Tugas Kelompok Mata Kuliah Public Sector Accounting Reformasi dan Perkembangan
Document Details
Uploaded by TruthfulMint2729
Universitas Prasetiya Mulya
2024
Alicia Amanda, Carissa Gandawijaya, Claudia Kinar Jeanetta, Delaneira Quisha Lukasa, Christine Ophelia Gunawan
Tags
Summary
This document discusses the reform and development of public sector accounting in Europe and Indonesia. It covers topics such as the challenges faced in European public sector accounting, the New Public Management (NPM) concept, and the post-reform era of public sector accounting in Indonesia.
Full Transcript
Tugas Kelompok Mata Kuliah Public Sector Accounting Reformasi dan Perkembangan Sektor Akuntansi Publik di Eropa dan Indonesia Disusun oleh: Kelompok 3 - Accounting 7B Alicia Amanda...
Tugas Kelompok Mata Kuliah Public Sector Accounting Reformasi dan Perkembangan Sektor Akuntansi Publik di Eropa dan Indonesia Disusun oleh: Kelompok 3 - Accounting 7B Alicia Amanda 13202110006 Carissa Gandawijaya 13202110009 Claudia Kinar Jeanetta 13202110028 Delaneira Quisha Lukasa 13202110007 Christine Ophelia Gunawan 13202110010 Universitas Prasetiya Mulya BSD City Kavling Edutown I.1, Jl. BSD Raya Utama No.1, BSD City, Kec. Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten. 15339. 2024 0 Perkembangan Akuntansi Sektor Publik di Eropa Pada akhir tahun 1970-an banyak tantangan ekonomi muncul seperti inflasi tinggi, meningkatnya angka pengangguran, dan krisis bahan baku. Akibatnya, hal ini berdampak pada defisit anggaran pemerintah dan meningkatnya utang publik di banyak negara Eropa. Terjadinya reformasi sektor publik di Eropa merupakan reaksi balik terhadap kekurangan model administrasi publik tradisional yang menyebabkan transformasi ke arah manajemen modern di sektor publik, yang dikenal sebagai New Public Management. Pemerintah harus meningkatkan disiplin moneter dan transparansi pada sektor publik dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya dalam menghadapi tantangan ekonomi yang sedang berlangsung. Dengan konsep baru tersebut, telah terjadi perubahan dramatis dalam manajemen sektor publik yang semulanya kaku serta hierarkis menjadi fleksibel dan berorientasi pada pasar. Perubahan ini juga menyebabkan terjadinya perubahan pada basis akuntansi yang semulanya pencatatan berbasis kas menjadi berbasis akrual. New Public Management juga mendorong desentralisasi dalam sektor publik yang berarti memberikan lebih banyak otonomi kepada manajemen tingkat bawah untuk mencapai alur kerja yang lebih efisien. Selain itu, reformasi ini mendorong untuk memandang publik sebagai pelanggan dengan harapan dan ekspektasi mereka tersendiri sehingga meningkatkan kualitas layanan dan aksesibilitas produk yang ditawarkan. Untuk meningkatkan transparansi, pemerintah membuat kebijakan regulasi bagi sektor publik untuk melakukan audit, dan pelaporan publik. Hal ini membuat organisasi sektor publik lebih bertanggung jawab dan mengurangi kemungkinan penyalahgunaan dana pemerintah. Dan sebelumnya sebagian besar layanan publik terutama berfokus pada mengikuti prosedur kerja yang telah ditentukan sebelumnya, setelah pengenalan New Public Management (NPM) ada penekanan pada pencapaian hasil nyata yang benar-benar berarti bagi publik. Penerapan konsep NPM dapat dilihat sebagai bentuk perubahan atau reformasi administrasi sektor publik, depolitisasi atau desentralisasi kekuasaan yang mengedepankan demokrasi. Konsep ini berpengaruh cepat terhadap praktik manajemen publik di berbagai negara. Terjadi peningkatan jumlah negara yang telah mengimplementasikan prinsip New Public Management pada pemerintahannya. Namun, apabila prinsip ini diterapkan pada negara berkembang maka akan ditemukan berbagai masalah karena memiliki karakteristik pasar yang berbeda dari negara maju. Negara berkembang akan sulit untuk mengimplementasikan prinsip New Public Management karena kurangnya sumber daya manusia serta regulasi hukum yang kuat sehingga rentan mengalami kegagalan dalam menerapkan prinsipnya. Reformasi sektor publik di Eropa memberikan dampak terhadap perkembangan akuntansi sektor publik. Melalui penerapan standar akuntansi International Public Sector Accounting Standards (IPSAS), mendorong peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi dalam pelaporan keuangan pemerintah. Reformasi ini mendorong negara-negara di Eropa untuk mengadopsi praktik akuntansi yang berbasis akrual, yang menggantikan model tradisional berbasis kas yang dianggap kurang transparan. Selain itu, dalam upaya 1 menyatukan perbedaan dalam praktik akuntansi sektor publik, memungkinkan melakukan perbandingan keuangan antar negara yang sebelumnya sulit untuk dilakukan. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam proses perkembangan akuntansi sektor publik. Setiap negara memiliki perbedaan dalam politik, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi perkembangan akuntansi sektor publik. Terdapat beberapa negara cenderung mempertahankan model tradisional dan negara lain yang lebih terbuka pada standar di reformasi sektor publik. Reformasi ini dapat memberikan dampak secara signifikan dalam jangka panjang pada negara-negara di Eropa. Salah satunya adalah dapat meningkatkan kepercayaan publik dan investor terhadap pengelolaan keuangan publik. Reformasi sektor publik dapat memperkuat ekonomi dan menjaga stabilitas keuangan di seluruh Eropa. 2 Perkembangan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia Sebelum reformasi pada tahun 1998, Indonesia masih menerapkan sistem administrasi manual dan tidak memiliki standar akuntansi seperti saat ini. Pencatatan akuntansi masih menggunakan basis kas dengan teknik pembukuan tunggal (single entry) yang hanya dilakukan di satu pos tanpa adanya hubungan sistematis dengan pos lain. Laporan pertanggungjawaban akuntansi sektor publik sebenarnya sudah ada, namun hanya berupa Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena itu, transparansi akuntansi sektor publik pada masa sebelum reformasi dianggap tidak ada sehingga seringkali menjadi sumber kebocoran dana alias ladang korupsi. Pemerintah pada masa itu juga kurang efisien dan jauh tertinggal dari sektor swasta. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia diketahui masyarakat luas dimulai pada tahun 1998, yang merupakan puncak dari reformasi Indonesia. Peristiwa besar yang terjadi saat itu yang dimulai dari adanya krisis moneter perlahan membeberkan bobroknya sistem pemerintahan di Indonesia, tidak terkecuali di bidang akuntansi yang menunjukkan adanya ketidakefektifan di dalam sistem pencatatan dan pelaporan keuangannya. Namun jauh sebelum itu, di tahun 1980, berbagai negara maju di dunia sudah memulai reformasi pada akuntansi sektor publiknya dengan penerapan sistem akuntansi yang lebih modern dan kredibel, yang umumnya dikenal sebagai New Management System. Praktik New Management System ini sendiri terinspirasi dari manajemen swasta yang kemudian diadopsi pada sistem pemerintahan untuk menghasilkan penghematan biaya namun memastikan kualitas yang dihasilkan, misalnya menghasilkan informasi keuangan yang akurat dan relevan sehingga dapat memberikan pertanggungjawaban secara transparan kepada masyarakat mengenai pengelolaan dana yang dilakukan oleh pemerintah. Apabila dirangkum perubahan pada akuntansi sektor publik di Indonesia bertahap hingga saat ini berfokus pada 2 aspek, yakni: perubahan dari sistem pencatatan tunggal (single entry) ke sistem pencatatan ganda (double entry) serta peralihan dari metode berbasis kas ke berbasis akrual. Perubahan sistem akuntansi cash basis menuju accrual basis utamanya ditujukan untuk mendukung kinerja pemerintah dengan laporan keuangan yang lebih rinci, akurat, manajemen keuangan yang lebih efisien, dan mengatasi kekurangan sistem berbasis kas, yang kurang menggambarkan laporan keuangan yang sebenarnya. Namun demikian, penerapan sistem accrual basis terkendala dengan penilaian dan pengakuan yang rumit disertai dengan kompleksitas yang lebih tinggi dari berbagai pihak sehingga untuk dapat dibutuhkan beberapa waktu untuk penerapannya di Indonesia. Adapun perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia terdiri atas 2 era, yakni era post-reformasi dan era post-reformasi lanjutan. Di dalam pengelompokannya, pada era era post-reformasi terdiri pada tahun 1999-2004 memiliki karakteristik yang sama dimana sudah terdapat pemisahan antara DPRD dan kepala negara, sehingga di dalam pelaporan keuangan daerah akan disampaikan kepada DPRD. Desentralisasi ini mulai diselenggarakan 3 pada tahun 2001 yang menghasilkan perubahan pada format anggaran dan pelaporannya. Pada era ini pun pemerintah sudah melibatkan masyarakat di dalam penyusunan anggaran dan menekankan konsep value for money yang diukur dari pencapaian outcome suatu proyek. Sistem akuntansi juga telah mengalami pergeseran ke double entry system dan dari awalnya berbasis kas dengan segala kekurangannya menjadi berbasis kas modifikasian sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2004. Kas modifikasian atau cash basis towards accrual digunakan untuk mempermudah transisi dari sistem akuntansi Indonesia dimana cash basis digunakan di dalam pencatatan government spending dan pembiayaan. Sistem akuntansi berbasis akrual menerapkan pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dengan pendekatan yang lebih mendalam dan menyeluruh, mencerminkan dampak ekonomi dari transaksi secara keseluruhan. Implementasi sistem ini menghasilkan berbagai laporan keuangan yang memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi keuangan entitas. Laporan-laporan tersebut meliputi laporan realisasi anggaran yang membandingkan anggaran yang ditetapkan dengan realisasi pengeluaran dan penerimaan, laporan laba rugi yang memperlihatkan pendapatan dan pengeluaran selama periode tertentu serta laba atau rugi bersih, laporan arus kas yang menggambarkan aliran kas masuk dan keluar, serta catatan atas laporan keuangan yang memberikan penjelasan rinci tentang informasi dalam laporan keuangan utama dan kebijakan akuntansi yang diterapkan. Dengan sistem ini, entitas dapat menyajikan laporan keuangan yang lebih akurat dan transparan, mencerminkan keadaan keuangan dengan lebih jelas. Pada periode ini, Indonesia mulai menerapkan New Management System yang sejalan dengan penerbitan tiga Undang-Undang penting terkait Keuangan Negara: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang kuat untuk pengelolaan dan akuntabilitas keuangan negara. Seiring dengan itu, pada tahun 2004, dibentuklah Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP) dengan tugas utama mengembangkan dan menetapkan peraturan mengenai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP dirancang sebagai pedoman wajib yang harus diikuti dalam penyusunan laporan keuangan oleh pemerintah di semua tingkatan, baik pusat maupun daerah. KSAP, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan melaporkan kegiatannya melalui Menteri Keuangan, berperan penting dalam memastikan bahwa laporan keuangan pemerintah mematuhi standar akuntansi yang berlaku. Ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, yang sangat penting untuk memperkuat kepercayaan publik. Memasuki periode pasca-reformasi dari tahun 2004 hingga sekarang, karakteristik pengelolaan keuangan pemerintah mengalami beberapa perubahan signifikan. Salah satu perubahan utama adalah peningkatan fokus pada anggaran berbasis kinerja, yang meliputi penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai dengan SAP. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa anggaran digunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang diinginkan. Selain itu, pemisahan fungsi antara 4 bendahara pemasukan dan bendahara pengeluaran diimplementasikan untuk memperbaiki sistem pengendalian internal dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas keuangan. Langkah-langkah ini mencerminkan upaya berkelanjutan untuk memperbaiki pengelolaan keuangan negara dan memastikan penggunaan sumber daya yang lebih baik. Selain itu, pada era ini mulai diterapkan sistem akuntansi berbasis akrual untuk pelaporan keuangan daerah, yang menandai pergeseran signifikan dari sistem sebelumnya. Pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 71 (2010) yang menggantikan PP No. 24 (2005). Peraturan ini mengharuskan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual sepenuhnya paling lambat pada tahun 2015. Berdasarkan peraturan ini, berbagai elemen keuangan seperti pendapatan, beban, aset, hutang, dan ekuitas harus dilaporkan secara akrual, sementara pendapatan, belanja, dan pembiayaan tetap dilaporkan sesuai dengan basis APBN/APBD. Implementasi sistem akuntansi berbasis akrual secara penuh ini menghasilkan beberapa jenis laporan keuangan penting, termasuk laporan realisasi anggaran, income statement, cash flow system, notes to financial statement, operational report, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan statement of changes in equity. Di tingkat daerah, proses penerapan ini diawasi oleh Menteri Dalam Negeri, sementara di tingkat pusat, pengawasan langsung dilakukan oleh Menteri Keuangan untuk memastikan bahwa semua tahapan telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5 DAFTAR PUSTAKA Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta. Erlangga. Citrayanti, S. A., & Yuhertiana, I. (2021). Telaah Reformasi Akuntansi Sektor Publik di Indonesia: Perspektif Luder contingency model. Jurnal Ilmiah Ekonomi Global Masa Kini, 12(2), 95–111. https://doi.org/10.36982/jiegmk.v12i2.1428 Dwi Susliyanti, Eni and Binawati, Enita (2017) AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK. Kurnia Kalam Semesta. Hartoto, H., Tatmimah, I., Endraria, E., Muzayyanah, M., Sriyani, S., Djasuli, M., Rahmawati, I., Lestari, H. D., Dewi, M. S., Setyagustina, K., Nurdialy, M., Fitri, S. A., & Ardhiarisca, O. (2023, June 20). Akuntansi Sektor Publik. CV WIDINA MEDIA UTAMA (WBP Bandung). https://repository.penerbitwidina.com/publications/563032/akuntansi-sektor-publik#cite Priyono, N. (2012b). PERKEMBANGAN AKUNTANSI PEMERINTAHAN DI INDONESIA PERIODE SEBELUM REFORMASI SAMPAI DENGAN PASCA-REFORMASI (thesis). Van Thiel, Sandra, et al. “‘New Public Managers’ in Europe: Changes and trends.” New Public Management in Europe, 2007, pp. 90–106, https://doi.org/10.1057/9780230625365_6. Zelmiyanti, Riri. "Perkembangan Akuntansi Berbasis Akrual pada Sektor Pemerintah di Indonesia." JRAK: Jurnal Riset Akuntansi & Komputerisasi Akuntansi, vol. 6, no. 01, 2015. Fernandes, H. C., Pita, J. L., Jesus, J. D., & Camara, G. M. (2021). Public Sector Accounting in Europe: A systematic literature review. International Journal of Financial Research, 12(4), 88. https://doi.org/10.5430/ijfr.v12n4p88 6 Public Sector Accounting Week 1 Disusun oleh: Kelompok 2 - Accounting 7A Azizah Zharifah Tamin 13202110037 Cita Ananda Suci 13202110046 Feodora Susan 13202110033 Kheisa Andani 13202110021 Thio Jennifer 13202110040 Universitas Prasetiya Mulya BSD City Kavling Edutown I.1, Jl. BSD Raya Utama, BSD City, Kec. Pagedangan, Tangerang, Banten 15339 2024 1. Latar Belakang Reformasi Sektor Publik di Eropa (New Public Management) Terdapat ringkasan sejarah perkembangan akuntansi dari abad 1 hingga abad ke 20, pada jurnal “Pengembangan Akuntansi Keuangan Pada Sektor Publik” yang menjelaskan dimana pada abad ke 1 hingga ke 5, akuntansi digunakan untuk mekanisme pajak. Kemudian, pada pertengahan abad ke 14, praktek pencatatan transaksi keuangan mulai berkembang khususnya antara pemerintah dan rakyat. Kemudian di awal abad ke 15, laporan keuangan lebih rinci, dimana tenaga kerja metode produksi harga penjualan sudah dicakupkan juga pada laporan keuangan. Abad ke 19 hingga ke 20 profesi akuntan sektor publik mulai berkembang. Namun, terdapat salah interpretasi dimana akuntansi sektor publik sering disamakan dengan proses pencatatan pajak. Kemudian di periode 1950 hingga 1960 sektor publik memainkan peran utama dalam strategi pembangunan negara. Namun, pada 1970-an, kritik muncul dari pendukung teori pembangunan radikal. Ini memuncak pada reformasi sektor publik di negara-negara industri pada 1980-an, dengan diadopsinya pendekatan New Public Management (NPM) dan konsep reinventing government. Menurut jurnal “Debating Development in New Public Financial Management : The Limits of Global Theorising and Some New Ways Forward” yang dipublikasi pada tahun 1999, pada tahun 1970-an, banyak negara di Eropa menghadapi krisis ekonomi global yang menyebabkan defisit anggaran tinggi dan beban utang yang membengkak. Keadaan ini memaksa pemerintah untuk mencari cara baru dalam mengelola keuangan publik dengan lebih efisien dan efektif. Pemerintahan di beberapa negara, seperti Inggris di bawah Margaret Thatcher, mempromosikan kebijakan neoliberalisme yang mendorong pengurangan peran negara dalam ekonomi dan peningkatan efisiensi melalui reformasi manajerial. Di sisi lain, meningkatnya tekanan politik dan sosial juga mendorong perubahan dalam sektor publik. Ada dorongan yang semakin kuat dari masyarakat dan politik untuk memperbaiki tata kelola publik, transparansi, dan akuntabilitas. Jurnal tersebut menyatakan bahwa “There was a growing demand for improved public governance, transparency, and accountability. Both society and politics increasingly called for reforms to address issues such as inefficient bureaucracy and corruption, pushing governments to adopt new management practices and enhance public sector performance.” (Guthrie, Olson, & Humphrey, 1999). Permintaan ini memaksa pemerintah untuk mengatasi masalah birokrasi dan korupsi yang telah lama ada. Globalisasi juga memainkan peran penting dalam reformasi sektor publik. Dengan meningkatnya persaingan ekonomi global, pemerintah Eropa dihadapkan pada kebutuhan untuk lebih efisien dan responsif. Jurnal tersebut menyatakan, “Globalization necessitated that governments become more efficient and responsive to global economic competition. European countries sought to align their policies with international best practices, aiming to enhance their competitiveness and adapt to the evolving global economic environment.” (Guthrie, Olson, & Humphrey, 1999). Negara-negara Eropa berusaha menyelaraskan kebijakan mereka dengan praktik internasional terbaik untuk meningkatkan daya saing dan beradaptasi dengan perubahan dalam ekonomi global. Sebagai respons atas permasalahan yang ada, terjadi perubahan dalam pengelolaan keuangan yang dikenal dengan gerakan “New Public Financial Management”. Perubahan ini mengutamakan efisiensi dan efektivitas dengan menerapkan prinsip-prinsip manajerial dari sistem akuntansi cash basis menjadi accrual basis yang bertujuan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kewajiban dan aset pemerintah serta meningkatkan transparansi pelaporan keuangan.Selain itu, banyak negara Eropa mulai mengadopsi standar akuntansi internasional untuk menciptakan konsistensi dalam laporan keuangan sektor publik. Jurnal ini juga mencatat bahwa teknik manajemen baru seperti laporan kinerja dan anggaran berbasis output diterapkan, meskipun penggunaan istilah teknis dapat bervariasi dan membingungkan di antara negara-negara Eropa, penyesuaian ini dapat disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing. 2. Pengaruh Reformasi terhadap Public Sector Accounting Dengan adanya perubahan pendekatan baru yaitu New Public Management (NPM), menurut jurnal yang berjudul “Italian Public Sector Accounting Reform: A Step Towards European Public Sector Accounting Harmonisation” pada tahun 1980-an, NPM mendorong reformasi yang lebih berfokus pada efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam sektor publik. Hal ini juga termasuk sistem akuntansi yang berubah dari berbasis kas menjadi berbasis akrual. Akuntansi sektor publik menjadi lebih transparan dalam hal pengelolaan anggaran dan juga pengeluaran. Kemudian akuntansi sektor publik juga dapat melacak dan mengelola biaya secara rinci untuk memastikan segala pengeluaran sesuai dengan anggaran. Akuntansi sektor publik yang berorientasi manajerial meningkatkan proses perencanaan dan penganggaran dengan memberikan informasi yang lebih akurat dan relevan untuk pengambilan keputusan. Secara keseluruhan, NPM membawa perubahan signifikan dalam PSA, mengarahkan akuntansi sektor publik untuk lebih fokus pada kinerja dan efisiensi, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Perubahan ini membantu menciptakan sistem akuntansi sektor publik yang lebih modern dan sesuai dengan kebutuhan manajerial dan kebijakan yang lebih luas. Kemudian pada jurnal “Debating Development in New Public Financial Management : The Limits of Global Theorising and Some New Ways Forward” disebutkan bahwa semua negara mulai mengadopsi standar akuntansi internasional untuk menciptakan konsistensi dalam pelaporan keuangan sektor publik. 3. Public Sector Accounting di Indonesia Menurut jurnal “Akuntansi Sektor Publik di Indonesia” karya Sudrajat Martadinata, akuntansi sektor publik memegang peran yang sangat penting, terutama dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola keuangan suatu negara. Fungsi dasar akuntansi sektor publik adalah memberikan layanan publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu terdapat standar, informasi, dan laporan keuangan entitas publik pada sektor publik. Akuntansi sektor publik di Indonesia mulai mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu, hal tersebut diperkuat dengan diterbitkannya Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang bertujuan untuk meningkatkan keakuratan kondisi laporan keuangan negara, baik pusat maupun daerah dengan mengadopsi prinsip-prinsip akuntansi yang berbasis akrual, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan publik. Diberlakukannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga menunjukkan perhatian pemerintah terhadap pentingnya pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. DAFTAR PUSTAKA Marta, D. (2024). Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Jurnal Inovasi Global, Volume 2 (6), 620-622. Retrieved from https://jig.rivierapublishing.id/index.php/rv/article/view/106/173 Mussari, R., & Sorrentino, D. (2017). Italian public sector accounting reform: A step towards European public sector accounting harmonisation. Accounting, Economics, and Law: A Convivium, 12-14. Retrieved from https://doi.org/10.1515/ael-2017-0006 Jamal, M., & Risma, I. (2021) Modul ASP. Universitas Mulawarman. Retrieved from https://repository.unmul.ac.id/bitstream/handle/123456789/13930/Modul%20ASP%20Jamal %20Risma%20%281%29.pdf?sequence=1&isAllowed=y PUBLIC SECTOR ACCOUNTING WEEKLY ASSIGNMENT 1 Disusun Oleh: Kelompok 3 - ACC 7A Arvin Riswara Rasyid 13202110036 Cherry Maureen Dharsono 13202110017 Felicia Jonina 13202110029 Fidelia Ivana 13202110016 Nicholas Arthur 13202110004 S1 Akuntansi Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya 2024 Reformasi Sektor Publik di Eropa pada tahun 1980an Latar Belakang Reformasi Sektor Publik di Eropa pada tahun 1980an Krisis ekonomi global yang melanda pada awal dekade 1980-an menjadi masalah utama terjadinya reformasi besar-besaran dalam sektor publik di Eropa. Dipicu oleh kenaikan harga minyak akibat Revolusi Iran pada tahun 1979, inflasi meroket di negara-negara maju. Untuk mengatasinya, kebijakan moneter yang ketat diterapkan, namun justru memicu resesi dan tingkat pengangguran yang tinggi pada tahun 1982-1983. Di tengah gejolak ekonomi ini, ideologi neoliberalisme yang menguat di bawah kepemimpinan Margaret Thatcher di Inggris mulai mendominasi. Thatcherisme, dengan fokus pada privatisasi, deregulasi, dan pengurangan peran negara, menjadi cetak biru bagi reformasi sektor publik di banyak negara Eropa. Inggris menjadi pelopor dengan melakukan privatisasi besar-besaran terhadap perusahaan milik negara seperti British Aerospace dan British Telecom. Langkah ini diikuti oleh negara-negara lain seperti Prancis, Jerman Barat, dan Skandinavia yang mulai mengadopsi prinsip-prinsip serupa. Reformasi ini melahirkan konsep New Public Management (NPM) yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor publik dengan mengadopsi praktik-praktik manajemen dari sektor swasta. Prinsip-prinsip NPM seperti orientasi pada pasar, desentralisasi, dan akuntabilitas menjadi landasan bagi transformasi birokrasi di Eropa. Di akhir dekade 1980-an, dengan runtuhnya Blok Timur, negara-negara Eropa Timur juga mulai melakukan transisi menuju ekonomi pasar bebas dan demokrasi. Reformasi sektor publik menjadi bagian integral dari proses transisi ini, dengan NPM sebagai kerangka kerja yang banyak diadopsi. Pengaruh Reformasi di Eropa terhadap Perkembangan Akuntansi Sektor Publik Reformasi di Eropa mengakibatkan pergeseran Old Public Management menjadi New Public Management yang mencerminkan perubahan dari pencatatan sistem kas basis menjadi sistem akrual basis yang mengharuskan pengakuan pendapatan dan pengeluaran saat terjadinya transaksi, terlepas dari kapan kas tersebut berpindah tangan. Hal ini tentunya menggambarkan tanda pelaporan pertanggungjawaban yang lebih komprehensif dan transparan mengenai posisi keuangan dan kinerja entitas publik kepada masyarakat (Christiaens et al., 2010). Tidak sampai disitu, mengaitkan efisiensi pengelolaan anggaran dengan luaran yang dihasilkan juga berpotensi mendorong pemerintah Eropa untuk lebih bertanggung jawab atas penggunaan sumber daya publik melalui evaluasi kinerja entitas publik tersebut. Zeff (2012, dalam Christiaens et al., 2010) menyebutkan bahwa dengan menampilkan informasi keuangan yang dapat diakses ke publik, masyarakat dapat secara aktif berpartisipasi untuk mengawasi kinerja pemerintah secara akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Di sisi lain, Grossi and Soverchia (2011, dalam Brusca & Martínez, 2016) menyampaikan bahwa sejak reformasi yang terjadi di Eropa, terdapat dampak lebih lanjut terhadap perkembangan akuntansi khususnya di sektor publik, yaitu terkait dengan adanya pengadopsian International Public Sector Accounting Standards (IPSAS). Berdasarkan IPSASB (2014b, dalam Brusca & Martínez, 2016), dengan adanya reformasi yang terjadi, maka akuntansi sektor publik di Eropa lebih dimodernisasi dan terstandarisasi untuk meningkatkan kualitas dari laporan keuangan publik, sehingga akan lebih transparansi dan akuntabilitas. Penerapan IPSAS ini meningkatkan penyajian informasi keuangan yang lebih akurat oleh entitas publik sehingga memperkuat pengawasan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan publik. Reformasi yang terjadi ini juga diharapkan dapat mendorong harmonisasi akuntansi sektor publik yang mana memungkinkan untuk membandingkan laporan keuangan antar negara dan secara internasional. Perkembangan Akuntansi pada Sektor Publik di Indonesia Era reformasi dan desentralisasi fiskal di Indonesia: Era reformasi yang terjadi pada tahun 1998 membawa dampak besar dalam mendorong perubahan dalam struktur pemerintahan khususnya tingkat daerah. Penerapan desentralisasi fiskal bertujuan untuk mentransfer sebagian kekuasaan dan sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga memberi lebih banyak otonomi dalam mengelola dan meningkatkan pembangunan daerah. Masa reformasi ini berpengaruh besar pada aspek desentralisasi fiskal ditandai dengan pengesahan UU No. 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. Namun UU tersebut mengalami berbagai evaluasi yang akhirnya diganti dengan UU No.23 Tahun 2004, yang mana undang-undang ini memberikan penjelasan yang lebih luas serta terdapat regulasi pengawasan dalam pengelolaan keuangan daerah. Kemudian, UU tersebut diperbaharui dan diperbaiki kembali menjadi UU No. 23 Tahun 2014, yang pada saat itu terdapat perkenalan mengenai reformasi pengelolaan sumber daya dan pendapatan daerah untuk pembangunan yang merata. Lalu, penyempurnaan UU dilakukan kembali dengan UU No. 1 Tahun 2022 mengenai hubungan keuangan terhadap pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Pembiayaan pemerintahan daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi berasal dari APBD sedangkan pada asas dekonsentrasi berasal dari APBN. Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, daerah memiliki kewenangan dalam mengelola pajak, menerima hasil pendapatan, dan juga menerima bantuan keuangan dan dana perimbangan. Pemerintah daerah juga dipermudah dengan pinjaman jangka panjang dan pendek untuk membiayai kebutuhan daerah. Desentralisasi fiskal diimplementasikan melalui penyesuaian distribusi anggaran, dimana pemerintah pusat menyediakan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Kebijakan Undang-Undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah dua kebijakan utama yang telah membawa perubahan signifikan dalam sistem akuntansi sektor publik di Indonesia. UU No. 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola urusan pemerintahan sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu, dengan tujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. UU No. 25 Tahun 1999 mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menciptakan sistem keuangan yang adil dan transparan. Setelah itu, adapun revisi melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 dengan tujuan untuk menyesuaikan kebijakan dengan dinamika dan kebutuhan daerah, mencakup reformasi pembiayaan, anggaran, akuntansi, dan audit. Dampak dari hal ini menyebabkan sistem akuntansi sektor publik di Indonesia mengalami peningkatan transparansi dan akuntabilitas, desentralisasi fiskal, serta penguatan kapasitas daerah. Pemerintah daerah diwajibkan menyusun laporan keuangan yang akurat, transparan, dan yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah. Peran Otonomi Daerah dalam Mengubah Sistem Akuntansi Sektor Publik Otonomi daerah di Indonesia telah membawa perubahan signifikan dalam sistem akuntansi sektor publik. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Sebagai contoh, otonomi daerah memberikan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan sendiri, yang memerlukan sistem akuntansi yang mampu mendukung pengelolaan keuangan daerah yang transparan, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa aspek penting terkait peningkatan akuntabilitas dan transparansi mencakup penyusunan laporan keuangan yang akurat serta pengawasan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan SAP, yang harus mencerminkan kondisi keuangan daerah secara akurat dan transparan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan pemangku kepentingan lainnya. Menurut Abdullah dan Muthia (2017, Perkembangan Penelitian Akuntansi Sektor Publik di Indonesia), “dengan adanya otonomi daerah, pengelolaan keuangan sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah sendiri. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, diperlukan sistem akuntansi yang baik, karena sistem akuntansi merupakan pendukung terciptanya pengelolaan keuangan daerah yang accountable." Selain itu, BPK memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengevaluasi laporan keuangan pemerintah daerah. Dengan adanya otonomi daerah, BPK dapat lebih fokus dalam melakukan audit terhadap pengelolaan keuangan daerah sehingga meningkatkan akuntabilitas. Otonomi daerah juga mendorong penggunaan teknologi informasi dengan sistem akuntansi pemerintah daerah. Beberapa manfaat utama dari penggunaan teknologi informasi adalah efisiensi dan kecepatan. Sistem Informasi Akuntansi (SIA) yang terintegrasi dengan teknologi informasi memungkinkan pemerintah daerah untuk menghasilkan laporan keuangan dengan lebih cepat dan akurat. Keberhasilan sistem informasi suatu organisasi bergantung pada bagaimana sistem ini dijalankan, kemudahan sistem tersebut bagi para pemakainya, dan pemanfaatan teknologi yang digunakan (Abdullah dan Muthia, 2017; Simanjuntak, 2005). Selain itu, teknologi informasi membantu dalam pengendalian anggaran dan mencegah kebocoran dana secara dini. Sistem ini memungkinkan pemantauan real-time terhadap pengeluaran dan pendapatan daerah (Pengaruh Penerapan Akuntansi Sektor Publik, 2023; Rawung, Runtu, & Afandi, 2023). Penggunaan teknologi informasi juga memungkinkan akses yang lebih mudah dan transparan terhadap data keuangan, baik oleh pemerintah daerah sendiri maupun oleh publik (Perkembangan Standar Akuntansi Pemerintahan dan Implementasi di Indonesia, 2024). DAFTAR PUSTAKA Bellanca, S., & Vandernoot, J. (2014). International public sector accounting standards (IPSAS) implementation in the European Union (EU) member states. Journal of Modern Accounting and Auditing, 10(3). Brusca, I., & Martínez, J. C. (2016). Adopting International Public Sector Accounting Standards: a challenge for modernizing and harmonizing public sector accounting. International Review of Administrative Sciences, 82(4), 724-744. Christia, A. M., & Ispriyarso, B. (2019). Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia. Law Reform, 15(1), 149-163. Christiaens, J., Vanhee, C., Manes-Rossi, F., Aversano, N., & Van Cauwenberge, P. (2015). The effect of IPSAS on reforming governmental financial reporting: An international comparison. International Review of Administrative Sciences, 81(1), 158-177. Gedeona, H. (2009). Desentralisasi Fiskal: Kajian Perbandingan Ketidakseimbangan Fiskal Vertikal di Indonesia dan Jepang. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi, 6(2), 03-03. Hasbar, M. (2011). Reformasi Manajemen Keuangan Sektor Publik. AkMen JURNAL ILMIAH, 8(3). Mardiasmo, M. (2000). Reformasi pengelolaan keuangan daerah: implementasi value money audit sebagai antisipasi terhadap tuntutan akuntabilitas publik. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 35-49. Martadinata, S. (2024). Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Jurnal Inovasi Global, 2(6), 620-624. Meutia, I. F. (2017). Reformasi administrasi publik. Nikos, M. (2001). Trends of administrative reform in Europe: towards administrative convergence?. International Public Management Review, 2(2), 39-53. Polzer, T., Grossi, G., & Reichard, C. (2022, January). Implementation of the international public sector accounting standards in Europe. Variations on a global theme. In Accounting Forum (Vol. 46, No. 1, pp. 57-82). Routledge. Rizky, H. P., & Setiawan, D. (2019). Perkembangan penelitian akuntansi sektor publik di Indonesia. Assets: Jurnal Akuntansi Dan Pendidikan, 8(2), 94-116. Sinaga, W. (2023). ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA. Jurnal Darma Agung, 31(2). TUGAS MINGGUAN MATA KULIAH PUBLIC SECTOR ACCOUNTING Oleh: Kelompok 4 Accounting 7A Anastasia Michelle Oen 13202110013 Evelyn Audrey Angelina 13202110039 Fazira Asri Aurora 13202110043 Robell Jeviar Theon 13202110034 Tiffany 13202110023 PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS BISNIS DAN EKONOMI UNIVERSITAS PRASETIYA MULYA 2024 Latar belakang reformasi sektor publik di Eropa pada tahun 1980-an Pada dasarnya, reformasi sektor publik ini terjadi dikarenakan adanya gagasan yang begitu kuat yaitu mengenai pelepasan sistem dari cara-cara lama yang bersifat birokrasi dalam memberikan atau menyediakan pelayanan terpadu, dimana sistem tersebut digantikan dengan metode penyediaan pelayanan publik yang lebih fleksibel serta berorientasi penuh pada pengguna. Proses reformasi ini dimulai dengan adanya pendekatan manajerial baru (New Public Management/NPM) yang terdiri dari cara untuk memajukan dan menjelaskan teknik dan tujuan baru sektor swasta mengenai perubahan teknik administratif atau manajerialisme, menekankan pengendalian output, perhatian terhadap sistem ketenagakerjaan yang lebih fleksibel dan memperkenalkan persaingan dalam sektor publik. Pengaruh reformasi sektor publik terhadap perkembangan akuntansi sektor publik tahun 1980 an Reformasi publik sektor diajukan untuk mengadopsi New Public Management (NPM) yang merupakan sebuah pendekatan untuk memajukan organisasi sektor publik. NPM diterapkan karena berdasarkan teori manajemen yang menyatakan bahwa sektor swasta lebih unggul daripada sektor publik, sehingga NPM diajukan untuk menerapkan praktik dan teknik manajemen dari sektor swasta ke dalam sektor publik. Namun dampak atas kebijakan NPM adalah munculnya kembali minat terhadap etika pegawai negeri dan sikap responsif terhadap pejabat politik dan masyarakat. Pada awalnya, buruknya kinerja pemerintahan di banyak negara mendorong terjadinya reformasi sektor publik, seperti korupsi, peningkatan utang negara, pemborosan, ketidakefisienan, serta buruknya pelayanan publik. Dengan adanya reformasi sektor publik pada tahun 1980, maka salah satu perubahan utama yang dilakukan dalam akuntansi sektor publik merupakan perubahan sistem akuntansi yang pada awalnya menggunakan akuntansi berbasis kas menjadi akuntansi berbasis akrual. Telah diketahui bahwa perubahan sistem akuntansi tersebut merupakan puncak reformasi dalam negara Anglo-Saxon. Sehingga penggunaan basis akrual dalam akuntansi sektor publik telah menghasilkan laporan keuangan yang lebih transparan, menyajikan informasi akuntansi lebih akurat dan informatif, serta terdapat pembetulan efisiensi dan efektivitas dalam sektor publik. Selain itu, dengan menggunakan sistem akuntansi berbasis akrual, dapat meningkatkan akuntabilitas sehingga potensi terjadinya korupsi dapat berkurang. Hal ini disebabkan karena adanya laporan keuangan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi asas keterbukaan dengan mengungkapkan setiap transaksi secara wajar, yang dapat diartikan sebagai transparansi. Maka transparansi dalam laporan keuangan akan menghasilkan peluang untuk melakukan korupsi dapat ditekan sampai pada tingkat terendah. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia sendiri dimulai dari masa pemerintahan orde lama, yaitu pada tahun 1959. Di masa tersebut, negara Indonesia mulai melaksanakan kebijakan nasionalisasi perusahaan asing menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berpindahnya masyarakat Belanda dari Indonesia kemudian menyebabkan adanya keterbatasan tenaga kerja akuntan di Indonesia. Hal tersebut kemudian menyebabkan negara Indonesia mengadopsi praktik akuntansi model Amerika, dimana pada tahun 1970 pemerintah menetapkan bahwa seluruh lembaga harus mengadopsi praktik sistem akuntansi Amerika. Meski demikian, pada saat itu, BUMN didominasi oleh campur tangan pemerintah, sehingga hal tersebut tidak menghasilkan hasil yang baik. Memasuki pertengahan tahun 1980, terdapat sekelompok para ahli yang peduli terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi, sehingga melakukan upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang terjadi di Indonesia. Upaya tersebut menghasilkan capaian dimana mereka berhasil mendapatkan kepercayaan yang kuat dari investor asing dan lembaga internasional. Meskipun mereka berhasil mencapai kepercayaan dari investor asing, masih terdapat banyak skandal terkait dengan pelaporan keuangan yang berdampak bagi kepercayaan investor asing, sehingga hal tersebut menimbulkan adanya tekanan untuk meningkatkan kualitas dari pelaporan keuangan. Keinginan pemerintah dalam melakukan transformasi pasar modal dan memperbaiki ekonomi Indonesia harus disertai dengan kebijakan regulasi yang ketat guna memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sayangnya, adanya krisis ekonomi di tahun 1998 berdampak secara tidak langsung terhadap praktik akuntansi dan rendahnya transparansi informasi yang kemudian menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap perbankan nasional. Sejak adanya krisis tersebut, rakyat kemudian menyuarakan pendapat dan keinginan mereka untuk dapat memiliki pemerintahan yang bebas dari praktik korupsi. Hal tersebut kemudian mendorong adanya reformasi, dimana pembebasan seluas-luasnya bagi daerah dalam menjalankan hak dan kewajiban yang awalnya dipegang oleh pemerintah pusat. Adanya kebijakan tersebut menyebabkan adanya keseimbangan keuangan, dimana daerah dapat memperoleh hasil yang lebih merata dan adil. Adanya keinginan masyarakat untuk pemerintah bebas dari praktik KKN juga menuntut pemerintah untuk menyusun laporan pertanggungjawaban kepala daerah masing-masing untuk dapat memperoleh informasi apakah pemerintah yang ditentukan telah melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien. Pada tahun 2001 dilaksanakan otonomi daerah, dimana hal tersebut secara perlahan menghidupkan praktik good governance di organisasi, baik di organisasi pemerintah maupun non pemerintah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa NKRI secara perlahan telah mengubah praktik akuntansi, mulai dari adanya perangkat hukum yang jelas sampai kepada penyusunan Standar Akuntansi Pemerintah yang mengharuskan pelaporan keuangan memiliki prinsip-prinsip adil, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak. https://www.jstor.org/stable/41288789?read-now=1#page_scan_tab_contents https://www.academia.edu/15664833/PERKEMBANGAN_AKUNTANSI_SEKTOR_PUBLIK_ DI_INDONESIA?source=swp_share References Firdaus, Y. (n.d.). PERKEMBANGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA. https://www.academia.edu/15664833/PERKEMBANGAN_AKUNTANSI_SEKTOR_PUBLI K_DI_INDONESIA?source=swp_share KRISTIANSEN, S., DWIYANTO, A., PRAMUSINTO, A., & PUTRANTO, E. A. (2009, April). Public Sector Reforms and Financial Transparency: Experiences from Indonesian Districts. Contemporary Southeast Asia, 31(April 2009), 66-87 (24 pages). 10.1355/cs31-1c MEER, F.M. V. D. (2009, January). Public sector reform in Western Europe and the rise of the enabling state: An approach to analysis. Glimpses of Civil Service Reform, 171-195. 10.13140/2.1.1628.3520 TING THEORY). https://lppm.politeknikunggul.ac.id/file/data-jurnal/23a8c667c9348aeb268e36a79ba29511.pdf Firdaus, Y. (n.d.). PERKEMBANGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA. https://www.academia.edu/15664833/PERKEMBANGAN_AKUNTANSI_SEKTOR_PUBLI K_DI_INDONESIA?source=swp_share KRISTIANSEN, S., DWIYANTO, A., PRAMUSINTO, A., & PUTRANTO, E. A. (2009, April). Public Sector Reforms and Financial Transparency: Experiences from Indonesian Districts. Contemporary Southeast Asia, 31(April 2009), 66-87 (24 pages). 10.1355/cs31-1c Yuhertiana, I. (2008, January 1). Reformasi Akuntansi Sektor Publik: Mewujudkan Pelayanan Publik Yang Lebih Baik Melalui Pelaporan Keuangan Pemerintahan Yang Akuntabel. https://core.ac.uk/download/pdf/12217709.pdf Ningsih, I., Lovisai, P., & Hanum, Z. (2023, January 10). TEORI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK ( PUBLIC SECTOR ACCOUNT Tugas 1 Public Sector Accounting Accounting 7B Kelompok 5 Gabriella Santoso 13202110018 Gladys Grazella 13202110005 Sulistiani 13202110045 Vanessa Russell 13202110020 Reformasi Akuntansi Sektor Publik A. Latar Belakang Reformasi Sektor Publik di Eropa Tahun 1980-an Reformasi sektor publik di Eropa diawali oleh besarnya perasaan ketidakpuasan diantara masyarakat akan kinerja organisasi publik yang tidak dapat memenuhi kebutuhan. Tekanan masyarakat kepada pemerintahan menjadi semakin besar, didukung kondisi krisis yang sedang berlangsung terkait harga minyak dan pasar internasional yang sedang bertransformasi akibat pengaruh liberalisasi sehingga persaingan meningkat drastis. Hal ini memberikan dampak besar bagi perusahaan yang masih bertahan untuk melakukan penyesuaian agar dapat menjaga posisinya dalam ranah persaingan internasional. Strategi penyesuaian dilakukan oleh kebanyakan perusahaan dengan penerapan de-industrialisasi dan rasionalisasi yang kemudian menjadi penyebab krisis selanjutnya yaitu penurunan kebutuhan tenaga kerja industrial yang merupakan mata pencaharian mayoritas masyarakat di tahun 1980. Masyarakat kesulitan mencari sumber penghasilan di tengah situasi kenaikan harga barang di pasar. Secara keseluruhan, dua permasalahan utama yang memuncak pada tahun 1980 terkait sektor publik di Eropa adalah krisis ekonomi makro yang mempengaruhi defisit pendapatan per kapita negara serta kinerja organisasi publik yang sangat kurang kontribusinya terhadap pendapatan negara, dan penurunan drastis akan kepercayaan publik terhadap organisasi publik dan politisi yang menjabat karena keberadaan sektor publik yang tidak terasa dampaknya. Bersamaan dengan krisis di tahun 1980, muncul paradigma administrasi publik baru dalam masyarakat yang lebih memprioritaskan konsep penilaian publik dalam pengambilan keputusan, berbeda dengan paradigma sebelumnya yang hanya berfokus kepada aspek teknis sehingga kurang mempertimbangkan aspek sosial dan politik. Paradigma administrasi publik sendiri merupakan cara para ahli administrasi publik memahami fenomena yang terjadi di publik dalam bentuk kerangka pikir dan penelitian. Adanya paradigma baru tersebut menjadi salah satu hal yang mengembangkan konsiderasi dalam operasi sektor publik untuk mempertimbangkan pendapat dan kepercayaan publik akan kinerja organisasi pelayanannya. Pemerintahan menyadari kebutuhan dalam masyarakat yang harus dipenuhi segera dengan strategi dan kebijakan yang memadai demi memenuhi urgensi kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat serta keperluan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat akan kinerja organisasi publik. Oleh karena itu, negara-negara Eropa melakukan perubahan drastis atau reformasi pada sistem pemerintahan dan struktur politiknya menjadi memfasilitasi publik untuk dapat berpartisipasi dalam sektor publik. B. Pengaruh Terhadap Perkembangan Akuntansi Sektor Publik Pada tahun 1980, perkembangan akuntansi pada sektor publik mengalami perubahan yang signifikan yang dipengaruhi oleh ekonomi, sosial dan politik. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan akuntansi sektor publik adalah pengimplemntasian konsep New Public Management (NPM), yang telah menyebabkan terjadinya perubahan terhadap sistem manajemen tradisional yang kaku, birokratis dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan berorientasi pada pasar. Penerapan konsep ini juga dapat dilihat sebagai upaya modernisasi atau reformasi dalam manajemen dan administrasi publik, dengan tujuan mengurangi politisasi kekuasaan serta mendorong desentralisasi wewenang yang mendukung prinsip-prinsip demokrasi. Selain terbentuknya konsep NPM, pada tahun ini juga muncul tuntutan global untuk melakukan pengembangan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik. Kesadaran akan pentingnya transparansi memaksa banyak negara untuk mulai menerapkan standar pelaporan keuangan internasional yang lebih ketat dan dapat dipertanggungjawabkan. Organisasi internasional seperti International Federation of Accountants (IFAC) berperan penting dalam pengembangan dan promosi standar akuntansi sektor publik, termasuk International Public Sector Accounting Standards atau yang lebih dikenal dengan IPSAS, yang diadopsi oleh banyak negara untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan mereka. Salah satu perubahan paling signifikan adalah lainnya pada era ini adalah perubahan metode akuntansi berbasis kas ke metode akuntansi berbasis akrual. Perubahan ini membawa dampak besar pada cara pemerintah mencatat dan melaporkan transaksi keuangannya, karena akuntansi berbasis akrual memberikan gambaran lebih menyeluruh terhadap kondisi keuangan sebenarnya. Perubahan ini juga merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas dan memastikan bahwa laporan keuangan sektor publik lebih relevan dan akurat dalam mengambil sebuah keputusan. Secara keseluruhan, perkembangan akuntansi di sektor publik pada tahun 1980-an mencerminkan upaya global untuk meningkatkan efisiensi, tanggung jawab dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara. Perubahan-perubahan ini tidak hanya mengubah cara pemerintah mengelola keuangan publik tetapi juga memperkuat fondasi pengelolaan pemerintahan yang baik di seluruh dunia. C. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia Sebelum Reformasi Akuntansi sektor publik di Indonesia pada masa sebelum reformasi kurang berkembang. Masa sebelum reformasi ini diketahui sebelum tahun 1998. Sektor swasta lebih efisien daripada sektor publik karena akuntansi yang belum berkembang. Era sebelum reformasi terbagi menjadi empat. Pertama adalah era kolonial Belanda sekitar sebelum tahun 1945. Sistem akuntansi yang diterapkan di sektor publik Indonesia terpengaruh dari sistem akuntansi di Belanda. Metode pencatatan berbasis kas masih sangat sederhana yaitu dengan mencatat penerimaan dan pengeluaran kas tanpa adanya standar akuntansi yang ketat. Kedua merupakan periode awal kemerdekaan yang dimulai dari tahun 1945 hingga 1960-an. Indonesia mewarisi sistem akuntansi yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda, mengingat Belanda merupakan negara terlama dalam menjajah Indonesia. Sistem akuntansi di periode ini masih bersifat administratif, belum menunjukkan adanya perubahan, bahkan perhatian terhadap transparansi dan akuntabilitas masih sangat minim. Namun, pada tahun 1947 telah dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengawasi keuangan negara. Era ketiga adalah orde lama yang terjadi pada tahun 1960-an hingga 1966. Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, kebijakan ekonomi dipegang seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sistem akuntansi sektor publik pada masa ini juga belum mengalami banyak perubahan karena fokus negara terletak pada pembangunan nasional, dengan pengawasan keuangan yang minim. Era terakhir berlangsung dari 1966 hingga 1998 yang disebut orde baru. Pada masa ini, pengelolaan keuangan negara mulai lebih terstruktur. Meskipun sistem akuntansi sektor publik masih berbasis kas, ada upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan kemanjuran dalam pengelolaan keuangan. Pemerintah sudah mulai memperkenalkan konsep anggaran yang lebih modern, meskipun aspek transparansi dan akuntabilitas masih menjadi masalah utama. Penerapan sistem ini bersifat sangat sentralistik dengan pengaruh yang kuat dari pemerintah pusat. D. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia Setelah Reformasi Reformasi pada KBBI berarti adanya perubahan besar yang terjadi di lingkungan sosial suatu daerah tertentu dengan tujuan meningkatkan kualitas suatu hal baik dari sisi sosial, politik atau agama. Dalam hal sebuah negara, reformasi berarti sebuah masa dimana suatu negara mengalami perubahan secara keseluruhan seputar tata kelola kenegaraan dan sistem pemerintahan menuju arah yang lebih baik. Melalui sektor publik, masyarakat sangat mengharapkan pelayanan yang baik dari pemerintah. Tuntutan masyarakat dalam hal ini adalah mengharapkan tingginya tingkat transparansi, akuntabilitas, partisipatif, dan bersih sehingga pemerintahan yang demokratis ini memiliki kredibilitas yang tinggi. Setelah kemerdekaan, Indonesia perlahan berkembang menjadi negara yang lebih baik. Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan dalam meratakan fasilitas. Puncak reformasi terjadi pada tahun 1998, yang mencatat periode ketidakstabilan tinggi dan menjadi bagian dari sejarah kelam negara. Indonesia, dengan berbagai pulau, suku, ras, dan agama, mengalami perpecahan. Saat itu, Presiden Soeharto, yang banyak dikritik karena diduga terlibat dalam kecurangan, akhirnya turun dari jabatannya dan digantikan oleh Bapak BJ. Habibie. Pasca reformasi, Indonesia mengadopsi pandangan baru dalam akuntansi sektor publik yaitu New Public Management (NPM). Pandangan ini sebelumnya telah diadopsi oleh beberapa negara maju seperti Australia dan Inggris. NPM adalah filosofi manajemen yang mengintegrasikan praktik sektor swasta ke dalam manajemen sektor publik, dengan fokus pada peningkatan akuntabilitas melalui penekanan pada hasil daripada proses. Pendekatan NPM mendorong administrasi publik yang efisien, bertanggung jawab, dan berorientasi pada hasil, sambil mengurangi pengeluaran dan meningkatkan kualitas layanan. Dalam reformasi sektor publik ini, Indonesia memiliki lima target utama yaitu: manajemen berorientasi pasar, manajemen kinerja, penganggaran, melakukan audit pada sektor publik dan pelaporan keuangan pemerintah. a. Pengembangan sistem manajemen yang berorientasi pasar Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 telah mendorong peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam sektor publik. Badan Layanan Umum (BLU), sebagai entitas pemerintah, bertugas menyediakan berbagai hal yang dibutuhkan dengan penekanan pada efisiensi dan produktivitas, tanpa tujuan profit. BLU diberi kebebasan untuk menerapkan praktik bisnis, sementara mekanisme pasar mendorong mereka untuk bersaing dalam hal efisiensi, efektivitas, dan kualitas layanan, baik dengan penyedia layanan publik lainnya maupun sektor swasta. b. Penganggaran Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 mengenai otonomi daerah. Penerbitan Undang-Undang ini mengubah cara pengelolaan keuangan pemerintah Indonesia. Awalnya keuangan negara bersifat sentralik dan hanya dipegang oleh pusat, kemudian menjadi desentralik dengan dipercayakan juga kepada daerah. Dengan demikian, putusan mengenai daerah dapat dilakukan oleh pemerintah daerah setelah diberikan kepercayaan penuh dari pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah mengimplementasikan sebuah sistem manajemen anggaran yang didasarkan pada bentuk kinerja atau disebut dengan performance based budgeting. Sistem ini diharapkan dapat lebih efisien, efektif, dan akuntabilitas daripada sistem sebelumnya yaitu line item budgeting yang memungkinkan adanya celah untuk melakukan penyelewengan dana. c. Sistem manajemen kinerja Manajemen kinerja mencakup berbagai metode yang digunakan oleh manajer untuk mengatur dan memantau performansi organisasi dalam sektor publik. Menurut PP No. 8 tahun 2006 laporan kinerja harus dibuat untuk memenuhi akuntabilitas serta bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik. Bersamaan dengan itu Indonesia menerapkan akuntansi akrual dalam program NPM untuk mencatat transaksi secara lebih akurat dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, serta transparansi dalam pelaporan keuangan pemerintah. Peralihan dari akuntansi kas modifikasi ke akuntansi akrual memungkinkan evaluasi kinerja entitas dan memastikan kebijakan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan. d. Sistem pelaporan keuangan Sebagai bentuk mewujudkan transparansi, organisasi pemerintah harus menyampaikan laporan pertanggung jawaban yang dibuat mengikuti standar yang telah ditetapkan. Berbagai standar dalam hal ini harus ditetapkan oleh komite tersendiri yang independen. Dengan demikian pada tahun 2022 dibentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP) yang memiliki tugas khusus untuk merancang konsep yang sesuai dan mengenai Standar Akuntansi untuk Pemerintahan. Kinerja KSAP berbuah baik dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor &1 tahun 2010. Berdasarkan peraturan tersebut lembaga pemerintahan harus mengeluarkan laporan pertanggungjawaban yang berisi laporan operasional, neraca, laporan realisasi atas anggaran yang digunakan, laporan atas perubahan ekuitas, laporan perubahan atas saldo anggaran yang melebihi rancangan awal, catatan atas laporan keuangan hingga detail mengenai arus kas. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan informasi tentang sumber dan alokasi keuangan, kecukupan pendapatan, kinerja, cara memperoleh dana, serta posisi keuangan dan perubahan akibat operasi pemerintah. e. Audit sektor publik Demi mencapai tujuan untuk memiliki tata kelola yang baik, Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 15 tahun 2015 yang mengatur mengenai pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban instansi pemerintahan dan badan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan tersebut turut dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pemeriksaan disini dikatakan sebagai audit yang berupa investigasi secara independen terhadap aktivitas instansi pemerintah yang meliputi audit efisiensi, audit efektivitas, dan audit ekonomi. Referensi: Bouckaert, G., Nakrošis, V., & Nemec, J. (2011). Public administration and management reforms in CEE: Main trajectories and results. NISPAcee Journal of Public Administration and Policy, 4(1), 9-29. DOI: 10.2478/v10110-011-0001-9 Citrayanti S.A., Yuhertiana I.. 2021. Telaah Reformasi Akuntansi Sektor Publik di Indonesia: Perspektif Luder Contingency Model. Diakses melalui https://doi.org/10.36982/jiegmk.v12i2.1428 Harun, H., & Robinson, P. (2010). The adoption of accrual accounting in the Indonesian public sector. In Research in accounting in emerging economies (pp. 233–250). https://doi.org/10.1108/s1479-3563(2010)0000010014 Suprianto , A., Alifah, D. E., Subiyakto, M. V., Huda , A., & Dewi , T. S. (2024). Pengembangan Akuntansi Keuangan Pada Sektor Publik. http://jurnalistiqomah.org/index.php/wanargi/article/view/1430/1217 Therborn, G., Eley, G., Kaelble, H., Chassaigne, P., & Wirsching, A. (2011). The 1970s and 1980s as a Turning Point in European History? Journal of Modern European History / Zeitschrift Für Moderne Europäische Geschichte / Revue d’histoire Européenne Contemporaine, 9(1), 8–26. https://www.jstor.org/stable/26265922 PUBLIC SECTOR ACCOUNTING “Latar Belakang Reformasi Sektor Publik di Eropa dan Dampaknya Pada Perubahan dan Perkembangan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia” Accounting 7B Friscilla Barimbing 13202110022 Maretta Ariefania 13202110035 Naomi Luvina Nugroho 13202110001 Rachel Mikaela Tamadji 13202110003 Tanaya 13202110027 S1 Akuntansi Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya 2024 Daftar Isi Daftar Isi i A. Sejarah Sektor Publik di Eropa Barat Sebelum Tahun 1980 1 1. England (Europe) 1 2. France 2 3. German 3 B. Dampak Reformasi Sektor Publik di Eropa, yakni New Public Management (NPM), terhadap Perkembangan Standar Akuntansi Sektor Publik 4 C. EPSAS: Akuntansi Sektor Publik Eropa, Tantangan dan Pandangan Masa Depan 5 D. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik Sebelum Reformasi 1998 di Indonesia 6 E. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik Setelah Reformasi 1998 di Indonesia 7 Daftar Pustaka 9 i A. Sejarah Sektor Publik di Eropa Barat Sebelum Tahun 1980 1. England (Europe) Pentingnya keuangan negara kian meningkat seiring berjalannya waktu. Pada Eropa terjadi peningkatan pengeluaran publik dari tahun 1866 hingga 1950 yang mencapai seribu kali lipat. Pada awal abad 20, belanja sektor publik hanya 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dimana hal ini menunjukkan adanya peningkatan 35% pada akhir tahun 1940-an dan mencapai puncaknya sekitar 50% dan 70% dari PDB saat perang dunia II. Keadaan ini mulai stabil sejak tahun 1980 dengan diterapkannya neoliberal principals of privatization and outsourcing. Pelaporan keuangan sektor publik modern berfokus pada akuntansi anggaran, yaitu membandingkan antara realisasi penerimaan dan pengeluaran dengan anggaran yang telah ditentukan. Para parlemen memberikan persetujuan terhadap anggaran tahun tersebut dan pertanggungjawabannya disajikan dalam bentuk laporan pengeluaran anggaran. Penyusunan anggaran ini berguna untuk menilai masalah pengeluaran yang lebih atau kurang dan laporan audit akan mengidentifikasi hal tersebut. Sejak abad ke-12, sheriff di setiap wilayah di Inggris akan diaudit oleh para bangsawan yang menjabat pada perbendaharaan. Para pihak tersebut bertemu sebanyak dua kali dalam setahun dimana dapat menghasilkan putusan terkait pemberhentian sheriff atau nominal yang harus dibayarkan oleh sheriff kepada Departemen Keuangan. Selain itu, keakuratan laporan sheriff juga diuji dengan kunjungan dadakan oleh para hakim. Hal ini juga terjadi pada negara Inggris. Catatan keuangan setiap daerah (pipe rolls) ditulis diatas kulit domba dengan bahasa latin dan angka romawi hingga tahun 1773. Penerimaan perbendaharaan menggunakan perhitungan kayu hingga abad kesembilan belas. Sistem ini dijalankan guna memastikan akuntabilitas dari sheriff atas penerimaan pendapatan dan belanja daerahnya. Sistem ini dinamakan Charge-Discharge guna menghitung dan mencatat hutang yang dimiliki sheriff kepada raja. Berikut merupakan format dari pipe rolls: Sumber: Coimbra University Press Prinsip “no taxation without consent” dikeluarkan oleh Magna Carta pada tahun 2015 guna memastikan bahwa raja bertanggung jawab kepada tuan tanah feodal. House of Commons berjuang untuk mendapatkan kendali eksekutif dan pengendalian atas pengeluaran pemerintah selama abad ke tujuh belas. Rincian terkait prinsip dikembangkan dari “no expenditure except in amounts and ways approved by Parliament”. Sistem pengendalian yang berangkat dari kedua prinsip ini semakin dikembangkan di era modern. 1 Parlemen Inggris telah berhasil meminta akuntabilitas dari para menteri terkait penggunaan anggaran kementerian mereka. Sebelumnya, pengendalian keuangan menjadi tanggung jawab Pengawas Keuangan Umum, dimana pengendalian keuangan melalui pencairan keuangan, bukan pernyataan tinjauan keuangan. Pada pertengahan abad ke-18, departemen keuangan hanyalah departemen kecil. Pada umumnya, pengeluaran pemerintah dibiayai dari sumber tertentu atau jenis pajak tertentu, tidak berdasarkan angka yang dianggarkan. Jenis pajak tertentu tersebut dialokasikan kepada masing-masing kementerian dan bukan jumlah sebenarnya yang diperoleh dari pajak tersebut. Sejak akhir abad ke-17, anggaran tahunan dialokasikan untuk angkatan bersenjata, tetapi tidak didukung dengan rincian estimasi untuk beberapa tahun ke depan. Konsep anggaran terperinci mulai diperkenalkan pada abad ke-19 dan disahkan secara universal dengan Undang-Undang Departemen Keuangan dan Audit 1866. Pendekatan modern Inggris berdasarkan dua dana, yaitu Consolidated Revenue Fund, menerima seluruh pendapatan, dan Capital Development Fund, mengalokasikan seluruh dana untuk modal belanja. Terkait pendapatan pajak, harus dibayarkan kepada Consolidated Revenue Fund. Selanjutnya, dana tersebut ditransfer kepada Capital Development Fund yang akan disalurkan kepada masing-masing kementerian sebagai modal belanja. Setiap kementerian akan menerima uang untuk pengeluaran berulang dari Consolidated Revenue Fund dan modal pengeluaran dari Capital Development Fund. Pada akhir tahun, akun-akun tersebut akan diproduksi menjadi laporan anggaran pengeluaran dengan contoh sebagai berikut: Sumber: Coimbra University Press Dewan Kota Birmingham mengadopsi akuntansi akrual dari tahun 1850 dengan tujuan utama menyediakan utilitas publik, seperti perusahaan sektor swasta. Akan tetapi, House of Common Committee pada Form of Government Account menolak adanya peralihan ke akuntansi akrual. Laporan keuangan berbasis akrual telah dibuat selama enam tahun oleh kementerian perang pada awal tahun 1920-an. Namun, komite berpendapat bahwa tidak adanya keuntungan praktis yang diperoleh dari penerapan akrual. Pada akhirnya, laporan keuangan berbasis akrual diadopsi untuk kementerian pemerintah pusat mulai tahun anggaran 2001/02 (setelah adopsi Manajemen Publik Baru). 2. France Sistem PSA Perancis terus mengalami perkembangan dengan tujuan utama terkait kontrol dimana memastikan pembayaran dilakukan dengan akurat dan dapat 2 dipertanggungjawabkan. Sistem ini turut diikuti oleh pemerintah Italia pada tahun 1877 dan Portugal pada tahun 1761. Penerapan sistem PSA ini didasarkan oleh dua hal, yaitu comptes administratifs, yaitu rekening ordinateur yang melakukan pesanan dan menginstruksikan pembayaran kepada akuntan publik. Kedua, competes de gestion merupakan rekening masyarakat umum (kasir/akuntan) diberikan ‘quitus’ oleh auditor apabila sah dan memadai. lmsAuditor (the cour des comptes) melakukan pengesahan terhadap akun dari akuntan dan menyatakan konsistensi terhadap kedua dasar yang telah dipaparkan. Lebih lanjut, auditor akan melaporkan temuan kepada presiden dan majelis nasional. Oleh karena itu, auditor publik memiliki peran yang penting di Perancis, berbeda dengan Inggris. Laporan pengeluaran anggaran (the loi de reglement) mencatat penerimaan dan pengeluaran yang nantinya akan dibandingkan dengan perkiraan anggaran. Pemerintahan rezim lama (sebelum revolusi 1789) tidak mempunyai rekening yang terpusat dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah dialihdayakan kepada manajer swasta (‘tax farmers’). Sistem pajak mulai diterapkan di Perancis sejak abad 12. Reformasi telah dimulai sejak tahun 1680-an dan diupayakan kembali pada tahun 1781. Namun, reformasi modern baru terlaksanakan dengan adanya revolusi Perancis pada tahun 1789. Setelah revolusi, Konstitusi Perancis mengeluarkan pernyataan bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk melihat, baik secara langsung atau melalui perwakilan, diperlukannya kontribusi publik, hak untuk menyetujui secara bebas dan mengecek penggunaannya. Dengan adanya pernyataan tersebut, terbentuklah rekening pusat dan dihasilkannya neraca (1792). Revolusi Perancis memperkenalkan adanya akuntabilitas formal dan penganggaran yang ketat telah tersebar ke negara-negara di Eropa sejak tahun 1985. Undang-Undang Keuangan Organik (La loi organique) tahun 2006 merupakan hukum utama yang memperkenalkan Manajemen Publik Baru di Perancis dengan tujuan memungkinkan parlemen dan masyarakat memantau kinerja anggaran melalui pengelolaan program anggaran dan akuntansi akrual. Secara umum hal tersebut dianggap berhasil, tetapi hingga 10 tahun kemudian auditor sektor publik Perancis menyimpulkan bahwa kontribusi akuntansi akrual belum sesuai dengan sumber daya yang telah diinvestasikan pemerintah. 3. German Akuntansi kameral merupakan sistem yang telah diterapkan sejak awal abad ke-14 pada negara-negara, seperti Austria, Jerman, dan Swiss. Penerapan ini turut mempengaruhi sistem akuntansi di berbagai negara, seperti Belanda, Hongaria, dan Italia. Akuntansi kameral diterapkan guna mencapai beberapa hal terkait pengendalian, yaitu: 1. Pembayaran: pemisahan fungsi perintah dan pembayaran 2. Anggaran: memastikan anggaran sesuai dengan yang telah disepakati 3. Kas: rekening sebagai catatan total saldo kas 4. Laporan hasil: keseimbangan anggaran Sistem ini pada awalnya diterapkan sebagai audit internal pada administrasi keuangan kerajaan yang perkembangannya dibagi ke dalam empat fase, yaitu: 1. Fase pertama (1500-1750): pencatatan penerimaan dan pengeluaran kas di buku harian 2. Fase kedua (1750-1810): akuntansi iuran lancar yang mencatat instruksi pembayaran 3. Fase ketiga (mulai 1810): pemisahan antara item yang berdampak pada hasil dengan yang tidak memberikan dampak 4. Fase keempat (mulai 1910): Enterprise Cameralistics pada perusahaan pemerintahaan Pada buku besar sistem kameral terdapat dua sisi utama, yaitu pendapatan dan pengeluaran. Sistem ini menggunakan entri tunggal dengan dua syarat, yaitu pembayaran 3 tidak dilakukan tanpa adanya petunjuk dan saldo yang dibawa kedepan sama dengan saldo awal ditambah iuran lancar dan dikurang aktual. B. Dampak Reformasi Sektor Publik di Eropa, yakni New Public Management (NPM), terhadap Perkembangan Standar Akuntansi Sektor Publik Reformasi sektor publik, yakni New Public Management (NPM), didefinisikan oleh Van Gramberg dan Teicher (2000) sebagai sebuah transformasi budaya suatu pelayanan publik dari yang mulanya birokratis dan terikat pada aturan menjadi berorientasi kepada aspek performa dan entrepreneurial dalam sistem pemerintahan yang cenderung kurang tersentralisasi. Penekanannya pada kebudayaan dan paradigma tersebut menunjukkan bahwa reformasi NPM tidak hanya menargetkan aspek-aspek teknikal saja, namun juga dari sisi fundamental seperti budaya organisasi. Sebagaimana dikutip oleh Mathiasen (1999), Komite Manajemen Publik dari OECD mengidentifikasi lima karakteristik NPM, diantaranya yakni: 1. Meningkatnya fokus terhadap hasil kinerja pelayanan publik, yakni dalam hal efektivitas, efisiensi, serta kualitas layanan. 2. Adanya pergeseran struktur pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi dengan tujuan agar pengambilan keputusan terkait alokasi sumber daya dan penyediaan layanan menjadi lebih dekat dengan titik penyediaan. 3. Adanya fleksibilitas dalam mengeksplorasi pilihan dan alternatif terkait penyediaan dan regulasi publik secara langsung untuk dapat menghasilkan kebijakan yang lebih efisien. 4. Meningkatnya fokus terhadap efisiensi layanan yang disediakan secara langsung oleh sektor publik menggunakan penentuan target produktivitas serta pembentukan lingkungan yang kompetitif di antara dan di dalam organisasi sektor publik. 5. Adanya penguatan kapasitas strategis di pusat guna mengarahkan perkembangan negara serta memungkinkannya respon akan perubahan eksternal dan kepentingan secara lebih fleksibel, otomatis, dan efisien. Dalam proses pergeseran sektor publik kepada new public management tersebut, kebijakan akuntansi sektor publik menjadi salah satu faktor yang penting karena berhubungan secara langsung dalam berbagai program NPM, mulai dari desentralisasi, peningkatan akuntabilitas dan transparansi, privatisasi, manajemen berbasis performa, dan sebagainya. Salah satu perubahan dalam kebijakan akuntansi sektor publik tidak lain adalah penerapan stelsel akuntansi akrual dalam laporan sektor publik. Selain pergeseran dari kebijakan akuntansi berbasis kas tersebut, NPM juga mengakibatkan perubahan kebijakan akuntansi sektor publik dari single-entry menjadi double-entry, yakni serupa dengan standar akuntansi yang digunakan sektor privat. McCulloch and Ball (1992) mengatakan bahwa perubahan basis akuntansi menjadi akrual tersebut tidak hanya berupa isu pelaporan eksternal saja, namun merupakan suatu bagian integral dari perubahan manajemen secara keseluruhan. Terlebih lagi, perubahan tersebut dianggap berkontribusi pada pengelolaan aset dan perhitungan full costing atas layanan sektor publik yang menjadi lebih baik. Penggunaan basis akrual yang sama dengan sektor privat pun memungkinkan pengambilan keputusan yang dianggap lebih rasional, terutama dalam hal pemilihan pemasok yang lebih kompetitif. Di samping perubahan kebijakan akuntansi, yakni perubahan sisi teknikal, NPM juga membawa perubahan dari sisi behavioral dan juga organizational. Diantaranya adalah persaingan yang kompetitif sebagai kunci efisiensi biaya dan standar yang lebih baik, menyebabkan meningkatnya penekanan dalam mengidentifikasi biaya dan memahami struktur biaya. Di sisi lain, penegasan yang meningkat pada disiplin dan frugalitas dalam penggunaan sumber daya juga 4 berdampak pada penekanan yang bertambah pada laba bersih sektor publik. Standar yang implisit dan kualitatif juga bergeser menjadi penetapan tujuan yang lebih jelas dan terkuantifikasi untuk memastikan akuntabilitas setiap sektor publik, dimana hal tersebut juga mempengaruhi perkembangan dari audit dan indikator performa pada sektor publik setelah NPM. Reformasi sektor publik menjadi new public management juga berpengaruh terhadap pembentukan International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) pada tahun 1986. IPSAS dibentuk oleh International Public Sector Accounting Standards Board (IPSASB) dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan manajemen keuangan publik dalam skala global melalui adopsi IPSAS berbasis akrual. IPSAS sendiri dibentuk mengikuti basis perubahan pada manajemen publik menjadi NPM, yakni penerapan kebijakan akuntansi yang menyerupai kebijakan akuntansi sektor privat, dalam hal ini yakni IFRS. Melalui adanya standar akuntansi sektor publik internasional IPSAS tersebut, memfasilitasi perubahan manajemen sektor publik di negara lainnya menjadi sesuai dengan new public management. C. EPSAS: Akuntansi Sektor Publik Eropa, Tantangan dan Pandangan Masa Depan Berdasarkan buku European Public Sector Accounting (Lorson et al., 2019), EPSAS (European Public Sector Accounting Standards) adalah standar akuntansi sektor publik Eropa yang dikembangkan oleh Komisi Eropa pada Maret 2013. Sampai saat ini, pengembangan EPSAS oleh Komisi Eropa masih belum berujung. Bidang statistik Eropa (Eurostat) menyimpulkan bahwa IPSAS tidak mudah untuk diterapkan oleh negara-negara anggota Uni Eropa (UE) dalam kondisi saat ini. Oleh sebab itu, perlu adanya pembuatan standar akuntansi sektor publik baru khusus Eropa (EPSAS) dengan menggunakan IPSAS sebagai referensi. Pengembangan EPSAS dimulai dengan pembentukan Gugus Tugas EPSAS untuk tata kelola pada tahun 2013. Kemudian, Gugus Tugas EPSAS untuk standar dibentuk pada tahun 2014, diikuti oleh pembentukan EPSAS Cell untuk implementasi pertama kali dan Kelompok Kerja EPSAS pada tahun 2015. Komponen-komponen tersebut telah membentuk kerangka tata kelola yang bertanggung jawab dalam pengembangan EPSAS selama ini. EPSAS dirancang untuk menyelaraskan akuntansi sektor publik berbasis akrual yang berlaku di seluruh sektor pemerintahan, khususnya di Uni Eropa. Beberapa faktor yang dipertimbangkan meliputi kebutuhan transparansi fiskal, harmonisasi atau komparabilitas, serta pengurangan ketidaksesuaian antara sistem akuntansi tingkat mikro dengan tingkat makro di Eropa dan kerangka pelaporannya. Müller-Marqués Berger dan Heiling (2015), yang dikutip dalam buku European Public Sector Accounting (Lorson et al., 2019), menjelaskan tantangan yang muncul dari penerapan EPSAS, terutama terkait perubahan sistem akuntansi sektor publik Eropa menjadi berbasis akrual. Tantangan-tantangan ini secara keseluruhan dibagi menjadi empat dimensi: kebijakan, proses, sistem, dan sumber daya manusia. Penjelasan tantangan keempat dimensi ada sebagai berikut: 1. Kebijakan: Mengadopsi EPSAS memerlukan penyesuaian terhadap aturan keuangan dan regulasi yang ada, serta pendokumentasian kebijakan akuntansi. Di samping itu, panduan dan manual yang menyeluruh, serta aturan implementasi yang jelas harus dikembangkan untuk menangani topik-topik yang kompleks. 2. Proses: Dalam hal proses, perlu ada manajemen yang baik selama masa transisi, serta pemantauan yang cermat selama tahap implementasi. Kualitas data harus dijaga sepanjang proses reformasi, yang berarti prosedur pengendalian kualitas perlu diterapkan. Proses pengumpulan data, seperti untuk aset tetap, juga harus ditetapkan. Kepatuhan terhadap kerangka regulasi yang ada juga harus dipastikan. 3. Sistem: Reformasi EPSAS membutuhkan penyesuaian pada sistem IT yang sudah ada serta pengembangan solusi atau modul IT yang baru. Proses organisasi juga harus disesuaikan dengan lingkungan IT yang baru. 5 4. Sumber Daya Manusia: Selain sistem IT, sumber daya manusia sangat penting dalam reformasi akuntansi. Perubahan dalam praktik akuntansi memerlukan pelatihan bagi karyawan dan dukungan dari konsultan eksternal. Budaya organisasi harus terbuka terhadap perubahan, dan dukungan serta komitmen politik sangat penting untuk keberhasilan reformasi ini. Menurut kutipan dari Komisi Eropa (2016), implementasi EPSAS dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama melibatkan pengembangan dan aspek legalitas yang dijadwalkan berlangsung selama lima tahun dari tahun 2016-2020. Pada tahap ini, penerapan akuntansi berbasis akrual didorong melalui dukungan finansial, serta pembentukan dan adopsi kerangka konseptual EPSAS. Pada tahap kedua, semua entitas publik di negara-negara anggota Uni Eropa akan diwajibkan mengimplementasikan EPSAS dalam kurun waktu lima tahun berikutnya dari tahun 2021-2025. Secara keseluruhan, tahap pertama bertujuan meningkatkan transparansi laporan keuangan, sedangkan tahap kedua difokuskan untuk meningkatkan komparabilitas laporan keuangan. D. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik Sebelum Reformasi 1998 di Indonesia Peran akuntansi sektor publik di Indonesia telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan sejak tahun 1998. Sebelum era reformasi, akuntansi sektor publik di Indonesia tidak mengenal prinsip good governance yang berhubungan erat dengan nilai akuntabilitas dan transparansi, di mana penerapan kekuasaan pemerintah bukanlah untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat umum. Namun sebaliknya, selama tiga dekade di bawah pimpinan Presiden Soeharto, pemerintah lebih berfokus untuk memajukan kepentingan kelompok elit, sehingga kinerja sektor publik semakin tidak efisien dan tertinggal jauh dibandingkan sektor swasta. Adapun pada masa ini, terdapat dua lembaga negara yang bertugas sebagai auditor dalam pengecekan dan evaluasi laporan keuangan pemerintah, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berdiri sebagai wakil rakyat mengalami berbagai kesulitan dalam proses pemeriksaan laporan keuangan pemerintah yang disebabkan oleh kurangnya alokasi sumber daya dan tingkat transparansi yang terbatas. Menurut Anwar Nasution selaku Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, pemerintahan Orde Baru sangat terlibat dalam membatasi jangkauan target audit, sarana atau metode audit yang digunakan, serta isi laporan audit yang pada saat itu tidak dipublikasikan sehingga tidak tersedia untuk masyarakat umum. Objek pemeriksaan BPK pun dibatasi oleh Undang-Undang, di mana perusahaan seperti Pertamina, Bank Indonesia, serta bank-bank negara dan perusahaan negara lainnya dilarang untuk dilakukan pemeriksaan terhadap keuangannya. Secara tidak langsung, pemerintahan Orde Baru mengendalikan BPK melalui keterbatasan sumber daya dan anggaran yang tidak mencukupi untuk meningkatkan kualitas kerja. Di sisi lain, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertugas untuk memberikan informasi secara langsung kepada presiden terkait dengan urusan keuangan pemerintah justru memiliki sumber daya yang lebih banyak, dan tidak wajib melaporkan temuannya kepada parlemen maupun masyarakat umum. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1998, terdapat peluang untuk melakukan reformasi akuntansi sebagai respons terhadap penindasan prinsip akuntabilitas dan transparansi pada era Presiden Soeharto (Harun dan Robinson, 2010). Penerapan teknik akuntansi sektor swasta dipandang sebagai solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas manajemen sektor publik untuk membangkitkan kembali efisiensi, efektivitas, dan integritas pemerintah. Dalam melakukan hal ini, Indonesia mencontoh negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru untuk mengadopsi akuntansi berbasis akrual pada sektor publik. 6 E. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik Setelah Reformasi 1998 di Indonesia Proses reformasi radikal pada akuntansi sektor publik ditandai dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 tentang Keuangan Negara yang kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Ketiga dasar hukum tersebut menekankan pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas seluruh sumber daya yang diolah oleh para jajaran pemerintahan dengan diterbitkannya laporan keuangan secara berkala yang dapat diakses oleh masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, reformasi akuntansi sektor publik juga berfokus pada pemberantasan korupsi sebagai salah satu hal identik dari era pemerintahan Soeharto, yakni Orde Baru. Dari pemberlakuan perundang-undangan tersebut itulah lahir dua perubahan besar dalam bidang pelaporan keuangan sektor publik, yaitu penerapan akuntansi berbasis akrual dan perluasan peran dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia. Penerapan akuntansi berbasis akrual, menggantikan cash-basis, dalam kegiatan pelaporan keuangan sesuai Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP) di Indonesia mengharuskan seluruh kegiatan ekonomi yang tergolong sebagai transaksi untuk dicatat dan diklasifikasikan berdasarkan sistem akuntansi akrual entri ganda. Dalam hal ini, pemerintah daerah turut berkewajiban untuk menyiapkan laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan yang tersedia untuk umum. Baik sekolah, rumah sakit, dan instansi daerah lainnya diharuskan untuk membuat laporan keuangan yang seluruhnya kemudian dikonsolidasi untuk setiap pemerintah daerah sebagaimana ditulis oleh Harun dan Kamase pada tahun 2012. Dari sinilah seluruh laporan tersebut akan melalui pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia. Oleh BPK inilah, setiap kekurangan dan penyimpangan dari standar akuntansi yang terkandung dalam laporan keuangan terkait akan diberitahukan kepada pemerintah yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan. Tim audit melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan setiap daerah dan memberikan opininya yang dapat berupa unqualified, qualified, adverse, atau disclaimer untuk selanjutnya diserahkan kepada badan legislatif dan kepala pemerintahan terkait. Selain dari penerapan akuntansi berbasis akrual, reformasi 1998 juga menyebabkan diperbesarnya peran dan kapasitas dari lembaga BPK sebagaimana akuntansi akrual di sektor publik juga diperkuat. Reformasi akuntansi sektor publik di Indonesia berciri khas peningkatan kapasitas dan independensi BPK (Nasution, 2008) yang didukung oleh MPR dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR.2002 yang menyebutkan bahwa satu-satunya pemeriksa keuangan negara diduduki oleh BPK. Hal ini juga dibuktikan dengan terjadinya perubahan signifikan terhadap jumlah pegawai BPK yang meningkat sebesar 54% sepanjang tahun 2004 hingga 2008. Selain melaksanakan kegiatan audit, BPK juga wajib melaporkan bukti tindakan ilegal, seperti korupsi kepada lembaga penegak hukum, baik kepada polisi, kejaksaan, atau KPK untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Hingga saat ini, laporan pemeriksaan yang dibuat dan diterbitkan oleh BPK dapat digunakan oleh anggota parlemen, media, organisasi non-pemerintah, dan yang terpenting, masyarakat, sebagai dasar peninjauan dan penilaian kinerja pejabat maupun partai yang berkuasa untuk kemudian mempengaruhi pemilihan pemimpin dalam pemilihan umum mendatang. Kedua poin besar yang telah dijabarkan di atas tidak semerta-merta diterapkan dengan baik oleh setiap lapisan pemerintahan. Masalah pertama yang muncul diawali dengan desentralisasi yang diterapkan sejak tahun 2001 nyatanya tidak dapat diterapkan pada seluruh bagian pemerintah pusat. Salah satunya adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN) yang hingga sekarang menolak melepaskan otoritas fungsi pengaturan dan pengendalian sumber daya manusia untuk semua tingkatan pemerintahan yang 7 kemudian mengakibatkan keterampilan akuntansi di pemerintah daerah sangat terbatas, bahkan kurang. Hal inilah yang kemudian terjadi kejomplangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain terkait jumlah dan kualitas akuntan yang dipekerjakan. Kualitas akuntan yang tidak memadai dapat menyebabkan proses akuntansi yang tidak efisien, laporan keuangan berkualitas buruk, maupun pelaporan keuangan yang terlambat. Sehingga walaupun reformasi akuntansi sektor publik ditandai dengan akuntansi berbasis akrual, namun penerapannya belum sepenuhnya berjalan baik pada pemerintah tingkat daerah dan memiliki peluang untuk menghasilkan laporan keuangan yang tidak dapat diandalkan. Masalah kedua yang muncul adalah perubahan aturan yang begitu cepat yang dialami oleh pemerintah daerah, bahwa pemerintah pusat dianggap tidak konsisten terkait persyaratan laporan keuangan yang diwajibkan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, serta terkait persyaratan yang berubah secara cepat tanpa adanya pemberitahuan di awal. Pertama, pemerintah daerah diwajibkan untuk membuat laporan keuangan yang didasarkan pada SAP untuk kemudian diperiksa oleh BPK dan secara bersamaan, mereka juga diwajibkan untuk membuat laporan keuangan yang didasarkan pada Peraturan No. 59/2007 (Peraturan Menteri Dalam Negeri) yang memiliki perbedaan pada pengklasifikasian transaksi yang terjadi. Keterbatasan jumlah akuntansi seperti yang telah dibahas sebelumnya menyebabkan pemerintah daerah kewalahan untuk membuat dua laporan keuangan berbeda untuk memenuhi persyaratan dari kementerian tersebut. Terlebih, pengklasifikasian transaksi yang berbeda dan persyaratan laporan keuangan yang diberikan oleh Kemendagri yang tidak terlalu rinci memungkinkan terjadinya kesalahan dalam laporan keuangan yang disusun oleh para pemerintahan daerah. Kedua masalah yang muncul setelah reformasi akuntansi sektor publik mengakibatkan tingkat kepatuhan terhadap SAP yang rendah dan minimnya penggunaan laporan keuangan berbasis akrual sebagai dasar pengambilan keputusan. Para pemerintah tingkat daerah juga masih lebih akrab dengan laporan keuangan jenis lama yang berbasis tunai. Tidak hanya itu, pada kenyataannya, mayoritas masyarakat umum tidak membaca laporan keuangan yang diterbitkan oleh pemerintah mengingat sebagian besar dari mereka tidak memiliki keahlian dan pengetahuan yang cukup untuk memahami isi dari laporan keuangan tersebut. Masyarakat cenderung melihat media massa dalam mengevaluasi kinerja pemerintah daerah dibandingkan membaca laporan keuangan yang diterbitkan. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa reformasi akuntansi sektor publik dengan penerapan akuntansi berbasis akrual dan perluasan peran BPK dalam meninjau dan memeriksa penyusunan laporan keuangan telah dilakukan secara bertahap oleh mayoritas jajaran pemerintahan, namun tetap terdapat daerah yang masih belum bisa memenuhi seluruh tuntutan terkait dari pemerintah pusat. 8 Daftar Pustaka DJAMHURI, A., & MAHMUDI. (2006, Desember). NEW PUBLIC MANAGEMENT, ACCOUNTING REFORM, AND INSTITUTIONAL PERSPECTIVE OF PUBLIC SECTOR ACCOUNTING IN INDONESIA, 8, 301-321. Haustein, E., & Jorge, S. (2019). European public sector accounting. Coimbra University Press. MCLEOD, R. H., & HARUN, H. (2014, May). Public Sector Accounting Reform at Local Government Level in Indonesia, 30(2), 238-258. 9