Understanding Aggression PDF

Summary

This document explores aggression, examining its origins, types, and social implications. It discusses biological factors, chemical influences, and situational factors that contribute to aggressive behavior. Furthermore, it investigates the relationship between aggression and personality traits, and provides an overview of the Big Five personality model.

Full Transcript

Understanding Aggression Exploring the Origins, Types, and Social Implications Apa itu Agresi? Agresi adalah perilaku yang bertujuan mencelakai atau membuat pihak lain tidak nyaman. Agresi bisa berbentuk fisik, verbal, maupun agresi tidak langsung. Hobbes (1588-1679): kecend...

Understanding Aggression Exploring the Origins, Types, and Social Implications Apa itu Agresi? Agresi adalah perilaku yang bertujuan mencelakai atau membuat pihak lain tidak nyaman. Agresi bisa berbentuk fisik, verbal, maupun agresi tidak langsung. Hobbes (1588-1679): kecenderungan manusia untuk melakukan kekerasan sudah ada sejak lahir, namun kapasitas itu dibatasi oleh norma sosial. Pandangan ini disupport oleh Freud, yang dituangkan dalam buku Civilization and its Discontents (1929). Civilization and its Discontents Ada ketegangan (tensions) antara individu dan masyarakat, yang berasal dari keinginan individu untuk menggapai kebebasan. Hasrat ini dibatasi oleh masyarakat dalam bentuk norma sosial, dimana lingkungan sosial menuntut individu untuk me-repress insting dalam bentuk konformitas. Primitive instincts - desire to kill and the craving for sexual gratification. Hal ini berbahaya untuk kesejahteraan kolektif, maka itu dibuatlah hukum yang mengatur tentang hal tersebut. Darimana Faktor Biologis asalnya Pembunuh berantai memiliki prefrontal cortex yang lebih kecil 14% dari manusia normal (Raine et al, 1998, perilaku 2000, 2008, 2019). Pardini et al, (2014) menambahkan bahwa ukuran amygdala-nya juga lebih kecil. agresif? Faktor situasional - orang yang kurang tidur menunjukkan perilaku yang lebih agresif secara fisik maupun verbal (Chester & Dzierzewski, 2020; Randler & Vollmer, 2013). Smeijers et al (2020) memperlihatkan ada gen MAOA- L yang berhubungan dengan perilaku agresif. Penelitian lainnya (longitudinal) menunjukkan gabungan antara gen MAOA-L dengan trauma masa kecil adalah resep untuk perilaku agresif (Caspi et al., 2002; Moffitt et al., 2003). Darimana Faktor zat kimia ⚬ Alkohol. Konsumsi alkohol berpengaruh positif terhadap asalnya agresivitas, terutama di antara laki-laki (Duke et al, 2018). ⚬ Testosteron. Level testosteron tahanan yang masuk perilaku penjara karena tindak kekerasan (membunuh, memperkosa) lebih tinggi daripada tahanan lain agresif? (vandalisme, korupsi) (Dabbs, 1992; Dabbs et al., 1995, 1997, 2001). ⚬ Pola makan. Partisipan yang mengonsumsi Omega-3 Fatty Acids dilaporkan mengalami penurunan kecenderungan perilaku agresif selama 3 bulan (Raine et al., 2016, 2021). Faktor situasional lain Institusionalisasi (Milgram Experiment). Cuaca panas di atas 32 C menyebabkan tingkat agresivitas menjadi lebih tinggi (Cohn, 1993; Heilmann & Kahn, 2019). Adakah hubungan antara kepribadian dan agresivitas? Agresi berkorelasi negatif (-.33) dengan agreeableness, dan dengan conscientiousness (-.18) (Jones et al., 2011). Psychopathy berkorelasi positif dengan agresivitas (Donnellan & Burt, 2016). Neuroticism berpengaruh positif terhadap agresivitas (Cavalcanti & Pimentel, 2016). Sekilas tentang Big Five Model Lima Faktor (Big Five) adalah teori kepribadian yang menggambarkan kepribadian terdiri dari lima faktor utama (Digman, 2002). Faktor atau karakteristik ini meliputi keterbukaan terhadap pengalaman (O; Openness), ketelitian (C; Conscientiousness), ekstroversi (E; Extroversion), keramahan (A; Agreeableness), dan neurotisme (N; Neuroticism). Disingkat OCEAN. OCEAN Darimana asalnya Para ilmuwan meneliti agresivitas baik dalam setting lab maupun natural, dan penemuannya perilaku agresif? konsisten, bahwa beberapa faktor ini merupakan prediktor utama agresivitas (Myers & Twenge, 2022): Being male Kepribadian agresif Penggunaan alkohol Melihat kekerasan di sekitar Anonimitas Provokasi Kehadiran senjata Interaksi kelompok Lalu bagaimana Orang yang sensitif terhadap rasa jijik cenderung kurang cara mencegah agresif (Pond et al., 2012), menunjukkan bahwa menekankan aspek kekerasan yang menjijikkan dapat perilaku agresif? membantu mencegah agresi. Orang yang melihat aturan moral sebagai sesuatu yang dapat dinegosiasikan (misalnya, setuju, "Menyontek itu tidak apa karena tidak ada yang terluka") cenderung lebih agresif (Gini et al., 2014), menunjukkan bahwa mengajarkan beberapa aturan yang tidak dapat dinegosiasikan ("Tidak pernah boleh memukul," "Menyontek menyakiti semua orang") dapat mengurangi perilaku agresif. Apakah perilaku agresif selalu buruk? Narasi dominan tentang agresivitas - perilaku agresif dimulai ketika self-control seseorang ‘gagal’, impuls untuk berperilaku agresif gagal dibendung oleh self- control. Beberapa cara disarankan untuk mengurangi perilaku agresif, salah satunya dengan cara komunikasi asertif (Thompson & Berenbaum, 2011). Katarsis dan mengeluarkan amarah secara online tidak mengurangi agresivitas, malah menambahnya, dan justru mengurangi happiness (Martin et al., 2013; Myers & Twenge, 2022). David Chester, seorang dosen Virginia Commonwealth University (VCU), dalam artikel terbarunya (2024) berargumen bahwa agresivitas bukanlah hal yang buruk. Aggression As Successful Self- Control Dia mendefinisikan agresi sebagai satu perilaku yang bertujuan menyakiti pihak lain yang tidak mau disakiti (Allen & Anderson, 2017; Chester 2024). Dari pencarian Google Scholar “agresi” dan “self- Aggression As control”, 50 artikel pertama yang keluar, 49 di antaranya menyatakan bahwa agresivitas adalah Successful dampak dari ‘gagal’nya self-control. Self-control memang bisa memfasilitasi agresivitas, namun ada bukti juga yang menunjukkan bahwa beberapa bentuk agresivitas adalah hasil dari self- control yang baik. Self-Control Agresi ada dua jenis, yaitu agresi reaktif dan agresi Mengkaji ulang narasi umum tentang agresi proaktif. Agresi reaktif muncul sebagai ‘reaksi’ dari provokasi. Sementara agresi proaktif adalah perilaku agresif yang ‘dingin’ (tanpa emosi). Pembedaan agresi reaktif dan agresi proaktif bukan pada masalah hadirnya self-control atau tidak. Agresi proaktif menggambarkan ada beberapa perilaku agresif yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Reactive-Proactive Aggression Questionnaire (Raine et al, 2006) - “had a gang fight to be cool”; “used Aggression As force to obtain money or things from others”. Impulsive/Premeditated Aggression Scale (Stanford Successful et al, 2003) - “the act led to power over others or improved social status for me”; “I feel my actions Self-Control were necessary to get what I wanted”. Mengkaji ulang narasi umum tentang agresi when aggression is an acceptable approach to accomplishing the broader goal, then self-control is not required (Milyavskaya & Inzlicht, 2017) Aggression and conscientiousness. Chester & West (2020) menemukan bahwa justru trait yang berkaitan dengan agresi adalah agreeableness dan neuroticism. Schwaba et al (2020), menunjukkan bahwa trait aggression adalah subfaset dari agreeableness, dan Aggression As bukan conscientiousness. Kepribadian psikopat juga ternyata tidak berpengaruh terhadap perilaku agresif, karena psikopat yang ‘sukses’ justru tidak impulsif dan bisa konform dengan baik dalam masyarakat (Lilienfeld Successful et al., 2015). Lapisan gray matter pada ventrolateral prefrontal Self-Control cortex psikopat yang ‘sukses’ justru lebih tebal dari Mengkaji ulang narasi umum tentang agresi orang normal (Lasko et al., 2019). Ventrolateral prefrontal cortex adalah bagian yang bertanggung jawab untuk inhibitory self-control. Banyak perilaku agresif yang muncul sebagai bentuk balas dendam (Anderson & Bushman, 2002). Dalam satu studi, partisipan lebih memilih untuk melakukan balas dendam terencana daripada Kenapa langsung bertindak saat itu (West et al, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa untuk bisa agresivitas merencanakan balas dendam, dibutuhkan self- control yang baik, terutama pada mereka yang lebih butuh self- rentan berperilaku agresif secara fisik (Chester, 2024). control yang Kesimpulannya, menumbuhkan self-control sebagai cara mengurangi perilaku agresif bisa jadi tidak baik? berguna ketika dihadapkan pada pribadi tertentu. Self-control sebagai ‘penahan’ dan ‘pendorong’ Mengkaji ulang narasi umum tentang agresi perilaku agresif membuat kita memikirkan ulang cara memahami konsep pengendalian diri. Referensi Anderson, C.A., & Bushman, B.J. (2002). Human aggression. Annual Review of Psychology. Berkowitz, L. (1993). Aggression: Its causes, consequences, and control. Baron, R.A., & Richardson, D.R. (1994). Human aggression. Hyatt, C. S., Zeichner, A., & Miller, J. D. (2019). Laboratory aggression and personality traits: A meta- analytic review. Psychology of Violence, 9(6), 675. Cavalcanti, J. G., & Pimentel, C. E. (2016). Personality and aggression: A contribution of the General Aggression Model. Estudos de Psicologia (Campinas), 33(3), 443-451. Chester, D. S. (2024). Aggression as successful self‐control. Social and Personality Psychology Compass, 18(2), e12832. Digman, J. M. (2002). Historical antecedents of the five-factor model.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser