalam protes, disebut "ekonomis yang bersemangat".

Jaringan sosial yang tercipta melalui media sosial, seperti Twitter dan Facebook, cenderung melibatkan ikatan sosial yang lemah, yang mungkin tidak cukup kuat untuk mendorong komitmen dan pengorbanan yang tinggi.

Slacktivism adalah tindakan berpartisipasi dalam suatu gerakan, seperti bergabung dengan petisi online atau membagikan informasi di media sosial, namun tidak ada usaha nyata untuk mengubah situasi.

Meskipun Slacktivism sering dianggap sebagai aktivitas yang tidak efektif, penelitian menunjukkan bahwa anggota kelompok minoritas di media sosial dapat berperan penting dalam menyebarkan pesan dan memotivasi gerakan sosial.

Kata "pinggiran kritis" mengacu pada pengguna media sosial yang penting dalam mengamplifikasi pesan gerakan sosial, karena mereka menghubungkan kelompok minoritas dengan pengguna lainnya.

Barbera dkk. (2015) berpendapat bahwa kelompok minoritas di media sosial dapat menjadi "jantung" gerakan protes, karena mereka mampu menyebarkan informasi dan memicu gerakan sosial.

Keberhasilan gerakan sosial di media sosial tergantung pada kemampuan untuk mengaktifkan "pinggiran kritis" yang menghubungkan pengguna dan mengamplifikasi pesan.

Pemerintah menghabiskan anggaran untuk kontra-propaganda karena takut akan pengaruh gerakan sosial online, meskipun sering dianggap sebagai "slacktivism".