Manajemen Pondok Pesantren PDF 2024

Document Details

Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon

2024

Mohamad Azis Ramdhan,Euis Desyafitri

Tags

islamic boarding school management educational management pesantren education

Summary

This document is a research paper on the management of Islamic boarding schools (pesantren) in Indonesia. It delves into the concept of pesantren management, examining its various aspects and practices. The paper is aimed at postgraduate students in educational management and was written in 2024.

Full Transcript

MAKALAH SISTEM MANAJEMEN DAN PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN Makalah ini dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Manajemen Pendidikan Pesantren Dosen Pengampu : Dr. Masduki, M.Ag Disusun Oleh: Mo...

MAKALAH SISTEM MANAJEMEN DAN PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN Makalah ini dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Manajemen Pendidikan Pesantren Dosen Pengampu : Dr. Masduki, M.Ag Disusun Oleh: Mohamad Azis Ramdhan (NIM. 2386010044) Euis Desyafitri (NIM. 2386010052) PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SIBER SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN 2024 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatandan karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah untuk mata kuliah Manajemen Marketing Pendidikan yang berjudul “Sistem Manajemen dan Pengelolaan Pondok Pesantren”. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalah baik dari segi isi maupun format penulisannya. Hal ini karena kemampuan dan pengalaman kami yang masih ada dalam keterbatasan. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun semangat. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi para pembaca dan kami mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman dan kepada Bpk. Dr. Masduki, M.Ag yang selalu memberi arahan agar pembuatan makalah ini bisa terselesaikan dengan baik. Akhir kata kami sampaikan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin. Cirebon, 01 Oktober 2024 i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................................ i DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1 A. Latar Belakang....................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 2 C. Tujuan Masalah..................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 3 A. Pengertian Pesantren.............................................................................................. 3 B. Pengertian Manajemen Pondok Pesantren............................................................. 6 C. Bentuk-bentuk penerapan Manajemen dalam Pondok Pesantren.......................... 7 BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 23 A. Kesimpulan.......................................................................................................... 23 B. Saran.................................................................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam prinsip ajaran Islam segala sesuatu tak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi benar tertib dan teratur dan proses-proses juga harus diikuti dengan tertib. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda yang artinya “Sesungguh Allah sangat mencintati orang yg jika melakukan sesuatu pekerjaan dilakukan secara Itqan (tepat terarah jelas dan tuntas)”. (HR Thabrani). Pondok pesantren merupakan suatu lembaga yang berbasiskan pada kesatuan keagamaan sekaligus berbasiskan pendidikan. Pondok pesantren bisa menjadi “social agent” yang bagus untuk membantu pemerintah dalam perbaikan sektor ekonomi,budaya dan sosial masyarakat, tapi dengan satu syarat bahwa secara organisasional pondok pesantren harus mau untuk berubah, baik dan secara kultur, cara pendekatan dan aspek- aspek manajemen. Di dalam pondok pesantren sendiri terdapat empat unsur pembangun yaitu: ustadz, santri, kitab, dan masjid. Setiap komponen tersebut masing-masing mempunyai peran yang berbeda-beda. Untuk mencetak generasi penerus yang cerdas dan berakhlaq mulia diperlukan pendidikan yang menyeluruh, dalam arti mencakup semua potensi baik dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mengkombinasikan ketiga aspek tersebut, tidak hanya menekankan aspek kecerdasan kognitif semata, akan tetapi juga menekankan pada aspek afektif dan psikomotor, yaitu dengan mengajarkan nilai – nilai dan norma yang sesuai dengan syariat Islam serta membekali para santri dengan ketrampilan – ketrampilan yang berguna bagi kehidupan sehari – hari. Maka dari itu, dalam rangka menjadi menjadi pondok pesantren yang ideal, perlu diadakan manajemen pengelolaan serta pengembangan podok pesantren tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud Pesantren? 2. Apa yang dimaksud Manajemen Pondok Pesantren ? 3. Apa saja bentuk penerapan manajemen di Pondok Pesantren ? C. Tujuan Masalah 1. Mengetahui apa yang dimaksud Pesantren 2. Mengetahui apa yang dimaksud Manajemen Pondok Pesantren 3. Mengetahui apa saja bentuk penerapan Manajemen di Pondok Pesantren 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pondok Pesantren Satu-satunya institusi atau lembaga pendidikan Islam yang lahir dari wilayah kebudayaan Nusantara adalah pondok pesantren. Keberadaan pesantren pada akhirnya tidak dapat dipisahkan dari wacana sosial intelektual di Indonesia. Pesantren menempati posisi sebagai model sistem sosial sekaligus sebagai sistem intelektual yang pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaan pesantren mengilhami model dan sistem-sistem pendidikan yang ditemukan saat ini. Uniknya, keberadaan pesantren tidak lekang karena panas dan tidak lapuk sejalan dengan pergantian zaman termasuk di dalamnya segala konsekwensi perubahan dan progresifitasnya. Tidak mengherankan jika pada akhirnya pondok pesantren manjadi objek kajian oleh para peneliti dan pakar dari berbagai belahan dunia. Adapun beberapa hal menarik yang menjadi pusat perhatian para peneliti pondok pesantren adalah modelnya, sifat ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren tersebut. Selain itu, sisi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kiyai dan santri, serta keadaan fisik yang serba sederhana, menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang “berhak” untuk terus dikaji. Hal tersebut akan semakin menarik, ketika melihat peran dan kiprah pondok pesantren bagi masyarakat, negara dan umat manusia, khususnya di Indonesia. Memperhatikan pentingnya pondok pesantren dalam ruang lingkup pendidikan Islam di Indonesia, maka terlebih dalu pada bagian ini peneliti akan mendeskripsikan terminologi dan definisi pondok pesantren. Pada dasarnya, konsep tentang pondok pesantren sudah dikenal sejak zaman dulu. Sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional, keberadaan pondok pesantren identik dengan seorang pemimpin yang kharismatik dan biasa di sebut dengan kiyai. Oleh sebab itu, ketika membicarakan pondok pesantren, termasuk di dalamnya tentang pengertiannya, maka disitu akan terdapat berbagai macam terminologi dan definisi yang berbeda. Jika ditelusuri, pengertian pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti seseorang yang belajar agama Islam. Kemudian, kata santri tersebut mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang menunjukkan tempat, yaitu tempat tinggal santri. Dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. (Hanun Asrohah, 2004 : 30) Secara etimologi definsi pesantren sendiri memiliki makna yang luas. Hal ini menandakan bahwa dari segi bahasa bahwa kata pesantren dapat diidentikkan sebagai 3 istilah yang lahir dari rahim keragaman budaya nusantara. Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan akan lebih lengkap jika pesantren dikaji dari perspektif terminologi yang dikemukakan oleh bebarapa orang yang expert. Antara lain menurut Mastuhu, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari- hari.(Mastuhu, 1994 : 5) Sedangkan menurut Mujamil mengutip dari H.M. Arifin, pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan model asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajaran atau madrasah sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang Kiyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independent dalam segala hal.(Mujamil Qomar, 2005 : 2) Sementara itu, M. Dawam Rahardjo mengatakan bahwa pesantren adalah “suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu agama Islam”.(Dawam Raharjo, 1988 : 2) Membincangkan pesantren, Husein Nasr berpendapat sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, bahwa: pesantren merupakan sebutan bagi dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren merupakan dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama (kiyai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.(Jamaludin Malik, 2025 :109) Adapun menurut Manfried Ziemek, pesantren merupakan lembaga multi-fungsional yang tidak hanya berkutat dan berkecimpung bagi perkembangan pendidikan Islam semata, namun juga sangat berperan bagi kemajuan pembangunan lingkungan sekitar. Bahkan ia menyarankan perlu dilakukan kajian secara terpisah antara fungsi pendidikan keagamaan pesantren dan fungsi pembangunan lingkungan. (Manfred Ziemek, 1986 : 96) Sementara itu, jika didasarkan pada hasil penelitian M. Yacub (1985 : 12-13) di ketahui bahwa pesantren memiliki peran yang sangat komprehensif. Yakni, selain menjalankan tugas utama pendidikannya, juga terlibat langsung dalam kegiatan pembangunan dan pemberdayaan khususnya pada masyarakat desa. Pembangunan yang meliputi bidang sosial, ekonomi, teknologi dan ekologi, beberapa pesantren telah turut mengangkat kehidupan masyarakat sekitarnya. Bahkan pesantren dengan ketokohan kiyai dapat mempengaruhi lembaga desa. Melihat begitu luasnya definisi pesantren dari sudut terminologi yang telah 4 dikemukakan oleh para ahli, maka secara definitif tidaklah ada batasan-batasan yang tegas dan baku. Namun yang ada hanyalah fleksibilitas definisi dan pengertian dengan ciri-ciri yang memberikan pengertian pesantren itu sendiri. Dengan demikian, pesantren belum memiliki pengertian yang lebih konkrit dan seragam antara satu pakar dengan pakar yang lain karena harus mencakup dan mengungkapkan unsurunsur lain namun saling melengkapi tentang makna pesantren secara komprehensif. Namun demikian, pesantren jika ditinjau dari perspektif lembaga pendidikan eksistensi keberadaannya sejak awal hingga sekarang patut diapresiasi karena mampu menawarkan pendidikan kepada mereka yang masih buta huruf. Pesantren juga menjadi instistusi satu-satunya yang menjadi milik masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi besar dalam membentuk masyarakat melek huruf (literacy) dan melek budaya (cultural literacy). Kontribusi pesantren dalam sistem pendidikan di Indonesia, antara lain: (1) melestarikan dan melanjutkan sistem pendidikan rakyat; (2) mengubah sistem pendidikan aristokratis menjadi sistem pendidikan demokratis.(Jalaludin, 1990 : 9) Sementara itu, sejak kebermunculan pesantren di Indonesia terdapat istilah yang sangat populer mengiringi kata pesantren itu sendiri, yaitu kata “pondok”. Sehingga kata “pesantren” akrab disebut dengan pondok pesantren. Ibarat kedua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan—kata pondok melekat dan menjadi bagian dari unsur yang ada dalam pesantren itu sendiri. Berbeda dengan Kuntowijoyo, ia tidak sepakat dengan penggunaan gabungan kedua istilah secara integral, yakni “pondok” dan “pesantren” menjadi pondok pesantren. Menurut Kuntowijoyo hal ini dianggap kurang jami’māni (singkat-padat). Selagi pengertiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, maka istilah pesantren lebih tepat digunakan untuk menggantikan pondok dan pondok pesantren. Lembaga Research Islam (Pesantren luhur) dalam Kuntowijoyo mendefinisikan pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.(Kuntowijoyo, 1991 : 247). Meskipun demikian dalam konteks pesantren, pondok merupakan ruang tidur atau asrama sederhana karena memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Dengan demikian, istilah pondok pesantren dapat peneliti artikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiyai atau guru ngaji, biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya. Seiring perkembangannya, pondok-pondok tersebut tidak lagi terbuat 5 dari bahan-bahan yang sederhana, seperti bambu, namun sudah berupa gedung-gedung yang sangat representatif untuk belajar. B. Pengertian Manajemen Pondok Pesantren Sebelum membahas tentang pengertian manajemen pondok pesantren, maka kita harus tahu dulu apa itu manajemen dan apa itu pesantren. Kata “manajemen” berasal dari bahasa Inggris yaitu management yang dikembangkan dari kata to manage, yang artinya mengatur atau mengelola. Kata manage itu sendiri berasal dari Italia Maneggio yang diadopsi dari bahasa latin managiare, yang berasal dari kata manus yang artinya tangan. Adapun pengertian Manajemen menurut M. Manulang terkandung pada tiga arti, yaitu : Pertama, Manajemen suatu proses. Kedua, Manajemen sebagai kolektifitas orang - orang yang melakukan aktifitas manajemen. Ketiga, Manajemen sebagai suatu seni (art) dan sebagai suatu ilmu. Sedangkan pesantren yaitu berasal dari kata santri yang mendapat awalam pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri Prof. Jons berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti menjadi guru. Secara umum pesantren atau pondok didefinisikan sebagai “lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai sentral figurnya dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya.” Maka Manajemen Pondok Pesantren adalah suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien.” Jadi, manajemen pesantren merupakan bagian dari pendidikan Islam sehingga dapat manajemen pesantren sejalan dengan manajemen pendidikan Islam. Sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat dengan figure kyai. Kyai dalam pesantren merupakan figure pesantren sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Hal ini erat kaitanya denggan dua faktor : Pertama, kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar pada karisma serta hubungan yang bersifat patemalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola mono manjemen dan mono administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenanggan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi. Kedua, kepemilikan pesantren bersifat individual atau keluarga bukan komunal. Otoritas individu kyai sebagai pendiri skaligus pengasuh pesantren sanggat besar dan tidak bisa di ganggu gugat. Faktor nasab atau keturnan juga kuat sehingga kyai bisa mewariskan kepemimpinan pesantren kepada anak ( istilahnya putra mahkota) yang di percaya pada komponen pesantren yang berani memprotes. Sistem seperti ini kerap kali 6 menggundang sindiran bahwa pesantren seperti kerajaan kecil. C. Bentuk-bentuk Penerapan Manajemen dalam Pondok Pesantren 1. Manajemen Sumber Daya Manusia di Pondok Pesantren Dalam menghadapi dan menjawab tuntutan perkembangan zaman, pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang didalamnya menyediakan jasa pendidikan bagi masyarakat. Dalam menjawab semua tuntutan tersebut, maka pondok pesantren sudah semestinya memerlukan pengembangan dan perubahan pengelolaan yang berorentasi masa depan yang kompetitif. Adapun salah satu kata kunci (keyword) yang dapat digunakan untuk menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu menjawab segala tuntutan zaman adalah dengan cara membenahi manajemen sumber daya manusia. Secara terpisah, A. Sihotang memaknai sumber daya manusia (SDM) sebagai berikut (A Sihotang, 2007 : 8) : 1) Sumber daya manusia adalah manusia yang mengandung pengertian usaha kerja yang dapat disumbangkan dalam proses produksi yaitu sumber daya manusia yang mampu bekerja untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat umum. 2) Sumber daya manusia mengandung pengertian tenaga manajerial atau faktor dispositif yang dimaksudkan dari sumber daya manusia itu. Adapun faktor- faktor dispositif yang dimaksudkan dari sumber daya manusia itu meliputi: (a) Kepemimpinan untuk berprestasi; (b) Perencanaan kegiatan berprestasi; (c) Pengendalian kegiatan produksi Apa yang telah dikemukakan oleh Sihotang tersebut di atas, dapat penulis garis bawahi, jika sumber daya manusia merupakan kekuatan dan kekayaan yang dimiliki manusia sebagai penunjang dalam proses pembangunan, baik sebagai produsen yang dikembangkan untuk menaikkan produktivitas dan juga sebagai manusia yang diberi ruang sosial, ekonomi dan politik untuk mengembangkan diri secara utuh. Oleh sebab itu, SDM merupakan faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibentuk berbagai visi dan misi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaannya misi diurus dan dikelola oleh manusia. Namun demikian, dalam sebuah organisasi/lembaga pendidikan sangat dibutuhkan sebuah manajemen sumber daya manusia. Pondok pesantren dapat dikatakan sebagai “bapak” dari pendidikan Islam di 7 Indonesia. Oleh sebab itu, mestinya pesantren didirikan selaras dengan adanya tuntutan dan kebutuhan jaman. Jika kita lihat dari perjalanan sejarah, bila dirunut kembali sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama (da’i).(Hasbullah, 1999 : 138) Oleh sebab itu, pengelola pesantren harus mempersiapkan MSDM untuk mendukungnya. Namun sebelumnya, pengelola pondok pesantren harus mengetahui prinsip-prinsip dalam MSDM. Adapun prinsip dasar MSDM menurut Hasbullah meliputi beberapa hal, yaitu: 1) Dalam pengembangan suatu lembaga pendidikan baik sekolah/ madrasah/pesantren, sumber daya manusia adalah komponen paling penting dalam menunjang berlangsungnya kegiatan, baik pendidikan maupun keorganisasian lembaga. 2) Sumber daya manusia akan berperan secara optimal, jika dikelola dengan baik, sehingga menunjang tercapainya tujuan dari lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan. 3) Kultur dan suasana organisasi lembaga pendidikan serta perilaku manajerialnya sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan pengembangan sekolah/madrasah atau pesantren. 4) Manajemen personalia di sekolah/madrasah, pesantren pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga (guru, ustadz, staf administrasi, peserta didik, orang tua) dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah, madrasah, pesantren Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar MSDM, pondok pesantren akan mampu membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar strategis yang proaktif dan antisipatif, dengan mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar- benar diyakini untuk terus dipelihara serta dikembangkan. Apalagi dalam kehidupan yang modern sekarang.(M Ziemek, 1986 : 107-108) Atas dasar inilah, maka sistem pendidikan pesantren yang jelas akan melahirkan pemikiran, karya intelektual dan ketrampilan kreatif sebagai jawaban terhadap problem masyarakat serta mampu memberikan arah perubahan yang berorientasi masa depan sehingga menghasilkan sebuah format pendidikan pesantren yang diharapkan relevan dengan tuntutan era globalisasi. Fungsi manajemen sumber daya manusia (MSDM) terdiri atas dua fungsi, 8 yaitu fungsi manajemen dan fungsi operasional. Sebagai fungsi manajemen , MSDM memiliki tugas yaitu: mengatur, merencanakan, pengorganisasian, memimpin serta mengendalikan manusia, yang merupakan asset penting bagi sebuah organisasi. Sedangkan sebagai fungsi operasional meliputi; karyawan / tenaga kerja, dalam hal ini berhubungan dengan: pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja. Selanjutnya, untuk dapat mengembangkan SDM, pesantren pada level yang lebih baik diperlukan sebuah strategi. Untuk itulah dengan meminjam istilah dari Sondang P. Siagian (2005 : 30-31) diperlukan langkah-langkah dalam pengembangan strategi tersebut. Adapun langkah-langkah tersebut, meliputi : a) Mengidentifikasi Perencanaan. Idealnya, perencanaan terjadi di setiap tipe kegiatan. Oleh sebab itu, pimpinan pondok pesantren diharapkan mampu merumuskan tujuan dan menganalisis jabatan yang didalamnya tekandung job description dan job specification. Pada tahap ini, seyogjanya pemimpin pesantren dapat mengklasifikasikan atau menggolongkan jenis pekerjaan dan mampu memprediksi orang yang seperti apa yang dibutuhkan dalam pekerjaan tersebut. b) Perekrutan Tenaga Kerja. Dalam langkah kedua ini, proses perekrutan tenaga kerja oleh pimpinan pondok pesantren idealnya diterjemahkan sebagai suatu proses pencarian kandidat pekerja yang potensial untuk menjalankan dan mengatasi lowongan dalam organisasi yang dijalankan. c) Seleksi Sumber Daya Manusia. Pada langkah ketiga ini, pemimpin pondok pesantren mestinya benar-benar mempertimbangkan kebutuhan tenaga kerja seperti apa yang sesuai dengan job description yang telah disiapkan. d) Pelatihan dan Pengembangan SDM. Proses ini ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan prestasi yang dimiliki oleh anggota organisasi, baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang. e) Motivasi. Pemimpin pesantren harus bisa memotivasi para bawahan, agar tidak sering terjadi keluar masuk karyawan (labour turn over) karena imbasnya tentu akan terjadi pembengkakan biaya pada keuangan pesantren. Oleh sebab itu, para manajer dalam organisasi (terutama manajer puncak) harus selalu berusaha untuk memuaskan berbagai jenis kebutuhan bawahannya. Dengan demikian pemimpin pesantren yang bersangkutan akan lebih mudah meyakinkan para bawahan bahwa dengan tercapainya 9 tujuan organisasi, tujuan-tujuan pribadi para bawahan itu pun akan ikut tercapai pula. f) Menumbuhkan komitmen kerja pada bawahan. Untuk menumbuhkan komitmen kerja dalam pesantren, perlu sekali diciptakan lingkungan yang mendukung, yakni lingkungan yang terbuka dan saling percaya antara karyawan dengan pemimpin pesantren. g) Kepuasan kerja. Kepuasan kerja karyawan terletak pada motivasinya. Karyawan yang memiliki motivasi tinggi akan menyenangi pekerjaannya sehingga lebih produktif, sehingga ia mampu menciptakan goal-state dan karenanya ia merasa dihargai. menghadapi tekanan, dan memiliki hubungan baik dengan yang lain. h) Penilaian Kinerja. Penilaian kerja mempunyai arti sebagai proses sistematik untuk menilai segenap perilaku kerja pengelola atau pegawai dalam kurun waktu kerja tertentu yang akan menjadi dasar penetapan kebijakan personalia dan pengembangan pengelola atau pegawai. 2. Manajemen Pembelajaran di Pondok Pesantren Manajemen pembelajaran memiliki peranan penting di setiap satuan pendidikan karena akan menentukan kualitas lulusan. Tak terkecuali pula dalam lingkup pendidikan pondok pesantren, manajemen pembelajaran juga dapat berperan sebagai penentu kualitas lulusan santri-santrinya. Manajemen pembelaran itu sendiri oleh Alben Ambarita dimaknai sebagai kemampuan guru dalam mendayagunakan sumber daya yang ada, melalui kegiatan menciptakan dan mengembangkan kerja sama, sehingga terbentuk pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan di kelas secara efektif dan efisien.(Ambarita, 2006 : 72) Selanjutnya, manajemen pembelajaran dalam arti luas berisi proses kegiatan mengelola bagaimana membelajarkan si pembelajar dengan kegiatan yang dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian dan penilaian. Sementara itu, manajemen pembelajaran dalam arti sempit diartikan sebagai kegiatan yang perlu dikelola oleh guru selama terjadi proses interaksinya dengan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran. Kemudian, pendapat yang berbeda disampaikan oleh Suryosubroto. Menurutnya, manajemen pembelajaran mempunyai pengertian kerjasama untuk mencapai tujuan proses belajar mengajar dan dapat dilihat dengan kerangka berpikir sistem. Manajemen pembelajaran juga 10 mengandung pengertian proses untuk mencapai tujuan belajar mengajar yang dimulai dari perencanaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian.(Suryosubroto, 2004 : 16) Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan jika manajemen pembelajaran di lembaga pendidikan pondok pesantren merupakan sebuah kegiatan pendidikan yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian atau evaluasi pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, sehingga tercipta proses belajar mengajar yang efektif dan efisien. Adapun penjelasan mengenai perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran adalah sebagai berikut: a. Pengertian Perencanaan Pembelajaran Perencanaan pembelajaran merupakan hal penting untuk memulai kegiatan pembelajaran dan mempengaruhi proses keberhasilan pendidikan. Alben Ambarita menjelaskan bahwa perencanaan pembelajaran berkaitan dengan kemampuan untuk membuat keputusan tentang pengorganisasian, implementasi, dan evaluasi pembelajaran.(Alben Ambarita : 73) Perencanaan pembelajaran merupakan tugas penting guru untuk mempertimbangkan tentang siapa mengerjakan apa, kapan dilaksanakan dan bagaimana melaksanakannya, perintah pembelajaran yang terjadi, di mana kejadian terjadi, perkiraan waktu yang digunakan untuk pembelajaran, dan sumber-sumber serta bahan yang dibutuhkan. Hal senada juga dikemukakan oleh Degeng menurutnya pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perancangan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa, karena siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar tetapi juga berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.(Degeng, 1993:2) Berpijak pada uraian di atas, maka dapat penulis katakan jika perencanaan pembelajaran di pondok pesantren adalah kegiatan awal yang dilakukan oleh pendidik atau kiyai/ustadz untuk membelajarkan santri-santrinya dengan menyusun materi pengajaran, metode mengajar, melengkapi media pengajaran dan menentukan porsi waktu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan b. Komponen Perencanaan Pembelajaran Komponen perencanaan pembelajaran merupakan aspek penting yang harus diperhatikan karena berkaitan dengan aktivitas pembelajaran itu sendiri, yang berhubungan dengan kebutuhan pendidik dalam mendidik peserta didik. 11 Dikatakan oleh Alben Ambarita bahwa komponen pembelajaran merupakan hal yang utama dalam interaksi guru dan peserta didik untuk menyampaikan konsep atau keterampilan agar dikuasai peserta didik.(Adul Majid, 2019:17) Oleh sebab itu, kepala sekolah diharapkan mampu mengkoordinasikan pendidik dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, yang meliputi: 1) Penyusunan silabus, program tahunan, program semester, dan mid semester. 2) Penyusunan desain pembelajaran peserta didik 3) Penguasaan dan implementasi metode pembelajaran. 4) Penilaian sebagai uji kompetensi. 5) Kontrol dalam pencapaian indikator keberhasilan peserta didik. Perpijak pada uraian yang ada di atas, maka dapat penulis katakan jika komponen perencanaan pembelajaran meliputi beberapa hal, yaitu: (1) Penyusunan silabus; (2) Penyusunan desain pembelajaran; (3) Metode pembelajaran; (4) Media pembelajaran; (5) Kontrol terhadap capaian kompetensi; (6) Merancang jenis evaluasi untuk mengukur kemampuan siswa menyerap materi. c. Pelaksanaan Pembelajaran Setelah melakukan perencanaan pembelajaran, langkah berikutnya adalah merealisasikan semua yang telah dirancang ke dalam proses belajar mengajar. Berkaitan dengan hal tersebut, Alben Ambarita menjelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran merupakan kegiatan menyeluruh yang mencerminkan interaksi antara input dinamis dan input statis yang dikendalikan oleh input manajemen.(Mulyasa,2006 : 176) Dalam kontek pendidikan pondok pesantren, input dinamis dapat diterjemahkan sebagai kiyai sebagai pimpinan pondok pesantren, ustadz atau guru, santri (peserta didik), dan wali santri atau orang tua peserta didik. Sementara itu, input statis dapat diterjemahkan sebagai lingkungan pondok pesantren dan sarana prasarana belajar. Sedangkan input manajemen merupakan seperangkat aturan yang mengendalikan interaksi input dinamis dan input statis dalam suatu proses, visi dan misi, uraian tugas ustadz dan tata tertib pondok pesantren. Bertolak dari apa yang telah terurai di atas, maka dapat penulis katakan jika pelaksanaan pembelajaran di pondok pesantren adalah sebuah proses interaksi antara kiyai/ustadz (pendidik) dan para santri (peserta didik) di lingkungan belajar yang bernilai edukatif dengan memanfaatkan sarana dan prasarana belajar untuk 12 mencapai tujuan pembelajaran yang sebelumnya telah dirumuskan. d. Tahapan Pelaksanaan Pembelajaran Berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran agar dapat berjalan secara sistematis, maka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tahapan. Menurut Mulyasa pelaksanaan pembelajaran terdiri dari kegiatan awal, inti dan akhir.(Ibid, 2006:243) Adapun rincian kegiatan tersebut meliputi: (1) Kegiatan awal, yang terdiri dari: a) Menciptakan lingkungan dengan salam pembuka dan berdoa. b) Preetest yaitu peserta didik menjawab beberapa pertanyaan tentang materi pelajaran yang akan diajarkan. c) Menghubungkan materi yang telah dimiliki peserta didik dengan bahan atau kompetensi baru. (2) Kegiatan inti a) Pengorganisasian sebagai contoh membentuk kelompok besar atau kecil. b) Prosedur pembelajaran contohnya terdiri dari: (1) Tanya jawab (2) Kegiatan pengamatan. (3) Melaporkan hasil pengamatan. (4) Diskusi kelompok. (5) Menyimpulkan hasil pengamatan dan diskusi. (6) Memberi contoh penerapan konsep dalam kehidupan sehari-hari. (7) Membuat rangkuman. c) Pembentukan kompetensi. (3) Kegiatan akhir, meliputi: a) Untuk membentuk kompetensi dan memantapkan peserta didik terhadap kompetensi yang telah dipelajari bisa dilakukan dengan perenungan. b) Post test bisa dilakukan lisan atau tertulis. c) Menutup pembelajaran dengan berdoa. Bertolak dari teori-teori di atas, maka dapat penulis katakan jika dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Mulyasa dengan pembagian kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran di Pondok Pesantren. e. Evaluasi Pembelajaran Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 58 ayat 1 telah disebutkan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sehingga dalam aplikasinya, evaluasi pembelajaran benar-benar dilakukan untuk mengetahui apakah perencanaan pembelajaran yang telah dirumuskan dan direalisasikan dalam pelaksanaan pembelajaran telah tercapai atau belum. Berkenaan dengan evaluasi pembelajaran, Suharsimi Arikunto mengatakan jika evaluasi proses pengajaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat atau mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan 13 yang direncanakan.(Arikunto, 2005:290) 3. Manajemen Kurikulum di Pondok Pesantren Sebelum membahas kurikulum di pondok pesantren, alangkah baiknya jika terlebih dulu kita mengetahui pengertian dari kurikulum. Berkaitan dengan kurikulum, terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah; kurikulum berasal dari bahasa Latin, yaitu curriculum yang berarti “bahan pengajaran”; yang berasal dari kata dasar “currere” yang artinya “berlari cepat dan tergesa-gesa”. Masih menurut Oemar, kurikulum berasal dari bahasa Perancis; courier; yang berarti “berlari”388. Sementara itu ada juga yang mengartikan kurikulum sebagai “perlombaan” (race cause). Selain itu, ada juga pendapat lain yang mengatakan kurikulum dapat diartikan sebagai “kumpulan subjek yangdiajarkan di sekolah, atau arah suatu proses belajar. Dan, ada juga yang berpendapat jika kurikulum berasal dari bahasa Inggris “Curriculum” berarti “susunan rencana pelajaran”. Sedangkan oleh Rusman, kurikulum dimaknai sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta bahan yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.(Rusman, 2009:3) Dengan bertolak pada uraian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan jika dengan kurikulum, manajemen sekolah maupun pondok pesantern dapat menentukan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dalam tingkatannya. Karenanya, kurikulum harus menyentuh tiga aspek paling essensial dalam diri manusia, yaitu qalbu, akal/fikir, dan fisik; dengan tidak mengesampingkan kepentingan stakeholder dan lingkungan masyarakat sekitar. a. Komponen Kurikulum Berkaitan dengan komponen kurikulum, Sukmadinata mengklasifikasikan komponen kurikulum kedalam empat hal pokok yang saling berkaitan. Keempat hal pokok tersebut, yaitu: Pertama, tujuan kurikulum yang dirumuskan berdasarkan dua hal, yaitu: (1) perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat, (2) didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah kepada pencapaian nilainilai filosofis, terutama falsafah negara. Kedua, komponen yang berupa isi atau materi kurikulum yang menentukan kualitas kurikulum. Untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan diperlukan bahan ajar. Bahan ajar 14 tersusun atas berbagai topik dan subtopik tertentu. Tiap topik dan subtopik mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan tersusun dalam rancangan tertentu yang membentuk rancangan bahan ajar. Bahan ajar yang dipelajari siswa sebaiknya tidak hanya berdasarkan pada buku teks pelajaran. Perlu pula penggunaan dan mengembangkan berbagai bahan ajar melalui media dan sumber belajar yang sesuai dengan topik bahasan. Demikian juga dengan keterlibatan masyarakat sekelilingnya (community based experiental learning) harus mulai dikembangkan secara strategis supaya menghasilkan kemampuan siswa yang terintegrasi dengan lingkungan. Ketiga, komponen metode pembelajaran yang terkandung di dalamnya strategi dan teknik pembelajaran yang berkaitan dengan siasat, cara atau sistem penyampaian isi kurikulum. Menurut Rusman, bahwa pembelajaran di dalam kelas merupakan sarana untuk melaksanakan dan menguji kurikulum; yang di dalam kegiatan tersebut semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat dan kemampuan guru diuji untuk mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata (actual curriculum– curriculum in action).(Rusman, 2005 : 19) Keempat, komponen evaluasi yang ditujukan untuk menilai pencapaian kurikulum atau menilai proses implementasi kurikulum secara utuh yang pada akhirnnya dapat digunakan sebagai pertimbangan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di waktu yang akan datang. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Groundlund; bahwa evaluasi kurikulum adalah proses yang sistematis meliputi pengumpulan analisis dan interpretasi informasi/data untuk menentukan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pembelajaran. Evaluasi dapat juga dimanfaatkan sebagai masukan dalam penentuan pengambilan kebijakan dalam pengambilan keputusan tentang kurikulum dan pendidikan. Hopkins dan Antes menyebutkan bahwa evaluasi dimaksud adalah pemeriksaan secara terus menerus untuk mendapatkan informasi yang meliputi siswa, guru, program pendidikan, dan proses belajar mengajar untuk mengetahui tingkat perubahan siswa dan ketepatan keputusan tentang gambaran siswa dan efektivitas program b. Pengembangan Kurikulum Pada dasarnya, pengembangan kurikulum memiliki makna yang sangat luas. Dalam proses pengembangan kurikulum mestinya memperhatikan aspek-aspek tertentu. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata; pengembangan kurikulum dapat diterjemahkan sebagai bentuk penyusunan kurikulum yang sama sekali baru 15 (curriculum-construction). Selain itu, dapat juga diterjemahkan sebagai prosesmenyempurnakan kurikulum yang telah ada (curriculum improvement). Sementara itu, modelnya dapat berupa abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis, grafis serta lambang-lambang lainnya. Meski demikian, dalam melaksanakan pengembangan kurikulum yang terbaik menurut Bondi dan Wiles adalah sebuah proses yang melibatkan banyak hal, yaitu: (1) Kemudahan suatu analisis tujuan (2) Rancangan suatu program (3) Penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan (4) Peralatan dalam evaluasi proses. (Bondi & Wiles, 1989 : 87) Berdasarkan uraian di atas, maka dapat penulis katakan jika pengembangan kurikulum dilakukan sebagai proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Sehingga dalam aplikasinya, proses ini berhubungan dengan seleksi dan organisasi berbagai komponen situasi belajar mengajar, antara lain penetapan jadwal, pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum yang lainnya, untuk memudahkan proses belajar mengajarnya. 4. Manajemen Peserta Didik (Santri) Kegiatan utama manajemen terletak dalam usaha administrator untuk mengatur individu-individu yang terlibat dalam suatu organisasi, sehingga memungkinkan mereka dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran secara maksimal menuju tercapainya tujuan bersama. Atas dasar inilah maka, perlu adanya manajemen peserta didik. Sebab sebagaimana diketahui, peserta didik dalam pemaknaan regulasi kependidikan merupakan anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Munculnya sebutan “peserta didik” dalam kontek pembelajaran diberikan kepada: a) Peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dengan satuan pendidikan yang meliputi SD, MI atau bentuk lain yang sederajat serta pendidikan dasar lanjutan yang berbentuk SMP dan MTs, atau bentuk lain yang sederajat b) Peserta didik pada jenjang pendidikan menengah, dengan satuan pendidikan yang meliputi SMA, SMK, MA dan MAK atau bentuk lain yang sederajat. 16 c) Pada jenjang pendidikan tinggi peserta didik disebut dengan “mahasiswa”. Meskipun demikian, ketika dikaitkan dengan hak untuk mendapatkan layanan pendidikan agama, maka semua peserta didik di setiap satuan pendidikan, baik dalam jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, pada jalur pendidikan formal dan nonformal, disebut dengan sebutan “peserta didik”. Berbeda dengan hal tersebut, peserta didik dalam kontek lembaga pendidikan Islam, khususnya pondok pesantren telah terjadi kesepakatan jika peserta didik disebut sebagai “santri”. Sebutan ini bersifat umum bagi seluruh peserta didik pesantren, tidak ada pembatasan usia, jenjang maupun jenis kelamin mereka. Lebih luas dari itu, sebutan santri juga tidak mengikat pada tempat tinggal peserta didik. Seluruh peserta didik yang menuntut ilmu agama untuk memperbaiki pengetahuan dan perilaku mereka yang kelak ditularkan pada orang lain, mereka dinamakan santri, baik tinggal di dalam pesantren atau tinggal bersama keluarga di rumah dan setiap saat berangkat ke pesantren untuk mengikuti aktifitas pendidikan yang ada di pesantren. (Saifudin Zuhri, 2012:213) Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa manajemen peserta didik (santri) merupakan penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik pada suatu lembaga pendidikan, dapat berupa sekolah, madrasah ataupun pondok pesantren. Penataan dan pengaturan peserta didik dilakukan sejak, santri masuk hingga keluarnya. Lain dari pada itu, pengaturan dan penataan tersebut dimaksudkan untuk memberikan layanan sebaik-baiknya kepada peserta didik (santri), agar mereka merasa nyaman dan betah mengikuti seluruh program pembelajaran. Yang perlu diperhatikan adalah, kegiatan penataan ini melibatkan seluruh sumber daya, baik sumber daya manusia seperti guru, kepala sekolah, peserta didik itu sendiri, wali murid, maupun sumber daya lain yang meliputi sarana, keuangan, pembelajaran dan kurikulum, menuju tercapainya tujuan dari pendidikan itu sendiri. Adapun cakupan manajemen peserta didik menurut beberapa ahli, dapat penulis kemukakan sebagai berikut: (1) Perencanaan peserta didik yang meliputi kuota daya tampung, komposisi kelas dan ukuran luas ruang belajar untuk setiap kelas; (2) Pengelompokan siswa; (3) Mencatat kegiatan administratif peserta didik, seperti kehadiran, motasi, drof out, pencatatan prestasi, pencatatan laporan hasil belajar, dan sebagainya; (4) Merumuskan kode etik atau tata tertib peserta didik.(Ali Imron, 2012:18) Berdasarkan pada cakupan manajemen peserta didik sebagaimana yang 17 telah diuraikan di atas, maka jika dihubungkan dengan pengertian dasar tentang manajemen peserta didik yang meliputi penataan terhadap kegiatan siswa mulai masuk sampai keluarnya dari sebuah lembaga pendidikan. Meski demikian, dapat penulis garis bawahi masih terdapat bidang kajian manajamen peserta didik, yaitu: (a) Kegiatan menganalisis daya tampung siswa; (b) Pelaksanaan orientasi siswa baru; (c) Pelepasan siswa purna studi; (d) Penyaluran siswa yang meliputi penyaluran pada pendidikan lanjutan dan penyaluran pada lapangan pekerjaan; dan (e) Perkordinasian alumni. Kemudian, dalam kontek manajemen peserta didik di lingkup pondok pesantren, peserta didik (santri) didudukkan sebagai aspek paling utama. Kebijakan-kebijakan yang akan diambil dan diterapkan administrator pondok pesantren harus mempertimbangkan kondisi santri secara keseluruhan. Oleh karena itu, dengan meminjam istilah prinsip-prinsip menajemen peserta didik secara umum, maka terdapat sejumlah prinsip yang harus pula diterapkan dilembaga pendidikan pondok pesantren. Di lain kesempatan, Hasbullah menguraikan prinsipprinsip dasar manajemen peserta didik yang mesti diperhatikan oleh pengelola lembaga pendidikan, yaitu: (a) Siswa harus diperlukan sebagai subyek dan bukan obyek. (b) Kaeadaan dan kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, sosial ekonomi, minat dan sebagainya. (c) Pada dasrnya siswa hanya akan termotifasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan. (d) Pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga afektif dan pisikomotorik.(Hasbullah, 2006:121-122) Sekali lagi, berdasarkan uraian di atas, dalam kontek pendidikan di pondok pesantren, maka administrator pesantren dituntut untuk memperhatikan pengembangan kedua ranah tersebut sebagai bekal bagi kehidupan santri- santrinya di tengah masyrakat. Dengan kata lain, fungsi manajemen peserta didik (santri) adalah memberikan wadah pada keanekaragaman karakter, potensi dan latar belakang para santri dalam satu pengelolaan yang memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyalurkan minat dan bakat sesuai potensinya masing- masing. 18 5. Manajemen Sarana dan Prasarana di Pondok Pesantren Sarana pendidikan merupakan peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dalam proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta media pengajaran. Sementara itu, prasarana pendidikan merupakan fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, dan jalan menuju sekolah. Jika prasarana ini dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar-mengajar seperti taman sekolah untuk mengajarkan biologi atau halaman sekolah menjadi lapangan olahraga, maka komponen tersebut berubah posisi menjadi sarana pendidikan. Ketika prasarana difungsikan sebagai sarana, berarti prasarana tersebut menjadi komponen dasar. Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan jika manajemen sarana dan prasarana pendidikan merupakan sebuah proses perencanaan, pengadaan, inventarisasi, penyimpanan, penataan, penggunaan, pemeliharaan dalam rangka untuk menunjang proses pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Adapun tugas dan tanggungjawab dari manajemen sarana dan prasarana pendidikan adalah mengatur dan menjaga sarana prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Sebagaimana diketahui, dalam kontek lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren merupakan lembaga publik yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan kepada publik, khususnya pelayanan untuk para santri yang menuntut pendidikan. Pondok pesantren berfungsi sebagai tempat pembinaan dan pengembangan semua potensi individu santri terutama pengembangan potensi fisik, intelektual dan moral para santri. Proses pembelajaran di pondok pesantren merupakan proses interaksi para santri dengan kiyai/ustad dan sumber belajar lainnya dalam suatu lingkungan belajar. Sementara itu, para santri secara tidak langsung menjadi anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang memperoleh status selalu terikat dengan pesantren. Disisi lain, kiyai/ustadz juga menjadi anggota masyarakat yang mengabdikan diri dengan kompleksitas kompetensi ilmu-ilmu agama yang dimilikinya untuk mengajar kepada para santri di pondok pesantren. Selain kiyai, ustadz dan santri, sarana dan prasarana juga merupakan salah satu faktor yang menunjang dalam proses pembelajaran. Tanpa adanya hal itu pendidikan di 19 pondok pesantren tidak akan tercapai sesuai dengan tujuan yang diharapkan sehingga sarana dan prasarana sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Sarana dan prasarana tidak akan berjalan tanpa adanya manajemen yang baik. Manajemen sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan pondok pesantren yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan, baik kiyai maupun para santri untuk berada di lingkungan pondok pesantren. Manajeman sarana dan prasarana di pondok pesantren pada dasarnya dapat meliputi; perencanaan, pengadaan, inventarisasi, penyimpanan, penataan, penggunaan, pemeliharaan dan penghapusan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 Tanggal 28 Juni 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah/Madrasah Pendidikan Umum menyebutkan bahwa: Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut: 1. Ruang kelas 2. Ruang perpustakaan 3. Laboratorium IPA 4. Ruang pimpinan 5. Ruang guru 6. Tempat beribadah 7. Ruang UKS 8. Toilet 9. Gudang, 10. Ruang sirkulasi 11. Tempat bermain/berolahraga. Sebuah SMP/MTs sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut: 1. Ruang kelas 2. Ruang perpustakaan 3. Ruang laboratorium IPA 4. Ruang pimpinan 5. Ruang guru 6. Ruang tata usaha 7. Tempat beribadah 8. Ruang konseling 20 9. Ruang UKS 10. Ruang organisasi kesiswaan 11. Toilet 12. Gudang 13. Ruang sirkulasi 14. Tempat bermain/berolahraga. Sebuah SMA/MA sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut: 1. Ruang kelas 2. Ruang perpustakaan 3. Ruang laboratorium biologi 4. Ruang laboratorium fisika 5. Ruang laboratorium kimia 6. Ruang laboratorium komputer 7. Ruang laboratorium bahasa 8. Ruang pimpinan 9. Ruang guru 10. Ruang tata usaha 11. Tempat beribadah 12. Toilet 6. Manajemen Keuangan di Pondok Pesantren Peningkatan kualitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan. Sebab, tidak hanya berkaitan dengan permasalahan teknis, tetapi mencakup berbagai persoalan yang sangat rumit baik yang berkaitan dengan perencanaan, pendanaan, efisiensi, efektifitas penyelenggaraan sistem persekolahan dan transparansi pengelolaan keuangan di lembaga pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan juga menuntut manajemen pendidikan yang lebih baik. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan pendidikan Islam yang berkualitas, perlu adanya pengelolaan secara menyeluruh dan professional terhadap sumber daya yang ada. Adapun salah satu sumber daya yang perlu di kelola dengan baik dalam lembaga pendidikan Islam dalam hal ini pondok pesantren adalah masalah keuangan. Dalam konteks ini, keuangan merupakan sumber dana yang sangat diperlukan oleh pondok pesantren sebagai alat untuk melengkapi berbagai sarana dan prasarana pembelajaran di lembaga 21 pendidikan Islam tersebut. Selain itu, dapat juga digunakan untuk keperluan yang lainnya, seperti peningkatan kesejahteraan kiyai/ustadz, pengurus pondok pesantren meski pada dasarnya dilingkup pondok pesantren mengenal istilah ikhlas beramal, berjuang untuk kemaslahatan ummat layanan dan pelaksanaan program supervisi pondok pesantren. Meminjam istilah dari Sulistyiorini, bahwa kiyai sebagai pimpinan pondok pesantren selayaknya kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah harus mengetahui dan mampu mengelola keuangan sekolah dengan baik, bertanggung jawab dan transparan kepada masayarakat serta pemerintah.(Sulistyorini, :129-130) Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa di lingkup pendidikan pondok pesantren, menajemen keuangan menjadi hal yang urgen dan akan menopang keberlangsungan pendidikan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, persoalan keuangan di pondok pesantren juga harus di manage sebaik mungkin sesuai dengan kaidahkaidah manajemen yang ada. 22 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Secara etimologi definsi pesantren sendiri memiliki makna yang luas. Hal ini menandakan bahwa dari segi bahasa bahwa kata pesantren dapat diidentikkan sebagai istilah yang lahir dari rahim keragaman budaya nusantara. Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan akan lebih lengkap jika pesantren dikaji dari perspektif terminologi yang dikemukakan oleh bebarapa orang yang expert. Antara lain menurut Mastuhu, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari- hari.(Mastuhu, 1994 : 5) Maka Manajemen Pondok Pesantren adalah suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien. B. Saran Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalah baik dari segi isi maupun format penulisannya. Hal ini karena kemampuan dan pengalaman kami yang masih ada dalam keterbatasan. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun semangat. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi para pembaca dan kami mengucapkan banyak terimakasih. Akhir kata kami sampaikan terimakasih, semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin. 23 DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru , (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2009) Alben Ambarita, Manajemen Pembelajaran, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2006) Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren Asal usul dan Perkembangan Pesantren Di Jawa, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004) Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) _____________, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) HM. Yacub, Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Angkasa, 1985) I Nyoman Sudana Degeng, Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Depdikbud RI) J., Bondi, J. dan Wiles, Curriculum Development: A Guide to Practice, (Columbus: Merril Publishing Company, A Bell & Howel Information Company, 1989) Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990) Jamaluddin Malik (ed), Pemberdayaan Pesantren, (Yogakarta: Pustaka Pesantren, 2005) Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991) M. Dawam Raharjo, (Editor), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, Cet ke-4, 1988) Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994) Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Tranformasi Metodologi Menuju demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005) Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) Rusman, Manajemen Kurikulum, (Jakarata: PT. RajaGrafindo Persada, Seri-II, 2009) Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2012) Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005) Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: eLKAF, 2006) Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004)

Use Quizgecko on...
Browser
Browser